Dosen Pengampu:
Ir. Didik Suprayogo, M.Sc., Ph.D.
Disusun Oleh:
Nama : Lizara Budi Asih
NIM : 155040200111051
Kelas :E
2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Jepara merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang
memiliki potensi alam yang sangat beragam. Potensi alam yang dimiliki
Kabupaten Jepara banyak dimanfaatkan sebagai objek wisata alam, mulai dari
pantai, pegunungan, hingga air terjun dikelola dengan baik. Selain kawasan
wisata alam, Kabupaten Jepara juga memiliki kawasan cagar alam, yaitu Cagar
Alam Gunung Clering, Cagar Alam Keling Ia, Ib, dan Ic, Cagar Alam Keling II/III,
dan Cagar Alam Kembang.
Salah satu cagar alam di Jepara yang telah berstatus kritis saat ini adalah
Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) yang terletak di antara Desa Banyumanis,
Jugo, Ujungwatu, Clering, Sumber Rejo, dan Blingo, Kecamatan Keling,
Kabupaten Jepara. Kawasan Gunung Clering ini ditetapkan sebagai kawasan
cagar alam berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 755/Kpts-
II/1989, tanggal 16 Desember 1989, dengan luas area 1.328,40 ha. Kawasan
cagar alam tersebut merupakan kawasan konservasi atau pelestarian alam
terutama yang digunakan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) termasuk salah satu kawasan
konservasi karena memiliki potensi flora dan fauna yang beragam serta perlu
untuk dilindungi. Namun, meskipun Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) ini
merupakan kawasan konservasi, keragaman jenis pohonnya selalu mengalami
penurunan akibat bencana alam maupun aktivitas masyarakat yang
memanfaatkan sumberdaya alam di kawasan tersebut dengan tidak bijaksana
dan tidak memikirkan keberlanjutannya. Selama beberapa tahun terakhir,
ekosistem hutan kawasan Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) semakin
terpengaruh oleh tekanan manusia akibat adanya alih fungsi lahan hutan menjadi
lahan pertanian dan perkebunan. Alih fungsi lahan hutan tersebut dapat
menurunkan fungsi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan. Selain itu,
kestabilan ekosistem dapat berubah akibat adanya gangguan pada fungsi hutan
tersebut.
Pada tahun 2007, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Jepara menyatakan bahwa kerusakan kawasan Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC) telah mencapai sekitar 30% dari luas kawasan seluruhnya (Suara
Merdeka, 2007). Jika kerusakan terhadap kawasan Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC) tidak segera ditindaklanjuti maka akan mengancam potensi-potensi yang
ada di kawasan tersebut, baik potensi flora maupun fauna.
Oleh karena itu, dalam upaya penyelamatan Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC) perlu adanya strategi pengelolaan yang harus dipilih dan diterapkan
agar dapat memulihkan kerusakan yang telah tejadi dan tetap menjaga
ekosistem hutan agar berjalan semestinya.
1.2 Dampak Gangguan
Kawasan konservasi Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) yang
seharusnya menjadi tempat dalam mengupayakan pelestarian, perlindungan,
dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan justru mengalami tekanan
oleh manusia akibat alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan
perkebunan secara tidak bijaksana dan tidak berkelanjutan. Hal tersebut
berdampak pada keseimbangan ekosistem hutan dan berakibat pada putusnya
siklus hidrologi. Berikut ini merupakan dampak yang dapat terjadi akibat
gangguan yang terjadi pada kawasan konservasi Cagar Alam:
a) Erosi
Erosi merupakan suatu peristiwa dimana tanah itu dihancurkan,
kemudian terangkat dan diendapkan. Karakteristik geomorfologi wilayah
dan penggunaan lahan memberikan kontribusi terhadap terjadinya erosi,
misalkan di daerah yang mempunyai kemiringan lahan (slope) tinggi dan
tutupan vegetasinya rendah akan mempunyai potensi erosi dan longsoran
yang tinggi (Satriawan, 2010). Erosi akan sangat mudah terjadi pada lahan
yang berlereng, karena bentuk lahan tersebut cenderung miring dan
memicu tanah untuk mudah terkikis. Menurut Mulyani dan Kartasapoetra
(2005), tanah yang berlereng atau tanah yang bersifat kurang dapat
menyimpan/meneruskan air dapat menyebabkan air hujan yang turun akan
lebih banyak hilang sebagai air runoff atau aliran permukaan yang dapat
menimbulkan dua kerugian, yaitu yang pertama, tanaman akan kekurangan
air karena air yang seharusnya meresap ke dalam tanah dan menjadi
groundwater justru hanya menjadi aliran air permukaan. Kedua, aliran air
permukaan tersebut selain mengalir dengan cepat juga dapat mengangkut
bahan-bahan tanah atas (lapisan olah) yang umumnya subur.
Potensi terjadinya erosi juga dipengaruhi terutama oleh penggunaan
lahan pada daerah hulu. Penggunaan lahan yang berupa perkebunan dan
hutan produksi dengan tingkat kelerengan yang cukup terjal atau curam
tanpa menggunakan teknik konservasi yang tepat dan memadai serta jenis
tanah yang sangat peka terhadap erosi dan didukung dengan curah hujan
yang cukup tinggi dapat memicu terjadinya erosi.
Selain bentuk lahan, aliran air, dan penggunaan, struktur tanah juga
mempengaruhi laju erosi pada suatu lahan. Tanah yang memiliki struktur
granule atau gembur cenderung mudah mengalami erosi karena partikel
tanah yang kecil dapat dengan mudah terangkat dan terangkut oleh aliran
permukaan. Menurut Bukit, et al. (2013), tanah yang kurang memiliki ikatan
antar-partikelnya dengan keadaan curah hujan yang tinggi dapat
meningkatkan terangkutnya partikel-partikel tanah atau erosi.
Upaya pengendalian erosi dapat dilakukan melalui teknik konservasi tanah
dan air. Pengendalian atau penanggulangan erosi bertujuan untuk
mencegah kerusakan tanah oleh erosi, memperbaiki tanah yang rusak,
memelihara serta meningkatkatkan produktivitas tanah agar dapat
digunakan secara lestari. Upaya pengendalian ini dapat dilakukan melalui
tiga pendekatan, yaitu metode vegetatif, metode mekanik, dan metode
kimia. Vegetasi dapat berdungsi dalan konservasi tanah dan air karena
memiliki beberapa manfaat yang mendukung terciptanya pertanian
berkelanjutan (Satriawan, 2010). Menurut Hamilton dan King (1997),
vegetative memiliki beberapa manfaat yang merupakan ciri pertanian
berkelanjutan seperti konservasi, reklamasi, dan memiliki nilai ekonomi
yang tinggi.
Berikut ini efisiensi relatif beberapa golongan vegetasi dalam
pencegahan erosi (efisiensi berkurang ke bawah) (Arsyad, 2001):
Tabel 1. Tipe vegetasi dan arahan penggunaannya untuk fungsi
pengendalian erosi tanah.
No. Golongan Vegetasi Contoh
1 Vegetasi permanen Hutan lebat dengan semak
dan seresah
Padang rumput lebat
Kebun tahunan dengan
penutup yang baik
Alang-alang lebat
2 Padang rumput campuran Alfalfa + rumput brome
Clover + timothy
Alfa fercue + birdsfoot trefoil
3 Leguminosa berbiji kecil Clover dan alfalfa
4 Serealia berbiji kecil Rye, wheat, barley, oats
5 Leguminosa berbiji besar Kedelai, kacang tanah, field
peas
6 Tanaman semusim yang ditanam Tembakau, kentang, ubi kayu,
dalam barisan jagung/sorghum
7 Tanah gundul tanpa vegetasi Saat pengolahan tanah
sampai tanaman tumbuh,
tanah terbuka tanpa vegetasi
penutup
b) Banjir
Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan pada suatu daerah
sebagai akibat meluapnya air sungai yang tidak mampu ditampung oleh
sungai. Selain itu, banjir adalah interaksi antara manusia dengan alam dan
sistem alam itu sendiri. Banjir merupakan aspek interaksi manusia dengan
alam yang timbul dari proses dimana manusia mencoba untuk
memanfaatkan alam dan menghindari alam yang merugikan.
Penyebab terjadinya banjir dapat dikarenakan oleh kondisi dan
fenomena alam (topografi, curah hujan), kondisi geografis daerah dan
kegiatan manusi yang berdampak pada perubahan tata ruang atau guna
lahan di suatu daerah (Rosyidie, 2013). Penyebab lain terjadinya banjir
menurut Kodoatie dan Syarief (2006) antara lain adalah adanya perubahan
guna lahan, pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh
di sepanjang sungai, sistem pengendalian banjir yang tidak tepat, curah
hujan tinggi, fisiografi sungai, kapasitas sungai yang tidak memadai,
pengaruh air pasang, penurunan tanah, bangunan air, dan kerusakan
bangunan pengendali banjir. Selain itu, banjir juga dapat terjadi akibat
pengaruh dari kegiatan manusia atau pembangunan yang kurang
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan. Banyaknya
pemanfatan ruang yang kurang memperhatikan kemampuannya dan
melebihi kapasitas daya dukungnya.
Secara umum dampak yang disebabkan oleh banjir dapat bersifat
langsung maupun tidak langsung. Kodoatie dan Syarief (2006) memberikan
beberapa contoh dampak atau kerugian banjir, antara lain adalah hilangnya
nyawa atau terluka, hilangnya harta benda, kerusakan pemukiman,
kerusakan wilayah perdagangan, kerusakan wilayah industri, kerusakan
areal pertanian, kerusakan sistem drainase dan irigasi, kerusakan jalan dan
rel kereta api, kerusakan jalan raya, jembatan, dan bandara, serta
kerusakan sistem telekomunikasi.
Upaya pengelolaan banjir secara struktural menurut Rosyidie (2013)
antara lain berupa tindakan menormalisasi sungai, karena sewajarnya
daerah di sekitar aliran sungai merupakan kawasan lindung. Selain itu,
upaya lain yang dapat dilakukan adalah pembangunan waduk pengendali
banjir, pengurangan debit puncak banjir, dll.
Desa Clering sering mengalami masalah banjir dalam beberapa tahun
terakhir. Seperti yang tercatat pada tahun 2013, akibat hujan deras yang
mengguyur wilayah Jepara, menyebabkan banjir di dua desa di Kecamatan
Donorojo, yaitu Desa Clering dan Desa Sumbermulyo (Oliez, 2013). Banjir
yang melanda kawasan ini terjadi akibat tanggul Sungai (kali) Gedhe yang
melintasi wilayah Clering dan Sumbermulyo jebol karena tak kuat menahan
debit air. Ketidakmampuan tanggul dalam menahan debit air yang tinggi
dapat disebabkan karena adanya kerusakan di daerah hulu, yaitu kawasan
hutan. Kerusakan di daerah hulu yang membuat air mengalir deras menuju
ke hilir menjadi aliran air permukaan dan tidak ada yang disimpan didalam
tanah. Jika hal tersebut terjadi, maka volume air yang mengalir ke hilir akan
semakin banyak bahkan diluar kapasitas daerah hilir sehingga
menyebabkan banjir.
Berikut ini merupakan pemetaan wilayah Jepara berdasarkan tingkat
kerawanannya terhadap banjir (Gambar 5.) serta penjelasan mengenai
status kerawanannya akan disajikan pada Tabel 2.
Selain potensi flora dan fauna, kawasan Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC) yang merupakan bagian dari kelompok Gunung Muria ini memiliki
beberapa puncak gunung dan terdapat banyak sumber mata air.
Gambar 3. Kondisi kawasan hutan CAGC, Jepara, Jawa Tengah
Kawasan konservasi Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) mengalami
pengaruh tekanan dari masyarakat yang tinggal disekitar kawasan CAGC
tersebut sehingga menyebabkan kondisi kawasan CAGC saat ini mulai
terganggu. Bahkan pada tahun 2007, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Jepara menyatakan bahwa kerusakan kawasan Cagar Alam Gunung
Clering (CAGC) telah mencapai sekitar 30% dari luas kawasan seluruhnya.
Gangguan yang dialami oleh kawasan konservasi CAGC ini salah satunya
adalah dikarenakan adanya perambahan hutan oleh masyarakat sekitar seluas
662 ha (BKSDA Jawa Tengah, 2008). Menurut Zain (1996), perambahan hutan
merupakan kegiatan pembukaan lahan hutan dengan tujuan untuk memiliki,
menguasai, dan memanfaatkan hasil hutan tanpa melihat dan memperhatikan
fungsi pokok yang diemban oleh suatu kawasan hutan. Perambahan ini dapat
dilakukan oleh perorangan atau kelompok baik dalam jumlah sedikit atau banyak
yang berusaha untuk menduduki suatu kawasan hutan yang akan dijadikan
sebagai areal pertanian dan perkebunan baik itu sifatnya sementara maupun
dalam waktu yang cukup lama. Perambahan hutan ini tidak terbatas pada
pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan melainkan juga dalam bentuk
penjarahan hutan untuk mengambil kayu-kayunya ataupun bentuk usaha lain
yang dilakukan secara illegal.
Perambahan hutan kawasan Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) yang
dilakukan oleh masyarakat setempat lebih pada kegiatan pembukaan lahan
hutan untuk pertanian dan perkebunan. Masyarakat menanami kawasan tersebut
dengan beberapa komoditas pangan dan komoditas komersial antara lain adalah
komoditas padi (Oryza sativa), singkong (Manihot esculenta), ketela rambat
(Ipomea batatas), jagung (Zea mays), kacang-kacangan, manga (Mangifera
indica), kelapa (Cocos nucifera), petai (Parkia speciosa), kepel (S. burahol),
kecapi (Sandoricum koetjapi), dan kapuk randu (Ceiba petandra) (Kalima dan
Heriyanto, 2014).
Perambahan hutan seringkali dilakukan masyarakat karena adanya
beberapa faktor yang mendorong hal tersebut terjadi, diantaranya adalah faktor
ekonomi masyarakat sekitar hutan yang digambarkan sebagai masyarakat petani
miskin (Sylvani, 2008), motivasi petani untuk memiliki lahan di kawasan lindung
(tenurial) (Sarjono, 1998), aspek pengamanan hutan yaitu kurangnya jumlah
petugas pengawas kehutanan sehingga mendorong berkembangnya free riders
dan pelaku ekonomi melakukan illegal logging (Effendi, et al., 2007), belum
sinkrinnya program antar sector kehutanan dan pengembangan tanaman pangan
dan hortikultura yang ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat di
sekitar hutan lindung (Andri, 2002), serta penegakan hukum dan ekonomi rumah
tangga di sekitar kawasan hutan belum tertangani secara optimal (Subarna,
2011).
Penyebab kerusakan kawasan CAGC lainnya adanya penambangan batu,
kebakaran hutan, penebangan secara tidak bijaksana, dan perburuan liar (BKSD
Jawa Tengah, 2009). Penambangan batu dilakukan di kawasan CAGC adalah
berupa watu putih atau batu gamping yang akan dimanfaatkan masyarakat
sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Kerusakan yang ditimbulkan oleh
adanya penambangan batu ini diantaranya adalah kerusakan jalan serta
kerusakan ekosistem yang ada di daerah tersebut. Selain itu, kawasan tersebut
menjadi kawasan yang selalu terpapar debu gamping akibat penambangan.
Penambangan batu di kawasan CAGC dapat dilihat pada gambar berikut: