Anda di halaman 1dari 18

TUGAS KULIAH

TEKNOLOGI KONSERVASI SUMBERDAYA LAHAN


Isu-Isu Konservasi Sumberdaya Lahan di Kawasan
Gunung Clering, Jepara

Dosen Pengampu:
Ir. Didik Suprayogo, M.Sc., Ph.D.

Disusun Oleh:
Nama : Lizara Budi Asih
NIM : 155040200111051
Kelas :E

PROGRAM STUDI AGROEKOTEKNOLOGI


FAKULTAS PERTANIAN
UNIVERSITAS BRAWIJAYA
MALANG

2017
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kabupaten Jepara merupakan salah satu kabupaten di Indonesia yang
memiliki potensi alam yang sangat beragam. Potensi alam yang dimiliki
Kabupaten Jepara banyak dimanfaatkan sebagai objek wisata alam, mulai dari
pantai, pegunungan, hingga air terjun dikelola dengan baik. Selain kawasan
wisata alam, Kabupaten Jepara juga memiliki kawasan cagar alam, yaitu Cagar
Alam Gunung Clering, Cagar Alam Keling Ia, Ib, dan Ic, Cagar Alam Keling II/III,
dan Cagar Alam Kembang.
Salah satu cagar alam di Jepara yang telah berstatus kritis saat ini adalah
Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) yang terletak di antara Desa Banyumanis,
Jugo, Ujungwatu, Clering, Sumber Rejo, dan Blingo, Kecamatan Keling,
Kabupaten Jepara. Kawasan Gunung Clering ini ditetapkan sebagai kawasan
cagar alam berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan RI Nomor 755/Kpts-
II/1989, tanggal 16 Desember 1989, dengan luas area 1.328,40 ha. Kawasan
cagar alam tersebut merupakan kawasan konservasi atau pelestarian alam
terutama yang digunakan untuk pariwisata dan rekreasi alam.
Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) termasuk salah satu kawasan
konservasi karena memiliki potensi flora dan fauna yang beragam serta perlu
untuk dilindungi. Namun, meskipun Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) ini
merupakan kawasan konservasi, keragaman jenis pohonnya selalu mengalami
penurunan akibat bencana alam maupun aktivitas masyarakat yang
memanfaatkan sumberdaya alam di kawasan tersebut dengan tidak bijaksana
dan tidak memikirkan keberlanjutannya. Selama beberapa tahun terakhir,
ekosistem hutan kawasan Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) semakin
terpengaruh oleh tekanan manusia akibat adanya alih fungsi lahan hutan menjadi
lahan pertanian dan perkebunan. Alih fungsi lahan hutan tersebut dapat
menurunkan fungsi hutan sebagai penyangga sistem kehidupan. Selain itu,
kestabilan ekosistem dapat berubah akibat adanya gangguan pada fungsi hutan
tersebut.
Pada tahun 2007, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten
Jepara menyatakan bahwa kerusakan kawasan Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC) telah mencapai sekitar 30% dari luas kawasan seluruhnya (Suara
Merdeka, 2007). Jika kerusakan terhadap kawasan Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC) tidak segera ditindaklanjuti maka akan mengancam potensi-potensi yang
ada di kawasan tersebut, baik potensi flora maupun fauna.
Oleh karena itu, dalam upaya penyelamatan Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC) perlu adanya strategi pengelolaan yang harus dipilih dan diterapkan
agar dapat memulihkan kerusakan yang telah tejadi dan tetap menjaga
ekosistem hutan agar berjalan semestinya.
1.2 Dampak Gangguan
Kawasan konservasi Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) yang
seharusnya menjadi tempat dalam mengupayakan pelestarian, perlindungan,
dan pemanfaatan sumberdaya secara berkelanjutan justru mengalami tekanan
oleh manusia akibat alih fungsi lahan hutan menjadi lahan pertanian dan
perkebunan secara tidak bijaksana dan tidak berkelanjutan. Hal tersebut
berdampak pada keseimbangan ekosistem hutan dan berakibat pada putusnya
siklus hidrologi. Berikut ini merupakan dampak yang dapat terjadi akibat
gangguan yang terjadi pada kawasan konservasi Cagar Alam:
a) Erosi
Erosi merupakan suatu peristiwa dimana tanah itu dihancurkan,
kemudian terangkat dan diendapkan. Karakteristik geomorfologi wilayah
dan penggunaan lahan memberikan kontribusi terhadap terjadinya erosi,
misalkan di daerah yang mempunyai kemiringan lahan (slope) tinggi dan
tutupan vegetasinya rendah akan mempunyai potensi erosi dan longsoran
yang tinggi (Satriawan, 2010). Erosi akan sangat mudah terjadi pada lahan
yang berlereng, karena bentuk lahan tersebut cenderung miring dan
memicu tanah untuk mudah terkikis. Menurut Mulyani dan Kartasapoetra
(2005), tanah yang berlereng atau tanah yang bersifat kurang dapat
menyimpan/meneruskan air dapat menyebabkan air hujan yang turun akan
lebih banyak hilang sebagai air runoff atau aliran permukaan yang dapat
menimbulkan dua kerugian, yaitu yang pertama, tanaman akan kekurangan
air karena air yang seharusnya meresap ke dalam tanah dan menjadi
groundwater justru hanya menjadi aliran air permukaan. Kedua, aliran air
permukaan tersebut selain mengalir dengan cepat juga dapat mengangkut
bahan-bahan tanah atas (lapisan olah) yang umumnya subur.
Potensi terjadinya erosi juga dipengaruhi terutama oleh penggunaan
lahan pada daerah hulu. Penggunaan lahan yang berupa perkebunan dan
hutan produksi dengan tingkat kelerengan yang cukup terjal atau curam
tanpa menggunakan teknik konservasi yang tepat dan memadai serta jenis
tanah yang sangat peka terhadap erosi dan didukung dengan curah hujan
yang cukup tinggi dapat memicu terjadinya erosi.
Selain bentuk lahan, aliran air, dan penggunaan, struktur tanah juga
mempengaruhi laju erosi pada suatu lahan. Tanah yang memiliki struktur
granule atau gembur cenderung mudah mengalami erosi karena partikel
tanah yang kecil dapat dengan mudah terangkat dan terangkut oleh aliran
permukaan. Menurut Bukit, et al. (2013), tanah yang kurang memiliki ikatan
antar-partikelnya dengan keadaan curah hujan yang tinggi dapat
meningkatkan terangkutnya partikel-partikel tanah atau erosi.
Upaya pengendalian erosi dapat dilakukan melalui teknik konservasi tanah
dan air. Pengendalian atau penanggulangan erosi bertujuan untuk
mencegah kerusakan tanah oleh erosi, memperbaiki tanah yang rusak,
memelihara serta meningkatkatkan produktivitas tanah agar dapat
digunakan secara lestari. Upaya pengendalian ini dapat dilakukan melalui
tiga pendekatan, yaitu metode vegetatif, metode mekanik, dan metode
kimia. Vegetasi dapat berdungsi dalan konservasi tanah dan air karena
memiliki beberapa manfaat yang mendukung terciptanya pertanian
berkelanjutan (Satriawan, 2010). Menurut Hamilton dan King (1997),
vegetative memiliki beberapa manfaat yang merupakan ciri pertanian
berkelanjutan seperti konservasi, reklamasi, dan memiliki nilai ekonomi
yang tinggi.
Berikut ini efisiensi relatif beberapa golongan vegetasi dalam
pencegahan erosi (efisiensi berkurang ke bawah) (Arsyad, 2001):
Tabel 1. Tipe vegetasi dan arahan penggunaannya untuk fungsi
pengendalian erosi tanah.
No. Golongan Vegetasi Contoh
1 Vegetasi permanen Hutan lebat dengan semak
dan seresah
Padang rumput lebat
Kebun tahunan dengan
penutup yang baik
Alang-alang lebat
2 Padang rumput campuran Alfalfa + rumput brome
Clover + timothy
Alfa fercue + birdsfoot trefoil
3 Leguminosa berbiji kecil Clover dan alfalfa
4 Serealia berbiji kecil Rye, wheat, barley, oats
5 Leguminosa berbiji besar Kedelai, kacang tanah, field
peas
6 Tanaman semusim yang ditanam Tembakau, kentang, ubi kayu,
dalam barisan jagung/sorghum
7 Tanah gundul tanpa vegetasi Saat pengolahan tanah
sampai tanaman tumbuh,
tanah terbuka tanpa vegetasi
penutup
b) Banjir
Banjir merupakan peristiwa terjadinya genangan pada suatu daerah
sebagai akibat meluapnya air sungai yang tidak mampu ditampung oleh
sungai. Selain itu, banjir adalah interaksi antara manusia dengan alam dan
sistem alam itu sendiri. Banjir merupakan aspek interaksi manusia dengan
alam yang timbul dari proses dimana manusia mencoba untuk
memanfaatkan alam dan menghindari alam yang merugikan.
Penyebab terjadinya banjir dapat dikarenakan oleh kondisi dan
fenomena alam (topografi, curah hujan), kondisi geografis daerah dan
kegiatan manusi yang berdampak pada perubahan tata ruang atau guna
lahan di suatu daerah (Rosyidie, 2013). Penyebab lain terjadinya banjir
menurut Kodoatie dan Syarief (2006) antara lain adalah adanya perubahan
guna lahan, pembuangan sampah, erosi dan sedimentasi, kawasan kumuh
di sepanjang sungai, sistem pengendalian banjir yang tidak tepat, curah
hujan tinggi, fisiografi sungai, kapasitas sungai yang tidak memadai,
pengaruh air pasang, penurunan tanah, bangunan air, dan kerusakan
bangunan pengendali banjir. Selain itu, banjir juga dapat terjadi akibat
pengaruh dari kegiatan manusia atau pembangunan yang kurang
memperhatikan kaidah-kaidah konservasi lingkungan. Banyaknya
pemanfatan ruang yang kurang memperhatikan kemampuannya dan
melebihi kapasitas daya dukungnya.
Secara umum dampak yang disebabkan oleh banjir dapat bersifat
langsung maupun tidak langsung. Kodoatie dan Syarief (2006) memberikan
beberapa contoh dampak atau kerugian banjir, antara lain adalah hilangnya
nyawa atau terluka, hilangnya harta benda, kerusakan pemukiman,
kerusakan wilayah perdagangan, kerusakan wilayah industri, kerusakan
areal pertanian, kerusakan sistem drainase dan irigasi, kerusakan jalan dan
rel kereta api, kerusakan jalan raya, jembatan, dan bandara, serta
kerusakan sistem telekomunikasi.
Upaya pengelolaan banjir secara struktural menurut Rosyidie (2013)
antara lain berupa tindakan menormalisasi sungai, karena sewajarnya
daerah di sekitar aliran sungai merupakan kawasan lindung. Selain itu,
upaya lain yang dapat dilakukan adalah pembangunan waduk pengendali
banjir, pengurangan debit puncak banjir, dll.
Desa Clering sering mengalami masalah banjir dalam beberapa tahun
terakhir. Seperti yang tercatat pada tahun 2013, akibat hujan deras yang
mengguyur wilayah Jepara, menyebabkan banjir di dua desa di Kecamatan
Donorojo, yaitu Desa Clering dan Desa Sumbermulyo (Oliez, 2013). Banjir
yang melanda kawasan ini terjadi akibat tanggul Sungai (kali) Gedhe yang
melintasi wilayah Clering dan Sumbermulyo jebol karena tak kuat menahan
debit air. Ketidakmampuan tanggul dalam menahan debit air yang tinggi
dapat disebabkan karena adanya kerusakan di daerah hulu, yaitu kawasan
hutan. Kerusakan di daerah hulu yang membuat air mengalir deras menuju
ke hilir menjadi aliran air permukaan dan tidak ada yang disimpan didalam
tanah. Jika hal tersebut terjadi, maka volume air yang mengalir ke hilir akan
semakin banyak bahkan diluar kapasitas daerah hilir sehingga
menyebabkan banjir.
Berikut ini merupakan pemetaan wilayah Jepara berdasarkan tingkat
kerawanannya terhadap banjir (Gambar 5.) serta penjelasan mengenai
status kerawanannya akan disajikan pada Tabel 2.

Gambar 1. Peta kerawanan banjir Kabupaten Jepara


Tabel 1. Status kerawanan banjir
No. Nama Kecamatan Hasil Status
1 Kedung 4,05 Sangat rawan
2 Pecangaan 3,35 Rawan
3 Kalinyamatan 3,4 Sangat rawan
4 Welahan 3,45 Sangat rawan
5 Mayong 2,65 Tidak rawan
6 Nalumsari 2,55 Tidak rawan
7 Batealit 2,6 Tidak rawan
8 Tahunan 4,1 Sangat rawan
9 Jepara 3,05 Rawan
10 Mlonggo 3,1 Rawan
11 Bangsri 2,4 Tidak rawan
12 Kembang 4,05 Sangat rawan
13 Keling 3,35 Rawan
c) Tanah longsor
Tanah longsor adalah perpindahan material pembentuk lereng berupa
batuan, bahan rombakan, tanah, atau material campuran tersebut,
bergerah ke bawah atau keluar lereng. Proses terjadinya tanah longsor
dapat diterangkan sebagai berikut: air yang meresap ke dalam tanah akan
menambah bobot tanah. Jika air tersebut menembus sampai tanah kedap
air yang berperan sebagai bidang gelincir, maka tanah menjadi licin dan
tanah pelapukan di atasnya akan bergerak mengikuti lereng dan keluar
lereng (Nandi, 2007).
Gejala umum terjadinya longsor adalah ditandai dengan adanya
retakan-retakan dilereng atau tebing terlihat rapuh dan berjatuhan. Faktor
penyebab terjadinya tanah longsor diantaranya adalah hujan, lereng yang
terjal, tanah yang kurang kuat dan padat, batuan yang kurang kuat, jenis
tata lahan, getaran, susut muka air danau atau bendungan, adanya beban
tambahan, pengikisan atau erosi, adanya material timbunan tebing, dll.
Terjadinya tanah longsor akan menimbulkan dampak terhadap
lingkungan, diantaranya yaitu terjadinya kerusakan lahan, hilangnya
vegetasi penutup lahan, terganggunya keseimbangan ekosistem, lahan
menjadi kritis sehingga cadangan air bawah tanah menipis, dapat menutup
lahan yang lain seperti lahan sawah, kebun dan lahan produktif lainnya.
Upaya untuk meminimalisir terjadinya bencana tanah longsor antara
lain adalah tidak menebang pohon di lereng, tidak mencetak sawah pada
lereng bagian atas didekat pemukiman, dsb (Nandi, 2007).
Selain banjir, Jepara juga termasuk kawasan rawan longsong. Pada
2014 lalu tercatat bahwa beberapa desa diempat kecamatan terkena
longsor. Diantaranya Desa Bungu (Mayong), Desa Tanjung (Mlonggo),
Desa Tempur (Keling), juga Desa Sumber Rejo (Donorojo) yang termasuk
dalam wilayah kawasan Cagar Alam Gunung Clering (R-Lisa, 2014).
d) Berkurangnya cadangan air
Daerah hulu merupakan kawasan yang berfungsi sebagai resapan air
untuk menahan aliran air secara langsung sebagai aliran permukaan
menuju ke daerah hilir. Air yang meresap ke dalam tanah nantinya akan
menjadi groundwater dan akan menjadi cadangan air ketika musim
kemarau datang. Hutan sebagai daerah hulu memiliki peranan penting
dalam hal penyimpanan air karena pada dasarnya hutan memiliki banyak
jenis vegetasi, terutama jenis pohon, yang mampu membantu penyerapan
air melalui perakarannya.
Apabila kegiatan perambahan dan alih fungsi lahan menjadi kawasan
lahan pertanian atau produksi tanaman non konservasi semakin besar
maka akan semakin meningkatkan volume air yang melaju dari hulu ke hilir
sebagai aliran permukaan. Jika hal tersebut terjadi, maka akan berdampak
pada cadangan air tanah pada kawasan tersebut dan dapat meningkatkan
resiko erosi pada lapisan topsoil akibat laju aliran permukaan terlalu cepat.
Cadangan air tanah dalam jumlah yang sedikit akan menyebabkan
kekurangan air pada saat musim kemarau tiba karena tidak ada air yang
dapat diberikan alam untuk memenuhi kebutuhan manusia.
e) Kerusakan lingkungan
Peladangan liar, kebakaran hutan dan lahan, pemberian konsesi hutan
(HPH), pembukaan hutan untuk transmigrasi dan perkebunan besar, serta
pencurian hasil hutan dapat menyebabkan kerusakan ekosistem secara
besar-besaran. Akibatnya, keanekaragaman flora dan fauna hutan dapat
menurun drastis dan terancam hilang atau punah, serta manfaat hutan bagi
manusia dapat terganggu atau hilang sama sekali. Selain itu, secara tidak
langsung manfaat hutan juga akan ikut hilang. Misalnya, hutan sebagai
pengatur tata air di alam (hidrologi), memberi keindahan alam, menjaga
kelembaban udara, memelihara iklim lokal, habitat satwa liar, sumber
plasma nutfah, kepentingan rekreasi, kepentingan ilmiah, dan lain-lain
(Kehati, 2000).
BAB II

KARAKTERISTIK DAN PERMASALAHAN


Kawasan konservasi Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) merupakan
salah satu kawasan cagar alam yang terdapat di Kabupaten Jepara. Gunung
Clering ditunjuk sebagai kawasan cagar alam berdasarkan SK Menteri Pertanian
Nomor 634/Kpts/Um/12/1975, tanggal 23 Desember 1975 dan dikukuhkan
berdasarkan SK Menteri Kehutanan RI Nomor 755/Kpts-II/1989, tanggal 16
Desember 1989. Luas keseluruhan kawasan CAGC adalah 1.328,40 ha.
Kawasan CAGC dikelilingi oleh enam desa, yaitu Desa Banyumanis, Jugo,
Ujungwatu, Clering, Sumber Rejo dan Blingo.
Secara geografis, kawasan ini terletak antara 6 24 LS - 6 28 LS dan
110 54 BT - 110 57 BT. Sedangkan secara topografi, kawasan ini termasuk
daerah yang bergelombang hingga berbukit terjal dan bergunung-gunung
dengan tingkat kelerengan 15 70%. Curah hujan rata-rata 3.588 mm/tahun,
suhu udara antara 20 36 C dengan ketinggian 40 700 m di atas permukaan
laut dan termasuk hutan pegunungan bawah (sub-montaine forest) (BKSDA
Jawa Tengah, 2005).

Gambar 2. Kawasan cagar alam di Kabupaten Jepara


Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) termasuk dalam kawasan konservasi
karena memiliki potensi flora dan fauna yang beragam dan perlu dilindungi.
Berdasarkan hasil inventarisasi flora dan fauna pada tahun 2001, berikut
merupakan potensi flora dan fauna yang terdapat di Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC) (BKSDA Jawa Tengah, 2008):
a) Jenis flora
Potensi flora di kawasan CAGC diantaranya adalah bendo (Artocarpus
elasticus), brasan (Tarenna incerta), dualolo (Spatudia sp.), jerakah (Ficus
superba), kalongan (Sterculia sp.), kedoya (Dysoxylum amooroides),
kedondong hutan (Spondias pinnata), jenggi (Eurya japinica), girang (Lee a
sp.), jangkar (Rhizophora sp.), jaranan (Polyscia nodosa), jengkol
(Pithecelobium lobatum), kedawung (Parkia roxburghii), ingas (Gluta
reghas), gintungan (Bischofia javanica), gondang hijau (Ficus variegata),
kemiri (Aleurites maluccana), dan randu (Ceiba pentandra).
b) Jenis fauna
Sedangkan potensi fauna di kawasan CAGC diantaranya adalah babi
hutan (Sus sp.), bajing tanah (Lariscus hosei), bajing terbang (Lomys
horfieldi), ular (Trimeresurus albolabris), alap-alap (Accipitridae), burung
kutilang (Pycnonotus sp.), prenjak (Prinia sp.), ayam hutan (Gallus sp.),
raja udang (Alcedinidae), sendang lawe (Ciconia sp.), trucukan
(Pycnonotus goaivier), sesap madu (Melliphagidae), sriti (Collacallia sp.),
tekukur (Streptopedia chinensis), platuk besi (Threskiornis aethiopicus),
dan emprit (Lonchura sp.).
Hasil inventarisasi potensi vegetasi di kawasan CAGC pada tahun 2001
secara keseluruhan tercatat sebanyak 35 jenis tingkat pohon, 43 jenis tingkat
belta, dan 30 jenis tingkat semai (BKSDA Jawa Tengah, 2001). Kondisi vegetasi
tersebut mengalami penurunan pada beberapa tahun terakhir. Berdasarkan hasil
inventarisasi potensi vegetasi di kawasan CAGC pada tahun 2013 diperoleh
jumlah total pohon sebanyak 134 individu per hektar dan jumlah total anakan
pohon 168 individu batang per hektar yang terdiri dari 32 jenis, 29 genus, dan 21
famili (Tabel 2.) (Kalima dan Heriyanto, 2014).
Tabel 2. Daftar jenis pohon di kawasan Cagar Alam Gunung Clering

Selain potensi flora dan fauna, kawasan Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC) yang merupakan bagian dari kelompok Gunung Muria ini memiliki
beberapa puncak gunung dan terdapat banyak sumber mata air.
Gambar 3. Kondisi kawasan hutan CAGC, Jepara, Jawa Tengah
Kawasan konservasi Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) mengalami
pengaruh tekanan dari masyarakat yang tinggal disekitar kawasan CAGC
tersebut sehingga menyebabkan kondisi kawasan CAGC saat ini mulai
terganggu. Bahkan pada tahun 2007, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan
Kabupaten Jepara menyatakan bahwa kerusakan kawasan Cagar Alam Gunung
Clering (CAGC) telah mencapai sekitar 30% dari luas kawasan seluruhnya.
Gangguan yang dialami oleh kawasan konservasi CAGC ini salah satunya
adalah dikarenakan adanya perambahan hutan oleh masyarakat sekitar seluas
662 ha (BKSDA Jawa Tengah, 2008). Menurut Zain (1996), perambahan hutan
merupakan kegiatan pembukaan lahan hutan dengan tujuan untuk memiliki,
menguasai, dan memanfaatkan hasil hutan tanpa melihat dan memperhatikan
fungsi pokok yang diemban oleh suatu kawasan hutan. Perambahan ini dapat
dilakukan oleh perorangan atau kelompok baik dalam jumlah sedikit atau banyak
yang berusaha untuk menduduki suatu kawasan hutan yang akan dijadikan
sebagai areal pertanian dan perkebunan baik itu sifatnya sementara maupun
dalam waktu yang cukup lama. Perambahan hutan ini tidak terbatas pada
pembukaan lahan untuk pertanian dan perkebunan melainkan juga dalam bentuk
penjarahan hutan untuk mengambil kayu-kayunya ataupun bentuk usaha lain
yang dilakukan secara illegal.
Perambahan hutan kawasan Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) yang
dilakukan oleh masyarakat setempat lebih pada kegiatan pembukaan lahan
hutan untuk pertanian dan perkebunan. Masyarakat menanami kawasan tersebut
dengan beberapa komoditas pangan dan komoditas komersial antara lain adalah
komoditas padi (Oryza sativa), singkong (Manihot esculenta), ketela rambat
(Ipomea batatas), jagung (Zea mays), kacang-kacangan, manga (Mangifera
indica), kelapa (Cocos nucifera), petai (Parkia speciosa), kepel (S. burahol),
kecapi (Sandoricum koetjapi), dan kapuk randu (Ceiba petandra) (Kalima dan
Heriyanto, 2014).
Perambahan hutan seringkali dilakukan masyarakat karena adanya
beberapa faktor yang mendorong hal tersebut terjadi, diantaranya adalah faktor
ekonomi masyarakat sekitar hutan yang digambarkan sebagai masyarakat petani
miskin (Sylvani, 2008), motivasi petani untuk memiliki lahan di kawasan lindung
(tenurial) (Sarjono, 1998), aspek pengamanan hutan yaitu kurangnya jumlah
petugas pengawas kehutanan sehingga mendorong berkembangnya free riders
dan pelaku ekonomi melakukan illegal logging (Effendi, et al., 2007), belum
sinkrinnya program antar sector kehutanan dan pengembangan tanaman pangan
dan hortikultura yang ditujukan untuk kepentingan kesejahteraan masyarakat di
sekitar hutan lindung (Andri, 2002), serta penegakan hukum dan ekonomi rumah
tangga di sekitar kawasan hutan belum tertangani secara optimal (Subarna,
2011).
Penyebab kerusakan kawasan CAGC lainnya adanya penambangan batu,
kebakaran hutan, penebangan secara tidak bijaksana, dan perburuan liar (BKSD
Jawa Tengah, 2009). Penambangan batu dilakukan di kawasan CAGC adalah
berupa watu putih atau batu gamping yang akan dimanfaatkan masyarakat
sebagai bahan bangunan dan lain sebagainya. Kerusakan yang ditimbulkan oleh
adanya penambangan batu ini diantaranya adalah kerusakan jalan serta
kerusakan ekosistem yang ada di daerah tersebut. Selain itu, kawasan tersebut
menjadi kawasan yang selalu terpapar debu gamping akibat penambangan.
Penambangan batu di kawasan CAGC dapat dilihat pada gambar berikut:

Gambar 4. Penambangan watu putih di Gunung Clering


Penebangan pohon secara tidak bijaksana juga dapat memicu terjadinya
kerusakan hutan di kawasan Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) karena
dengan adanya penebangan pohon secara tidak bijaksana akan membuat tanah
atau lahan di daerah tersebut menjadi kosong atau terbuka. Tanah terbuka
cenderung meningkatkan erosi karena tidak ada tanaman yang tumbuh dia atas
tanah tersebut. Pada dasarnya perakaran pohon-pohon atau tanaman dapat
membantu penyerapan air ke dalam tanah serta dapat mencengkeram tanah
sehingga tidak mudah terbawa oleh aliran air atau terkikis. Menurut Johns (1997)
dan Whitmore (1984) dalam Kalima dan Heriyanto (2014), pembalakan hutan
dapat merusak sampai dengan 50% jumlah pohon dibanding sebelumnya.
Jika perambahan hutan, penambangan, serta perburuan liar terus
berlangsung dikhawatirkan keberadaan flora maupun fauna tertentu di kawasan
CAGC akan semakin berkurang bahkan mengalami kepunahan. Berdasarkan
hasil penelitian Kalima dan Heriyanto (2014) terdapat enam jenis pohon
terancam punah menurut kategori IUCN di Cagar Alam Gunung Clering (CAGC),
yaitu A. scholaris (L.) R.Br. (lower risk = resiko rendah), A. angustifolia Wall
(lower risk = resiko rendah), D. hasseltii Blume (critically endangered = sangat
terancam punah), P. javanica (Lamk.) Merr. (vulnerable = rentan), S. cordata
Blume (least concern = sedikit perhatian).
Gambar 4. Kondisi beberapa tumbuhan di Cagar Alam Gunung Clering, A =
Dipterocarpus haseltii, B = Sterculia cordata, C = Sandoricum koetjapi, dan D =
Alstonia scholaris di kawasan CAGC.
Selain itu, kerusakan pada kawasan CAGC juga dapat menurunkan fungsi
ekosistem hutan sebagai penyangga sistem kehidupan dan pada akhirnya akan
berdampak negatif pula bagi masyarakat. Dampak negatif akibat rusaknya
kawasan konservasi Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) yang dapat dirasakan
oleh masyarakat sekitar diantaranya adalah terjadinya bencana alam seperti
banjir, tanah longsor, dan kekeringan.
Permasalahan yang lain yang benar-benar harus diperhatikan adalah
persamaan visi antara masyarakat setempat dan para pengelola Cagar Alam
Gunung Clering (CAGC) dalam menjaga, merawat, dan mempertahankan
kelestarian kawasan konservasi CAGC tersebut. Persamaan visi antara kedua
belah pihak dapat memunculkan rasa kepedulian secara alami dari masyarakat
setempat sehingga masyarakat dengan sadar dan suka rela turut menjaga dan
mempertahankan kawasan tersebut. Sedangkan, jika perbedaan visi tetap terjadi
antara kedua belah pihak maka permasalahan-permasalahan lain, seperti
perambahan hutan, alih fungsi lahan, pembalakan liar, perburuan liar,
penambangan, dan lain sebagainya, akan terus terjadi dan akan semakin
merusak kawasan konservasi tersebut.
BAB III
STRATEGI PENGELOLAAN
Permasalahan yang terjadi di kawasan konservasi Cagar Alam Gunung
Clering (CAGC) Jepara sangatlah kompleks, sehingga perlu dilakukan upaya
pendekatan konservasi yang dapat dipahami, diterima, dan dilaksanakan oleh
masyarakat sekitar kawasan CAGC dan pemerintah yang mengelola kawasan
CAGC dengan kerjasama yang baik antara kedua pihak tersebut. Kerjasama
dalam upaya pengelolaan CAGC ini merupakan salah satu cara untuk
mempertahankan keaslian ekosistem dengan tetap menjaga kelestarian
keanekaragaman hayati yang ada tetapi tetap memperhatikan kebutuhan hidup
masyarakat sekitarnya. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 tentang
Sumberdaya Alam Hayati dan Ekosistemnya menyatakan bahwa kawasan cagar
alam adalah kawasan suaka alam karena keadaan alamnya mempunyai
kekhasan tumbuhan, satwa dan ekosistemnya atau ekosistem tertentu yang
perlu dilindungi dan perkembangannya berlangsung secara alami.
Untuk mempertahankan dan menjaga keberlangsungan Cagar Alam
Gunung Clering (CAGC), maka perlu dilakukan beberapa strategi pengelolaan
kawasan tersebut. Beberapa strategi yang dapat dilakukan dalam upaya
menyelamatkan Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) adalah:
1) Memperketat penjagaan kawasan Cagar Alam Gunung Clering (CAGC)
Menurut Kalima dan Heriyanto (2014), kawasan CAGC berdasarkan
kondisi tutupan lahannya dibagi menjadi dua, yaitu kawasan yang
kondisinya masih utuh dan kawasan yang kondisinya sudah berubah.
Kawasan yang kondisinya masih utuh, diperkirakan sekitar 50%, harus
dijaga ketat agar tidak mengalami kerusakan atau perubahan kondisi ke
arah yang lebih buruk. Untuk mendukung upaya penjagaan ketat terhadap
kawasan CAGC yang masih utuh, maka perlu adanya pembangunan pos
penjagaan di sekitar CAGC. Pembangunan pos penjagaan tersebut tentu
saja harus sejalan dengan adanya penyediaan alokasi petugas
pengamanan.
2) Penyuluhan kepada masyarakat sekitar
Masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan Cagar Alam Gunung
Clering (CAGC) merupakan salah satu kunci sukses dalam pelaksanaan
penyelamatan kawasan tersebut. Pemahaman masyarakat akan
pentingnya konservasi akan sangat mempengaruhi keberhasilan upaya
konservasi CAGC. Kalima dan Heriyanto (2014) menyatakan bahwa
pemahaman masyarakat sekitar CAGC tentang konservasi masih rendah
dan dipicu dengan kondisi sosial ekonomi yang masih rendah pula
sehingga perlu adanya penyuluhan kepada masyarakat. Penyuluhan ini
bertujuan agar masyarakat dapat lebih memahami pentingnya konservasi
kawasan hutan di CAGC sehingga masyarakat tersebut dapat bekerja
sama dengan pemerintah pengelola kawasan tersebut dengan baik.
3) Membersihkan tanaman introduksi
Kawasan CAGC yang telah mengalami perubahan kondisi harus
ditangani secara tepat dengan perlakuan yang sesuai. Kawasan yang
rusak akibat adanya introduksi jenis tumbuhan harus dilakukan
pembersihan untuk kemudian ditanami dengan jenis tumbuhan yang sesuai
dengan jenis tumbuhan yang ada pada kawasan belum terganggu. Hal ini
didasarkan pada Undang-Undang Pasal 10 Nomor 5 Tahun 1990, yaitu
sistem penyangga yang telah mengalami kerusakan perlu dilakukan
rehabilitasi secara berencana dan berkelanjutan. Menurut Mangoendidjojo
(2003), introduksi tanaman adalah memindahkan spesies atau varietas
tanaman dari suatu tempat yang dianggap sebagai pusat penyebarannya
ke tempat baru.
4) Melakukan restorasi
Restorasi atau penanaman dengan jenis asli merupakan salah satu
upaya yang dilakukan dalam proses pengamanan vegetasi jenis asli
kawasan tersebut serta upaya untuk memulihkan kawasan yang kondisinya
telah berubah dan rusak. Proses pengamanan dan restorasi harus
dilakukan dengan benar untuk mempertahankan bahwa cagar alam
mempunyai kepentingan utama sebagai tempat penelitian. Keberadaan
cagar alam perlu diupayakan agar ada pihak-pihak yang bersedia untuk
melakukan penelitian sehingga selain karakteristik CAGC terindentifikasi,
masyarakat sekitar juga dapat mengetahui manfaat dari CAGC ini bagi
kehidupan manusia.
5) Mempertimbangkan perubahan cagar alam menjadi Taman Hutan Raya
(Tahura)
Salah satu alternatif lain yang dapat dipertimbangkan dalam upaya
penyelamatan Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) adalah dengan
melakukan perubahan cagar alam menjadi Taman Hutan Raya (Tahura)
yang memiliki ciri utama berupa koleksi tanaman. Apabila Taman Hutan
Raya (Tahura) menjadi pilihan dalam strategi pengelolaan CAGC, maka
keberadaan kawasan CAGC yang masih utuh, sekitar 50%, dapat
dipertahankan sebagi blok perlindungan dengan tetap menjaga vegetasi
jenis aslinya. Sedangkan 50% kawasan CAGC yang telah berubah atau
rusak dapat digunakan sebagai taman koleksi berbagai jenis tanaman
untuk menghasilkan sumber benih dan menjadi objek wisata alam. Namun,
keberadaannya harus ditata sedemikian rupa agar Taman Hutan Raya
(Tahura) ini dapat memberikan hasil yang optimal.
Permasalahan yang terjadi di kawasan Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC) pada dasarnya telah menjadi sorotan oleh pemerintah pengelola CAGC
tersebut. Berikut beberapa upaya penyelamatan Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC) yang telah dilakukan oleh pemerintah Kabupaten Jepara:
1) Pemerintah Kabupaten Jepara telah memberikan bantuan bibit berbagai
jenis tanaman kepada masyarakat sekitar Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC) sebanyak 350.000 batang. Kewenangan untuk menanam berbagai
jeni tanaman di kawasan tersebut diserahkan kepada Balai Konservasi
Sumberdaya Alam (BKSDA), Provinsi Jawa Tengah (Maruli, 2011).
2) Pemerintah Kabupaten Jepara telah merehabilitasi kawasan Cagar Alam
Gunung Clering (CAGC) dan hutan pantai. Lahan kritis di Jepara sudah
dipulihkan sekitar 43,97% dari total luas keseluruhan lahan kritis di Jepara
(Kompas, 2010).
3) Pemerintah Kabupaten Jepara menetapkan peraturan desa tentang
pemeliharaan dan pelestaria sumberdaya alam desa sebagai tindak lanjut
kesepakatan untuk menghijaukan lahan kritis dan melestarikan satwa di
kawasan Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) (Kompas, 2010).
Selain itu, berikut ini merupakan beberapa kegiatan yang telah dilakukan
balai KSDA Jawa Tengah pada tahun 2008 dalam upaya memulihkan kawasan
konservasi Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) adalah:
1) Kegiatan pengayaan jenis/ rehabilitasi/ penanaman jalur hijau
Kegiatan ini merupakan kegiatan menanam 7.650 batang pohon dengan
rincian 2.550 jati, 2550 beringin, dan 2550 kepuh, yang didanai oleh DIK-S
DR.
2) Kegiatan operasi pengamanan fungsional pada 26 30 November 2008
yang didanai oleh DIPA 29.
3) Kegiatan patroli perlindungan dan pengamanan hutan pada 25 29 Maret
2008 yang didanai oleh DIPA 29.
Kegiatan pada poin kedua dan ketiga memberikan hasil berupa sosialisasi
terhadap para pelaku perambahan hutan.
BAB IV
KESIMPULAN DAN SARAN
4.1 Kesimpulan
Berdasarkan hasil pemaparan di atas, dapat disimpulkan bahwa:
a) Kondisi kawasan konservasi Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) saat
ini termasuk dalam status kritis.
b) Kerusakan kawasan konservai Cagar Alam Gunung Clering (CAGC)
disebabkan oleh perambahan hutan, penambangan batu, kebakaran
hutan, penebangan secara tidak bijaksana, dan perburuan liar.
c) Dampak yang dirasakan akibat gangguan yang terjadi pada kawasan
konservasi Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) adalah putusnya
siklus hidrologis, potensi flora dan fauna yang terancam punah, serta
terjadinya bencana alam.
d) Strategi pengelolaan yang dapat dilakukan dalam upaya pemulihan
Cagar Alam Gunung Clering (CAGC) adalah:
- Memperketat penjagaan kawasan Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC).
- Penyuluhan kepada masyarakat sekitar.
- Membersihkan tanaman introduksi.
- Melakukan restorasi.
- Mempertimbangkan perubahan cagar alam menjadi Taman Hutan
Raya (Tahura).
4.2 Saran
Untuk melakukan pemulihan terhadap Cagar Alam Gunung Clering
(CAGC), sebaiknya dilakukan dengan cara menjalin hubungan kerja sama antara
pihak pengelola dan masyarakat yang tinggal di sekitar kawasan tersebut agar
tidak terjadi disparitas (gap) dalam upaya pemulihannya.
DAFTAR PUSTAKA
Andri. 2002. Kelola Hutan Bersama Masyarakat. [Online]. www.aphi-pusat.net.
Diakses pada tanggal 13 September 2017.
Arsyad. 2001. Teknik Konservasi Tanah dan Air. Bogor: IPB Press.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. 2001. Buku Informasi
Kawasan Konservasi. Semarang: Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa
Tengah.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. 2005. Buku Informasi
Kawasan Konservasi. Semarang: Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa
Tengah.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. 2008. Buku Informasi
Kawasan Konservasi. Semarang: Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa
Tengah.
Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa Tengah. 2009. Buku Informasi
Kawasan Konservasi. Semarang: Balai Konservasi Sumber Daya Alam Jawa
Tengah.
Bukit, D.M., Sumono, L.A. Harahap, dan E. Susanto. 2013. Evaluasi Laju Erosi
dengan Metode Petak Kecil dan Usle pada Beberapa Kemiringan Tanah
Ultisol Tanaman Ubi Jalar di Kecamatan Siborongborong Kabupaten
Tapanuli Utara. Jurnal Rekayasa Pangan dan Petanian. Vol.1(2): 45-50.
Effendi, R., I. Bangsawan dan Muhammad Z.M. 2007. Kajian Pola-Pola
Pemberdayaan Masyarakat Sekitar Hutan Produksi dalam Mencegah Illegal
Logging. Jurnal Penelitian Sosial da Ekonomi Kehutanan. Vol. 4(4).
Hamilton, L.S. dan P.N. King. 1997. Tropical Forested Watershed. Yogyakarta:
Gajah Mada University Press.
Kalima, T dan N.M. Heriyanto. 2014. Keragaman Jenis Tumbuhan di Cagar Alam
Gunung Celering. Buletin Plasma Nutfah. Vol.20(1): 41-50.
Kehati. 2000. Kerusakan Lingkungan: Mengancam Keanekaragaman Hayati.
Tajuk Warta Kehati.
Kodoatie, R.J. dan R. Syarief. 2006. Pengelolaan Bencana Terpadu. Jakarta:
Yarsif Watampone.
Kompas. 2010. Hijaukan Dieng, Muria, dan Clering. [Online].
http://regional.kompas.com/read/2010/12/01/04095375/Hijaukan.Dieng.Muria
.dan.Clering. Diakses pada tanggal 12 September 2017.
Mangoendidjojo, W. 2003. Dasar-dasar Pemuliaan Tanaman. Yogyakarta:
Kanisius.
Maruli, A. 2011. Ladang dan Sawah Rusak Cagar Alam Clering. [Online].
http://www.antaranews.com/berita/240604/ladang-dan-sawah-rusak-cagar-
alam-clering. Diakses pada tanggal 12 September 2017.
Mulyani, M.S dan Kartasapoetra A.G. 2005. Pengantar Ilmu Tanah:
Terbentuknya Tanah dan Tanah Pertanian. Jakarta: Rineka Cipta.
Nandi. 2007. Longsor. Bandung: FPIPS-UPI.
Oliez, M. 2013. Tanggul Sungai Gedhe Jebol, Dua Desa Terendam. [Online]
https://daerah.sindonews.com/read/724312/22/tanggul-sungai-gedhe-jebol-
dua-desa-terendam-1362486611. Diakses pada tanggal 13 September 2013.
R-Lisa. 2014. Jepara Selatan Banjir, Jepara Utara Siaga Longsor. [Online].
https://rlisafmjepara.com/2014/01/jepara-selatan-banjir-jepara-utara-siaga-
longsor/. Diakses pada tanggal 13 September 2017.
Rosyidie, A. 2013. Banjir: Fakta dan Dampaknya, Serta Pengaruh dari
Perubahan Guna Lahan. Jurnal Perencanaan Wilayah dan Kota. Vol 24(3):
241-249.
Sarjono, M.A. 1998. Upaya Pemberdayaan Masyarakat di Sekitar Kawasan
Hutan di Kaltim.
Satriawan, H. 2010. Evaluasi Tingkat Bahaya Banjir dan Erosi Serta Strategi
Penanggulannya di Kabupaten Nagan Raya. Jurnal Lentera. Vol 10(1): 78-
86.
Subarna, T. 2011. Faktor yang Mempengaruhi Masyarakat Menggarap Lahan di
Hutan Lindung: Studi Kasus di Kabupaten Garut Jawa Barat. Jurnal
Penelitian Sosial dan Ekonomi Kehutanan. Vol. 8(4): 265-275.
Sylviani. 2008. Kajian Dampak Perubahan Fungsi Kawasan Hutan Terhadap
Masyarakat Sekitar. Jurnal Penelitian Sosal dan Ekonomi Kehutanan. Vol.
5(3).
Zaid, A.S. 1996. Hukum Lingkungan Konservasi Hutan dan Segi-segi di Dunia.
Jakarta: Rineka Cipta.

Anda mungkin juga menyukai