Anda di halaman 1dari 16

KOALISI NGO HAM ACEH

Survei Sosial Ekonomi untuk Masyarakat di Kawasan Rawa Tripa

2012

I.

PENDAHULUAN

Pengalihan lahan di kawasan Rawa Tripa menjadi lokasi lahan usaha oleh sekelompok perusahaan perkebuan kelapa sawit telah memicu perdebatan yang sangat serius di Aceh. Kebijakan Pemerintah Aceh yang memberi izin untuk usaha sawit di kawasan rawa tersebut, menghadirkan banyak protes dari berbagai pihak. Tidak hanya warga lokal dan kalangan pecinta lingkungan, tapi juga dunia internasional mempertanyakan kebijakan tersebut. Wajar jika kemudian program pembanguan Green Aceh yang dikampanyekan Pemerintah Aceh sejak Juli 2007, mendapat gugatan dari banyak pihak. Pemerintah Aceh diangga tidak konsisten dalam menjalankan programnya terkait dengan pelestarian lingkungan. Sebagaimana diketahui, Aceh termasuk dari sedikit wilayah di Indonesia yang masih memiliki kawasan hutan tropika basah yang cukup luas, yaitu 3.549.813 hektar ( sumber: Ditjen Planologi Kehutanan Kementerian, Kehutanan). Dari kawasan hutan tersebut, di antaranya merupakan kawasan konservasi dengan berbagai jenis, yaitu hutan lindung di dalam kawasan dan di luar kawasan, hutan produksi konversi, hutan produksi dan rawa. Bila dibandingkan dengan luas wilayah darat Provinsi Aceh sekitar 5.677.081 hektar, maka luas hutan Aceh ada sekitar 62,53% dari luas daratan Aceh. Kawasan hutan tersebut tidak hanya memberikan manfaat ekonomi langsung bagi masyarakat lokal dan negara tetapi juga berperan dalam menjaga keseimbangan lingkungan secara komprehensif, terutama terkait dengan jasa lingkungan dan meminimalisasi bencana. Dalam hal ini terkait dengan fungsi hutan untuk: (1) menjaga keberlangsungan fungsi hidrologis, (2) mencegah erosi, (3) mempertahankan tingkat kesuburan tanah, (4) mencegah terjadi pemanasan global, serta (5) perubahan iklim. Dengan demikian keberadaan hutan Aceh tidak hanya bermanfaat untuk masyarakat lokal, kabupaten, provinsi, maupun pusat melainkan juga untuk kepentingan masyarakat dunia. Oleh sebab itu keberadaan Aceh secara komprehensif menjadi sangat penting untuk diperhatikan, sehingga kesejahteraan masyarakatnya dapat terus ditingkatkan dan sekaligus berkontribusi untuk menyelamatkan lingkungan di sekitarnya serta kepentingan dunia internasional (terkait perubahan iklim global). Berbicara dalam konteks kawasan hutan tentu, maka kawasan hutan rawa gambut termasuk salah satu di dalamnya. Secara ekonomis wilayah ini memang relatif lebih rendah dalam memberikan manfaat secara langsung, karena untuk memanfaatkan wilayah ini perlu suatu teknologi yang tepat dan recovery-nya perlu waktu yang relatif

lama sehingga biaya yang diperlukan untuk pemanfaatannya menjadi lebih besar. Namun secara ekologis wilayah ini mempunyai fungsi yang sangat penting, yaitu : 1) daerah cekungan mengandung gambut dapat berfungsi menyimpan air ketika luapan sungai terjadi; 2) mencegah terjadinya intrusi air laut ke daratan; 3) sebagai habitat satwa langka (harimau, orang utan, mentok rimba, beruang madu, buaya muara, burung rangkong, ikan kerling, ikan lele, belut, paitan, dan karang); dan 4) pengendali cuaca dan iklim. Luas hutan rawa gambut yang dimiliki Aceh pada saat ini tersebar di beberapa kabupaten, yaitu Kabupaten Aceh Singkil seluas 100.000 hektar, Aceh Selatan (Kluet) seluas 18.000 hektar, dan Tripa (Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya) seluas 61,803 hektar. Untuk kawasan hutan rawa gambut yang berada di Kabupaten Aceh Singkil dan Aceh Selatan sudah ditetapkan menjadi kawasan lindung Suaka Margasatwa Rawa Singkil sehingga secara legal harus dilindungi.

Peta kawasan Rata Tripa

Namun kawasan hutan rawa gambut yang berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya hingga saat ini statusnya masih APL (Area Penggunaan Lain), padahal sebahagian kedalaman gambut di Tripa bisa mencapai 3 - 5 meter, sehingga menurut Kepres No. 32 Tahun 1990 tentang Pengelolaan Kawasan Lindung, daerah ini

seyogyanya harus dijadikan sebagai kawasan lindung. Namun, hutan yang berada dalam kawasan ini sudah banyak dibuka untuk dikonversikan menjadi lahan perkebunan kelapa sawit yang konsesinya dimiliki oleh beberapa perusahaan besar mencapai sekitar 85% dari kawasan ini. Beberapa perusahaan perkebunan yang beroperasi di kawasan ini adalah P.T. Gelora Sawita Makmur, P.T. Kallista Alam, P.T. Patriot Guna Sakti Abadi II, P.T. Cemerlang Abadi dan P.T. Agra Para Citra. Pada tahun 2007, P.T. Astra Agro Lestari mengambil alih P.T. Agra Para Citra concession. Agar kawasan hutan gambut rawa tripa tidak musnah akibat intervensi dari beberapa perusahaan besar perkebunan maka perlu segera dicari solusinya agar dapat dijadikan sebagai kawasan lindung, terutama yang mempunyai kedalaman lebih dari 3 meter. Hal ini perlu melibatkan partisipasi semua pemangku kepentingan (multi stakeholder) agar dapat berjalan dengan baik, tidak hanya komponen lembaga di tingkat daerah melainkan juga ditingkat pusat. Kawasan hutan rawa gambut Tripa yang berada di Kabupaten Nagan Raya dan Aceh Barat Daya ini luasnya mencapai 61.803 hektar, di mana sekitar 60% dari wilayah tersebut berada di Kabupaten Nagan Raya, dan selebihnya 40% berada di wilayah Kabupaten Aceh Barat Daya. Surveri Fakultas Pertanian Unsyiahm Banda Aceh (2008) menyebutkan, kawasan hutan gambut Tripa memiliki tingkat kedalaman gambut mencapai 3 - 5 meter. Pada kawasan ini mengalir 4 buah sungai, yaitu sungai Tripa, Seuneuam, Batee dan Seumayam. Tingkat kerusakan ekosistem hutan gambut Tripa yang semakin meningkat perlu segera dicari jalan pemecahannya. Hal yang sangat mendesak adalah menyelamatkan hutan gambut yang masih tersisa dari kegiatan pembukaan lahan untuk perkebunan dan aktivitas lainnya. Untuk melakukan hal tersebut tentu memerlukan suatu kesamaan persepsi dan komitmen yang kuat dari semua pihak. Selanjutnya perlu ditetapkan kawasan potensial untuk dilindungi dan kemudian dilakukan upaya restorasi agar kawasan ekosistem hutan gambut Tripa menjadi pulih seperti sediakala sehingga fungsi ekologisnya dapat berperan dalam menjaga keseimbangan lingkungan di sekitarnya. Dalam melaksanakan upaya restorasi tentu perlu keterlibatan masyarakat lokal dan pemangku kepentingan lainnya sehingga dalam jangka panjang dapat memberikan manfaat ekonomi bagi masyarakat lokal dan sekaligus kawasan hutan gambut dapat diselamatkan. II. UPAYA PENYELAMATAN RAWA TRIPA Melihat pentingnya peranan kawasan Rawa Tripa dalam pelestarian ekosistem lahan gambut, tentu saja membuat pra kelompok pecinta lingkungan dan dunia internasional

sangat memprihatikan kalau kawasan yang penting justru menjadi lokasi perkebunan. Penguasaan 85 persen kahan rawa Tripa oleh kalanga perusahaan perkebunan sawit menghadirkan protes dari berbagai kalangan. Selain kelompok masyarakat sipil pecinta lingkungan, juga dari kelompok tokoh masyarakat. Upaya penyelamatan Kawasan Tripa sudah dilakukan sejak tahun 2008 dengan dibentuknya Tim Kerja Penyelamatan Rawa Tripa (TKPRT). Gerakan ini mendapat dukungan dari 21 gampong di wilayah itu. Penguasaan perusahaan perkebunan kelapa sawit di wilayah itu membuat masyarakat pada 5 Juni 2010, mengajukan petisi yang meminta agar perusahaan kepala sawit tersebut segera meninggalkan kawasan Rawa Tripa. TKPRT menemukan sedikitnya ada 16 undang-undang atau aturan yang dilanggar oleh kalangan perusahaan swasta yang menguasai kawasan Rawa Twripa tersebut, mulai dari Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tetang Penataan Ruang, Undang-Undang Nomor 5 tahun 1990 tentang konservasi sumber daya alam hayati dan ekosistem, Undang-Undang Nomor 7 tahun 2004 tentang sumber daya air, Undang-Undang Nomor 11 tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, serta sejumlah peraturan Presiden, peraturan pemerintah dan Surat Keputusan Menteri Lingkungan Hidup.

Pembakaran lahan Rawa Tripa

Pelanggaran yang sama juga ditemukan oleh Ketua Unit kerja Presiden Bidang Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP4) dan Satuan Tugas Reducing Emissions from Deforestation and Forest Degradation (REDD). Menurut tim Pemerintah pusat ini, pihak perusahaan yang menguasai kawasan Rawa Tripa telah melanggar sedikitnya tiga aturan hukum tentang lingkungan hidup di Indonesia, yaitu UndangUndang Nomor 18 tahun 2004 tentang Perkebunan, Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup, serta Undang-Undang Nomor 26 tahun 2007 tentang penataan ruang. Sejumlah fakta terlihat jelas bagaimana para perusahaan itu melakukan pembakaran di areal hutan lindung tersebut. Padahal menurut Undang-Undang nomor 32 tahun 2009, tegas disebutkan bahwa setiap orang atau badan usaha melakukan pembakaran hutan akan dikenai hukuman penjara. Melihat rentetan pelanggaran tersebut, TKRPT melalui Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Aceh berupaya mengajukan gugatan hukum. Yang digugat adalah Surat keputusan Gubernur Aceh No.525/BP2T/5322/2011 tentang izin usaha perkebunan seluas 1.605 seluas yang diberikan kepada PT Kalista Alam yang terletak di Desa Pulo Kruet, Kecamatan Darul Makmur, Kabupaten nagan Raya. Dalam pandangan Walhi, izin itu seharunya tidak bisa diberika, sebab lahan tersebut merupakan kawasan rawa Tripa yang mutlak harus mendapat perlindungan. Lagi pula, Walhi menilai areal perkebunan itu berada dalam Kawasan Ekosistem Leuser, oleh karena itu, menujuk kepada Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2008 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional, lahan tersebut seharusnya tidak diperuntukkan sebagai lahan perkebunan. Namun dalam putusannya yang dibacakan pada 3 April 2012, Majelis hakim PTUN Banda Aceh yang diketuai oleh Barmawi menyatakan menolak gugatan tersebut. Alasannya, karena PTUN Banda Aceh tidak berwenang memeriksa perkara gugatan tersebut. Majelis Hakim meminta agar penyelesaian sengketa oleh pihak-pihak berperkara harus terlebih dahulu ditempuh jalan musyawarah di luar pengadilan. "Hal ini sesuai dengan Undang-Undang 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup," kata Barmawi dalam putusannya. Tak puas dengan putusan tersebut, Walhi mengajukan banding ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara (PTTUN) di Medan. Hasilnya, pada 4 September 2012, PTTUN Medan mengabulkan gugatan banding tersebut. Pengadilan memutuskan agar Gubernur Aceh segera mencabut izin usaha perkebunan yang telah diberikan kepada PT Kalista Alam. Putusan tersebut bersifat final, sehingga mau tidak mau Gubernur Aceh akhirnya sepakat untuk mencabut izin yang telah mereka berikan itu. Keberhasilan para pecinta lingkungan Aceh mengusir penguasahaan PT Kalista Alam di Kawasan Rawa Tripa baru merupakan langkah awal, sebab masih ada sejumlah perusahaan lain yang menguasai wilayah tersebut. Upaya untuk pengusiran mereka

tetap akan dilakukan tanpa henti, sejalan dengan itu, langkah-langkah penguatan masyarakat lokal agar peduli dengan kelestrian alam di kawasan Rawa Tripa, juga harus mendapat perhatian. Tidak bisa dipungkiri, masalah lokal adalah penyangga utama yang diharapkan berada di garis depan dalam upaya penyelamatan kawasan tersebut. Hal ini penting mendapat perhatian, sebab masyarakat yang tinggal di sejumlah gampong di kawasan Rawa tripa itu justru bekerja sebagai buruh harian dan staf di sejumlah perusahaan perkebunan kepala sawit yang merambah rawa Tripa. Jika upaya penyadaran masyarakat tentang Rawa Tripa dan lIngkungan hidup tidak diberikan, maka bukan tidak mungkin para perusahaan itu akan berlindung di balik kepentingan masyarakat lokal.

III.

PEMBERDAYAAN MASYARAKAT

Yayasan Ekosistem Lesuer (YEL) menyadari kalau upaya pelestarian kawasan Rawa Tripa harus dilakukan dengan berbagai cara. Selain dengan metode kampanye pelestarian lingkungan, gugatan hukum, penggalangan dukungan masyarakat lokal, salah satu program lain yang tidak bisa dilupakan adalah penguatan ekonomi masyarakat lokal. Penguatan ekonomi ini sangat penting mengingat masyarakat lokal adalah tiang penyangga bagi program pelestarian lingkungan di wilayah itu. Persoalan sedikit pelik, sebab sebagian besar masyarakat yang tinggal di desa-desa kawasan Rawa Tripa berpenghasilan cukup rendah, di bawah Rp 1 juta. Nilai ini lebih rendah dari upah minimun pekerja tingkat Provinsi Aceh yang sebesar Rp 1,55 juta per bulan. Rendahnya penghasilan masyarakat lokal tentu saja akan mengundang mereka untuk menerapkan ketergantungan kepada kalangan perusahaan perkebunan yang merambah kawasan Rawa Tripa. Sebagai perusahaan yang menggarap lahan relatif luas, sudah pasti perusahaan perkebunan itu membutuhkan banyak pekerja harian. Sebagian besar dari pekerja harian itu direkrut dari masyarakat lokal. Kondisi ini membuat sebagian masyarakat lokal bergantung kepada kehadiran perusahaan tersebut. Kalau saja jumlah masyarakat lokal yang menggantungkan hidupnya di perusahaan itu semakin banyak, maka sudah pasti perusahaan itu akan mendapat keuntungan ganda. Pertama, mereka bisa secara mudah mendapatkan tenaga kerja dengan gaji murah. Kedua, mereka bisa menjadikan kehadiran pekerja lokal itu sebagai tameng untuk menghindar dari serangan para pegiat lingkungan. Kondisi ini sejak awal sudah terlihat jelas dengan terjadinya perpecahan di antara sesama masyarakat lokal. Mereka yang bekerja dan menggantukan penghasilannya dari kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit itu, cenderung mendukung pengembangan perkebunan di kawasan Rawa Tripa. Sedangkan sebagian masyarakat lain yang memahami pentingnya keberadaan rawa Tripa, bersama-sama dengan para pegiat lingkungan turut melakukan aksi protes.

Ironisnya, sejumlah tokoh masyarakat di Nagan Raya sudah banyak yang direkrut sebagai pekerja di perusahaan. Beberapa di antaranya mendapat jabatan cukup strategis. Untuk pekerja harian di perkebunan itu dibayar secara beragam, mulai Rp 40 ribu hingga Rp 60 ribu per hari. Beberapa orang yang mendapat jabatan strategis, seperti mandor atau staf, bis mendapat gaji di atas Rp 2,5 juta per bulan. Mereka inilah yang kemudian berada di garis depan menghadang semua protes terhadap kehadiran para perusahaan perkebunan tersebut di kawasan Rawa Tripa. Tidak bisa dibantah lagi, perpecahan di antara sesama warga kawasan Tripa juga terjadi. Sebagian mendukung kehadiran perusahaan perkebunan tersebut, sebagian lagi menolak. Yang menarik, kalangan perusahaan itu juga merekrut sejumlah anak muda lokal yang vokal untuk bergabung dalam kelompok mereka. Para anak muda ini bukan untuk dipekerjakan sebagai tenaga ahli di bidang perkebunan, melainkan untuk berkampanye menentang upaya pengusiran perusahaan itu dari kawasan Rawa Tripa. Melihat fenomena ini, maka pemberdayaan ekonomi masyarakat lokal yang tinggal di kawasan Rawa Tripa menjadi sangat penting untuk dilakukan demi mendorong mereka agar tidak bergantung kepada kehadiran perusahaan perkebunan kelapa sawit di kawasan itu. Konsep pemberdayaan ekonomi di kawasan-kawasan konflik seperti di Rawa Tripa merupakan hal yang lazim dilakukan sebagai respon atau interaksi sosial dan kesenjangan ekonomi di wilayah itu. Pemberdayaan ekonomi ini juga sangat penting dilaksanakan demi mencegah degradasi sumberdaya alam dan alienasi masyarakat dari tangan-tangan kapitalis. Pemberdayaan yang dimaksud di sini adalah mendorong peran aktif masyarakat untuk mengeluarkan kemampuannya dalam menggerakkan roda ekonomi secara bersama-sama. Pemberdayaan tersebut disepadankan dengan partisipasi. Agar partisipasi berjalan secara maksimal, maka proses demokrasi dalam menjalankan program pemberdayaan itu juga penting dilaksanakan. Proses demokrasi yang dimaksud adalah mendorong lahirnya ide dari masyarakat untuk mengusulkan aktivitas ekonomi yang mereka anggap cocok dikembangkan di wilayah mereka. Untuk menggalang ide tersebut, maka kegiatan pemberdayaan ekonomi itu diawali dengan survei untuk mendata aktivitas ekonomi yang dianggap ekonomis untuk dikembangkan. Sebagai pegelola program, YEL sepakat akan memberikan bantuan dana untuk menjalankan aktivitas ekonomi tersebut, termasuk memberi pelatihan kepada masyarakat terkait sistem pengelolaan kegiatan yang dimaksud. Survei untuk menjaring usulan dari masyarakat terkait dengan aktivitas ekonomi itu telah dilakukan oleh Tim Survei Koalisi NGO HAM Aceh selama lima hari pada minggu ketiga Desem ber 2012 di beberapa desa yang sudah ditentukan sebelumnya.

IV.

METODE SURVEI

Sebelum survei dilakukan, Tim YEL menentukan terlebih dahulu 120 orang calon penerima manfaat untuk program pemberdayaan sosial ekonomi ini. Mereka adalah masyarakat yang berdiam di 21 desa di kawasan tersebut. Setelah penentuan nama-nama penerima manfaat ini, survei dilakukan terhadap mereka untuk mendapat beberapa data penting, yaitu, terkait dengan penghasilan per bulan, pekerjaan dan juga kepemilikan lahan. Survi juga akan menampung berbagai ide terkait dengan program-program ekonomi yang berpotensi utuk dikembangkan secara bersama-sama maupun secara persorangan. Survei dilakukan dengan dua cara: Pertama, secara tertulis, yaitu meminta para penerima manfaat mengisi formulir yang sudah disiapkan tim Koalisi NGO HAM. Formulir itu berisi data-data pribadi para penerima manfaat, mulai dari nama, umur, asal desa, pekerjaan, kepemilikan lahan dan penghasilan per bulan. Beberapa warga desa yang kurang paham dengan tulis menulis sempat kelabakan ketika diminta untuk mengisi formulir ini. Tapi masalah itu segera diatasi setelah tim surveior dari Koalisi NGO HAM membantu mereka mengisi formulis tersebut sesuai dengan data yang dimiliki penerima manfaat tersebut. Semua penerima manfaat yang didata oleh Tim YEL tela mengisi secara menjawab secara lengkap pertanyaanpertanyaan yang dicantumkan dalam formulir tersebut. Dari jawaban itu , setidaknya profil 120 penerima manfaat sudah diperoleh secara lengkap. Kedua, melakukan wawancara dan Focus group discussion (diskusi secara berkelompok). Diskusi dilakukan di tiga tempat, yaitu: 1. Pertemuan di Gampong Blang Luah, Kecamatan Darul Makmur, Kemukiman Seuneam Timur, 2. Pertemuan di Makarti Jaya, Kecamatan Darul Makmur, Kemukiman Seunaam Barat, 3. Pertemuan di Gampong Simpang Gadeng, Kecamatan Baharot. Sebanyak 120 calon penerima manfaat yang didata berasal dari 12 gampong. Masingmasing kemukiman diwakili empat gampong, dengan rincian: 1. Kemukikan Seuneam Timur diwakili dari masyarakat yang tinggal di gampong: - Gampong Blang Luah - Gamponbg Alue Bateung Brok - Gampong Ladang Baro - Ujong Tanjong

Pertemuan dengan masyarakat Seuneam Barat

2. Kemukiman Seuneam Barat diwakili empat warga gampong dari: - Gampong Makarti Jaya - Gampong Alue Kuyun

Gampong Pulo Kruet Gampong Sumber Makmur

3. Untuk kemukiman Babahrot diwakili empat gampong, yaitu: - Gampong Simpang Gandeng - Gampong Jeureujak - Gampong Cot Seumantuk - Gampong Pante Cermen/Teladan.

Pertemuan dengan warga desa ini, berlangsung malam hari, sebab pada siang hari umumnya masyarakat desa tersebut sibuk bekerja. Peserta pertemuan tidak hanya dari laki-laki, tapi juga kelompok perempuan meski dalam jumlah yang relatif sedikit. Hampir 85 persen dari calon penerima manfaat itu umumnya bekerja sebagai petani. Hanya sebagian kecil yang bekerja sebagai nelayan sungai, bengkel, sopir, usaha warung, buruh bangunan. Mereka yang bekerja sebagai buruh kebuh kebun juga menyebut dirinya sebagai petani. Proses Dialog Dalam proses survei yang berjalan, penerima manfaat terlihat sangat antusias mengisi polling yang disampaikan secara tertulis dan sangat aktif menyampaikan usulan mereka terkait usaha ekonomi yang akan dikembangkan. Agar diskusi pengembangan usaha berjalan lebih fokus, surveior sejak awal menetapkan agar bidang usaha yang diusulkan harus memenuhi kreiteria, antara lain: - Yang bisa memberi hasil dalam jangka pendek ( paling lama setahun) - Usaha tersebut bersifat komunitas. - Menigngat dana yang terbatas, sebaikya usaha yang diusulkan tergolong UKM - Bukan usaha dengan skala besar. - Memiliki pasar yang luas. - Bahan bakunya mudah didapatkan. Begitupun, tetap saja ada muncul usulan dari masyarakat terkait usaha ekonomi jangka panjang. Misalnya, ada usulan untuk pengembangan ternak sapi dan ternak kambing yang tentu saja membutuhkan investasi besar dan masa usaha yang relatif panjang. Ada pula yang mengusulkan usaha yang sifatnya pribadi, misalnya membuka bengkel sepeda motor dan usaha doorsmer ( servis cuci kendaraan bermotor). Surveior menampung semua aspirasi itu tapi tetap memberi catatan mana yang memungkinkan dan mana yang sulit untuk dijalankan. Namun surveior berkali-kali menekankan agar usaha tersebut yang mampu memberi hasil dalam jangka pendek. Seperti yang ditetapkan dalam rencana YLI, dengan dijalankannya usaha pemberdayaan

Pertemuan dengan masyarakat di Seuneam Timur

ekonomi masyarakat ini, diharapkan pendapatan mereka akan mengalami kenaikan sekitar 10 persen dalam jangka relatif pendek (setahun). Atau setidaknya setelah usaha tersebut dikembangkan, aset usaha akan meningkat. Surveior juga menekankan kepad masyarakat bahwa tim survei Koalisi NGO HAM akan datang lagi menemui mereka dalam jangka waktu tertentu setelah usaha itu dijalankan. Tim survei nantinya akan meneliti apakah target yang diharapkan dari program pengembangan ekonomi ini memberi hasil positif atau tidak kepada mereka selaku penerima manfaat. Karena itu, penekanan usaha yang dikembangkan harus bisa diukur dalam waktu relatif pendapat. Dalam prose menyampaikan pendapat, semua peserta diskusi diberi hak bersuara yang sama. Kesempatan menyampaikan ide juga diberikan kepada peserta diskusi dari kelompok perempuan. Surei ini memastikan bahwa tidak ada bias gender dalam proses diskusi yang berlangsung. Kalaupun jumlah peserta perempuan relatif sedikit, semua itu karena pilihan dari tim YEL yang sudah menentukan para penerima manfaatnya.

V.

HASIL SURVEI

A. Profil Calon Penerima Manfaat Data tertulis yang diperoleh tim membuktikan kalau penghasilan masyarakat calon penerima manfaat relatif sangat rendah. Bahkan tidak ada seorang pun yang

berpenghasilan di atas upah minimun regional Provinsi Aceh yang sebesar Rp 1,55 juta/ bulan.

Survei penghasilan 120 calon penerima manfaat program Sosek Rawa Tripa

Rp 6 juta = 0,8%

Rp 1,5 juta = 1,6%

Rp 1 juta- Rp 1,2 juta=19%

< Rp 1 juta= 78,3%

Dari 120 calon penerima manfaat yang disurvei, ada satu orang yang mengaku berpenghasilan Rp 6 juta per bulan, dua orang yang mengaku berpenghasilan Rp 1,5 juta, enam orang bepenghaslan Rp 1,2 serta 16 orang mengaku berpenghasilan Rp 1 juta per bulan. Selebihnya, semua mengaku berpenghasilan di bawah Rp 1 juta. Sedangkan berdasarkan pemetaan mata pencarian atau pekerjaan, sebagian besar dari calon penerima manfaat itu bekerja sebagai petani atau buruh tani. Hanya sedikit sekali yang berprofesi di luar itu. Di Babahrot misalnya dari 40 orang calon penerima manfaat yang disurvei di kemukinan tersebut, hanya seorang yang berprofesi sebagai sopir, selebihnya adalah petani atau buruh tani. Untuk masyarakat di Kemukiman Seuneam Timur, ada seorang pengelola perbengkelan sepeda motor dan seorang lagi pedagang warung. Dengan kata lain, survei membuktikan kalau 96 persen dari 120 calon penerima manfaat yang disurvei berprofesi sebagai petani. Dari jumlah itu, ada 23 orang yang mengaku memiliki lahan sekitar 1 sampai 2 hektar. Selebihnya mengaku tidak punya lahan, atau sebagai buruh tani atau menyewa lahan orang lain.

Pekerjaan 120 calon penerima manfaat progam Sosek Rawa Tripa

petani =96% non petani=4%

Secara rinci, data penghasilan masing-masing para penerima manfaat terlampir pada bagian akhir laporan ini. B. Jenis usaha yang diusulkan Adapun jenis usaha yang diusulan para calon penerima manfaat tersebut cukup beragam. Berikut ini adalah usulan unit usaha yang disampaikan mereka berdasarkan usulan dengan rangking terbesar. B.1 Usulan dari Masyarakat Seuneam Timur: 1. Pengembangan usaha kacang tanah. Usaha yang dimaksud mulai dari penanaman hingga pengolahan kacang tanah untuk dijual ke pasar di seluruh Nagan Raya dan wilayah Aceh lainnya. Masyarakat setempat mengaku banyak petani di wilayah yang yang menanam kacang tanah, sehingga sangat memudahkan untuk mendapatkan bahan baku. Selama ini mereka hanya mengolah kacang tanah tersebut secara tradisional dan memasarkan di tingkat lokal. 2. Ternak ikan limbek ( lele Tripa) Bibitnya diperoleh dari hasil penangkapan oleh penduduk setempat di rawa-rawa sekitar desa itu. Lele tersebut dibudidayakan hingga besar dan selanjutnya dijual ke kota. Lele atau Limbek Tripa ini terkenal sangat gurih dan sangat diminati masyarakat Nagan Raya dan juga para pendatang. 4. Ternak ayam potong atau bebek Pasarnya cukup terbuka, lokasi untuk pengembangan ternak juga sangat banyak sehingga usaha ini cukup mudah untuk dijalankan. Pasar juga terbuka mengingat ayam dan bebek menjadi makanan yang banyak digemari masyarakat Nagan Raya dan sekitarnya.

5. Pengembangan kedela hingga menjadi tempe dan tahu Bahan baku banyak tersedia karena petani desa banyak yang menanam kacang kedela di sela-sela tanaman sawit. Selama ini kacang tersebut hanya diolah secara tradisional sehingga tidak terlalu memberi nilai ekonomi yang berarti. B.2 Usulan dari Masyarakat Seuneam Barat 1. Ikan lele atau limbek atau ikan nila 2. Ternak ayam dan bebek pedaging 3. pengembangan tanaman melon di sela-sela kebun sawit yang baru tumbuh 4. Pengembangan pertanian palawija lainnya, seperti cabai. Alasan masyarakat Seuneam Barat mengusulkan ide in sama dengan yang disampikan masyarakat Seunaam Timur. B.3 Usulan dari warga Kemukiman Babahrot 1. Mendirikan koperasi penjuulangan kebuuthan rumah tangga ( sembako) 2. Penanaman pertanian palawija, seperti cabai. 3. Ternak ikan air tawar Di samping itu ada pula usulan yang sifatnya untuk usaha pribadi, seperti pengembangan usaha perbengkelan sepeda motor, jahit menjahit untuk perempuan, serta membuka usaha doorsmer. Beberapa usulan lain ada yang sifatnya membutuhkan investasi besar dan masa kerja yang cukup lama, seperti usaha peternakan sapi dan kambing. Pengembangan tanaman Jabon dan Coklat dan sebagainya. Usulan terakhir ini hanya ditampung tapi tidak direkomendasikan.

VI.

KESIMPULAN
1. Survei ini dilakukan terhadap calon penerima manfaat secara sukarela. Hasil survei sepenuhnya didasarkan kepada jawaban dan usulan dari para nara sumber. Survei ini tanpa didukung data investigasi, sehingga apa yang dijawab dan ditulis oleh nara sumber, sepenuhnya ditampung dan dituangkan dalam laporan. 2. Untuk data penghasilan misalnya, ada kecurigaan kalau data yang disampaikan para nara sumber tidak sepenuhnya benar. Namun surveior tidak kuasa untuk menolak jawaban mereka. Namun sejak awal surveior meminta para calon penerima manfaat untuk memberikan jawaban sejujurnya. 3. Dari data penghasilan yang disampaikan para calon penerima manfaat, terlihat sekali kalau kehidupan mereka secara ekonomis berada di bawah garis

kemiskinan. Wajar jika masyarakat tersebut pantas mendapat bantuan program pemberdayaan masyarakat. 4. Usaha yang diusulkan para penerima manfaat itu umumnya sama di masingmasing wilayah yang dilakukan survei. Calon penerima manfaat mengusulan sejumlah usaha, antara lain: - Ternak lela atau limbek - Ternak ayam/bebak - Pengolahan kacang tanah - Pengembangan tanaman holtikurlura, seperti cabai - Koperasi Sembako - Ternak ikan Nila - Penanaman buah Melon di sela-sela kebun sawit 5. da pula usulan yang membutuhkan investasi besar dan sifatnya jangka panjang. Namun usulan itu tidak direkomendasikan untuk program ini. Usulan tersebut, seperti peternakan sapi, peternakan kambing, usaha perbengkelan dan pengembangan tanaman wasit.

Anda mungkin juga menyukai