Anda di halaman 1dari 5

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Kawasan Pelestarian Alam (KPA)


Kawasan Pelestarian Alam (KPA) merupakan salah
2.2 Taman Nasional
Taman Nasional merupakan turunan dari hutan konservasi yang berada
pada wilayah kepengelolaan Kawasan Pelestarian Alam (KPA). KPA merupakan
hutan dengan ciri khas tertentu yang mempunyai fungsi pokok perlindungan
sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan
satwa serta ekosistemnya, serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam
hayati dan ekosistemnya. Taman Nasional adalah kawasan pelestarian alam yang
dikelola dengan sistem zonasi yang terdiri dari zona inti dan atau zona-zona lain
yang dimanfaatkan untuk tujuan ilmu pengetahuan, paraswisata dan rekreasi
(Keputusan Menteri Kehutanan RI No. 687/KPTS-II/1989). Sistem Taman
Nasional memiliki keunggulan dibandingkan sistem lainya, dintaranya adalah
(1)Taman Nasional dibentuk untuk kepentingan masyarakat karna harus
bermanfaat bagi masyarakat dan didukung oleh masyarakat; (2)Konsepsi
pelestarian didasarkan atas perlindungan ekosistem sehingga mampu menjamin
eksistensi unsur-unsur pembentukya; (3)Taman Nasional dapat dimasuki oleh
pengunjung sehingga pendidikan cinta alam, kegiatan rekreasi dan fungsi-fungsi
lainya dapat dikembangkan secara efektif.
Tujuan Taman Nasional yang relevan dengan pembangunan regional,
sosial dan pengelolaan lingkungan terdiri atas (1)Pemeliharaan contoh yang
memiliki unik-unik biotik utama melestarikan fungsinya dalam ekosistem;
(2)Pemeliharaan keanekaragaman ekologi dan hukum lingkungan;
(3)Pemeliharaan sumber daya genetika atau plasma nutfa; (4)Pemeliharaaan,
objek struktur, tapak atau peninggalan warisan kebudayaan; (5)Perlindungan
keindahan panorama alam; (6)Penyediaaan fasilitas pendidikan, penelitian dan
pemantuan lingkungan di alam areal alamiah; (7)Penyedian fasilitas rekresai dan
turisme; (8)Penduduk pembangunan daerah pedesaan dan penggunaan lahan
marginal secara regional; (9)Pemeliharaan produksi DAS, pengendalian erosi dan
pengendapan serta melindungi invertasi daerah hilir.
2.3 Balai Taman Nasional Matalawa
Balai Taman Nasional Manupeu Tanah Daru dan Laiwangi
Wanggameti (BTN Matalawa) terletak di Pulau Sumba, Provinsi Nusa
Tenggara Timur adalah penggabungan 2 Taman Nasional dengan Peraturan
Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor
P.7/Menlhk/Setjen/OTL.0/1/2016 yaitu Taman Nasional Laiwangi
Wanggameti dengan luas 41.772,18 Ha dan Taman Nasional Manupeu
Tanah Daru dengan luas 50.122 Ha tersusun dari kumpulan Hutan Tanah
Daru-Praimamangutidas (RTK 44), Kelompok Hutan Manupeu (RTK 5)
Kelompok Hutan Laiwangi Wanggameti (RTK 50) dan Kelompok Hutan
Praning Palindi-Tanah Daru (RTK 60).
Kategori Balai adalah Balai Taman Nasional Tipe A yang
mempunyai kantor Balai di Kota Waingapu Kabupaten Sumba Timur,
Kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional Wilayah I di Waibakul
Kabupaten Sumba Tengah dan Kantor Seksi Pengelolaan Taman Nasional
Wilayah II di Lewa Kabupaten Sumba Timur, Kantor Seksi Pengelolaan
Taman Nasional Wilayah III di Matawai Lapau Kabupaten Sumba Timur.
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 576/Kpts-
II/1998 Tanggal 3 Agustus 1998 Tentang Perubahan Fungsi Sebagian
Kawasan Cagar Alam, Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas Seluas
± 134.998,09 (Seratus Tiga Puluh Empat Ribu Sembilan Ratus Sembilan
Puluh Delapan, Sembilan Perseratus) Hektar Menjadi Kawasan Taman
Nasional Manupeu – Tanah Daru Seluas ± 87.984,09 (Delapan Puluh
Tujuh Ribu Sembilan Ratus Delapan Puluh Empat, Sembilan Perseratus)
Hektar dan Kawasan Taman Nasional Laiwangi – Wanggameti Seluas ±
47.014,00 (Empat Puluh Tujuh Ribu Empat Belas) Hektar, Yang Terletak
Di Kabupaten Daerah Tingkat II Sumba Barat dan Kabupaten Daerah
Tingkat II Sumba Timur, Provinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur.
Keputusan Menteri Kehutanan dan Perkebunan Nomor 576/Kpts-
II/1998 Tanggal 3 Agustus 1998 Tentang Perubahan Fungsi Sebagian
Kawasan Cagar Alam, Hutan Lindung dan Hutan Produksi Terbatas Seluas
± 134.998,09 (Seratus Tiga Puluh Empat Ribu Sembilan Ratus Sembilan
Puluh Delapan, Sembilan Perseratus) Hektar Menjadi Kawasan Taman
Nasional Manupeu – Tanah Daru Seluas ± 87.984,09 (Delapan Puluh
Tujuh Ribu Sembilan Ratus Delapan Puluh Empat, Sembilan Perseratus)
Hektar dan Kawasan Taman Nasional Laiwangi – Wanggameti Seluas ±
47.014,00 (Empat Puluh Tujuh Ribu Empat Belas) Hektar, yang terletak di
Kabupaten Daerah Tingkat II Sumba Barat dan Kabupaten Daerah Tingkat
II Sumba Timur, Propinsi Daerah Tingkat I Nusa Tenggara Timur.

2.4 Kebakaran Hutan dan Lahan


Kebakaran hutan dapat didefinisikan sebagi suatu keadaan atau
kondisi dimana terjadinya kasus kebakaran pada suatu area atau kawasan
hutan baik dalam luasan wilayah yang besar ataupun kecil. Kebakaran
hutan dapat menimbulkan dampak buruk berupa kerusakan ekologis,
menurunnya tingkat keanekaragaman hayati pada lokasi kebakaran dan
sekitarnya sehingga keseimbangan ekologi menjadi tidak seimbang,
merosotnya nilai ekonomi hutan serta produktivitas tanah, terjadinya
perubahan iklim global maupun iklim mikro yang tidak stabil, dan lain
sebagainya.
2.4.1 Penyebab Kebakaran Hutan dan Lahan
2.4.2 Dampak Kebakaran Hutan dan Lahan
2.4.3 Pengendalian Kebakaran Hutan dan Lahan
2.5 Vegetasi
Vegetasi merupakan kumpulan berbagai jenis spesies tumbuhan yang
tumbuh menempati suatu wilayah tertentu membentuk suatu komunitas
tetumbuhan yang ditandai dengan pola persebaran yang kompleks menurut
konsep ruang dan waktu (Campbell dkk, 2008 dalam Farhan dkk, 2019). Dari
kumpulan vegetasi tersebut, terdapat interaksi antara faktor biotik lainnya
maupun faktor abiotik yang dimana jika disatukan maka akan membentuk suatu
ekosistem (Kartawinata, 2010 dalam Farhan dkk, 2019). Struktur vegetasi
didefinisikan sebagai organisasi individu-individu tumbuhan dalam ruang yang
membentuk tegakan, secara luas membentuk tipe vegetasi atau asosiasi
tumbuhan. Penyusun vegetasi terdiri atas fisiognomi vegetasi, struktur biomassa,
bentuk hidup (life form), struktur floristik dan struktur tegakan.
Banyaknya berbagai macam jenis vegetasi yang tumbuh pada suatu
wilayah membantu menjaga keseimbangan siklus ekologi yang berlangsung pada
wilayah tersebut (Safe’i dan Tsani, 2016). Arrijani, dkk (2006) mengatakan
peranan vegetasi tetumbuhan yang ada pada suatu ekosistem secara umum sangat
berkaitan erat dalam mengatur siklus pertukaran karbondioksida dan oksigen
yang tersebar di atmosfir, mengatur sifat fisik, kimia dan biologis tanah, serta
mengatur siklus air dalam tanah.
Menurut Wiharto (2012), istilah vegetasi tidak bisa dilepaskan dari
komponen-komponen penyusun vegetasi, karena komponen tersebutlah yang
menjadi fokus dalam pengukuran vegetasi. Komponen tumbuhan yang menjadi
penyusun suatu vegetasi umumnya yaitu, Pohon (Tree) : Tumbuhan yang
memiliki kayu besar, tinggi dan memiliki satu batang atau tangkai utama dengan
ukuran diameter lebih dari 20 cm. Untuk tingkat pohon dapat dibagi lagi menurut
tingkat permudaannya, yaitu:
1) Semai: Permudaan mulai dari kecambah sampai anakan kurang dari 1.5
m.
2) Pancang: Permudaan dengan tinggi 1.5 m sampai anakan berdiameter
kurang dari 10 cm.
3) Tiang: Pohon muda berdiameter 10 cm sampai kurang dari 20 cm.
Selain vegetasi pepohonan, pada suatu ekosistem juga terdapat berbagai
macam jenis tumbuhan bawah atau herba. Tanaman herba adalah salah satu
tanaman yang memiliki ketinggian kurang dari satu meter, umumnya hidup pada
lingkungan dengan kandungan air yang rendah dan intensitas cahaya yang tinggi.
Vegetasi herba adalah penyusun tumbuhan bawah pada suatu ekosistem darat.
Tumbuhan bawah adalah komunitas yang menyusun stratifikasi bawah 21 dekat
permukaan tanah (Aththorick, 2005). Tumbuhan penutup tanah ini dapat
berfungsi dalam peresapan dan membantu menahan jatuhnya air secara langsung.
Tumbuhan penutup tanah dapat berperan dalam menghambat atau mencegah
erosi yang berlangsung secara cepat. Tumbuhan ini dapat menghalangi jatuhnya
air hujan secara langsung, mengurangi kecepatan aliran permukaan, mendorong
perkembangan biota tanah yang dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah
serta berperan dalam menambah bahan organik tanah sehingga menyebabkan
resistensi tanah terhadap erosi meningkat (Maisyaroh, 2010).

2.6 Analisis Vegetasi


Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau
komposisi vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari tumbuh-
tumbuhan. Diperlukan data-data spesies, diameter dan tinggi untuk analisis
vegetasi, sehingga diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan
komposisi komunitas tumbuhan, diantaranya indeks nilai penting (Greig-
Smith, 1983 dalam Farhan dkk, 2019). Analisis vegetasi dapat digunakan
untuk mempelajari susunan dan bentuk vegetasi atau masyarakat tumbuh-
tumbuhan untuk mempelajari tegakan hutan, yaitu pohon dan
permudaannya juga mempelajari tegakan tumbuhan bawah, yang
dimaksud tumbuhan bawah adalah suatu jenis vegetasi dasar yang terdapat
di bawah tegakan hutan kecuali permudaan pohon hutan, padang
rumput/alang-alang dan vegetasi semak belukar.

2.7 Penelitian Terdahulu

Anda mungkin juga menyukai