Anda di halaman 1dari 18

LAPORAN KELOMPOK PRAKTIKUM BIOLOGI

ANALISIS VEGETASI HUTAN WANAGAMA

Dosen Pengampu: Prof. Dr. Djukri, M.S.

Disusun oleh:
KELOMPOK 7

Miftakhul Riska F. 17708251006


Muliati Supandi 17708251022
Rekno Wulan 17708251026
Agnesi Sekasari Putri 17708251028
Maulidiyani Fuadati 17708251029

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN SAINS


PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2018
PRAKTIKUM ANALISIS VEGETASI HUTAN WANAGAMA

A. Tujuan
Mempelajari struktur vegetasi dan membuat interpretasi fungsi komunitas
tumbuhan pada tegakan yang dipelajari.

B. Dasar Teori
Vegetasi merupakan unsur yang dominan yang mampu berfungsi sebagai
pembentuk ruang, pengendalian suhu udara, memperbaiki kondisi tanah dan
sebagainya. Vegetasi dapat menghadirkan estetika alamiah dari garis, bentuk, warna,
dan tekstur yang ada dari tajuk, daun, batang, cabang, kulit batang, akar, bunga, buah
maupun aroma yang ditimbulkan dari daun, bunga maupun buahnya (Rohman, 2011).
Hutan hujan tropis mencapai perkembangan sepenuhnya pada bagian belahan bumi
sebelah barat dan pada bagian tengah dan selatan mempunyai spesies yang sangat
beragam. Hutan tersebut memiliki vegetasi yang sangat rapat dan jarang dijumpai dua
pohon dengan spesies saa yang tumbuh berdekatan (Kimball, 2005). Wilayah hutan
hujan tropis mencakup ± 30% dari luas permukaan bumi dan terdapat mulai dari
Amerika Selatan, bagian tengah dari benua Afrika, sebagian anak benua India, sebagian
besar wilayah Asia Selatan dan wilayah Asia Tenggara, gugusan kepulauan di samudera
Pasifik, dan sebagian kecil wilayah Australia. Wilayah hutan hujan tropis memiliki ciri
yang dominan yaitu adanya dua musim dengan perbedaan yang jelas, yaitu musim
penghujan dan musim kemarau. Ciri lainnya adalah suhu, kelembaban udara yang
tinggi, dan curah yang hujan merata sepanjang tahun (Ewusie, 1980).
Menurut Soedjiran et all (1993) hutan hujan tropis (tropical rain forest) terdapat di
daerah tropis yang basah dengan curah hujan yang tinggi dan tersebar sepanjang tahun,
seperti di Amerika tengah dan selatan, Asia Tenggara termasuk Indonesia dan Australia
timur laut. Hutan tersebut memiliki pohon-pohon tinggi dan pada umumnya berdaun
lebar dan selalu hijau dengan jumlah spesies yang besar. Selain itu, terdapat paku-paku
pohon, tanaman merambat berkayu liana yang dapat mencapai puncak pohon-pohon
yang tinggi dan epifit, dan kaya akan jenis-jenis hewan invertebrata dan vertebrata.

2
Analisis vegetasi hutan merupakan studi untuk mengetahui komposisi dan struktur
hutan. Kegiatan analisis vegetasi pada dasarnya ada dua macam, yaitu metode dengan
petak dan tanpa petak. Salah satu metode dengan petak yang banyak digunakan adalah
kombinasi antara metode jalur (untuk risalah pohon) dengan metode garis petak (untuk
risalah permudaan) dalam kegiatan-kegiatan penelitian di bidang ekologi hutan
(Latifah, 2005). Analisis vegetasi dibagi dalam 2 teknik plot yaitu sebagai berikut
quadrat sampling techniques dan point quarter techniques.
Struktur vegetasi merupakan susunan anggota komunitas vegetasi pada suatu area
yang dapat dinilai dari tingkat densitas (kerapatan) individu dan diversitas
(keanekaragaman) jenis. Komposisi dan struktur suatu vegetasi merupakan fungsi dari
beberapa faktor seperti: flora setempat, habitat, (iklim, tanah dan lain-lain), waktu, dan
kesempatan. Komposisi dan struktur vegetasi tumbuhan mengetahui kondisi air tanah
dan ketersediaan air tanah bagi tumbuhan di sekitarnya. Ketersediaan air dalam tanah
ditentukan oleh kemampuan partikel tanah dalam proses penyerapan air.
Cara memperoleh angka penting dengan menghitung densitas absolut, densitas
relatif, dominansi absolut, dominansi relatif, frekuensi absolut, frekuensi relatif, dan
nilai penting dan dapat dilihat pada persamaan berikut.
Upaya pelestarian hutan menjadi hal penting yang dilakukan dengan tujuan jangka
panjang. Tujuan yang dicapai yaitu memelihara kelangsungan jasa produksi ataupun
lingkungan untuk menjawab kebutuhan mahkluk hidup di dalam hutan tersebut.
Perlindungan dan aspek kesehatan hutan sebagai mata rantai pemeliharaan
produktivitas tegakan ataupun ekosistem hutan (Marsono, 2004).
Perlindungan dan aspek kesehatan hutan merupakan bagian yang tak terpisahkan
dalam satu kesatuan pengelolaan hutan dalam rangka melindungi hutan berikut
komponen yang ada didalamnya dari berbagai macam faktor penyebab kerusakan.
Hutan jika ditinjau dari aspek kesehatannya terbagi atas tiga komponen yakni dari sisi
pemanfaatan yakni pada tegakkan hutan, lingkungan yakni terhadap sebuah komunitas
dan kesehatan ekosistem yang lebih menjurus pada landscape (Marsono, 2004).
1. Struktur Hutan Wanagama
Hutan tempat penelitian yaitu Hutan Wanagama yang terletak di wilayah
Kabupaten Gunungkidul. Hutan tersebut memiliki luas sekitar 600 hektar dan

3
merupakan salah satu asset wisata alam bagi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hutan
Wanagama berperan penting dalam perekonomian warga sekitar dan menjadi paru-paru
kota daerah di sekitarnya. Oleh karena itu diperlukan upaya untuk mempertahankan
fungsi dan peran dari hutan tersebut (Irwanto, 2006).
Hutan Wanagama Hutan Wanagama pada awalnya hanya ditujukan sebagai hutan
pendidikan. Seiring perkembangan yang semakin meningkat Wanagama akhirnya
mempunyai multifungsi. Fungsi-fungsi tersebut antara lain: sebagai area konservasi
sumber daya genetik, lokasi uji genetik spesies-spesies Hutan Tanaman Industri (HTI),
daerah tujuan wisata biologi, tempat studi banding bidang konservasi tanah dan air,
serta pusat studi ekosistem kehutanan. Kawasan Hutan Wanagama menyimpan
kekayaan flora dan fauna yang sangat beragam. Hutan tersebut memiliki lebih dari 550
jenis tanaman yang tumbuh di dalamnya dan terdapat beragam jenis unggas, kera serta
hewan reptilia khas penghuni hutan. Hutan Wanagama memiliki vegetasi yang beragam
dimulai dari deretan pohon akasia (Acacia auriculiformis), pohon penghasil bubur kayu
yang menjadi primadona banyak perusahaan HTI di Indonesia, pohon kayu putih dan
terdapat barisan pohon pinus (Pinus merkusii) yang meneduhkan kala matahari bersinar
terik. Pohon ini banyak ditemukan tumbuh di Sumatera Bagian Tengah. Wanagama
masih memiliki aneka ragam pepohonan lain, seperti: eboni (Diospyros celebica), kayu
hitam dari Sulawesi; cendana (Santalum album), pohon wangi dari Nusa Tenggara
Timur; murbei (Morus alba) dan pohon jati (Tectona grandis) (Suwarni, 2009).
Hutan yang sehat terbentuk apabila faktor-faktor biotik dan abiotik dalam hutan
tersebut tidak menjadi faktor pembatas dalam pencapaian tujuan pengelolaan hutan saat
ini maupun masa akan datang. Kondisi hutan sehat ditandai oleh adanya pepohonan
yang tumbuh subur dan produktif, akumulasi biomasa dan siklus hara cepat, tidak
terjadi kerusakan signifikan oleh organisme pengganggu tumbuhan, serta membentuk
ekosistem yang khas (Kimmins, 1987). Ekosistem hutan yang sehat terbentuk setelah
hutan mencapai tingkat perkembangan klimaks, yang ditandai oleh tajuk berlapis,
pohon-pohon penyusun terdiri atas berbagai tingkat umur, didominasi oleh pohon-
pohon besar, serta adanya rimpang yang terbentuk karena matinya pohon. Ekosistem
hutan yang sehat tercapai bila tempat tumbuhnya dapat mendukung ekosistem untuk
memperbaharui dirinya sendiri secara alami, mempertahankan diversitas penutupan

4
vegetasi, menjamin stabilitas habitat untuk flora dan fauna, serta terbentuknya
hubungan fungsional di antara komunitas tumbuhan, hewan dan lingkungan
(Widyastuti, 2004).
Kesehatan hutan dan kesehatan ekosistem tersebut menunjukkan bahwa keduanya
merupakan tingkatan-tingkatan integrasi biologis. Konsekuensinya ialah antara
keduanya mempunyai karakteristik yang sama, namun demikian terdapat perbedaan
yang fundamental. Aspek kesehatan ekosistem lebih berhubungan dengan pola
penutupan vegetasi dalam kisaran kondisi-kondisi ekologi yang luas, sedangkan
kesehatan hutan lebih menekankan pada kondisi untuk memperoleh manfaatnya.

C. Metode Praktikum
C1. Jenis kegiatan : Observasi
C2. Obyek pengamatan : Species dan individu tiap plot
C3. Bahan dan alat : Pada pengamatan analisis vegetasi memerlukan alat-alat dan bahan
sebagai berikut: patok, tali, meteran, pisau, kantong plastik, kertas label, cetok, dan
sabit.
C4. Cara kerja
a. Menentukan lokasi studi dan menentukan batas-batasnya. Lokasi studi dapat
berupa rerumputan, sesemakan, peperduan, dan pepohonan. Daerah tersebut
kemudian dibatasi.
b. Menentukan luas minimal plot contoh (sample plot).
c. Menentukan jumlah minimal plot.
d. Pengamatan jumlah spesies dan jumlah individu tiap plot contoh.
e. Menghitung densitas, frekuensi, dominansi, dan nilai penting suatu jenis pada
vegetasi/tegakan/areal.
Untuk mengetahui nilai penting setiap spesies, perlu menghitung:
1. Densitas adalah jumlah individu per luas area.
2. Densitas relatif adalah densitas setiap spesies per jumlah densitas semuanya dikali
100.
3. Dominansi adalah luas coverage suatu spesies per luas area.

5
4. Dominansi relatif adalah dominansi setiap spesies per jumlah dominansi seluruh
spesies dikali 100.
5. Frekuensi adalah jumlah plot yang ditempati spesies tertentu perjumlah pot.
6. Frekuensi relatif adalah frekuensi setiap spesies per jumlah frekuensi seluruh
spesies dikali 100.
7. Nilai penting adalah penjumlahan dari densitas relatif, dominansi relatif, dan
frekuensi relatif.

D. Hasil dan Diskusi


Dalam studi lanjut di lokasi Hutan Wanagama ini, untuk mempelajari analisis
vegetasi. Hal ini dimulai dengan membuat luas minimal plot, menentukan jumlah
minimal plot, menghitung jumlah spesies dan individu tiap spesies sampai menghitung
nilai penting suatu jenis dalam komunitas. Dari serangkaian kegiatan tersebut di
dapatkan data bahwa berdasarkan hasil perhitungan, luas minimal plot yang didapat
adalah 5 meter x 5 meter dengan data jumlah spesies yang sampai pada jumlah konstan
yaitu pada plot keenam adalah sebanyak sepuluh spesies. Maka untuk melanjutkan
pengamatan, berdasarkan kesepakatan bersama luas minimal plot yang dipakai adalah
5 meter x 5 meter.

6
PLOT NILAI
Spesies
1 2 3 4 5 total Densitas Domina Frekue Frekuensi Nilai
dalam Densitas Domina
(spesies/m si nsi relatif penting
PLOT 2 relatif si
) Relatif
A 33 5 32 93 30 193 1,54 37,26 46,57 37,26 1 10.6 74,52
B 2 4 16 13 1 36 0,29 6,95 8,687 6,95 1 10.6 13,9
C 34 46 23 10 22 135 1,08 26,06 32,58 26,06 1 10.6 52,12
D 6 1 0 0 0 7 0,06 1,351 1,689 1,351 0.4 4.26 2,702
E 12 2 0 0 0 14 0,11 2,703 3,378 2,703 0.4 4.26 5,406
F 2 8 3 4 6 23 0,18 4,44 5,55 4,44 1 10.6 8,88
G 2 1 0 0 0 3 0,02 0,579 0,724 0,579 0.4 4.26 1,158
H 14 0 9 18 0 41 0,33 7,915 9,894 7,915 0.8 8.51 15,83
I 1 1 2 0 0 4 0,03 0,772 0,965 0,772 0.6 6.38 1,544
J 0 3 2 0 0 5 0,04 0,965 1,207 0,965 0.4 4.26 1,93
K 0 4 9 15 12 40 0,32 7,722 9,653 7,722 0.8 8.51 15,444
L 0 0 0 1 2 3 0,02 0,579 0,724 0,579 0.4 4.26 1,158
M 0 0 0 4 0 4 0,03 0,772 0,965 0,772 0.2 2.13 1,544
N 0 0 0 1 0 1 0,01 0,193 0,241 0,193 0.2 2.13 0,386
O 0 0 0 0 1 1 0,01 0,193 0,241 0,193 0.2 2.13 0,386
P 0 0 0 0 3 3 0,02 0,579 0,724 0,579 0.2 2.13 1,158
Q 3 0 0 0 2 5 0,04 0,965 1,207 0,965 0.4 4.26 1,93
10 15
total
9 75 96 9 79 518 4,14 100 125 100 9.4 100 300

Tabel 2. Perhitungan densitas dan densitas relatif


Spesies Densitas Densitas Relatif
𝑗𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑖𝑛𝑑𝑖𝑣𝑖𝑑𝑢 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑆𝑝
𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 Σ𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠
193 1.54
A 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 1.54 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 37.26
125 4,14
36 0.29
B 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.29 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 6.95
125 4,14
135 1.08
C 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 1.08 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 25.06
125 4,14
7 0.06
D 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.06 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 1.35
125 4,14
14 0.11
E 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.11 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 2.7
125 4,14
23 0.18
F 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.18 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 4.44
125 4,14
3 0.02
G 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.02 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.58
125 4,14
41 0.33
H 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.33 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 7.92
125 4,14
4 0.03
I 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.03 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.77
125 4,14

7
5 0.04
J 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.04 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.97
125 4,14
40 0.32
K 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.32 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 7.72
125 4,14
3 0.02
L 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.02 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.58
125 4,14
4 0.03
M 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.03 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.77
125 4,14
1 0.01
N 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.01 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.19
125 4,14
1 0.01
O 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.01 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.19
25 4,14
3 0.02
P 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.02 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.58
25 20.72
5 0.04
Q 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 = = 0.04 𝐷𝑒𝑛𝑠𝑖𝑡𝑎𝑠 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.97
25 20.72

Tabel 3. Perhitungan Dominasi dan Dominansi Relatif


Spesies Dominasi Dominasi Relatif
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑐𝑜𝑣𝑒𝑟𝑎𝑔𝑒 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑆𝑝
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100
𝑙𝑢𝑎𝑠 𝑎𝑟𝑒𝑎 Σ𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖
193 × 125 46.57
A 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 46.57 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 37.26
518 125
36×125
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = 518 =8.69 8.69
B 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 6.95
125
135 × 125 32.58
C 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 32.58 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 26.08
518 125
7 × 125 1.69
D 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 1.69 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 1.35
518 125
14 × 125 3.38
E 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 3.38 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 2.70
518 125
23 × 125 5.55
F 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 5.55 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 4.44
518 25
3 × 125 0.72
G 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 0.72 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.56
518 125
41 × 125 9.89
H 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 9.89 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 7.92
518 125
4 × 125 0.97
I 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 0.97 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.77
518 125
5 × 125 1.21
J 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 1.21 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.97
518 125
40 × 125 9.65
K 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 9.65 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 7.72
518 125
3 × 125 0.72
L 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 0.72 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.56
518 125

8
4 × 125 0.97
M 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 0.97 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.77
518 25
1 × 125 0.24
N 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 0.24 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.19
518 125
1 × 125 0.24
O 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 0.24 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.19
518 125
3×125
𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = 518 =0.72 0.72
P 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.58
125
5 × 125 1,21
Q 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 = = 1,21 𝐷𝑜𝑚𝑖𝑛𝑎𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 0.97
518 125

Tabel 4. Perhitungan Frekuensi


Spesies Dominasi Dominasi Relatif
𝑛 𝑃𝑙𝑜𝑡 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑆𝑝
𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100
Σ𝑃𝑙𝑜𝑡 Σ𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖
5 1
A 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 1 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 10.6
5 9.4
5 1
B 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 1 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 10.6
5 9.4
5 1
C 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 1 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 10.6
5 9.4
2 0.4
D 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 0.4 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 4.26
5 9.4
2 0.4
E 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 0.4 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 4.26
5 9.4
5 1
F 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 1 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 10.6
5 9.4
2 0.4
G 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 0.4 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 4.26
5 9.4
4 0.8
H 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 0.8 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 8.51
5 9.4
3 0.6
I 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 0.6 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 6.38
5 9.4
2 0.4
J 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 0.4 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 4.26
5 9.4
4 0.8
K 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 0.8 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 8.51
5 9.4
2 0.4
L 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 0.4 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 4.26
5 9.4
1 0.2
M 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 0.2 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 2.13
5 9.4
1 0.2
N 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 0.2 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 2.13
5 9.4
1 0.2
O 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 0.2 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 2.13
5 9.4
1 0.2
P 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 0.2 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 2.13
5 9.4
2 0.4
Q 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 = = 0.4 𝐹𝑟𝑒𝑘𝑢𝑒𝑛𝑠𝑖 𝑟𝑒𝑙𝑎𝑡𝑖𝑓 = × 100 = 4.26
5 9.4

9
E. PEMBAHASAN

Praktikum yang berjudul “Analisis Vegetasi Hutan Wanagama” bertujuan untuk


mempelajari struktur vegetasi dan membuat interpretasi fungsi komunitas tumbuhan
pada tegakan yang dipelajari. Analisis vegetasi ini dilaksanakan di hutan wanagama.
Alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini meliputi patok, tali, meteran,
gunting, kantong plastik, kertas label, spidol, palu, dan cetok.
Vegetasi merupakan kumpulan tumbuh-tumbuhan, biasanya terdiri dari
beberapa jenis yang hidup bersama-sama pada suatu tempat. Dalam mekanisme
kehidupan bersama tersebut terdapat interaksi yang erat, baik diantara sesama
individu penyusun vegetasi itu sendiri maupun dengan organisme lainnya
sehingga merupakan suatu sistem yang hidup dan tumbuh serta dinamis (Michael,
M., 1992).
Analisis vegetasi adalah suatu cara mempelajari susunan dan atau komposisi
vegetasi secara bentuk (struktur) vegetasi dari tumbuh-tumbuhan. Unsur struktur
vegetasi adalah bentuk pertumbuhan, stratifikasi dan penutupan tajuk. Untuk
keperluan analisis vegetasi diperlukan data-data jenis, diameter dan tinggi untuk
menentukan indeks nilai penting dari penvusun komunitas hutan tersebut. Dengan
analisis vegetasi dapat diperoleh informasi kuantitatif tentang struktur dan komposisi
suatu komunitas tumbuhan.
Untuk mempelajari komposisi vegetasi perlu dilakukan pembuatan petak-petak
pengamatan yang sifatnya permanen atau sementara. Menurut Polunin, N., (1990)
petak-petak tersebut dapat berupa petak tunggal, petak ganda ataupun berbentuk
jalur atau dengan metode tanpa petak. Pola komunitas dianalisis dengan metode
ordinasi yang menurut Swanarmo, H, dkk., (1996) pengambilan sampel plot dapat
dilakukan dengan random, sistematik atau secara subyektif atau faktor gradien
lingkungan tertentu.
Metode yang digunakan dalam vegetasi hutan Wanagama adalah teknik ploting
(Quadrat Sampling Techniques). Menggunakan tehnik itu karena untuk menghitung
vegetasi hutan yang begitu luas diperlukan metode yang menerapkan perluasan plot
untuk menghitung densitas dan sebaran/frekuensi dari vegetasi hutan Wanagama yang

10
nantinya dapat diketahui luas minimum plotnya. Analisis studi di lokasi Hutan
Wanagama ini, untuk mempelajari analisis vegetasi dimulai dengan membuat luas
minimal plot, menentukan jumlah minimal plot, menghitung jumlah spesies dan
individu tiap spesies sampai menghitung nilai penting suatu jenis dalam komunitas.
Berdasarkan serangkaian kegiatan tersebut didapatkan data bahwa berdasarkan hasil
perhitungan, luas minimal plot yang didapat adalah 5 meter x 5 meter dengan data
jumlah plot ditetapkan hanya diamati spesies pada empat plot.
Langkah dalam melakukan praktikum ini yaitu menentukan lokasi dimana
daerah hutan yang menjadi objek studi dan menentukan batasnya, selanjutnya
membuat kuadrat dan menghitung jumlah spesies pada kuadrat tersebut. Meluaskan
kuadrat dengan skala tertentu dan menghitung jumlah spesies, begitu seterusnya
sampai jumlah kumulatif spesies tidak bertambah lagi, kemudian membuat grafik
untuk menentukan luas minimal plot. Tujuannya adalah agar objek kajian tidak meluas
atau dalam hal ini mengambil sampel dari populasi area yang akan distudi. Dalam
pelaksanaan praktikum vegetasi di hutan wanagama, praktikan hanya melakukan
pengambilan data empat plot yang berukuran 5 x 5 meter.
Analisis vegetasi hutan memerlukan hal yang diperhitungkan yaitu terkait
dengan nilai penting yang didapatkan dari praktikum lapangan ini.analisa ini
digunakan untuk mengetahui struktur dan jenis vegetasi hutan Wanagama. Melalui
proses deskripsi tumbuhan maka dapat dihitung komposisi, struktur,
densitas/kemelimpahan, frekuensi/sebaran dan penutupan tajuk dari spesies yang
ditemukan. Struktur vegetasi merupakan susunan anggota komunitas vegetasi pada
suatu area yang dapat dinilai dari tingkat densitas (kerapatan) individu dan diversitas
(keanekaragaman) jenis. Struktur hutan Wanagama tersusun atas berbagai densitas
tumbuhan dengan lingkungan abiotik yang mendukung berlangsungnya hutan tersebut.
Struktur vegetasi pada penelitian ini didasarkan pada kemelimpahan jenis spesies dan
sebaran/frekuensi pada tiap plot. Pada studi vegetasi yang telah dilakukan, ditemukan
17 jenis tanaman yang berbeda. Indeks nilai penting yang diukur yaitu densitas dan
frekuensi. Kemelimpahan/kerapatan (densitas) merupakan banyaknya individu
persatuan luas atau volume. Densitas/kemelimpahan terbesar ditunjukkan pada spesies
Maranta arundinacea dengan densitas relatif sebesar 37,26. Densitas terkecil

11
ditunjukkan oleh spesies Helianthus tuberosus L. dan spesies O, dengan jumlah
densitas relatif sebesar 0,193.
Frekuensi/sebaran merupakan distribusi/sebaran yang terjadi dan terdapat pada
setiap plot. Frekuensi tersebut menggambarkan kemampuan tumbuhan dalam bertahan
hidup dsesuai lingkungannya dan kemampuan tumbuh. Frekuensi terbesar ditunjukkan
pada spesies Maranta arundinacea, Swietenia mahagoni, Leucaena leucocephala, dan
Gliriseda sepium. Frekuensi terkecil ditunjukkan pada spesies Gossypium. Sp,
Helianthus tuberosus L., spesies O, serta Eulentheranthera ruderalalis.
Kemelimpahan/densitas yang terjadi adalah keseluruhan jumlah tumbuhan pada
semua plot yang paling dominan yaitu Maranta arundinacea. Frekuensi yang terjadi
adalah sebaran pada masing-masing plot yaitu spesies Maranta arundinacea,
Swietenia mahagoni, Leucaena leucocephala, spesies D, spesies E, Gliriseda sepium,
Pisum sativum L., Ipomeanil (I.) Roth, spesies I, benik-benikan, Ipomea obscura (L)
Kel.Gawl, Taccaleontopetaloides (L.) Kuntze, Gossypim.sp, Helianthus tuberosus L.,
spesies O, Eulentheranthera ruderalalis, serta Habitus Oxallis barrelieri.
Pola sebaran/frekuensi tidak mempengaruhi pada densitasnya. Karena frekuensi
hanya kemelimpahan tiap plot sedangkan densitas adalh keseluruhan individu per plot,
begitu juga densitas tidak mempengaruhi besar kecilnya frekuensi.
Persebaran dan adaptasi tumbuhan merupakan faktor yang mempengaruhi struktur
hutan Wanagama. Lapisan yang terdapat di hutan Wanagam ada tiga yaitu lapisan
dasar/semak (tumbuhan merumput), lapisan tengah (perdu), dan lapisan atas. Vegetasi
hutan akan nampak ketika terjadi pergantian musim dan cuaca. Luas penutupan tajuk
adalah luas daerah yang dihuni tumbuhan. Penutupan tersebut menggambarkan adanya
penguasaan pada daerah tersebut yaitu ditunjukkan dengan peneduhan oleh batang,
daun, cabang jika dilihat dari sisi atas. Pada praktikum lapangan ini tidak dilakukan
pengamatan mengenai luas penutupan tajuk.
Sruktur vegetasi di hutan Wanagama dipengaruhi oleh faktor biotik dan abiotik
lainnya. Faktor biotik seperti adanya semut, rayap, jamur maupun dekomposer lain
yang membantu proses pertumbuhan tumbuhan. Faktor abiotik seperti tanah yang
lembab dan kaya akan air yang di atasnya terdapat potongan ranting, daun dan serasah-
serasah yang kaya mengandung humus juga akan mempengaruhi faktor biotiknya. Jika

12
serasah-serasah tersebut didekomposisi oleh dekomposer, maka akan menjadikan
tanah menjadi subur. Suhu, pH, kelembaban, ketinggian maupun intensitas cahaya
juga berpengaruh pada vegetasi hutan Wanagama. Iklim yang mendukung dapat
mempengaruhi kemelimpahan dan keberagaman spesies yang tumbuh di hutan
Wanagama. Menurut Kimmins (1987) hutan yang sehat terbentuk apabila faktor-
faktor biotik dan abiotik dalam hutan tersebut tidak menjadi faktor pembatas dalam
pencapaian tujuan pengelolaan hutan saat ini maupun masa akan datang.
Kondisi hutan sehat ditandai oleh adanya pohon-pohon yang tumbuh subur dan
produktif, akumulasi biomasa dan siklus hara cepat, tidak terjadi kerusakan signifikan
oleh organisme pengganggu tumbuhan, serta membentuk ekosistem yang khas.
Ekosistem hutan yang sehat terbentuk setelah hutan mencapai tingkat perkembangan
klimaks, yang ditandai oleh tajuk berlapis, pohon-pohon penyusun terdiri atas berbagai
tingkat umur, didominasi oleh pohon-pohon besar, serta adanya rimpang yang
terbentuk karena matinya pohon. Ekosistem hutan yang sehat tercapai bila tempat
tumbuhnya dapat mendukung ekosistem untuk memperbaharui dirinya sendiri secara
alami, mempertahankan diversitas penutupan vegetasi, menjamin stabilitas habitat
untuk flora dan fauna, serta terbentuknya hubungan fungsional di antara komunitas
tumbuhan, hewan dan lingkungan (Irwanto, 2006).

F. Kesimpulan
1. Struktur vegetasi merupakan susunan anggota komunitas vegetasi pada suatu area
yang dapat dinilai dari tingkat densitas (kerapatan) individu dan diversitas
(keanekaragaman) jenis. Struktur hutan Wanagama tersusun atas berbagai
densitas tumbuhan dengan lingkungan abiotik yang mendukung berlangsungnya
hutan tersebut. Struktur vegetasi pada penelitian ini didasarkan pada
kemelimpahan jenis spesies dan sebaran/frekuensi pada tiap plot. Pada studi
vegetasi yang telah dilakukan, ditemukan 17 jenis tanaman yang berbeda. Indeks
nilai penting yang diukur yaitu densitas dan frekuensi. Kemelimpahan/kerapatan
(densitas) merupakan banyaknya individu persatuan luas atau volume.
Densitas/kemelimpahan terbesar ditunjukkan pada spesies Maranta arundinacea
dengan densitas relatif sebesar 37,26. Densitas terkecil ditunjukkan oleh spesies

13
Helianthus tuberosus L. dan spesies O, dengan jumlah densitas relatif sebesar
0,193.
2. Komunitas sebagai kumpulan dari berbagai populasi yang hidup pada suatu waktu
dan daerah tertentu yang saling berinteraksi dan mempengaruhi satu sama lain.
Komunitas memiliki derajat keterpaduan yang lebih kompleks bila dibandingkan
dengan individu dan populasi. Komunitas pada prinsipnya terbentuk dari berbagai
hasil interaksi di antara populasi-populasi yang ada.

14
DAFTAR PUSTAKA

Irwanto. 2006. Penilaian kesehatan hutan tegakan jati (Tectona grandis) dan eucalyptus
(Eucalyptus pellita) pada Kawasan hutan wanagama. Yogyakarta : Universitas Gajah Mada.

Kimmins, J.P. 1987. Forest Ecology. New York : MacMillan Publishing Company.

Kimball, J.W. (2005). Biologi Jilid 3 Edisi Kelima. Jakarta: Erlangga.

Kimmins, J.P. (1987). Forest Ecology. Macmillan, London.

Latifah, S. (2005). Analisis Vegetasi Hutan Alam. Sumatera Utara: USU Repository.

Marsono, D. (2004). Konservasi Sumber Daya Alam & Lingkungan Hidup. Bigraf Publishing.

Michael, M. 1992. Ekologi Umum. Jakarta: Universitas Indonesia.

Polunin, N. 1990. Ilmu Lingkungan dan Ekologi. Yogyakarta: Gadjah Mada University Press.

Rohman, F. & I Wayan, S. (2011). Petunjuk Praktikum Ekologi Tumbuhan. JICA: Malang.

Swanarmo, H, dkk. 1996. Pengantar Ilmu Lingkungan. Malang: Universitas Muhammadyah.

Soedjiran, R., Kuswata, K., & Apriliani, S. (1993). Pengantar Ekologi. Bandung: Remaja
Rosdakarya.

Suwarni & Heri Santoso. (2009). 60 Tahun Sumbangsih UGM bagi Bangsa. UGM. Yogyakarta.

Widyastuti, S. M, (2004). Kesehatan Hutan: Suatu Pendekatan dalam Perlindungan Hutan


(Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar dalam Ilmu Perlindungan Hutan pada Fakultas
Kehutanan Universitas Gadjah Mada). Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

15
DOKUMENTASI

Specimen

A Maranta arundinacea B Swietenia mahagoni

C Leucaena leucocephala D

E F Gliriseda sepium

16
G Pisum sativum L. H Ipomeanil (I.) Roth

I J Benik-benikan

K Ipomea obscura (L) Kel.Gawl L Taccaleontopetaloides (L.) Kuntze

M Gossypium. sp N Helianthus tuberosus L.

17
O P Eulentheranthera ruderalalis

Q Habitus Oxallis barrelieri

18

Anda mungkin juga menyukai