Anda di halaman 1dari 15

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Wilayah hutan Papua mencakup sekitar 80% dari luas daratan Papua dan
termasuk hutan hujan tropik, dimana tegakannya tumbuh dengan komposisi dan
struktur hutan yang bervariasi (Remetwa 1993 dalam Tanjung et al., 2010).
Kehadiran vegetasi sangat berpengaruh terhadap keseimbangan ekosistem,
diantaranya terkatit dengan pengaturan karbon dioksida dan oksigen dalam udara,
perbaikan sifat fisik, kimia dan biologis tanah dan pengaturan tata air tanah, serta
berperan untuk mengurangi laju erosi. Saat ini, keanekaragaman vegetasi semakin
menurun karena kerusakan lingkungan yang disebabkan oleh tekanan dan
aktivitas manusia. Kondisi tersebut menyebabkan peran vegetasi sebagai
penyediaan bahan makanan, obat-obatan dan berbagai komoditi lainnya semakin
berkurang.

Kabupaten Sarmi yang terletak di timur Indonesia Provinsi Papua merupakan


Kabupaten terbaru yang dimekarkan pada tahun 2002 dari Kabupaten Jayapura.
Kabupaten Sarmi memiliki luas wilayah 17.740 km2 atau 5,60% dari luas wilayah
Provinsi Papua dengan ketinggian berkisar antara 1-90 meter dpl. Secara
geografis, Kabupaten Sarmi terdiri dari 10 distrik. Kabupaten Sarmi terletak
dibagian utara Provinsi Papua atau bagian utara Papua pada 1˚35’ dan 3˚35’
Lintang selatan dan 138˚05’ dan 140˚30’ Bujur timur dengan kemiringan wilayah
antara 0-35% (RPIJM Bidang Cipta Karya, 2018-2022).

Kabupaten Sarmi memiliki 6 kawasan hutan lindung (HL), 10 kawasan hutan


lindung pulau (HLP) dan 1 kawasan hutan lindung sungai (HLS). Hutan Lindung
(HL) Irier merupakan salah satu hutan lindung yang terdapat di distrik Sarmi
Timur, Kabupaten Sarmi. Hutan Lindung (HL) Irier memiliki luas wilayah
4488,69 ha. Berdasarkan Peta Kawasan Hutan Lindung Kabupaten Sarmi Provinsi

1
Papua Skala 1:700.000 (2012), Distrik Sarmi Timur memiliki 3 kampung, yakni
Bagaiserwar dua, Holmafen dan Sewan. Hutan Lindung (HL) Irier merupakan
salah satu kawasan hutan yang ditetapkan oleh pemerintah untuk dilindungi
karena kurangnya pengetahuan masyarakat yang beranggapan bahwa masih
luasnya hutan yang mereka miliki, sehingga menyebabkan terbukanya kesempatan
bagi pengusaha kayu untuk merambah hutan secara leluasa dan tidak
bertanggungjawab. Hal tersebut menyebabkan terjadinya kerusakan hutan serta
penurunan jumlah jenis hewan dan tumbuhan(Tanjung et al., 2012). Oleh sebab
itu, dilakukan penelitian ini untuk mengetahui struktur dan komposisi vegetasi
pohon serta nilai ekologi dari Hutan Lindung di Kampung Sewan Distrik Sarmi
Timur Kabupaten Sarmi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Bagaimana komposisi dan struktur jenis pohon di Kawasan Hutan Lindung


Kampung Sewan Distrik Sarmi Timur Kabupaten Sarmi?
2. Bagaimana nilai ekologi di Kawasan Hutan Lindung Kampung Sewan Distrik
Sarmi Timur Kabupaten Sarmi?

1.3 Batasan Masalah


Penelitian ini dibatasi hanya pada pengamatan terhadap komposisi dan struktur
jenis pohon serta nilai ekologi di Hutan Lindung Kampung Sewan Distrik Sarmi
Timur Kabupaten Sarmi.

1.4 Tujuan Penelitian


1. Untuk mengetahui komposisi dan struktur jenis pohon di Kawasan Hutan
Lindung Kampung Sewan Distrik Sarmi Timur Kabupaten Sarmi.
2. Untuk mengetahui nilai ekologi di Kawasan Hutan Lindung Kampung Sewan
Distrik Sarmi Timur Kabupaten Sarmi.

2
1.5 Manfaat Penelitian

1. Sebagai informasi kepada masyarakat di Kampung Sewan tentang pentingnya


fungsi Hutan Lindung terutama fungsi ekologi sehingga hutan tetap terjaga.
2. Sebagai bahan masukan bagi instansi-instansi terkait dalam pengembangan dan
pengelolaan Hutan Lindung.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Hutan
Hutan merupakan kumpulan pepohonan yang tumbuh rapat beserta tumbuh-
tumbuhan memanjat dengan bunga yang beraneka warna yang berperan sangat
penting bagi kehidupan di bumi ini. Dari sudut pandang orang ekonomis, hutan
merupakan tempat menanam modal jangka panjang yang sangat menguntungkan
dalam bentuk Hak Pengusahaan Hutan (HPH). Menurut ahli silvika, hutan
merupakan suatu assosiasi dari tumbuh-tumbuhan yang sebagian besar terdiri atas
pohon-pohon atau vegetasi berkayu yang menempati areal luas. Sedangkan ahli
ekologi mengartikan hutan sebagai suatu masyarakat tumbuh-tumbuhan yang
dikuasai oleh pohon-pohon dan mempunyai keadaan lingkungan berbeda dengan
keadaan di luar hutan (Arief, 2001). Menurut (UU RI No.41 Tahun 1992 dalam
Indriyanto, 2006) hutan didefinisikan sebagai kesatuan ekosistem berupa
hamparan lahan berisi sumber daya alam hayati yang didominasi oleh pepohonan
dalam persekutuan lahan lingkungannya.

2.1.1 Fungsi Hutan


Menurut Wanggai (2009), hutan menyimpan cadangan karbon dalam jumlah
besar, terutama hutan didaerah tropis mempunyai pengaruh yang cukup besar.
Hutan memiliki banyak manfaat untuk manusia, fungsi hutan diantaranya adalah
fungsi ekologi, fungsi hidrologi, fungsi klimatologi dan fungsi ekonomi.
a. Fungsi Ekologi
Hutan banyak dipengaruhi oleh komponen lingkungan seperti tanah, iklim
dan sumberdaya hayati (tumbuhan, hewan, mikroorganisme dan berbagai
plasma nuftah) yang semuanya saling mempengaruhi. Beberapa populasi yang
bersama-sama pada suatu waktu menempati suatu wilayah hutan tertentu
disebut komunitas (Odum 1971 dalam Wanggai, 2009). Para pakar ekologi
secara spesifik mengamati tempat hidup dari organisme tertentu. Bila
organisme tersebut ditemukan di tempat yang sama maka disebut habitat.

4
Habitat digambarkan sebagai tempat dari organisme dalam suatu ekosistem
yang luas, sedangkan hal yang spesifik seperti alamat, tugas atau profesi dalam
suatu komunitas dikenal sebagai relung ekologi. Selanjutnya, sebagai habitat
atau relung, hutan menyediakan bahan pakan, tempat berteduh dan berlindung,
istirahat, tempat berkembangbiak, tumbuh subur menghasilkan oksigen, air
bersih dan obat herbal.
b. Fungsi Hidrologi
Hutan dengan sumber daya alamnya mampu mencegah terjadinya
kekeringan, panas serta cuaca buruk (angin topan) yang merugikan manusia.
Sebagai pencegah kekeringan, hutan mampu menyimpan berjuta-juta kubik air
yang siap dialirkan ke sungai-sungai berupa mata air dan uap air ke udara
sebagai proses timbulnya hujan (Arief, 2001). Sedangkan berdasarkan fungsi
hutan menurut (Asdak 1995 dalam Wanggai, 2009) hutan dapat menyimpan air
selama musim kemarau. Akar-akar pohon menjaga dan mempertahankan
kesuburan tanah, sebagai wilayah untuk melestarikan keanekaragaman hayati.
c. Fungsi Klimatologi
Hutan berfungsi sebagai paru-paru dunia karena membantu menstabilkan
iklim dunia dengan cara menyerap karbon dioksida dari atmosfer dan
mengeluarkannya kembali dalam bentuk oksigen. Pembuangan karbon
dioksida dipercaya memberi pengaruh terhadap perubahan iklim melalui
pemanasan global. Namun dengan terpeliharanya hutan maka fungsi hutan
sebagai penstabil iklim tetap terjaga. Hutan juga mengatur kondisi cuaca lokal
dengan membuat hujan dan mengatur suhu (Arief, 2001).
d. Fungsi Ekonomi
Hasil utama hutan adalah kayu. Kayu merupakan bahan baku yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan. Kayu dapat digunakan sebagai baku
industri, bahan bakar dan arang, juga berbagai jenis tumbuhan obat-obatan
dapat dijual langsung atau diolah menjadi berbagai barang yang bernilai tinggi
dan menyumbang devisa negara dari hasil penjualan produk hasil hutan ke luar
negeri (Wanggai, 2009).

5
2.1.2 Ketinggian Tempat
Menurut Arief (2001), hutan dibedakan berdasarkan tinggi dan rendahnya
tempat, dimana hutan tersebut tumbuh, yakni sebagai berikut :
a) Hutan dataran rendah, yakni hutan yang tumbuh di daerah yang berketinggian
0 m – 1.000 m diatas permukaan laut.
b) Hutan dataran tinggi, yakni hutan yang tumbuh di daerah yang berketinggian
1.000 m – 1.750 m diatas permukaan laut.
c) Hutan pegunungan tinggi (mountaine), yakni hutan yang tumbuh di daerah
yang berketinggian 3.000 m – 4.000 m diatas permukaan laut.
d) Hutan sub-alpine, yakni hutan yang tumbuh di daerah yang berketinggian
4.000 m – 4.500 m diatas permukaan laut.
e) Hutan salju, yakni hutan yang tumbuh di daerah yang berketinggian diatas
5.000 m diatas permukaan laut.

2.1.3 Klasifikasi Pohon


Klasifikasi pohon berdasarkan ukuran (Arief, 2001) :
a) Tingkat semai, apabila pohon-pohonnya mempunyai tinggi sampai 1,5 m.
b) Tingkat pancang, apabila pohon-pohonnya mempunyai tinggi > 1,5 m dengan
diameter < 10 cm.
c) Tingkat tiang, apabila pohon-pohonnya mempunyai diameter 10 cm – 19 cm.
d) Tingkat pohon inti, apabila pohon-pohonnya mempunyai diameter 20 cm – 49
cm.
e) Tingkat pohon besar, apabila pohon-pohonnya mempunyai diameter > 50 cm.

6
2.2 Vegetasi
Vegetasi merupakan kumpulan beberapa jenis tumbuhan yang hidup bersama-
sama dalam suatu tempat dan saling mengadakan interaksi antara tumbuhan yang
satu dengan tumbuhan yang lainnya, baik interaksi yang saling menguntungkan
maupun interaksi yang saling merugikan dari tipe jenis tumbuh-tumbuhan yang
ada di tempat tersebut berdasarkan hubungan ketergantungannya. Analisis
vegetasi dalam ekologi tumbuhan adalah cara untuk mempelajari struktur vegetasi
dan komposisi jenis tumbuhan. Analisis vegetasi bertujuan untuk mengetahui
komposisi jenis (susunan) tumbuhan dan bentuk (struktur) vegetasi yang ada di
wilayah yang dianalisis (Arief, 2001).

2.2.1 Komposisi Vegetasi


Komposisi vegetasi merupakan suatu susunan dan jumlah jenis persatuan luas
(Bratawinata, 2001). Komposisi dapat pula diartikan sebagai suatu susunan dan
jumlah jenis yang membentuk tegakan. Komposisi vegetasi sangat ditentukan
oleh faktor-faktor kebetulan, terutama waktu-waktu pemencaran buah dan
perkembangan bibit, namun pada daerah tertentu komposisi berkaitan dengan
cirri-ciri habitat, seperti tanah dan topografi (Anwar et al., 1984).

2.2.2 Struktur Vegetasi


Struktur vegetasi adalah suatu pengaturan ruang oleh individu-individu pohon
yang ada pada akhirnya membentuk tegakan (Danserau 1957 dalam
Bratawinata, 2001). Menurut (Kershaw 1973 dalam Bratawinata, 2001) struktur
vegetasi terdiri dari tiga komposisi yakni struktur vertical yang menyangkut
tinggi pohon dan lapisan tajuk, struktur horizontal yang menyangkut penyebaran
jenis pohon dan struktur kuantitatif yaitu jumlah jenis dalam suatu komunitas.
Menurut (Gopal dan Bhardwaj 1979 dalam Indrawan, 2012) untuk
kepentingan deskripsi suatu komunitas tumbuhan diperlukan minimal tiga
macam parameter kuantitatif antara lain densitas, frekuensi dan dominansi.

7
1. Kerapatan (Densitas)
Kerapatan ditentukan berdasarkan jumlah individu setiap jenis pada suatu
luasan tertentu, kerapatan relatif dihitung dengan jumlah kerapatan seluruh
jenis dikali 100%.
2. Frekuensi
Kekerapatan suatu jenis menunjukkan penyebaran suatu jenis dalam suatu
areal. Jenis yang penyebarannya merata, nilai kekerapatannya besar
sebaliknya yang nilai kekerapatannya kecil penyebarannya tidak luas.
Sedangkan frekuensi relatif (%) dihitung dari perbandingan antara frekuensi
suatu jenis dengan frekuensi seluruh jenis dikali 100%.
3. Dominansi
Dominansi menggambarkan penguasaan suatu jenis terhadap jenis lainnya
dalam komunitas. Makin besar nilai dominansi suatu jenis maka makin besar
pula pengaruh penguasaan jenis tersebut terhadap jenis lainnya. Sebaliknya
makin kecil nilai dominansi suatu jenis, maka makin berkurang penguasaan
jenis tersebut terhadap jenis lainnya. Dominansi relatif (%) dihitung dengan
membagi dominansi suatu jenis dengan dominansi seluruh jenis dikali 100%.
4. Indeks Nilai Penting
Indeks nilai penting merupakan hasil penjumlahan kerapatan relatif (KR),
frekuensi relatif (FR) dan dominansi relatif (DR). Nilai penting
menggambarkan besarnya pengaruh yang diberikan jenis tumbuhan terhadap
komunitasnya. Jenis yang memiliki nilai penting tertinggi akan membentuk
komunitas yang ada.

8
2.3 Keanekaragaman Hayati
Keanekaragaman hayati didefinisikan sebagai jutaan tumbuhan, hewan dan
mikroorganisme, termasuk gen yang mereka miliki, serta ekosistem rumit yang
mereka bantu menjadi lingkungan hidup (WWF 1989 dalam Indrawan, 2012).
Keanekaragaman hayati digolongkan menjadi tiga tingkat yaitu keanekaragaman
spesies, keanekaragaman genetik dan keanekaragaman komunitas (Indrawan et
al., 2012).
Keanekaragaman hayati berasal dari kata “Biological diversity” atau yang
disingkat “Biodiversity”. Keanekaragaman hayati menyangkut berbagai ragam
makhluk hidup, variasi gen dalam suatu individu maupun dalam populasi,
keanekaragaman ekosistem, interaksi antara sesama makhluk hidup dengan
interaksi antar makhluk hidup dengan lingkungannya. Keanekaragaman hayati
menyangkut dua komponen yaitu jumlah jenis atau kekayaan jenis (species
richness) dan jumlah jenis dalam populasi tertentu atau kelimpahan relatif
(species evenness/relative abudance) (Primack et al., 1998).

2.3.1 Mengukur Keanekaragaman Hayati


Definisi keanekaragaman hayati telah dikembangkan untuk membandingkan
keanekaragaman secara keseluruhan dari komunitas yang berbeda, pada berbagai
skala geografi yang beragam pula (Leitner dan Turner 2001 ; Summerville dkk
2003 dalam Indrawan, 2012). Indeks kuantitatif keanekaragaman hayati telah
dikembangkan terutama untuk menunjukkan keanekaragaman spesies pada tiga
skala geografi yang berbeda. Pada tingkat yang paling sederhana,
keanekaragaman didefinisikan sebagai jumlah spesies yang ditemukan dalam
komunitas. Ukurannya seringkali disebut dengan kekayaan spesies atau
keanekaragaman alfa. Untuk skala geografi yang lebih luas, yaitu jumlah
spesies di dalam regional yang luas atau benua disebut keanekaragaman
gamma. Bila pengukuran dilakukan pada skala bentang alam maka digunakan
istilah Keanekaragaman beta (Indrawan et al., 2012).

9
BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Waktu dan Lokasi

Penelitian ini akan dilakukan pada bulan September hingga Desember 2019 di
Kampung Sewan Distrik Sarmi Timur Kabupaten Sarmi.

Gambar 1. Peta Kawasan Hutan Lindung Kabupaten Sarmi Provisi Papua

3.2 Populasi dan Sampel

3.2.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh jenis pohon pada Hutan Lindung
di Kampung Sewan Distrik Sarmi Timur Kabupaten Sarmi.

3.2.2 Sampel

Sampel dalam penelitian ini adalah jenis pohon yang ditemukan dalam plot
pengamatan.

10
3.3 Alat dan Bahan

3.3.1 Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah alat tulis, meteran lux, meteran
pakaian, tali rafia, tongkat patok, gunting, alat herbarium, kompas dan GPS.

3.3.2 Bahan

Bahan yang digunakan dalam penelitian ini adalah alkohol 70% dan spesimen
tumbuhan.

3.4 Metode Pengumpulan Data

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah :

1) Metode Observasi
Metode observasi merupakan metode pengamatan langsung di lokasi penelitian
yang digunakan untuk menentukan lokasi pengambilan sampel.
2) Metode Transek
Metode transek digunakan untuk menentukan areal pengambilan sampel di
lokasi penelitian.
3) Metode Dokumentasi
Metode dokumentasi merupakan metode yang digunakan pada saat
pengambilan sampel untuk pembuatan herbarium dan pemotretan di areal
pengamatan.
4) Metode Studi Pustaka
Metode studi pustaka digunakan dalam mengidentifikasi jenis pohon dengan
menggunakan buku acuan.

11
3.5 Prosedur Kerja
a) Observasi untuk menetapkan lokasi penelitian.
b) Persiapkan perlengkapan penelitian.
c) Garis transek dibuat membelah kawasan hutan dengan panjang ukuran 500 m x
200 m.
d) Jarak antar garis transek 100 m dan jarak antar plot 10 m sehingga di lapangan
dibuat sebanyak 6 transek (Gambar 2).
e) Dalam transek tersebut dibuat plot pengamatan secara random dengan ukuran
tingkat sapling 5 m x 5 m dengan diameter batang <10 cm dan tingkat pohon
20 m x 20 m dengan diameter batang >20 cm.
f) Sampel pohon diambil (ranting yang terdapat daun, bunga, buah dan biji) untuk
diidentifikasi dan dibuat herbarium.
g) Pengolahan data secara kuantitatif dan kualitatif.

500 m

200 m 10 cm

100 m

Gambar 2. Desain transek pengamatan dengan metode transek.

12
3.6 Analisis Data

Data dianalisis secara deskriptif-kuantitatif dan deskriptif kualitatif. Data


vegetasi dianalisis dengan menggunakan rumus (Mueller-Dombois dan Ellenberg
1974 dalam Indriyanto, 2012) sebagai berikut :

Jumlah individu
Kerapatan =
Luas seluruh petak ukur

Kerapatan suatu jenis


Kerapatan Relatif = x 100%
Kerapatan seluruh jenis

Jumlah petak penemuan suatu jenis


Frekuensi =
Jumlah seluruh petak ukur

Frekuensi suatu jenis


Frekuensi Relatif = x 100%
Frekuensi seluruh jenis

Luas penutupan suatu jenis


Dominansi =
Luas petak ukur

Dominansi suatu jenis


Dominansi Relatif = x 100%
Dominansi seluruh jenis

Indeks Nilai Penting = KR + FR + DR

Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener (Index of Diversity)

Keanekargaman jenis yang terdapat dalam komunitas hutan dapat diketahui


dengan rumus Indeks Keanekaragaman Jenis dari Shannon-Wiener yang
dijabarkan oleh (Odum 1971 dalam Indriyanto, 2012) sebagai berikut :

𝑛𝑖 𝑛𝑖
H ′ = −∑ 𝑙𝑜𝑔
𝑁 N

13
Dimana :

H’ : Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener

ni : Jumlah individu dari suatu jenis i

N : Jumlah total individu seluruh jenis

Besarnya Indeks Keanekaragaman Shannon-Wiener dapat didefinisikan


sebagai berikut :

a. Nilai H’ > 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis adalah melimpah


tinggi.

b. Nilai H’1 ≤ H’ ≤ 3 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis adalah


sedang melimpah.

c. Nilai H’ < 1 menunjukkan bahwa keanekaragaman jenis adalah sedikit atau


rendah.

Indeks Kesamaan Komunitas (Index of Similarity)

Koefisien untuk menyatakan indeks kesamaan menggunakan rumus yang


dijabarkan oleh Bratawinata (2001) dan Fachrul (2007), sebagai berikut :
2C
IS = x 100%
A+B

Keterangan:

IS = Indeks kesamaan jenis Sorensen

A = Jumlah jenis tumbuhan di daerah 1

B = Jumlah jenis tumbuhan di daerah 2

C = Jumlah jenis tumbuhan yang sama di kedua daerah 1 dan 2

14
DAFTAR PUSTAKA

Anwar, J., S.J. Darmanik, N. Hisym dan A.J. Whitten. 1984. Ekologi Ekosistem
Sumatera. UGM Press. Yogyakarta.
Arief, A. 2001. Hutan dan Kehutanan. Kanisius. Yogyakarta.
Bratawinata, A.A. 2001. Ekologi Hutan Hujan Tropis dan Metode Analisis Hutan.
Badan Kerjasama Perguruan Tinggi Negeri Indonesia Timur Dirjen Pendidikan
Departemen Pendidikan Nasional. Jakarta.
Fachrul, M.F. 2007. Metode Sampling Bioekologi. Bumi Aksara. Jakarta.
Indrawan, M., R. Primack dan J. Supriatna. 2012. Biologi Konservasi. Yayasan Pustaka
Obor Indonesia. Jakarta.
Indriyanto. 2006. Ekologi Hutan. Bumi Aksara. Jakarta.
Primack, R.B. 1998. Biologi Konservasi. Yayasan Obor Indonesia. Jakarta.
RPIJM Bidang Cipta Karya. 2018-2022. Dinas Pekerjaan Umum Kabupaten Sarmi.
Tanjung, H.R.R., S. Sufaati dan L. Runggeari. 2010. Analisa Vegetasi Jenis Pohon Pada
Kawasan Hutan di Kampung Tablanusu Distrik Depapre Kabupaten Jayapura.
Jurnal Biologi Papua. Vol 2 (1). Hal : 23-31.
Tanjung, H.R.R., Suharno dan J. Kalor. 2012. Analisis Vegetasi dan Potensi Hutan
Bukan Kayu di Kawasan Hutan Kampung Pagai, Distrik Airu, Kabupaten
Jayapura, Papua. Jurnal Biologi Papua. Vol 4 (2). Hal : 54-62.
Wanggai, F. 2009. Manajemen Hutan. Grasindo. Jakarta.

15

Anda mungkin juga menyukai