KEBIJAKAN KEHUTANAN
Kebijakan Kemenhut dalam penanganan perkebunan sawit
Disusun Oleh:
MUHAMMAD DAMEI KESUMA
213010404011
Puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa., yang atas berkat
dan rahmatnya saya dapat menyelesaikan makalah “Kebijakan Kehutanan” ini dengan tepat
pada waktunya.
Pada kesempatan kali ini saya mengucapkan terimakasih kepada dosen pengampu
mata kuliah ilmu tanah hutan, bapak Ir.Ahmad Mujaffar, M.Hut yang telah memberikan tugas
kepada saya. Dan juga saya berterimakasih kepada pihak-pihak yang membantu dalam
Makalah ini jauh dari kata sempurna, oleh karena itu saya menerima kritik dan saran
yang membangun sehingga makalah ini dapat berguna bagi saya dan pihak yang
perkepentingan lainnya.
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.............................................................................................................i
DAFTAR ISI...........................................................................................................................ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1.Latar belakang.........................................................................................................1
BAB II PEMBAHASAN
2.2.Kebijakan Kemenhut................................................................................................3
4.1.Kesimpulan.........................................................................................................4
4.2.Saran...................................................................................................................5
DAFTAR PUSTAKA
BAB I
PENDAHULUAN
Chao, 2011). Perkembangan industri kelapa sawit yang pesat di Indonesia tentu memiliki
dampak positif dan negatif. Dampak positif yang ditimbulkan antara lain, dapat meningkatkan
perekonomian negara sebab nilai ekonomi tanaman ini yang cukup tinggi dan berdaya saing.
Adanya industri kelapa sawit ini juga akan menopang kehidupan masyarakat, seperti
masyarakat. Namun, ditengah perannya yang besar terhadap perekonomian dan peningkatan
tantangan yang semakin besar, khususnya mengenai isu lingkungan. Perluasan lahan
perkebunan kelapa sawit pada akhirnya akan mengkonversi kawasan hutan, khususnya pada
lahan gambut. Sehingga akan menyebabkan degradasi lahan (kerusakan lahan) dimana lahan
mengalami penurunan produktivitas. Pembakaran lahan pada saat deforestasi juga akan
menyebabkan peningkatan emisi karbon yang berakibat meningkatnya intensitas efek gas rumah
kaca pada atmosfer. Hal ini membuat panas matahari terperangkap di bumi sehingga kondisi
mengalami pemanasan secara global. Jika hal ini terjadi secara terus menerus, akan
penguasaan lahan untuk perkebunan sawit terjadi di dalam kawasan hutan. Mengacu pada
kerangka pendekatan yang dikembangkan Hall (2011), Observasi lapangan di beberapa
kabupaten terpilih di kedua provinsi juga dilakukan untuk memahami lebih dalam konteks yang
diteliti melalui pengamatan praktik-praktik penguasaan lahan dan kondisi perkebunan kelapa
BAB II
PEMBAHASAN
Berdasarkan identifikasi, pendataan dan pemetaan tutupan kelapa sawit oleh LSM,
diketahui sekitar 3,47 juta hektar perkebunan kelapa sawit berada di kawasan hutan (Kehati
dan Auriga, 2018). Ekspansi kelapa sawit, terutama ke kawasan hutan, dilakukan oleh hampir
semua jenis pelaku usaha kelapa sawit: perusahaan, masyarakat lokal, dan pendatang dan
“investor individu” yang dikenal sebagai petani kecil. Dengan demikian, industri kelapa sawit
menghadapi banyak kritik dan tantangan dari pihak lokal dan global. Pengelolaan lahan pada
perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan tidak efisien. Memahami faktor ekonomi, sosial
dan lingkungan yang mendorong dan memungkinkan perkebunan kelapa sawit, terutama
kelapa sawit rakyat menjadi kawasan hutan, dapat membantu pembuat kebijakan
mengembangkan langkah-langkah perbaikan yang lebih baik.
lainnya juga mengeluarkan kebijakan yang sekalipun tidak langsung terkait dengan penyelesaian
tenurial perkebunan kelapa sawit di dalam kawasan hutan, tetapi berperan dalam mengatur dan
mengantisipasi dampak negatif dari terjadinya gangguan yang diakibatkan tumpang tindih
penanganan gangguan dan konflik usaha perkebunan (Direktorat Jenderal Perkebunan 2016).
Pedoman tersebut memberikan panduan bagi para pihak terutama aparat pemerintah di sektor
perkebunan dalam menangani gangguan dan konflik dengan beragam tipologi dalam bentuk lahan,
kehutanan dan non-lahan. Dalam hal lahan dan kehutanan, berbagai kasus gangguan dan konflik
yang tercakup dalam pedoman tersebut antara lain: penggunaan tanah adat, belum selesaikan
penetapan tata ruang wilayah daerah, penyerobotan areal perkebunan oleh masyarakat, tumpang
tindih lahan perkebunan dengan kawasan pertambangan dan izin baru perkebunan, tuntutan
masyarakat terhadap kebun plasma yang telah dijanjikan dan lahan perusahaan yang sudah habis
masa HGU nya, lahan yang ditelantarkan, dan lokasi usaha perkebunan yang berada di dalam
kawasan hutan akibat telah dilakukannya pembukaan lahan sebelum memperoleh persetujuan
pelepasan kawasan hutan dari Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan : Penggunaan tanah adat,
penetapan rencana tata ruang wilayah yang belum selesai, perampasan areal perkebunan oleh
masyarakat, tumpang tindih perkebunan dengan tambang dan izin tanam baru, permintaan
masyarakat akan kebun plasma dan tanah perusahaan yang telah ditetapkan masa HGUnya, dan
menunggu persetujuan Menteri Lingkungan dan Kehutanan untuk pelepasan kawasan hutan, lokasi
BAB III
3.1 Kesimpulan
2. Tata guna lahan secara tradisional, penetapan rencana tata ruang wilayah yang
belum tuntas, perampasan areal perkebunan oleh masyarakat, tumpang tindih areal
perkebunan dan pertambangan serta izin tanam baru, tuntutan masyarakat terhadap
kawasan hutan yang disetujui oleh Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan.
3.2 Saran
Regulasi yang tidak tercermin dalam pelaksanaan operasi perkebunan kelapa sawit
harus jelas, namun upaya fasilitasi birokrasi dalam pembukaan izin kawasan dan peningkatan
pembangunan fasilitas harus jelas. Memperjelas wilayah usaha antara peraturan kehutanan
dan perkebunan. Oleh karena itu, regulator harus mengklarifikasi kebutuhan operator
perkebunan akan izin, fasilitas dan fungsi area bisnis sehingga mereka dapat melakukan dan
mencapai implementasi dan pengendalian operasi kelapa sawit yang efektif secara efisien,
Colchester, M., & Chao, S. (2011). Oil palm expansion in South East Asia: An overview. In
M. Colchester & S. Chao (Eds.), Oil palm expansion in South East Asia: Trends and
implications for local communities and indigenous peoples (p. 264). Moreton-in-Marsh,
England: Forest Peoples Programme.
Direktorat Jenderal Perkebunan. (2016). Pedoman teknis penanganan gangguan dan konflik
usaha perkebunan tahun 2016. Jakarta, Indonesia: Direktorat Jenderal Perkebunan,
Kementerian Pertanian.
Hall, D. (2011). Land grabs, land control, and Southeast Asian crop booms. Journal of
Peasant Studies, 38(4), 837–857. https://doi.org/10.1080/03066150.2011.607706