Anda di halaman 1dari 16

MAKALAH

REKLAMASI TANAMAN ADAPTIF DI LAHAN BEKAS


TAMBANG BATUBARA

OLEH :

KELOMPOK 7

Natalie Lorenzahita Sinaga Alifa Lutfiana 213020504028


213010504004
Manissa Rahayu 213020504030
Nelsa Rellyamazia Asan
Sri Rahmawati 213020504032
213010504007
Merce Masriani Zalukhu
Siti Rohani Waruwu 213010504010
213020504037
Irga Loti Rante 213020504014
Yosafat Hazezon sitompul
Nia Febriani 213020504018 213030504058

Maura Rahmawati 213020504021 Michael Putrajaya 213030504075

Nico Perdana Saputra 213030504048


KEMENTERIAN PENDIDIKAN, KEBUDAYAAN, RISET, DAN
TEKNOLOGI
UNIVERSITAS PALANGKA RAYA
FAKULTAS TEKNIK
JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN
2022
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa karena berkat, rahmat
dan karunia-Nya kami dapat menyelesaikan makalah ini tepat pada waktunya.

Terima kasih juga kami ucapkan kepada teman-teman yang telah berkontribusi
dengan memberikan ide-idenya sehingga makalah dengan judul "Reklamasi
Tanaman Adaptif Di Lahan Bekas Tambang Batubara” ini bisa disusun dengan
baik dan rapi.

Kami berharap semoga makalah ini dapat memberikan manfaat bagi


pembacanya. Namun, terlepas dari itu semua kami memahami bahwa makalah ini
masih banyak kekurangan. Sehingga kami sangat mengharapkan kritik dan saran
demi kebaikan selanjutnya.

Palangka Raya, November 2022

Penyusun

i
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .................................................................................. i


DAFTAR ISI ................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang .............................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ........................................................................2
1.3 Tujuan ...........................................................................................2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Implementasi Peraturan Reklamasi Pertambangan Batubara .......3
2.2 Jenis Tanaman Adiptif Dalam Reklamasi Tambang Batubara ...10
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan .................................................................................12
3.2 Saran ...........................................................................................12

DAFTAR PUSTAKA

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam. Salah satu
sumber daya alam yang dijadikan sumber pendapatan masyarakat di sektor
ekonomi adalah batubara. Menurut ESDM (2011), total sumber daya batubara
di Indonesia pada tahun 2011 diperkirakan mencapai 105 miliar ton, 75% dari
total produksi diekspor keluar negeri dan sisanya untuk kebutuhan dalam
negeri. Seiring dengan melimpahnya batubara, membuat semakin banyak
kegiatan-kegiatan penambangan. Banyaknya kegiatan penambangan dengan
sistem terbuka secara tidak langsung, mengubah bentang alam yang pada
awalnya hutan dan gunung menjadi lubang-lubang yang gersang dan tandus
(void). Kerusakan hutan yang terjadi di Indonesia telah mencapai 10% dari
total luas seluruh hutan akibat penambangan batubara. Kerusakan lingkungan
pasca penambangan berdampak pada kurangnya vegetasi hutan, flora dan
fauna, serta lapisan tanah. Kerusakan lingkungan pasca penambangan
berdampak pada hulangnya vegetasi hutan, flora dan fauna, serta menurunnya
kualitas tanah. Mashud dan Engelbert (2014), tanah pada lahan pasca
tambang miskin unsur hara dan bahan organik serta memiliki testur yang
gembur. Oleh karena itu setiap perusahaan yang melakukan kegiatan
penambangan wajib melaksanakan reklamasi lahan bekas pertambangannya.
Reklamasi merupakan salah satu cara untuk memperbaiki kerusakan hutan
pasca penambangan batubara.
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan sepanjang tahapan usaha
pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki kualitas
lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi kembai sesuai
peruntukkannya (Budianta et al., 2017). Pada dasarnya reklamasi dan
revegetasi merupakan salah satu usaha yang dlikakukan untuk memperbaiki

1
kondisi lahan pasca penambangan (Pujawati, 2009). Selanjutnya, Kurniawan
(2013), menyatakan bahwa keberhasilan reklamasi membutuhkan
pengetahuan dasar tentang lingkungan biotik dan abiotik dan juga tentang
proses yang terjadi pada lingkungan pada setiap tingkatannya. Upaya
reklamasi lahan dapat mengurangi terjadinya resiko tanah longsor dan banjir,
serta dapat mengembalikan bentang alam beserta ekosistemnya, walaupun
tidak seperti keadaan awal. Oktavia et al. (2017), pelaksanaan reklamasi
dilakukan paling lambat satu bulan setelah tidak ada kegiatan penambangan.
Tanaman adaptif lahan pasca tambang batubara merupakan tanaman yang
mampu untuk tumbuh dan beradaptasi terhadap kondisi lingkungan, baik itu
iklim, jenis tanah, bentuk lahan dan lain-lain, sehingga dapat memulihkan
ekosistem lahan pasca tambang ke kondisi semula dengan cepat. Pemilihan
tanaman yang tepat, cocok dan sesuai dapat menjadi kunci keberhasilan
kegiatan reklamasi lahan pasca tambang batubara. Kajian ini diharapkan
dapat menjadi referensi dan rekomendasi dalam pelaksanaan revegetasi lahan
pasca tambang batubara.
Permasalahan tersebutlah yang melatarbelakangi penulis melakukan studi
literatur dengan judul “Reklamasi Tanaman Adaptif di Lahan Bekas
Tambang Batubara” dengan tujuan untuk menata, memulihkan, dan
memperbaiki kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat berfungsi
kembali sesuai peruntukkannya.

1.2 Rumusan Masalah


1. Bagaimana implementasi peraturan mengenai reklamasi pertambangan
batubara di kawasan hutan di Kalimantan Timur?
2. Apa saja tanaman adaptif dalam reklamasi pertambangan batubara?
1.3 Tujuan
1. Untuk mengetahui implementasi peraturan mengenai reklamasi
pertambangan batubara di kawasan hutan di Kalimantan Timur
2. Untuk mengetahui jenis tanaman adaptif dalam reklamasi pertambangan
batubara

2
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Implementasi Peraturan Mengenai Reklamasi Pertambangan Batubara


di Kawasan Hutan di Kalimantan Timur
Pertambangan batubara di Kaltim berada dalam kawasan hutan dan di luar
kawasan hutan. Kebutuhan kawasan hutan untuk kegiatan pertambangan
batubara mulai teridentifikasi sejak beroperasinya pertambangan batubara
dalam skala besar (PKP2B) di awal tahun 1990-an. PKP2B yang hadir di
masa ini antara lain PT. Fajar Bumi Sakti,PT. Bukit Baiduri Enterprise, dan
PT. Kitadin. Pada tahun 1990 terdapat PT. Kalimantan Timur Prima Coal,
PT. Kideco Jaya Agung, PT. Tanito Harum, PT. Multi Harapan Utama, PT.
Berau Coal, dan PT. Kandilo Coal Mining (BHP). Akibat hukum bagi
pemegang kontrak karya dan PKP2B yang tidak mengindahkannya ketentuan
pasal 169 UU MINERBA, tidak menyampaikan rencana kegiatan pada
seluruh wilayah kontrak sampai dengan berakhirnya kontrak paling lambat 1
(satu) tahun sejak berlakunya kontrak ini, maka berdasarkan pasal 171 UU
MINERBA, luas wilayah pertambangannya akan disesuaikan dengan
undang-undang ini dalam ketentuan pasal 83 huruf a UU MINERBA
menyebutkan bahwa “luas 1 (satu) WIUPK untuk tahap kegiatan eksplorasi
pertambangan mineral logam diberikan dengan luas paling banyak 100.000
(seratus ribu) hektare”
Pada perkembangan selanjutnya, kebutuhan kawasan hutan untuk kegiatan
pertambangan batu- bara terus terjadi, terutama sejak tahun 2000 atau pasca
pemberian kewenangan kepada pemerintah daerah dalam menerbitkan IUP.
Jumlah IUP yang diterbitkan oleh Pemerintah daerah di Kaltim sebanyak
1.443 izin termasuk PKP2B sebanyak 33 izin, di antaranya terdapat di Daerah
Aliran Sungai (DAS) sejumlah 116 perusahaan dan di area-area hutan
konservasi. Kegiatan industri batubara seringkali terjadi adanya konflik
antara masyarakat yang tinggal di sekitar lahan pertambangan batubara
dengan pihak perusahaan tambang juga terjadi karena adanya perbedaan

3
kepentingan antara keduanya. Kondisi ini jika dibiarkan mampu
menimbulkan konflik yang lebih meluas antara pihak perusahaan tambang
atau pihak kapitalis pemodal yang memodali keberadaan tambang
masyarakat di sekitar lingkungan pertambangan. Sedangkan pada tahap
penambangan/Eksploitasi, seperti telah dikemukakan dimuka terjadi
kerusakan hutan, hutan gundul sehingga terjadi kerusakan lingkungan karena
banjir lumpur pekat yang merusak lahan pertanian dan lingkungan sekitarnya
yang mengganggu kesehatan dan perekonomian warga. Kemudian pada tahap
pengolahan dan pemurnian yang mengaliri sungai mengandung limbah
batubara zat-zat yang sangat berbahaya bagi kesehatan manusia. Berkaitan
dengan hal-hal tersebut diatas, sesuai dengan UU No 4 tahun 2009 dan PP No
23 tahun 2010, yang menyebutkan bahwa para pemilik tambang wajib
menyediakan jalan khusus angkutan batubara, UU dan Peraturan tersebut,
jelas dikatakan sebelum operasi produksi, pengusaha wajib menyelesaikan
berbagai infrastruktur, diantaranya jalan.
Kebijakan untuk mempertahankan fungsi-fungsi ekologi kawasan hutan
tidak berbanding lurus dengan prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan
oleh karena masih adanya keputusan memanfaatkan (‘mengilangkan’) hutan.
Penggunaan kawasan hutan lebih cepat dibandingkan kegiatan revegetasi.
Kondisi ini menegasikan keberpihakan pemerintah terhadap sektor yang
berkarakter eksploitatif diban- dingkan dengan sektor-sektor kegiatan
ekonomi SDA berkelanjutan dan masyarakat. Menghilangkan hutan melalui
praktik penggunaan kawasan hutan untuk pertambangan batu- bara memicu
perasaan ketidakadilan bagi pengguna kayu (produk hasil hutan) pada
masyarakat di sekitar hutan. Kelompok ini terancam dengan sanksi pidana,
sementara penambang dapat meman- faatkan hutan dalam skala besar dengan
dukungan fasilitasi pinjam pakai. Pembayaran Pendapatan Negara Bukan
Pajak (PNBP) dan provisi SDAsebagai kompensasi hilangnya kekayaan SDA
dalam praktik IPPKH tidak memberikan kepastian dalam mengembalikan
fungsi hutan. PNBP langsung disetorkan ke dalam rekening Menteri
Keuangan tidak berubah menjadi biaya recovery sumber daya alam Kaltim.

4
Seharusnya PNBP tersebut merumuskan bagian daerah penghasil sumber
daya alam dalam jumlah yang memadai agar daerah mampu menyediakan
biaya perbaikan lingkungan hidup dan memperkecil kesenjangan ekonomi
akibat eksploitasi selama ini. Kegiatan pertambangan batubara adalah salah
satu penyumbang utama deforestasi di Kaltim.
Di samping sebagai penyumbang deforestasi, kegiatan pertambangan telah
mengganggu berbagai aktivitas ekonomi lain, di antaranya kegiatan pertanian
(ancaman kelangkaan pangan), kerusakan fasilitas publik, termasuk ancaman
keberlanjutan keuangan daerah dalam menyiapkan biaya pemulihan
lingkungan saat ini dan masa yang akan datang setelah kegiatan
pertambangan batubara berakhir. Pertambangan batubara juga sebagai
pemicu konflik sumber daya alam, dan mempersulit upaya pemerintah
Provinsi Kaltim dalam mempersiapankan program REDD+. Keadaan yang
demikian bukan hanya sebagai wujud ketidakadilan tetapi juga
sebagai tindakan yang tidak efisien. Aspek analisis keuntungan secara sosial
ekonomi (socialeconomic cost benefit analysis) dalam hubungannya dengan
biaya-biaya sosial atas kerusakan lingkungan hidup (the social cost of
environmental damage to quality of life) belum menjadi pertimbangan
keputusan pemberian izin. Penanganan dari permasalahan deforestasi tidak
akan mampu apabila pemerintah tidak mengajak stakeholders lain secara
bersama-sama membahas tentang deforestasi ini, secara umum yang akan
dirugikan adalah masyarakat di Indonesia dan khususnya masyarakat yang
berdiam di Pulau Kalimantan akan kehilangan hutan alaminya sehingga
keberlangsungan untuk memenuhi nutrisi akan terganggu serta iklim dunia
pun berubah karena iklim yang bergantung kepada hutan terutama hutan yang
ada di Indonesia. Masyarakat Suku Dayak menjadi salah satu korban yang
terdampak dari adanya deforestasi yang sudah terjadi sejak lama di Pulau
Kalimantan. Pemerintah di dalam hal ini hendaknya bisa menerapkan
kebijakan yang proporsional untuk menekan laju deforestasi dan bisa
menerapkan solusi pemerintahan kolaboratif sebagai alternatif dalam
menangani permasalahan deforestasi di Pulau Kalimantan.

5
Perusahaan-perusahaan pengguna area hutan untuk pertambangan
batubara di Provinsi Kaltim saat ini berjumlah 72 dengan luas keseluruhan
berjumlah kawasan hutan 156.386,43 ha. Jumlah tersebut belum termasuk
pinjam pakai kawasan hutan yang diajukan oleh pemegang IUP. Sejumlah
194 (seratus Sembilan puluh empat) perusahaan pertambangan batubara yang
tidak memiliki izin menggunakan kawasan hutan produksi, 12 (dua belas)
perusahaan berada dalam kawasan hutan konservasi, dan 4 (empat)
perusahaan dalam kawasan hutan lindung. Semua kawasan hutan yang belum
memiliki izin dari menteri tersebut terdapat di Kabupaten Kutai Kertanegara.
Tindakan perusahaan yang tidak memiliki izin memanfaatkan hutan untuk
kegiatan pertambangan batubara merupakan tindakan kejahatan di bidang
kehutanan yaitu kejahatan korporasi (corporate crime).
Demikian juga terhadap penggunaan kawasan hutan konservasi oleh
korporasi secara tidak sah merupakan tindak pidana di bidang kehutanan.
Secara prinsip, pertambangan batubara di area kawasan hutan yang tidak
diikuti oleh kegiat- an revetasi dan reklamasi merupakan tindakan
penghilangan hutan yang dilegalisasi negara. Legalisasi negara dalam
menghilangkan hutan melalui perumusan perundang-undangan yang kurang
cukup mengatur mengenai kegiatan reklamasitermasuk praktik pemerintah
daerah yang tidak melakukan pengawasan pelaksanaan reklamasi
pertambangan batubara di area kawasan hutan. Implementasi ketentuan-
ketentuan mengenai kewajiban reklamasi pertambangan batubara belum
dilakukan dengan baik sampai saat ini. Menurunnya kegiatan pertambangan
batubara karena faktor permintaan pasar ekspor ikut memicu kegagalan
pemegang izin memenuhi kewajiban reklamasi. Penempatan dana jaminanan
reklamasi sebagai kewajiban hukum pemegang izin tidak ditaati dengan baik,
meskipun kebijakan ini sebagai antisipasi tindakan pemegang izin yang tidak
memenuhi kewajiban reklamasi. Pasal 20 ayat (1) Permen ESDM Nomor 7
Tahun 2014 tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pascatambang pada
Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara menetapkan bahwa
bentuk jaminan reklamasi dapat berupa Deposito Berjangka, Bank Garansi,

6
Asuransi atau Cadangan Akun- tansi (Accounting Reserve) dengan
ketentuan:
a. Deposito Berjangka ditempatkan pada bank Pemerintah di Indonesia atas
nama Menteri, Gubernur atau bupati/walikota qq. Perusahaan yang
bersangkutan dengan jangka waktu penjaminan sesuai dengan jadwal
reklamasi;
b. Bank Garansi yang diterbitkan oleh bank Pemerintah di Indonesia atau
cabang bank asing di Indonesia atau lembaga penjamin milikPemerintah
dengan jangka waktu penjaminan sesuai dengan jadwal reklamasi;
c. Asuransi diterbitkan oleh bank Pemerintah di Indonesia atau cabang bank
asing di Indonesia atau lembaga penjamin milik Pemerintah dengan
jangka waktu penjaminan sesuai dengan jadwal reklamasi; atau
d. Cadangan Akuntansi (Accounting Reserve), dapat ditempatkan apabila
Perusahaan tersebut memenuhi salah satu persyaratan yaitu Perusahaan
publik yang terdaftardi bursa efek di Indonesia, atau yang terdaftar di
bursa efek diluar Indonesia; atau Perusahaan mempunyai jumlah modal
disetor tidak kurang dari US $ 25.000.000,00 (dua puluh lima juta dolar
Amerika Serikat)seperti yang dinyatakan dalam laporan keuangan yang
telah diaudit oleh akuntan publik yang terdaftar di Departemen Keuangan.

Ketentuan ini juga mengatur kewajiban Perusahaan yang menempatkan


Jaminan Reklamasi dalam bentuk Cadangan Akuntansi (Accounting
Reserve), wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan yang telah diaudit
oleh akuntan publik,atau dalam bentuk lain yang ditetapkan oleh Menteri,
Gubernur atau Bupati/Walikota sesuai dengan kewenangan masing-masing.
Meskipun ketentuan di atas cukup rinci merumuskan kewajiban penem- patan
dana jaminan reklamasi tetapi berbagai fakta menunjukan adanya kegagalan
pemerintah daerah memaksakan penempatan dana jaminan reklamasi.
Perusahaan-perusahaan dalam bentuk PKP2B relatif memenuhi kewajiban
menempatkan dana reklamasi bersamaan dengan dokumen peren- canaan
produksi tahunan. Hal ini dipengaruhi oleh keterlibatan pemerintah dalam

7
setiap tahap- an pembahasan rencana kegiatan tahunan perusa- haan.
Meskipun demikian, tidak berarti tanggung jawab perusahaan, seperti PT.
Kideco Jaya Agung (Kabupaten Paser), PT. Kaltim Prima Coal (Kabupaten
Kutai Timur), dan Berau Coal (Kabu- paten Berau) telah melakukan
reklamasi di bekas area hutan berhasil dengan baik.
Pada umumnya, perusahaan-perusahaan dalam kategori besar ini
menutupinya dengan kemampuan melokalisasi isu pada tingkat kebutuhan
lokal di luar isu-isu lingkungan seperti kegiatan pendidikan, kesehatan,
pembinaan usaha kecil, keterlibatan pengembangan ekonomi lokal, kegiatan
sponshorship olah raga dan program konservasi. Sistem perizinan di daerah
(IUP-Operasi produksi) tidak memiliki daya paksa terhadap pemegang izin
dalam menempatkan dana jaminan reklamasi. Jika penempatan dana jaminan
reklamasi dilaksanakan oleh pemegang izin, pemerintah daerah dapat
melakukan reklamasi melalui penunjukan pihak ketiga dengan menggunakan
dana jaminan reklamasi milik pemegang izin. Sistem perizinan yang
dipraktikan oleh pemerintah daerah tidak mempersyaratkan rencana
reklamasi ditempatkan sebagai bagian persyaratan pada fase pengajuan izin,
baik IUP eksplorasi maupun IUP-Operasi Produksi. Pada umumnya, rencana
reklamasi tidak ditempatkan pada pemerintah daerah sehingga tidak memiliki
kejelasan untuk melakukan pengawasan terhadap proses pelaksanaan
reklamasi. Perusahaan pertambangan yang tidak melakukan reklamasi
merupakan beban pemerintah masa depan oleh karena menghadapi kerusakan
ekologis danmengurangi kemampuan daerah dalam memastikan daya dukung
lingkungan ke depan. Lahan-lahan pertambangan batubara ditinggalkan oleh
pemegang izin karena berbagai alasan, inijuga berarti menghilangkan areal
hutan alamiah. Bukan itu saja, Perturan Menteri ESDM tentang reklamasi
mengandung implikasi hukum tertentu oleh karena memuat beberapa
konstruksi, di antaranya definisi tentang reklamasi yang tidak mendukung
perlindungan kawasan hutan.
Reklamasi didefinisikan sebagai kegiatan yang dilakukan sepanjang
tahapan usaha pertambangan untuk menata, memulihkan, dan memperbaiki

8
kualitas lingkungan dan ekosistem agar dapat ber- fungsi kembali sesuai
peruntukannya. Sesuai dengan peruntukannya ternyata pada tingkat praktik
diartikan secara berbeda oleh pemerintah daerah dan pemegang izin. Bekas
galian tambang batubara (void) yang menyisahkan genangan air pada
kedalaman tertentu tidak direklamasi tetapi diusulkan menjadi kegiatan lain,
diantaranya untuk area wisata, penampungan air, dan kegiatan lainnya. Tafsir
ini mengandung penyimpangan makna sehingga berimplikasi terhadap
berkurangkan tegakan hutan, dan meniadakan kewajiban hukum pemegang
izin. Penyimpangan kewajiban reklamasi yang berasal dari konstruksi
Permen ESDM Nomor 7 Tahun 2014 sekaligus mengaburkan status hukum
kewajiban reklamasi. Peruntukan dana reklamasi menjadi tidak jelas oleh
karena berubah menjadi dana pengembangan kegiatan pariwisata, atau dana
jaminan penyediaan air. Tafsir seperti ini diterima cukup baik oleh para
penambang oleh karena prinsip reklamasi dirumuskan bahwa penambang
“menempatkan kegiatan pemanfaatan lahan bekas tambang sesuai dengan
peruntukannya”. Rumusan ini sebagai norma yang mengandung perintah.
Memperhatikan kondisi faktual tersebut di atas, ancaman terhadap
keberlangsungan hutan tidak mendapatkan jaminan perlindungan hukum
yang memadai dari pemerintah. Posisi pemerintah daerah yang melakukan
perubahan-perubahan tata ruang berimplikasi terhadap menyusutnya area
hutan Kalimantan Timur, termasuk akomodatif terhadap perusahaan
pertambangan batubara yang tidak melakukan kegiatan reklamasi. Upaya-
upaya perlindungan hutan menjadi terbatas oleh karena reklamasi
pertambangan batubara pada area bekas hutan tidak dilakukan atau jika
dilakukan reklamasi terbukti tidak seperti kondisi semula. Rencana reklamasi
tidak dibuat sebagai syarat pengajuan memperoleh izin termasuk dana
jaminan reklamasi yang seharusnya menjadi satu-kesatuan dalam proses
pengajuan izin. Tidak jarang, pemerintah daerah cukup mengalami kesulitan
melakukan pengawasan terhadap pelak- sanaan reklamasi oleh karena
rencana produksi tidak diikuti dengan perhitungan risiko lingkungan pasca
pengambilan batubara. Dengan demikian peraturan perundangan yang

9
tersedia saat ini tidak cukup memadai oleh karena adanya pilihan-pilihan
kewajiban reklamasi yang menyebabkan hilangnya hutan. Praktik reklamasi
sebagai kewajiban hukum tidak dilakukan sebagaimana mestinya dan terjadi
di hampir semua kabupaten/kota yang memiliki area pertambangan batubara
di kawasan hutan.

2.2 Jenis Tanaman Adiptif Dalam Reklamasi Pertambangan Batubara


Reklamasi menggunakan tanaman adaptif di lahan pasca tambang
batubara dibagi menjadi dua kategori yaitu tanaman inti, tanaman sisipan dan
tanaman pelengkap. Tanaman inti yang biasanya digunakan adalah tanaman
berkayu yang tidak berbuah, dengan daun majemuk ganda dan tulang daun
yang menyirip dan anak daun berukuran kecil berbentuk elipsa dan
memanjang. Tanaman jenis ini memiliki pertumbuhan yang cepat dan dapat
sintas dilahan marjinal serta tahan akan debu dan daun yang cepat jadi humus
apabila mati. Tanaman inti dan tanaman sisipan yang sering dgunakan dalam
revegetasi adalah sebagai berikut :
Tabel 2.1 Nama Tanaman Adiptif Di Lahan Pasca Tambang Batubara
No Nama Tanaman
1 Sengon laut (Paraserianches Falcutaria)
2 Mahoni (Swetenia Mahagoni)
3 Pule (Asthinia Scholaris)
4 Trembesi (Samanea Saman)
5 Kayuputih (Meluleuca Cajuputi)
6 Matoa (Pometia Pinnata)
7 Serai wangi (Cynbopogon nardus L.)

Tanaman adaptif yang tidak direkomendasikan lagi adalah tanaman


akasia, dikarenakan tanaman yang mudah terbakar dan daun yang jatuh
tidak cepat menjadi humus. Hasil penelitian Nutayla dan Adi (2020),
menunjukkan tanaman kayuputih selain mempunyai effektifitas

10
keberhasilan pertumbuhan yang baik juga mempunyai nilai ekonomis
yang tinggi yaitu dengan mengolah daun dan ranting tanaman kayu putih
menjadi minyak kayu putih. Tanaman sisipan yang biasanya ditanam di
lahan pasca tambang batubara merupakan tanaman berbuah. Jenis
tanaman yang sering digunakan adalah Matoa (Pometia Pinnata).
Tanaman ini paling adaptif menjadi tanaman sisipan di lahan pasca
tambang batubara. Selain itu ada tanaman serai yang juga dapat
digunakan sebagai tanaman sisipan dalam revegetasi lahan pasca
tambang. Hasil penelitian DF Yanti dkk (2020), menunjukkan bahwa
tanaman serai wangi dapat menahan laju erosi di lahan pasca tambang
batubara dikarenakan mempunyai akar serabut, yang terdiri dari benang
beang halus yang dapat mengikat butir-butir tanah menjadi agregat tanah
yang mantap, sehingga dapat menahan laju erosi dan merehabilitasi lahan-
lahan kritis. Tanaman serai wangi merupakan agen bioreklamasi lahan
pasca tambang dikarenakan dapat mengembalikan kembali kesuburan
lahan kritis pasca kegiatan penambangan. Budidaya serai wangi tidak
memerlukan persyaratan khusus, dan dapat tumbuh pada tanah kurang
subur. Menurut Sutrisno (2012), penerapan vetiver dan serai wangi
sebagai tanaman tanggul teras tanah yang dikombinasikan biopori akan
menahan laju erosi dan memberikan kesempatan permukaan tanah untuk
menyerap air permukaan di dalam tanah (memberikan ruang serapan air).
Budidaya serai wangi tidak memerlukan persyaratan khusus, dan dapat
tumbuh pada tanah kurang subur. Selain itu tanaman nenas dapat
dijadikan tanaman pelengkap dalam reklamasi lahan pasca tambang
(Taqiyuddin dan Hidayat, 2020).

11
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Implementasi ketentuan-ketentuan mengenai kewajiban reklamasi
pertambangan batubara belum dilakukan dengan baik sampai saat ini.
Menurunnya kegiatan pertambangan batubara karena faktor permintaan
pasar ekspor ikut memicu kegagalan pemegang izin memenuhi kewajiban
reklamasi.
2. Reklamasi dan revegetasi lahan pasca tambang batubara dapat
menggunakan tanaman adaptif baik berupa tanaman inti, tanaman sisipan
ataupun tanaman pelengkap. Hasil penelitan terakhir, menunjukkan
bahwa tanaman kayuputih lebih efektif digunakan untuk tanaman inti,
baik dari pertumbuhan maupun nilai ekonomi. Tanaman serai wangi dapat
dijadikan tanaman sisipan ditanaman inti sedangkan tanaman Nenas dapat
dijadikan tanaman pelengkap.
3.2 Saran
Saran yang dapat diberikan bagi pembaca yang ingin membuat makalah
tentang “Reklamasi Tanaman Adiptif Di lahan Bekas Tambang Batubara”
ini, untuk dapat lebih baik dari makalah yang telah dibuat dengan mencari
lebih banyak referensi dari berbagai sumber, baik dari buku maupun dari
internet, sehingga makalah anda dapat lebih baik dari yang telah dibuat.
Mungkin hanya ini saran yang disampaikan semoga dapat bermanfaat bagi
pembaca sekalian, terima kasih.

12
DAFTAR PUSTAKA

Jurnal, A.-A., & Oktorina, S. (2017). KEBIJAKAN REKLAMASI DAN


REVEGETASI LAHAN BEKAS TAMBANG (STUDI KASUS TAMBANG
BATUBARA INDONESIA). www.al-ard.uinsby.ac.id

Anda mungkin juga menyukai