Anda di halaman 1dari 20

PERAN MASYARAKAT SUKU DAYAK AKIBAT DARI

KEBAKARAN HUTAN YANG TERJADI DI KALIMANTAN

DISUSUN
OLEH:

MUHD. ZAKY PRATAMA (20011043)

PROGRAM STUDI SARJANA KESEHATAN MASYARAKAT


UNIVERSITAS HANG TUAH PEKANBARU
2022
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Penduduk indonesia merupakan penduduk yang menjalankan keseharian nya
dengan kesederhanaan, dimana penduduk indonesia senantiasa harus bersyukur atas
segala sesuatu yang telah dilimpahkan kepada negeri ini oleh Tuhan Yang Maha Esa.
Penduduk indonesia seharus nya dapat memanfaatkan secara baik sumber daya alam
yang telah dilimpahkan kepada negeri ini, namun pada kenyataan nya penduduk
indonesia belum bisa memanfaatkan sumber daya alam tersebut secara efektif dan efisien.
Hal ini terjadi karena beberapa faktor yang sudah melekat dan cukup sulit untuk
dipisahkan yaitu, ketidakseimbangan antara sumber daya alam dengan sumber daya
manusia, keterbatasan teknologi dan informasi mengenai pengelolahan dan pengendalian
sumber daya alam dan lingkungan hidup yang belum bisa berjalan dengan baik dan
semestinya.
Indonesia merupakan salah satu negara yang memiliki sumber daya hutan yang
luas. Bahkan indonesia di juluki sebagai lungs of the world yaitu paru-paru dunia tepat
nya di kalimantan . Hutan merupakan sebuah kawasan yang ditumbuhi lebat oleh
pepohonan dan tumbuhan yang beranekaragam. Menurut undang-undang tentang
kehutanan nomor.41 tahun 1999 hutan adalah suatu kesatuan ekosistem berupa hamparan
lahan berisi sumber daya alam hayati yang di dominasi pepohonan dalam persekutuan
alam lingkungan yang satu dengan lain nya tidak dapat dipisahkan. Sebagai fungsi
ekosistem ini hutan sangat berperan dalam berbagai hal seperti penyedia sumber air,
penghasil oksigen, tempat hidup berjuta flora dan fauna, dan penyeimbang lingkungan,
serta mencegah terjadinya pemanasan global. Artinya hutan ini mempunai peranan
penting dalam kehidupan manusia. Namun indonesia memiliki masalah yang berkaitan
dengan sumber daya ini.
Pada saat ini tanpa kita sadari masyarakat indonesia sedang gencar- gencar nya
dalam mengejar pertumbuhan ekonomi dengan cara merusak sumber daya alam tanpa
memikirkan dampak yang akan terjadi pada kualitas dan kuantitas sumber daya alam
tersebut. Salah satu nya indonesia membuka lahan dengan cara membakar hutan. Oleh
karena itu sebenarnya indonesia sedang mengalami permasalahan lingkugan, salah satu
nya adalah kabut asap akibat pembakaran lahan, dan masih banyak lagi permasalahan
lingkugan. (Kartikasari & Nadiroh, 2019).
Di Kota Palangka Raya, kejadian kebakaran hutan dan lahan merupakan kejadian
yang hampir terjadi setiap tahun pada musim kemarau. Kondisi ini mengakibatkan
kerusakan dan kerugian ekonomi, sosial dan lingkungan yang akan menghambat laju
pembangunan dan pengembangan wilayah Kota Palangka Raya sehingga diperlukan
upaya pengendalian terhadap kebakaran hutan dan lahan. Sepanjang Januari – Agustus
2019 Kota Palangka Raya menjadi salah satu lokasi dengan titik hotspot terbanyak di
Kalimantan Tengah dengan jumlah 902 titik. Kebakaran di Kota Palangka Raya selama
periode Januari – Agustus 2019 mencapai kurang lebih 1222 hektar (Mongabay, 2019)
Menurut Peraturan Menteri Lingkungan Hidup No.10 Tahun 2010 tentang
Mekanisme Pencegahan Pencemaran dan/atau Kerusakan Lingkungan Hidup yang
Berkaitan dengan Kebakaran Hutan dan/atau Lahan (Setneg, 2010), dijelaskan bahwa
pencegahan kebakaran hutan dan lahan dapat dilakukan dengan menyediakan data dan
informasi meliputi lokasi/areal kebakaran dan daerah rawan kebakaran hutan dan lahan.
Lokasi/areal bekas kebakaran dapat diidentifikasi menggunakan teknologi penginderaan
jauh (Clark dan Bobble, 2007).
Dampak langsung dari kebakaran hutan di Provinsi Kalimantan Tengah tersebut
antara lain pertama, timbulnya penyakit infeksi saluran pernafasan akut bagi masyarakat.
Kedua, berkurangnya efisiensi kerja karena saat terjadi kebakaran hutan dalam skala
besar, sekolah-sekolah dan kantor-kantor diliburkan. Ketiga, karena kebakaran hutan
menyebabkan hewan kehilangan habitat. Keempat, timbulnya persoalan internasional
asap dari kebakaran hutan Kalimantan Barat menimbulkan kerugian materiil dan imateriil
di negaranegara tetangga, seperti Malaysia dan Singapura (BBC Indonesia 2015).
Kebakaran hutan dapat terjadi oleh faktor yang disengaja dan tidak disengaja.
Faktor kesengajaan ini pada umumnya disebabkan oleh tindakan oknum tidak
bertanggung jawab yang membuang puntung rokok secara sembarangan dan pengusaha-
pengusaha kelapa sawit yang secara sengaja membakar dengan alasan ingin melakukan
pembukaan lahan. Penyebab dari masalah kebakaran hutan yang terjadi dikarenakan
adanya perubahan iklim (terutama pada musim kemarau) adalah karena kesalahan
sistemik dalam pengelolaan hutan secara nasional. Dalam hal ini, ada pengusaha
perkebunan sawit yang lebih memilih metode land clearing dengan cara membakar
daripada metode lain, pekerja pembuka lahan yang berasal dari masyarakat setempat.
Pemerintah memberikan hak penguasaan hutan (HPH) kepada pengusaha-pengusaha
perkebunan sawit. Tidak terlaksananya mekanisme pembukaan lahan yang seharusnya
inilah yang menjadi inti permasalahan. Ketidaktersediaan teknologi yang memadai
membuat metode pembukaan lahan dengan cara membakar dinilai efisien. Dampak yang
ditimbulkan dari penerapan metode ini terhadap lingkungan tidak sebanding dengan
hasilnya. Faktor ekonomi menjadi latar belakang kenapa metode ini lazim dilakukan di
Kalimantan Barat.
Hal ini berdampak kepada masyarakat suku asli kalimantan yaitu Suku Dayak.
Sebagai salah satu suku tertua yang menghuni kalimantan, orang dayak memegang teguh
budaya luhur yang menjaga konservasi alam. Hutan mereka jaga dan mereka rawat. Suku
dayak bahkan memanfaatkan hutan kalimanta untuk berladang bahkan rupanya cara
membakar hutan pun mereka lakukan untuk mendapatkan kesuburan tanah.pembukaan
lahan oleh suku Dayak sebagai peladang lokal memiliki mekanis kearifan lokal untuk
mencegah kebakaran. Mereka mulai menentukan lokasi pembukaan lahan antara bulan
Mei- Juni. Pemilihan lahan dilakukan dengan musyawarah, menimbang pertanda alam
dan magis. Mereka tidak menggunakan daerah resapan air. Sebelum proses pembakaran,
peladang Dayak akan membuat sekat sebagai pembatas api, cara nya dengan
membersihkan ladang dari semak, daun dan ranting kira-kira selebar 1-4 meter. Agar api
tidak merembet ke lahan lain dan mereka akan menunggu api hingga api benar- benar
padam.
Namun bedanya jika masyarakat dayak membakar hutan dengan kontrol dan
aturan ketat adat,sehingga api yang berkobar tak akan pernah merambat hingga puluhan
hektar atau ratusan hektar. Hal ini berbanding terbalik dengan apa yang di lakukan oleh
perusahaan perkebunan nakal di kalimantan. Perusahaan besar ini berlindung di balik
budaya masyarakat dayak, mereka membakar lahan untuk ditanami kebun kelapa sawit.
Namun perusahaan tersebut tidak dapat mengontrol api sehingga api di biarkan
membakar puluhan bahkan ratusan hektar lahan. Hal ini berdampak pada kehidupan suku
dayak, kabut asap harus mereka rasakan di tengah-tengah hutan. Padahal masyarakat
dayak sudah menjaga hutan kalimantan selama berabad-abad lamanya.
Kebakaran hutan di kalimantan ini disebabkan oleh praktik “land clearning”
dengan cara mudah dan tidak mengeluarkann biaya tinggi dengan memanfaatkan musim
kemarau. Di duga ada oknum atau perusahaan yang sengaja membakar hutan dan lahan.
Namun baru 4 korporasi menjadi tersangka terkait kasus pembakaran hutan dan lahan di
Riau, kalimantan barat dan kalimantan tengah. Sedangkan KLHK mengklaim ada 42
perusahaan yang di duga menjadi otak di balik pembakaran hutan dan lahan.
Menurut Firmasyah dan Mokhtar (2011), penyiapan lahan dengan
menggunakan api (pembakaran) ada dua yaitu dengan pembakaran terkendali dan
pembakaran tidak terkendali. Saharjo dan Munoz (2005) menyatakan bahwa,
pembakaran terkendali merupakan salah satu metode yang dilakukan oleh para
petani kecil dalam penyiapan lahan karena mereka tidak bisa lepas dari api dalam
penyiapan lahan. Penyiapan lahan yang dilakukan oleh masyarakat lokal dengan
menggunakan api dilakukan secara terkendali dijamin oleh hukum (Saharjo 2011).
Hal ini sesuai dengan penjelasan PP No.4 Tahun 2001 Pasal 17 yang berbunyi
“penanggulangan kebakaran lahan tidak berlaku bagi masyarakat adat atau tradisional
yang membuka lahan untuk ladang dan kebunnya, kecuali kebakaran lahan
tersebut sampai diluar areal ladang dan kebunnya. Pembakaran tersebutdilakukan
dengan sengaja dalam rangka menyiapkan ladang dan kebun” (RI 2001). Penyiapan
lahan dengan cara pembakaran terkendali biasanya dilakukan dengan kearifan lokal
masing-masing di setiap daerah di Indonesia salah satunya di Kabupaten
Kapuas, Kalimantan Tengah.
Menurut Akbar (2011), masyarakat di Kabupaten Kapuas, Kalimantan
Tengah masih banyak yang melakukan penyiapan lahan untuk bertani dengan
pembakaran terkendali. Hasil penelitian yang dilakukan Akbar (2011) menunjukkan
bahwa sebagian besar daerah di Kalimantan Tengah di desa Mantangai Hilir
(95.8%), desa Katunjung (95.8%), desa Lawang Kajang (100%), desa Madara (70.8%),
dan desa Batampang (70.8%) membuka lahan untuk bertani dengan
pembakaran terkendali.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan uraian dari latar belakang di atas, maka penulis dapat merumuskan
masalah penelitian ini adalah peran masyarakat suku Dayak akibat dari kebakaran hutan
yang terjadi di Kalimantan.
C. Pertanyaan Penelitian
1. Bagaimana pengetahuan tentang kebakaran hutan pada masyarakat suku dayak di
kalimantan?
2. Bagaimana aturan adat dalam penyiapan lahan agar tidak terjadi kebakaran hutan
pada masyarakat suku dayak di kalimantan?
3. Bagaimana ritual adat sebelum pembakaran lahan pada masyarakat suku dayak di
kalimantan?
4. Bagaimana Tata urutan pembakaran lahan agar tidak terjadi kebakaran hutan
pada masyarakat suku dayak di kalimantan?
D. Tujuan Penelitian
1. Mengetahui bagaimana pengetahuan tentang kebakaran hutan pada masyarakat
suku dayak di kalimantan
2. Mengetahui aturan adat dalam penyiapan lahan agar tidak terjadi kebakaran hutan
pada masyarakat suku dayak di kalimantan
3. Mengetahui ritual adat sebelum pembakaran lahan pada masyarakat suku dayak di
kalimantan
4. Mengetahui Tata urutan pembakaran lahan agar tidak terjadi kebakaran hutan
pada masyarakat suku dayak di kalimantan
E. Manfaat Penelitian
Penelitian ini diharapkan bisa bermanfaat secara teoritis dan praktis. Dari segi
ilmiah, penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan ilmu pengetahuan tentang
kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan dapat dijadikan acuan di bidang
penelitian yang sejenis. Sedangkan manfaat secara praktis dari penulisan penelitian ini
adalah sebagai berikut :
1. Bagi penulis, untuk memperdalam dan memperluas pengetahuan penulis tentang
penelitian kesehatan lingkungan terutama yang berhubungan dengan peminatan
kesehatan lingkungan mengenai kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan dan dapat
menerapkan ilmu yang diperoleh di kampus untuk melakukan penelitian.
2. Bagi program studi sarjana kesehatan masyarakat, penulisan ini di harapkan dapat di
jadikan sebagai sumber ilmiah dan kajian akademik, khususnya di bidang ilmu
kesehatan lingkungan.
F. Ruang Lingkup Penelitian
Penelitian ini dilakukan di Kalimantan Tengah yaitu untuk diketahuinya
pentingnya pengetahuan tentang kebakaran hutan yang terjadi di Kalimantan. Populasi
yang penulis gunakan adalah suku Dayak yang berada di Kalimantan Tengah. Penulis
mengambil penduduk yang ada sebagai informasi. Data mengenai peran suku dayak
terhadap kebakaran hutan didapat dengan menggunakan wawancara dengan cara
memberikan pertanyaan yang kemudian diolah dengan jenis penelitin kualitatif dengan
menggunakan pendekatan etnografis.
BAB II
TINJAUAN TEORITIS
A. Suku Dayak
1. Pengertian
Suku Dayak berasal dari Kalimantan. Masyarakat adat ini masih memegang adat
istiadatnya hingga saat ini. Suku Dayak memiliki ciri khasnya dari bahasa, pakaian,
hingga rumah tradisional. Mengutip dari Sosial Horizon: Jurnal Pendidikan Sosial
Volume 3 Nomor 2 Tahun 2016, Dayak merupakan sebutan untuk penduduk asli Pulau
Kalimantan. Suku ini memiliki 405 sub sub suku yang masing-masing memiliki adat
istiadat dan budaya yang mirip. Suku Dayak berasal dari Kalimantan, namun tersebar
hingga ke Sabah dan Sarawak Malaysia. Menurut sejarah, suku ini pernah mendirikan
kerjaan sebelum akhirnya dihancurkan oleh Majapahit. Peristiwa tersebut membuat
masyarakat Dayak terpencar dan terdesak.
Suku Dayak Ngaju (Biaju) adalah suku asli di Kalimantan Tengah. Suku ngaju
merupakan sub etnis dayak terbesar di Kalimantan tengah yang persebarannya cukup luas
dan utamanya terkonsentrasi di daerah Kota Palangka Raya, Kabupaten Pulang Pisau,
Kabupaten Gunung Mas, Kabupaten Kapuas dan di kabupaten lainnya di seluruh wilayah
kalimantan tengah dapat ditemui suku Ngaju. Suku Ngaju secara administratif merupakan
suku baru yang muncul dalam sensus tahun 2000 dan merupakan 27,3% dari penduduk
Kalimantan Tengah, sebelumnya suku Ngaju tergabung ke dalam suku Dayak dalam
sensus 1930. Di Kalimantan tengah suku ngaju sebagian besar berprofesi sebagai
peladang, pekebun, peternak, penambang emas dan pasir zirkon, Penginjil/Pendeta,
pegawai pemerintah, pegawai swasta dan bidang birokrasi lainnya.
Orang Dayak Ngaju yang kita kenal sekarang, dalam literatur-literatur pada masa-
masa awal disebut dengan Biaju. Terminologi Biaju dipakai untuk menyebut nama
sekelompok masyarakat, sungai, wilayah dan pola hidup (Ras 1968: 336).
Menurut Hikayat Banjar, Sungai Kahayan dan Kapuas sekarang ini disebut dengan nama
sungai Biaju yaitu Batang Biaju Basar, dan Batang Biaju Kecil. Orang yang mendiaminya
disebut Orang Biaju Besar dan Orang Biaju Kecil. Sedangkan sungai Murong (Kapuas-
Murong) sekarang ini disebut dengan nama Batang Petak (lihat Ras 1968: 314). Pulau
Petak yang merupakan tempat tinggal orang Ngaju disebut Biaju (Ras 1968: 408, 449).
Terminologi Biaju tidaklah berasal dari orang Dayak Ngaju tetapi berasal dari
bahasa orang Bakumpai yang secara ontologis merupakan bentuk kolokial
dari bi dan aju yang artinya ”dari hulu” atau ”dari udik”. Karena itu, di wilayah aliran
sungai Barito, dimana banyak orang Bakumpai, orang Dayak Ngaju disebut dengan Biaju
(lihat Schärer 1963: 1), yang artinya orang yang berdiam di dan dari bagian hulu sungai
(Riwut 1958: 208). Di kemudian hari, istilah ini dipungut begitu saja oleh orang Banjar
untuk menyebut semua orang pedalaman hulu sungai yang tidak beragama Islam. Istilah
ini kemudian diperkenalkan kepada para pedagang dari Cina, Inggris, Portugis yang
berlabuh di pelabuhan Banjarmasin. Karena itu dalam catatan pelayaran para pedagang
Cina, Portugis dan Inggris dapat ditemukan kata Biaju yang merujuk pada suku di
pedalaman yang bukan orang Banjar dan tidak beragama Islam (Groeneveldt 1880,
Beckman 1718).
Menurut Afdeeling Dajaklandeen (Afdeling Tanah-tanah Dayak 1898-
1902) atau Tanah Biaju (sebelum 1826) adalah bekas sebuah afdeling dalam Karesidenan
Selatan dan Timur Borneo yang ditetapkan dalam Staatblad tahun 1898 no.178. Pada
tahun 1855, daerah ini dinamakan De afdeeling groote en kleine Dayak. Sesuai Staatblad
tahun 1898 no. 178 bahwa Afdeeling Dajaklandeen, dengan ibu kota Kwala Kapoeas
(Kuala Kapuas) terdiri ditrik-distrik:
2. Rumah Adat
Salah satu bentuk kebudayaan dalam bentuk benda yang dimiliki Suku Dayak
adalah rumah adat. Rumah adat Suku Dayak disebut dengan rumah Betang atau rumah
Panjang yang cukup khas di Kalimantan.Rumah-rumah adat ini akan lebih mudah lagi
ditemukan di sekitar hulu sungai, yang biasa menjadi tempat pemukiman Suku
Dayak.Secara umum, rumah Betang dibangun berbentuk panggung dengan ketinggian
tiga hingga lima meter dari atas tanah yang berguna untuk pelindung saat air meluap dan
menyebabkan banjir.
Rumah Betang yang dimiliki Suku Dayak ini tidak dihuni oleh satu keluarga saja,
tapi menjadi rumah beberapa keluarga. Bahkan ada rumah Betang yang memiliki panjang
150 meter dengan lebar 30 meter. Bagian dalam rumah itu akan disekat bilik-bilik untuk
membagi tempat setiap keluarga.Dengan bentuk rumah tersebut, Suku Dayak selalu
mengutamakan kebersamaan dalam hidup. Semua kehidupan setiap orang yang tinggal di
rumah Betang akan diatur dalam sebuah hukum adat, baik aturan berbagi makanan,
menjaga keamanan, ataupun berladang.
3. Bahasa Suku Dayak
Masyarakat Suku Dayak tentu memiliki bahasa daerah yang digunakan untuk
berkomunikasi sehari-hari.Pada awalnya masyarakat Suku Dayak merupakan penutur
bahasa Austronesia. Namun lama kelamaan Suku Dayak menyebar ke area pedalaman
dan pegunungan. Perkembangan ini membuat Suku Dayak memiliki banyak subsuku
dengan bahasa daerah yang berbeda-beda. Jadi bahasa dari Suku Dayak akan berbeda
sesuai dengan tempat tinggal mereka. Namun kini sudah banyak juga yang tidak
menggunakan bahasa daerah dengan baik, karena tidak diajarkan bahasa ibu ini sedari
dini.
4. Mata Pencaharian Suku Dayak
Mata pencaharian masyarakat adat dayak meratus pada umumnya bertani,
berladang padi, berburu, menyadap karet alam, mencari buah-buahan yang ditanam
dalam kawasan hutan pada lahan lereng berbukit dan pegunungan. Hasil ladang hanya
cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari

B. Aturan adat dalam penyiapan lahan agar tidak terjadi kebakaran hutan.
Berdasarkan hasil wawancara,pengelolaan dan pemanfaatan lahan gambut
oleh masyarakat dilakukan secara tradisional. Pengelolaan dan pemanfaatan lahan
gambut yang masih tradisional atau kearifan lokal disebut sistem handel.
Pengelolaan lahan gambut dengan kearifan lokal handelsudah sejak dulu
diterapkan oleh masyarakat.Hal ini berbeda dengan pengelolaan dan pemanfaatan
lahan gambut dengan kearifan lokal di Sumatera Selatan yaitu sistem sonor. Sistem
sonoradalah sistem budidaya padi di lahan rawa dalam yang dilakukan pada saat rawa
mengering di musim kemarau panjang (tiga bulan) (Lakitan & Benjami
2001).Keraf (2010) menyatakan bahwa, semua bentuk pengalaman, keyakinan,
pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau etika yang menuntun perilaku
manusia dalam komunitas ekologis.
Sistem handelyang dilakukan oleh masyarakat Dayak Ngajudilakukan secara
berkelompok di satu hamparan lahan luasnya ± 20 hapada satu sungai kecil.
Berdasarkan hal tersebut ada beberapa aturan adat yang diterapkan dalam
melakukan sistem handelsebagai berikut:
1. Struktur organisasi handelyaitu ketua, wakil ketua, bendahara, kepala padan
dan anggota.
2. Dilakukan secara bergotong royong
3. Semua kegiatan harus dilakukan dengan cara barundingdalam
menentukan semua kegiatan.
4. Penyiapan lahan dengan pembakaran harus dengan terkendali yaitu dengan
membuat sekat bakar berupa parit atau membersihkan kayu, rumput dan dedaunan
sekeliling lahan selebar 3-6 meter.
5. Pemberian hukuman Jipenjika terjadi pelanggaran aturan adat.
Sistem handelyang dilakukan oleh masyarakat Dayak Ngaju dilakukan secara
berkelompok di satu hamparan lahan yang luas pada satu sungai kecil. Satu
hamparan lahan yang luas diketuai oleh ketua handel. Ketua handeldibantu oleh
wakil ketua handel, bendahara, dan kepala padang. Ketua handeladalah orang yang
bertugas memimpin dari satu hamparan lahan tersebut. Wakil ketua handelmembantu
ketua handel. Bendahara handelberfungsi sebagai orang yang menyimpan uang dalam
kegiatan penyiapan lahan. Kepala padang berfungsi sebagai orang yang mengatur
dalam pembagian lahan dan yang bertanggungjawab jika terjadi perselisihan antar
anggota.

C. ritual adat sebelum pembakaran lahan pada masyarakat suku dayak


Menurut informasi dari mantir adat di Desa Mantangai Hulu
Kecamatan Mantangai Kabupaten Kapuas Kalimantan Tengah, bahwa dilakukannya
ritual pemeriksaan lahan sesuai dengan agama masing-masing yaitu agama Islam,
Kaharingan, dan Kristen. Berikut ini adalah ritual yang dilakukan oleh masyarakat
Dayak Ngajusebelum pembakaran:
1. Mangiraumerupakan pemberian seserahan kepada “penunggu lokasi” untuk
meminta izin membuka lahan. Mangirau dilakukan selama 1-3 hari setelah
itubisa dilakukan penebasan dan penebangan. Hal ini dimaksudkan dalam
proses pembukaan lahan tidak diganggu oleh makhluk halus penunggu lahan
tersebut.
2. Manjemburupmerupakan ritual untuk menjauhkan atau permisi dari
makhluk-makhluk halus/gaib.Makhluk halus atau roh halus (Gana)
yang dipercayai yaitu gana petak, gana kayu, dangana sahep.
Gana petakadalah proses meminta izin pada makhluk halus “penunggu”tanah
yang ada di lokasi. Gana kayuadalah proses meminta izin pada makhluk halus
“penunggu”kayu yang ada di lokasi. Gana sahepadalah proses meminta izin pada
makhluk halus “penunggu”serasah atau daun-daun yang sudah mati di lokasi.Ritual
adat dilakukan masyarakat jika akan melakukan pembukaan lahan yang masih
berupa hutan (mahimba). Pada saat ini lahan yang dijadikan untuk kegiatan
pertanian adalah lahan bekas ladang sebelumnya (bahu rambung), sehingga
kegiatan ini sudah sangat jarang dilakukan masyarakat dalam penyiapan lahan.

D. Tata urutan pembakaran lahan agar tidak terjadi kebakaran.


Tata urutan pembakaran dimulai dari pembersihan semak belukar
(penebasan), penebangan pohon yang besar, pembuatan sekat bakar,
pengeringan dan pembakaran. Hasil penelitian Yusran (2016) juga
menunjukkan,tata urutan pembakaran yang dilakukan oleh masyarakat di Nagari
Silayang Provinsi Sumatera Barat yaitu dimulai dari penebasan dan penebangan,
pengeringan, membuat sekat bakar”talampa robo” selebar 7 meter, pembakaran,
pembakaran kembali “Mamurun”.
Penebasan dan penebangan dilakukan untuk mematikan semak belukar dan
pohon. Pembuatan sekat bakar dilakukan untuk menghindari api loncatan ke areal
yang tidak ingin dibakar. Pengeringan dilakukan untuk mengurangi kadar air
bahan bakar sehingga mudah dibakar.Kegiatan penebasan dan penebangan
dilakukan sangat beragam sesuai dengan jenis tutupan lahan yang akan dibuka.
Jenis tutupan lahan yang biasa dijadikan untuk ladang adalah hutan (mahimba)
dan bahu rambung. Berdasarkan hasil rapat anggota handel,kalau anggota ada yang
mahimbamaka akan terlebih dahulu melakukan kegiatan penyiapan lahan.
Kegiatan penebasan dan penebangan di lahan yang masih banyak pohon didalamnya
(mahimba) dilakukan pada bulan April sampai bulan Juli, sedangkan lahan bahu
rambung yaitu lahan yang banyak semak atau rerumputan maka dilakukan pada
bulan Juli atau Agustus. Perbedaan waktu dalam menentukan penebasan dan
penebangan berdasarkan jenis lahan tersebut dilakukan agar pembakaran dapat
dilakukan secara serentak. Kegiatan pembukaan hutan (mahimba) saat ini sudah
sangat jarang dilakukan oleh masyarakat Dayak Ngaju karena tidak ada lagi hutan
yang masih alami.
Hasil wawancara menunjukkan ada empat teknik pembakaran yang dipakai
oleh masyarakat dalam penyiapan lahan dengan pembakaran yaitu; (1)
pembakaran melingkar (2) berlawanan dengan arah angin, (3) pembakaran
searah arah angin, (4) pembakaran sistem handel.
E. Kerangka Berfikir
Pentingnya peran masyarakat suku Dayak akibat dari kebakaran hutan yang
terjadi di Kalimantan. Bertujuan untuk membantu penduduk dan masyarakat setempat
agar bisa mengurangi potensi dari kebakaran hutan ditempat mereka tinggal seperti yang
tergambar di dalam kerangka berfikir di bawah ini :

pengetahuan tentang kebakaran hutan pada

masyarakat suku dayak di kalimantan

aturan adat dalam penyiapan lahan agar


peran masyarakat suku
tidak terjadi kebakaran hutan pada
Dayak akibat dari
masyarakat suku dayak di kalimantan
kebakaran hutan yang

terjadi di Kalimantan.
ritual adat sebelum pembakaran lahan pada

masyarakat suku dayak di kalimantan

Tata urutan pembakaran lahan agar tidak

terjadi kebakaran hutan pada masyarakat


F. Penelitian Sejenis
suku dayak di kalimantan
Keterangan Penelitian Irena ( 2019 ) Repository e-journal.uajy
sekarang
Topik peran Dampak Peran pengenalansebaran
penelitian
masyarakat kebakaran hutan Pemerintah titik api di Kota
suku Dayak Terhadap Provinsi Palangka Raya
akibat dari Sustainability Kalimantan dengan metode

kebakaran Suku Dayak Barat Dalam Backpropagation


hutan yang Serta Strategi Menghadapi dan Wavelet

terjadi di Pemerintah Kabut Asap orthogonalsebagai


pengolahan awal.
Kalimantan Untuk Lintas Batas di
Mengatasinya Asia Tenggara

Metode Kualitatif Kualitatif Kualitatif Kualitatif


Variabel Mengetahui
Mengetahui Mengetahui
peran mengenai
Dampak Peran
masyarakat pengenalansebaran
kebakaran hutan Pemerintah
suku Dayak titik api di Kota
Terhadap Provinsi
akibat dari Palangka Raya
Sustainability Kalimantan
kebakaran dengan metode
Suku Dayak Barat Dalam
hutan yang Backpropagation
Serta Strategi Menghadapi
terjadi di dan Wavelet
Pemerintah Kabut Asap
Kalimantan orthogonalsebagai
Untuk
pengolahan awal.
Mengatasinya

Subjek Masyarakat Masyarakat masyarakat Masyarakat Kota


suku dayak di suku dayak di daerah terutama Palangka Raya
Kalimantan Kalimantan provinsi Provinsi
Tengah Kalimantan Kalimantan
Barat Tengah.
Tempat Di propinsi Di propinsi daerah terutama Lokasi Penelitian
Kalimantan Kalimantan provinsi adalah Kota
Tengah Tengah Kalimantan Palangka Raya
Barat Provinsi
Kalimantan
Tengah.
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian
Penelitian ini merupakan penelitian kualitatif yang bertujuan untuk mengetahui
pengetahuan, sikap, aturan, ritual dan ketersediaan masyarakat suku dayak akibat dari
kebakaran hutan.

B. Tempat dan Waktu Penelitian


Penelitian ini dilaksanakan di Kalimantan Tengah pada bulan September
2020 di Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas Provinsi Kalimantan Tengah.

C. Informan\ Subjek Penelitian


Subjek penelitian pada kualitatif di sebut informan. Informan dalam penelitian ini
yaitu ketua adat, tokoh adat dan masyarakat yang bertani (petani/peladang).
informan terhadap ketua adat, tokoh dan petani dilakukan untuk mendapatkan
informasi terkait pengolahan dan pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat
setempat.

D. Variabel penelitian dan Definisi Istilah

Tabel 2
Variabel penelitian dan definisi istilah
No Variabel Definisi istilah Cara ukur Alat ukur
1 pengetahu Segala sesuatu yang diktahui Wawancara Pedoman
an tentang tentang pentingnya pengetahuan mendalam wawancar

kebakaran tentang kebakaran hutan

hutan
2 aturan Kesadaran dalam pengetahuan Wawancara Pedoman
adat bahwa aturan adat dalam mendalam wawancara

dalam penyiapan lahan itu sangat


penting adanya
penyiapan
lahan agar
tidak
terjadi
kebakaran
hutan
3 ritual adat Tindakan masyarakat dalam Wawancara Pedoman
sebelum pembakaran lahan harus melalui dan observasi obsrvasi,

pembakar ritual adat dan Wawancara

an lahan
4 Tata pembakan lahan sangat penting Wawancara Pedoman
urutan dilakukan dengan mengikuti tata mendalam wawancara

pembakar urutan yang berlaku

an lahan

E. Instrumen Penelitian
Pada kegiatan ini instrumen penelitian adalah peneliti melakukan wawancara
terhadap ketua adat, tokoh dan petani dilakukan untuk mendapatkan informasi
terkait pengolahan dan pemanfaatan lahan yang dilakukan oleh masyarakat setempat
Alat yang dibutuhkan dalam penelitian ini adalah perekam suara, kamera, dan
seperangkat komputer yang dilengkapi dengan softwareArcGis 10.1, MS Exceluntuk
pengolahan grafik dan tabulasi. Bahan yang digunakan adalah peta areal, data
hotspot, curah hujan dan daftar pertanyaan wawancara mendalam

F. Pengolahan dan Analisis Data


Data diambil dari observasi dan wawancara langsung di Kalimantan Tengah
pada bulan September 2020 di Kecamatan Mantangai, Kabupaten Kapuas Provinsi
Kalimantan Tengah.dengan cara menggunakan analisa isi (content analysis) guna untuk
mendapatkan informasi yang mendalam untuk mengidentifikasi akibat kebakaran hutan
dan peran dari masyarakat duku dayak sebagai berikut :
a. Analisa data yang didapatkan dari berbagai sumber dengan wawancara mendalam
dan penelusuran kosioner.
b. Melakukan proses transkip data dengan cara mnuliskan semua data yang
didapatkan dari wawancara mendalam. Transkip data dilakukan tanpa menunggu
selesainya analisa data untuk menghindari penumpukan data.
c. Mengatur data dengan cara membuat urutan data.
d. Mengidentifikasi hasil penelitian dan membandingkan dengan teori yang ada.

G. Validitas Data
Data merupakan faktor yang sangat penting dalam setiap penelitian untuk
mendapatkan data yang dibutuhkan dalam penelitian ini, maka digunakan cara-cara
sebagai berikut:
1. Triangulasi Sumber Data
Dilakukan dengan cara membandingkan wawancara dan mengecek kembali
informasi yang diperoleh melalui narasumber.
2. Triangulasi Metode
Melakukan perbandingan dengan hasil wawancara yang diproleh dari informan
dengan hasil observasi.
3. Validitas Data
Dilakukan dengan membandingkan data yang diperoleh, meminta respon dari
informan berupa saran dan informasi dan membandingkan dengan teori.

H. Etika Penelitian
Penelitian harus menjunjung tinggi etik penelitian yang merupakan standar etik
dalam melakukan penelitian. Ada pun prinsip-prinsip etik penelitian adalah :
1. Prinsip menghormati harkat martabat manusia (respect for persion)
Saya selaku peneliti akan menghormati hak-hak responden yang terlibat dalam
penelitian, termasuk diantaranya: hak untuk membuat keputusan untuk terlibat atau tidak
terlibat dalam penelitian dan hak untuk dijaga kerahasiaannya berkaitan dengan data yang
di peroleh selama penelitian.
2. Perinsip berbuat baik (beneficence)
Adapun manfaat yang di peroleh responden dalam penelitian ini adalah sebagai bahan
evaluasi bagi masyarakat tentang pentingnya mengkosumsi sayur dan buah bagi
kesehatan tubuh. Penelitian ini bebas dari exploitasi karena penelitian sudah
mempertimbangkan manfaat dari penelitian
3. Perinsip keadilan (Justie)
Dalam hal ini penelitian akan memperlakukan responden secara adil dan tidak
membeda-bedakan berdasarkan ras, agama, atau status social ekonomi. Peneliti akan
memperlakukan responden sesuai dengan desain penelitian dan tujuan penelitian, antara
lain hak untuk mendapatkan perlakuan yang sama dan hak untuk dijaga privasinya.
Penelitian ini telah melakukan kaji etik oleh komisi etik STIKes Hangtuah Pekanbaru,
dibuktikan dengan adanya surat etik No.165/KEPK/STIKes-HTP/V/2020.
DAFTAR PUSTAKA

https://www.researchgate.net/publication/
337829742_Dampak_Kebakaran_Hutan_Terhadap_Sustainability_Suku_Dayak_Serta_Strategi_
Pemerintah_Untuk_Mengatasinya
https://core.ac.uk/reader/294854710
https://nasional.tempo.co/read/709568/kebakaran-hutan-ini-penjelasan-tokoh-masyarakat-dayak
https://www.ugm.ac.id/id/berita/4714-kearifan-lokal-suku-dayak-mencegah-kebakaran-hutan

Anda mungkin juga menyukai