Anda di halaman 1dari 4

Nama : Irene Issabella Maharani Panjaitan

NIM : 211201188
Kelas : HUT 3D

KEBAKARAN HUTAN

Kebakaran hutan adalah suatu bencana alam yang bisa saja diakibatkan oleh alam (kemarau
berkepanjangan), atau pun manusia (dengan cara membuang puntung rokok sembarangan, atau
tidak mematikan api dengan benar ketika berkemah). Ketika bencana alam ini terjadinya,
umumnya cukup sulit untuk ditangani. Selain karena penyebaran yang bisa saja sangat cepat,
mengancam keselamatan baik hewan maupun regu penyelamat, juga akses yang terkadang cukup
sulit untuk dilalui. Kebakaran hutan di Indonesia sejatinya cukup jarang disorot oleh sosial media,
namun bukan berarti tidak ada catatan mengenaskan yang mencatat berhektar-hektar tanah hutan
yang hangus. Berdasarkan data yang dicantumkan (Qodriyatun, 2014) Pusat Data Informasi dan
Humas Badan Nasional Penanggulangan Bencana (BNPB) memperkirakan area yang terbakar di
Riau meliputi sekitar 2.398 hektar kawasan konservasi yang terdiri atas 922,5 hektar Suaka
Margasatwa Giam Siak Kecil, 373 hektar Suaka Margasatwa Kerumutan, 80,5 hektar Taman
Wisata Alam Sungai Dumai, 95 hektar Taman Nasional Tesso Nilo, 9 hektar Cagar Alam Bukit
Bungkuk, dan 867,5 hektar area penggunaan non-kawasan hutan terbakar. Sebanyak 75 persen
titik kebakaran terjadi di lahan gambut. Peristiwa tersebut sangat berdampak pada perubahan cuaca
dan kualitas udara di kota Riau selama beberapa hari.

Kebakaran hutan di Indonesia saat ini dipandang sebagai bencana regional dan global. Hal
ini disebabkan oleh dampak dari kebakaran hutan yang sudah menjalar ke negara-negara tetangga
dan gas-gas hasil pembakaran yang diemisikan ke atmosfer (seperti CO2 ) berpotensi
menimbulkan pemanasan global. Beberapa tahun terakhir sering terjadi kebakaran hutan setiap
tahunnya, khususnya pada musim kemarau. Itulah mengapa bencana alam ini menjadi problema
yang sering kali menyita waktu kerja pemerintah dan relawan pembela alam. Dikutip dari jurnal
(Ahsanul Buduri Agustiar, 2019), sejak 1982/1983 sekitar 3,6 juta ha hutan hujan tropis di
Kalimantan Timur terbakar. Peristiwa kebakaran besar berulang pada tahun 1987, 1990/1991,
1994, 1997/1998, 2002, 2006, 2013, 2014, dan saat ini pada tahun 2015, yang sesuai dengan
peristiwa cuaca ekstrim seperti El Nino. Dua tahun deteksi api yang aktif berbasis satelit lebih
Semenanjung Malaysia, Sumatera. Kalimantan dan Jawa diperiksa bersama-sama dengan tutupan
lahan dan gambut peta tanah menunjukkan bahwa terjadinya kebakaran hampir tiga kali lipat
(23.000 vs 68.000) dari tahun La Niña basah (2008) ke kering El Niño tahun (2009). Dalam kedua
tahun, kebakaran terkonsentrasi di lahan gambut (tahun 2009 sebanyak 41% dari kebakaran
dibandingkan 10% dari luas lahan), dan mayoritas pembakaran skala besar terjadi di lahan gambut.
Dikarenakan lahan gambut memanglah sangat rawan untuk menjadi lokasi kebakaran. Tekstur
tanah dan komponen yang berada di dalam lahan tersebut seolah mendukung api untuk lahir dan
membumihanguskan isinya.

Selain kerugian besar yang dihadapi karena kehilangan sumber daya alam berupa pohon
dan kemungkinan beberapa jenis hewan, ada kerugian lainnya yang juga harus ditanggulangi, yaitu
asap. Dampak dari asap kabut yang terjadi di beberapa titik di wilayah Indonesia tidak hanya
dirasakan oleh penduduk yang bertempat tinggal di Indonesia saja, namun juga menyebar sampai
ke negara tetangga yaitu Malaysia dan Singapura. Salah satu contohnya adalah pada awal Oktober
2011 sebagian besar wilayah Malaysia diselimuti kabut sepanjang hari. Penyebabnya tak lain
adalah kebakaran hutan yang terjadi di wilayah Sumatera dan Kalimantan. Api kebakaran hutan
yang terjadi sehari sebelumnya merambah hingga ke wilayah Malaysia yang berbatasan langsung
dengan wilayah-wilayah Indonesia tersebut. Situs Badan Meteorologi Malaysia menyebutkan,
kabut terpantau menyelimuti sebanyak 35 titik dari total 40 titik lokasi di wilayah Malaysia. Batas
jarak pandang di titik-titik tersebut juga dilaporkan di bawah normal.

Selain karena gaya hidup manusia yang sangat merusak lingkungan, penegakan hukummya
pum dinilai kurang tegas. Sementara organisasi yang bergerak di bidang lingkungan, Greenpeace
Indonesia, menyesalkan tidak adanya sanksi signifikan baik perdata maupun sanksi administratif
kepada sejumlah perusahaan yang diduga memiliki area lahan yang terbakar. Berdasarkan analisis
pemetaan terbaru Greenpeace Indonesia terdapat sepuluh perusahaan kelapa sawit yang memiliki
area lahan terbakar terbesar dari 2015 hingga 2018. Namun, Greenpeace menyayangkan
pemerintah yang belum mencabut satu pun izin konsesi sawit atas kebakaran hutan dan lahan
tersebut. Selain itu, komitmen perlindungan hutan dan gambut Presiden Joko Widodo, tengah diuji
dengan kembali maraknya kebakaran hutan dari Sabang hingga Merauke. Titik api bermunculan
di lahan gambut milik konsesi perusahaan, bahkan sepertiga dari titik api pada bulan Juli ini terjadi
di wilayah moratorium yang seharusnya dilindungi.
Penanganan kasus kebakaran hutan dan gambut, terutama penegakan hukum lemah.
Sebaran titik api sudah ribuan, kebakaran hutan dan lahan sudah puluhan ribut hektar. Seharusnya,
sebaran titik api diikuti penyegelan lahan. Ada pihak yang menilai, 25 penanganan kebakaran
hutan dan lahan (Karhutla) tahun 2018, sekadar memenuhi citra positif mengamankan pelaksanaan
Asian Games Jakarta-Palembang. Seterusnya, masifnya titik api ini seharusnya diikuti penindakan
hukum masif dengan penyegelan kebun sawit dan kayu. Pengamat Hukum dari Universitas
Indonesia, Ermanto mengatakan, penegakan hukum terhadap koorporasi ataupun perorangan yang
membakar hutan dan lahan masih sangat lemah. Hal itu terbuktibelum adanya sanksi pidana
terhadap para pelaku,tetapi hanya berupa sanksi denda yang sangat kecil jika dibandingan kerugian
yang ditanggung negara.

Dibalik semua bencana dan tangisan, bukan berarti hutan di Indonesia sudah kehilangan
nyawanya untuk terus bersinar. Masih ada waktu dan kesempatan bagi rakyat dan pemerintah
untuk lebih peduli dan ambil bagian secara langsung dalam menjaga harta yang berharga itu.
Bagaimana tidak, sektor kehutanan sangat berpengaruh bagi keberlangsungan bangsa. Memiliki
unsur ekonomi, budaya, pariwisata, dan habitat asli dari beberapa hewan yang mungkin akan
dilindungi beberapa tahun kedepan jika tidak kita jaga. Disinilah tantangan silvikultur muncul,
dalam membantu mengedukasi masyarakat secara luas tentang betapa pentingnya menjaga
lingkungan dan mengubah pola hidup. Selain pemerintah yang harus menggalakkan penanaman
pohon, masyarakat juga harus memiliki kesadaran sendiri untuk menciptakan tempat tinggal yang
lebih bersih, asri, dan nyaman. Demi menjaga keberlangsungan hidup manusia yang sangat
bergantung pada lingkungan, terutama hutan.
DAFTAR PUSTAKA

Abdillah, J. (2014). DEKONSTRUKSI TAFSIR ANTROPOSENTRISME: Telaah Ayat-Ayat


Berwawasan Lingkungan.
Ahsanul Buduri Agustiar, M. F. (2019). Kebakaran Hutan Dan Lahan Perspektif Etika
Lingkungan. PROFETIKA, Jurnal Studi Islam, 20 (2) : 124-132.
Danny, W., 2001. Interaksi Ekologi dan Sosial Ekonomi Dengan Kebakaran di Hutan Provinsi
Kalimantan Timur, Indonesia. Paper Presentasi pada Pusdiklat Kehutanan. Bogor.
Flannigan, M. D., Amiro, B. D., Logan, K. A., Stocks, B. J., & Wotton, B. M. (2006). Forest
fires and climate change in the 21ST century. Mitigation and Adaptation Strategies for
Global Change, 11(4), 847–859.
Kurnia, U., J. Sri Adiningsih., dan A. Abdurachman. 2004. Strategi Pencegahan dan
Penaggulangan Pencemaran Lingkungan Pertanian. Prosiding Seminar Nasional
Peningkaan Kualitas Lingkungan dan Produk Pertanian. IPB Bogor.
Pasai, M. (2020). Dampak Kebakaran Hutan Dan Penegakan Hukum. Jurnal Pahlawan , 3 (1) :
36-46.
Qodriyatun, S. N. (2014). Kebijakan Penanganan Kebakaran Hutan Dan Lahan. Kajian Singkat
terhadap Isu-isu Terkini, 6 (6) : 9-12.
Rusmadi, R. (2016). Ecosophy Islam: Studi Tematis-Kontekstual Nilai-Nilai Etika
Lingkungan Dalam Islam. Smart, 2(2), 237.
Schweithelm, J. dan D. Glover, 1999. Penyebab dan Dampak Kebakaran dalamMahalnya Harga
Sebuah Bencana: Kerugian Lingkungan Akibat Kebakaran dan Asap di Indonesia.” Editor:
D. Glover & T. Jessup, Yogyakarta: Gajah Mada University Press.
Suryani, A. S. (2012). Penanganan Asap Kabut Akibat Kebakaran Hutan Di Wilayah Perbatasan
Indonesia. Aspirasi, 3 (1) : 59-75.

Anda mungkin juga menyukai