Anda di halaman 1dari 17

Pendekatan Multidoor Sebagau Upaya Penegakan Hukum

diatas Hutan dan Lahan Gambut

Lahan gambut merupakan suatu ekosistem yang unik, dan rapuh (fragile), habitatnya terdiri
dari gambut dengan kedalaman yang bervariasi mulai dari 25 cm hingga lebih dari 15 m,
mempunyai kekayaan flora dan fauna yang khas yang mempunyai nilai ekonomi tinggi. Lahan
gambut mempunyai peran yang penting dalam menjaga dan memelihara keseimbangan
lingkungan kehidupan, baik sebagai reservoir air, rosot dan carbon storage,

Luas lahan gambut di Indonesia menurut Puslittanak (1981) adalah 26,5 juta Ha dengan
perincian di Sumatera seluas 8,9 juta Ha, Kalimantan 6,5 juta Ha, Papua 10,5 juta Ha dan
lainnya 0,2 juta Ha. Laju kerusakan hutan dilaporkan terus meningkat, cepatnya laju
penyusutan hutan alam Indonesia dalam beberapa dasawarsa terakhir telah didokumentasikan
dengan baik. Penelitian terkini tentang deforestasi nasional yang dilakukan oleh Margono dkk.
(2014) menemukan adanya pembukaan hutan sebesar 6,02 juta hektar (ha) hutan primer alami
dan terdegradasi, selama periode tahun 20002012. Laju kehilangan hutan primer selama
periode ini meningkat rata-rata sebesar 47.000 hektar per tahun (ha/tahun) sehingga pada tahun
2012 mencapai seluas 840.000 ha. Sebagian besar hutan yang hilang disebabkan oleh konversi
hutan alam menjadi hutan tanaman untuk bubur kayu (pulp), perkebunan kelapa sawit, dan
berbagai penggunaan lahan lainnya.

Menurut Margono dkk. (2014), sebagian besar konversi hutan ini berlangsung di hutan primer
yang telah terdegradasi, yang secara umum disebabkan oleh penebangan untuk tujuan
komersial. Sebagian yang cukup besar dari hilangnya tutupan hutan itu (40%) terjadi di wilayah
yang ditetapkan sebagai hutan lindung atau lahan gambut yang menurut peraturan perundang-
undangan di Indonesia dilarang atau dibatasi secara ketat untuk dilakukan pembukaan hutan.

Namun faktanya, kondisi lahan gambut di Indonesia saat ini sudah mengalami degradasi
terutama disebabkan oleh kegiatan-kegiatan pertanian beserta jaringan-jaringan salurannya
(misalnya ex proyek lahan gambut/PLG sejuta hektar di Kalimantan Tengah), perkebunan,
penebangan liar atau illegal logging serta kebakaran hutan dan lahan, contoh di Sumatera lahan
gambut rusak seluas 2,669 juta ha atau sebesar 37 % dari total lalian gambut, dan Kalimantan
Tengah lahan gambut rusak akibat proyek pengembangan lahan gambut 1 juta ha.

Persoalan terbesar yang dihadapi di Indonesia adalah permasalahan kebakaran di lahan gambut.
Dalam kondisi alaminya lahan gambut tidak akan terbakar, kecuali terjadi kekeringan yang
sangat parah. sehingga kebakaran yang terjadi adalah ketika lahan gambut dikeringkan secara
berlebihan. Penyebab utama kerusakan lahan gambut adalah drainase terbuka dan kebakaran
lahan. Pengelolaan drainase terbuka mengakibatkan air di lahan gambut cepat keluar, sehingga
pada musim kering akan sangat mudah terabakar. Dan dalam jangka panjang akan membuat
terjadinya amblesan.

Penyabab yang kedua adalah pembakaran lahan gambut secara sengaja hal ini terjadi saat
penyiapan lahan untuk penanaman. Pembukaan lahan dengan membakar masih menjadi cara
paling efektif bagi masyarakat Indonesia dalam membuka lahan.

Indonesia has the world's highest rate of deforestation, even higher than Brazil, which contains
most of the Amazon rainforest. From 2000 to 2012, according to research published in Nature,
Indonesia lost more than 23,000 square miles of forest to logging, agriculture, and other uses.
That's roughly the size of West Virginia. Forests are often cleared out with fire. This can be
done legally with a permit, but it's often carried out illegally as wel1 .

Forest fires are also being fueled by El Nio-related weather patterns. The combination of El
Nio and intentional deforestation has proven incredibly dangerous: The country has
experienced nearly 100,000 fires so far in 2015, the worst since the last major El Nio in
19972 .

Dampak dari kerusakan lahan gambut tersebut selain mengakibatkan bencana kebakaran hutan
dan lahan (kontribusi asap dan ketebalannya sangat besar), juga mengakibatkan banjir dan
kekeringan serta pemanasan global akibat pelepasan karbon (18.813 juta ton).

____________________________

71 Tim Mcdonnel, This Could Be The Worst Climate Crisis in The World Right
Now, diakses dari http://www.motherjones.com/environment/2015/10/indonesia-climate-
change-fires-palm-oil-el-nino, pada tanggal 20 Maret 2016

72 Loc.cit
Kasus Kerusakan Hutan dan Lahan Gambut di Indonesia

Tidak dapat dipungkiri bahwa kerusakan-kerusakan lahan gambut di Indonesia terjadi bukan
hanya sekali, namun beberapa kali. Hal ini diperparah dengan cuaca kering akibat El Nino yang
melanda. Untuk lebih jelasnya berikut catatan-catatan singkat mengenai kasus kebakaran lahan
gambut di Indonesia:

1. Kebakaran Tahun 1982-1983, dan 1994

Kebakaran hebat pertama yang merupakan akibat gabungan antara pengelolaan hutan
di era Soeharto dan fenomena iklim El Nio menghancurkan 210.000 km2 dari wilayah
Propinsi Kalimantan Timur selama tahun 1982-1983. Kalimantan Timur merupakan
fokus pertama ledakan produksi kayu Indonesia, dan hampir seluruh kawasan dibagi
menjadi kawasan HPH selama tahun 1970-an. Praktek kegiatan pembalakan di sini
umumnya buruk, meninggalkan akumulasi limbah pembalakan yang luar biasa di dalam
hutan. Banyak spesies pionir dan sekunder tumbuh pesat di kawasan-kawasan yang
telah dibalak, sehingga membentuk lapisan vegetasi bawah yang padat dan mudah
terbakar daripada lapisan penutup tanah yang tidak begitu rapat, yang merupakan ciri
hutan-hutan hujan primer.

Kekeringan akibat fenomena El Nio yang hebat melanda kawasan ini antara bulan Juni
1982 dan Mei 1983, dan kebakaran terjadi serempak hampir di seluruh wilayah propinsi
ini pada akhir tahun 1982. Kebakaran ini tidak dapat dikendalikan sampai akhirnya
musim hujan tiba kembali pada bulan Mei 1983. Sejak saat itu, sekitar 3,2 juta ha habis
terbakar; dari areal ini, 2,7 juta ha adalah hutan hujan tropis.

Tingkat kerusakan bervariasi di areal yang berbeda, dari kebakaran bawah yang
merambat perlahan-lahan di hutan-hutan primer sampai pengrusakan yang menyeluruh
di areal yang baru saja dibalak dan di hutan-hutan rawa gambut. Sekitar 73.000 ha
hutan-hutan dataran rendah Dipterocarpaceae yang bernilai komersial mengalami
kerusakan berat dan 2,1 juta ha lainnya mengalami kerusakan ringan atau sedang.
Tingkat kerusakan kebakaran secara langsung berkaitan dengan tingkat degradasi
hutan: hanya 11 persen dari hutanhutan primer yang tidak dibalak pada areal yang
dipengaruhi oleh kekeringan dan kebakaran yang sesungguhnya terbakar. Kerusakan
terjadi sebatas vegetasi bawah, dan hutan sama sekali tertutup kembali menjelang tahun
1988. Sebaliknya, di kawasan yang luasnya hampir satu juta ha pada areal hutan "yang
dibalak secara sedang" (80 persen dibalak lebih dulu sebelum kebakaran), 84 persen
hutan terbakar, dan kerusakan yang ditimbulkan jauh lebih hebat (Schindler dkk,
1989).34

Suatu perkiraan menghitung biaya akibat kebakaran tahun 1982-1983 sekitar 9 miliar
dolar, dimana hampir 8,3 miliar dolar berasal dari hilangnya tegakan pohon (Hess,
1994). Kebakaran yang luas kembali terjadi beberapa kali dalam dekade berikutnya
setelah kebakaran di Kalimantan Timur, diperkirakan membakar 500.000 ha pada tahun
1991 dan hampir 5 juta ha pada tahun 1994 (BAPPENAS, 1999). Kabut akibat
kebakaran ini mempengaruhi Singapura dan Malaysia begitu juga Indonesia,
mengganggu transportasi udara dan laut dan meningkatkan tingkat polusi udara yang
sangat besar. Akibat kebakaran ini, pemerintah mulai mengembangkan berbagai
kebijakan baru, lembaga-lembaga bantuan internasional meningkatkan dukungan
mereka untuk berbagai program yang berkaitan dengan kebakaran hutan, dan asosiasi
negara-negara Asia Tenggara (ASEAN) untuk pertama kali mulai membahas kebakaran
hutan yang terjadi di Indonesia sebagai suatu masalah regional (Kantor Menteri Negara
Lingkungan Hidup dan UNDP, 1998). Namun demikian, degradasi hutan dan
deforestasi di Indonesia terus meningkat selama tahun 1990-an, ditambah dengan
meningkatnya tekanan terhadap lahan-lahan hutan oleh para pengembang perkebunan
kelapa sawit dan HTI.

Tabel Perkiraan Kerusakan Kawasan yang Disebabkan oleh Kebakaran Hutan


tahun 1997-98 (ha)
2. Kebakaran Tahun 1997-1998
Ketika kemarau panjang berikutnya akibat El Nio yang hebat melanda Indonesia pada
tahun 1997- 1998, akibat-akibatnya merupakan bencana. Menjelang awal tahun 1998,
hampir 10 juta ha telah terkena dampak kebakaran (Lihat Tabel), menyebabkan
berbagai kerusakan yang diperkirakan hampir senilai 10 miliar dolar. Asap akibat
kebakaran ini membuat sebagian besar kawasan Asia Tenggara berkabut hingga
beberapa bulan.

3. Pembakaran Lahan Gambut oleh PT Kalista Alam di Nangroe Aceh Darussalam Tahun
2012

Kebakaran lahan gambut yang menjadi isu hangat semenjak tahun 2012 dan masih
berlanjut hingga tahun 2016 ini adalah kebakaran lahan gambut di Kabupaten Nagan
Raya, Nangroe Aceh Darussalam yang dilakukan oleh PT Kalista Alam. PT Kalista
Alam yang merupakan Perusahaan yang bergerak di bidang perkebunan dan
perindustrian ini terbukti membakar lahannya sendiri. PT Kalista Alam terbukti
melanggar pasal 69 ayat 1 huruf H Undang-Undang No. 32 tahun 2009 tentang

Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup yang dilakukan berlanjut juncto


pasal 64 ayat 1 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).

Perusahaan ini mempunyai areal perkebunan kelapa sawit dengan luas kurang lebih
1.605 hektar dan telah memperoleh Izin Usaha Perkebunan sesuai dengan surat
Gubernur Aceh No. 525/BP2T/5322/2011 tanggal 25 Agustus 2011 tentang Izin Usaha
Perkebunan Areal Perkebunan Kelapa Sawit.

Perusahaan ini kemudian digugat oleh Kementerian Lingkungan Hidup karena


dianggap merusak lingkungan. Pada 28 November 2013, Pengadilan Negeri Meulaboh
mengabulkan seluruh gugatan tersebut, sehingga PT Kalista Alam harus membayar
kerugian Rp 366 miliar.

Berdasar keterangan ahli kebakaran hutan dan lahan Bambang Hero Saharjo, fakta dari
hasil investigasi yang dilakukan di lokasi bekas kejadian pada 5 Mei 2012 dan 15 Juni
2012 menunjukkan bahwa memang penyiapan lahan dengan pembakaran sengaja
dilakukan. Akibatnya, kebakaran itu telah merusak lapisan permukaan gambut dengan
tebal rata-rata 5-10 cm sehingga akan mengganggu kesetimbangan ekosistem di lahan
bekas terbakar tersebut.
4. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Sumatera Selatan tahun 2015
Kebakaran hutan dan lahan gambut di Sumatera Selatan sudah terjadi sejak sekitar
tahun 1967. Sejak 1997, bencana ini terulang tiap tahun selama 17 tahun terakhir.
Kebakaran lahan dan gangguan kabut asap pun kian parah selama beberapa tahun ini.

Hingga awal September 2015, kebun sawit yang terbakar di Sumsel setidaknya sudah
1.700 hektar. Luasan untuk kawasan lain belum terdata tetapi diperkirakan sudah
mencapai ribuan hektar. Sebagai gambaran, kebakaran lahan gambut di satu kawasan
perusahaan hutan tanaman industri di Kabupaten Ogan Komering Ilir tahun 2014
mencapai 20.000 hektar.

Selain di Ogan Komering Ilir, kebakaran lahan di Sumsel terparah terdapat di hutan
produksi Lalan di Bayung Lencir, Kabupaten Musi Banyuasin. Beberapa kawasan
gambut di Kabupaten Ogan Komering Ilir dan Musi Banyuasin berulang kali
mengalami kebakaran lahan tiap musim kemarau.

Ahli hidrologi dari Universitas Sriwijaya, Momon Sodik Imanuddin, mengatakan, akar
dari kebakaran lahan gambut di Sumsel terjadi karena keringnya lahan gambut karena
pengeringan berlebih dan tidak terkendali. Hal ini tak lepas dari pemerintah daerah yang
begitu mudahnya menerbitkan izin penggunaan lahan tanpa memperhatikan lagi
kondisi lingkungan di lapangan.

5. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Kalimantan tahun 2015


Menteri Riset, Teknologi, dan Pendidikan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir
mengatakan lahan gambut di Kalimantan menjadi lahan yang paling banyak terbakar
dalam kasus kebakaran hutan pada tahun 2015. Berdasarkan data yang dihimpun oleh
Lembaga Penerbangan dan Antariksa Nasional (Lapan) pada 1 Juli hingga 20 Oktober
2015, diperkirakan lahan gambut yang terbakar di Kalimantan seluas 319.386 hektare.

6. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Papua


Kebakaran lahan ternyata tak hanya terjadi di Sumatera dan Kalimantan. Tercatat,
Wilayah Papua dikepung 131 titik api akibat pembukaan lahan di beberapa kabupaten
di Papua.

Kepala Badan Meteorologi, Klimatiologi dan Geofisika wilayah V Jayapura, Zem


Padamma mengatakan, titik api yang paling banyak berada di wilayah Papua bagian
selatan, yakni Kabupaten Merauke dan Mappi.
Titik api di wilayah Kabupaten Merauke menyebar pada beberapa titik, di antaranya
Ilwayab 6 titik api, Kimaam 10 titik api, Kaptel 1 titik api, Kurik 1 titik apu, Muting 10
titik api, Naukenjera 3 titik api, Ngguti 1 titik api, Okaba 11 titik api, Sota 3 titik api,
Tabonji 33 titik api, Tanah Miring 4 titik api, Tubang 9 titik api, Ulilin 6 titik api, Waan
7 titik api, dan Yamoneri 2 titik api.

Selain itu, di Papua bagian selatan lain juga terdapat 13 titik api Kabupaten Dogiyai
yakni di Bamgi 10 titik api dan Nambionan Bapai 3 titik api. Lalu, ada juga di
Kabupaten Dogiyai 8 titik api yang menyebar di Distrik Kamuu, Kamuu Timur dan
Piyaiye. Di wilayah pegunungan tengah ada dua titik api yakni di Maima, Kabupaten
Jayawijaya dan Malagaineri di Kabupaten Lanny Jaya.

Kebakaran hutan dan lahan di Papua ini banyak terjadi di Kabupaten Merauke dan
Mappi. Pasalnya, sebagian besar wilayah di dua kabupaten tersebut merupakan lahan
gambut sehingga sulit dipadamkan. Pembakaran lahan diduga dilakukan dengan
sengaja oleh warga setempat. Biasanya dilakukan untuk pembukaan lahan baru

7. Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut di Riau


Bencana asap di Provinsi Riau saat ini disebabkan karena adanya alih fungsi lahan yang
tidak terencana dengan baik. Riau dengan luas wilayah hampir 9 juta hektar dengan
luas lahan gambut kurang lebih 4,5 juta hektar, kurang lebih 2,5 juta hektar sudah
dikuasai oleh perkebunan sawit dan Hutan Tanaman Industri (HTI).

Beragam bentuk alih fungsi menyebabkan terjadinya penurunan (degradasi) fungsi


strategis lahan gambut, sehingga meningkatkan luas kawasan lahan kritis. Seperti
fungsi hidrologis yang berperan penting pada sistem biosfir. Sebagai sumber karbon,
pengendali sirkulasi CO2, lahan gambut sangat berpengaruh besar pada kondisi
keseimbangan karbon di atmosfer.

Helda Khasmy, aktivis Serikat Perempuan Indonesia (Seruni) mengatakan, kebakaran


terulang tiap tahun karena pola penguasaan tanah tak berpihak pada masyarakat lokal.
Lahan banyak didistribusikan pada perkebunan besar dan HTI. Imbasnya, kanalisasi
membuat lahan gambut kering dan rentan terbakar.
Data satelit NASA, sejak Januari-September 2015, titik api di Riau paling banyak pada
bulan Juli sebanyak 2.085. Titik api di HTI PT Arara Abadi (336), PT RAPP (297), PT
Bukit Batu Hutani (107), PT Inhil Hutani Pratama (103), PT Rimba Rokan Lestari (146)
dan PT Sumatera Riang Lestari (208). Di perkebunan seperti PT Alam Lestari (43), non
HGU (1.730), PT Langgam Inti Hibrindo (23), PT Pusaka Mega Bumi dan Nusantara
(10).

Dan masih banyak kasus-kasus kebakaran hutan dan lahan gambut di Indonesia lainnya yang
masih menjadi isu hangat sampai tahun 2016. Dari sekian banyak kasus seperti yang penulis
paparkan diatas, nampak bahwa sebagian besar kebakaran hutan dan lahan gambut disebabkan
oleh ulah tidak bertanggung jawab dari pihak tertentu dan karena faktor cuaca kering yang
mempermudah terjadinya kebakaran.

Kebijakan Pemerintah Mengenai Permasalahan Kebakaran Hutan dan Lahan Gambut

Sejak terjadi kebakaran hutan dan lahan yang cukup besar pada tahun 1982 dan rentetan
kebakaran hutan beberapa tahun berikutnya, Pemerintah Indonesia telah mengeluarkan
berbagai kebijakan dalam rangka menangani masalah ini. Beberapa peraturan perundang-
undangan yang dilahirkan menekankan sanksi yang berat bagi pelaku pembakaran hutan dan
lahan, yaitu UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan; rancangan pemerintah tentang
Perlindungan Hutan dan Konservasi; UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan
Pengelolaan Lingkungan Hidup; serta PP No. 45 Tahun 2004 tentang Perlindungan Hutan yang
telah direvisi dengan PP No. 60 Tahun 2009.

Namun sayangnya undang-undang ini tidak memberikan perhatian yang memadai bagi upaya
penanggulangan kebakaran hutan dan lahan gambut. Contohnya, larangan membakar hutan
yang terdapat dalam Undang-Undang Kehutanan ternyata dapat dimentahkan untuk tujuan-
tujuan khusus sepanjang mendapat izin dari pejabat yang berwenang (pasal 50 ayat 3 huruf d
Undang-Undang No 41 Tahun 1999 Tentang Kehutanan). Dan dengan kebiasaan peraturan
undang-undang yang selama ini ada, pengartikulasian dari pasal tersebut tentu saja bisa
menurut kepentingan apa dan siapa yang ada pada saat itu. Kasarnya, pasal ini bisa membuka
peluang dihidupkannya kembali cara pembukaan lahan dengan cara pembakaran yang selama
ini menjadi penyebab bencana kebakaran hutan dan lahan gambut. Bandingkan dengan negara
Malaysia yang memberlakukan kebijakan tegas (tanpa kecuali) tentang larangan pembukaan
lahan dengan cara bakar. Malaysia secara tegas memberikan denda sebesar 500.000 ringgit
dan/5 tahun penjara baik bagi pemilik mapun penggarap lahan.

Yang lebih herannya lagi, tidak ada satupun pasal dari Undang-Undang No 41 Tahun 1999 ini
yang secara substansial mengatur tentang pencegahan dan penanggulangan kebakaran hutan
dan lahan gambut. Demikian pula halnya dalam RPP Perlindungan Hutan dan PP No. 6 tahun
1999 tentang Pengusahaan Hutan dan Pemungutan Hasil Hutan pada hutan Produksi tidak
memberikan referensi tentang pencegahan kebakaran hutan dalam konteks pengusahaan hutan.
Otomatis, dengan melihat kebijakan-kebijakan yang ada selama ini, Pemerintah Indonesia
belum memiliki sense of crisis terhadap berbagai kasus kebakaran dan dampak yang
ditimbulkannya. Sehingga kesan yang muncul kemudian pemerintah hanya memiliki kebijakan
setengah hati untuk menanggulangi dan mencegah kebakaran hutan .

Upaya BAPEDAL menyusun Rancangan Peraturan Pemerintah tentang Pengendalian Praktek


Pembakaran, Kebakaran dan Dampaknya juga dikhawatirkan tidak efektif dikarenakan
sebagaimana perangkat peraturan pemerintah (PP) hanyalah mengimplementasikan mandat
dari suatu Undang-undang. Sedangkan Undang-Undang No 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan
maupun Undang-Undang No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup tidak
memberikan mandat secara spesifik untuk mengembangkan PP tentang kebakaran hutan.
Bentuk PP ini juga memiliki keterbatasan dalam memberlakukan instrumen-instrumen
command and control (paksaan) maupun insentif ekonomi. Instrumen-instrumen tersebut harus
dalam bentuk Undang-Undang (DPR RI bersama Pemerintah). Dengan demikian adalah suatu
hal yang logis apabila masalah pencegahan dan penanggulanan kebakaran hutan dan lahan
gambut segera menjadi perhatian dan secara cepat ketentuan-ketentuan tersebut dirumuskan
dalam suatu UU yang memuat prinsip-prinsip pencegahan, pemantauan dan penanggulangan
yang komprehensif dan terintegrasi.

Aparat penegak hukum belum lama ini membuat terobosan penting. Mereka berkomitmen
menuntaskan kasus-kasus kejahatan sumber daya alam di hutan dan lahan gambut secara
terpadu dengan memakai berbagai perundangan (multi-door) sektoral agraria untuk
memaksimalkan sanksi bagi para pelaku kejahatan.

Lebih jauh, penanganan tindak kejahatan di sektor agraria harus dilakukan di bawah satu atap,
baik aspek perdata, administrasi, maupun pidananya. Pendekatan multi-perundangan saja tak
cukup. Sebab, kejahatan agraria dikategorikan sebagai extra ordinary crime karena terjadi
secara massif dan sistemik 3 .

Kasus lingkungan erat berkaitan dengan kasus seperti korupsi, pencucian uang, penggelapan
pajak sampai tindakan pidana lingkungan. Sehingga diperlukan cara penyelesaian kasus
lingkungan yang efektif dan tidak memakan waktu lama, yakni penyelesaian kasus lingkungan
dengan pendekatan multi-door karena pendekatan ini melibatkan semua pihak baik KPK,
PPATK, KLH, Kepolisian guna saling mendukung kasus-kasus lingkungan. Selama ini,
penanganan hukum umumnya memakai satu aspek perundangan sehingga antar penegak
hukum mempunyai persepsi atau norma berbeda sehingga penyelesaian perkara tidak efektif.

Faktanya sejak penandatanganan kerja sama penegakan hukum dengan pendekatan multi-
door (terpadu) Desember tahun lalu, sampai saat ini sudah ada 43 kasus kejahatan sumber daya
alam (SDA) dan lingkungan di hutan dan lahan gambut sudah ditangani. Dari 43 kasus yang
ditangani Mabes Polri dan Polda ada 39 meliputi tindak pidana perkebunan, kehutanan, dan
pertambangan. Adapun perkembangan kasus itu antara lain proses sidang di Pengadilan Negeri
Kuala Kapuas, Kalimantan Tengah, yaitu PT Kahayan Agro Lestari, tahap berkas-berkas
lengkap atau P-21 PT Menthobi Mitra Lestari, 14 kasus masih tahap penyidikan, dan 23 kasus
dalam tahap penyelidikan. Sedang kasus ditangani Kementerian Negara Lingkungan
Hidup ada dua, satu masuk tahap P-21, yaitu PT Kalista Alam (PT KA), satu kasus dalam
penyidikan PT Surya Panen Subur (PT SPS). Lalu, kasus ditangani Kementerian Kehutanan
ada dua, satu tahap penyidikan, yaitu PT Kaliau Mas Perkasa di Kalimantan Barat dan PT
Karya Dwi Putera.

___________________________

k 3 Bernhard Limbong, Peradilan Multi Door dan Satu Atap, diakses dari
http://www.pancanaka.org/index.php?option=com_content&view=article&id=509:peradilan
-multi-door-dan-satu-atap&catid=89&Itemid=218 pada 29 Maret 2016 pukul 19.24
Berikut penulis akan memaparkan lebih lanjut mengenai pendekatan multi door.

Pendekatan Multi Door

Pendekatan multidoor adalah pendekatan penegakan hukum atas rangkaian/gabungan tindak


pidana terkait Sumber Daya Alam- Lingkungan Hidup (SDA-LH) di atas hutan dan lahan
gambut yang mengandalkan berbagai peraturan perundangan antara lain Lingkungan Hidup,
Kehutanan, Tata Ruang, Perkebunan, Pertambangan, Perpajakan, Tindak Pidana Korupsi dan
Pencucian Uang.

Pendekatan multi-door diberlakukan untuk pelaku kejahatan korupsi kasus-kasus sumber daya
alam dan lingkungan hidup. Dimana pelakunya dapat dikenakan dakwaan berlapis dengan
menggunakan berbagai peraturan perundangan-undangan, antara lain undang-undang
Lingkungan Hidup, Kehutanan, Tata Ruang, Perkebunan, Pertambangan, Perpajakan, Tindak
Pidana Korupsi dan Pencucian Uang. Dengan asumsi bahwa kejahatan korupsi di bidang
Lingkungan hidup termasuk katagori kejahatan yang bersifat bersifat sindikasi, sistemik dan
terorganisir.

Untuk menimbulkan efek jera, terdakwa dikenakan sanksi berat dengan menggunakan berbagai
peraturan perundang-undangan. Dalam penegakan hukum terpadu, memberantas kejahatan
lingkungan tak hanya menerapkan satu undang-undang tetapi menggabungkan undang-undang
terkait lain. Pendayagunaan multi rezim hukum atau multidoor adalah bentuk terobosan hukum
yang mendobrak penggunaan rezim hukum tunggal seperti Undang-Undang Tipikor atau
Undang-Undang Kehutanan saja. Salah satu aspek penting dalam pendekatan multidoor adalah
pertanggungjawaban pidana korporasi (corporate criminal liability). Pertanggungjawaban
pidana korporasi ini penting untuk membuat penegakan hukum lebih efektif, karena bisa
menjangkau tidak hanya pelaku lapangan tapi juga perencana dan pengambil keputusan
hingga bisa menimbulkan efek jera lebih kuat terhadap pelaku. Misalnya Undang-Undang
Kehutanan tidak mengenal korporasi, untuk menjerat direksi yang tidak melakukan secara fisik
di lapangan. Maka dapat digunakan Undang-Undang Lingkungan hidup yang dapat menjerat
subyek hukum korporasi.

Tentang tindak pidana korporasi sudah ada presedennya. Pada tahun 2011, sembilan
perusahaan yang diadili terkait pembakaran lahan atau kasus kebakaran hutan yang terjadi Juni
2013 di Riau yang menjerat delapan perusahaan. Terobosan hukum dengan menggunakan
pendekatan multidoor beranjak pada pengalaman selama ini dimana dakwaan atau vonis yang
dijatuhkan pada pelaku kejahatan lingkungan sangatlah ringan. Rata-rata sekitar satu tahun
penjara. Salah satu hambatannya, jaksa penuntut umum atau jaksa KPK masih menggunakan
rezim hukum tunggal. Hanya menggunakan Undang-Undang Tipikor saja atau KUHP.

Oleh karenanya dalam penerapan pendekatan multidoor, berbagai penegak hukum secara
sinergis menerapkan berbagai undang-undang terkait. Di mana dalam penegakan hukum
multidoor ini:

a) mengupayakan penggunaan berbagai UU yang paling mungkin digunakan sesuai


dengan prinsip-prinsip hukum pidana yang berlaku dan perkembangan fakta yang
ditemukan di lapangan;
b) sedapat mungkin menjadikan korporasi sebagai tersangka/terdakwa selain pelaku fisik;
c) menggunakan Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) selain tindak pidana asal
(misalnya korupsi, perpajakan, kehutanan, pertambangan, tata ruang, dan perkebunan)
agar dapat mengembalikan kerugian negara (asset recovery) dari aset-aset yang berada
di dalam maupun di luar negeri;
d) memanfaatkan ketentuan yang mengatur kerusakan lingkungan hidup dan tindak
pidana korporasi sesuai dengan Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang
Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (UU PPLH). Hal tersebut bertujuan
agar Pasal 119 UU PPLH yang memungkinkan pidana tambahan, antara lain berupa
perampasan keuntungan, perbaikan akibat tindak pidana, dapat digunakan;
e) dalam rangka mengoptimalkan pengembalian kerugian negara (asset recovery),
mendorong pemanfaatan pasal- pasal yang mengatur tentang pembuktian terbalik oleh
penyidik dan penuntut.

Tujuan pendekatan Multidoor:


a. Menciptakan kesatuan kebijakan penyelidikan, penyidikan dan penuntutan dalam
penanganan perkara tindak pidana terkait pengelolaan SDA-LH;
b. Menghindarkan disparitas penegakan hukum untuk perkara-perkara sejenis antara satu
daerah dengan daerah lainnya dengan memperhatikan karakteristik setiap perkara;
c. Menghindari peluang lolosnya pelaku kejahatan di bidang SDA-LH karena terbatasnya
jangkauan suatu peraturan perundangan;
d. Menimbulkan efek jera terhadap pelaku intelektual dalam kejahatan yang terorganisir
yang pada akhirnya akan memberikan efek;
e. Menumbuhkembangkan sistem penegakan hukum terpadu yang menjunjung tinggi rasa
keadilan yang hidup dan berkembang di dalam masyarakat;
f. Mendorong penggunaan ketentuan-ketentuan pidana terkait pertanggung-jawaban
korporasi, pengembalian kerugian negara dan pemulihan lingkungan;
g. Memudahkan proses kerjasama internasional khususnya dalam pengejaran aset dan
tersangka;
h. Memaksimalkan pengembalian kerugian negara termasuk dari sektor pajak.

Kemudian kapan pendekatan multidoor dapat digunakan? Berikut indikasi dimana pendekatan
multidoor dapat digunakan untuk menyelesaikan permasalahan lingkungan:

a. Terdapat indikasi penyimpangan dalam proses pemberian izin, misal: pemberian izin
usaha perkebunan tanpa AMDAL, Upaya Pengelolaan Lingkungan - Upaya Pemantauan
Lingkungan (UKL-UPL) dan/atau Izin Lingkungan.
b. Terdapat indikasi usaha dan/atau kegiatan di luar izin atau tanpa izin, misal: perusahaan
tambang melakukan kegiatan pertambangan di luar konsesi izin usaha pertambangannya.
c. Terdapat indikasi tindak pidana dilakukan di daerah dengan fungsi konservasi dan/atau
fungsi lindung dan/atau berada pada lahan gambut dalam atau terdapat pembakaran
lahan/kawasan.
d. Terdapat indikasi hilangnya potensi penerimaan negara dan/atau kerugian pada
pendapatan negara, misal: perusahaan melakukan land clearing tanpa membayar Provisi
Sumberdaya Hutan-Dana Reboisasi (PSDH-DR) padahal terdapat tegakan atau tidak
membayar pajak sesuai peraturan yang berlaku.

Adapun peraturan perundang-undangan yang relevan digunakan dalam pendekatan multidoor:


a. UU No. 41 tahun 1999 tentang Kehutanan;
b. UU No. 18 tahun 2004 tentang Perkebunan;
c. UU No. 26 tahun 2007 tentang Penataan Ruang;
d. UU No. 4 tahun 2009 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara;
e. UU No. 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;
f. UU No. 6 tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana
diubah dengan UU No. 16 tahun 2009;
g. UU No. 5 tahun 1990 tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya;
h. UU No. 10 tahun 1995 tentang Kepabeanan sebagaimana telah diubah dengan UU No.
17 tahun 2006;
i. UU No. 31 tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana
diubah dengan UU No. 20 tahun 2001; dan
j. UU No. 8 tahun 2010 tentang Pemberantasan dan Pencegahan Tindak Pidana Pencucian
Uang.

Penerapan pendekatan multidoor memungkinkan pengenaan pidana tambahan kepada para


pelaku pidana di bidang lingkungan, khususnya kebakaran hutan dan lahan gambut, akan
memberikan efek jera yang lebih efektif. Namun pelaksanaan pendekatan ini tidak akan
berjalan sebagaimana mestinya tanpa dukungan pihak-pihak lain seperti instansi pemerintah
terkait serta dibutuhkan peran masyarakat untuk mendukung penerapan pendekatan multidoor
ini guna memberi hukuman yang pantas bagi pelaku kejahatan kerusakan hutan dan lahan
gambut, juga untuk mencegah dan menanggulangi terjadinya kebakaran hutan dan lahan
gambut. Berikut lembaga-lembaga dan sektor-sektor terkait:

Sektor Kehutanan, yaitu: Departemen Kehutanan;

Sektor Pertanian, yaitu : Departemen Pertanian;

Sektor Lingkungan, yaitu : Kementerian Negara Lingkungan Hidup;

Sektor Manajemen Bencana, yaitu : Bakornas PBP;

Sektor Lain, yaitu: Departemen Dalam Negeri, BMG, LAPAN, BPPT.

Sektor Kehutanan

Sebagian besar kebakaran yang terjadi di kawasan hutan dan lahan berkaitan dengan
kegiatan pengusahaan hutan, pemanfaatan lahan oleh masyarakat dan kegiatan konversi lahan
lainnya.

Departemen Kehutanan

Masalah kebakaran hutan dan lahan di Indonesia menjadi semakin penting sejak
terjadinyakebakaran 1997/1998. Di tingkat Nasional, bagian/unit Departemen Kehutanan
yangmenangani masalah kebakaran telah mengalami beberapa perubahan seiring dengan
meningkatnya ancaman dan peristiwa kebakaran. Direktorat Jenderal Perlindungan Hutan dan
Konservasi Alam (PHKA) merupakan unit Departemen Kehutanan yang mempunyai
wewenang dalam menangani masalah kebakaran hutan.

Pusat Pengendalian Kebakaran Hutan Nasional (PUSDALKARHUTNAS)

PUSDALKARHUTNAS merupakan organisasi non struktural yang dibentuk oleh Departemen


Kehutanan untuk menangani secara khusus masalah kebakaran. Melalui organisasi ini,
diharapkan masalah kebakaran hutan dapat ditangani secara komprehensif dan memudahkan
koordinasi resmi antarseksi di Departemen dan diantara lembaga terkait ditingkat propinsi dan
kabupaten di seluruh Indonesia.

Sektor Pertanian

Di tingkat Nasional, bagian/unit Departemen Pertanian yang bertanggung jawab dalam


menangani masalah kebakaran yang terjadi di lahan adalah Direktorat Perlindungan
Perkebunan. Direktorat ini bertanggung jawab langsung kepada Direktur Jenderal Bina
Produksi Perkebunan.

Sektor Lingkungan

Terjadinya kebakaran hutan dan lahan gambut berakibat pada turunnya kondisi lingkungan.
Pengelolaan lingkungan di Indonesia menjadi tanggung jawab Kementerian Negara
Lingkungan Hidup. Dalam rangka meningkatkan keefektifan dan fungsi
kegiatan pengawasandan pengendalian lingkungan maka dibentuklah Badan Pengendalian
Dampak Lingkungan (BAPEDAL) dibawah koordinasi Kementerian Negara lingkungan
Hidup. Bapedal tidak mempunyai unit atau bagian khusus yang menangani masalah kebakaran
hutan dan lahan. Sehingga pada tahun 1995 dibentuklah lembaga non struktural Tim
Koordinasi Nasional Kebakaran Lahan (TKNKL) yang terfokus pada manajemen kebakaran
lahan.

Sektor Manajemen Bencana

Badan koordinasi nasional penanggulangan bencana dan penanganan pengungsi


(BakornasPBP) merupakan badan koordinasi non struktural dan hanya berfungsi apabila aksi
multi-sektoral diperlukan selama terjadinya bencana, misalnya bencana kebakaran hutan dan
lahan.
Sektor Lain
Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG), LAPAN, BPPT, Departemen Transmigrasi, Badan
SAR Nasional, Kepolisian, TNI merupakan instansi instansi terkait lainnya yang
ikut bertangung jawab dalam manajemen pengendalian kebakaran hutan dan lahan. Data dani
nformasi tentang keadaan lingkungan, hotspot (titik panas) yang dihasilkan oleh LAPAN
sangat diperlukan dalam upaya pencegahan terutama dalam kegiatan peringatan dini terjadinya
kebakaran hutan dan lahan. Selain pada saat pencegahan, instansi-instansi tersebut diatas juga
ikut terlibat dalam upaya pemadaman dan penanganan paska kebakaran.

Peran Serta Masyarakat

Mengenai peran serta masyarakat dalam mendukung penerapan pendekatan multidoor, seorang
pemikir yang sangat berpengaruh dalam perkembangan hukum lingkungan Indonesia yakni
Koesnadi Hardjasoemantri, mengatakan bahwa pentingnya peran serta masyarakat dalam
pengambilan keputusan terkait lingkungan hidup dan SDA yang dalam hal ini terutama hutan
dan lahan gambut. Peran serta masyarakat akan memberikan informasi yang berharga bagi para
pengambil keputusan, dan akan mereduksi kemungkinan resistensi masyarakat. Dengan
diperhatikannya keberatan-keberatan yang diajukan dalam proses pembuatan keputusan,
kemungkinan pengajuan perkara dapat diminimalisir dan perlindungan hukum dapat terjadi.
Daftar Pustaka

Anda mungkin juga menyukai