Anda di halaman 1dari 21

Lahan Gambut:

Pemanasan Global
dan Perdagangan
Karbon
Terbentuknya Gambut
 Gambut terbentuk apabila terdapat limpahan biomass
atau vegetasi pada suatu kawasan yang mengalami
hambatan dalam proses dekomposisinya.
 Faktor penghambat utama tersebut adalah genangan
air sepanjang tahun atau kondisi rawa.
 Dalam konteks yang demikian, hutan sebagai penghasil
limpahan biomass, yang mendominasi wilayah
Kalimantan Tengah (sekitar 65,05 % dari total luas
wilayah), khususnya pada areal-areal yang selalu
tergenang air adalah merupakan kawasan potensial
terbentuknya gambut. Tetapi sebaliknya, tidak semua
areal hutan dapat membentuk lahan-lahan bergambut.
Gambut terbentuk dari
seresah organik yang
terdekomposisi secara
anaerobik dimana laju
penambahan bahan
organik lebih tinggi
daripada laju
dekomposisinya
Zaman Pembentukan Gambut
 Pembentukan gambut di beberapa daerah
pantai Indonesia diperkirakan dimulai
sejak zaman glasial akhir, sekitar 3.000 -
5.000 tahun yang lalu. Untuk gambut
pedalaman bahkan lebih lama lagi, yaitu
sekitar 10.000 tahun yang lalu.
(Brady, 1997)
SPESIFIKASI LAHAN GAMBUT

 Penyebaran :
- Di daerah rawa,yaitu lahan yg menempati
posisi peralihan diantara daratan dan sistem
perairan.
- Lahan ini sepanjang tahun/selama waktu yg
panjang dalam setahun selalu jenuh air.
- Terdapat di cekungan,depresi atau bagian2
terendah di pelimbahan dan menyebar di
dataran rendah sampai tinggi.
 Pembagian Lahan Gambut
Berdasar tingkat kesuburan alami :
1. Eutrofik
2. Oligotrofik
3. Mesotrofik
Menurut Widjaja-adhi et al, 1992 dan Subagyo, et al,
1996 :
1. Dangkal (50-100 m) 3. Dalam (200-
300 m)
2. Agak dalam (100-200 m) 4. Sangat dalam
(>300 m)
Berdasar lingk. tumbuh dan pengendapan gambut :
1. Gambut ombrogenous
2. Gambut topogenous
SIFAT LAHAN GAMBUT

- Sifat inheren paling penting dari tanah


gambut tropis :
1. Bahan penyusun dari kayu2an
2. Dalam keadaan tergenang
3. Sifat menyusut dan subsidence (penurunan
permukaan gambut) karena drainase
4. pH yang sangat rendah dan status kesuburan
yang rendah
 A. SIFAT FISIK
- Umumnya berwarna coklat kemerahan hingga coklat
tua tergantung tahap dekomposisinya.
- Kandungan air yang tinggi dan kapasitas memegang
air 15-30 kali dari berat kering.
- Bulk density yang rendah (0,05-0,4 g/cm³)
- Porositas total diantara 75-95%
- Sifat lain yang merugikan adlh apabila gambut
mengalami
pengeringan yang berlebih hingga koloid gambut
menjadi rusak,
dan terjadi gejala kering yang tidak kembali kemudian
gambut berubah sifat menjadi arang shg tidak dapat
menyerap air dan unsur hara yang dapat
menyebabkan gambut mudah terbakar.
 B. SIFAT KIMIA
- Dipengaruhi ketebalan horison organik,sifat
subsoil,dan frekuensi luapan air sungai
- Lahan gambut tropis memiliki kandungan mineral
yang rendah dengan kandungan bahan organik lebih
dari 90%
- Secara kimiawi bereaksi masam (pH di bawah 4)
- Kandungan N total tinggi tetapi tidak tersedia bagi
tanaman karena rasio C/N yang tinggi.
- Kandungan unsur mikro khususnya Cu,B dan Zn
sangat rendah
- Pada gambut dangkal pH lebih tinggi (4,0-5,1),pada
gambut dalam (3,1-3,9)
Fungsi Ekologis Gambut
Secara ekologis, hutan rawa gambut merupakan :

 habitat bagi spesies langka orangutan (Pongo


pygmaeus) baik di Sumatera maupun
Kalimantan,
 Tempat pemijahan ikan,
 reservoir air, yang ditumbuhi oleh vegetasi
hutan hujan selalu hijau (evergreen),
 serta sumber pencaharian penduduk sekitar.
Potensi Carbon Tanah Gambut
 Gambut merupakan deposit karbon yg
sangat besar. Estimasi 2002 dari tanah
gambut seluas 7,20 juta dan 5,77 juta
hektar (berturut-turut di P. Sumatra dan
P. Kalimantan), yang tersebar pada
berbagai kedalaman, menunjukkan
simpanan total karbon sebanyak 30 Gt
(Giga Ton) C.
 Secara global lahan gambut menyimpan
sekitar 329 - 525 giga ton (Gt) karbon
atau 15-35 % dari total karbon terestris.
Sekitar 86 % (455 Gt) dari Karbon di
lahan gambut tersebut tersimpan di
daerah temperate (Kanada dan Rusia)
sedangkan sisanya sekitar 14 % (70 Gt)
terdapat di daerah tropis.
(Murdiyarso et al, 2004).
Kebakaran Lahan Gambut
 Cadangan karbon yang besar ini pulalah
yang menyebabkan tinggginya jumlah
karbon yang dilepaskan ke atmosfer ketika
lahan gambut di Indonesia terbakar pada
tahun 1997, yang berkisar antara 0,81-
2,57 Gt (Page, 2002).
Kerugian Akibat Kebakaran Gambut
 Polusi asap pertahun 60% berasal dari hutan gambut, walaupun
persen penutupannya hanya berkisar 10- 14% saja. Kebakaran
gambut pada tahun 1997/ 1998 jumlahnya 13- 40% dari emisi
tahunan yang disebabkan pembakaran bahan bakar minyak di
seluruh dunia (Peter dan Nina, 2002).

 Pengeringan gambut juga akan melepas emisi CO2 sebesar 50- 100
ton/ tahun/ ha dan di Asia Tenggara diperkirakan terdapat 7 juta ha
lahan gambut yang telah dikeringkan (Van Den Eelart, 2006).

 Kebakaran hutan gambut pada rentang waktu tahun 1997/ 1998


mengakibatkan kerugian negara sekitar 800 juta dollar atau setara
dengan 8 trilyun rupiah, di samping dampak lain seperti rusaknya
ekosistem, gangguan transportasi, kesehatan, berkurangnya
produktifitas lahan yang sangat besar dan ilmu pengetahuan
sehingga mampu menghentikan hampir seluruh roda kehidupan dan
memberi goncangan yang dahsyat kepada pemerintah dan negara.
Gas Rumah Kaca
 20 % dari emisi gas rumah kaca (GRK) dunia
disebabkan oleh deforestasi, bahkan di negara-
negara yang memiliki keanekaragaman hayati
yang tinggi seperti Indonesia dan Brazil.
 Emisi dari penggunaan lahan, perubahan
penggunaan lahan dan kehutanan Indonesia
pada tahun 2000 diperkirakan sebesar 2.563 Mt
CO2 atau sama dengan 20 % dari total emisi
perubahan lahan dan hutan dunia, sebagian
besar penyumbang emisi ini adalah deforestasi
dan degradasi hutan.
(WWF, 2008)
 Cadangan karbon dari suatu bentang lahan juga
dapat dipindahkan melalui penebangan kayu,
hanya saja kecepatannya dalam melepaskan C
ke atmosfir tergantung pada penggunaan kayu
tersebut.
 Diperkirakan bahwa antara tahun 1990-1999,
perubahan penggunaan lahan memberikan
sumbangan sekitar 1.7 Gt tahun-1 dari total
emisi CO2
(Watson et al., 2000, di dalam Lusiana et al,
2005).
Gambut sebagai Penjaga Iklim
Global
 Pendugaan emisi yang dilakukan di lahan
gambut di sekitar Taman Nasional Berbak,
Sumatera menunjukan angka sebesar 7 juta ton
karbon (Murdiyarso et al., 2004).
 Dengan demikian, gambut memiliki peran
yang cukup besar sebagai penjaga iklim
global.
 Apabila gambut tersebut terbakar atau
mengalami kerusakan, materi ini akan
mengeluarkan gas terutama CO2, N2O dan CH4
ke udara dan siap menjadi perubah iklim dunia
(Najiyati et al, 2005).
Karbon Kredit
 Suatu mekanisme pembiayaan “karbon kredit” dikembangkan untuk
mengurangi emisi dari deforestasi dan degradasi lahan yang dikenal
dengan REDD (reduce emissions from deforestation and forest
degradation).
 Konsepnya adalah negara maju membeli stock karbon (karbon yang
tertambat di pohon/vegetasi, karbon tertambat di tanah gambut)
yang berada di negara-negara yang memiliki hutan tropis terbesar
untuk mengurangi deforestasi dan degradasi hutan mereka.
 Badan ilmiah PBB untuk perubahan iklim, UNFCCC membuat laporan
tentang bagaimana mencapai target REDD tersebut yang
disampaikan pada konferensi di Bali pada bulan Desember 2007
lalu. Para pendukung REDD menginginkan insentif bagi konservasi
hutan dan menjadi bagian dari instrumen perdagangan karbon
pasca 2012 (fase selanjutnya dari Protokol Kyoto).
Pelaksanaan Karbon Kredit
Namun, langkah untuk menuju ”pasar perdagangan
karbon” ini tidaklah mudah, banyak hal yang harus
dipertimbangkan dengan bijak, seperti :

 masyarakat adat dan hak-hak lokal yang diakui


keberadaannya.
 kesiapan Pemerintah untuk mengeluarkan perusahaan-
perusahaan perkebunan yang telah melakukan ekspansi
di lahan gambut. Karena regulasi di negara ini
menetapkan gambut dengan kedalaman 3 (tiga) meter
atau lebih sebagai kawasan lindung (KEPPRES No. 32
Tahun 1990).
Daftar Pustaka
 Brady, M.A. 1997. Effect of Vegetation Changes on Organic Matter Dynamics in Three Coastal
Peat Deposits in Sumatra, Indonesia. In: J. O. Rieley & S. E. Page, Biodiversity and Sustainability
of Tropical Peatlands. Proceeding of The International Symposium on Biodiversity, Environmental
Importance and Sustainability of Tropical Peat and Peatlands. Palangkaraya, Indonesia, 4-8
September 1995. Samara Publishing Limited, Cardigan, UK, 113-134
 Lusiana, B M. van Noordwijk., S. Rahayu. 2005. Cadangan Karbon di Kabupaten Nunukan
kalimantan Timur: Monitoring Secara Spasial dan Pemodelan. ICRAF. Bogor
 Mudiyarso, D., U. Rosalina., K. Hairiah., L. Muslihat., I.N.N. Suryadiputra., A. Jaya. 2004.
Petunjuk Lapangan Pendugaan Cadangan Karbon pada Lahan Gambut. Proyek Climate Change,
Forest and peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia Programme dan Wildlife
Habitat Canada. Bogor
 Najiyati, S., A. Asmana., I.N.N. Suryadiputra. 2005. Pemberdayaan Masyarakat di Lahan Gambut.
Proyek Climate Change, Forest and peatlands in Indonesia. Wetlands International-Indonesia
Programme dan Wildlife Habitat Canada. Bogor
 Page, S.E., J.O. Rieley., H.-D.V Boehm, A. Jaya and S.H. Limin. 2002. The Amount Of Carbon
Released From Peat And Forest Fires In Indonesia During 1997. Nature, 420:61-65
 Rieley, J. O. 2007. Environmental and economic Importance of Lowland Tropical Peatlands of
Southeast Asia: Focus on Indonesia. In: Wosten, H., Radjagukguk, B. 2007. Open Science
Meeting 2005, Session on The Role of Tropical Peatlands in Global Change Processes, Science
and Society: New Challenges and Opportunities 27-29 September 2005, Yogyakarta, Indonesia.
Andi Offset. Yogyakarta
 WWF. 2008. Deforestation, Forest Degradation, Biodiversity Loss and CO2 Emissions in Riau,
Sumatra, Indonesia-One Indonesian Province’s Forest and Peat Soil Carbon Loss over a Quarter
Century and its Plan for the Future. WWF Indonesia Technical Report. Jakarta
Disusun Oleh:

– Hanung Anggara H (5722)


– Wahyu Prabowo (5676)
– Alan Cabout (5750)
– Anugerah Susilo (5666)
– Ari Wijaya (5804)
– Novia Ratih Vandanawati (5704)
– Suhartini (5220)
– Bramanti D (5226)

Anda mungkin juga menyukai