Anda di halaman 1dari 16

PROPOSAL

PENELITIAN INTERNAL UNIVERSITAS MATARAM

Judul Penelitian
KARAKTERISASI TANAH DAN CADANGAN KARBON PADA LAHAN
AGROFORESTRI PORANG DI DESA SENARU LOMBOK UTARA

KELOMPOK PENELITI BIDANG ILMU


DINAMIKA KARBON

FAKULTAS PERTANIAN

LEMBAGA PENELITIAN DAN PENGABDIAN KEPADA MASYARAKAT

UNIVERSITAS MATARAM

TAHUN 2022

1
BAB 1. PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang
Perubahan iklim telah menjadi isu yang sangat menarik akhir-akhir ini. Perubahan iklim
dipicu oleh kegiatan manusia terutama yang berkaitan dengan penggunaan bahan bakar fosil dan
kegiatan alih guna lahan. Kegiatan tersebut menghasilkan gas-gas yang mempunyai efek rumah
kaca disebut gas rumah kaca (GRK) yang terakumulasi di atmosfer. Gas-gas tersebut diantaranya
karbondioksida (CO2), nitroksida (N2O), methana (CH4). Di Indonesia GRK dihasilkan dari
berbagai kegiatan manusia yang dapat dibedakan atas beberapa hal, yaitu pemanfaatan energi
yang berlebihan, kerusakan hutan, serta pertanian dan peternakan (Panjiwibowo et al. 2003).
Bahan organik adalah bagian dari tanah yang merupakan semua jenis senyawa organik
yang terdapat di dalam tanah, termasuk serasah, fraksi bahan organik ringan, biomassa
mikroorganisme, bahan organik terlarut di dalam air, dan bahan organik yangstabil atau humus.
Bahan organik memiliki peran penting dalam menentukan kemampuan tanah untuk mendukung
tanaman, sehingga jika kadar bahan organik tanah menurun, kemampuan tanah dalam
mendukung produktivitas tanaman juga menurun (Suwarno et al., 2009).
Pulau Lombok dikategorikan sebagai pulau kecil dan merupakan daerah kepulauan yang
rentan terhadap perubahan iklim dan kerusakan lingkungan. Butler et al. (2014) melaporkan
bahwa Pulau Lombok merupakan daerah yang rentan terhadap perubahan iklim. Hal ini ditandai
dengan terjadinya perubahan dan pergeseran pola musim penghujan dan musim kemarau (3%
pada tahun 2030); kenaikan suhu rata-rata yaitu 1oC - 2oC pada 10 tahun terkahir; kenaikan muka
air laut yang dapat mencapai 1m - 7m sampai pada tahun 2050; serta diperparah dengan
meningkatnya pertumbuhan penduduk (6.3 juta penduduk tahun 2050); eksploitasi sumberdaya
alam dan alih fungsi sumberdaya alam.
Keadaan ini diperparah dengan semakin meluasnya kerusakan lahan hutan akibat
penebangan liar, alih guna lahan hutan dan kebakaran hutan. Dikutip dari Kantor Berita Antara
NTB (2009) menyebutkan bahwa lahan kritis di NTB mencapai 527.800 hektare (ha)
atau 26% dari luas daratan, yang terdiri atas hutan kritis seluas 159.000 ha dan lahan kritis non
hutan seluas 368.800 ha. Selain itu, total kerusakan hutan sebesar 22% berada di kawasan Taman
Nasional Gunung Rinjani (TNGR), sedangkan Walhi menilai bahwa kerusakan hutan di provinsi
NTB sudah mencapai 78%. Sementara itu, hutan mangrove juga terus mengalami kerusakan.
Berdasarkan hasil penelitian Syarif Budiman, dkk. (2001), kerusakan hutan mangrove di Pulau

2
Lombok mencapai 1.519,85 ha dengan kategori rusak berat sebesar 906,31 ha dari total kawasan
potensi mangrove di Pulau Lombok yaitu 3.426,78 ha. Jika lahan hutan terus mengalami
degradasi maka kemampuan bumi untuk menyerap karbon semakin rendah sehingga tidak
mampu mengurangi GRK yang terakumulasi di atmosfer. Oleh karena itu diperlukan upaya
menurunan emisi GRK di sektor sektor kehutanan. Hal tersebut dapat dilakukan karena pada
prinsipnya adalah pengurangan emisi dengan menjaga dan mempertahankan stok karbon yang
ada serta meningkatkan serapan melalui berbagai program reforestrasi.

Penelitian ini ditujukan untuk mengenal sifat fisika, kimia, dan hidrologis tanah serta
mengevaluasi cadangan karbon pada lahan agroforestry porang di desa Senaru Lombok Utara.
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan informasi mengenai ciri-ciri tanah dan
sekaligus memberikan kontribusi dalam membangun data dasar status karbon di lahan
agroforestry porang.

1.2. Perumusan Masalah


Praktek budidaya porang dibawah tegakan hutan yang hanya mengandalkan penggunaan
agrokimia secara terus menerus dapat mengakibatkan degradasi lahan, sehingga berdampak pada
menurunnya produksi porang. Desa Senaru di kabupaten Lombok Utara termasuk salah satu desa
binaan kami (Program Studi Ilmu Tanah) dalam pengembangan tanaman porang untuk
peningkatan kesejahteraan masyarakat. Desa Senaru dikategorikan sebagai daerah yang rentan
terhadap perubahan iklim yang diperparah dengan kondisi sumberdaya lahan yang terus
terdegradasi. Oleh karena itu, upaya untuk mengurangi laju degradasi dalam rangka
meningkatkan produksi porang dan pengembangan karbon bagi menejemen pertanian yang
sustainable perlu dilakukan dengan pencirian sifat tanah dan penilaian potensi cadangan karbon
tanah. Ketersediaan data tentang ciri-ciri tanah dan cadangan karbon tanah dapat digunakan
sebagai data dasar untuk acuan dalam kebijakan pengembangan agroforestry porang dan
perubahan iklim di masa depan. Penilaian karbon di tanah hutan (agroforestry) akan dihitung
dengan analisis laboratorium di Laboratorium Ilmu Tanah Universitas Mataram.

1.3. Tujuan dan Manfaat serta Urgensi


Tujuan dari penelitian ini adalah menentukan ciri-ciri tanah dan mengevaluasi cadangan
karbon pada lahan agroforestry porang di desa Senaru, kecamatan Bayan, kabupaten Lombok
Utara. Data informasi mengenai pencirian sifat fisik, kimia dan hidrologis serta potensi cadangan

3
karbon tanah di lahan agroforestry porang dapat digunakan sebagai dasar bagi pengembangan
agroforestry porang dan pengelolaan karbon dalam pengembangan pertanian yang ramah
lingkungan (sustainable and precision agriculture), sekaligus bagi pemerintah daerah terkait
dengan rencana scenario adaptasi terhadap perubahan iklim di bidang kehutanan secara umum.
Di luar konteks keilmuan, penelitian ini memiliki tujuan umum dan khusus sebagai berikut:

Tujuan Umum:

Mendukung Pemerintah RI mengiplementasikan Rencana Aksi Nasional Penurunan Emisi GRK


(RAN-GRK) sehingga dapat dijadikan acuan bagi pemerintah daerah kabupaten Lombok Barat
untuk membuat Rencana Aksi Daerah Penurunan Emisi GRK (RAD-GRK).

Mendukung Program Studi Ilmu Tanah (PSIT), Universitas Mataram dalam mencapai visi ilmu
tanah untuk berdaya saing internasional pada tahun 2025 dengan salah satu strateginya, yaitu
pada tahun 2020-2025 dapat mewujudkan hasil penelitian di bidang ilmu tanah menuju pertanian
berkelanjutan yang adaptif / responsif terhadap perubahan iklim. Selain itu, hasil penelitian ini
diharapkan dapat memberikan kontribusi dalam membangun data dasar status karbon pada
lahan-lahan pertanian termasuk lahan agroforestry yang menjadi bagian dari road map penelitian
kelompok peneliti bidang ilmu dinamika karbon PSIT.

Tujuan Khusus:

Memberikan informasi kepada petani porang dan masyarakat sekitar hutan tentang ciri-ciri tanah
dan potensi cadangan karbon tanah pada lahan agroforestry porang. Selain itu, tujuan khususnya
adalah meningkatkan peran serta petani dalam membangun pertanian yang berkelanjutan
sekaligus dapat berkontribusi dalam mitigasi perubahan iklim melalui pendekatan pertanian yang
ramah lingkungan.

1.4. Temuan/Inovasi Teknologi


Dalam konteks inovasi teknologi peneliti dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai
media/alat kampanye kepada masyarakat dalam mengantisipasi terjadinya perubahan iklim di
lapisan masyarakat paling bawah sekalipun serta mendukung kebijakan Sustainable
Development Goals (SDGs) dan manajemen karbon untuk pembangunan pertanian yang ramah
lingkungan (sustainable and precision agriculture).

4
BAB 2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Agroforestri Porang dan Faktor Pertumbuhannya

Agroforestri merupakan bentuk usaha tani (pengelolaan lahan) yang memadukan prinsip-
prinsip pertanian dan kehutanan. Pertanian dalam arti suatu pemanfaatan lahan untuk
memperoleh pangan, serat, dan protein hewani. Kehutanan untuk memperoleh produksi kayu,
pertukangan, dan/atau kayu bakar serta fungsi estetis, hidrologi, serta konservasi flora dan fauna
(Lahjie, 2001). Agroforestri merupakan sistem kombinasi pertanian dan kehutanan dalam rangka
optimalisasi pemanfaatan ruang. Agroforestri dikembangkan untuk menciptakan peluang dan
potensi bagi kesejahteraan manusia dan kelestarian sumber daya alam (Sabarnurdin, 2003).
Penggunaan ruang secara bersama dalam agroforestri diharapkan menghasilkan interaksi yang
positif antara tegakan hutan dengan tanaman di bawah tegakan hutan sehingga menghasilkan
usaha produktif.

Sampai saat ini agroforesti merupakan sistem yang banyak dipakai untuk pengelolaan
hutan yang melibatkan masyarakat, termasuk dikawasan hutan Senaru, kecamatan Bayan,
dimana petani mengembangkan pola usaha tani porang. Porang (Amorphophallus onchophyllus
Prain) adalah salah satu family Araceae yang merupakan tumbuhan herba dan menghasilkan
umbi yang mempunyai potensi dan prospek untuk dikembangkan desa Senaru. Masyarakat tani
sekitar hutan telah memulai menanam Porang, sebagai salah satu alternatif tanaman semusim
yang menjanjikan bagi kesejahteraan mereka.

Semua jenis Amorphophallus merupakan tanaman perdu yang bersifat menahun, dengan
memiliki umbi di dalam tanah. Masa berbunga bergantian secara teratur dengan masa berdaun
dengan diselingi masa istirahat atau masa dorman. Sewaktu memasuki masa berbunga atau
berbuah dan atau berdaun, maka umbinya berkurang dan menyusut yang pada akhirnya akan
habis dan baru akan terbentuk umbi lagi setelah tanaman membentuk daun sempurna (Budiadi
2012).

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi pertumbuhan dan perkembangan tanaman


porang, antara lain: kondisi geografis seperti iklim, suhu, cahaya dan ketinggian tempat;
kesuburan tanah; umur bahan tanam; dan faktor biotik seperti adanya gangguan hama penyakit
tanaman serta gulma Budiadi dkk (2012).

5
2.2 Pengolahan Lahan dan Cadangan Karbon

Bahan organik tanah (SOM) adalah penentu penting kesuburan tanah, produktivitas dan
keberlanjutan, dan merupakan indikator kualitas tanah yang berguna di daerah tropis sistem
pertanian di mana gizi buruk dan sangat Tanah yang lapuk dikelola dengan sedikit input
eksternal (Lal, 1997). Dinamika SOM dipengaruhi oleh manajemen pertanian praktik seperti
olah tanah, mulsa, pemindahan tanaman residu dan aplikasi organik dan mineral pupuk.
Penghapusan residu tanaman dari ladang diketahui mempercepat penurunan karbon organik
tanah (SOC) terutama bila ditambah dengan pengolahan tanah konvensional (Yang dan Wander,
1999; Mann et al., 2002). Ini adalah hal biasa berlatih di sebagian besar wilayah komunal
Zimbabwe, di mana sisa tanaman dihapus dari ladang untuk digunakan sebagai pakan ternak atau
digembalakan di situ. Mann et al. (2002) meninjau sejumlah studi di mana penambahan
brangkasan menghasilkan peningkatan SOC lebih besar daripada jika stover dihapus.

Mereka juga menemukan bahwa waktu tinggal rata-rata asli SOC secara substansial
diperpanjang jika stover tidak dipanen. Kandungan C organik tanah menurun 75% setelah 15
tahun tanpa tanam jagung dengan pemindahan residu Alfisol Nigeria mengikuti pembukaan
hutan sementara residu kembali memiliki SOC dua kali lebih banyak daripada residu
penghapusan (Juo et al., 1996). Saat efek mencangkul dan membajak dibandingkan, dengan atau
tanpa pupuk kandang, mineralisasi tanah, karbon dan hasil panen yang lebih besar ditemukan
ketika ada pemberian pupuk, dan dengan mencangkul lebih unggul daripada membajak (Mando
et al., 2005). Hasil penelitian mereka juga menunjukkan bahwa penggunaan pupuk kandang
dapat melawan efek negatif dari pengolahan tanah.

Pengolahan tanah memainkan peran penting dalam manipulasi penyimpanan nutrisi dan
pelepasan dari bahan organik tanah, dengan konvensional tillage (CT) menginduksi mineralisasi
cepat SOM dan potensi kehilangan C dan N dari tanah. Hasil percobaan jangka panjang
menunjukkan bahwa pada rata-rata perubahan dari CT ke tanpa olah (NT) dapat menyita 57 14 g
C m2 tahun1 (tidak termasuk NT dalam bera gandum sistem) dengan tingkat penyerapan tertinggi
sedang dicapai dalam 5–10 tahun setelah konversi (West and Post, 2002).

6
Sebaliknya, Six et al. (2002a, b) menemukan peningkatan umum dalam tanah C isi 325
113 kg C ha1 tahun1 di bawah NT dibandingkan dengan CT untuk tropis dan sistem beriklim.
Mereka juga melaporkan bahwa, rata-rata, C omset 1,5 kali lebih lambat di NT dibandingkan
dengan CT. Jumlah kehilangan SOM karena persiapan lahan tergantung pada konten tanah liat
dari tanah. Secara umum, SOM lebih besar kerugian diamati dalam tekstur kasar daripada
bertekstur halus tanah, terutama karena kurangnya perlindungan fisik bahan organik di tanah
berpasir (Hassink, 1995).

Di tanah bertekstur halus, berukuran lempung dan lanau partikel dengan aktivitas
permukaan tinggi secara kimiawi menstabilkan SOM dan membentuk blok bangunan untuk
agregat, sehingga mendorong perlindungan fisik SOM oleh oklusi dalam agregat, terutama
kelompok mikro (Six et al., 2000). Gangguan tanah melalui pengolahan tanah merupakan
penyebab utama penurunan jumlah dan stabilitas agregat tanah dan selanjutnya organic penipisan
materi (Six et al., 2000). Sebagian besar daerah pertanian petani kecil Zimbabwe adalah
didominasi oleh tanah bertekstur kasar (Grant, 1981).

Jenis dan intensitas pengolahan lahan, dan tekstur tanah mempengaruhi jumlah SOC yang
ada di tanah, laju perubahan SOC, dan distribusinya antara ukuran fraksi (Six et al., 2002a, b).
Pengolahan tanah mengurangi SOM di semua ukuran fraksi, tetapi bahan organik partikulat
(POM) banyak lebih mudah hilang daripada fraksi lainnya (Six et al., 1999). Jika tanah terus
dibudidayakan, penurunan SOC terutama disebabkan oleh kerugian sebesar POM di tanah
berpasir dan C terjerap di tanah liat (clay). Input C juga cenderung meningkatkan SOC dengan
mengakumulasikannya sebagai POM di fraksi ukuran pasir di tanah berpasir sedangkan di tanah
liat itu terakumulasi dalam fraksi ukuran pasir dan tanah liat. SOM pada lumpur lebih stabil dan
tidak mudah berubah dengan pengelolaan tanah (Six et al., 2001).

2.3. Hubungan Degradasi Lingkungan dan Perubahan Iklim


Dewasa ini, kerusakan lingkungan, perubahan iklim, bencana alam dan penghidupan
masyarakat yang bergantung pada kelestarian lingkungan terasa sangat rentan dan penuh
ketidakpastian. Khususnya di pulau Lombok yang dikategorikan sebagai pulau kecil dan
merupakan daerah kepulauan sangat terasa akibat dari perubahan iklim dan kerusakan
lingkungan. Dinas Kehutanan NTB melaporkan lahan kritis di daerah ini mencapai 527.800
hektare (ha) atau 26 persen dari luas daratan, yang terdiri atas hutan kritis seluas 159.000 ha dan

7
lahan kritis non hutan seluas 368.800 ha. Selain itu, total kerusakan hutan sebesar 22 persen
berada di kawasan Taman Nasional Gunung Rinjani (TNGR), dan sisa hutan sebesar 40 persen
(Antara NTB 2009). Sementara itu data Balai Wilayah Sungai (BWS) NTB menyebutkan, NTB
telah kehilangan sedikitnya 300 unit sumber air akibat kerusakan daerah aliran sungai (DAS)
yang dipicu oleh berbagai persoalan seperti praktik penebangan liar dan eksploitasi bahan
tambang secara berlebihan. Mata air atau sumber air di wilayah NTB yang dulunya mencapai
500 titik kini tinggal 120-an titik karena terjadi defisit air permukaan akibat kerusakan DAS.
Hasil penelitian terkini mengenai Adaptasi Perubahan Iklim dan Penghidupan
Masyarakat Pedesaan di Nusa Tenggara Barat oleh CSIRO-Pemerintah Provinsi NTB-
Universitas Mataram juga melaporkan bahwa Pulau Lombok merupakan daerah yang rentan
terhadap perubahan iklim. Hal ini ditandai dengan terjadinya perubahan dan pergeseran pola
musim penghujan dan musim kemarau (3% pada tahun 2030); kenaikan suhu rata-rata yaitu 1-
2oC pada 10 tahun terkahir; kenaikan muka air laut yang dapat mencapai 1m - 7m sampai pada
tahun 2050; serta diperparah dengan meningkatnya pertumbuhan penduduk (6.3 juta penduduk
tahun 2050); eksploitasi sumberdaya alam dan alih fungsi sumberdaya alam (Butler et al. 2014).
Dari berbagai penelitian diketahui bahwa faktor penyebab kerusakan hutan dan lahan
serta terjadinya fenomena perubahan iklim disebabkan oleh ulah dan campur tangan manusia
(IPCC, 2007). Bahkan Bidang Planalogi dan Pengamanan Hutan Dinas Kehutanan NTB (Andi
Pramaria) dalam Berita Antara tahun 2009 mengatakan bahwa “Pemerintah Provinsi (Pemprov)
Nusa Tenggara Barat (NTB) membutuhkan waktu paling sedikit 15 tahun untuk memulihkan
kerusakan hutan akibat penggundulan, penebangan liar, perambahan dan pembakaran kawasan
hutan. Itu pun kalau program reboisasi dan rehabilitasi kawasan hutan serta upaya
pemberantasan praktik pembalakan liar secara terpadu berhasil”. Timbulnya masalah
lingkungan hidup, menurut Passmore tidak terpisah dari pandangan kosmologis tertentu yang
pada kenyataannya telah menumbuhkan sikap eksploitatif terhadap alam. Karena itu,
pengembangan etika lingkungan menghendaki adanya perubahan secara fundamental dari
pandangan kosmologis yang menumbuhkan sikap eksploitatif terhadap alam kepada pandangan
yang menumbuhkan sikap lebih bersahabat dan apresiatif kepada alam.
2.4. Karbon Sekuestrasi dan Perubahan Iklim
Karbon di udara berada dalam bentuk gas yang dinamakan gas asam arang (gas CO2)
ataudalam kehidupan sehari-hari gas tersebut dikelompokkan sebagai “gas buang”. Karbon di

8
udara bermanfaat bagi tumbuhan yang berdaun hijau untuk melangsungkan proses
“fotosinthesis”. Selama berfotosinthesis tumbuhan butuh sinar matahari, gas CO2 yang diserap
dari udara, air dan hara yang diserap dari dalam tanah. Sebagai gas buang dari proses fotosintesis
dilepaskan O2 (oksigen) yang sangat kita butuhkan untuk bernafas. Melalui proses fotosintesis,
CO2 tersebut diubah menjadi karbohidrat (pati). Pati selanjutnya disebarkan keseluruh tubuh
tanaman dan akhirnya ditimbun dalam beberapa organ tanaman seperti daun, batang, ranting,
bunga dan buah , kemudian akan gugur sebagai seresah. Secara teknis seresah disebut pula
‘sampah kebun’, yang selanjutnya akan busuk dan lapuk menjadi bagian dari tanah yang
biasanya disebut pula sebagai ‘humus’ (Hairiah., dkk. 2016).

Karbon dalam bentuk pati tertimbun dalam tubuh tumbuhan dalam waktu cukup lama
tergantung dari jenis tumbuhannya. Untuk jenis tumbuhan tahunan (pohon), umumnya karbon
disimpan paling banyak di bagian berkayu selama tanaman tersebut masih hidup. Sedang pada
tumbuhan umur pendek, karbon hanya tersimpan dalam waktu singkat saja, setelah tumbuhan
mati/panen maka tidak ada lagi penyerap CO2 di udara, kecuali bila tumbuhan umur pendek
hidup berdampingan dengan tumbuhan umur panjang (pohon) (Hairiah., dkk. 2007).

Proses penyerapan gas CO2 dari udara dan penimbunan karbon dalam tubuh tanaman
hidup dinamakan proses sekuestrasi. Dengan demikian mengukur jumlah karbon yang disimpan
dalam tubuh tanaman hidup (biomasa) dalam suatu lahan dapat menggambarkan banyaknya CO2
di atmosfer yang diserap oleh tanaman. Semakin banyak dan semakin lama karbon disimpan
dalam tanaman maka sekuestrasi karbon akan semakin besar. Sedangkan jumlah karbon yang
hilang dari lahan kita karena panen dan pembakaran dihitung sebagai emisi. Keberadaan pohon
besar dalam suatu lahan dapat mempertahankan jumlah karbon yang disimpan, namun demikian
keradaan pohon yang berukuran kecil sampai sedang akan membantu menyerap CO2 di atmosfir
dan menjadi penyerap karbon dimasa depan. Berkenaan dengan upaya pengembangan
lingkungan bersih, maka jumlah CO2 di udara harus dikendalikan dengan jalan meningkatkan
jumlah serapan CO2 oleh tanaman sebanyak mungkin dan menekan pelepasan (emisi) CO2 ke
udara serendah mungkin. Jadi, mempertahankan keutuhan hutan alami, menanam pepohonan
pada lahan-lahan pertanian dan melindungi lahan gambut sangat penting untuk mengurangi
jumlah gas CO2 yang berlebihan di udara. Jumlah penyimpanan karbon antar penggunaan lahan
berbeda-beda, tergantung pada keanekaragaman dan jumlah tumbuhan yang ada, jenis tanahnya

9
serta carapengelolaannya. Untuk itu pengukuran banyaknya karbon yang ditimbun dalam setiap
lahan perlu dilakukan bersama-sama masyarakat yang lebih mengetahui kondisi lahannya
sehingga hasil prediksi lebih mendekati kebenarannya di lapangan, dengan demikian hasil
pengukurandapat dibandingkan dengan hasil pengukuran pada sistem penggunaan lahan lainnya
dari tempat dan waktu pengukuran yang berbeda (Hairiah dkk. 2016).

2.5 Penelitian-Penelitian Terdahulu


Sampai saat ini, belum ada data mengenai ciri-ciri tanah dan potensi cadangan karbon pada
lahan agroforestri padahal ketersediaan data tentang citri-ciri tanah dan karbon tanah sangat
dibutuhkan untuk pengembangan agroforestry porang dan perencanaan pengelolaan karbon bagi
pembangunan pertanian yang ramah lingkungan (sustainable and precision agriculture) serta
kebijakan mitigasi perubahan iklim. Oleh karena itu, penelitian ini difokuskan untuk menentukan
sifat-sifat tanah (fisika, kimia dan hidrologis) serta mengevaluasi cadangan karbon tanah pada
lahan agroforestry porang di desa Senaru, Lombok Utara.

Hasil penelitian pendugaan cadangan karbon pada hutan primer sebesar 469.576,4 Ton
atau 151,8 Ton/Ha (Ramadhan et al. 2014), yang terdiri dari kadar C organik tanaman atas
68,70%, serasah/nekromasa 34,30% dan karbon tanah sebesar 1,45%. Sedangkan untuk vegetasi
kebun campuran yang didominasi tanaman Kemiri (Aleurites moluccana), Sengon
(Paraserianthes Falcataria) memiliki potensi karbon sebesar 97.890 Ton atau 75,3 Ton/Ha.
Sedangkan cadangan karbon pada vegetasi Hutan Pinus (Pinus merkusii) berjumlah 71.289,4
Ton, atau berjumlah 78,86 Ton/Ha. Cadangan karbon tertinggi terdapat pada kantung simpan
(carbon pool) sampel tingkat pohon sebesar 49.8%, kemudian sumbangan dari bahan organik
tanah 21.8%, diikuti oleh karbon akar 13.7%. Adapun kantung kantung penyimpanan karbon
lainnya hanya menyumbang tidak lebih dari 6%.

Potensi karbon pada Semak belukar 14,811,2 Ton atau 23.6 Ton/Ha yang merupakan
hasil analisa laboratorium dengan menggunakan metode pengabuan setiap sampel tanah pada
vegetasi semak belukar, lapisan tanah 0-20 cm memiliki cadangan karbon sebesar 12,7 Ton/Ha,
diikuti sampel tingkat pancang 2,8 Ton, cadangan pada akar sebesar 1,1 Ton, kemudian
tumbuhan bawah 0,1 Ton dan pada kantung penyimpan (carbon pool) tingkat tiang, merupakan
nekromasa, tingkat pohon dan serasah, masing-masing 2,8, 1,6, 2,5 dan 0,1 Ton per hektarnya.
Hasil penelitian lain Herry (2011) pada hutan adat lekuk 50 Tumbi Kabupaten Kerinci Provinsi

10
Jambi menunjukkan potensi cadangan karbon semak belukar 18,12 Ton/Ha. Sedangkan untuk
potensi karbon pada Kebun Pisang sebesar 3.730 Ton atau 31,1Ton/Ha, penyumbang tertinggi
cadangan karbon adalah pada kelompok sampel tanah atau 18,5 Ton/ha. Penelitian pada kebun
masyarakat menunjukkan rata-rata jumlah karbon tersimpan tertinggi yaitu sebesar 11,73 Ton/ha
dan terendah sebesar 2,01 Ton/ha dengan populasi dominan adalah jenis tanaman pisang (Musa
paradisiaca) (Syamsuddin 2009). Sedangkan hasil penelitian Bakti et al. (2021) menunjukkan
bahwa cadangan karbon tanah terbesar ditemukan pada lahan hutan dibandingkan dengan
berbagai penggunaan lahan lainnya (sawah, kebun, belukar, dan tegalan), dan jumlah cadangan
karbon terbanyak terdapat pada kedalaman 0-10 cm..

BAB 3. METODE PENELITIAN


3.1. Lokasi dan Waktu Penelitian
Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April 2022 sampai dengan Nopember 2022.
Penelitian ini akan dilakukan di desa Senaru, kecamatan Bayan, Kabupaten Lombok Utara.
Lokasi ini dipilih karena merupakan salah satu desa binaan Program Studi Ilmu Tanah dan
adanya keterwakilan berbagai penggunaan lahan serta adanya kejelasan sejaran pengelolaan
tanah secara intensif yang telah dilakukan dalam jangka waktu yang relatif lama. Pekerjaan
dimulai dengan survei pendahuluan, yaitu dengan mengadakan orientasi lapangan penelitian
seperti pengambilan titik koordinat. Setelah survei pendahuluan, dilanjutkan dengan pelaksanaan
survei utama dengan tujuan utamanya adalah pengambilan contoh tanah komposit.

Pelaksanaan pengambilan contoh tanah dengan menggunakan metode acak tersebar pada
jarak tertentu sesuai dengan luasan yang telah ditentukan dengan berpedoman pada peta dasar.
Kemudian dilakukan pengambilan sampel tanah menggunakan bor tanah pada kedalaman 0 - 20
cm dan 20 – 30 cm. Dari tiap pengambilan contoh tanah tersebut, maka dicatat hasil pembacaan
koordinat pada GPS.
Setelah diperoleh sampel tanah dari pengeboran, maka diambil ± 2 kg untuk setiap
contoh tanah. Sampel tanah yang diambil dari daerah penelitian dianalisis di laboratorium untuk
mengetahui sifat-sifat fisika (tekstur, berat volume, berat jenis, porositas, soil strength, stabilitas
agregat), kimia (pH, KTK, N, P, K), dan hidrologis tanah (laju infiltrasi, soil dispersion, daya
hantar hidraulik / K-Sat) serta keadaan C-Organik dalam tanah. Sebagai dasar untuk mengetahui
tingkat penyebaran C-Organik dalam tanah pada areal tersebut, dilakukan analisis laboratorium

11
C-Organik dengan metode Walkley and Black. Data hasil analisis C-organik dikelompokkan
berdasarkan kriteria penilaian sifat sifat tanah menjadi 4 kategori yaitu: sangat rendah, rendah,
sedang dan tinggi.
3.2. Alat dan Bahan Penelitian
Analisis Laboratorium
No Aktivitas Alat dan Bahan
1 Analisis karbon tanah Alat dan bahan laboratorium,
(SOM)
2 Analisis Kadar lengas, Timbangan analitik, oven, eksikator, tanah
Berat volume dan berat kering
jenis
3 Analisis Tekstur Tanah Alat dan bahan laboratorium,
4 Kemantapan agregat Alat dan bahan laboratorium,
5 Dispersibilitas tanah: Alat dan bahan laboratorium,
silt+clay dispersible & clay
dispersible)
6 Soil strength Soil penetrometer
Tabel 1. Analisis Laboratorium
3.3. Analisis Data

Analisis data dilakukan dengan menghitung cadangan karbon dalam tanah. Karakteristik sifat
fisik ditentukan dengan menganalisis tekstur tanah, berat volume, berat jenis, porositas, soil
strength, dan kemantapan agregat, sedangkan sifat kimia tanah ditentuksn dengan menganalisis
pH, kapasitas tukar kation (KTK), dan kandungan unsur hara esensial seperti N, P, K. Untuk
pencirian sifat hidrologis tanah akan dilakukan dengan mengukur laju infiltrasi, soil dispersion,
daya hantar hidraulik atau K-Sat tanah. Sebagai dasar untuk mengetahui tingkat penyebaran C-
Organik dalam tanah pada areal tersebut, dilakukan analisis laboratorium C-Organik dengan
metode Walkley and Black. Data hasil analisis C-organik dikelompokkan berdasarkan kriteria
penilaian sifat sifat tanah menjadi 4 kategori yaitu: sangat rendah, rendah, sedang dan tinggi.

4.2. Jadwal Penelitian


Bulan ke....
No Kegiatan
01 02 03 04 05 06 07 08
1. Persiapan
Kajian Pustaka
Penyusunan Draft Proposal
Pelaksanaan
Survey lapangan

12
Pengambilan sample
Analisis laboratorium
Pelaporan
3. Penyusunan Laporan
Tabel 3. Jadwal Penelitian
Penelitian ini akan berlangsung kurang lebih selama 8 bulan dimulai pada bulan April 2022
sampai dengan Nopember 2022 dengan tahapan-tahapan sebagai berikut:
Persiapan dengan penelaahan referensi terdahulu dan pembuatan proposal,
Pelaksanaan penelitian dengan tahapan survei lapangan, dan analisis laboratorium
Seluruh pelaksanaan penelitian tersebut akan disusun dalam laporan akhir

REFERENSI
Bakti, L.A.A., F.D. Wandiatari, B.H. Kusumo, Sukartono, Fahrudin, M.A. Virgiawan, and
Suwardji. 2021. Soil carbon stocks in various types of land use in West Lombok. IOP
Conf. Ser.: Earth Environ. Sci. 824 012022
Budiadi, D.B. Permadi, U. Latifah. 2012. Agroforestri Porang Masa Depan Hutan Jawa. Fakultas
Kehutanan. Universitas Gajah Mada. Yogyakarta.
Butler, J.R.A., Suadnya, W., Puspadi, K., Sutaryono, Y., Wise, R.M., Skewes, T.D., Kirono, D.,
Bohensky, E.L., Handayani, T., Habibi, P., Kisman, M., Suharto, I.,Hanartani, ,
Supartarningsih, S., Ripaldi, A., Fachry, A., Yanuartati, Y., Abbas, G., Duggan, K., Ash,
A., 2014. Framing the application of adaptation pathways for rural livelihoods and global
change in Eastern Indonesian islands. Global Environ. Change 28, 368–382.
Grant, P.M., 1981. The fertility of sandy soils in peasant agriculture. Zimbabwe Agric. J. 78,
169–175.
Hairiah K, Rahayu S. 2007. Pengukuran Karbon Tersimpan di Berbagai Macam Penggunaan
Lahan. Bogar : World Agroforestry Centre - ICRAF, SEA Regional Office, University of
Brawijaya, Unibraw, Indonesia.
Hairiah K, Sari RR, Pambudi S, Rahayu S. 2016. Pengukuran cadangan karbon untuk
masyarakat. Bahan Ajar 2. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre (ICRAF) Southeast
Asia Regional Program dan Malang, Indonesia: Universitas Brawijaya.
Hardjowigeno, S. 2003. Ilmu Tanah. Akademi Pressindo, Jakarta. 286 p. Hardjowigeno. S dan L.
Rayes. 2005. Tanah Sawah. Bayumedia. Malang.
Harry, T. 2011. Pendugaan Perubahan Cadangan Karbon Hutan Adat Kerinci Seblat, Jambi.
Institut Pertanian Bogor.
[IPPC] International Panel on Climate Change. 2003. IPPC Guidelines For Nation Greenhouse
Inventories: Reference manual IPCC.

13
Juo, A.S., Franzluebbers, K., Dabiri, A., Ikhile, B., 1996. Soil properties and crop performance
on a kaolinitic Alfisol after 15 years of fallow and continuous cultivation. Plant Soil 180,
209–217.
Kantor Berita Antara NTB. https://mataram.antaranews.com/berita/2698/ntb-butuh-15-tahun-
pulihkan-kerusakan-hutan
Lal, R., 1997. Residue management, conservation tillage and soil restoration for mitigating
greenhouse effect by CO2-enrichment. Soil Tillage Res. 43, 81–107.
Lahjie, A.M. 2001. Teknik Agroforestri. Jakarta. UPT Grafika UPN “Veteran”
Mann, L., Tolbert, V., Cushman, J., 2002. Potential environmental effects of corn (Zea mays L.)
stover removal with emphasis on soil organic matter and erosion. Agric. Ecosyst.
Environ. 89, 149–166.
Mando, A., Ouattara, B., Se´dogo, M., Stroosnijder, L., Ouattara, K., Brussaard, L., Vanlauwe,
B., 2005a. Long-term effect of tillage and manure application on soil organic fractions
and crop performance under Sudano-Sahelian conditions. Soil Tillage Res. 80, 95–101.
Panjiwibowo C, Soejachmoen MH, Tanujaya O, Rusmantoro W. 2003. Mencari pohon uang:
CDM kehutanan di Indonesia. Jakarta: Yayasan Pelangi.
Ramadhan, I, H. Basri, F. Harun. 2014. Pendugaan Cadangan Karbon Taman Hutan Raya Pocut
Meurah Intan Provinsi Aceh. Jurnal Manajemen Sumberdaya Lahan. Volume 3, Nomor
1, hal. 390-395
Sabarnurdin, S. 2002. Pendahuluan, Prinsip Produktivitas, Keserbagunaan Pohon dan Interaksi
antar Komponen. Laboratorium Agroforestri Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah
Mada. Yogyakarta
Six, J., Elliott, E.T., Paustian, K., 2000. Soil macroaggregate turnover and microaggregate
formation: a mechanism for C sequestration under no tillage agriculture. Soil Biol.
Biochem. 32, 2099–2103.
Six, J., Feller, C., Denef, K., Ogle, S.M., de Moraes Sa, J.C., Albrecht, A., 2002a. Soil organic
matter, biota and aggregation in temperate and tropical soils—effects of no-tillage.
Agronomie 22, 755–775.
Six, J., Conant, R.T., Paul, E.A., Paustian, K., 2002b. Stabilization mechanisms for soil organic
matter: implications for C saturation of soils. Plant Soil 141, 155–176.
Sukartono, Suwardji, L.A.A. Bakti, B.H. Kusumo, 2020. Penguatan Kapasitas Kelompok Tani
Dalam Budidaya Porang Berbasis Pertanian Konservasi Agroforestry di Desa Sambik
Elen, Lombok Utara. Jurnal Pepadu.
Suwarno, Unang G. Kartasasmita, dan Djuber Pasaribu. 2009. Pengayaan Kandungan Bahan
Organik Tanah Mendukung Keberlanjutan Sistem Produksi Padi Sawah.
Suwardji, L.A. Bakti, Sukartono, B.H. Kusumo, P. Habibi, and Saeful, 2020. ECO-
MOVEMENTT BERBASIS DAKWAH LINGKUNGAN DI YAYASAN DARUL
YATAMA WALMASAKIN JEROWARU LOMBOK TIMUR MELALUI MEDIA
TEKNOLOGI INFORMATIKA. Jurnal Pepadu

14
Syamsuddin, M. 2009. Potensi Simpanan Karbon Berdasarkan Struktur Tinggi Tanaman Pola-
Pola Agroforestry di Kecamatan Tinggimoncong dan Parigi Kabupaten Gowa, Sulawesi
Selatan. Fakultas Kehutanan UniversitasHasanuddin. Makasar.
Syarif Budhiman, Ratih Dewanti, Cecep Kusmana, Nining Puspaningsih. 2001. Kerusakan
Hutan Mangrove di Pulau Lombok Menggunakan Data Landsat – TM dan Sistem
Informasi Geografis (SIG). Warta LAPAN Vol. 3, No. 4, Oktober - Desember 2001.
West, T.A., Post, W.M., 2002. Soil organic carbon sequestration rates by tillage and crop
rotation: A global data analysis. Soil Sci. Soc. Am. J. 66, 1903–1946.
Yang, X.M., Wander, M.M., 1999. Tillage effects on soil organiccarbon distribution and storage
in a silt loam soil in Illinois. Soil Tillage Res. 52, 1–9.

15
16

Anda mungkin juga menyukai