Pi
E-mail : firdhitaadiara@gmail.com
Blog : Adiarafirdhitaan.wordpress.com
Emisi gas rumah kaca yang dapat memerangkap panas semakin mengalami peningkatan yang
dikenal dengan pemanasan global dan tergolong dalam perubahan iklim antropogenik.
sumberdaya hayati adalah perubahan iklim global yang ditandai dengan peningkatan suhu dan
perubahan jumlah dan distribusi hujan. Tak dapat dipungkiri akan adanya kegiatan
pembakaran bahan bakar fosil (minyak, gas, dan bati bara) oleh beberapa sektor seperti
transportasi, industri, penggundulan lahan, ataupun kegiatan alih guna lahan yang merupakan
hal utama penyebab pemanasan global. Oleh karena itu, perlu dicanangkan akan strstegi
Perubahan iklim menjadi perhatian dan hal yang selalu menjadi momok bagi bangsa
Indonesia terutama juga dunia. Merespon masalah krusial ini, sebenarnya ada potensi
sumberdaya alam yang belum digarap secara maksimal, padahal penelitian akan hal ini telah
banyak dilakukan. Menelisik dari hal tersebut bahwa perlunya kerjasama dari semua
steakholders untuk menerapkan mitigasi perubahan iklim secara maksimal. Hutan tropis
merupakan salah satu penyerap karbon, tapi pada kenyataannya bahwa ada satu sumberdaya
yang memiliki kemampuan yang sama bahkan lebih untuk menyerap karbon. Peran lautan
adalah salah satunya dan yang secara signifikan belum terlihat, sehingga edukasi tentang hal
ini sangat dibutuhkan terutama untuk masyrakat awam yang beberapa belum familiar dengan
hal ini.
Ekosistem laut dan pesisir memiliki peranan besar dalam siklus global karbon, sekitar 93%
CO2 di bumi disirkulasikan dan disimpan dalam lautan. Ekosistem ini mampu menyimpan
karbon dalam jumlah yang banyak dan dalam jangka waktu yang relatif lebih lama
dibandingan ekosistem lainnya (Duarte et al., 2005 ; Nellewann et al., 2009). Hutan
mangrove memiliki kerapatan 4 (empat) kali lebih besar dibandingkan dengan hutan tropis
pada umumnya. Potensi penyimpanan karbon pun berbamding jauh lebih besar. Hutan
mangrove, rawa pasang surut, dan padang lamun menghilangkan karbon dari atmosfer serta
ADIARA FIRDHITA ALAM NASYRAH, S.Pi
E-mail : firdhitaadiara@gmail.com
Blog : Adiarafirdhitaan.wordpress.com
menguncinya didalam tanah selama ratusan hingga ribuan tahun. Tidak seperti hutan daratan
umumnya, ekosistem laut sevara terus menerus membangun kantong-kantong karbon dalam
Konsep dari Blue carbon ini adalah akumulasi karbon didalam vegetasi mangrove, padang
lamun, dan rawa pasang surut diperoleh secara langsung dari fiksasi karbon (fotosintesis)
berlebih dan sebagian dialokasikan langsung ke dalam sedimen sebagai rimpang dan akar.
Menurut beberapa penelitian 1) Pada vegetasi tunggal lamun di Pulau Pari memiliki cadangan
karbon sebesar 227,06 gr C m -2. Vegetasi mampu menyerap karbon sebesar 1.75 g C m -12 d-1
dan melepaskannya sebesar 0.55 m -2 d-1 sehingga vegetasi dapat menyimpan karbon 1,2 g C
m-2 d-1 (Rahmawati, S dan Kiswara, W., 2012), 2) Potensi mangrove sebagai Blue Carbon.
Nilai simpanan karbon pada mangrove di Teluk Miskam adalah 49.44-55,33 mg C ha -1, pada
sedimen kandungan karbon berkisar 0.78-9.51 % atau 4,43 - 27,92 mg C ha -1 (Ati, R.N.A et
al., 2014). Kekayaan 3 ekosistem yang menjadi Blue Carbon sebagai pembenam karbon atau
carbon sinks menjadi sebuah mitigasi perubahan iklim sehingga edukasi akan pentingnya
konservasi, restorasi, dan keberlanjuyan akan ke tiga ekosistem ini sebagai Blue Carbon dapat
mendukung mitigasi perubahan iklim dan selain itu hal ini juga menjadi keuntungan karena
ekosistem sebagai Blue Carbon juga menyediakan dukungan terhadap perikanan dan pesisir.
Indonesia melalui pengembangan Blue Carbon secara maksimal dan signifikan dapat
mengurangi emisi gas rumah kaca dan berkontribusi untuk mitigasi perubahan iklim pada
tahun 2030 sebesar 29% dengan kemampuan sendiri dan sampai 41% bila dengan dukungan