LOBSTER
Disusun oleh:
Kelompok : 03
Safrina Masrurah 1704106010003
Ratu Nahrasyiah Latifah 1704106010004
Muhammad Ihsan 1704106010021
1. Latar Belakang
Lobster laut (Panulirus sp.) atau udang barong merupakan salah satu
komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Komoditas ini tidak
asing dikalangan masyarakat penggemar makanan laut (sea food). Lobster terkenal
dengan dagingnya yang halus serta rasanya yang gurih dan lezat. Jika dibandingkan
dengan udang jenis lainnya, lobster memang jauh lebih enak. Tidak salah jika
makanan ini merupakan makanan yang bergengsi yang hanya disajikan di restoran-
restoran besar dan hotel-hotel berbintang. Karena harganya yang mahal, lobster
biasanya hanya dikonsumsi oleh kalangan ekonomi atas.
Spiny lobster (Famili Palinuridae) merupakan kelompok lobster yang banyak
ditangkap dan dibudidayakan di wilayah perairan selatan, termasuk di wilayah laut
Indonesia. Famili Palinuridae terdiri atas 8 genera dan memiliki 46 spesies yang
terdistribusi secara luas (Holthuis, 1991; Poore, 2004). Pada perairan Indonesia
dapat ditemukan 3 genera anggota Famili Palinuridae yaitu Genus Palinustus,
Panulirus, dan Puerulus. Dari ketiga genera tersebut, jenis lobster 2 yang memiliki
potensi pengembangan dan nilai ekonomis yang baik adalah jenis yang termasuk
dalam Genus Panulirus.
Perairan Indonesia merupakan habitat bagi 6 jenis lobster bernilai ekonomis
tinggi, yaitu Panulirus homarus, P. longipes, P. ornatus, P. penicillatus, P.
polyphagus, dan P. versicolor (Girsang et al., 2007; Priyambodo & Sarifin, 2009).
Pusat wilayah penangkapan dan budidaya jenis lobster ini meliputi perairan Pulau
Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, dan Lombok. Perairan Pulau Lombok, Provinsi
Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu pusat wilayah penangkapan dan
budidaya lobster di Indonesia dengan produktivitas yang tinggi. Lombok
merupakan pionir dalam budidaya lobster di wilayah Indonesia Timur yang telah
dimulai pada tahun 2000. Produksi lobster di Lombok dari sektor budidaya
diperhitungkan mencapai sekitar 12,5 ton pada tahun 2008 (Priyambodo & Sarifin,
2009). Dari total produksi pada tahun 2008, sektor budidaya hanya
menyumbangkan sebesar 3% (Priyambodo et al., 2011). Dengan demikian berarti
total produksi lobster di Lombok mencapai sekitar 417 ton per tahunnya. Selain dari
jumlah produksi yang tinggi, perairan Lombok juga dilaporkan memiliki seluruh 6
spesies Panulirus yang ada di Indonesia. Dari 6 spesies yang ada di Lombok, lobster
hijau pasir (P. homarus) merupakan spesies yang paling banyak ditangkap dan
dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi.
Berdasarkan data statistik jumlah tangkapan lobster di dunia yang
dipublikasikan oleh FAO, untuk tahun 1988 jumlah lobster yang ditangkap secara
keseluruhan mencapai 205.000 ton yang didominasi oleh anggota dari 3 famili
lobster yang memiliki nilai ekonomis tertinggi. Jumlah tangkapan untuk Famili
Nephropidae (true lobster) mencapai 61% dari total tangkapan lobster, diikuti oleh
Famili Palinuridae (spiny lobster) sebanyak 38%, dan Famili Scyllaridae (slipper
lobster) sebanyak 1% (Holthuis, 1991). Dalam kurun waktu 21 tahun, jumlah
tangkapan lobster di dunia mengalami peningkatan yang signifikan hingga
mencapai 25%. Pada tahun 2009, jumlah tangkapan lobster di dunia mencapai
256.120 ton (FAO, 2011).
Mangsa pasar lobster tidak hanya terbatas di dalam negeri, namun juga diluar
negeri. Permintaan akan lobster selalu meningkat tajam setiap tahunnya. Pada tahun
1990, ekspor lobster ke Belanda, yang merupakan salah satu negara penggemar
lobster di Eropa Barat, mencapai 745,132 ton atau 89,59% dari total ekspor lobster
Indonesia (826 ton). Di Asia, Jepang dan Hongkong merupakan pengimpor lobster
terbesar. Masyarakat di kedua negara ini terkenal sebagai penggemar masakan laut,
termasuk lobster. Di Jepang, lobster biasanya disajikan dalam bentuk lobster rebus,
dan digunakan untuk menghormati tamu-tamu asing. Selain itu, lobster sering kali
disajikan dalam acara pernikahan sebagai pengganti kado.
REFERENSI
Dua kelompok utama lobster laut: Clawed Lobster (30 spesies) dan Spiny
Lobster (49 spesies). D perairan Indo-Pasific Barat terdapat 11 spesies, dan 6
diantaranya terdapat di perairan Indonesia (Moosa & Aswandy, 1984).
Gambar 4.World Lobster Production by Species and Country
Tabel 1. Produksi dan Share Lobster Tangkap Dunia Menurut 10 Negara Produsen Utama
(Ton)
Tahun 2016 produksi lobster Canada mencapai 90.875 ton atau sekitar
27,98%, sementara itu produksi lobster tangkap Indonesia tahun 2016 mencapai
8.014 ton atau sekitar 2,66% dari total produksi lobster tangkap dunia.
Berikut merupakan data produksi dan share lobster budidaya dunia menurut
10 negara produsen utama (ton).
Tabel 2. Produksi dan Share Lobster Budidaya Dunia Menurut 10 Negara Produsen Utama
(Ton)
Jika dibandingkan dengan data produksi lobster dunia terlihat bahwa dalam
periode 2010-2016 rata-rata sekitar 65,36% produksi lobster dunia diperdagangkan
secara internasional. Bahkan tahun 2016 sekitar 73,29% produksi lobster dunia
diperdagangkan di pasar Internasional.
Tabel 4. Nilai Ekspor Lobster Menurut 10 Negara Utama
POTENSI
FAO (2020) mencatat bahwa dari 10 negara utama produsen lobster dewasa
di dunia baik dari tangkapan maupun budidaya memosisikan Indonesia di peringkat
7 dengan kapasitas produksinya 7.490 ton per tahun. Kanada di peringkat pertama
dengan produksi 97.381 ton disusul Amerika Serikat 65.506 ton. Produksi lobster
dunia dari tangkapan di laut memosisikan Kanada di urutan pertama 97.381 ton,
sedangkan Indonesia di urutan kedelapan 6.934 ton.
Status lobster di 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia (WPPNRI) mengalami tangkap lebih (over exploited) dan tangkap penuh
(full exploited). Total potensi lestarinya 11.158 ton dan jumlah tangkapan
diperbolehkan (JTB) 8.927 ton per tahun. Wilayah tangkap lebih yaitu Selat Malaka
dan Laut Andaman (571), Laut Jawa (712), Selat Makassar, Teluk Bone, Laut
Flores, dan Laut Bali (713), Teluk Tolo dan Laut Banda (714), Teluk Tomini, Laut
Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau (715) dan Teluk
Cendrawasih dan Samudera Pasifik (717). Wilayah tangkap penuh yaitu Samudera
Hindia sebelah barat dan Selat Sunda (572), Samudera Hindia selatan Jawa hingga
selatan Nusa Tenggara, laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat (573), Selat
Karimata, laut Natuna dan Laut China Selatan (711), Laut Sulawesi dan sebelah
utara Pulau Halmahera (716) dan Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor bagian
Timur (718) (KKP, 2017).
Dari sisi importir, China dan Amerika Serikat adalah dua negara importir
utama lobster dunia tahun 2019. Nilai share impor keduanya 60,89%. Posisi ini
berubah karena sepanjang 2001-2018 Amerika Serikat sebagai importir nomor satu
dunia disalip China sejak 2019. Oleh karena itu, Vietnam ngototmengimpor BBL
dari Indonesia buat budidayanya untuk memperkokoh dirinya sebagai eksportir
lobster hasil budidaya. dikarenakan Vietnam sebagai pemasok utama permintaan
pasar Cina. Posisi Vietnam juga dekat China sehingga ongkos transportasi dan
rantai pasoknya lebih efisien. Terbukti, China menguasai USD1,02 miliar (61,78%)
dari total impor dunia lobster Panulirus spp tahun 2019 yang nilainya USD1,64
miliar (Trademap, 2020).
Gambar 8. Trend Ekspor Lobster Indonesia
(sumber: BKIPM KKP, 2020 (Berdasarkan Penerbitan HC Mutu))
Gambar 12. Jenis-Jenis Lobster yang tertangkap di Perairan Indonesia (a). Panulirus
ornatus (mutiara), (b). Panulirus homarus (pasir), (c). Panulirus longipes, (d). Panulirus
versicolor, (e). Panulirus pemicillatus (batu), dan (f). Panulirus polyphagus (Sumber: PT
Absolutesea (2015) dan Capeleman (2015)).
Gambar 13. Estimasi Ketersediaan Benih Lobster di WPP-NKRI
2. Sosial Ekonomi
Pada mulanya untuk memperoleh bibit lobster, para pembudidaya
menggunakan alat tangkap bagan. Alat tangkap ini mengandalkan cahaya untuk
menangkap ikan. Ikan ditangkap dengan menggunakan jaring yang diletakan
didasar laut dan diangkat dalam sehari sebanyak empat kali. Metode dikenal kurang
efektif untuk menangkap bibit lobster karena terkadang tidak menyadari
keberadaan lobster karena bagan diutamakanuntuk menangkap ikan yang
digunakan untuk pakan lobster yang dibudidayakan.
Gambar 14. Perkembangan Penangkap Bibit Lobster di Perairan Teluk Awang, Teluk
Bumbang, Kelongkong dan Gerupuk.tahun 2007 – 2014 (Sumber : Diolah dari Bahrawi et
al., 2014).
Berkembangnya waktu bibit lobster tidak hanya tertangkap di dasar laut tetapi
juga berada di kolom air, para pembudidaya menggunakan media karung beras dan
kanvas yang diikatkan di KJA dan menggunakan cahaya untuk menangkap bibit
lobster (Priyambodo & Sarifin, 2009). Metode yang terbaru adalah menggunakan
kertas semen yang disebut oleh masyarakat setempat adalah alat tangkap pocong
yang dipasang di keramba jaring apung yang sebelumnya digunakan untuk
pembesaran lobster. Untuk 1 unit KJA membutuhkan biaya mencapai lebih dari 65
juta rupiah. Metode penangkapan ini berkembang sejak permintaan bibit lobster
meningkat drastis. Sejak Tahun 2013, harga benih lobster meningkat seiring dengan
mulai dilakukan ekspor benih lobster ke Vietnam, usaha budidaya dan penangkapan
benih lobster menjadi sumber pendapatan utama bagi nelayan. Pada tahun 2013,
lebih dari 4 juta (empat juta) benih lobster berhasil diekspor.
Gambar 15. Estimasi Ekonomi Budidaya dan Ekspor Terbatas Benih Bening Lobster
3. Teknik Penyimpanan
Media yang digunakan untuk penyimpanan pada tansportasi tanpa media air
yaitu media kemasan. Alat yang digunakan untuk mengemas lobster hidup tanpa
media air yaitu styrofoam sedangkan bahan yang digunakan yaitu serbuk gergaji
dingin, kertas koran, dan hancuran es yang dibungkus plastik. Kapasitas
pengangkutan dalam transportasi, khususnya ekspor, memiliki peranan penting.
Hal tersebut disebabkan semakin tinggi kapasitas yang mampu dicapai oleh sebuah
wadah pengangkutan maka ruang kosong yang tidak terpakai akan semakin
minimum. Penambahan rak dalam wadah pengemasan diharapkan dapat
meningkatkan kepadatan tanpa mempengaruhi mortalitas komoditas hidup yang
diangkut.
4. Transportasi (Pengangkutan)
Transportasi sistem basah umumnya digunakan untuk distribusi jarak dekat
dengan waktu yang relatif singkat. Transportasi tanpa media air dapat menjadi
pilihan untuk distribusi lobster dengan waktu yang lebih lama, khususnya untuk
tujuan ekspor. Transportasi tanpa media air kendaraan yang mengangkut lobster ke
berbagai daerah untuk pendistribusian memerlukan beberapa komponen,
diantaranya pipi skulasi, sistem bertingkat dengan resirkulasi air, filter air, water
treatment compartment, kompresor ref rigerasi yang menjaga suhu lobster agar
tetap stabil.
ANALISIS KOMPETITIF
TEKNOLOGI
Kegiatan penangkapan lobster di Indonesia masih menggunakan teknologi
alat tangkap sederhana (tradisional) dengan usaha penangkapan skala kecil. Operasi
penangkapan dilakukan dengan menggunakan perahu bercadik, mesin penggerak
kombinasi motor tempel dan layar. Secara umum, alat tangkap yang digunakan
adalah jenis alat tangkap jaring insang dasar monofilamen (bottom gillnet
monofilament) dan jenis perangkap krendet (hoopnet). Lobster yang tertangkap
oleh kedua alat tangkap tersebut umumnya terbelit atau terpuntal jaring yang dapat
menyebabkan adanya bagian anggota tubuh lobster yang putus atau patah, seperti
kaki dan/atau antenanya, sehingga proses tertangkapnya lobster dapat menurunkan
kualitas hasil tangkapan.
Alat tangkap lainnya adalah trawl dasar (bottom trawl). Trawl merupakan alat
tangkap yang sangat efektif, yaitu ikan dan biota laut lainnya akan tertangkap di
dasar perairan yang disapu oleh alat tangkap tersebut. Salah satu hasil tangkapan
trawl dasar adalah lobster yang hidup pada substrat pasir dan lumpur.
Selain menggunakan alat tangkap, ada cara penangkapan lobster lainnya,
yaitu kegiatan pembiusan (stupefying device) yang dilakukan dengan cara
menyelam dengan bantuan kompresor udara pada kedalaman air lebih dari 5 meter.
Pembiusan lobster biasanya menggunakan bahan kimia beracun seperti potassium
sianida. Pembiusan dengan potassium sianida merupakan cara penangkapan yang
dilarang karena dapat mengancam kelestarian sumberdaya perikanan dan merusak
habitatnya (Purbayanto dan Subandi 2005), serta menyebabkan kualitas hasil
tangkapan rendah dimana lobster yang tertangkap tidak dapat bertahan hidup lebih
lama.
Sementara itu, di Indonesia, penggunaan bubu untuk kegiatan penangkapan
lobster secara komersial belum banyak dilakukan, karena bubu yang digunakan
oleh nelayan selama ini hanya untuk menangkap ikan, rajungan dan kepiting bakau.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, dimana alat tangkap bubu
merupakan alat tangkap utama untuk kegiatan penangkapan lobster dan telah
berkembang menjadi kegiatan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Namun
demikian, ukuran alat tangkap bubu tersebut cukup besar, yaitu kisaran ukuran
panjang x lebar x tinggi adalah (1 – 1,2 m) x (0,6 – 0,8 m) x (0,4 – 0,6 m), bentuknya
masif, kaku dan terlalu berat, sehingga tidak efisien bila dioperasikan di atas perahu
yang berukuran kecil.
Pengoperasian alat tangkap bubu biasanya menggunakan umpan untuk
memberikan hasil tangkapan yang optimal sesuai dengan target. Umpan merupakan
salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya pada keberhasilan penangkapan,
baik jenis umpan, sifat dan cara pemasangannya. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa
umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan
kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu dalam proses
penangkapan.
KERJASAMA PERUSAHAAN
Lobster termasuk salah satu jenis komoditi perikanan yang memiliki nilai
ekonomi yang tinggi. Harga lobster di pasar domestik maupun internasional
menunjukkan peningkatan sangat menguntungkan bagi nelayan dan juga pelaku
usaha pemasaran lobster. Lobster merupakan komoditi yang diminta dalam kondisi
hidup. Lobster memiliki sifat yang mudah rusak membutuhkan penanganan dengan
sistem rantai dingin. Rumitnya proses penanganan pemasaran lobster dan alur
distribusi pemasaran yang panjang menyebabkan nelayan kesulitan menangani
proses pengolahan dan pemasaran lobster sampai kepada tangan konsumen.
Nelayan pada umumnya adalah nelayan tradisional yang memiliki peralatan
melaut dengan teknologi sederhana serta modal terbatas. Dampaknya nelayan harus
bergantung kepada pemilik modal serta penguasa teknologi dan pasar yaitu
pedagang. Untuk menjamin keberlanjutan hubungan yang saling menguntungkan
antara nelayan dan pedagang kedua pelaku usaha ini mengikat diri dalam sistem
kemitraan usaha pemasaran lobster. Kemitraan ini bertujuan untuk mencegah
praktek eksploitasi oleh pedagang kepada nelayan seperti yang umumnya dialami
oleh nelayan di tempat lain. Kemitraan juga terjalin antara pedagang pengumpul
dengan perusahaan, karena pedagang pengumpul juga memiliki keterabatasan
aksesibilitas ke pasar lobster. Hubungan kemitraan ini dibangun untuk memperoleh
jaminan pasar serta harga yang lebih baik serta jaminan pasokan lobster bagi
perusahaan.
Usaha jual beli lobster antara nelayan dengan pedagang pengumpul terjalin
dalam bentuk kerjasama melalui pengaturan yang disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing pihak. Selanjutnya aturan main yang telah disepakati tersebut oleh
masing-masing pihak didasarkan atas manfaat yang berkelanjutan (Suradisastra,
1999). Kerjasama antara nelayan dengan pedagang atau kemitraan pada dasarnya
diangkat dari pola kemitraan tradisional. Menurut Kasryno dan Pranaji (1984) saat
ini telah terindentifikasi tiga pola kemitraan pada kegiatan agribisnis, yaitu pola
kemitraan tradisional, pola kemitraan pemerintah dan pola kemitraan pasar. Salah
satu ciri pola kemitraan tradisional dalam pemasaran lobster yaitu tidak adanya
kontrak yang jelas antara nelayan dengan pedagang dalam melakukan kerjasama.
Kerjasama yang terjalin antara nelayan dengan pedagang mencakup mulai
dari pengadaan armada tangkap, alat tangkap, penanganan biaya operasional dan
tentunya sampai pada proses pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kerjasama yang terjalin antara nelayan dengan pedagang telah terjalin lama (rata-
rata 4,09 tahun), tapi kerjasama ini tidak bersifat permanen, sehingga nelayan dapat
berkerjasama dengan pedagang yang berbeda secara bergantian. Hak dan kewajiban
merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan kemitraan.
Dalam usaha tangkap lobster hak yang diterima oleh nelayan merupakan kewajiban
yang harus dipenuhi oleh pedagang begitu juga sebaliknya. Oleh sebab itu bentuk
pola kemitraan dapat diidentifikasi melalui jenis hak dan kewajiban yang ada pada
masing-masing pihak yang bermitra.
Hak dan kewajiban yang terdapat dalam pola kemitraan yang dijalin oleh
nelayan dan pedagang merupakan hasil kesepakatan dua belah pihak yang
disepakati hanya secara lisan tanpa bukti tertulis. Hal ini didasari oleh karena
adanya sistem saling percaya satu sama lain. Hak atau input yang diterima oleh
nelayan terdiri dari armada tangkap (perahu, mesin), alat tangkap (jaring), bahan
bakar serta jaminan lobster selalu dibeli atau dalam kata lain bantuan penjualan.
Sebaliknya, kewajiban yang harus dipenuhi nelayan kepada pedagang adalah selalu
memasok lobster. Praktek pemberian hak kepada nelayan berbeda satu sama lain.
Ada nelayan yang memperoleh semua jenis input, tetapi ada juga yang tidak.
Perbedaan ini dapat terjadi karena kemampuan modal pedagang berbeda sehingga
input yang diberikan berbeda pula.