Anda di halaman 1dari 34

STRATEGI KOMPETITIF

LOBSTER

Diajukan sebagai salah satu syarat kelulusan


Mata Kuliah Strategi Kompetitif

Disusun oleh:

Kelompok : 03
Safrina Masrurah 1704106010003
Ratu Nahrasyiah Latifah 1704106010004
Muhammad Ihsan 1704106010021

PROGRAM STUDI TEKNIK INDUSTRI


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SYIAH KUALA
2020
PENDAHULUAN

1. Latar Belakang
Lobster laut (Panulirus sp.) atau udang barong merupakan salah satu
komoditas perikanan yang mempunyai nilai ekonomis tinggi. Komoditas ini tidak
asing dikalangan masyarakat penggemar makanan laut (sea food). Lobster terkenal
dengan dagingnya yang halus serta rasanya yang gurih dan lezat. Jika dibandingkan
dengan udang jenis lainnya, lobster memang jauh lebih enak. Tidak salah jika
makanan ini merupakan makanan yang bergengsi yang hanya disajikan di restoran-
restoran besar dan hotel-hotel berbintang. Karena harganya yang mahal, lobster
biasanya hanya dikonsumsi oleh kalangan ekonomi atas.
Spiny lobster (Famili Palinuridae) merupakan kelompok lobster yang banyak
ditangkap dan dibudidayakan di wilayah perairan selatan, termasuk di wilayah laut
Indonesia. Famili Palinuridae terdiri atas 8 genera dan memiliki 46 spesies yang
terdistribusi secara luas (Holthuis, 1991; Poore, 2004). Pada perairan Indonesia
dapat ditemukan 3 genera anggota Famili Palinuridae yaitu Genus Palinustus,
Panulirus, dan Puerulus. Dari ketiga genera tersebut, jenis lobster 2 yang memiliki
potensi pengembangan dan nilai ekonomis yang baik adalah jenis yang termasuk
dalam Genus Panulirus.
Perairan Indonesia merupakan habitat bagi 6 jenis lobster bernilai ekonomis
tinggi, yaitu Panulirus homarus, P. longipes, P. ornatus, P. penicillatus, P.
polyphagus, dan P. versicolor (Girsang et al., 2007; Priyambodo & Sarifin, 2009).
Pusat wilayah penangkapan dan budidaya jenis lobster ini meliputi perairan Pulau
Sumatera, Jawa, Sulawesi, Bali, dan Lombok. Perairan Pulau Lombok, Provinsi
Nusa Tenggara Barat merupakan salah satu pusat wilayah penangkapan dan
budidaya lobster di Indonesia dengan produktivitas yang tinggi. Lombok
merupakan pionir dalam budidaya lobster di wilayah Indonesia Timur yang telah
dimulai pada tahun 2000. Produksi lobster di Lombok dari sektor budidaya
diperhitungkan mencapai sekitar 12,5 ton pada tahun 2008 (Priyambodo & Sarifin,
2009). Dari total produksi pada tahun 2008, sektor budidaya hanya
menyumbangkan sebesar 3% (Priyambodo et al., 2011). Dengan demikian berarti
total produksi lobster di Lombok mencapai sekitar 417 ton per tahunnya. Selain dari
jumlah produksi yang tinggi, perairan Lombok juga dilaporkan memiliki seluruh 6
spesies Panulirus yang ada di Indonesia. Dari 6 spesies yang ada di Lombok, lobster
hijau pasir (P. homarus) merupakan spesies yang paling banyak ditangkap dan
dibudidayakan karena memiliki nilai ekonomis tinggi.
Berdasarkan data statistik jumlah tangkapan lobster di dunia yang
dipublikasikan oleh FAO, untuk tahun 1988 jumlah lobster yang ditangkap secara
keseluruhan mencapai 205.000 ton yang didominasi oleh anggota dari 3 famili
lobster yang memiliki nilai ekonomis tertinggi. Jumlah tangkapan untuk Famili
Nephropidae (true lobster) mencapai 61% dari total tangkapan lobster, diikuti oleh
Famili Palinuridae (spiny lobster) sebanyak 38%, dan Famili Scyllaridae (slipper
lobster) sebanyak 1% (Holthuis, 1991). Dalam kurun waktu 21 tahun, jumlah
tangkapan lobster di dunia mengalami peningkatan yang signifikan hingga
mencapai 25%. Pada tahun 2009, jumlah tangkapan lobster di dunia mencapai
256.120 ton (FAO, 2011).
Mangsa pasar lobster tidak hanya terbatas di dalam negeri, namun juga diluar
negeri. Permintaan akan lobster selalu meningkat tajam setiap tahunnya. Pada tahun
1990, ekspor lobster ke Belanda, yang merupakan salah satu negara penggemar
lobster di Eropa Barat, mencapai 745,132 ton atau 89,59% dari total ekspor lobster
Indonesia (826 ton). Di Asia, Jepang dan Hongkong merupakan pengimpor lobster
terbesar. Masyarakat di kedua negara ini terkenal sebagai penggemar masakan laut,
termasuk lobster. Di Jepang, lobster biasanya disajikan dalam bentuk lobster rebus,
dan digunakan untuk menghormati tamu-tamu asing. Selain itu, lobster sering kali
disajikan dalam acara pernikahan sebagai pengganti kado.
REFERENSI

PRODUKSI LOBSTER DUNIA


Berikut merupakan data produksi lobster dunia.

Gambar 1. Data Produksi Lobster Dunia


(sumber: FishStat 2018)

Data FishStat 2018 menunjukkan bahwa dlam periode 2010-2016 produksi


lobster dunia rata-rata tumbuh 1,58% per tahun. Produksi lobster dunia tahun 2016
mencapai 326.166 ton, dimana 324.527 ton bersumber dari perikanan tangkap dan
1.628 dari perikanan budidaya.

Gambar 2. Share Produksi Lobster Dunia


(sumber: FishStat 2018)
Dalam periode 2010-2016 terlihat bahwa share perikanan budaya terhadap
produksi lobster dunia terlihat cenderung stagnan sekitar 0,46% dan 99,54% dari
perikanan tangkap. Artinya, budidaya lobster di dunia sampai saat ini belum
berkembang dengan baik, produksi lobster masih mengandalkan produksi dari alam
(Perikanan Tangkap).

Gambar 3. Lobster Diversity

Dua kelompok utama lobster laut: Clawed Lobster (30 spesies) dan Spiny
Lobster (49 spesies). D perairan Indo-Pasific Barat terdapat 11 spesies, dan 6
diantaranya terdapat di perairan Indonesia (Moosa & Aswandy, 1984).
Gambar 4.World Lobster Production by Species and Country

NEGARA PRODUSEN LOBSTER DUNIA


Berdasarkan catatan FishStat 2018 terlihat bahwa terdapat 10 negara
produsen utama lobster tangkap, yaitu Canada, USA, United Kingdom, Australia,
Chile, Ireland, Indonesia, Bahamas, Nicaragua, dan Honduras. Indonesia
merupakan negara terbesar ke-6 produsen lobster tangkap dunia.

Tabel 1. Produksi dan Share Lobster Tangkap Dunia Menurut 10 Negara Produsen Utama
(Ton)
Tahun 2016 produksi lobster Canada mencapai 90.875 ton atau sekitar
27,98%, sementara itu produksi lobster tangkap Indonesia tahun 2016 mencapai
8.014 ton atau sekitar 2,66% dari total produksi lobster tangkap dunia.
Berikut merupakan data produksi dan share lobster budidaya dunia menurut
10 negara produsen utama (ton).

Tabel 2. Produksi dan Share Lobster Budidaya Dunia Menurut 10 Negara Produsen Utama
(Ton)

(sumber: FishStat 2018)

Berdasarkan data FishStat 2018 dalam periode 2010-2016 hanya terdapat 7


negara yang melaporkan produksi lobster dari budidaya, yaitu Bahamas, Indonesia,
Malaysia, Philipines, Singapore, Srilangka, dan Vietnam. Dalam periode 2010-
2016 produksi lobster budidaya dunia rata-rata tumbuh 8,48% pertahun.

Tabel 3. Kode HS Komoditas Lobster


Komoditas lobster dalam perdagangan internasional tercatat dalam 10 kode
HS.
Berikut merupakan data perkembangan ekspor lobster dunia.

Gambar 5. Perkembangan Ekspor Lobster Dunia


(sumber: comtrade 2019)

Catatan Comtrade (2019) menunjukkan bahwa dalam periode 2000-2017


volume ekspor lobster dunia rata-rata tumbuh sebesar 3,09% pertahun, sementara
nilai ekspor rata-rata tumbuh sebesar 4,73%. Tahun 2017 volume ekspor lobster
dunia mencapai 221.314 ton dengan nilai mencapai 4,18 Milyar USD.

Gambar 6. Perbandingan Total Produksi dan Ekspor Lobster Dunia


(sumber: Comtrade 2019 dan FishStat 2018)

Jika dibandingkan dengan data produksi lobster dunia terlihat bahwa dalam
periode 2010-2016 rata-rata sekitar 65,36% produksi lobster dunia diperdagangkan
secara internasional. Bahkan tahun 2016 sekitar 73,29% produksi lobster dunia
diperdagangkan di pasar Internasional.
Tabel 4. Nilai Ekspor Lobster Menurut 10 Negara Utama

Berdasarkan catatan Comtrade (2019) menunjukkan bahwa Canada, USA dan


Australia merupakan tiga negara utama eksportir lobster dunia.
Berikut merupakan tabel yang memuat nilai ekspor lobster dunia menurut
negara ASEAN.

Tabel 5. Nilai Ekspor Lobster Dunia Menurut Negara ASEAN

Pada tingkat ASEAN, Indonesia merupakan negara utama sebagai eksportir


lobster dunia.

STATUS PEMANFAATAN BENIH LOBSTER DI PERAIRAN PULAU


LOMBOK
Indonesia merupakan negara pengekspor utama benih lobster, terutama ke
negara-negara tujuan ekspor seperti Vietnam, Hongkong, Singapura, Thailand,
Brunei Darussalam, dan Malaysia (BKIPM, 2015). Jenis lobster yang umumnya
diekspor adalah Panulirus homarus (lobster pasir) dan P. ornatus (lobster mutiara).
Perairan Pulau Lombok merupakan salah satu lokasi penghasil benih lobster
di Indonesia (Bahrawi, 2014). Pada beberapa kawasan perairan Pulau Lombok
ditemukan sumber benih lobster yang umumnya dari jenis lobster pasir dan lobster
mutiara. Lokasi-lokasi penghasil benih lobster tersebut berada pada beberapa
lokasi, antara lain di Kabupaten Lombok Tengah yang terdiri atas kawasan perairan
Teluk Gerupuk dan Bumbang, Teluk Awang, dan perairan Selong Belanak; serta di
Kabupaten Lombok Timur, yaitu di perairan Teluk Ekas dan Teluk Telong Elong
(DKP-NTB, 2015; Priyambodo & Jaya, 2009).
Aktivitas penangkapan benih lobster di Pulau Lombok sudah berlangsung
cukup lama, yakni sejak awal tahun 1990-an, dan pada awalnya hasil tangkapan
digunakan untuk suplai benih untuk budidaya pembesaran lobster oleh masyarakat
menggunakan keramba jaring apung (Suastika et al., 2008; Priyambodo & Sarifin,
2008). Namun sekitar tahun 2011, ekspor benih lobster mulai marak dilakukan dari
daerah NTB, dan puncaknya yaitu sekitar tahun 2013; dimana hasil tangkapan
tinggi dan permintaan benih dari negara-negara importir juga meningkat. Tren hasil
tangkapan benih lobster pada salah satu kabupaten di NTB. Rata-rata hasil
tangkapan benih di Kabupaten Lombok Tengah, yang merupakan salah satu
kawasan sentra benih lobster di Pulau Lombok, adalah sekitar 330.000 – 400.000
ekor/bulan (DKPNTB, 2015).
PEMBAHASAN

POTENSI
FAO (2020) mencatat bahwa dari 10 negara utama produsen lobster dewasa
di dunia baik dari tangkapan maupun budidaya memosisikan Indonesia di peringkat
7 dengan kapasitas produksinya 7.490 ton per tahun. Kanada di peringkat pertama
dengan produksi 97.381 ton disusul Amerika Serikat 65.506 ton. Produksi lobster
dunia dari tangkapan di laut memosisikan Kanada di urutan pertama 97.381 ton,
sedangkan Indonesia di urutan kedelapan 6.934 ton.
Status lobster di 11 wilayah pengelolaan perikanan Negara Republik
Indonesia (WPPNRI) mengalami tangkap lebih (over exploited) dan tangkap penuh
(full exploited). Total potensi lestarinya 11.158 ton dan jumlah tangkapan
diperbolehkan (JTB) 8.927 ton per tahun. Wilayah tangkap lebih yaitu Selat Malaka
dan Laut Andaman (571), Laut Jawa (712), Selat Makassar, Teluk Bone, Laut
Flores, dan Laut Bali (713), Teluk Tolo dan Laut Banda (714), Teluk Tomini, Laut
Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram dan Teluk Berau (715) dan Teluk
Cendrawasih dan Samudera Pasifik (717). Wilayah tangkap penuh yaitu Samudera
Hindia sebelah barat dan Selat Sunda (572), Samudera Hindia selatan Jawa hingga
selatan Nusa Tenggara, laut Sawu dan Laut Timor bagian Barat (573), Selat
Karimata, laut Natuna dan Laut China Selatan (711), Laut Sulawesi dan sebelah
utara Pulau Halmahera (716) dan Laut Aru, Laut Arafura dan Laut Timor bagian
Timur (718) (KKP, 2017).

PETA PERDAGANGAN LOBSTER


Bisnis perdagangan internasional lobster dewasa sepanjang 2001-2019 -non
BBL. Permintaan ekspor lobster dunia tumbuh rata-rata 5,34% per tahun. Pada
tahun 2001 nilai ekspor dunia USD1,96 miliar dan pada tahun 2019 melonjak dua
kali lipat hingga USD4,73 miliar. Negara eksportir utama lobster dunia tahun 2019
yaitu Kanada, Amerika Serikat, dan Australia. Ketiganya menguasai share ekspor
dunia hingga 66,20%. Posisi Indonesia dan Vietnam bertengger di posisi ke 19 dan
20 dunia dengan share ekspornya 0,68% dan 0,50%. Vietnam yang mengimpor
BBL dari Indonesia pernah masuk empat besar dunia tahun 2001 dengan share
ekspornya 8,78%. Sesudahnya, tidak lagi masuk 10 besar dunia. Indonesia sejak
tahun 2001 belum pernah masuk 10 besar eksportir lobster dunia (Trademap, 2020).
Permasalahannya adalah bisnis lobster Indonesia sebagian besar tak dilaporkan
(unreported), utamanya BBL karena tindakan selundupan. Sepanjang 2015-2019
pemerintah sukses menggagalkan selundupan BBL 8.576.783 ekor senilai Rp8,18
triliun (KKP, 2019) akibat pemberantasan kejahatan perikanan.

Gambar 7. Negara Tujuan Ekspor Lobster Tahun 2019

Dari sisi importir, China dan Amerika Serikat adalah dua negara importir
utama lobster dunia tahun 2019. Nilai share impor keduanya 60,89%. Posisi ini
berubah karena sepanjang 2001-2018 Amerika Serikat sebagai importir nomor satu
dunia disalip China sejak 2019. Oleh karena itu, Vietnam ngototmengimpor BBL
dari Indonesia buat budidayanya untuk memperkokoh dirinya sebagai eksportir
lobster hasil budidaya. dikarenakan Vietnam sebagai pemasok utama permintaan
pasar Cina. Posisi Vietnam juga dekat China sehingga ongkos transportasi dan
rantai pasoknya lebih efisien. Terbukti, China menguasai USD1,02 miliar (61,78%)
dari total impor dunia lobster Panulirus spp tahun 2019 yang nilainya USD1,64
miliar (Trademap, 2020).
Gambar 8. Trend Ekspor Lobster Indonesia
(sumber: BKIPM KKP, 2020 (Berdasarkan Penerbitan HC Mutu))

SUMBER DAYA LOBSTER


Indonesia merupakan negara kepulauan yang luas, memiliki 95.181 km
panjang garis pantai dengan kurang lebih 5 juta luas Zona Ekonomi Eksklusif,
dengan sumber daya alam yang beranekaragam baik di darat, maupun di perairan
tawar dan laut. Data FAO (2019) menunjukkan bahwa dalam periode 2010-2017
produksi lobster dunia rata-rata tumbuh 2,30 persen per tahun. Produksi lobster
dunia tahun 2017 mencapai 322.066 ton, di mana 319.996 ton bersumber dari
perikanan tangkap dan 2.070 ton dari perikanan budidaya dalam periode 2010-2017
terlihat bahwa share produksi perikanan tangkap terhadap total produksi dunia rata-
rata mencapai 99,52 persen, sementara share perikanan budidaya terlihat cenderung
stagnan sekitar 0,48 persen. Artinya, produksi lobster masih mengandalkan
produksi dari alam (perikanan tangkap), sementara budidaya lobster di dunia
sampai saat ini tidak berkembang dengan baik. Oleh sebab itu sejak akhir 2016
pemerintah terus berupaya menjaga keberlanjutan sumber daya lobster di seluruh
perairan Indonesia melalui implementasi Permen-KP No 56 Tahun 2016. Menjaga
stok lobster di alam menjadi sangat penting, mengingat sampai saat ini produksi
lobster dunia masih sangat tergantung pada pasokan dari hasil tangkapan di alam.
Artinya dengan menjaga keberlanjutan stok lobster di alam akan turut menjaga
keberlanjutan ekonomi lobster.
Gambar 9. Produksi Perikanan Tangkap Lobster

DAMPAK NYATA EKONOMI LOBSTER


Rencana Menteri Kelautan dan Perikanan akan melegalkan ekspor benih
lobster (Panulirus spp) perlu dicermati dengan baik karena dapat mengancam
keberlanjutan ekonomi lobster di masa mendatang. Terlebih pasca implementasi
Peraturan Menteri (Permen) Kelautan dan Perikanan Nomor 56 Tahun 2016 kinerja
ekonomi lobster jauh lebih baik dibandingkan sebelumnya. Data BPS (2019)
menunjukkan bahwa pertumbuhan nilai ekspor lobster Panulirus periode 2014-
2018 rata-rata tumbuh 20,42 persen per tahun. Secara detail, data BPS (2019)
menunjukkan bahwa nilai ekspor lobster Panulirus sempat menurun pada awal
pemberlakuan Permen-KP No 56 Tahun 2016 (Januari-Februari 2017), namun
demikian kembali naik sampai September 2019.Peningkatan nilai ekspor lobster
tersebut ditopang oleh adanya peningkatan ekspor Panulirus hidup ukuran
konsumsi. Artinya, ada peningkatan produksi Panulirus ukuran konsumsi sejak
pemberlakuan Permen-KP No 56 Tahun 2016. Oleh sebab itu, ketika ekspor benih
lobster kembali akan dilegalkan oleh kebijakan Menteri Kelautan dan Perikanan,
maka dikhawatirkan akan kembali mengancam kinerja ekonomi lobster dan
keberlanjutan sumber daya lobster di alam. Padahal, ketersediaan benih dan sumber
daya lobster di alam menjadi kunci utama keberlanjutan ekonomi lobster saat ini
dan di masa mendatang. Menteri Kelautan dan Perikanan perlu melihat bagaimana
negara-negara produsen lobster dunia terus berupaya untuk melindungi
ketersediaan lobster di alam melalui berbagai aturannya masing-masing.

Gambar 10. Nilai dan Volume Ekspor Lobster Indonesia

ATURAN LOBSTER DI NEGARA PRODUSEN


Indonesia bukan satu-satunya yang telah melakukan berbagai larangan terkait
penangkapan lobster ukuran tertentu. Beberapa negara produsen lobster dunia juga
sudah menerapkan berbagai aturan guna menjaga kelestarian sumber daya lobster
di alam, misalnya adalah Australia, Inggris, Honduras, Nikaragua, dan India.
Artinya bahwa kesadaran negara-negara produsen lobster dunia untuk menjaga
kelestarian stok sumber daya di alam semakin tinggi. Oleh sebab itu, langkah
pemerintah Indonesia untuk menjaga kelestarian sumber daya lobster di alam perlu
didukung secara baik oleh semua pemangku kepentingan di Indonesia. Pemerintah
Indonesia melalui Permen-KP No 56 tahun 2016 telah mengatur terkait larangan
penangkapan dan/atau pengeluaran lobster, kepiting (Scylla spp), dan rajungan
(Portunus spp) dari wilayah NKRI.
Pasal 2 Permen-KP 56 tersebut menjelaskan bahwa penangkapan dan
pengeluaran lobster dari wilayah NKRI hanya dapat dilakukan dengan ketentuan
tidak dalam kondisi bertelur dan ukuran panjang karapas di atas 8 cm atau berat di
atas 200 gram per ekor. Hal ini dikecualikan untuk kepentingan pendidikan,
penelitian dan pengembangan (Pasal 5). Selain itu, setiap orang dilarang menjual
benih lobster untuk budidaya. setiap orang yang menangkap lobster yang tidak
sesuai dengan ketentuan wajib melepas lobster jika masih dalam keadaan hidup.
Mereka juga melakukan pencatatan lobster yang tertangkap dalam keadaan mati
dan melaporkannya kepada Direktur Jenderal melalui Kepala Pelabuhan Pangkalan
sebagaimana tercantum dalam surat izin penangkapan ikan.

Gambar 11. Produksi dan Ekspor Lobster


KONDISI UMUM PERIKANAN TANGKAP BIBIT LOBSTER
1. Ekologi
Lobster atau dalam bahasa inggris dikenal dengan istilah spiny atau rock
lobsters masuk dalam kelas Palinuridaeyang terbagi dalam delapan genus kedalam
47 jenis namun baru 33 jenis yang bersifat komersial yang tersebar pada zona tropis
hingga subtropics (Williams (1998) dalam Lipcius & Eggleston (2000). Untuk
perairan Indonesia jenis lobster yang banyak terdapat adalah jenis Panulirus
ornatus (mutiara), Panulirus homarus (pasir), Panulirus longipes, Panulirus
versicolor, Panulirus pemicillatus (batu), dan Panulirus polyphaguser homarus
atau lobster pasir.
Untuk bibit lobster mutiara ditemukan secara alami berada pada areal
budidaya rumput laut dan KJA budidaya kerapu (Jones, 2010). Berdasarkan hasil
wawancara hingga saat ini belum ada teknologi pembibitan lobster yang berhasil
dilakukan di Indonesia walaupun permintaan terhadap komoditas lobster terus
meningkat. Permintaan lobster yang meningkat menjadi dasar berkembangnya
budidaya lobster walaupun proses dan teknologi masih tergolong lambat (Jones,
2010).

Gambar 12. Jenis-Jenis Lobster yang tertangkap di Perairan Indonesia (a). Panulirus
ornatus (mutiara), (b). Panulirus homarus (pasir), (c). Panulirus longipes, (d). Panulirus
versicolor, (e). Panulirus pemicillatus (batu), dan (f). Panulirus polyphagus (Sumber: PT
Absolutesea (2015) dan Capeleman (2015)).
Gambar 13. Estimasi Ketersediaan Benih Lobster di WPP-NKRI

2. Sosial Ekonomi
Pada mulanya untuk memperoleh bibit lobster, para pembudidaya
menggunakan alat tangkap bagan. Alat tangkap ini mengandalkan cahaya untuk
menangkap ikan. Ikan ditangkap dengan menggunakan jaring yang diletakan
didasar laut dan diangkat dalam sehari sebanyak empat kali. Metode dikenal kurang
efektif untuk menangkap bibit lobster karena terkadang tidak menyadari
keberadaan lobster karena bagan diutamakanuntuk menangkap ikan yang
digunakan untuk pakan lobster yang dibudidayakan.

Gambar 14. Perkembangan Penangkap Bibit Lobster di Perairan Teluk Awang, Teluk
Bumbang, Kelongkong dan Gerupuk.tahun 2007 – 2014 (Sumber : Diolah dari Bahrawi et
al., 2014).
Berkembangnya waktu bibit lobster tidak hanya tertangkap di dasar laut tetapi
juga berada di kolom air, para pembudidaya menggunakan media karung beras dan
kanvas yang diikatkan di KJA dan menggunakan cahaya untuk menangkap bibit
lobster (Priyambodo & Sarifin, 2009). Metode yang terbaru adalah menggunakan
kertas semen yang disebut oleh masyarakat setempat adalah alat tangkap pocong
yang dipasang di keramba jaring apung yang sebelumnya digunakan untuk
pembesaran lobster. Untuk 1 unit KJA membutuhkan biaya mencapai lebih dari 65
juta rupiah. Metode penangkapan ini berkembang sejak permintaan bibit lobster
meningkat drastis. Sejak Tahun 2013, harga benih lobster meningkat seiring dengan
mulai dilakukan ekspor benih lobster ke Vietnam, usaha budidaya dan penangkapan
benih lobster menjadi sumber pendapatan utama bagi nelayan. Pada tahun 2013,
lebih dari 4 juta (empat juta) benih lobster berhasil diekspor.

Gambar 15. Estimasi Ekonomi Budidaya dan Ekspor Terbatas Benih Bening Lobster

GAMBARAN UMUM LOBSTER


1. Siklus Hidup Lobster
Berikut merupakan gambar yang menunjukkan silkus hidup lobster.
Gambar 16. Siklus Hidup Lobster

2. Sebaran Jenis Lobster di Indonesia


Berikut merupakan gambar sebaran jenis lobster di Indonesia.

Gambar 17. Sebaran Jenis Lobster di Indonesia


BUDIDAYA LOBSTER
Berikut merupakan perkembangan budidaya lobster di Indonesia.

Gambar 18. Perkembangan Budidaya Lobster di Indonesia

Budidaya lobster di Indonesia sejak tahun 1990 dimana awal mulanya


sebagian kecil nelayan mulai membesarkan lobster di KJA sebagai pekerjaan
sampingan di Desa Telong Elong dan Ekas, Lombok.
Berikut merupakan lokasi operasi percontohan lobster laut yang didukung
pemerintah di Indonesia.

Gambar 19. Lokasi Percontohan Lobster Laut Indonesia


1. Lokasi Penangkapan dan Pengeluaran Benur Lobster
Penangkapan lobster di Indonesia terdapat pada daerah Aceh, Bengkulu,
Lampung, Banten, Jawa Timur, Jawa Barat, Nusa Tenggara Barat, dan Sulawesi
Tenggara. Berikut merupakan gambar lokasi penangkapan dan pengeluaran benur
lobster.

Gambar 20. Lokasi Penangkapan dan Pengeluaran Benur Lobster


(sumber: BKIPM KKP, 2020)

2. Alat Penangkapan Lobster di Indonesia


Penangkapan lobster menggunakan bubu, jerat dengan menyelam, krendet,
dan trammel net. Berikut merupakan alat yang digunakan untuk penangkapan
lobster beserta kelebihan dan kekurangannya.
Gambar 21. Alat Penangkapan Lobster

3. Siklus Produksi Budidaya Lobster


Produksi budidaya lobster terdiri dari beberapa siklus. Siklus produksi
budidaya lobster digambarkan sebagai berikut.

Gambar 22. Siklus Produksi Budidaya Lobster


Dengan parameter kualitas air yang direkomendasi sebagai berikut.

Gambar 23. Recommended Water Quality Parameters for Lobster Culture

KRITERIA PENYULUH YANG SUKSES


Adapun kriteria penyuluh yang sukses adalah sebagai berikut.
1. Memahami dan menguasai aspek bisnis budidaya lobster.
2. Memiliki kemampuan komunikasi dan soft skill (emotional and social
quotient) yang baik - sangat baik.
3. Memiliki jiwa entrepreneurship.
4. Memiliki etos kerja unggul dan akhlak mulia, sehingga bisa menjadi a role
model.

MELAKUKAN KONTROL KUALITAS LOBSTER


1. Spesifikasi Kualitas Lobster
Segera setelah lobster dipanen dicuci dengan air mengalir dalam bak
penampungan selama 24 jam untuk menghilangkan kotoran terutama kotoran yang
masuk ke dalam karapas, yang dapat menyebabkan infeksi insang selama
transportasi. Lobster bisa dipanen sesuai dengan ukurannya, semakin besar
ukurannya semakin mahal harga lobsternya. Lobster ukuran kecil dapat dipanen
setelah 6 bulan benih ditebarkan, sedangkan untuk mencapai ukuran jumbo yang
beratnya dapat mencapai 500 g dibutuhkan waktu 2 tahun. Lobster kemudian
dipisahkan berdasarkan berat dan kualitasnya. Di pasaran ada 6 ukuran lobster yang
diperdagangkan yaitu ukuran kecil (35–50g), ukuran medium (50–70g), ukuran
besar (70–90 g), ukuran ekstra besar (90– 120 g), ukuran XX (120–150g) dan
ukuran jumbo (lebih dari 150 g). Lobster hidup yang akan dikirim harus dalam
keadaan bugar, sehat, kaki lengkap, tidak sedang ganti kulit (moulting). Lobster
yang sedang moulting karapasnya lunak dan daya tahannya lemah, sehingga
peluang kematiannya selama transportasi sangat tinggi.
Cara pemeriksaan lobster yang sehat dilakukan dengan mengamati aktivitas
lobster dan warna cangkangnya. Lobster yang sehat memiliki cangkang berwarna
hijau kebiruan dan mempunyai respon yang sensitif terhadap rangsangan yang
diberikan, seperti meloncat ke belakang dengan cepat bila disentuh. Pada saat
diangkat lobster akan meronta-ronta dengan kuat. Sedangkan lobster yang kurang
bugar ditandai dengan respon yang kurang cepat terhadap rangsangan yang
diberikan, diam ketika diangkat, kaki jalan dan kaki renang lemah. Lobster ini
sebaiknya tidak dikemas, karena akan mengalami kematian selama transportasi.
Lobster hendaknya memenuhi standar yang dipersyaratkan pihak industry
pengolah. Berdasarkan Standar Nasional Indonesia (SNI) yang dikeluarkan BSN
yaitu SNI 01-4488-1998 tentang standar mutu lobster, mempersyaratkan beberapa
spesifikasi mutu lobster yang harus dipenuhi meliputi pengisiian lembar penilaian
organoleptik lobster hidup sebagai persyaratan mutu dan keamanan pangan agar
(rumput laut penghasil agar). Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada table 1 di
bawah ini.

Tabel 6. Persyaratan Mutu dan Keamanan Pangan


Tabel 7.Lembar Penilaian Organoleptik Lobster Hidup

Penampungan diperlukan apabila lobster yang dipasarkan tidak langsung


dikirim ke konsumen, atau jumlah lobster yang hendak dijual belum mencukupi
sehingga dikumpulkan terlebih dahulu dalam bak penampungan. Adakalanya bak
penampung yang dibuat digunakan untuk membesarkan lobster yang baru menetas
menjadi bibit dengan ukuran 2 cm. Bak penampung lobster dapat berupa bak semen
yang permanen atau bak fiber glass atau akuarium yang berukuran besar. Hal paling
penting yang harus diperhatikan selama penampungan adalah kualitas air, kelarutan
oksigen, pH dan suhu air selama penampungan. Jika kondisi air selama
penampungan optimal, maka akan diperoleh lobster yang sehat dan bugar. Fasilitas
penampungan yang dilengkapi dengan sistem filtrasi dapat menjaga kondisi mutu
air tetap baik. Sistem filtrasi ini dapat dibuat dari bak kaca yang disekatsekat
sedemikian rupa sehingga air dapat mengalir dari atas dan bawah sekat secara
bergantian. Ke dalam sistem filtrasi tersebut dimasukkan koral atau batu karang
sebagai bahan filtrasi. Dengan system filtrasi ini mutu air dapat terjaga dengan baik,
tanpa harus mengganti air, lobster tetap sehat selama penampungan atau bahkan
penampungan tersebut dapat dimanfaatkan untuk pembesaran lobster. Bagi
penampung yang lahannya sempit, penampungan dengan rak bertingkat yang
dilengkapi dengan system filtrasi dapat menampung lobster dalam jumlah banyak
tanpa harus menggunakan lahan yang luas.

2. Kontrol Kualitas Produk Lobster


Lobster pasir (Panulirus homarus), atau udang barong dalam bahasa lokal,
merupakan salah satu komoditas perikanan potensial dan bernilai ekonomis
penting. Lobster ini merupakan salah satu lobster laut andalan Indonesia yang
memiliki bentuk tubuh tubular, berwarna kehijauan atau kecoklatan dengan bintik
putih pada permukaan tubuhnya, memiliki segmen dan ada duri-duri kecil pada
karapasnya. Proses budidaya dan monitoring pertumbuhan dari lobser pasir perlu
dilakukan untuk meningkatkan nilai produksi dan perkembangan akuakultur
komoditas laut.
Budidaya lobster pasir dapat dilakukan pada bak beton berukuran 1×2.5×1.5
m3 dengan ketebalan kurang lebih 16 cm. Tiga hingga lima shelter dari pipa paralon
(PVC) diletakkan untuk masing-masing kolam sebagai tempat perlindungan lobster
pasir. Dengan ukuran kolam seperti diatas, 10 lobster pasir dipelihara pada masing-
masing kolam. Air laut yang digunakan memiliki nilai salinitas 36-42 ppt; suhu 23.8
– 26.80C dan pH 6.61 – 8.70.
Benih lobster pasir yang dipelihara pada kolam selama 30 hari diberi pakan
ikan rucah dari jenis sardinella sp. dan kerang hijau sebanyak 3x sehari secara ad
libitum. Dari hasil pemberian pakan secara rutin, didapat nilai pertumbuhan spesifik
dan pertumbuhan panjang mutlak adalah 0.15% dan 0.5 cm. Selain itu, diakhir
pemeliharaan didapat tingkat kelulushidupan sebesar 97%. Nilai tingkat
kelulushidupan menunjukkan bahwa pada akhir pemeliharaan, sebanyak 97%
lobster pasir berhasil dipanen (tidak mengalami kematian).
Nilai pertumbuhan yang baik tersebut menandakan baiknya pola manajemen
pemeliharaan lobster pasir dan ketepatan pemberian jenis pakan dan waktu pakan.
Berdasarkan beberapa literatur, ikan rucah memiliki nutrisi lengkap dengan
kandungan protein 44%, sedangkan kerang hijau memiliki kandungan 40.8% air,
21.9% protein, 14.5% lemak dan 100 gram kerang hijau mengandung 100 gram
kalori. Kombinasi kedua pakan tersebut akan menghasilkan pertumbuhan yang baik
bagi lobster pasir.
Opsi pemberian pakan alami (biota hidup) bagi lobster pasir didasarkan untuk
menjaga kualitas air yang tetap terjaga optimal. Kondisi lingkungan perairan
sebagai media pemeliharaan lobster pasir dapat mempengaruhi nilai pertambahan
dari panjang karapas dan berat tubuh sebagai parameter pertumbuhan biota akuatik.
Selain itu, adanya shelter berupa PVC berpengaruh terhadapa nilai optimal dari
pertumbuhan lobster pasir, karena shelter tersebut dapat digunakan untuk
perlindungan lobster pasir jika mengalami molting. Molting merupakan kondisi
terlepasnya karapas dari tubuh lobster pasir, sehingga pada kondisi seperti ini,
dibutuhkan tempat perlindungan bagi lobster pasir supaya tidak dimangsa oleh
lobster pasir lainnya.

3. Teknik Penyimpanan
Media yang digunakan untuk penyimpanan pada tansportasi tanpa media air
yaitu media kemasan. Alat yang digunakan untuk mengemas lobster hidup tanpa
media air yaitu styrofoam sedangkan bahan yang digunakan yaitu serbuk gergaji
dingin, kertas koran, dan hancuran es yang dibungkus plastik. Kapasitas
pengangkutan dalam transportasi, khususnya ekspor, memiliki peranan penting.
Hal tersebut disebabkan semakin tinggi kapasitas yang mampu dicapai oleh sebuah
wadah pengangkutan maka ruang kosong yang tidak terpakai akan semakin
minimum. Penambahan rak dalam wadah pengemasan diharapkan dapat
meningkatkan kepadatan tanpa mempengaruhi mortalitas komoditas hidup yang
diangkut.

4. Transportasi (Pengangkutan)
Transportasi sistem basah umumnya digunakan untuk distribusi jarak dekat
dengan waktu yang relatif singkat. Transportasi tanpa media air dapat menjadi
pilihan untuk distribusi lobster dengan waktu yang lebih lama, khususnya untuk
tujuan ekspor. Transportasi tanpa media air kendaraan yang mengangkut lobster ke
berbagai daerah untuk pendistribusian memerlukan beberapa komponen,
diantaranya pipi skulasi, sistem bertingkat dengan resirkulasi air, filter air, water
treatment compartment, kompresor ref rigerasi yang menjaga suhu lobster agar
tetap stabil.
ANALISIS KOMPETITIF

SUMBER DAYA MANUSIA


Lobster adalah salah satu komoditas perikanan yang bernilai jual tinggi
karena tingginya permintaan pasar untuk di wilayah Asia, Eropa dan Amerika.
Lobster diperoleh dari hasil penangkapan namun berjalannya waktu sulitnya
memperoleh lobster ukuran konsumsi (30 cm ke atas) di alam lepas maka sejak
tahun 2000an lobster mulai dibudidayakan dengan cara pembesaran dari bibit
lobster yang diperoleh dari alam dengan ukuran kurang lebih 10 cm dengan masa
budidaya selama 18 - 24 bulan.
Dalam waktu dua tahun terakhir, permintaan lobster tidak hanya untuk ukuran
konsumsi namun bibit lobster yang dari ukuran dibawah 10 cm yang dulunya tidak
ada nilai jual ke pembudidaya. Permintaan bibit tersebut berasal dari Negara
Vietnam karena kebutuhan lobster untuk acara festival bulan yang dirayakan setiap
tahunnya. Maraknya perkembangan penangkap lobster di Lombok Timur mampu
mengalihkan minat beberapa orang yang dulunya bekerja sebagai tenaga kerja
Indonesia kembali ke tanah air menangkap bibit lobster.
Secara signifikan penangkapan bibit lobster membawa dampak secara
ekonomi kepada kehidupan masyarakat pesisir dalam satu hari mampu memperoleh
pendapatan lebih dari satu juta tanpa harus mengeluarkan biaya ratusan ribu rupiah
dan secara sosial banyak masyarakat yang dulunya bekerja sebagai tenaga kerja
diluar negeri kini mampu memiliki usaha di daerahnya sendiri. Sehingga, dapat
dikatakan lobster yang tergolong kedalam sector perikanan memberikan kontribusi
yang signifikan terhadapan perekonomian Indonesia. Rasa lobster yang lezat pun,
membuat minat tersendiri terhadap mengomsumsi lobster.
Secara ekologi banyak perkiraan akan terjadi penurunan stok bibit lobster
akibat tingginya effort karena faktor ekonomi yang menguntungkan. Berdasarkan
hasil FGD diperoleh hasil tingkat wawasan masyarakat terhadap pelarangan
penangkapan bibit lobster cukup tinggi.Masyarakat paham tidak boleh menangkap
bibit dengan ukuran kurang dari 300 gram.Jika dihitung lobster dengan ukuran 300
gram adalah lobster dengan masa panen lebih dari dua tahun ditambah pemberian
pakan. Dampak yang dirasakan oleh para penangkap bibit sekaligus sebagai
pembudidaya lobster adalah menurunnya pendapatan rumah tangga.Para
penangkap bibit tidak bisa menjual hasil tangkapannya ke para pengumpul sehingga
tidak ada pemasukan untuk memenuhi kebutuhan hidup. Dampak lainnya secara
tidak langsung produk budidaya lobster masyarakat lokal tidak mampu bersaing
dengan produk budidaya lobster negara lainnya karena aturan ukuran lobster yang
bisa dijual terlalu besar dan butuh waktu pemeliharaan yang lebih lama sehingga
biaya operasional meningkat yang tidak berbanding lurus dengan harga jual lobster.

TEKNOLOGI
Kegiatan penangkapan lobster di Indonesia masih menggunakan teknologi
alat tangkap sederhana (tradisional) dengan usaha penangkapan skala kecil. Operasi
penangkapan dilakukan dengan menggunakan perahu bercadik, mesin penggerak
kombinasi motor tempel dan layar. Secara umum, alat tangkap yang digunakan
adalah jenis alat tangkap jaring insang dasar monofilamen (bottom gillnet
monofilament) dan jenis perangkap krendet (hoopnet). Lobster yang tertangkap
oleh kedua alat tangkap tersebut umumnya terbelit atau terpuntal jaring yang dapat
menyebabkan adanya bagian anggota tubuh lobster yang putus atau patah, seperti
kaki dan/atau antenanya, sehingga proses tertangkapnya lobster dapat menurunkan
kualitas hasil tangkapan.
Alat tangkap lainnya adalah trawl dasar (bottom trawl). Trawl merupakan alat
tangkap yang sangat efektif, yaitu ikan dan biota laut lainnya akan tertangkap di
dasar perairan yang disapu oleh alat tangkap tersebut. Salah satu hasil tangkapan
trawl dasar adalah lobster yang hidup pada substrat pasir dan lumpur.
Selain menggunakan alat tangkap, ada cara penangkapan lobster lainnya,
yaitu kegiatan pembiusan (stupefying device) yang dilakukan dengan cara
menyelam dengan bantuan kompresor udara pada kedalaman air lebih dari 5 meter.
Pembiusan lobster biasanya menggunakan bahan kimia beracun seperti potassium
sianida. Pembiusan dengan potassium sianida merupakan cara penangkapan yang
dilarang karena dapat mengancam kelestarian sumberdaya perikanan dan merusak
habitatnya (Purbayanto dan Subandi 2005), serta menyebabkan kualitas hasil
tangkapan rendah dimana lobster yang tertangkap tidak dapat bertahan hidup lebih
lama.
Sementara itu, di Indonesia, penggunaan bubu untuk kegiatan penangkapan
lobster secara komersial belum banyak dilakukan, karena bubu yang digunakan
oleh nelayan selama ini hanya untuk menangkap ikan, rajungan dan kepiting bakau.
Jika dibandingkan dengan negara-negara lainnya, dimana alat tangkap bubu
merupakan alat tangkap utama untuk kegiatan penangkapan lobster dan telah
berkembang menjadi kegiatan usaha perikanan tangkap yang berkelanjutan. Namun
demikian, ukuran alat tangkap bubu tersebut cukup besar, yaitu kisaran ukuran
panjang x lebar x tinggi adalah (1 – 1,2 m) x (0,6 – 0,8 m) x (0,4 – 0,6 m), bentuknya
masif, kaku dan terlalu berat, sehingga tidak efisien bila dioperasikan di atas perahu
yang berukuran kecil.
Pengoperasian alat tangkap bubu biasanya menggunakan umpan untuk
memberikan hasil tangkapan yang optimal sesuai dengan target. Umpan merupakan
salah satu faktor yang sangat besar pengaruhnya pada keberhasilan penangkapan,
baik jenis umpan, sifat dan cara pemasangannya. Selanjutnya dijelaskan pula bahwa
umpan merupakan salah satu bentuk rangsangan (stimulus) yang bersifat fisika dan
kimia yang dapat memberikan respons bagi ikan-ikan tertentu dalam proses
penangkapan.

KERJASAMA PERUSAHAAN
Lobster termasuk salah satu jenis komoditi perikanan yang memiliki nilai
ekonomi yang tinggi. Harga lobster di pasar domestik maupun internasional
menunjukkan peningkatan sangat menguntungkan bagi nelayan dan juga pelaku
usaha pemasaran lobster. Lobster merupakan komoditi yang diminta dalam kondisi
hidup. Lobster memiliki sifat yang mudah rusak membutuhkan penanganan dengan
sistem rantai dingin. Rumitnya proses penanganan pemasaran lobster dan alur
distribusi pemasaran yang panjang menyebabkan nelayan kesulitan menangani
proses pengolahan dan pemasaran lobster sampai kepada tangan konsumen.
Nelayan pada umumnya adalah nelayan tradisional yang memiliki peralatan
melaut dengan teknologi sederhana serta modal terbatas. Dampaknya nelayan harus
bergantung kepada pemilik modal serta penguasa teknologi dan pasar yaitu
pedagang. Untuk menjamin keberlanjutan hubungan yang saling menguntungkan
antara nelayan dan pedagang kedua pelaku usaha ini mengikat diri dalam sistem
kemitraan usaha pemasaran lobster. Kemitraan ini bertujuan untuk mencegah
praktek eksploitasi oleh pedagang kepada nelayan seperti yang umumnya dialami
oleh nelayan di tempat lain. Kemitraan juga terjalin antara pedagang pengumpul
dengan perusahaan, karena pedagang pengumpul juga memiliki keterabatasan
aksesibilitas ke pasar lobster. Hubungan kemitraan ini dibangun untuk memperoleh
jaminan pasar serta harga yang lebih baik serta jaminan pasokan lobster bagi
perusahaan.
Usaha jual beli lobster antara nelayan dengan pedagang pengumpul terjalin
dalam bentuk kerjasama melalui pengaturan yang disesuaikan dengan kebutuhan
masing-masing pihak. Selanjutnya aturan main yang telah disepakati tersebut oleh
masing-masing pihak didasarkan atas manfaat yang berkelanjutan (Suradisastra,
1999). Kerjasama antara nelayan dengan pedagang atau kemitraan pada dasarnya
diangkat dari pola kemitraan tradisional. Menurut Kasryno dan Pranaji (1984) saat
ini telah terindentifikasi tiga pola kemitraan pada kegiatan agribisnis, yaitu pola
kemitraan tradisional, pola kemitraan pemerintah dan pola kemitraan pasar. Salah
satu ciri pola kemitraan tradisional dalam pemasaran lobster yaitu tidak adanya
kontrak yang jelas antara nelayan dengan pedagang dalam melakukan kerjasama.
Kerjasama yang terjalin antara nelayan dengan pedagang mencakup mulai
dari pengadaan armada tangkap, alat tangkap, penanganan biaya operasional dan
tentunya sampai pada proses pemasaran. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
kerjasama yang terjalin antara nelayan dengan pedagang telah terjalin lama (rata-
rata 4,09 tahun), tapi kerjasama ini tidak bersifat permanen, sehingga nelayan dapat
berkerjasama dengan pedagang yang berbeda secara bergantian. Hak dan kewajiban
merupakan hal penting yang harus diperhatikan dalam melakukan kemitraan.
Dalam usaha tangkap lobster hak yang diterima oleh nelayan merupakan kewajiban
yang harus dipenuhi oleh pedagang begitu juga sebaliknya. Oleh sebab itu bentuk
pola kemitraan dapat diidentifikasi melalui jenis hak dan kewajiban yang ada pada
masing-masing pihak yang bermitra.
Hak dan kewajiban yang terdapat dalam pola kemitraan yang dijalin oleh
nelayan dan pedagang merupakan hasil kesepakatan dua belah pihak yang
disepakati hanya secara lisan tanpa bukti tertulis. Hal ini didasari oleh karena
adanya sistem saling percaya satu sama lain. Hak atau input yang diterima oleh
nelayan terdiri dari armada tangkap (perahu, mesin), alat tangkap (jaring), bahan
bakar serta jaminan lobster selalu dibeli atau dalam kata lain bantuan penjualan.
Sebaliknya, kewajiban yang harus dipenuhi nelayan kepada pedagang adalah selalu
memasok lobster. Praktek pemberian hak kepada nelayan berbeda satu sama lain.
Ada nelayan yang memperoleh semua jenis input, tetapi ada juga yang tidak.
Perbedaan ini dapat terjadi karena kemampuan modal pedagang berbeda sehingga
input yang diberikan berbeda pula.

Anda mungkin juga menyukai