TINJAUAN PUSTAKA
Ikan nila memiliki bentuk tubuh yang agak panjang dengan warna tubuh
hitam agak keputihan, memiliki lima buah sirip, yaitu sirip punggung, sirip dada,
sirip perut, sirip anus dan sirip ekor. Pada sirip punggung, sirip dubur dan sirip
perut terdapat jari-jari lemah dan jari-jari keras yang tajam seperti duri. Sirip
punggung memiliki lima belas jari-jari keras dan sepuluh jari-jari lemah,
sedangkan sirip ekor mempunyai dua buah jari-jari keras dan sepuluh jari-jari
lemah. Sirip perut mempunyai satu jari-jari keras dan lima belas jari-jari lemah
(Suyanto 2003).
Ikan nila merupakan jenis ikan konsumsi air tawar dengan bentuk tubuh
memanjang dan pipih kesamping dan warna putih kehitaman. Ikan nila berasal
dari Sungai Nil dan danau-danau sekitarnya. Ikan ini telah tersebar ke negara-
negara di lima benua yang beriklim tropis dan subtropis. Ikan nila disukai oleh
berbagai bangsa karena dagingnya enak dan tebal seperti daging ikan kakap merah
(Syamsudin 2001).
Ikan nila dapat hidup pada kisaran suhu yang lebar yaitu 14-38 oC. Ikan nila
dapat hidup pada lingkungan yang mempunyai kisaran pH 5-11 (Arie 2000).
Kandungan oksigen air minimal 4 mg/l, kandungan karbondioksida maksimal
5 mg/l, kadar amoniak dalam air harus dalam batas yang tidak meracuni (lebih
rendah 0,1 mg/l) dan tingkat alkalinitas air berkisar 50-300 mg/l (BPPAT DKP
2001).
5 ekor ikan selama 5 jam memiliki tingkat kelulusan hidup 40 % (Jailani 2000).
Udang yang dipingsankan pada suhu 18 oC secara langsung selama 15 menit
memiliki tingkat kelulusan hidup sebesar 40 % setelah dikemas selama 22 jam
(Nitibaskara et al. 2006). Udang windu tambak yang dibius menggunakan suhu
rendah secara langsung pada suhu 17-19 oC dapat dipertahankan kelangsungan
hidupnya sebesar 93,75 % di dalam media serbuk gergaji dingin dalam uji
transportasi selama 16 jam (Setiabudi et al. 1995). Lobster hijau pasir (Panulirus
homarus) yang dibius menggunakan suhu rendah secara langsung pada suhu
14-15 oC selama 20 menit dapat bertahan hidup selama 20 jam dengan kelulusan
hidup 100 % (Suryaningrum at al. 1994).
Lama pembiusan yang terjadi pada proses pembiusan berbeda-beda . Hal ini
disebabkan fase panik yang terjadi saat proses pembiusan. Menurut Karnila dan
Edison (2001), fase panik tersebut dipengaruhi oleh suhu pembiusan. Ikan sangat
sensitif dengan adanya perubahan suhu air (Subasinghe 1997). Pada fase panik,
respirasi akan meningkat dengan tajam kemudian turun sampai mencapai respirasi
terendah yang menyebabkan ikan pingsan. Tingkat respirasi yang cukup rendah
menyebabkan lobster terganggu keseimbangannya sehingga lobster tidak dapat
menyangga tubuhnya sendiri dan jatuh dengan posisi tubuh miring
(Suryaningrum et al. 2008).
Pada kondisi shock, ikan banyak melakukan gerakan yang berlebihan pada
saat proses pembiusan. Kondisi shock tersebut menyebabkan ikan cepat
mengalami kematian karena ikan yang stres akan mengalami peningkatan asam
laktat dalam darah. Jika asam laktat terakumulasi dalam darah cukup tinggi akan
mempercepat terjadinya proses kematian (Afrianto dan Liviawaty 1989, diacu
dalam Utomo 2001). Faktor lingkungan dapat menjadi salah satu faktor penyebab
stress pada ikan (Lerner 2004).
Parameter penting dalam pembiusan pada suhu rendah yang cukup
berpeluang dalam menunjang kelulusan hidup ikan adalah metode pembiusan,
waktu pembiusan dan suhu pembiusan yang digunakan
(Suryaningrum et al. 1994). Imotilisasi dengan suhu rendah memiliki keuntungan
diantaranya ekonomis karena es mudah didapat dan aman karena tidak terdapat
residu bahan kimia (Suryaningrum et al. 1997).
Ada beberapa keuntungan dan kerugian metode imotilisasi dengan
penurunan suhu langsung dan bertahap. Pemingsanan dengan penurunan suhu
secara bertahap dapat menimbulkan stress pada ikan dan memerlukan waktu yang
panjang hingga ikan pingsan, sedangkan dengan penurunan suhu secara langsung
dapat mengurangi stress selama proses pemingsanan dan mempercepat proses
pemingsanan (Nitibaskara et al. 2006).
Tingkat keberhasilan transportasi ikan hidup diukur dari besarnya nilai
tingkat kelulusan hidupnya (survival) atau nilai kematiannya (mortalitas). Pada
transportasi ikan hidup sistem kering, setelah ikan ditransportasikan kemudian
ikan disadarkan kembali (proses pembugaran) dengan aerasi secara terus menerus
untuk mengetahui tingkat kelulusan hidupnya. Penggunaan aerasi bertujuan untuk
membantu penambahan udara ke dalam air sehingga kadar oksigen terlarut dalam
air menjadi cukup (Boyd 1982). Piper et al. (1982), diacu dalam
Nitibaskara et al. (2006) menyatakan bahwa kandungan oksigen terlarut di atas
5 mg/l dapat menjamin ikan tidak akan mengalami stress. Proses pembugaran
bertujuan untuk memulihkan kembali kondisi ikan. Suhu media pembugaran
disesuaikan dengan habitat ikan (Achmadi 2005).
Pada proses pembugaran udang dan lobster yang hidup akan berenang,
mula-mula udang atau lobster akan limbung tetapi kondisinya akan normal
kembali setelah berada dalam air selama 30 menit (Suryaningrum et al. 2004).
Menurut Achmadi (2005), ikan yang tidak menunjukkan adanya tanda-tanda
pergerakan anggota tubuh setelah 10 menit waktu pembugaran dianggap tidak
lulus hidup.
2.6 Pengemasan
Menurut Hambali et al. (1990), diacu dalam Jailani (2000), pengemasan
merupakan suatu cara untuk melindungi atau mengawetkan produk pangan
maupun non pangan. Pengemasan tidak hanya bertujuan untuk mengawetkan
produk yang dikemas, tetapi juga merupakan penunjang bagi transportasi,
distribusi dan merupakan bagian penting dari usaha untuk mengatasi persaingan
dalam pemasaran.
Menurut Subasinghe (1997), kebanyakan eksportir mengemas udang atau
lobster dalam satu kotak pengemas sebanyak empat sampai lima lapis yang
masing-masing diselingi serbuk gergaji, setelah itu kotak pengemas disegel
dengan lakban. Suhu kemasan yang berukuran 50x50x50 cm3 agar dapat
dipertahankan sama dengan suhu pembiusan maka disarankan untuk
menggunakan es seberat 0,5-1 kg yang dibungkus dengan plastik. Es ini
diletakkan di bagian atas atau bawah kemasan. Cara lainnya adalah meletakkan es
ini di sudut kemasan. Es ini dimasukkan ke dalam plastik kemudian dibungkus
dengan kertas koran. Suhu kotak styrofoam yang berukuran 40x60x40 cm3 dapat
dipertahankan sama dengan suhu pembiusan dengan menambahkan es seberat
0,5 kg sedangkan yang berukuran 30x30x40 cm3 dan 40x30x30 cm3 dengan
menambahkan es seberat 0,3-1 kg dan 0,5 kg yang dibungkus dengan plastik. Es
ini diletakkan di bagian bawah kemasan (Setiabudi et al. 1995; Jailani 2000;
Suryaningrum et al. 2004; Handini 2008).
Pengangkutan ikan hidup sistem media bukan air menggunakan bahan
pengisi atau media. Macam bahan pengisi yang dapat digunakan antara lain sekam
padi, serutan kayu, serbuk gergaji dan rumput laut. Fungsi utama bahan pengisi
dalam pengangkutan hidup media bukan air adalah untuk mencegah udang atau
lobster hidup agar tidak bergeser dalam kemasan, menjaga lingkungan suhu
rendah agar udang tetap pingsan atau imotil dan memberi lingkungan udara yang
memadai untuk kelangsungan hidup udang atau lobster. Bahan media kemasan
yang digunakan harus memperhatikan kestabilan suhu media kemasan. Suhu
media kemasan harus dapat dipertahankan serendah mungkin mendekati titik
imotil. Hal ini disebabkan suhu media kemasan berperan dalam mempertahankan
tingkat terbiusnya udang atau lobster selama pengangkutan sehingga ikut
mempertahankan ketahanan hidup udang atau lobster dalam media bukan air
(Junianto 2003). Menurut Suryaningrum et al. (1994), suhu akhir media ideal
untuk transportasi sistem kering sebaiknya tidak lebih dari 20 oC.
Menurut Utomo (2001), pada saat ikan dipingsankan dan disimpan dalam
kemasan tanpa air, katup insangnya masih mengandung air sehingga oksigen
masih dapat diserap walaupun sangat sedikit. Pada proses pengemasan, kertas
koran dapat digunakan sebagai pembungkus ikan. Penggunaan kertas koran
sebagai pembungkus ikan dapat memberikan keuntungan yaitu kondisi ikan tetap
bersih setelah ikan dibongkar dan mencegah serbuk gergaji masuk ke dalam
insang (Nitibaskara at al. 2006).
Bahan pengisi yang paling efektif dan efisien dalam pengangkutan
organisme hidup adalah serbuk gergaji karena teksturnya baik dan seragam.
Serbuk gergaji yang akan digunakan diberi perlakuan terlebih dahulu untuk
menghilangkan kotoran atau terpenten (bau) yaitu dengan pencucian dan
perendaman (Junianto 2003).
Secara umum ketebalan serbuk gergaji yang digunakan berkisar antara
0,5 cm sampai 10 cm. Menurut Junianto (2003), pada dasar wadah diisi bahan
pengisi yang disebar merata membentuk lapisan tipis dengan tebal 0,5-1 cm.
Menurut Nitibaskara et al. (2006), lapisan dasar wadah ditaburkan serbuk gergaji
dengan tebal 10-15 cm. Menurut Suryaningrum et al. (2004), di atas koran
ditaburi serbuk gergaji dingin dengan ketebalan 5-10 cm, sehingga kontak
langsung antara ikan dan es dapat dihindari.
Menurut Srikirishnadhas dan Kaleemur (1994), penggunaan serbuk gergaji
sebagai media kemasan dapat dikombinasikan dengan jerami atau sisa potongan
karung goni. Bahan-bahan tersebut sebelum digunakan didinginkan dalam freezer,
setelah bahan pengisi disiapkan maka perlu disiapkan es batu untuk membantu
menjaga suhu kemasan tetap rendah. Pada lapisan dasar kotak pengemas
disebarkan serbuk gergaji kira-kira 0,5 cm, kemudian di atasnya ditempatkan
lapisan jerami.