Anda di halaman 1dari 8

DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR
DAFTAR ISI
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah
B. Rumusan Masalah
C. Tujuan Masalah
BAB II PEMBAHASAN
A. A. Sumber Dalil Hukum Yang Tidak Disepakati
B. B. Pengertian dari Macam-macam Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati
beserta kehujjahanya.
C C.

BAB III PENUTUP


A. Kesimpulan
B. Saran
DAFTAR PUSTAKA

BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah


Dalam ilmu Ushul Fiqih kita akan banyak diperkenalkan pada pembahasan tentang berbagai macam dalil
hukum atau metode ijtihad para ulama dalam mengambil keputusan (istinbat) suatu hukum.
Dalil dalil hukum tersebut para jumhur ulama ada dalil hukum yang sepakati dan ada juga yang tidak
sepakati. Dalil hukum yang disepakati adalah Al-Quran, As-Sunnah, Ijma dan Qiyas tetapi antara Ijma dan Qiyas
ada yang sepakat ada juga yang tidak akan tetapi yang tidak sepakat hanya sebagian kecil yang tidak menyepakati
adanya dalil hukum qiyas. Dan ini telah dijelaskan oleh makalah-makalah sebelumnya.[1]
Sedangkan dalil hukum yang tidak disepakati Sebagian jumhur ulama ada yang menjadikan dalil-dalil
tersebut sebagai sumber hukum dan ada juga yang tidak sepakat, maka disinilah terjadi 2 bagian, yang sebagian
sepakat dan yang sebagian lagi tidak sepakat mengenai dalil yang dijadikan sebagai sumber hukum. Tentunya kita
sebagai ummat Islam harus mengetahui mana saja dalil hukum yang disepakati dan mana saja dalil hukum yang
tidak disepakati, untuk membekali diri kita dalam mengambil (istinbat) sebuah hukum, apakah yang dalam
kehidupan kita sehari-hari telah mengacu kepada dalil-dalil tersebut atau tidak. Jangan sampai ada keraguan dalam
diri kita mengenai sesuatu hukum.
B. Rumusan Masalah
C. Apa berapakah Sumber Dalil Hukum Yang Tidak Disepakati?
D. Jelaskan pengertian masing-masing dan juga bagaimana tentang kehujjahannya?
C. Tujuan Masalah
1. Untuk Mengetahui Bagian Sumber Dalil Hukum Yang Tidak Disepakati.
2. Untuk Mengetahui pengertian masing-masing dan juga bagaimana tentang kehujjahannya.

BAB II
PEMBAHASAN

A. Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati


Selain dari empat dalil hukum disepakati diatas yang mana para ulama sepakat, akan tetapi
ada juga dalil hukum yang mana mayoritas ulama Islam tidak sepakat atas penggunaan dalil-dalil
tersebut. Sebagian diantara mereka. Ada yang menggunakan dalil-dalil ini sebagai alasan
penetapan hukum syara, dan sebagian yang lain mengingkarinya. Oleh karena itu ada Sumber
Hukum Yang Tidak Disepakati oleh para ulama itu banyak, dan yang kami temui ada 5 hukum,
seperti dibawah ini :
1. Isthisan,
2. isthisab,
3. Maslahah Mursalah,
4. Urf, dan
5. syaru man Qoblama.
Untuk pengertian dari masing-masing hukum diatas akan kami jelaskan pada pemnahsan
selanjutnya.
B. Pengertian dari Macam-macam Sumber Hukum Yang Tidak Disepakati beserta
kehujjahanya
Macam-macamnya yaitu : Al-Istihsan, Al-Maslahah Mursalah, Al-Ihtishhab, Al-
Urf, dan Syaru Man Qablana.
1. Isthisan ()
Menurut bahasa, istihsan berarti menganggap sesuatu lebih baik atau mencari kebaikan. Menurut
ulama ushul fiqh, ialah berpaling pada sesuatu masalah dari sesuatu hukum yang sama menuju
hukum lain karena ada alasan yang lebih kuat. Jadi ostihsan ialaig berpaling dari qiyas kahfi
atau dari hukum kulli menuju yang dikecualikan karena ada dalil yang lebih kuat.[2]
Khilaf Tentang Dasar Hukum Istihsan
Yang menentang istihsan dan tidak menjadikannya sebagai dasar hujjah ialah Al-Imam As-
Syafii dan mazhabnya. Menurut mereka adalah menetapkan hukum hanya berdasarkan
keinginan hawa nafsu. Imam Syafii berkata, Siapa yang berhujjah dengan istihsan berarti ia
telah menetapkan sendiri hukum syara berdasarkan keinginan hawa nafsunya, sedang yang
berhak menetapkan hukum syara hanyalah Allah SWT. Dalam buku Risalah
Ushuliyah karangan beliau, dinyatakan, Perumpamaan orang yang melakukan istihsan adalah
seperti orang yang melakukan shalat yang menghadap ke suatu arah yang menurut istihsan
bahwa arah itu adalah arah Kabah, tanpa ada dalil yang diciptakan pembuat syara untuk
menentukan arah Kabah itu.
Namun kalau diteliti lebih dalam, ternyata pengertian istihsan menurut pendapat Madzhab
Hanafi berbeda dari istihsan menurut pendapat Madzhab Syafii. Menurut Madzhab Hanafi
istihsan itu semacam qiyas, dilakukan karena ada suatu kepentingan, bukan berdasarkan hawa
nafsu, sedang menurut Madzhab Syafii, istihsan itu timbul karena rasa kurang enak, kemudian
pindah kepada rasa yang lebih enak.
Maka seandainya istihsan itu diperbincangkan dengan baik, kemudian ditetapkan
pengertian yang disepakati, tentulah perbedaan pendapat itu dapat dikurangi. Karena itu asy-
Syathibi dalam kitabnya Al-Muwfaqt menyatakan, orang yang menetapkan hukum
berdasarkan istihsan tidak boleh berdasarkan rasa dan keinginannyya semata, akan tetapi
haruslah berdasarkan hal-hal yang diketahui bahwa hukum itu sesuai dengan tujuan Allah SWT
menciptakan syara dan sesuai pula dengan kaidah-kaidah syara yang umum.
Kehujjahan Isthisan
Menurut Abdul Wahab Kallaf Dalam bukunya Ilmu Ushul Fiqh menyatakan bahwa Pada
hakikatnya Isthisan bukanlah sumber hukum yang berdiri sendiri, karena sesungguhnya hukum
isthisan bentuk yang pertama dari kedua bentuknya berdalilkan qiyas yang tersembunyi yang
mengalahkan terhadap qiyas yang jelas, karena adanya beberapa factor yang menenangkannya
yang membuat hati mujtahid tenang. Sedangkan bentuk yang kedua dari isthisan adalah bahwa
dalilnya adalah maslahat, yang menuntut pengecualian kasuistis dari hukum kulli (umum) dan ini
juga yang disebut dengan segi Isthisan.[3]
2. Isthishab )(
Menurut lughat ialah membawa atau menemani. Definisi al-Asnawy (w. 772H) yang
menyatakan bahwa (Istishhab) adalah penetapan (keberlakukan) hukum terhadap suatu perkara
di masa selanjutnya atas dasar bahwa hukum itu telah berlaku sebelumnya, karena tidak adanya
suatu hal yang mengharuskan terjadinya perubahan (hukum tersebut). Atau menetapkan suatu
hukum sebelumnya, sehingga yang baru merubahnya.[4]
Dari definisi diatas melahirkan kaidah :
.
Asal sesuatu itu tetap seperti sedia kala[5]
Banyak ulama yang menjelaskan bahwa secara hirarki ijtihad, istishhab termasuk dalil atau
pegangan yang terakhir bagi seorang mujtahid setelah ia tidak menemukan dalil dari al-Quran,
al-Sunnah, ijma atau qiyas. Al-Syaukany misalnya mengutip pandangan seorang ulama yang
mengatakan: Ia (istishhab) adalah putaran terakhir dalam berfatwa. Jika seorang mufti ditanya
tentang suatu masalah, maka ia harus mencari hukumnya dalam al-Quran, kemudian al-
Sunnah, lalu ijma, kemudian qiyas. Bila ia tidak menemukan (hukumnya di sana), maka ia pun
(boleh) menetapkan hukumnya dengan menarik pemberlakuan hukum yang lalu di masa
sekarang (istishhab al-hal). Jika ia ragu akan tidak berlakunya hukum itu, maka prinsip
asalnya adalah bahwa hukum itu tetap berlaku.
Jenis-jenis Istishhab
Para ulama menyebutkan banyak sekali jenis-jenis istishhab ini. Dan berikut ini akan
disebutkan yang terpenting diantaranya, yaitu:
a. Istishhab hukum asal atas sesuatu saat tidak ditemukan dalil lain yang menjelaskannya; yaitu
mubah jika ia bermanfaat dan haram jika ia membawa mudharat[6] -dengan perbedaan pendapat
yang masyhur di kalangan para ulama tentangnya; yaitu apakah hukum asal sesuatu itu adalah
mubah atau haram-. Salah satu contohnya adalah jenis makanan dan minuman yang tidak
ditemukan dalil yang menjelaskan hukumnya dalam al-Quran dan al-Sunnah, atau dalil lainnya
seperti ijma dan qiyas
b. Istishhab al-Baraah al-Ashliyah, atau bahwa hukum asalnya seseorang itu terlepas dan bebas
dari beban dan tanggungan apapun, hingga datangnya dalil atau bukti yang membebankan ia
untuk melakukan atau mempertanggungjawabkan sesuatu
c. Istishhab hukum yang ditetapkan oleh ijma pada saat berhadapan dengan masalah yang masih
diperselisihkan.[7]
Kehujjahan Isthisab
Isthisab merupakan akhir dalil syarI yang menjadi tempat kembali seorang mujtahid untuk
mengetahui hukum sesuatu yang dihadapkan kepadanya. Oleh karena itu, maka para ahli ilmu
ushul fiqh berkata :Sesungguhnya Isthisab merupakan akhir tempat beredarnya fatwa. Ia adalah
penetapan hukum terhadap sesuatu dengan hukum yang telah tetap baginya, sepanjang tidak ada
dalil yang merubahnya.[8]
3. Maslahah Mursalah (kemaslahatan umum))(
Mashalihul mursalah terdiri dari dua kalimat yaitu maslahat dan mursalah. Maslahat
sendiri secara etimologi didefinisikan sebagai upaya mengambil manfaat dan
menghilangkan mafsadat/madharat. Dari sini dapat dipahami, bahwa maslahat mamiliki dua
terma yaitu adanya manfaat ( )dan menjauhkan madharat (). Terkadang maslahat ini
ditinjau dari aspek ijab-nya saja, ini menjadi qorinahmenghilangkan mafsadat. Seperti pendapat
fuqaha bahwasanya menghilangkan mafsadat didahulukan dalam menegakan maslahat .[9]
Seperti dijelaskan sebelumnya bahwa maslahat merupakan inti dari setiap syariat yang
diturunkan oleh Allah kepada manusia untuk menjaga maksud syariat (ushulul khomsah).
Adapun mursalah dipahami sebagai sesuatu yang mutlak yaitu maslahat yang
secara khusus tidak dijabarkan oleh nash atau tidak ada perintah maupun larangan. Dengan tidak
adanya qorinah tersebut, maka maslahat bisa menjadi acuan dalam menentukan suatu hukum.
Syarat-syarat mashalihul mursalah menurut Imam Syatibi memberikan 3 syarat yang
berbeda dengan Imam Ghazali.
6. Rasional. Ketika mashalihul mursalah dihadapkan dengan akal, maka akalpun bisa
menerimanya. Dengan syarat ini perkara-perkara prinsip (ibadah) tidak masuk kepada mashlahat
mursalah.
7. Sinergi dengan maqhasid syariah
8. Menjaga prinsip dasar (dharuri) untuk menanggalkan kesulitan (raful haraj).
Kehujjahan Maslahah Mursalah
Masih menurut Abdul Wahab Kallaf menyatakan bahwa Jumhur Ulama Ummat Islam
berpendapat, bahwasannya maslahah mursalah adalah Hujjah Syariyyah yang dijadikan dasar
pembentukan hukum, dan bahwasannya kejadian yang tidak ada hukumnya dalam nash atau
Ijma atau qiyas, ataupun Isthisan disayriatkan kepadanya hukum yang dikehendaki oleh
kemaslahatan umum. Pembentukan hukum tersebut atas dasar kemaslahatan ini tidak boleh
ditangguhkan sampai ada bukti pengakuan dari syara. [10]
Akan tetapi masih banyak juga yang menolak mengenai kehujahan Maslahah Mursalah
mereka berpendapat bahwa maslahah mursalah yang tidak ada bukti syarI yang membuktikan
terhadap pengakuan terhadapnya maupun pembatalannya, dan tidak bisa dijadikan sebagai dasar
pembentukan hukum.
Yang jelas mentarjihkan pendasaran pembentukan hukum atas maslahah mursalah dapat
dilakukan, karena apabila tidak dibuka maka akan terjadi stagnasi pembentukan hukum Islam
dan akan berhenti mengikuti perjalanan situasi dan kondisi serta lingkungan.
Adapun terhadap kehujjahan maslahah al-mursalah, pada prinsipnya Jumhur Ulama
menerimanya sebagai salah satu alasan dalam menetapkan hukum syara, sekalipun dalam
penerapan dan penempatan syaratnya, mereka berbeda pendapat. Ulama Hanafiyyah mengatakan
bahwa untuk menjadikan maslahah al-mursalah sebagai dalil disyaratkan maslahah tersebut
berpengaruh pada hukum. Artinya, ada ayat, hadits atau ijma yang menunjukkan bahwa sifat
yang dianggap sebagai kemaslahatan itu merupakan illat (motivasi hukum) dalam penetapan
suatu hukum, atau jenis sifat yang menjadi motivasi hukum tersebut dipergunakan oleh nash
sebagai motivasi suatu hukum. Ulama Malikiyyah dan Hanabilah menerima maslahah al-
mursalah sebagi dalil dalam menetapkan hukum, bahkan mereka dianggap sebagai ulama fiqh
yang paling banyak dan luas menerapkannya.
4. Urf )(
a. Pengertian
Urf menurut bahasa berarti mengetahui, kemudian dipakai dalam arti sesuatu yang yang
diketahui, dikenal, diangap baik dan diterima oleh pikiran yang sehat.
Sedangkan menurut para ahli ushul fiqh adalah sesuatu yang yang telah saling dikenal oleh
manusia dan mereka maenjadikan tradisi.
b. Pembagian urf
1. Ditinjau dari bentuknya ada dua macam
a. Al Urf al Qualiyah ialah kebiasaan yang berupa perkataan, seperti kata lahm ( daging) dalam hal
ini tidak termasuk daging ikan
b. Al Urf al Fily, ialah kebiaasaan yang berupa perbuaatan, seperti perbuatab jual beli dalam
masyarakat tampa mengucaplan akad jual-beli.
2. Ditinjau dari segi nilainya, ada dua macam :
a. Al Urf As Shahih, yaitu urf yang baik dan dapat ditrima, karena tidak bertentangan dengan nash
hukum syara
b. Al Urf al Fasid ialah urf yang tidak dapat diteima, karena bertentangan dengan hukum syara
3. Ditinjau dari luasnya berlakunya, ada dua macam :
a. Al Urf Am, ialah Urf yang berlaku untuk seluruh tempat sejaka dahulu hingga sekarang
b. Al urf al Khas, yaitu urf yang yang berlaku hanya dikenal pada suatu tempat saja, urf adalah
kebiasaan masyarakat tetentu.
c. Syarat-syarat urf dapat diterima oleh hukum islam
1. Tidak ada dalil yang khusus untuk suatau masalah baik dalam al Quran atau as Sunnah.
2. Pemakian tidak mengankibatkan dikesampingkanya nas syariat termasuk juga tidak
mengakibatkan masadat, kesulitan atau kesempitan..
3. Telah berlaku secara umum dalam arti bukan hanya dilakukan beberapa orang saja.[11]
d. Kehujjahan Urf
Para ulama berpendapat bahwa urf yang shahih saja yang dapat dijadikan dasar
pertimbangan mujtahid maupun para hakim untuk menetapkan hukum atau keputusan
Ulama Malikiyah banyak menetapkan hukum berdasarkan perbuatan-perbautan penduduk
madinah. Berarti menganggap apa yang terdapat dalam masyarakat dapat dijadikan sumber
hukum dengan ketentuan tidak bertentangan dengan syara
Imam Safii terkenal denagan Qoul Qadim dan qoul jadidnya, karena melihat pratek yang
belaku pada masyarakat Bagdad dan mesir yang berlainan. Sedangkan urf yang fasid tidak dapat
diterima , hal itu jelas karena bertentangan dengan syara nas maupun ketentuan umum nash.[12]
5. Syariat Sebelum Kita ()
Pengertianya yaitu syariat- syariat yang diberlakukan pada Nabi-nabi terdahulu sebelum
datangnya Rasulullah SAW.
Adapun Syariat mereka dabagi 3 :
a. Yang telah dihapuskan oleh syariat kita. Jika Al-Qur;an dan hadist telah menerangkan tentang
syariat umat terdahulu, dan dijelaskan pula bahwa syariat itu telah dihapus maka tidak boleh
dihapus.
b. Yang tidak dihapuskan dan dijelaskan oleh Nash. Apabila kita temi semacam ini, maka harus
dijlankan, tidak ada alasan apapun. Seperti ketika pada Nabi Musa terdapat hukum qisas dan
sampai saat ini masih dijalankan.
c. Yang tidak dijelaskan Al-Quran atau hadist, tapi juga tidak dihapus.Terhadap syariat ini, perlu
dikembalikan pada kekuatan kitab terdahulu.[13]

BAB III
PENUTUP

A. Kesimpulan
Bahwa dapat penulis ambil kesimpulan, seluruh sember dalil hukum yang tidak disepakati oleh
ulama-ulama, bisa kita ambil sebagai wawasan kita atau ketika kita suatu keadaan yang terdesak
dan tidak ada hukumnya dalam sumber hukum yang 4 (Al-Quran, hadis, ijma dan Qiyas) maka
kita bisa beristimbat hukum dengan sember hukum yang telah kita jelaskan diatas.
2. Saran
Untuk mengetahui hukum-hukum Islam yang tepat hendaklah kita benar-benar mengetahui apa
yang menjadi landasan hukum itu saran pemakalah setiap perlakuan hendaklah memiliki dasar
yang kuat agar tidak terjadi kekeliruan dikemudian hari.

DAFTAR PUSTAKA

o Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di
Indonesia,(Jakarta: Logos, 1999)
o Ahmad Syafii karim, Fiqh Ushul Fiqih. (Bandung : Pustaka Setia. 2006.)
o Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999)
o http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-ushul-fiqh-dalil-yg-tidak-disepakati. diakses hari
sabtu, 10 Nopember 2012. Pukul 08:10 WIB.

[1] Nasrun Rusli, Konsep Ijtihad Al-Syaukani: Relevansinya bagi Pembaruan Hukum Islam di Indonesia,(Jakarta:
Logos, 1999),hlm.24
[2] Ahmad Syafii karim, Fiqh Ushul Fiqih. (Bandung : Pustaka Setia. 2006.) hlm.80
[3] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999), hlm. 110
[4] Ahmad Syafii karim, Fiqh Ushul Fiqih. (Bandung : Pustaka Setia. 2006.) hlm.82
[5] Kaidah-kaidah Fiqih
[6] Suatu efek atau akibat yang tidak baik yang tidak disukai.
[7] Ibid.hlm.83
[8] Abdul Wahab Kallaf, Ilmu Ushul Fiqih (Semarang: Dina Utama, 1999), hlm. 128
[9] Ibid.hlm.84
[10] Ibid.hlm.117
[11] Ahmad Syafii karim, Fiqh Ushul Fiqih. (Bandung : Pustaka Setia. 2006.) hlm.86
[12] http://www.slideshare.net/lukmanul/presentasi-ushul-fiqh-dalil-yg-tidak-disepakati. diakses hari sabtu, 10
Nopember 2012. Pukul 08:10 WIB.
[13] Ibid.hlm.88

Anda mungkin juga menyukai