Anda di halaman 1dari 62

KUALITAS KOMPOS DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI

PERAH DAN JERAMI PADI DENGAN MENGGUNAKAN


AKTIVATOR EM4 DAN MOL TAPAI

SKRIPSI
YOHANES TIGANA ATYANTA

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PETERNAKAN BOGOR
2010
RINGKASAN

Yohanes Tigana Atyanta. D14060927. 2010. Kualitas Kompos dari Campuran


Kotoran Sapi Perah dan Jerami Padi dengan Menggunakan Aktivator EM4
dan MOL Tapai. Skripsi. Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan,
Fakultas Peternakan, Institut Pertanian Bogor.

Pembimbing Utama : Ir. Salundik, M.Si.


Pembimbing Anggota : Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc.

Meningkatnya harga pupuk dan buruknya dampak pupuk sintetis terhadap


tanaman menyebabkan perlunya dicari sumber pupuk alternatif. Pengomposan dari
limbah kotoran sapi perah dan jerami merupakan salah satu jalan keluar dari masalah
diatas. Aktivator dibutuhkan untuk mempercepat proses pengomposan. EM4 adalah
aktivator komersil sedangkan MOL (mikroorganisme lokal) tapai berasal dari
pengenceran tapai yang lebih murah dan saat ini sering dimanfaatkan warga,
walaupun belum ada penelitian mengenai keefektivan MOL. Penelitian ini digunakan
untuk mengetahui kualitas pupuk kompos yang dibuat dari kotoran sapi perah dan
jerami padi pada konsentrasi yang berbeda dengan menggunakan aktivator EM4 dan
MOL tapai.
Penelitian ini dibagi menjadi dua tahap. Tahap awal yaitu pembuatan pupuk
dan tahap kedua yaitu penanaman kangkung. Perlakuan yang digunakan dalam
pembuatan pupuk adalah jenis aktivator yang digunakan yaitu EM4 dan MOL Tapai
juga perbandingan jerami dan kotoran yaitu J40K60dan J60K40. Pembuatan pupuk
dilakukan dengan metode anaerobik selama satu bulan. Perlakuan yang digunakan
pada pengujian tanam yaitu jenis pupuk yang digunakan (EJ40K60, MJ40K60,
EJ60K40, MJ60K40) dan dosis pupuk yang digunakan (0, 80, 160, 240). Rancangan
yang digunakan adalah Rancangan Acak Lengkap pola faktorial 2X2 pada
pembuatan pupuk dan 4X4 pada penanaman kangkung.
Hasil sidik ragam menunjukkan bahwa jenis aktivator dan nisbah jerami
pupuk tidak mempengaruhi kandungan pH, C organik, N total, P total, K total, dan
nisbah C/N pupuk yang dihasilkan. Uji tanam menunjukkan bahwa pupuk MJ40K60
baik pada variabel tinggi tanaman, semua tanaman yang diberi pupuk lebih baik
dibanding tanaman yang tidak diberi pupuk. Pupuk EJ40K60 baik pada jumlah daun.
Tanaman memiliki kandungan air yang banyak sehingga tidak ada perbedaan antara
Berat kering akar dan Berat kering tajuk.
Kesimpulan yang diambil dari penelitian ini yaitu aktivator EM4 dan Ragi
Tapai sama-sama menghasilkan pupuk yang baik. Penggunaan dosis 240 g
menghasilkan hasil produksi yang paling baik. Nisbah kotoran ternak:jerami 60:40
memberikan hasil terbaik. Berdasarkan hasil uji tanam, pupuk MK60J40
memberikan hasil yang terbaik, namun jenis pupuk lainnya sudah memberikan
peningkatan pertumbuhan bila dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi
pupuk.

Kata-kata kunci: Aktivator, Kangkung, Kompos.


ABSTRACT

Quality of compost made from dairy cow manure and paddy hay with addition
activator EM4 and MOL Tapai

Y.T. Atyanta, Salundik, A. Sudarman

High fertilizer price and negative effect of inorganic fertilizer on soil result in
increasing of organic fertilizer need. In order to shorten composting time, activator is
needed. This research consisted of two steps. First step was to compare two types of
activator MOL and EM4 with addition the ratio of paddy straw and dairy cow
manure to produce different fertilizer. Step two was plantation test. Dosage and
fertilizer type were the main treatment in this step. The data were analyzed with
analysis of variance (ANOVA) using completely randomized factorial design.
Results showed that type of activator and paddy straw dairy cow manure ratio didn’t
affect compost C, N, P, K, pH, and C/N ratio. Fertilizer EJ40K60 and MJ40K60 had
higer productivity than fertilizer EJ60K40 and MJ60K40. It is concluded that both
EM4 and MOL Tapai produce good fertilizer, dosage of 240 g showed the highest
productivity, and all fertilizer increase productivity.

Keywords: Activator, Kangkong, Compost


KUALITAS KOMPOS DARI CAMPURAN KOTORAN SAPI
PERAH DAN JERAMI PADI DENGAN MENGGUNAKAN
AKTIVATOR EM4 DAN MOL TAPAI

SKRIPSI
YOHANES TIGANA ATYANTA

Skripsi ini merupakan salah satu syarat untuk


Memperoleh gelar Sarjana Peternakan pada
Fakultas Peternakan
Institut Pertanian Bogor

DEPARTEMEN ILMU PRODUKSI DAN TEKNOLOGI PETERNAKAN


FAKULTAS PETERNAKAN
INSTITUT PETERNAKAN BOGOR
2010
Judul : Kualitas Kompos dari Campuran Kotoran Sapi Perah dan Jerami
Padi dengan Menggunakan Aktivator EM4 dan MOL Tapai
Nama : Yohanes Tigana Atyanta

NIM : D14060927

Menyetujui,

Pembimbing Utama Pembimbing Anggota

(Ir. Salundik, M.Si.) (Dr. Ir. Asep Sudarman, M.Rur.Sc.)


NIP: 19640406 198903 1 003 NIP: 19640424 198903 1 001

Mengetahui,
Ketua Departemen,
Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan

(Prof. Dr. Ir. Cece Sumantri, M.Agr.Sc.)


NIP: 19591212 198603 1 004

Tanggal Ujian : Tanggal Lulus :


RIWAYAT HIDUP

Penulis dilahirkan pada tanggal 19 Agustus 1988, Jakarta. Penulis adalah


anak dari pasangan Bapak Ir. Antonius Soetarlan (Alm.) dan Ibu Dra. Elizabeth
Maria Gouretty Soelistiyowati. Penulis merupakan adik dari Maria Magdalena
Irmawati Praharsi dan Leonardus Dwi Satya.
Penulis menyelesaikan pendidikan Sekolah Dasar (SD) tahun 2000 di SDK
Mater Dei Pamulang, pendidikan lanjutan menengah pertama (SMP) diselesaikan
pada tahun 2003 di SMPK Mater Dei Pamulang dan pendidikan lanjutan menengah
atas (SMA) diselesaikan tahun 2006 di SMAK Mater Dei Pamulang. Penulis
diterima sebagai mahasiswa Institut Pertanian Bogor pada tahun 2006 melalui jalur
SPMB (Saringan Penerimaan Mahasiswa Baru) dan diterima sebagai mahasiswa
Jurusan Ilmu Produksi dan Teknologi Peternakan, Fakultas Peternakan, Institut
Pertanian Bogor tahun 2007.
Selama mengikuti pendidikan, penulis aktif di berbagai organisasi meliputi
ketua Paskah Mahasiswa Katolik Keuskupan Bogor (2006), RT Keluarga Mahasiswa
Katolik IPB angkatan 43 (2006-2008), Koordinator Biro Dosen dan Alumni
Keluarga Mahasiswa Katolik (2008-2010), Suit Actor Animax Action Club (2009-
sekarang). Penulis juga aktif mengikuti pelatihan dan seminar diantaranya Pelatihan
Pengolahan Hasil Peternakan pada tahun 2007, Stadium General MK Pengelolaan
Kesehatan Ternak Tropis pada tahun 2008, Seminar Budidaya dan Prospek Usaha
Lebah Madu pada tahun 2008, serta Studium General “Peningkatan Softskill di
Bidang Peternakan” pada tahun 2010. Penulis pernah mengikuti kegiatan magang di
Koperasi Peternakan Babi Indonesia, Bandung pada tahun 2008.
KATA PENGANTAR

Pengolahan limbah merupakan salah satu bagian penting dalam usaha


peternakan. Pengolahan limbah dapat mengontrol bau yang timbul dari lingkungan
peternakan, meningkatkan kesehatan ternak, meningkatkan produksi ternak dan
memberikan penghasilan tambahan bagi peternak. Sapi perah adalah salah satu
ternak yang menghasilkan jumlah limbah dalam jumlah banyak, tanpa pengolahan
limbah yang baik limbah tersebut akan mengancam tidak hanya kesehatan ternak
namun kesehatan lingkungan di sekitar peternakan.
Belakangan ini, beredar artikel mengenai mikroorganisme lokal (MOL) di
berbagai forum-forum agribisnis di internet, bahkan terbit sebuah buku mengenai
MOL. Tidak ada landasan teori yang jelas dan belum ada penelitian mengenai
keefektifan dari penggunaan MOL, namun banyak masyarakat yang sudah
menggunakan MOL untuk mengolah kompos mereka.
Skripsi dengan judul Kualitas Kompos dari Campuran Kotoran Sapi
Perah dan Jerami Padi dengan Menggunakan Aktivator EM4 dan MOL Tapai
disusun untuk mengetahui keefektifan MOL dibandingkan aktivator komersil EM4
dalam menghasilkan kompos dan mengetahui dampak penggunaan kompos yang
dibuat dari aktivator tersebut bila digunakan pada tanaman.
Semoga hasil yang tertuang dalam tulisan ini dapat bermanfaat bagi pembaca
dan semua pihak yang membutuhkan.

Bogor, November 2010

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman
RINGKASAN ............................................................................................ i
ABSTRACT ............................................................................................... ii
LEMBAR PERNYATAAN ....................................................................... iii
LEMBAR PENGESAHAN ...................................................................... iv
RIWAYAT HIDUP .................................................................................... v
KATA PENGANTAR ............................................................................... vi
DAFTAR ISI .............................................................................................. vii
DAFTAR TABEL ...................................................................................... ix
DAFTAR GAMBAR ................................................................................. x
DAFTAR LAMPIRAN .............................................................................. xi
PENDAHULUAN ..................................................................................... 1
Latar Belakang ............................................................................... 1
Tujuan............................................................. ................................ 2

TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................ 3


Kotoran Sapi Perah ........................................................................ 3
Jerami Padi............................................................. ......................... 3
EM4 (Effective microorganisms 4) ................................................ 4
MOL Tapai ..................................................................................... 5
Kompos .......................................................................................... 6
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan .............. 7
Ukuran Bahan .......................................................... .......... 7
Nisbah Karbon-Nitrogen (C/N) .......................................... 7
Kelembaban ........................................................................ 7
Temperatur Pengomposan .................................................. 7
Derajat Keasaman (pH) ...................................................... 8
Mikroorganisme yang Terlibat Pengomposan .................... 8
Aktivator ............................................................................ 9
Kangkung (Ipomea reptans) ........................................................... 9

MATERI DAN METODE ......................................................................... 11


Lokasi dan Waktu Penelitian .......................................................... 11
Materi ............................................................................................. 11
Prosedur ......................................................................................... 11
Pembuatan Kompos ........................................................... 11
Pengujian Kualitas .............................................................. 13
Uji Tanam ........................................................................... 14
Rancangan Penelitian ..................................................................... 16
Analisis Kualitatif Uji Kimia Kompos .............................. 16
Analisis Kualitatif Uji tanam ............................................. 16

HASIL DAN PEMBAHASAN ................................................................. 18

Keadaan Umum .............................................................................. 18


Kualitas Pupuk Organik .................................................................. 20
Derajat Keasaman (pH) Kompos ....................................... 20
Kandungan Karbon (C) Organik ........................................ 20
Kandungan Nitrogen (N) Total .......................................... 21
Nisbah C/N ........................................................................ 22
Kandungan fosfor (P) Total ............................................... 23
Kandungan Kalium (K) Total ............................................ 23
Kajian Uji Tanam............................................................................ 24
Tinggi Tanaman .................................................................. 24
Jumlah Daun ....................................................................... 28
Berat Segar Tajuk ............................................................... 31
Berat Kering Tajuk ............................................................. 32
Berat Kering Akar .............................................................. 33

KESIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 34

Kesimpulan .................................................................................... 34
Saran ............................................................................................ 34

UCAPAN TERIMA KASIH ...................................................................... 35


DAFTAR PUSTAKA ................................................................................ 36
LAMPIRAN ............................................................................................... 40

viii
DAFTAR TABEL

Nomor Halaman
1. Rataan Nilai pH Kompos ............................................................... 20
2. Rataan Nilai Kandungan C Organik Kompos (%) ......................... 21
3. Rataan Nilai Kandungan N Total Kompos (%) ............................. 22
4. Rataan Nisbah C/N Kompos (%) ................................................... 22
5. Rataan Nilai Kandungan P Total Kompos (%) .............................. 23
6. Rataan Nilai Kandungan K Total Kompos (%) ............................. 24
7. Tinggi Tanaman 7 HST .................................................................. 25
8. Tinggi Tanaman 14 HST ................................................................ 26
9. Tinggi Tanaman 21 HST ................................................................ 26
10. Tinggi Tanaman 28 HST ................................................................ 27
11. Jumlah Daun 7 HST ........................................................................ 29
12. Jumlah Daun 14 HST ...................................................................... 29
13. Jumlah Daun 21 HST ...................................................................... 30
14. Jumlah Daun 28 HST ...................................................................... 30
15. Berat Basah Tajuk (g) .....................................................................` 32
16. Berat Kering Tajuk (g) .................................................................... 32
17. Berat Kering Akar (g) ..................................................................... 33
DAFTAR GAMBAR
Nomor Halaman
1. Bagan Alir Pembuatan Ragi Tapai ................................................. 5
2. Bagan Alir Proses Penelitian ......................................................... 12
3. MOL Tapai ..................................................................................... 18
4. Kompos Jadi Sebelum di Giling .................................................... 18
5. Rumah Kaca ................................................................................... 19
6. Keadaan di Dalam Rumah Kaca ..................................................... 19
7. Jamur yang Tumbuh saat Uji Tanam .............................................. 19
8. Grafik Tinggi Tanaman................................................................... 28
9. Grafik Jumlah Daun ........................................................................ 31
DAFTAR LAMPIRAN

Nomor Halaman
1. Analisis Ragam Hasil Regresi Kandungan C Organik Kompos .......... 40
2. Analisis Ragam Hasil Regresi Kandungan N Organik Kompos ......... 40
3. Analisis Ragam Hasil Regresi Kandungan P Organik Kompos .......... 40
4. Analisis Ragam Hasil Regresi Kandungan K Organik Kompos ......... 40
5. Analisis Ragam Hasil Regresi Nilai pH Organik Kompos .................. 40
6. Analisis Ragam Hasil Regresi Nisbah C/N Kompos ........................... 41
7. Analisis Ragam Hasil Regresi Tinggi Tanaman 7 HST ...................... 41
8. Uji Lanjut Turkey Interaksi antara Jenis dan Dosis Pupuk Terhadap
Tinggi Tanaman 7 HST ....................................................................... 41
9. Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 7 HST ...... 42
10. Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 7 HST ..... 42
11. Analisis Ragam Hasil Regresi Tinggi Tanaman 14 HST .................... 42
12. Uji Lanjut Tukey interaksi antara Jenis Pupuk dan Dosis Terhadap
Tinggi Tanaman 14 HST ..................................................................... 42
13. Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 14 HST .... 43
14. Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 14 HST ... 43
15. Analisis Ragam Hasil Regresi Tinggi Tanaman 21 HST .................... 43
16. Uji Lanjut Tukey interaksi antara Jenis Pupuk dan Dosis Terhadap
Tinggi Tanaman 21 HST ..................................................................... 43
17. Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 21 HST .... 44
18. Analisis Ragam Hasil Regresi Tinggi Tanaman 28 HST .................... 44
19. Uji Lanjut Tukey interaksi antara Jenis Pupuk dan Dosis Terhadap
Tinggi Tanaman 28 HST ..................................................................... 44
20. Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 28 HST .... 44
21. Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 28 HST ... 45
22. Analisis Ragam Hasil Regresi Jumlah Daun 7 HST ............................ 45
23. Analisis Ragam Hasil Regresi Jumlah Daun 14 HST .......................... 45
24. Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Jumlah Daun14 HST.......... 45
25. Analisis Ragam Hasil Regresi Jumlah Daun 21 HST .......................... 45
26. Uji Lanjut Tukey interaksi antara Jenis Pupuk dan Dosis Terhadap
Tinggi Tanaman 28 HST ..................................................................... 46
27. Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Jumlah Daun 21 HST .......... 46
28. Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Jumlah Daun 21 HST ......... 46
29. Analisis Ragam Hasil Regresi Jumlah Daun 28 HST .......................... 46
30. Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Jumlah Daun 28 HST ......... 47
31. Analisis Ragam Hasil Regresi Berat Kering Tajuk ............................. 47
32. Analisis Ragam Hasil Regresi Berat Kering Akar ............................... 47
33. Analisis Ragam Hasil Berat Basah Tajuk ............................................ 47
34. Panjang akar ......................................................................................... 47
35. Pedoman Pengharkatan Hara Kompos................................................. 48

xii
PENDAHULUAN

Latar Belakang

Akhir-akhir ini harga pupuk serta polusi lingkungan yang diakibatkan oleh
kotoran ternak semakin tinggi dan meresahkan masyarakat, terutama sekali
masyarakat yang tinggal di pedesaan. Untuk mengatasi hal-hal yang demikian perlu
dicari sumber-sumber alternatif seperti pembuatan pupuk organik agar produksi
pertanian tetap dapat dipertahankan dan hasil samping ternak berupa kotoran hewan
dan limbah pertanian dapat didayagunakan sebagai bahan baku pupuk organik.
Pemanfaatan limbah peternakan (kotoran ternak sapi perah) sebagai pupuk
organik merupakan salah satu alternatif yang sangat tepat untuk mengatasi naiknya
harga pupuk serta untuk meningkatkan penghasilan masyarakat pedesaan. Namun
sampai saat ini pemanfaatan kotoran ternak sebagai pupuk belum dilakukan oleh
petani secara optimal. Alasannya peternak kurang mengenal teknologi pengolahan
limbah ternak. Perlu dicari metode yang sederhana dalam memanfaatkan bahan-
bahan yang mudah ditemukan supaya peternak lebih mau mengolah limbahnya.
Pupuk organik adalah pupuk yang berasal dari sisa-sisa tanaman, kotoran
hewan atau manusia seperti pupuk kandang, pupuk hijau, dan kompos baik yang
berbentuk cair maupun padat. Manfaat utama pupuk organik adalah dapat
memperbaiki sifat kimia, fisik dan biologis tanah, selain sebagai sumber hara bagi
tanaman.
Sebagai negara yang punya kelimpahan sinar matahari, air, dan tanah,
Indonesia memiliki modal dasar yang besar untuk pengembangan pertanian organik.
Disamping bermanfaat secara langsung terhadap pertanian, sistem pertanian organik
akan berpengaruh terhadap pemenuhan kebutuhan pangan karena ditunjang produksi
pertanian yang baik dan peningkatan pendapatan para peternak dari hasil
pemanfaatan limbah kotoran ternak (nilai tambah). Pupuk kandang merupakan bahan
baku utama penghasil pupuk organik sebagai campuran limbah.
Nisbah C/N jerami padi yang cukup tinggi yaitu 70 (Gaur, 1986). Jerami padi
sangat cocok untuk dicampur dengan kotoran sapi perah yang nisbah C/N-nya cukup
rendah, yaitu 18 dan dijadikan kompos. Untuk mempercepat proses pengomposan,
biasanya ditambahkan aktivator.

1
Aktivator merupakan bahan yang mampu meningkatkan dekomposisi bahan
organik (Gaur, 1983). MOL (mikroorganisme lokal) sering dipakai sebagai
bioaktivator yang dapat dibuat sendiri dan saat ini sedang banyak dibicarakan di
kalangan petani maupun peternak. MOL tapai mengandung mikroorganisme seperti
ragi tapai, yaitu Pediococuss, Bacillus, Amylomyces, Mucor, Rhizopus sp.,
Endomycopsis fibuliger, Sacharomyces cereviceae, dan Hanseula sp. (Saono et al.,
1982). Kemudahan mendapat dan membuatnya dapat meningkatkan keinginan petani
dan peternak untuk mengolah limbah pertanian dan peternakannya.

Tujuan Penelitian
Mengetahui kualitas pupuk kompos yang dibuat dari kotoran sapi perah dan
jerami padi pada nisbah yang berbeda dengan menggunakan aktivator EM4 dan
MOL tapai.

2
TINJAUAN PUSTAKA

Kotoran Sapi Perah

Kotoran ternak adalah hasil buangan metabolisme yang akan menyebabkan


pencemaran apabila tidak dikelola secara benar. Limbah yang paling banyak
dihasilkan oleh peternakan sapi perah adalah feses (Siagian dan Simamora, 1994).
Kotoran sapi memiliki 3 (tiga) kelompok mikroorganisme utama, yaitu bakteri, fungi
dan aktinomisetes. Kotoran ternak jika tidak dimanfaatkan kembali tentu dapat
menimbulkan banyak gangguan antara lain menimbulkan bau, lalat, dan dapat
mengurangi nilai estetika lingkungan seperti pencemaran sungai atau danau (Stafford
et al., 1980).
Menurut Merkel (1981), satu Animal Unit sapi perah rata-rata memproduksi
50 kg kotoran setiap hari dengan total padatan 75%-89% dan pH kotoran 6,6-6,8.
Komposisi kotoran sapi perah berdasarkan bahan keringnya mengandung N 1,65%, P
0,50% dan K 2,30% serta protein kasar 10,30. Pencampuran kotoran sapi dengan
bahan tambahan dilakukan untuk memperbaiki porositas karena tekstur yang relatif
padat (Gaddie dan Douglas, 1977).
Nisbah C/N bahan organik merupakan faktor penting dalam proses
pengomposan (Cindrawati, 2006). Menurut Peter dan Brian (2001), kotoran sapi
memiliki nilai nisbah C/N sebesar 18. Nisbah C/N kotoran sapi yang rendah
memungkinkan adanya pencampuran dengan bahan yang memiliki nilai nisbah C/N
yang tinggi seperti serasah daun sehingga nilai nisbah C/N memenuhi kebutuhan
optimal pada proses dekomposisi.
Menurut Erwiyono (1994), penambahan kotoran sapi akan memacu
terjadinya proses dekomposisi karena bertambahnya mikroorganisme pada bahan
pembuat kompos. Selain itu, kotoran sapi juga mengandung bahan organik yang kaya
akan unsur hara.

Jerami Padi
Menurut Ponnamperuma (1984), jerami padi adalah semua bahan hijauan
padi di luar biji yang dihasilkan tanaman padi. Batang padi sebagian besar terdiri dari
sel-sel berdinding tebal dengan isi sel yang lebih sedikit dari tanaman lain. Setiap sel
tumbuhan terdiri dari isi sel dan diding sel. Isi sel mengandung zat-zat makanan

3
organik seperti lamak, protein, dan karbohidrat, sedangkan dinding sel lebih banyak
mengandung serat kasar. Doyle menjelaskan komponen serat kasar dalam dinding sel
jerami yaitu 30 sampai 51% selulosa, 6 sampai 28% hemiselulosa, dan lignin 4
sampai 10% bahan kering. Jerami berfungsi sebagai sumber karbon dalam zat arang
atau karbon (C) yang terdapat di seluruh bahan organik.
Gaur (1983) menyatakan jerami memiliki 40% karbon, 0,5% nitrogen (N),
dan kadar air sekitar 25%. Karbon yang tinggi menjadikan bahan ini cocok untuk
makanan mikroorganisme selama pengomposan. Mikroorganisme akan membakar
karbon dan oksigen menjadi panas dan karbondioksida yang kemudian dilepas
menjadi gas. Unsur N yang terurai kemudian ditangkap oleh jasad renik pada waktu
jasad renik itu mati, unsur N tersebut akan tinggal di kompos (bersama jasad renik
mati) dan menjadi sumber nutrisi bagi makanan (CPIS, 1992).

EM4 (Effective Microorganisms4)

Sekitar tahun 1980, Prof Dr. Teruo Higa dari Jepang mengembangkan
teknologi Mikroorganisme Efektif (ME) sebagai alternatif dalam mewujudkan
konsep pertanian alami. Mikroorganisme efektif adalah suatu larutan yang terdiri dari
kultur pertanian alami dan merupakan kultur campuran berbagai mikroba yang
bermanfaat bagi tanaman dan berfungsi sebagai bio-inokulan. Setiap spesies mikroba
mempunyai fungsi dan peranan masing-masing yang bersifat saling menunjang dan
bekerja secara sinergis. Larutan ME di pasaran umum diperdagangkan dengan merek
EM4 (Higa dan Wididana, 1994).
Higa dan Wididana (1994) menyatakan, bahwa effective microorganisms4
(EM4) mengandung lima jenis mikroorganisme utama yaitu Lactobacillus sp.
(bakteri asam laktat) dalam jumlah besar, bakteri fotosintesis, ragi, Actinomycetes
dan jamur fermentasi, yang bekerja secara sinergis untuk menyuburkan tanah dan
meningkatkan pertumbuhan tanaman. Bakteri fotosintetik berperan untuk mengikat
N dari udara bebas, memakan gas-gas beracun dan panas dari hasil proses
pembusukan sehingga populasi bakteri pembusuk di dalam tanah menjadi berkurang.
Ragi dan jamur berfungsi untuk memfermentasi bahan organik menjadi senyawa-
senyawa asam laktat yang dapat diserap oleh tanaman. Actinomycetes yang secara
morfologi berada antara jamur dan bakteri mampu memfiksasi N udara dan antibiotik

4
yang bersifat toksik terhadap pathogen atau penyakit, serta dapat melarutkan ion-ion
fosfat dan ion mikro lainnya.

MOL Tapai
Tapai adalah adalah salah satu makanan tradisional Indonesia yang dihasilkan
dari proses peragian (fermentasi) bahan pangan berkarbohidrat, seperti singkong dan
ketan. Starter untuk membuat tapai bernama ragi tapai. Mikroba yang terdapat di
dalam ragi tapai adalah kapang, khamir dan bakteri. Bakteri yang sering ditemukan
di dalam ragi tapai berasal dari genus Pediococcus dan Basillus. Kapang yang
berperan adalah Amylomyces, Mucor dan Rhizopus sp. Khamir yang berperan adalah
Endomycopsis fibuliger, Saccharomyces cerevisiae dan Hansenula sp. (Saono et al.,
1982). Proses pembuatan ragi tapai dapat dilihat pada Gambar 1.

Gambar 1. Bagan Alir Pembuatan Ragi Tapai

5
MOL tapai dibuat dengan mencampurkan tapai singkong dengan air dan gula.
Campuran tersebut disimpan di dalam botol dan didiamkan sampai 5 hari. Setelah
lima hari, MOL sudah dapat digunakan. 2,5 liter mol dapat digunakan untuk
membuat 1 ton kompos (Setiawan dan Tim ETOSA, 2010).

Kompos

Menurut Dalzell et al. (1987), bahan utama kompos dapat berupa sampah
rumah tangga, daun-daunan, jerami, alang-alang, rumput-rumputan, sekam, batang
jagung, kotoran hewan, dan bahan lainnya terutama yang mudah busuk. Kandungan
unsur hara dalam pupuk organik tidak terlalu tinggi, tapi jenis pupuk ini memiliki
keistimewaan lain yaitu dapat memperbaiki sifat tanah, struktur tanah, daya menahan
air dan kation-kation tanah (Hardjowigeno, 1995).
Kompos telah dipergunakan secara luas selama ratusan tahun dalam
menangani limbah pertanian, sekaligus sebagai pupuk alami tanaman. Pengaruh
penggunaan kompos terhadap sifat kimiawi tanah terutama adalah kandungan humus
dalam kompos yang mengandung unsur-unsur makro bagi tanah seperti N,P, dan K
serta unsur-unsur mikro seperti Ca, Mg, Mn, Cu, Fe, Na, dan Zn. Humus yang
menjadi asam humat atau asam-asam lainnya dapat melarutkan Fe dan Al sehingga
fosfat tersedia dalam keadaan bebas. Selain itu humus merupakan penyangga kation
yang dapat mempertahankan unsur-unsur hara sebagai bahan makanan untuk
tanaman. Kompos juga berfungsi sebagai pemasok makanan untuk mikroorganisme
seperti bakteri, kapang, Actinomycetes dan protozoa, sehingga dapat meningkatkan
dan mempercepat proses dekomposisi bahan organik (Syarief, 1986).
Pengomposan, menurut Yang (1997), merupakan suatu proses biooksidasi
yang menghasilkan produk organik yang stabil, yang dapat dikontribusikan secara
langsung ke tanah dan digunakan sebagai pupuk. Produk dari pengomposan berupa
kompos (Harada et al., 1993), apabila diberikan ke tanah akan mempengaruhi sifat
fisik, kimia maupun biologis tanah. Secara umum pengomposan aerobik
menghasikan unsur C dalam bentuk CO2 dan pengomposan anaerobik menghasilkan
unsur C dalam bentuk alkohol (CH3OOH).

6
Faktor-faktor yang Mempengaruhi Proses Pengomposan

Ukuran Bahan
Proses pengomposan dapat dipercepat jika bahan mentah kompos dicincang
menjadi bahan yang lebih kecil. Bahan yang kecil akan cepat didekomposisi karena
peningkatan luas permukaan untuk aktivitas organisme perombak (Gaur, 1983).
Nisbah Karbon-Nitrogen (C/N)
Nisbah C/N bahan organik merupakan faktor yang paling penting dalam
pengomposan. Hal tersebut disebabkan mikroorganisme membutuhkan karbon untuk
menyediakan energi (Gunawan dan Surdiyanto, 2001) dan N yang berperan dalam
memelihara dan membangun sel tubuhnya (Triadmojo, 2001). Kisaran nisbah C/N
yang ideal adalah 20-40, dan nisbah yang terbaik adalah 30 (Center for policy and
Implementation Study, 1992). Nisbah C/N yang tinggi akan mengakibatkan proses
berjalan lambat karena kandungan N yang rendah, sebaliknya jika nisbah C/N terlalu
rendah akan menyebabkan terbentuk amoniak, sehingga N akan hilang ke udara
(Gunawan dan Surdiyanto, 2001).
Kelembaban
Dekomposisi bahan organik oleh mikroorganisme sangat tergantung pada
kelembaban. Umumnya mikroorganisme dapat bekerja dengan kelembaban sekitar
40%-60%. Kondisi tersebut perlu dijaga agar mikroorganisme dapat bekerja secara
optimal. Kelembaban yang lebih tinggi atau rendah dapat menyebabkan
mikroorganisme tidak berkembang atau tidak mati (Indriani, 1999).
Temperatur Pengomposan
Pengomposan akan berjalan optimal pada suhu yang sesuai dengan suhu
optimum pertumbuhan mikroorganisme perombak. Menurut Murbandono (1993),
suhu optimum pengomposan berkisar antara 35-55 oC, akan tetapi setiap kelompok
mikroorganisme mempunyai suhu optimum yang berbeda sehingga suhu optimum
pengomposan merupakan integrasi dari berbagai jenis mikroorganisme.
Pada pengomposan secara aerobik, akan terjadi kenaikan suhu yang cepat
selama 3-5 hari pertama. Menurut Center for Policy and Implementation Study
(1992), suhu tinggi berfungsi untuk membunuh bibit penyakit (patogen), menetralisir
bibit hama (seperti lalat) dan mematikan bibit rumput yang resisten.

7
Menurut Tiquia et al. (1996), 10 hari pertama pengomposan temperatur naik
hingga mencapai temperatur maksimal 64-69 oC selama hampir 4 jam. Fase
termofilik dicapai pada temperatur 50 oC, 44 oC dan 38 oC selama 21 hari. Kemudian
temperatur turun hingga mendekati angka 30 oC.
Derajat Keasaman (pH)
Identifikasi proses degradasi bahan organik pada proses pengomposan dapat
dilakukan dengan mengamati terjadinya perubahan pH kompos. Menurut Center for
Policy and Implementation Study (1992), derajat keasaman (pH) yang dituju adalah
6-8,5 yaitu kisaran pH yang pada umumnya ideal bagi tanaman. Hasil dekomposisi
bahan organik ini menghasilkan kompos yang bersifat netral sebagai akibat dari sifat-
sifat basa bahan organik yang difermentasikan. Pada pengomposan pupuk organik
padat nilai pH pada hari ketiga berkisar dari 7,66-8,84 dan hari keenam berkisar dari
8,66-9,08 (Nengsih, 2002).
Mikroorganisme yang Terlibat dalam Pengomposan
Pengomposan akan berjalan lama jika mikroorganisme perombak pada
permulaannya sedikit. Mikroorganisme sering ditambahkan ke bahan yang akan
dikomposkan yang bertujuan untuk mempercepat proses pengomposan (Indriani,
1999).
Populasi mikroorganisme selama berlangsungnya proses pengomposan akan
berfluktuasi. Berdasarkan kondisi habitatnya (terutama suhu), mikroorganisme yang
terlibat dalam pengomposan tersebut terdiri dari dua golongan yaitu mesofilik dan
termofilik. Mikroorganisme mesofilik adalah mikroorganisme yang hidup pada suhu
antara 45-65 oC. Pada waktu suhu tumpukan kompos kurang dari 45 oC, maka proses
o
pengomposan dibantu oleh mesofilik di atas suhu tersebut (45-65 C)
mikroorganisme yang berperan adalah termofilik (Gaur, 1983 dan Center for Policy
and Implementation Study, 1992).
Menurut Center for Policy and Implementation Study (1992),
mikroorganisme mesofilik pada hakekatnya berfungsi memperkecil ukuran partikel
zat organik sehingga luas permukaan partikel bertambah. Menurut Gaur (1983),
bakteri termofilik yang tumbuh dalam waktu yang terbatas berfungsi untuk
mengkonsumsi karbohidrat dan protein, sehingga bahan-bahan kompos dapat
terdegradasi dengan cepat.

8
Aktivator
Aktivator merupakan bahan yang mampu meningkatkan dekomposisi bahan
organik (Gaur, 1983). Aktivator mempengaruhi proses pengomposan melalui dua
cara, cara pertama yaitu dengan menginokulasi strain mikroorganisme yang efektif
dalam menghancurkan bahan organik (pada aktivator organik), kedua yaitu
meningkatkan kadar N yang merupkan makanan tambahan bagi mikroorganisme
tersebut.
Aktivitas mikroorganisme meningkat jika jumlah N mencukupi sehingga
proses dekomposisi bahan organik berlangsung lebih cepat dan efektif. N dalam
senyawa NH3 jumlahnya semakin rendah karena digunakan oleh mikroorganisme
perombak untuk sintesa protein dalam mempercepat aktivitasnya, hal ini
menunjukkan proses dekomposisi berlangsung normal.
Kecepatan dekomposisi bahan organik ditunjukkan oleh perubahan nisbah
C/N kompos. Selama mineralisasi, nisbah C/N bahan-bahan yang mengandung
sedikit N akan berkurang menurut waktu (Alexander, 1977). Pada suatu saat
kecepatan kehilangan C dan N berbanding lurus sehingga diperoleh nisbah C/N yang
tetap ini menunjukkan bahwa proses dekomposisi sudah mencapai tingkat akhir
(Alexander, 1977).
Kangkung (Ipomea reptans)

Kangkung (Ipomea reptans) termasuk dalam kingdom plantae, divisi


spermatophyta, kelas dicotiledoneae dan famili convolvulaceae (Ware dan
McCollum, 1980). Kangkung memiliki dua varietas yaitu kangkung air dan
kangkung darat. Kangkung air memiliki warna bunga putih kemerah-merahan,
ukuran batang dan daun lebih besar daripada kangkung darat, berbatang hijau dan
berbiji sedikit. Buah kangkung memliki diameter 7-9 mm, halus, berwarna
kecoklatan dan berisi 2-4 biji (Westphal, 1994). Kangkung darat memiliki
karakteristik warna bunga putih hingga merah muda, daun agak kecil, warna batang
putih kehijauan hingga keunguan (Palada dan Chang, 2003).
Kangkung mudah beradaptasi bahkan pada daerah perairan kecil, danau,
aliran air, kolam, ataupun ladang. Sifat toleransi kangkung terhadap habitat
mengakibatkan kangkung harus ditanam pada daerah yang tidak tercemar karena

9
kangung dapat menyerap zat-zat beracun melalui akarnya dan meresap kedalam
tubuhnya (Nazarudin, 1999).
Jenis kangkung yang umum ada dua, yakni kangkung air dan kangkung darat.
Jenis yang pertama memerukan kondisi basah dan berair. Kangkung air mempunyai
tangkai daun yang panjang, daun hijau tua dan lebar serta berbunga ungu. Jenis yang
kedua adalah kangkung darat yang mempunyai daun yang lebih langsing dengan
ujung daun meruncing. Daunnya berwarna hijau pucat keputihan dan bunganya
berwarna putih (Sunarjono, 2003).
Kangkung darat varietas sutra sangat baik dikembangbiakkan karena rasanya
cukup enak dan tak berlendir. Varietas ini dapat dipanen pada umur 35-40 hari
dengan produksi 12-44 ton per hektar dan kemampuan menghasilkan biji 6 ton per
hektar. Setiap hektar memerlukan 10 kg benih kangkung darat. Dosis pupuk kandang
adalah 10 ton per hektar. Selain itu dapat diberikan urea sebanyak 200 kg, TSP 200
kg dan KCL per hektar (Nazarudin, 1999).
Kangkung termasuk tipe sayuran dataran rendah yang pertumbuhannya
kurang optimal bila ditanam di dataran rendah lebih tinggi dari 700 m dpl (Westphal,
1994). Kangkung sangat kuat menghadapi panas terik dan kemarau yang panjang
dengan kelembaban 60%. Kangkung darat tumbuh optimal pada tanah yang banyak
mengandung bahan organik, tinggi kandungan air dengan pH 5.5-6.0 (Westphal,
1994).
Hama yang biasa mengganggu antara lain adalah ulat grayak (Spodoptera
litura) dan kutu daun. Gejala yang tampak pada serangan ulat adalah adanya lubang
pada tepian daun. Kutu daun menghisap cairan tanaman yang menyebabkan tanaman
menjadi kerdil dan daun melengkung.

10
MATERI DAN METODE

Lokasi dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan dari bulan Juli sampai Agustus 2010 dan terdiri
dari dua tahap. Penelitian tahap pertama yaitu pembuatan pupuk dilakukan di
Laboratorium Pengolahan Limbah Departemen Ilmu Produksi dan Teknologi
Peternakan, Fakultas Peternakan. Penelitian tahap kedua yaitu uji taman dilakukan di
Laboratorium Lapang University Farm, Institut Pertanian Bogor.
Materi

Alat-alat yang digunakan saat pelaksanaan penelitian antara lain pH meter,


trash bag, sarung tangan, sekop, gunting, pengaduk, timbangan gantung, polybag
ukuran 35 x 35, lakban, hammer mill, chopper, kertas dan label. Bahan-bahan yang
digunakan dalam penelitian ini yaitu kotoran sapi perah, jerami padi, MOL tapai,
dedak, gula pasir, cairan aktivator Em4, tanah latosol dan biji kangkung.
Prosedur

Pembuatan Kompos
Tahap pertama yaitu pembuatan kompos. Prosedur dapat dilihat di Gambar 2.
a. Pencacahan bahan pengompos
Salah satu faktor yang mempengaruhi kecepatan dekomposisi proses
pengomposan yakni, ukuran partikel bahan. Untuk mendapatkan ukuran bahan yang
sesuai standar, yakni antara 2,5 hingga 4 cm (Metcalf & Eddy, 2004), maka
dilakukan pencacahan pada jerami padi.
b. Pencampuran dan Homogenisasi Bahan
Berat bahan baku kompos yang telah sesuai dengan perhitungan formulasi di
atas, kemudian dicampurkan. Pencampuran bahan dilakukan sesuai dengan
perlakuan percobaan yang akan dilakukan yakni: EJ40K60 (Jerami 40% + Kotoran
60% + EM4), MJ40K60 (Jerami 40% + Kotoran 60% + MOL), EJ60K40 (Jerami
60% + Kotoran 40% + EM4) dan MJ60K40 (Jerami 60% + Kotoran 40% + MOL).

11
Jerami padi
Kotoran Sapi
Cacah

Pencampuran, Homogenisasi, dan pemberian aktivator sesuai taraf

Kompos Kompos Kompos Kompos


EJ40K60 (Jerami 40%+ MJ40K60 (Jerami 40%+ EJ60K40 (Jerami 60%+ MJ60K40 (Jerami 60%+
Kotoran 60%+ EM4) Kotoran 60%+ MOL) Kotoran 40%+ EM4) Kotoran 40%+ MOL)

Proses Pengomposan selama 4 minggu

Kompos Matang Kompos Matang Kompos Matang Kompos Matang


EJ40K60 (Jerami 40%+ MJ40K60 (Jerami 40%+ EJ60K40 (Jerami 60%+ MJ60K40 (Jerami 60%+
Kotoran 60%+ EM4) Kotoran 60%+ MOL) Kotoran 40%+ EM4) Kotoran 40%+ MOL)

Uji Kualitas

Uji Tanam

Selesai
Gambar 2. Bagan Alir Proses Penelitian

12
Total campuran jerami padi dan kotoran sapi yang akan digunakan dalam penelitian
ini adalah 10 kg. Aktivasi larutan EM4 yaitu 10 ml EM4, ditambahkan dengan 500 g
dedak, 500 g gula pasir dan diencerkan dengan air sampai volumenya 410 ml. MOL
disiapkan dengan mencampurkan 25 ml MOL dengan 375 ml air. Bahan kemudian
dimasukkan dalam kantong sampah dan ditutup agar terjadi pengomposan secara
anaerob.
Pengujian Kualitas
a. Uji Kimia
Uji kualitas kimia dilakukan di Laboratorium Fisika Tanah, Departemen Ilmu
Tanah dan Sumberdaya Lahan, Institut Pertanian Bogor. Uji kualitas sifat kimia
meliputi komposisi hara makro, yaitu C, N, P, dan K.
(i) Nitrogen (N-total)
Dianalisis dengan cara Semi-Mikro Kjeldhal. 10 ml larutan pupuk organik
cair diambil dan dimasukkan ke dalam labu takar 100 ml dan diencerkan dengan
aquades sampai tanda. Sebanyak 10 ml dari larutan tersebut diambil dan dimasukkan
kedalam labu kjeldhal 500 ml lalu ditambahkan 10 ml H2SO4 (93-98% bebas N) dan
5 g campuran Na2SO4-HgO (20:1) sebagai katalisator. Larutan dididihkan sampai
jernih dan dilanjutkan pendidihan 30 menit lagi. Setelah dingin, dinding dalam labu
Kjeldhal dicuci dengan aquades dan dididihkan lagi selama 30 menit. Setelah dingin
ditambahkan 140 ml aquades dan 35 ml larutan NaOH-Na2S2O3 dan beberapa butiran
Zink. Kemudian dilakukan distilasi, distilat ditampung sebanyak 100 ml dalam
Erlenmeyer yang berisi 25 ml larutan jenuh asam borat dan beberapa tetes indikator
metal merah/metilen biru. Larutan yang diperoleh dititrasi dengan 0,02 N HCL.
Penghitungan total N atau % protein dalam contoh dilakukan dengan rumus berikut:
Ml HCL X N HCL
Jumlah N-Total= X 14,008 X f mg/ml (f= 10)
Ml larutan Contoh

(ii) Fosfor (P2O5).


Pupuk sebanyak 2 g dicampur dengan 10 ml HCL 25 % dan disimpan selama
± 24 jam. Rendaman tersebut diambil sebanyak 2 ml dan ditambah 18 ml aquadest.
Larutan hasil pengenceran ditambahkan 0,5 ml NH4 molybdat serta 2-3 tetes SnCl2

13
kemudian diukur dengan spektrofotometer dengan panjang gelombang 693 mm.
Hasil pengukuran yang didapat kemudian dibandingkan dengan kurva standar.

(iii) Karbon (C)


Pupuk sebanyak 0,25 g dimasukkan ke dalam tabung reaksi. Kemudian
ditambah 5 ml K2Cr2O7, dan 2,5 ml H2SO4 perlahan-lahan. Larutan dikocok sampai
bereaksi sempurna. Sebanyak 1 ml larutan yang telah dibuat dimasukkan ke dalam
erlenmeyer 125 ml dan ditambah 9 ml aquadest kemudian dititrasi dengan Fe2SO4
0,1 N dengan indikator diphenylalamin sebanyak dua atau tiga tetes. Titrasi
dihentikan jika warna larutan sudah berwarna biru.

(iv) Kalium (K)


Pupuk sebanyak 1 g ditambahkan dengan 25 ml HCL 25% kemudian di
dekstruksi. Campuran HNO3 65% dan HClO4 37% ditambahkan sampai sampel
berwarna putih. Hasil destruksi diencerkan sampai 250 ml kemudian dipipet
sebanyak 5 ml dan diencerkan menjadi 10 ml, kemudian diukur dengan
menggunakan spektrofotometer AAS (Atomic Absorbtion Spektrofotometer).

Uji tanam

Uji tanam dilakukan di green house University Farm, Cikabayan. Uji tanam
dilakukan untuk melihat pengaruh kompos ke tanaman secara langsung.

(i) Pengolahan Tanah


Tanah yang digunakan adalah tanah latosol yang diambil dari laboratorium
Agrosilvopastural Fakultas Peternakan. Tanah latosol kemudian disaring dengan
ayakan yang lebar lubangnya 0.5 mm. Tanah yang sudah disaring/diayak kemudian
dijemur agar tanah yang digunakan seragam dan tidak mempengaruhi hasil
penelitian.
(ii) Pembuatan Media Tanam
Pengujiank tanam menggunakan empat jenis pupuk yang berbeda (EJ40K60,
MJ40K60, EJ60K40,MJ60K40). Terdapat tiga dosis penggunaan pupuk terhadap
tanah untuk masing-masing pupuk (80 g, 160 g, dan 240 g) dengan tambahan kontrol

14
berupa tanah latosol 100 % (K). Setiap kombinasi jenis kompos dan dosis
dimasukkan pada polybag berukuran 35 cm x 35 cm dengan jumlah tanah masing-
masing polybag sebanyak 4 kg. Jumlah ulangan yang dilakukan yaitu tiga kali.
Kombinasi Perlakuan :
1. EJ40K60 80 4. MJ40K60 80 7. EJ60K40 80 10.MJ60K40 80
2. EJ40K60 160 5. MJ40K60 160 8. EJ60K40 160 11. MJ60K40 160
3. EJ40K60 240 6. MJ40K60 240 9. EJ60K40 240 12. MJ60K40 240
13. K
(iii) Penanaman dan Pemeliharaan
Polybag yang sudah diisi tanah dan pupuk disiram dan dibiarkan selama satu
malam. Tanah kemudian diberi empat lubang tanam dengan jarak dan kedalaman
yang sama. Setiap lubang tanam diisi dengan tiga benih kangkung dan lubang
ditutup. Tanah yang sudah berisi biji kemudian disiram. Penjarangan dilakukan 6
hari setelah tanam sesuai dengan jumlah terkecil kangkung yang tumbuh.
Pemeliharaan dilakukan dua kali sehari, yaitu pagi dan sore hari.
Pemeliharaan meliputi penyiraman dan penyabutan gulma.
(iv) Pengambilan Data
Pengambilan data dilakukan setiap satu minggu sekali. Peubah-peubah yang
diamati adalah sebagai berikut:
1. Tinggi tanaman
Tinggi tanaman diukur mulai dari permukaan media tanam sampai titik
tumbuh, diukur dengan menggunakan penggaris
2. Jumlah daun
Jumlah daun dihitung pada semua daun yang telah membuka sempurna,
yang terdiri atas tangkai dan helai daun.
3. Berat segar tajuk
Berat segar tajuk diukur setelah tanaman dipanen. Tanaman dipanen
kemudian tajuk dipisahkan dari akar. Tajuk kemudian ditimbang.
4. Berat kering tajuk
Berat kering tajuk diukur setelah tanaman dipanen. Tanaman yang dipanen
tanaman dibersihkan dari tanah, kemudian dimasukkan kedalam kantong

15
kertas dan dikeringkan pada oven yang bersuhu 60 OC selama dua hari.
Setelah dioven, berat tajuk ditimbang.
5. Berat kering akar
Berat kering akar diukur setelah tanaman dipanen. Tanaman yang dipanen
tanaman dibersihkan dari tanah, kemudian dimasukkan ke dalam kantong
kertas dan dikeringkan pada oven yang bersuhu 60 OC selama dua hari.
Setelah dioven, berat akar ditimbang.
Rancangan Penelititan

Analisis Kualitatif Uji Kimia Kompos


Rancangan percobaan yang digunakan dalam penlitian ini adalah metode
Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu
nisbah kotoran sapi dan jerami padi (40:60 dan 60:40), dan perbedaan aktivator
(EM4 dan MOL tapai) yang digunakan untuk pengomposan dengan tiga ulangan.
Menurut Steel dan Torrie (1995) model matematika yang digunakan adalah:
Yijk = µ + αi + Bj + (αB) ij + ∑ijk
Keterangan :
Yijk = Variabel respon akibat pengaruh nisbah kotoran sapi:jerami ke-i dan
perbedaan aktivator ke-j pada ulangan ke-k
µ = Nilai tengah umum
αi = Pengaruh aktivator ke-i
Bj = Pengaruh nisbah kotoran ternak:ragi tapai ke-j
(αB) ij = Pengaruh interaksi antara jenis aktivator ke-i dan nisbah kotoran ternak:ragi
tapai ke-j
∑ijk = Pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi
perlakuan ke-ij.
Data diolah dengan Minitab 13 for windows, selanjutnya hasil analisis ragam
yang menunjukkan pengaruh perlakuan yang nyata diuji lanjut dengan menggunakan
uji Tukey’s (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).
Analisis Kualitatif Uji Tanam

Rancangan percobaan yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode


Rancangan Acak Lengkap (RAL) pola faktorial yang terdiri dari dua faktor yaitu
jenis pupuk (EJ40K60, MJ40K60, EJ40K60, dan MJ40K60) dan dosis pupuk (80 g,

16
160 g, 240 g) yang digunakan dengan tiga ulangan. Menurut Steel dan Torrie (1995)
model matematika yang digunakan adalah:
Yijk = µ + αi + Bj + (αB) ij + ∑ijk
Keterangan :
Yijk = Variabel respon akibat pengaruh nisbah kotoran sapi:jerami ke-i dan
perbedaan aktivator ke-j pada ulangan ke-k
µ = Nilai tengah umum
αi = Pengaruh pupuk ke-i
Bj = Pengaruh dosis pupuk ke-j
(αB) ij = Pengaruh interaksi antara jenis pupuk ke-i dan dosis pupuk ke-j
∑ijk = Pengaruh galat percobaan pada unit percobaan ke-k dalam kombinasi
perlakuan ke-ij.
Data diolah dengan Minitab 13 for windows, selanjutnya hasil analisis ragam
yang menunjukkan pengaruh perlakuan yang nyata diuji lanjut dengan menggunakan
uji Tukey’s (Mattjik dan Sumertajaya, 2000).

17
HASIL DAN PEMBAHASAN

Keadaan Umum

Penelitian ini terdiri dari dua bagian yaitu pembuatan kompos dan uji tanam
dengan menggunakan tanaman kangkung. Pembuatan kompos merupakan penelitian
utama, penelitian ini dilkukan di laboraturium limbah departemen ilmu produksi dan
teknologi ternak. Penelitian uji tanam merupakan penelitian lanjutan untuk
mengetahui pengaruh pupuk terhadap tanaman secara langsung. Uji tanam dilakukan
di rumah kaca University Farm Institut Pertanian Bogor.

Gambar 3. Mol Tapai Gambar 4. Kompos Jadi Sebelum diGiling

Kondisi ruangan laboraturium secara umum mendukung untuk pembuatan


pupuk kompos karena mempunyai suhu yang tidak berubah signifikan setiap harinya
serta terlindung dari cahaya matahari. Waktu untuk mematangkan kompos adalah
satu bulan. Biasanya, pengomposan dilakukan dengan metoda aerobik karena
pengomposan anaerobik membutuhkan waktu yang lebih lama, namun dapat
mengontrol bau dan patogen berbahaya yang dilepaskan ke lingkungan saat proses
pengomposan berlangsung (Obeng dan Wright,1987). Proses anaerobik digunakan
karena pengomposan dilakukan di daerah kampus, sehingga bau yang tidak sedap
dan bahaya keracunan tidak mengganggu proses belajar mengajar di lingkungan
kampus.
Kotoran sapi perah yang digunakan pada penelitian ini didapat dari Kandang
Sapi Perah Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor. Tapai yang didapat dibeli
dari pedagang tapai di Pasar Merdeka. Perendaman tapai dalam air berguna untuk
meningkatkan jumlah mikroba yang terkandung di tapai. Foto dari MOL Tapai dan
kompos yang sudah matang dapat dilihat berturut-turut pada Gambar 3 dan 4.

18
Rumah kaca digunakan untuk uji tanam karena memudahkan mengontrol
faktor-faktor yang terlibat dalam penanaman. Atap dan dinding rumah kaca sangat
berguna untuk melindungi tanaman dari hujan dan angin yang terlalu besar, terutama
di daerah Bogor yang curah hujannya cukup tinggi dan tidak menentu. Foto dari
rumah kaca dan media tanam dapat dilihat berturut-turut pada Gambar 5 dan 6.

Gambar 5. Rumah Kaca Gambar 6. Keadaan di dalam


Rumahjamur
Pada saat uji tanam, ditemukan tumbuhnya Kaca yang cukup parah pada
media yang kaya akan serat (jerami). Gambar dari serangan jamur dapat dilihat pada
Gambar 7. Secara umum, di penelitian pembuatan kompos dan uji tanam lanjutan,
terdapat uji kualitas kimia pupuk dan respon pertumbuhan dengan kegiatan
penanaman kangkung darat. Parameter yang dilihat pada uji kimia yaitu C, N, P dan
K. Parameter yang dilihat pada penghitungan tingkat produksi tanaman yaitu tinggi
tanaman, jumlah daun, berat kering tajuk, dan berat kering akar.

Gambar 7. Jamur yang Tumbuh Pada Uji Tanam

19
Kualitas Pupuk Organik

Secara umum kualitas pupuk organik yang dihasilkan telah memenuhi SNI
19-7030-2004. Komposisi kimia pupuk organik yang dibuat pada penelitian ini dapat
dilihat pada Tabel 1. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara
nisbah kotoran:jerami dan jenis aktivator tidak berpengaruh terhadap kandungan pH,
C organik, N total, P total, dan K total pupuk.
Derajat Keasaman (pH) Kompos
Derajat keasaman merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi
kehidupan mikroorganisme di dalam tanah, sehingga mempengaruhi kesuburan
tanaman. Hasil analisis menunjukkan bahwa pH kompos secara umum telah
memenuhi standar SNI yaitu 6,8-7,3. Apabila dibandingkan dengan pedoman
pengharkatan hara kompos maka pH kompos termasuk dalam kadar sedang (6,6-7,3).
Analisis keragaman menunjukkan bahwa nisbah jerami:kotoran, jenis aktivator, dan
interaksi dari keduanya tidak berpengaruh terhadap nilai pH kompos. Rataan nilai pH
kompos dapat dilihat di Tabel 1.
Tabel 1. Rataan Nilai pH Kompos
Perlakuan pH kompos
EJ40K60 7,23±0,15
MJ40K60 7,17±0,21
EJ60K40 7,23±0,32
MJ60K40 7,17±0,21
SNI 6,8-7,5
Sumber: SNI 19-7030-2004

pH kompos yang netral ini sangat berguna untuk mengurangi keasaman tanah
yang sifatnya masam. Nilai pH kompos yang mendekati netral ini juga menunjukkan
bahwa kompos sudah matang. pH netral disebabkan karena aktivitas mikroba mulai
menurun karena sedikitnya zat-zat yang dapat dirombak sehingga menyebabkan
pembentukan kation-kation basa pada proses mineralisasi menjadi berkurang. Nilai
pH kompos yang tidak berbeda menunjukkan mikroba EM4 dan MOL Tapai dapat
merombak bahan dengan serat tinggi dengan efektifitas yang sama.
Kandungan Karbon (C) Organik
Hasil analisis menunjukkan bahwa nisbah jerami:kotoran, jenis aktivator, dan
interaksi dari keduanya tidak berpengaruh terhadap kandungan C organik kompos.

20
Nilai karbon organik yang dihasilkan termasuk dalam harkat yang sangat tinggi bila
dibandingkan dengan pedoman pengharkatan hara kompos (lebih dari 27,1%).
Kandungan karbon kompos mengalami penurunan apabila dibandingakan dari
kandungan karbon awal yang terkandung dalam bahan sebelum dikomposkan.
Penurunan kandungan C organik terjadi karena adanya pelepasan unsur C pada saat
proses pengomposan. Nilai kandungan C organik kompos dapat dilihat di Tabel 2.
Tabel 2. Rataan Nilai Kandungan C Organik Kompos (%)
Perlakuan C Organik
EJ40K60 27,31±3,22
MJ40K60 28,66±0,99
EJ60K40 29,85±2,09
MJ60K40 26,08±2,38
SNI
Sumber: SNI 19-7030-2004

Kandungan C organik pada kompos dipengaruhi oleh kandungan jumlah awal


mikroba dan komposisi bahan yang dikomposkan. Penambahan aktivator
meningkatkan jumlah awal mikroba yang berakibat terhadap meningkatnya
kemampuan untuk merombak serat. Mikroba seperti ragi akan berperan dalam
perombakan bahan organik menjadi senyawa-senyawa organik, sedangkan
Lactobacillus dan mikroorganisme selulolitik lainnya berperan dalam proses
penyediaan senyawa organik yang selanjutnya terurai ke dalam bentuk yang siap
diserap oleh akar tanaman (Higa dan Parr, 1994). Nilai C organik kompos yang tidak
berbeda menunjukkan mikroba EM4 dan MOL Tapai dapat merombak bahan dengan
serat tinggi dengan efektifitas yang sama.
Kandungan Nitrogen (N) Total
Pada umumnya, kandungan N kompos sudah memenuhi SNI kompos yaitu di
atas 0,4 %. Kandungan N kompos termasuk tinggi (1,1 %-2,1 %) bila dibandingkan
dengan pedoman pengharkatan hara kompos. Hasil analisis ragam menunjukkan
nisbah jerami:kotoran, jenis aktivator, dan interaksi dari keduanya tidak berpengaruh
terhadap kandungan N total kompos. Rataan nilai kandungan N total kompos dapat
dilihat di Tabel 3.
Nilai N total kompos semakin meningkat seiring dengan waktu pengomposan
dibandingkan dengan C, hal ini disebabkan unsur N ini cenderung tertahan dalam

21
tumpukan kompos dan selama proses dekomposisi unsur N yang hilang hanya
sebanyak 5 %, sedangkan unsur C yang hilang sebanyak 50 % (Alexander, 1977).
Nilai N Total kompos yang tidak berbeda menunjukkan mikroba EM4 dan MOL
Tapai dapat merombak bahan dengan serat tinggi dengan efektifitas yang sama.
Tabel 3. Rataan Nilai Kandungan N Total Kompos (%)
Perlakuan N Total
EJ40K60 1,69±0,20
MJ40K60 1,85±0,99
EJ60K40 1,77±0,14
MJ60K40 1,66±0,1
SNI ≥0,4
Sumber: SNI 19-7030-2004

Nisbah C/N
Hasil penelitian menunjukkan bahwa nisbah C/N kompos secara umum telah
memenuhi SNI yaitu nilainya berkisar antara 10-25. Nisbah C/N kompos termasuk
sedang bila dibandingkan dengan standar pengharkatan hara kompos (10-20).
Penurunan nisbah C/N bahan banyak dipengaruhi oleh kandungan mikroorganisme
awal. Biasanya mikroorganisme membutuhkan 30 bagian karbon untuk satu bagian
N untuk metabolismenya. Hasil analisis ragam menunjukkan nisbah jerami:kotoran,
jenis aktivator, dan interaksi dari keduanya tidak berpengaruh terhadap nisbah C/N
kompos. Rataan nisbah C/N kompos dapat dilihat di Tabel 4.
Tabel 4. Rataan Nisbah C/N Kompos
Perlakuan C/N
EJ40K60 16,22±1,57
MJ40K60 15,47±0,57
EJ60K40 17,04±1,38
MJ60K40 15,66±074
SNI 10,0-25,0
Sumber: SNI 19-7030-2004

Nisbah C/N merupakan salah satu faktor penentu kecepatan pengomposan.


Bila kadar C/N terlalu tinggi, proses pengomposan akan berjalan lambat karena N
menjadi faktor penghambat pertumbuhan. Nisbah C/N yang terlalu rendah akan
menyebabkan aktivitas pengomposan terhenti. C/N awal pupuk EJ60K40 dan
MJ60K40 lebih tinggi daripada C/N awal pupuk EJ40K60 dan EJ40K60. Hasil yang

22
tidak berbeda menunjukkan waktu satu bulan merupakan waktu yang cukup untuk
mengomposkan bahan yang memiliki kandungan serat yang lebih tinggi.

Kandungan Fosfor (P) Total


P berperan dalam pembentukan bunga, buah dan biji serta mempercepat
kematangan buah. Hasil analisis menunjukkan bahwa semua kompos sudah
memenuhi kualitas SNI, yaitu diatas 0,1%, sedangkan bila dibandingkan dengan
standar pengharkatan hara kompos maka kandungan P kompos yang dibuat termasuk
sedang (0,3-0,9). Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nisbah jerami:kotoran,
jenis aktivator, dan interaksi dari keduanya tidak berpengaruh terhadap Kandungan P
total kompos. Rataan nilai kandungan K total kompos dapat dilihat di Tabel 5.
Tabel 5. Rataan Nilai Kandungan P Total Kompos (%)
Perlakuan P Total
EJ40K60 0,64±0,03
MJ40K60 0,75±0,08
EJ60K40 0,80±0,11
MJ60K40 0,69±0,09
SNI ≥0,1
SNI 19-7030-2004

Simamora dan Salundik (2006) menyatakan bahwa fosfor (P) berguna untuk
membentuk akar, mempercepat penuaan buah, sebagai bahan dasar protein,
memperkuat batang tanaman, meningkatkan hasil biji-bijian dan umbi-umbian serta
membantu proses asimilasi dan respirasi. Stofella dan Khan (2000) menyatakan
bahwa peran P terutama dalam pembentukan asam nukleat, phospolipid, dan pitin.
Nilai P total kompos yang tidak berbeda menunjukkan mikroba EM4 dan MOL
Tapai dapat merombak bahan dengan serat tinggi dengan efektifitas yang sama.
Kandungan Kalium (K) Total
Hasil analisis menyatakan bahwa kandungan kalium (K) seluruh kompos
yang dibuat termasuk tinggi jika dibandingkan dengan SNI yaitu lebih tinggi dari
0,2%. Simamora dan Salundik (2006) menyatakan bahwa unsur K berperan dalam
membantu pembentukan protein dan karbohidrat, memperkuat jaringan tanaman,
serta membentuk antibodi tanaman melawan penyakit dan kekeringan serta mengatur
berbagai proses fisiologis tanaman. Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa nisbah
jerami:kotoran, jenis aktivator, dan interaksi dari keduanya tidak berpengaruh

23
terhadap Kandungan K total kompos. Rataan nilai kandungan K total kompos dapat
dilihat pada Tabel 6.
Tabel 6. Rataan Nilai Kandungan K Total Kompos (%)
Perlakuan K Total
EJ40K60 2,95±0,39
MJ40K60 3,16±0,15
EJ60K40 3,32±0,13
MJ60K40 2,88±0,26
SNI ≥0,2
SNI 19-7030-2004

Soepardi (1983) mengemukakan, bahwa kandungan unsur K semakin tinggi


dengan adanya pelapukan bahan organik yang di maksudkan. K berperan dalam
mempengaruhi penyerapan unsur lain, mempertinggi daya tahan terhadap kekeringan
dan penyakit serta perkembangan akar. Nilai K total kompos yang tidak berbeda
menunjukkan mikroba EM4 dan MOL Tapai dapat merombak bahan dengan serat
tinggi dengan efektifitas yang sama.

Kajian Uji Tanam

Tinggi Tanaman
Uji tanam dilakukan untuk mengetahui pengaruh pupuk terhadap tanaman
secara langsung. Untuk mengetahui respon tanaman, terdapat empat faktor yang
diamati, yaitu tinggi tanaman, jumlah daun, berat kering tajuk, dan berat kering akar.
Tinggi tanaman merupakan ukuran tanaman yang mudah untuk diamati dan sering
digunakan sebagai parameter untuk mengukur pengaruh dari lingkungan atau
perlakuan (Guritno dan Sitompul, 1995).
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara jenis pupuk dengan
dosis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman pada 7 hari setelah tanam
(HST). Tanaman yang diberi pupuk EJ40K60 dengan dosis 240 g dan tanaman yang
diberi pupuk MJ60K40 dengan dosis 160 g memiliki tinggi tanaman yang paling
tinggi diantara yang lainnya. Dosis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman
pada 7 HST. Tanaman yang tidak diberi pupuk mempunyai tinggi terendah diantara
tanaman lainnya. Jenis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman. Tanaman

24
yang diberi pupuk MJ40K60 dan MJ60K40 memiliki tinggi tanaman yang lebih baik
diantara yang lainnya. Tinggi tanaman pada 7 HST dapat dilihat pada Tabel 7.
Tabel 7. Tinggi Tanaman 7HST (cm)
Dosis
Jenis Pupuk Rataan
0 80 160 240
EJ40K60 7,76±0,24bc 9,75±0,87ab 8,08±0,38abc 8,35±0,46abc 8,49±0,92b
MJ40K60 9,04±0,83abc 9,54±0,69abc 8,71±0,32abc 9,98±0,62a 9,32±0,74a
EJ60K40 7,63±0,22c 8,91±0,83abc 9,79±0,52ab 8,96±1,04abc 8,82±1,02ab
MJ60K40 9,2±0,93abc 9,51±0,01abc 9,98±0,79a 8,83±1,01abc 9,38±0,8a
Rataan 8,41±0,93b 9,43±0,67a 9,14±0,93ab 9,03±0,93ab
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) dalam interaksi,
jenis pupuk, maupun dosis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%,
MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami
60% + Kotoran 40%, MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Tinggi tanaman pada 7 HST sangat dipengaruhi oleh kecepatan tanaman


berkecambah dan kandungan N dalam tanah. Perkecambahan dipengaruhi oleh kadar
air dalam tanah atau media tanam dan genetik bibit. Plaster (1992) menyatakan
bahwa N lebih optimum dalam meunjang pertumbuhan vegetatif. Perbedaan tinggi
tanaman pada 7 HST hanya memiliki perbedaan ± 1 cm sehingga pengaruh pupuk
belum terlalu terlihat.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara jenis pupuk dengan
dosis pupuk tidak mempengaruhi tinggi tanaman pada 14 HST. Dosis pupuk
mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman pada 14 HST. Hasil uji lanjut menunjukkan
bahwa tanaman yang diberi dosis 80 g memiliki tinggi tanaman yang lebih tinggi
diantara tanaman lainnya. Jenis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman pada
14 HST. Tanaman yang diberi pupuk MJ40K60 memiliki tinggi tanaman yang paling
tinggi. Tinggi tanaman pada 14 HST dapat dilihat di Tabel 8.

25
Tabel 8. Tinggi Tanaman 14HST (cm)
Dosis
Jenis Pupuk Rataan
0 80 160 240
EJ40K60 14,64±1,08 16,48±20,6 14,06±0,94 12,53±1,31 14,43±1,91ab
MJ40K60 14,81±2,01 16,46±2,52 14,62±1,55 17,22±1,82 15,78±2,06a
EJ60K40 13,73±0,25 15,04±2,32 13,26±2,84 11,60±3,07 13,41±2,41b
MJ60K40 15,58±1,14 17,29±0,38 13,17±3,18 10,22±0,94 14,07±3,16ab
Rataan 14,69±1,29ab 16,32±1,91a 13,78±2,07b 12,89±3,21b
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) dalam jenis pupuk
dan dosis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL
Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%,
MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara jenis pupuk dengan
dosis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman pada 21 HST. Tanaman yang
diberi pupuk MJ40K60 sebanyak 240 g memiliki tinggi tanaman yang paling tinggi
diantara yang lainnya. Jenis pupuk mempengaruhi (P<0,05) tinggi tanaman pada 21
HST. Tanaman yang diberi pupuk MJ40K60 memiliki tinggi tanaman yang paling
tinggi diantara tanaman lainnya. Tinggi tanaman pada 21 HST dapat dilihat pada
Tabel 9.
Tabel 9. Tinggi Tanaman 21HST (cm)
Jenis Dosis
Rataan
Pupuk 0 80 160 240
EJ40K60 19,45±1,25ab 22,53±3,53ab 20,13±4,29ab 19,87±4,09ab 20,49±3,24ab
MJ40K60 20,70±4,14 ab 18,37±2,61ab 21,13±4,70ab 26,58±2,75a 21,69±4,43a
EJ60K40 17,80±0,74 ab 20,56±2,75ab 17,28±5,02ab 13,70±5,11b 17,33±4,16b
MJ60K40 19,02±1,09 ab 23,30±2,53ab 15,63±5,42b 12,42±3,00b 17,59±5,11b
Rataan 19,24±2,21 21,19±3,17 18,54±4,75 18,14±6,73
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) dalam interaksi dan
jenis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai
+ Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%,
MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara dosis dan jenis
pupuk berpengaruh (P<0,05) terhadap tinggi tanaman pada 28 HST. Tanaman yang
diberi pupuk MJ40K60 dengan dosis 240 g merupakan tanaman yang paling tinggi
diantara tanaman lainnya. Tanaman yang diberi pupuk EJ40K60 80 g, EJ40K60 160
g, EJ40K60 240 g, MJ40K60 80g, MJ40K60 160g, EJ60K40 80 g, EJ60K40 160 g,
dan MJ60K40 240 g memiliki tinggi yang tidak berbeda. Tanaman yang tidak diberi

26
pupuk, EJ60K40 240 g, MJ60K40 160 g memiliki tinggi yang tidak berbeda dan
merupakan tanaman yang paling rendah diantara tanaman yang lainnya. Tinggi
tanaman pada 28 HST dapat pada Tabel 10.
Dosis pupuk sangat mempengaruhi (P<0,01) tinggi tanaman pada 28 HST.
Tanaman yang tidak diberi pupuk memiliki tinggi tanaman yang paling pendek
dibandingkan tanaman yang diberi dosis 80, 160, dan 240 g. Tinggi tanaman yang
diberi pupuk dengan dosis 80, 160, dan 240 g memiliki tinggi tidak berbeda, namun
berbeda dengan tanaman yang tidak diberi pupuk. Jenis pupuk mempengaruhi
(P<0,05) tinggi tanaman pada 28 HST. Tinggi tanaman yang diberi pupuk MJ40K60
merupakan tanaman yang paling tinggi dibandingkan dengan tanaman yang diberi
pupuk EJ40K60, EJ60K40, dan MJ60K40.
Tabel 10 Tinggi Tanaman 28 HST (cm)
Dosis
Jenis Pupuk Rataan
0 80 160 240
EJ40K60 20,38±2,61b 35,23±5,85ab 31,74±8,54ab 32,23±8,54ab 29,90±7,98ab
MJ40K60 18,34±2,79b 30,98±7,61ab 34,03±13,00ab 44,78±9,92a 32,03±12,54a
EJ60K40 18,79±1,31b 28,55±7,09ab 24,98±10,03ab 20,88±10,72b 23,30±8,00b
MJ60K40 20,16±1,66b 36,07±2,14ab 22,30±8,62b 25,13±3,09ab 25,91±7,58ab
Rataan 19,42±2,07B 32,71±6,09A 28,26±10,04A 30,75±11,75A
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) dalam interaksi dan
jenis pupuk. Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata
(P<0,01) pada dosis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 =
MOL Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran
40%, MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Plaster (1992) menyatakan bahwa nitorgen lebih optimum dalam menunjang


pertumbuhan vegetatif, oleh karena itu tanaman sayuran yang terdiri dari batang dan
daun saja lebih responsif terhadap kadar N tanah. Sopher dan Baid (1982)
menuliskan bahwa N diserap oleh tanaman dalam bentuk NO3 dan NH4 untuk
sintesis asam amino, protein, dan jaringan tanaman. Simamora dan Salundik (2006)
menyatakan bahwa N berperan untuk membantu proses pembentukan klorofil,
fotosintesis, protein, lemak, dan persenyawaan organik lainnya. Sekitar 78% volume
udara terdiri dari N. Grafik batang pertumbuhan tanaman dapat dilihat pada Gambar
8.

27
Gambar 8. Grafik Tinggi tanaman

Pupuk EJ40K60 memiliki kadar N yang paling tinggi diantara pupuk lainnya,
sehingga pertumbuhan tanaman yang diberi pupuk EJ40K60 dengan dosis terbesar
240 g memiliki pertumbuhan yang paling baik. Pertumbuhan tanaman yang diberi
pupuk D pertumbuhannya kurang baik karena adanya jamur yang ikut tumbuh di
media tanam. Jamur yang tumbuh menyebabkan adanya persaingan pada media
sehingga tanaman tumbuh dengan tidak optimal.
Jumlah Daun
Jumlah daun dipengaruhi oleh K dan N. K berperan penting dalam transport
fotosintat, membantu pembentukan protein dan karbohidrat, memperkuat jaringan
tanaman, mengatur berbagai proses fisiologi tanaman, dan membentuk antibodi
tanaman (Krisna, 2002; Simamora dan Salundik 2006). Widayanti (2008)
menyatakan bahwa dengan bertambahnya unsur N pada tanaman berasosisasi dengan
pembentukan klorofil daun sehingga meningkatkan fotosintesis untuk memacu
pertumbuhan daun tanaman. Semakin banyak tunas yang memperoleh hara maka
pertumbuhan dan perkembangan tunas-tunas akan semakin cepat diikuti dengan
meningkatnya jumlah daun.
Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa jenis pupuk, dosis pupuk, dan
interaksi dari keduanya tidak mempengatuhi jumlah daun pada 7 HST. Jumlah daun
pada 7 HST dapat dilihat pada Tabel 11. Tidak adanya perbedaan jumlah daun pada

28
7 HST dikarenakan tanaman baru saja berkecambah dan sebagian besar tanaman
memiliki 2 buah daun.
Tabel 11 Jumlah Daun 7HST
Dosis
Jenis Pupuk Rataan
0 80 160 240
EJ40K60 2 2 2 2 2
MJ40K60 2 2 2 2 2
EJ60K40 2 2 2 2 2
MJ60K40 2 2 2 1,67±0,58 1,92±0,29
Rataan 2 2 2 1,92±0,29
Keterangan: EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami 40%
+ Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%, MJ60K40 = MOL
Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara dosis dan jenis
pupuk tidak mempengaruhi jumlah daun pada 14 HST. Jenis pupuk tidak
mempengaruhi jumlah daun pada 14 HST. Dosis mempengaruhi (P<0,05) jumlah
daun pada 14 HST. Tanaman yang tidak diberi pupuk dan tanaman yang diberi
pupuk dengan jumlah 160 merupakan tanaman dengan jumlah daun terbanyak.
Jumlah daun pada 14 HST dapat dilihat pada Tabel 12.
Tabel 12 Jumlah Daun 14HST
Dosis
Jenis Pupuk Rataan
0 80 160 240
EJ40K60 4,67±0,52 5,17±0,14 4,50±0,25 4,58±0,14 4,73±0,38
MJ40K60 4,75±0,66 4,83±0,38 4,33±0,38 4,42±0,38 4,58±0,46
EJ60K40 4,61±0,35 4,67±0,29 4,75±0,87 4,25±0,43 4,57±0,50
MJ60K40 4,83±0,58 4,58±0,14 4,42±0,72 3,42±0,38 4,31±0,71
Rataan 4,72±0,47a 4,81±0,32a 4,50±0,54ab 4,17±0,56b
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) dalam dosis
pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai +
Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%,
MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Interaksi antara jenis pupuk dan dosis pupuk mempengaruhi (P<0,05) jumlah
daun pada 21 HST. Tanaman yang diberi pupuk MJ40K60 dengan dosis 240 g,
tanaman yang diberi pupuk MJ60K40 dan EJ40K60 dengan dosis 80 merupakan
tanaman dengan jumlah daun terbanyak. Jenis pupuk sangat mempengaruhi (P<0,01)
Jumlah daun pada 21 HST. Tanaman yang diberi pupuk EJ40K60 dan MJ40K60
merupakan tanaman dengan jumlah daun terbanyak. Dosis pupuk mempengaruhi

29
(P<0,05) jumlah daun 21 HST. Tanaman yang diberi dosis 80 g memiliki jumlah
daun terbesar. Jumlah daun pada 21 HST dapat dilihat pada Tabel 13.
Tabel 13 Jumlah Daun 21HST
Dosis
Jenis Pupuk Rataan
0 80 160 240
EJ40K60 7,33±0,63ab 8,03±0,61a 7,33±0,63ab 7,33±0,38ab 7,51±0,58A
MJ40K60 7,50±1,09a 7,00±0,50abc 7,42±0,88ab 7,75±0a 7,42±0,69A
EJ60K40 7,25±0,66ab 7,17±0,52ab 6,33±1,01abc 5,17±0,29c 6,48±1,05B
MJ60K40 7,17±0,14ab 7,50±0,25a 5,50±0,87bc 6,08±0,72abc 6,56±0,98B
Rataan 7,31±0,62ab 7,42±0,59a 6,65±1,10bc 6,58±1,13c
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) dalam interaksi
dan dosis pupuk. Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang
sangat nyata (P<0,01) dalam jenis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran
60%, MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 +
Jerami 60% + Kotoran 40%, MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara dosis dan jenis
pupuk tidak mempengaruhi jumlah daun 28 HST. Dosis pupuk sangat mempengaruhi
(P<0,01) jumlah daun 28 HST. Tanaman yang diberi dosis pupuk 80 dan 240 g
memiliki jumlah daun yang tidak berbeda tetapi berbeda dengan tanaman yang diberi
pupuk dengan dosis 0 dan 160 g. Jenis pupuk tidak mempengaruhi jumlah daun 28
HST. Jumlah daun setelah 28 hari setelah tanam (HST) dapat dilihat padaTabel 14.
Tabel 14. Jumlah Daun 28HST
Dosis
Jenis Pupuk Rataan
0 80 160 240
EJ40K60 7,92±0,38 11,92±0,72 9,75±1,39 11,17±0,72 10,19±1,76
MJ40K60 7,92±0,63 8,92±0,80 8,33±0,14 11,25±0,25 9,10±1,42
EJ60K40 8,42±0,88 9,00±0,25 8,33±1,26 9,75±2,05 8,88±1,25
MJ60K40 10,17±3,97 11,17±0,38 7,75±1,25 9,50±1,15 9,65±2,26
B A B A
Rataan 8,60±2,01 10,25±1,47 8,54±1,23 10,42±1,34
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
dalam dosis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 =
MOL Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran
40%, MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Hasil pengamatan menunjukkan bahwa tanaman yang diberi jenis pupuk


EJ40K60 dengan dosis 80 g memiliki jumlah daun yang lebih banyak daripada
tanaman lainnya. Hal ini dikarenakan pupuk A dibuat dengan penambahan aktivator
EM4 yang memiliki bakteri fotosintesis, sedangkan ragi tapai tidak memilikinya.

30
Bakteri fotosintesis akan membantu tanaman untuk mengikat N sehingga penyerapan
N tanaman lebih baik. Grafik pertambahan jumlah daun dapat dilihat di Gambar 9.

Gambar 9. Grafik Jumlah Daun

Berat Segar Tajuk


Hasil analisis ragam menunjukkan bahwa interaksi antara dosis dan jenis
pupuk sangat mempengaruhi (P<0,01) berat segar tajuk. Tanaman yang diberi pupuk
MJ40K60 dengan dosis 240 merupakan tanaman dengan berat segar tajuk terberat.
Dosis pupuk sangat mempengaruhi (P<0,01) berat segar tajuk. Tanaman yang tidak
diberi pupuk memiliki berat segar tajuk terendah. Tanaman yang diberi pupuk
sebanyak 80 g memiliki tinggi yang tidak berbeda bila dibandingkan tanaman yang
diberi pupuk sebanyak 240 g tapi berbeda dengan tanaman yang diberi pupuk
sebanyak 160 g. Jenis pupuk sangat mempengaruhi (P<0,01) berat segar tajuk.
Tanaman yang diberi pupuk EJ60K40 memiliki berat terendah. Data berat segar
tajuk dapat dilihat padaTabel 15.
Tanaman yang diberi pupuk MJ40K60 dengan dosis 240 merupakan tanaman
yang paling tinggi diantara tanaman lainnya, oleh karena itulah tanaman ini
merupakan tanaman yang paling berat. Tanaman yang diberi pupuk memiliki lebih
berat bila dibandingkan dengan tanaman yang tidak diberi pupuk menunjukkan
adanya peningkatan produktivitas tanaman dengan pemberian pupuk. Hal ini
dikarenakan adanya penambahan unsur hara pada media tanam yang diberi pupuk.

31
Tabel 15. Berat Segar Tajuk
Jenis Dosis
Rataan
Pupuk 0 80 160 240
EJ40K60 4,87±0,8BC 14,10±4,5ABC 12,97±7,0ABC 13,6±3,6ABC 11,38±5,5A
MJ40K60 4,87±1,4BC 8,1±0,4BC 11,8±6,3ABC 23,13±3,0A 11,98±7,8A
EJ60K40 5,07±0,4BC 6,47±1,5BC 4,2±2,0C 2,77±0,2C 4,63±1,8B
MJ60K40 10,73±9,6BC 16,77±1,2AB 6,23±3,4C 8,57±2,5BC 10,58±6,1A
Rataan 6,38±4,9B 11,36±4,9A 8,81±5,8AB 12,02±8,1A
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan yang sangat nyata (P<0,01)
dalam interaksi, dosis pupuk, dan jenis pupuk; EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% +
Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami 40% + Kotoran 60%, EJ60K40 =
EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%, MJ60K40 = MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran
40%

Berat Kering Tajuk


Tajuk merupakan bagian atas tanaman berupa bunga, buah dan daun. Tajuk
berfungsi untuk menyediakan karbohidrat melalui proses fotosintesis (Sitompul dan
Guritno, 1995). Berat kering mencerminkan akumulasi senyawa organik dari hasil
fotosintesis senyawa anorganik terutama air dan CO2 (Larkitan, 1995). Semakin
besar berat kering menunjukkan semakin baik kemampuan tanaman dalam menyerap
unsur hara mineral dari media yang akan diubah menjadi organ tanaman yang baru.
Hasil analisis ragam menunjukkan interaksi antara jenis pupuk dan dosis pupuk tidak
mempengaruhi berat kering tajuk tanaman kangkung (P>0,05). Hasil pengamatan
berat kering tajuk dapat dilihat pada Tabel 16. Bila melihat data berat segar
kangkung, terlihat bahwa penyusutan berat tanaman secara umum sangatlah besar.
Hal ini menunjukkan kecenderungan tanaman dalam menyerap air cukup besar.
Tabel 16. Berat Kering Tajuk (g)
Dosis
Jenis Pupuk Rataan
0 80 160 240
EJ40K60 0,92±0,77 0,58±0,20 0,886±0,70 0,83±0,60 0,80±0,54
MJ40K60 0,69±0,44 0,44±0,24 0,81±0,39 1,17±0,19 0,77±0,39
EJ60K40 1,00±0,70 1,05±0,53 1,18±0,61 0,75±0,31 0,99±0,50
MJ60K40 0,53±0,17 0,37±0,19 0,41±0,19 1,36±0,29 0,67±0,46
Rataan 0,78±0,52 0,61±0,39 0,82±0,52 1,03±0,41
Keterangan: EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami
40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%, MJ60K40 =
MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

32
Berat Kering Akar
Akar merupakan salah satu unsur pokok pertumbuhan tanaman, berfungsi
menyerap air dan unsur hara (Sitompul dan Guritno, 1995). Hasil analisis ragam
menunjukkan bahwa interaksi antara jenis pupuk dan dosis pupuk mempengaruhi
(P<0,05) berat kering akar. Tanaman yang diberi pupuk MJ60K40 dengan dosis 240
gram memiliki berat akar yang hampir sama dengan tanaman yang lain, kecuali
tanaman yang diberi pupuk MJ60K40 dengan dosis 80 g dan tanaman yang tidak
diberi pupuk. Hasil pengamatan berat kering tajuk dapat dilihat pada Tabel 17.
Tabel 17 Berat Kering Akar (g)
Dosis
Jenis Pupuk Rataan
0 80 160 240
EJ40K60 0,16±0,06ab 0,13±0,03ab 0,15±0,05ab 0,15±0,12ab 0,15±0,06
ab ab ab ab
MJ40K60 0,19±0,11 0,13±0,04 0,17±0,11 0,24±0,07 0,18±0,08
ab ab ab ab
EJ60K40 0,17±0,07 0,24±0,12 0,24±0,10 0,13±0,06 0,19±0,09
b b ab a
MJ60K40 0,10±0,03 0,09±0 0,11±0,02 0,33±0,05 0,16±0,11
Rataan 0,16±0,07 0,15±0,08 0,17±0,08 0,21±0,11
Keterangan: Superskrip yang berbeda menunjukkan adanya perbedaan (P<0,05) dalam interaksi;
EJ40K60 = EM4 + Jerami 40% + Kotoran 60%, MJ40K60 = MOL Tapai + Jerami
40% + Kotoran 60%, EJ60K40 = EM4 + Jerami 60% + Kotoran 40%, MJ60K40 =
MOL Tapai + Jerami 60% + Kotoran 40%

Buckman dan Brady (1982), unsur P merupakan salah satu unsur yang
memiliki peran dalam perkembangan akar. Beberapa unsur lain seperti unsur K (K)
yang dapat membantu penyerapan unsur P dan mikroorganisme seperti Azopirilium,
dan Rhizobium yang dapat menambat unsur N juga dapat meningkatkan
pertumbuhan akar (Harjowigeno, 2003). Lampiran 18, menunjukkan bahwa tanaman
MJ40K60 240 memiliki akar yang paling panjang. Penyusutan berat akar yang besar
menunjukkan bahwa secara umum akar memiliki kecenderungan tinggi untuk
menyerap air.

33
KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan
Aktivator EM4 dan Ragi Tapai sama-sama menghasilkan pupuk yang baik.
Penggunaan dosis 240 g menghasilkan hasil produksi yang paling baik. Nisbah
kotoran ternak:jerami 60:40 memberikan hasil terbaik. Berdasarkan hasil uji tanam,
pupuk MK60J40 memberikan hasil yang terbaik, namun jenis pupuk lainnya sudah
memberikan peningkatan pertumbuhan bila dibandingkan dengan tanaman yang
tidak diberi pupuk.

Saran
Perlu dilakukan penelitian serupa, namun menggunakan metode
pengomposan aerob, karena akan lebih banyak data yang didapat. Perlu dilakukan
juga uji kandungan nutrien di dalam tanaman setelah pupuk ini diaplikasikan.

34
UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur penulis ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa atas segala
berkah dan karunia-Nya sehingga tugas akhir ini dapat diselesaikan.
Terima kasih penulis ucapkan kepada Ir. Salundik, M.Si. dan Dr. Ir. Asep
Sudarman, M.Rur.Sc. sebagai pembimbing skripsi atas bimbingan, saran dan nasihat
yang telah diberikan. Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada Ir. Andi Murfi,
M.Si selaku dosen pembahas seminar, ... dan ... sebagai dosen penguji sidang atas
saran yang telah diberikan. Penulis mengucapkan terima kasih kepada Ir. Rukmiasih,
selaku dosen pembimbing akademik atas nasehat dan bimbingannya.
Ucapan terima kasih yang tak terkira penulis ucapkan kepada ayahanda
Anton Soetarlan (Alm.) dan ibunda Etty Soelistyowati yang selalu mencurahkan
kasih sayang dan perhatian yang tiada hentinya, doa, kesabaran, dukungan moral
serta materi yang diberikan kepada penulis. Penulis juga mengucapkan terima kasih
yang tak terkira kepada Papi Hendi dan Mami Yustin sebagai orang tua angkat
penulis. Semoga penulis dapat tumbuh menjadi orang yang memenuhi harapan
mereka berempat dan memberikan yang terbaik.
Ucapan terima kasih juga penulis ucapkan kepada kedua kakak penulis
Irmawati Praharsi dan Leonardus Dwi Satya untuk dukungan dan pelajaran yang
diberikan kepada penulis. Terima kasih penulis ucapkan kepada Narita
Kusumawardhani untuk dukungan, pengertian, pelajaran, dan waktu bersamanya
yang tidak dapat digantikan dengan apapun.
Penulis juga mengucapkan terima kasih kepada teman-teman satu tim
penelitian yaitu Lutpay, Cawen, dan Dedi atas kerjasama, pengertian, kebersamaan
dan pelajaran yang diberikan selama penelitian dan kuliah berjalan. Kepada sahabat-
sahabat seperjuangan sejak TPB, Ferry, Daniel, Bayang, Wendy, Justian, Rio, Adit,
dan Glen. Teman-teman warkop, teman-teman satu kost-kostan dan teman
seperjuangan IPTP angkatan 43, terima kasih untuk kebersamaan dan persahabatan
selama ini, serta kepada semua pihak yang terlibat dalam kelancaran penyusunan
skripsi ini yang tidak dapat penulis sebutkan satu-persatu.
Bogor, November 2010

Penulis

35
DAFTAR PUSTAKA

Alexander, M. 1977. Introduction to Soil Microbiology. Wiley Eastern Limmited,


New Delhi, 467 p.

Biro Pusat Statistik. 2004. Statistik Indonesia. Biro Pusat Statistik, Jakarta.

Catalan, G. I. 1981. Earthworms a News Resources of Protein. Philipphine


Earthworm Center, Philipphines.

Center for Policy and Implementation Study. 1992. Panduan Teknik Pembuatan
Kompos dan Sampah: Teori dan Aplikasi. Center for Policy and
Implementation Study (CPIS), Jakarta.

Cindrawati, D. S. 2006. Pertambahan bobot badan dan mortalitas cacing tanah


Limbricus rubellus yang mendapatkan pakan sisa makanan warung. Skripsi.
Fakultas Peternakan. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Dalzell, H.W., A.J. Biddlestone, K.R. Gray and K. Thurairajan. 1987. Soil
management: Co. compost production and use in tropical and sub tropical
environment. Soil Bulletin, No. 56. Food and Agricultural Organization,
Rome.

Erwiyono. 1994. Pengaruh pemberian pupuk kandang dan aerasi terhadap mutu
kompos limbah organik pabrik kertas. Jurnal Mikrobiologi Indonesia. Vol.2.
Nomor 3. Pusat Penelitian Bioteknologi Perkebunan Bogor

Gaddie, R. E & D. E. Douglas. 1977. Earhworm for Ecology dan Profit. Vol II.
Bookworm Publishing Company Ontario, California.

Gardner, F. P., R. B. Pearce & R. L. Mitchell. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya.


Jilid pertama. Penerjemah: Herawati Susilo. Universitas Indonesia Press,
Jakarta

Gaur, A.C. 1983. A Manual of Rural Composting. Food and Agricultural


Organization, Rome.

Golueke, C.G. 1977. Biological Reclamation of Solid Wastes. Rodale Press,


Emmaus, Pensilvania.

Gunawan, A. & Y. Surdiyanto. 2001. Pembuatan kompos dengan bahan baku


kotoran sapi. Jurnal Ilmu Pengetahuan dan Teknologi Peternakan. 24 (3):12-
17.

Guritno, B. & S. M. Sitompul. 1995. Analisis Pertumbuhan Tanaman. Gajah Mada


University Press, Yogyakarta.

36
Harada. Y., K. Haga, T. Osada. And M. Koshino. 1993. Quality of compost produce
from animal waste. Japan Agricultural. 26 (4): 238-246.

Hardjowigeno, S. 1995. Ilmu Tanah. Akademika Pressindo, Jakarta.

Higa, T. and J.F. Parr. 1994. Beneficial and Effective Microorganisms for sustainable
Agriculture and Environment. International Nature Farming Research Center,
Japan.

Higa, T. & Wididana, G.N. 1994. Tanya Jawab Teknologi Effective Micriirganisme.
Indonesian Kyusei Nature Farming Societies (IKNFS) dan PT.Songgolangit
Persada, Jakarta

Indrasti, N.S., Purwoko & Suherman. 2005. Aplikasi Linear Programming dalam
Formulasi Pupuk Organik Berbasis Kompos Untuk Berbagai Tanaman. Jurnal
Teknologi Industri Pertanian. Vol.15 (2). Hal 60-66

Indriani, Y.H. 1999. Membuat Kompos secara Kilat. PT. Penebar Swadaya,
Jakarta.Jenie et al. 1993

Krisna, K. R. 2002. Potassium in soil and its influence on crop growth and yield, p.
141-153. In: K. R. Krisna (Ed.). Soil Fertility and Crop Production. Science
Publishers Inc. USA.

Mattjik, A.A, & M. Sumertajaya. 2000. Perancangan Percobaan dengan Aplikasi


SAS dan Minitab. IPB Press, Bogor.

Merekel, J.A. 1981. Managing Livestock Wastes. The Avi Publishing Company,
Westport, Connecticut.

Metcalf & Eddy. 2004. Wastewater Engineering : Treatment and Reuse. 4th ed.
Revised by Tchobanoglous, G., Burton, F.L. & Stensel, H.D. Metcalf &
Eddy, Inc. McGraw-Hill. New York USA.

Murbandono, L. 1993. Membuat Kompos. PT. Penebar Swadaya, Jakarta.

Nazarudin. 1999. Budi Daya dan Pengaturan Panen Sayuran Dataran Rendah.
Penebar Swadaya. Jakarta.

Nengsih. 2002. Penggunaan EM4 dan GT 1000-WTA dalam pembuatan pupuk


organik cair dan padat dari isi rumen limbah Rumah Potong Hewan. Skripsi.
Fakultas Peternakan Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Obeng, A. & Wright F. W. 1987. Integrated Resource Recovery : The Composting of


Domestic Solid and Human Waste. World Bank Techincal Paper. No. 57. The
World bank. Washington DC.

37
Palada, M. C. & L. C.Chang. 2003. Suggested Cultural practices for kangkong.
www.avrdc.org/pdf/seeds/kangkong.pdf. [06/12/2007].

Peter & Biran. 2001. Compost Utilization. Technomic Publishing Company, inc.
USA.

Plaster, E. J. 1992. Soil Science and Management. Delmar Publishers Inc. 2 nd ed.
New York.

Polprasert, C. 1989. Organic Waste Recycling. Jhon Wiley and sons Ltd, Chicester.

Ponnamperuma, F. N. 1984. Straw as A Source of Nutrients for Wetland Rice, p.117-


133. In: International Rice Research Institute. Organik Matter and Rice. IRRI,
Manila.

Saono, J. K. D., Winarno, F. G. and Karjadi. 1982. Traditional fermentation as


industrial Resources in ASCA countries. Proceeding of Technical Seminar.
Medan. LIPI, Jakarta.

Setiawan, B.S & Tim ETOSA. 2010. Membuat Pupuk Kandang Secara Cepat.
Penebar Swadaya, Jakarta

Siagian, P.H & S. Simamora. 1994. Permasalahan dan penangan limbah dari usaha
peternakan dan Rumah Pemotongan Hewan (RPH). Media Peternakan 18 (3):
76-89

Soepardi, G. 1983. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah. Fakultas
Pertanian. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Sopher, Charles D and Jack V. Baird. 1982. Soils and Soil Management. 2nd ed
Reston, Virginia: Reston Publishing.

Stafford, D.A., D.L. Hawker & R. Horton. 1980. Methane Production From Waste
Organic Matter. CRC Press. Florida.

Stell, R.G.D & J.H Torrie. 1995. Prinsip dan Prosedur Statistik. Terjemahan. B.
Sumantri. Cetakan Kedua. P.T. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Sunarjono, H. 2003. Bertanam 30 Jenis Sayur. Penebar Swadaya, Jakarta.

Syarief, S. 1986. Ilmu Tanah Pertanian. PT. Pustala Buanam Bandung.

Tiquia, S.M., Tam, N.F.Y. and Hodgins, I.J. (1996). Microbial activities during
composting of spent pig-manure sawdust litter at different moisture contents.
Bioresource Technology (55):201-206.

Triadmojo, S. 2001. Kualitas kompos yang diproduksi dari feses sapi perah dan
sludge limbah penyamakan kulit. Buletin Peternakan 25 (4):190-199.

38
Ware, G. W & McCollum. 1980. Producing Vegetable Corps. 3rd ed. The Interstate
Inc. USA. 607 p.

Westphal, E. 1994. ipomoea aquatica Forsskal, p. 181-184. In: J. S. Siemonsma and


K. Piluek (Eds.). Plant resources of South-East Asia and Vegetables 8.
PROSEA Foundation, Bogor.

Widayanti, A. 20080 Efek Pemotongan dan pemupukan terhadap produksi dan


kualitas Borreria allata (Aubl.) sebagai hijauan makanan ternak kualitas
tinggi. Skripsi. Institut Pertanian Bogor, Bogor.

Yang, S.S. 1997. Preparation of compost and evaluating its maturity. Agriculure and
Horticulture. Extension Bulletin No. 445, National Taiwan University.

39
LAMPIRAN

40
Lampiran 1. Analisis Ragam Hasil Regresi Kandungan C Organik Kompos
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 1 0,001633 0,001633 0,000229127 5,99 13,75
B 1 4,416533 4,416533 0,61968642 5,99 13,75
(AB) 3 19,71203 6,570676667 0,921935622 4,76 9,78
Galat 6 42,76227 7,127045
Total 11 66,892466

Lampiran 2. Analisis Ragam Hasil Regresi Kandungan N Total Kompos


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 1 0,011408 0,011408 0,486827887 5,99 13,75
B 1 0,003675 0,003675 0,156827883 5,99 13,75
(AB) 3 0,049408 0,016469333 0,702816511 4,76 9,78
Galat 6 0,1406 0,023433333
Total 11 0,205091

Lampiran 3. Analisis Ragam Hasil Regresi Kandungan P Total Kompos


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 1 0,008008 0,008008 0,905427079 5,99 13,75
B 1 0,000008333 0,000008333 0,000942173 5,99 13,75
(AB) 3 0,035208333 0,011736111 1,32694714 4,76 9,78
Galat 6 0,053066667 0,008844445
Total 11 0,096291333

Lampiran 4. Analisis Ragam Hasil Regresi Kandungan K Total Kompos


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 1 0,005633333 0,005633333 0,00322908 5,99 13,75
B 1 0,0363 0,0363 0,020807503 5,99 13,75
(AB) 3 0,313633333 0,104544444 0,059925864 4,76 9,78
Galat 6 0,5214 0,0869
Total 11 0,876966667

Lampiran 5. Analisis Ragam Hasil Regresi Nilai pH Kompos


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 1 0 0 0 5,99 13,75
B 1 0,013333333 0,013333333 0,187499996 5,99 13,75
(AB) 3 0 0 0 4,76 9,78
Galat 6 0,426666667 0,071111111
Total 11 0,44

41
Lampiran 6. Analisis Ragam Hasil Regresi Kandungan C/N Kompos
SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 1 0,77457842 0,77457842 0,443995673 5,99 13,75
B 1 3,387495319 3,387495319 1,941744342 5,99 13,75
(AB) 3 0,290826852 0,096942284 0,055568234 4,76 9,78
Galat 6 10,46737795 1,744562992
Total 11 14,92027854

Lampiran 7. Analisis Ragam Hasil Regresi Tinggi Tanaman 7 HST


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 3 6,691602 2,230534 4,812073 2,904 7,06
B 3 6,498164 2,166055 4,672968 2,904 7,06
(AB) 9 12,29783 1,366425 2,947876 2,102 3,43
Galat 32 14,83292 0,463529
Total 47 40,32051

Lampiran 8. Uji Lanjut Tukey interaksi antara Jenis Pupuk dan Dosis Terhadap Tinggi
Tanaman 7 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EJ40K60 0 7,76 BC
EJ40K60 80 9,75 AB
EJ40K60 160 8,08 ABC
EJ40K60 240 8,35 ABC
MJ40K60 0 9,04 ABC
MJ40K60 80 9,54 ABC
MJ40K60 160 8,71 ABC
MJ40K60 240 9,98 A
EJ60K40 0 7,63 C
EJ60K40 80 8,91 ABC
EJ60K40 160 9,79 AB
EJ60K40 240 8,96 ABC
MJ60K40 0 9,2 BC
MJ60K40 80 9,51 A
MJ60K40 160 9,98 AB
MJ60K40 240 8,83 AB

42
Lampiran 9. Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 7 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EJ40K60 8,49 B
MJ40K60 9,32 A
EJ60K40 8,82 AB
MJ60K40 9,38 A

Lampiran 10. Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 7 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
0 8,41 B
80 9,43 A
160 9,14 AB
240 9,03 AB

Lampiran 11. Analisis Ragam Hasil Regresi Tinggi Tanaman 14 HST


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 3 77,15202 25,71734 6,918688 2,904 7,06
B 3 35,82993 11,94331 3,213087 2,904 7,06
(AB) 9 64,4923 7,165812 1,927805 2,102 3,43
Galat 32 118,9467 3,717083
Total 47 296,4209

Lampiran 12. Uji Lanjut Tukey interaksi antara Jenis Pupuk dan Dosis Terhadap Tinggi
Tanaman 14 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EJ40K60 0 14,64 AB
EJ40K60 80 16,48 A
EJ40K60 160 14,06 AB
EJ40K60 240 12,53 AB
MJ40K60 0 14,81 AB
MJ40K60 80 16,46 A
MJ40K60 160 14,62 AB
MJ40K60 240 17,22 A
EJ60K40 0 13,73 AB
EJ60K40 80 15,04 AB
EJ60K40 160 13,26 AB
EJ60K40 240 11,6 AB
MJ60K40 0 15,58 AB
MJ60K40 80 17,29 A
MJ60K40 160 13,17 AB
MJ60K40 240 10,22 B

43
Lampiran 13. Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 14 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EJ40K60 14,43 AB
MJ40K60 15,78 A
EJ60K40 13,41 B
MJ60K40 14,07 AB

Lampiran 14. Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 14 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
0 14,69 AB
80 16,32 A
160 13,78 B
240 12,89 B

Lampiran 15. Analisis Ragam Hasil Regresi Tinggi Tanaman 21 HST


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 3 65,8651 21,95503 1,686852 2,904 7,06
B 3 167,0906 55,69687 4,279309 2,904 7,06
(AB) 9 327,1528 36,35031 2,792871 2,102 3,43
Galat 32 416,4925 13,01539
Total 47 976,601

Lampiran 16. Uji Lanjut Tukey interaksi antara Jenis Pupuk dan Dosis Terhadap Tinggi
Tanaman 21 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EJ40K60 0 19,25 AB
EJ40K60 80 22,53 AB
EJ40K60 160 20,13 AB
EJ40K60 240 19,87 AB
MJ40K60 0 20,7 AB
MJ40K60 80 18,37 AB
MJ40K60 160 21,13 AB
MJ40K60 240 26,58 A
EJ60K40 0 17,8 AB
EJ60K40 80 20,56 AB
EJ60K40 160 17,28 AB
EJ60K40 240 13,7 B
MJ60K40 0 19,02 AB
MJ60K40 80 23,3 AB
MJ60K40 160 15,63 B
MJ60K40 240 12,42 B

44
Lampiran 17. Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 21 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EJ40K60 20,49 AB
MJ40K60 21,69 A
EJ60K40 17,33 B
MJ60K40 17,59 B

Lampiran 18. Analisis Ragam Hasil Regresi Tinggi Tanaman 28 HST


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 3 1238,785 412,9283 7,767555 2,904 7,06
B 3 553,1873 184,3958 3,468652 2,904 7,06
(AB) 9 828,4865 92,05406 2,73162 2,102 3,43
Galat 32 1701,141 53,16065
Total 47 4321,6

Lampiran 19. Uji Lanjut Tukey interaksi antara Jenis Pupuk dan Dosis Terhadap Tinggi
Tanaman 28 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EJ40K60 0 20,38 B
EJ40K60 80 35,23 AB
EJ40K60 160 31,74 AB
EJ40K60 240 32,23 AB
MJ40K60 0 18,34 B
MJ40K60 80 30,98 AB
MJ40K60 160 34,03 AB
MJ40K60 240 44,78 A
EJ60K40 0 18,79 B
EJ60K40 80 28,55 AB
EJ60K40 160 24,98 AB
EJ60K40 240 20,88 B
MJ60K40 0 20,16 B
MJ60K40 80 36,07 AB
MJ60K40 160 22,3 B
MJ60K40 240 25,13 AB

Lampiran 20. Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 28 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EJ40K60 29,9 AB
MJ40K60 32,03 A
EJ60K40 23,3 B
MJ60K40 25,91 AB

45
Lampiran 21. Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Tinggi Tanaman 28 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
0 19,42 B
80 32,71 A
160 28,26 A
240 30,75 A

Lampiran 22. Analisis Ragam Hasil Regresi Jumlah Daun 7 HST


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 3 0,895833 0,298611 0,843137 2,904 7,06
B 3 0,895833 0,298611 0,843137 2,904 7,06
(AB) 9 3,354167 0,372685 1,052288 2,102 3,43
Galat 32 11,33333 0,354167
Total 47 16,47917

Lampiran 23. Analisis Ragam Hasil Regresi Jumlah Daun 14 HST


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 3 2,947917 0,982639 4,60787 2,904 7,06
B 3 1,079861 0,359954 1,687924 2,904 7,06
(AB) 9 2,3125 0,256944 1,204885 2,102 3,43
Galat 32 6,824074 0,213252
Total 47 13,16435

Lampiran 24. Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Jumlah Daun14 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
0 4,72 A
80 4,81 A
160 4,5 AB
240 4,17 B

Lampiran 25. Analisis Ragam Hasil Regresi Jumlah Daun 21 HST


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 3 6,910156 2,303385 5,508997 2,904 7,06
B 3 10,71571 3,571904 8,542907 2,904 7,06
(AB) 9 11,2895 1,254389 3,000115 2,102 3,43
Galat 32 13,37963 0,418113
Total 47 42,29499

46
Lampiran 26. Uji Lanjut Tukey interaksi antara Jenis Pupuk dan Dosis Terhadap Tinggi
Tanaman 28 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EJ40K60 0 7,33 AB
EJ40K60 80 8,03 A
EJ40K60 160 7,33 AB
EJ40K60 240 7,33 AB
MJ40K60 0 7,5 A
MJ40K60 80 7 ABC
MJ40K60 160 7,42 AB
MJ40K60 240 7,75 A
EJ60K40 0 7,25 AB
EJ60K40 80 7,17 AB
EJ60K40 160 6,33 ABC
EJ60K40 240 5,17 C
MJ60K40 0 7,17 AB
MJ60K40 80 7,5 A
MJ60K40 160 5,5 BC
MJ60K40 240 6,08 ABC

Lampiran 27. Uji Lanjut Tukey Jenis Pupuk Terhadap Jumlah Daun 21 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
EJ40K60 7,51 A
MJ40K60 7,42 A
EJ60K40 6,48 B
MJ60K40 6,56 B

Lampiran 28. Uji Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Jumlah Daun 21 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
0 7,31 AB
80 7,42 A
160 6,65 BC
240 6,58 C

Lampiran 29. Analisis Ragam Hasil Regresi Jumlah Daun 28 HST


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 3 37,37891 12,45964 6,724526 2,904 7,06
B 3 12,38932 4,129774 2,228859 2,904 7,06
(AB) 9 32,89714 3,655237 1,972749 2,102 3,43
Galat 32 59,29167 1,852865
Total 47 141,957

47
Lampiran 30. Lanjut Tukey Dosis Pupuk Terhadap Jumlah Daun 28 HST
Perlakuan Rataan Wilayah Tukey
0 8,6 B
80 10,25 A
160 8,54 B
240 10,42 A

Lampiran 31. Analisis Ragam Hasil Regresi Berat Kering Tajuk


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 3 1,060418 0,353473 1,700895 2,904 7,06
B 3 0,66514 0,221713 1,066876 2,904 7,06
(AB) 9 2,248659 0,249851 1,202273 2,102 3,43
Galat 32 6,650099 0,207816
Total 47 10,62432

Lampiran 32. Analisis Ragam Hasil Regresi Berat Kering Akar


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 3 0,030067 0,010022 1,842768 2,904 7,06
B 3 0,017397 0,005799 1,066256 2,904 7,06
(AB) 9 0,135446 0,01505 2,767119 2,102 3,43
Galat 32 0,174039 0,005439
Total 47 0,356949

Lampiran 33. Analisis Ragam Berat Basah Tajuk


SK db JK KT Fhit F0,05 F0,01
A 3 123,28729 41,095764 197,75112 2,904 7,06
B 3 1054,544 351,51465 1691,474 2,904 7,06
(AB) 9 726,58188 80,731319 388,47577 2,102 3,43
Galat 32 6,6500987 0,2078156
total 47 4125,9998

Lampiran 34. Panjang akar


Dosis
Jenis Pupuk Rataan
0 80 160 240
EM4 K60J40 13,4±2,1BCD 23,3±4,6AB 12,5±3,9CD 15,4±4,4ABCD 16,2±5,5A
MOL K60J40 15,4±2,9ABCD 12,8±0,6CD 20,9±7,8ABCD 24,7±0,4A 18,4±6,0A
EM4 K40J60 13,6±2,4BCD 13,37±1,7BCD 11,1±1,3D 11,1±0,6D 12,3±1,9B
MOL K40J60 16,8±5,0ABCD 21,4±2,4ABC 10,97±0,3D 11,7±1,7CD 15,2±5,1AB
Rataan 14,8±3,2AB 17,7±5,4A 13,9±5,7B 15,7±6,0AB

48
Lampiran 35. Pedoman Pengharkatan Hara Kompos
Harkat
Parameter Satuan Rendah Sedang Tinggi Sangat Tinggi
Kadar Air % <24,9 24,9-35,9 35,9-52,6 >52,6
BJ kg/l <0,4 0,4-0,6 0,6-0,9 >0,9
pH - <6,6 6,6-7,3 7,3-8,2 >8,2
Bahan Organik % <22,4 22,4-39,7 39,7-68,7 >68,7
C Organik % <14,5 14,5-19,6 19,6-27,1 >27,1
Garam
Terlarut % <0,8 0,8-1,8 1,8-2,9 >2,9
N Total % <0,6 0,6-1,1 1,1-2,1 >2,1
P2O5 % <0,3 0,3-0,9 0,9-1,8 >1,8
K20 % <0,2 0,2-0,6 0,6-1,4 >1,4
MgO % <0,3 0,3-0,7 0,7-1,6 >1,6
CaO % <2,7 2,7-4,9 4,9-6,2 >6,2
Boron ppm <13,8 13,8-35,3 35,3-12,4 >12,4
Mn ppm <220 220-452 452-654 >654
Zn ppm <513 513-1570 1570-2015 >2015
KTK meq/100g <20,1 20,1-30 30-45 >45
C/N - <10 10-20 >20
Humik % 1,5 3,7 6,8

49

Anda mungkin juga menyukai