Anda di halaman 1dari 6

SOLUSI MASALAH OVER FISHING DAN IMPLEMENTASINYA

Meski kebijakan pemerintah terkait peningkatan produksi perikanan terlihat mengabaikan


fenomena over fishing, namun bukan berarti pemerintah menutup mata dengan adanya
kejadian tersebut. Hal ini tercemin dari beberapa kebijakan yang dibuat dalam rangka
menekan laju terjadinya over fishing, diantaranya :
Kebijakan pembatasan alat tangkap dengan menetapkan besar lubang mata
jaring. Hal ini dimaksudkan untuk meningkatkan selektifitas alat tangkap, sehingga yang
tertangkap hanya spesies target saja, sedang spesies lain dapat lolos keluar melalui
lubang jaring tersebut. Contoh : pada alat tangkap purse sein, jaring angkat, dan jala
tebar. Kebijakan diversifikasi alat tangkap. Dimaksudkan agar nelayan tidak bergantung
pada salah satu jenis alat tangkap saja, melainkan dapat memilih jenis alat tangkap yang
lain dengan spesies target yang berbeda.
Pembentukan kawasan konservasi laut dibeberapa tempat yang dianggap masih
memiliki potensi plasma nutfah yang cukup tinggi. Seperti Takabonerate, dan Wakatobi.
Kebijakan pengendalian alat tangkap melalui mekanisme perizinan. Beberapa
kapal penangkap dalam skala tertentu harus memiliki surat izin penangkapan untuk dapat
beroperasi di wilayah perairan sekitar pulau maupun ZEE.
Terkhusus untuk mengatasi persoalan pencurian ikan oleh KIA dandestructive fishing,
pemerintah menempuh beberapa cara, antara lain :
Menempatkan armada AL di wilayah-wilayah perbatasan laut Indonesia
Membentuk satuan Polairut (Polisi Perairan dan Laut) dibawah Polda untuk
mengatasi pelanggaran yang terjadi di dalam wilayah perairan Indonesia.
Membentuk satuan Pengawas Jagawana dibawah Kementerian Kehutanan untuk
menjaga wilayah-wilayah konservasi laut yang berada di dalam tanggung jawab
Kementerian Kehutanan.
Dari sisi penegakan hukum, pemerintah sudah menyiapkan perakat hukum untuk menjerat
pelaku pelanggaran baik pencurian ikan maupun penggunaan alat tangkap yang tidak
ramah lingkungan, diantaranya :
1.
UU No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan (Perubahan dari UU No. 31 tahun 2004)
2.
UU No. 60 tahun 2007 tentang Konservasi ikan
3.
UU No. 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan Kawasan Pesisir, laut dan Pulau-pulau
kecil
Faktanya, tidak satupun solusi dari pemerintah tersebut yang mencapai tujuan
sebagaimana yang diharapkan.
Pertama, tentang kebijakan penentuan besar lubang mata jaring, alih-alih
mengendalikan alat tangkap yang kurang selektif, malah melalui kebijakan Pemerintah
yang lain alat tangkap yang sudah terbukti kurang selektif (bila tidak ingin dikatakan tidak
selektif sama sekali) yaitu trawl dicabut larangan penggunaannya di Indonesia. Hal ini
berpotensi menjadi alat justifikasi bagi alat tangkap jaring lainnya yang level
selektifitasnya masih berada di atas pukat harimau (trawl) tadi. Selain itu, lemahnya
pengawasan di tingkat produksi alat tangkap hingga di tingkat pengguna menjadi faktor
lain tidak efektifnya kebijakan ini.
Kedua, tentang kebijakan diversifikasi alat tangkap. Secara empiris, disuatu wilayah
yang masih kaya dengan sumberdaya ikan cenderung nelayan hanya menggunakan satu
jenis alat tangkap saja. Misalnya di pulau Jinato Takabonerate yang masih kaya dengan
sumberdaya ikan tongkol dan tuna, maka hampir semua nelayan penangkap memiliki alat
tangkap yang sama untuk menangkap ikan target tersebut. Sebaliknya, di wilayah-wilayah
yang mulai terasa dampak over fishing, nelayan cenderung melakukan diversifikasi alat
tangkap, tujuannya untuk mendapatkan hasil tangkapan baru dikarenakan tangkapan
target utama mulai berkurang. Menurut Masyhuri, justru hal seperti ini sangat berbahaya

karena pada kenyataannya justru lebih memperparah kerusakan di tempat yang


sebelumnya sudah mengalami over eksploitasi. Kasus ini banyak dijumpai di perairan
sekitar kepulauan Spermonde.
Ketiga, tentang kebijakan pembentukan kawasan konservasi laut. Hal ini merupakan
penyikapan pemerintah dalam mengatasi semakin meluasnya kerusakan ekosistem perairan
yang berimplikasi pada menurunnya hasil tangkapan dan berkurangnya keragaman jenis
spesies yang pada gilirannya mengancam kestabilan sumberdaya. Pemerintah
mencanangkan hingga tahun 2020 Indonesia harus memiliki KKL seluas 20 juta ha. Pada
tahun 2010, Indonesia sudah memiliki KKL seluas 14.223.984 ha (Amrullah, 2010), jadi
masih ada kurang lebih 6 juta ha KKL yang akan dibentuk. Untuk mencapai terget
tersebut, Pemerintah pusat mendorong setiap daerah/kabupaten yang memiliki wilayah
perairan untuk membentuk KKL yang sifatnya otonom. Sebagai imbalannya pemerintah
pusat akan memberikan insentif secara berkala kepada daerah/kabupaten yang
mempunyai KKL untuk memelihara KKL tersebut.
Namun, pada kenyataannya, luas KKL memang bertambah secara kuantitatif, tapi tidak
disertai dengan penambahan sarana dan prasarana pengawasan serta SDM yang memadai.
Pemerintah mengakui kendala utama untuk melakukan penguatan disektor pengawasan
adalah besarnya biaya operasionalnya. Sehingga, jalan lain yang ditempuh adalah dengan
cara menerapkan pengelolaan KKL berbasis masyarakat (Community Based Management
CBM), dimana masyarakat dilibatkan mulai dari proses inisiasi hingga pengawasannya. Hal
ini diharapkan akan mampu menekan biaya operasional. Cara ini ternyata juga kurang
efektif, karena masyarakat yang dilibatkan memiliki ketergantungan hidup yang sangat
tinggi terhadap sumberdaya laut untuk memenuhi kebutuhan hidupnya berupa sandang,
pangan dan papan. Selama kemiskinan masih terjadi, fasilitas dan layanan kesehatan
masih langka dan mahal, bahan bakar masih sulit didapat dan mahal, maka alih-alih
melakukan pengawasan, justru masyarakat sendirilah yang banyak melakukan pelanggaran
terhadap zona larang tangkap (No Take Zone Area) dalam KKL tersebut.
Keempat, kebijakan pengendalian alat tangkap melalui mekanisme perizinan. Terbukti
dalam banyak survey dan Penelitian cara ini tidak membuahkan hasil yang maksimal.
Kendala utamanya adalah perilaku beberapa oknum aparat yang menyalahgunakan
wewenang. Aksi sogok menyogok antara pemilik kapal atau alat tangkap dengan pihak yang
berwenang menjadi rahasia umum dikalangan aparat dan masyarakat. Sehingga izin
penangkapan sangat mudah didapatkan meskipun pada kenyataanya alat tangkap yang
dioperasikan oleh nelayan tersebut bersifat destructive (Asti, 2010).
Kelima, Penempatan armada AL di wilayah perbatasan laut Indonesia kurang maksimal.
Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, jumlah armada yang sangat minim untuk
menjaga wilayah perairan Indonesia yang sangat luas menjadi satu persoalan mendasar
mengapa banyak KIA lolos masuk ke perairan Indonesia dengan mudahnya. Selain itu,
sarana dan prasarana bagi pengawasan tergolong sangat minim, seperti yang diakui oleh
Komandan Gugus Keamanan Laut Komando Armada RI Kawasan Barat Laksamana Pertama
Pranyoto yang mengungkapkan bahwa dalam sehari, kapal patroli TNI AL butuh minimal 5
ton solar untuk patroli di wilayah laut Natuna dengan jumlah armada 4 unit kapal. Kami
harus memastikan benar setiap informasi sebelum mengerahkan KRI. Kalau ternyata tidak
benar, hanya menghabiskan BBM yang terbatas, ujar Pranyoto.
Keenam, perangkat hukum yang disediakan untuk menjerat para pelaku masih terkesan
longgar dan memiliki banyak celah, sehingga sama sekali tidak memberikan efek jera.
Salah satu contoh, pada pasal 93 ayat 2 UU No. 45 tahun 2009 tentang Perikanan
disebutkan bahwa kegiatan illegal fishing mendapat sanksi pidana penjara paling lama 6
tahun atau denda paling banyak Rp. 20 Milliar rupiah. Sementara, kerugian negara akibat
kegiatanillegal fishing seperti yang dilaporkan terjadi di Malaku Tenggara saja mencapai
Rp. 31,1 trilliun per tahun (Rastra, 2008).
Contoh lain, pada pasal 85 UU No. 45 tahun 2009 tentang perikanan disebutkan : Setiap
orang yang dengan sengaja memiliki, menguasai, membawa, dan/atau menggunakan alat
penangkap ikan dan/atau alat bantu penangkapan ikan yang mengganggu dan merusak

keberlanjutan sumber daya ikan di kapal penangkap ikan di wilayah pengelolaan perikanan
Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud dalam Pasal 9 dipidana dengan pidana
penjara paling lama 5 (lima) tahun dan denda paling banyak Rp2.000.000.000,00 (dua
miliar rupiah). Peraturan ini dipakai untuk menjerat para pelaku destructive
fishing seperti pengguna bahan peledak dan bius, namun celahnya terbuka lebar pada 2
hal, yaitu (1) barang bukti harus ditemukan di atas perahu atau kapal dan (2) barang
buktinya harus dalam keadaan sudah terakit dalam wujud alat bantu penangkapan ikan.
Sehingga, meski diketahui suatu kapal melakukan operasi penangkapan ikan dengan
menggunakan bahan peledak, tapi bila diperiksa kapal tersebut dan tidak ditemukan alat
yang sudah terakit utuh sebagai sebuah bom ikan, melainkan masih dalam bentuk bahan
dasarnya yaitu berupa pupuk, botol dan sumbu secara terpisah, maka ia tidak dapat
dijerat dengan undang-undang ini.
http://wajah-bahariku.blogspot.co.id/2013/05/solusi-alternatif-mengatasiover_13.html

Overfishing Memiskinkan Nelayan

Overfishing (penangkap ikan berlebihan) merupakan salah satu penyebab kemiskinan nelayan. Oleh sebab
itu saatnya dilakukan pengaturan pembatasan penangkapan ikan agar ada waktu bagi biota laut untuk
pulih.
Hal itu diungkapkan Pigoselpi Anas dalam ujian terbuka doktor di Institut Pertanian Bogor (IPB) Jumat
(30/12) petang. Istri mantan Menteri Kelautan dan Perikanan Prof Dr Rokhmin Dahuri MSc ini berhasil
menjawab pertanyaan yang diajukan para penguji: Dr Ir Dedy H Sutisna MS, Dirjen Perikanan Tangkap
Kementrian Kelautan dan Perikanan dan Prof Dr Mulyono Baskoro Staf Pengajar Departemen Pemanfaatan
Sumberdaya Perairan Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan IPB pada ujian terbuka di Kampus IPB Bogor.
Sedang bertindak sebagai Komisi Pembimbing adalah Dr Ir Luky Adrianto sebagai ketua, Prof Dr Ir Ismudi
Muchsin dan Dr Arif Satria SP MSi sebagai anggota. Pada ujian itu perempuan kelahiran Payakumbuh,
Sumatera Barat 20 Februari 1960 ini, berhasil mempertahankan disertasi berjudul Studi Keterkaitan
Antara Sumberdaya Ikan dan Kemiskinan Nelayan sebagai Kebijakan Pengelolaan Wilayah Pesisir Kabupaten
Cirebon Provinsi Jawa Barat.

Seperti hasil penelitian saya, di Kabupaten Cirebon Jawa Barat, kemiskinan disebabkan faktor alamiah.
Kondisi sumber daya ikan sudah overfishing dan juga alat tangkap dari 13 alat tangkap yang digunakan para
nelayan Cirebon ada delapan alat tangkap yang sudah berlebih, tandas Epi, begitu ia akrab disapa.
Karena itu, ibu empat anak ini berpandangan agar Pemerintah Daerah Cirebon mengeluarkan pengaturan
penangkapkan ikan yang sudah overfishing. Selain itu ada dua alternatif yang diusulkan Epi. Bisa ditambah
armadanya, bisa juga ditambah tripnya. Maksud saya waktu penangkapan ikannya dapat diperlama,
ujarnya.

Dalam penelitiannya sejak Oktober 2010 hingga Maret 2011 terhadap kehidupan nelayan di Kabupaten
Cirebon Jawa Barat, Epi melihat bagaimana kateristik para nelayan di wilayah tersebut. Dalam penelitian
tersebut saya juga menemukan kebanyakan nelayan di Cirebon bersedia untuk melaut lebih dari satu hari.
Artinya, kalau pemerintah serius mengatasi kemiskinan ini, tentunya bisa memberikan bantuan kepada
nelayan di Cirebon berupa alat tangkap yang lebih canggih, yang bisa operasi lebih dari 12 mil laut lepas,
paparnya.

Hanya saja, imbuh Epi, pemberian alat tangkap yang canggih ini tidak hanya diberikan begitu saja tapi juga
harus ada pembekalan sumber daya manusianya dengan pelatihan, sehingga ilmu mereka bertambah.
Jangan sampai, pemerintah hanya memberikan alat tangkap canggih kemudian membiarkan nelayan
berjalan sendiri tanpa bimbingan ilmu dan teknologi, tandasnya mengingatkan.

Epi optimis, pemberian alat tangkap yang canggih ini bisa menjadi salah satu langkah untuk mengatasi
masalah kemiskinan di lingkungan nelayan. Dia berpandangan faktor lainnya yang menyebabkan
kemiskinan cukup banyak. Hanya saja usulannya tersebut bisa menjadi salah satu langkah dalam mengatasi
masalah kemiskinan di lingkungan nelayan di Kabupaten Cirebon.

Menjawab kenapa terjadi overfisihing, menurut dia, karena alat tangkapnya sangat banyak. Kita tahu,
laut itu merupakan open akses, punya semua orang. Semua orang bisa menangkap ikan. Saya pikir harus
ada ketegasan dari Pemerintah Daerah untuk membatasi penangkapan ikan di suatu daerah. Seperti yang
kita lihat di negara-negara maju, musim tangkap ikan diatur dengan begitu baiknya, sehingga tidak terjadi
overfishing. Kapan kita boleh menangkap ikan dan kapan kita tidak boleh menangkap ikan? Pembatasan ini
saya pikir harus tegas diatur Pemerintah Daerah. Dengan begini memberi waktu kepada biota yang di laut
untuk pulih, tandasnya.

Sedang mengenai alasan pemilihan tema, menurut Epi, kemiskinan nelayan menjadi isu yang tidak pernah
berhenti dari dulu hingga sekarang. Saya tertarik, apa sih sesungguhnya yang menjadi faktor penyebab
timbulnya kemiskinan di lingkungan nelayan? Apalagi kita tahu, negara maritim tapi nelayan kita miskin.
Potensi sumber daya alam sangat tinggi, tapi nelayan yang menggali potensi sumber daya alamnya tetap
miskin.

Ketua DPR RI Marzuki Alie yang mengikuti jalannya ujian terbuka sejak awal hingga akhir mengatakan,
supaya memberikan manfaat, siapa saja yang terkait dengan kemiskinan nelayan, diundang menghadiri
ujian terbuka doktor seperti ini. Saya sampaikan usulan supaya yang terkait dengan masalah kemiskinan
nelayan diundang untuk menghadiri ujian doktor terbuka seperti kali ini. Kenapa? Bisa saja dari hasil
penelitian ini bisa menjadi kebijakan dari apakah pemerintah pusat atau pemerintah daerah atau legislasi
dalam menyelesaikan udang-undang. Karena banyak sekali penelitian yang membutuhkan waktu lama dan
biaya cukup besar, selesai penelitian hanya masuk almari, tegasnya.

Sementara itu, salah seorang dosen pembimbing Dr Arif Satria SP, MSi menilai, penelitian yang dilakukan
Pigoselpi Anas sangat menarik. Ini menarik karena di penelitian ini menggabungkan antara bagaimana
sebenarnya kemiskinan dilihat dari kondisi sumber daya alamnya. dan itu yang belum ada. Selama ini
penelitian yang ada adalah masih penelitian persepsi. Kalau tadi kelihatan ternyata memang ikan yang
sudah overfishing bisa berpengaruh terhadap kondisi nelayan, jelasnya usai ujian terbuka.

Ia setuju perlunya yang terkait dengan nelayan diundang menghadiri ujian terbuka. Saya setuju. Apalagi
ini ujian terbuka, promosi. Nah, dalam ujian promosi ini mestinya steakholder dari kelautan datang
sehingga bisa menentukan kebijakan yang akan diambil. Kalau kita tahu ternyata faktor alam bisa
memengaruhi terhadap kemiskinan nelayan, salah satu solusinya alamnya harus dijaga, tandasnya.

Sayangnya, sambung Dekan Fakultas Ekologi Manusia IPB ini, selama ini yang diurus hanya uang. Kasih
kredit, kasih bantuan kapal dan lain sebagainya. Padahal, ikannya sudah semakin terkuras. Sumber daya
alam tidak pernah kita jaga. Menurut saya ini hasil penelitian yang sangat bagus, papar Arif.

Menurut Arif, seharusnya ada pembatasan dari pemerintah daerah sehingga tak terjadi overfishing.
Pengaturannya selama ini masih rendah. Tugas pemerintah adalah mengatur berapa jumlah kapal yang
boleh beroperasi, idealnya berapa? Kalau begitu tidak ada ijin baru? Tidak ada kapal baru. Solusi kedua
adalah mendorong nelayan untuk bisa melaut hingga di atas 12 mil dengan kapal yang lebih canggih. Itu
yang paling bagus, tandas Arif.(ris)

Anda mungkin juga menyukai