Anda di halaman 1dari 7

TENTANG RINDU

Bagi sebagian orang, hujan adalah suasana terkhusyuk dimana kenangan tiba-tiba
muncul dan mengondensasi rindu. Namun Aludra lebih memilih malam. Tak selamanya gelap
itu menakutkan bukan? Justru tanpa gelap mungkin Aludra tak pernah mengerti rasanya jatuh
cinta.

Dikelilingi temaram lampu selasar Bu Esther, Aludra merebah santai sambil mengulur
tangannya ke atas, mengusap langit. Ia rentangkan jemarinya di antara bintang-bintang yang
berkelip redup karena terpolusi lampu selasar.

“Canis Mayor.” Aludra mencoba mengurutkan susunan bintang-bintang di atasnya,


memastikan ingatannya tidak salah. Tersenyum ia kemudian. Wajahnya berbinar bahkan lebih
terang daripada penguasa konstelasi yang baru diucapnya, Sirius.

Langit malam ini membuat sekelebat memori melintas di pikiran Aludra. Masih jelas
tergambar dirinya kala itu sedang bergulat dengan angka-angka yang satuannya bukan lagi
kilometer. Keringat dingin membuat dahi dan lehernya terasa becek, walaupun ia dikelilingi
empat AC sekaligus. Mengira massa bintang di 4,6 tahun cahaya bukan hal sepele rupanya.
Apalagi ia masih berpijak di Bumi. Hanya bisa bergantung pada kalkulator dan hafalan
rumus-rumus yang samar di ingatan. Hingga akhirnya waktu tiba-tiba habis.

◦◦◦

Lusa sebelum Rabu kedua di bulan Mei. Tepat ketika Orion singgah di titik kulminasi
atasnya.

Khad tiba-tiba masuk ke laboratorium fisika dengan langkah ganas. Terengah dan
peluhnya sampai basah terjiplak di seragam putihnya. Rautnya seperti mengatakan harga
dirinya baru saja terusik.

Sesuatu terasa berdesir di dadaku. Ada yang mengganjal benakku. Aku jadi teringat
sesuatu demi melihat Khad yang kini nampak gundah.

Aku bertahan hingga detik ini karena Khad. Bukan karena aku menyukainya. Malah
karena aku pernah membencinya. Sangat benci hingga egoku keluar dan menantang diriku
untuk mengalahkan si pembunuh nyali itu. Tidak mudah mengalahkan anak jenius model
Khad. Pandai namun pelit dan sinis. Terlebih pada yang ia anggap sebagai rival.
Berbeda dengan Khad, diriku hanya bermodal satu bagian otak dari sepuluh yang ada.
Sisanya seperti yang dimafhum, bermodal perasaan. Tapi bagaimanapun, aku selalu berusaha
mengelola agar perasaanku tepat sasaran dalam membidik persamaan untuk memecahkan
misteri alam semesta.

Sudah 2 tahun aku berkecimpung di dunia yang hanya terjamah oleh gelap malam. Dan
disini lah aku sekarang. Berjuang masih dalam satu ruangan yang sama dengan Khad. Namun
kini kulihat apiku meredup, bersimbah resah.

“Ada Apa? Apa yang salah?” Tanyaku pada Khad. Terkatup bibirnya. Padahal biasanya
dia pandai sekali bicara, membuat orang lain jengah karena kesinisannya.

Khad hanya menghempas dirinya ke kursi, abai dengan pertanyaanku. Tangannya


kemudian meraih kalkulator dan menghitung entah apa. Ia tekan semua tombol di kalkukator
dengan keras hingga mau copot nampaknya. Seperempat menit berlalu dan kalkulator malang
itu dibantingnya sembarang. Pikiran Khad dicengkeram amarah meluap-luap.

“Sialan!” Khad mengumpat dengan suara tertahan. Rasa hendak berteriak namun
beruntung ia masih ingat, ini sekolah bukan kebun binatang. “Guru itu bilang anak-anak
macam kita tak punya masa depan.”

“Apa? Siapa maksudmu?”

“Memangnya penting kau tahu siapa? Jangan hanya karena penasaran lantas kau
bertanya siapa. Aku tahu anak perempuan suka sekali bergosip.”

Nah. Inilah Khad. Terkadang masih saja tersisa perangai menyebalkan dirinya ketika
berbicara denganku. Meski aku tahu, kini Khad lebih bisa menerima kehadiran diriku sebagai
kawan, bukan saingan seperti saat awal jumpa kami. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat
untuk belajar maklum akan perangai Khad. Setidaknya aku rasa begitu.

“Jelaskan saja padaku. Ada apa?” Kuulang lagi pertanyaan awal.

Satu hembusan nafas kemudian, Khad mengalah. “Dia bilang anak-anak olimpiade
macam kita tak punya masa depan. Kita hanya sibuk berkutat dengan angka, hanya belajar
teori yang tidak berguna. Cih.. kuno sekali pemikirannya.”

“Kenapa dia bilang begitu?”


“Kita disuruhnya jadi wirausahawan saja. Teori-teori ini tak akan memberi kita
makan. Dia bermadzhab hidup enak itu dengan jadi pedagang sukses atau paling tidak PNS.
Ilmuwan bakal mati kelaparan.”

Tercekat batang tenggorokku. Kata-kata itu hampir satu frekuensi dengan apa yang
orang tuaku ucapkan. Meski kepada anak sendiri, diksinya akan dipilih sehalus mungkin.
Tetap saja, kata-kata seperti itu tidak hanya menggores harga diriku sebagai pejuang medali,
tapi juga melukai mimpiku menenteng seember penuh pasir bulan.

Aku hanya diam. Khad pun terdiam. Hening menyela pikiran kami masing-masing.

“Tidak bisa. Kita harus buktikan pemikirannya salah! Kita mesti dapat perak nasional,
kalau perlu emas!.” Khad membetulkan posisi duduk dan mulai menggempur lagi angka-
angka bersatuan parsec itu. Kali ini penuh nafsu.

Aku masih berdiri di tempat, mematung tanpa kuasa menggerakkan bahkan seujung
jariku. Padahal aku sangat ingin meniru Khad. Duduk dan memecahkan soal demi emas
nasional. Namun rasanya aku sudah kehilangan keyakinan.

Aku tidak yakin bisa melawan takdir jika restu orang tua tidak aku genggam—
walaupun selama ini aku nekat tetap menerjang. Dan hari ini ketidak-yakinan itu semakin
berlipat. Meskipun kontra di sisi lainku, aku tetap ingin mencoba. Aku merasa tak punya
kecintaan lain selain pada Bimasakti dan alam semesta.

“Khad.”

“Apa?”

“Aku masih ingin jadi astronom.”

Khad menatapku heran. Kenapa pula anak satu ini mendadak bergumam tak jelas,
kurang lebih itu yang dikatakan sorot matanya.

“Lupakan. Ayo belajar.”

Kugeser tempat duduk berhadapan dengan Khad. Aku menatap Khad dan buku soal di
hadapannya secara bergantian. Cekatan sekali jemari Khad menekan-nekan kalkulator. Ia
tuliskan hasil hitungannya di selembar kertas buram bekas ujian semester. Sesekali
dihapusnya hasil perhitungan itu, masih dengan nafsu hingga terobek sedikit pinggirnya tapi
Khad tak hiraukan.
Api dalam diri Khad sudah mulai menyala lagi. Tapi kini justru aku yang meragu. Tak
dapat aku rasakan percik-percik api semangat Khad lagi meski sedikit. Ragu itu
menyelubungi pikiranku begitu pekat. Macam debu galaksi yang menghalangi pandangan
menuju inti Bimasakti.

Aku takut.

“Khad, bagaimana jika aku gagal?”

“Pengecut..”

Aku menghela nafas berat, hampir putus asa. Percuma mengatakan hal seperti itu
pada Khad. Kenapa dia pelit sekali berbagi kosakata manis? Semua yang keluar dari
mulutnya hanya masam atau pahit saja. Aku dongkol sendiri.

“..buat apa takut?”

Aku terkesiap. Khad tahu-tahu sudah menyingkirkan buku dan segala perangkat
hitungnya. Ia beralih menatapku lekat-lekat. Tajam sorotnya bahkan sampai terasa menembus
kepalaku.

“Dengar! Kau masih tidak yakin namamu juga akan tercetak di surat pemanggilan
peserta besok? Padahal namamu bahkan sudah tercatat di almanak astronomi. Tiap malam
ada di samping lajur putih Bimasakti.”

“Namaku?”

“Aludra, ekor si Anjing Besar.”

Aku terdiam sejenak.

“Kau katai aku anjing?”

Kini Khad yang terdiam masygul karena aku yang tak kunjung mengerti arah
bicaranya.

Dia lekas membuka bukunya kembali dan mencari-cari satu halaman dengan gambar
peta langit selatan. Telunjuknya lalu diletakkan persis di salah satu titik putih kecil pada
kertas yang berlatar hitam, representasi langit malam. “Ini, ekor anjing ini.”
Aku ikut mendekatkan kepalaku ke buku itu. Mencari-cari ekor mana yang dimaksud
oleh Khad. Hingga aku tersadar ketika aku merasa tak asing dengan rasi yang sedang
ditunjuk Khad. Aku tergelak pelan kemudian. “Canis Mayor?”

“Nah! Tepat. Kaulah si Eta Canis Mayoris ini. Kau Aludra.”

Senyumku makin mengembang. Mungkin sedikit terlalu lebar hingga dua gigi seriku
mengintip ingin tahu apa yang membuatku begitu tergelitik. “Bagaimana bisa kau terpikir
kata-kata seperti itu, Khad?”

“Seperti apa?”

“Kukira kau selama ini hanya memikirkan dirimu sendiri agar bisa lolos nasional. Tak
sangka kau bisa juga bermulut manis seperti itu.”

“Hmm benar juga. Darimana aku bisa terpikir kalimat itu agaknya?”

Aku dan Khad saling menatap. Cukup lama seolah kami sedang bertukar pikiran
masing-masing lewat tatapan itu. Dan pada akhirnya kami terbahak bersamaan.

Ya. Inilah Khad, musuh terberat sekaligus sahabat terbaik di masa perjuangan kala itu.

◦◦◦

Rabu, hari eksekusi.

Aku menangkupkan kedua tanganku di depan wajah. Berusaha untuk fokus dan
menjaga agar teori-teori yang ada di kepalaku tidak menguap karena aku mulai merasa gerah.
Keringat dingin terasa membasahi keningku. Bukan karena ruangan ini memang panas, tapi
suasananya membuat intensitas panikku meningkat.

Khad, di sisi lain ruang, tekun sekali berdoa. Semoga Tuhan mengabulkan apapun
pintanya saat ini.

Tepat ketika jarum panjang menunjuk angka 8 pengawas mempersilahkan kami, para
peserta, membuka lembar soal dan mencoba menjawabnya. Aku berusaha semampu otakku
mengambil asumsi-asumsi untuk memecahkan pertanyaan yang tersaji di hadapanku. Lembar
pertama, kedua, ketiga dan sebaliknya, aku tak terlalu yakin hitunganku presisi tapi
setidaknya angka yang aku tulis pastilah mendekati hasil yang dimau pembuat soal.

Tapi...
Tiba-tiba aku terhenti di soal lembar kedua belas. Aku tak mengerti jalan
pemecahannya. Ada enam lembar lagi tersisa. Tanpa sadar, kepanikanku semakin tak
terkendali oleh alam bawah sadarku. Hingga terlepaslah satu per satu patri-patri rumus yang
ada di otakku.

Aku menoleh pada Khad di pojok belakang. Nampak ia ketukkan pensilnya ke meja
sembari memelototi lembar soal di hadapannya. Keras sekali ia berpikir. Mungkin jika
kepalanya adalah tungku, asap dari kepalanya sudah hampir memenuhi separuh ruangan ini.

Aku menggigit bibir bawahku. Kembali kupaksa otakku mencari rumus yang
sekarang sedang terselip di suatu tempat. Kenapa tak kunjung datang? Padahal waktu
semakin mendekati purna.

Jarum panjang di jam dinding menunjukkan 10 menit lagi menuju pukul 11.
Kuputuskan untuk menulis apa-apa saja yang aku pikir logis untuk dijadikan jawaban pada
lembar soal yang ada. Hingga tanpa aku sadar 10 menit itu berakhir dengan cepat, enggan
menungguku menulis jawaban lebih panjang lagi. Aku mendesis keras dan melempar
pensilku kesal.

Tuhan, sampaikan permintaan maafku pada Khad.

◦◦◦

“Al!” Suara lantang itu memanggil untuk yang kesekian kalinya. “Aludra, bangun!
Jangan tidur di tanah! Cepat kesini!”

Aludra pelan membuka matanya. Sayup ia dengar suara orang-orang di selasar tengah
membicarakan soal pentas drama yang akan berlangsung minggu depan. Satu diantaranya
terdengar seperti suara orang yang baru saja memanggilnya, Kak Nath.

Tanpa menjawab apapun, Aludra kemudian menghampiri gerombolan anak-anak di


selasar. “Kita main lagi lepas ini?” Tanya Aludra pada Kak Nath yang disejajarinya.

“Iya. Kita main satu adegan terakhir lalu kita latihan lagi besok.” Kak Nath menepuk
pundak Aludra pelan. “Semangat!”

Anggukan Aludra mengiringi Kak Nath dan anak-anak lain berdiri, bersiap
melakukan adegan terakhir dalam drama.
Aludra tidak lagi bersua dengan angka-angka yang hampir di luar nalar seperti dulu.
Seni peran menjadi jalan baru yang ingin coba ia tempuh kali ini. Berharap akan mendistraksi
rasa rindunya bercengkerama dengan alam semesta lewat persamaan yang bahkan ia sendiri
terkadang tidak paham apa maksudnya. Namun dari sudut pandang manapun Aludra hendak
menyangkal, cintanya pada Bimasakti dan alam semesta masih belum pudar.[]

Anda mungkin juga menyukai