10 MARET 2021
A) DATA MAHASISWA
B) SOAL
1. Jelaskan dan bandingkan posisi klasifikasi pemanfaatan sumber daya perikanan seperti yang
dijelaskan oleh Copes (1992), dengan sektor ekonomi sumber daya alam lainnya seperti hutan,
pertanian, minerba, dan lain-lain.
2. Salah satu tipe ekonomi perikanan adalah subsisten dan perikanan rekreasi. Jelaskan
bagaimana perbedaan kedua tipe tersebut, dan perkembangan baik aktivitasnya, dampak
ekonominya dan juga pengaturannya baik di Indonesia, dan di negara-negara maju.
3. Jelaskan kondisi pasar perikanan di Indonesia, apakah sudah berada dalam kondisi pasar
bersaing sempurna? Ataukan mengalami kegagalan pasar? Jelaskan ciri-cirinya beserta contoh
kasusnya di Indonesia.
4. Apa yang dimaksud dengan biaya sosial dalam perikanan? Jelaskan dalam konteks diagram
copes maupun perikanan secara umum.
5. Apakah perikanan yang diatur dalam kondisi open access akan memberikan rente ekonomi baik
untuk konsumen, produsen dan pemerintah secara berkelanjutan? Uraikan dan jelaskan secara
logik.
C) JAWABAN
1. (JAWABAN SOAL NO 1 ) Untuk
dapat menjelaskan pembagian
klasifikasi pemanfaatan sumber
daya perikanan, salah satunya kita
dapat memakai konsep klasifikasi
Copes. Copes menyatakan suatu
konsep mengenai perikanan yang
dibagi menjadi beberapa kategori &
saling terkait yaitu, berdasarkan
cara mengeksploitasinya, mobilitas
sumberdaya serta struktur hak
kepemilikan sumberdaya. Sehingga
nanti kita dapat
mengklasifikasikannya menjadi 2
sistem perikanan yaitu perikanan
tangkap (fishing) dan perikanan
budidaya (aquaculture). (Copes, 1992 dalam (Fauzi, 2010)
Dalam mengklasifikasikan sistem pemanfaatan Sumberdaya Perikanan, kita harus melihat
beberapa kategori yang membentuk klasifikasi perikanan tersebut berdasarkan konsep yang
Copes sampaikan, jika saya uraikan lebih lanjut maka :
I. Klasifikasi sistem perikanan tangkap (fishing), proses eksploitasinya dapat dengan cara
berburu pada sumberdaya yang bersifat selalu berpindah-pindah tempat seperti pada ikan
pelagis dan demersal (hunting fugitive), kemudian perikanan tangkap (fishing) juga bisa
dilakukan dengan cara mengumpulkan sumberdaya perikanan yang bersifat menetap
seperti pada ikan karang, kepiting dan kerang-kerangan (gathering sedentary). Secara
umum perikanan tangkap itu dapat bersifat common property, meskipun ada beberapa
yang melakukan penangkapan (fishing) pada area private property atau milik Kawasan
daerah yang diolah secara pribadi / privat.
II. Sedangkan klasifikasi perikanan budidaya (aquaculture), proses eksploitasinya dilakukan
dengan cara memproduksi pembenihan (ikan) hingga pemanenan komoditas ikan tertentu
dalam lingkungan/Kawasan daerah terkontrol (farming contained) yang diolah secara
pribadi atau umumnya selalu bersifat private property.
2. (JAWABAN SOAL NO 2) Definisi dan Perbedaan Perikanan Subsisten dan Perikanan Rekreasi
a) Perikanan Subsisten adalah suatu usaha kegiatan ekonomi (perikanan) untuk menangkap
ikan yang dilakukan secara tradisional oleh masyarakat pedesaan dalam rangka memenuhi
kebutuhan kehidupan ekonomi keluarga sehari-hari (Suadi, 2006). Secara singkat terdapat
3 ciri utama dari jenis perikanan subsisten ini diantaranya yaitu :
I. Menggunakan alat atau teknologi yang sangat tradisional (sederhana) seperti perahu,
batang pancing, tombak, busur dan jaring lempar. (Imron, 2003)
II. Tidak memiliki akses pasar yang cukup, sehingga hasil tangkapan cenderung
dikonsumsi sendiri untuk kebutuhan pangan keluarga, atau dijual dengan harga
murah tanpa memperhitungkan untung dan rugi.
III. Biasanya aktivitas ini terjadi pada lingkungan daerah yang terpencil, atau jauh dari
jangkauan teknologi modern dan masyarakat nya masih memegang kepercayaan
hukum adat (masyarakat pedesaan).
Contoh daerah di Indonesia yang masih menerapkan aktivitas perikanan subsisten ini
yaitu berdasarkan data serta penelitian yang dilakukan oleh Fanesa Fargoneli (2014)
dalam jurnalnya menyebutkan bahwa masyarakat di daerah pesisir Kabupaten
Maba, Halmahera Timur, masih menerapkan perikanan subsisten yang
masyarakatnya tidak cukup mempunyai modal (miskin) serta minimmnya
pengetahuan kognitif mengenai pengelolaan sumber daya perikanan yang efisien dan
berkelanjutan (Fanesa, 2014). Dampak ekonomi dari kegiatan perikanan subsisten ini
hampir tidak terlalu berpengaruh terhadap nilai pasar suatu komoditas perikanan, hal
ini dikarenakan para nelayan ini tidak terlalu mementingkan nilai komersil dari hasil
tangkapannya.
b) Sedangkan Perikanan Rekreasi (sport fishers) adalah suatu kegiatan menangkap ikan
dengan prinsip atau tujuan untuk kesenangan (enjoyment) dan sebagai bentuk olahraga
orang-orang tertentu, tanpa memperdulikan aspek ekonomi secara komersil (Lackey, 2005
dalam Suadi, 2006)
ciri utama dari jenis perikanan subsisten ini diantaranya yaitu :
I. Dapat menggunakan perahu tradisional ataupun kapal pribadi (yacht), teknologi atau
alat tangkap disesuaikan dengan kebutuhan para penghobies atau orang yang ingin
menangkap ikan tertentu.
II. Tidak memerlukan aktifitas ekonomi pasar, karena tujuan utamanya adalah kepuasan
atau esenangan dan olahraga.
III. Biasanya melakukan fishing di berbagai macam daerah perairan, tergantung jenis
ikan apa yang ingin diburu, dan tidak terikat oleh peraturan atau kebijakan organisasi
tertentu, kecuali dapat menyesuaikan dengan kebijakan regulasi daerah setempat.
Pada perikanan rekreasi dampak ekonomi nya tergolong masih kecil, hal ini dikarenakan
kegiatan ini juga sama tidak terlalu mementingkan aspek komersil, sehingga ikan yang
didapat terkadang akan dilepas setelah berhasil ditangkap, namun masih memiliki dampak
hal ini dikarenakan belum adanya peraturan yang menegaskan mengenai regulasi atau
pengaturan nilai retribusi dari kegiatan perikanan rekreasi ini, sehingga dalam kasus ini
pemerintah dan masyarakat sekitar mengalami kerugian stok dan materil secara tidak
langsung.
3. (JAWABAN SOAL NO 3) Kondisi Pasar Perikanan di Indonesia, ciri-cirinya dan contoh kasus di
Indonesia
Penjelasan mengenai kondisi pasar perikanan di Indonesia dapat dipengaruhi oleh
beberapa aspek seperti basis sumberdaya, industri perikanan primer dan kebijakan
pengolahan perdagangan, namun yang paling penting dalam perikanan adalah bagaimana
ketersedian basis sumber daya nya (resource base), dimana kondisi pasar di pengaruhi oleh
ketersediaan stok (input) dan hasil yang didapatkannya (output) dalam proses produksi.
Pemanfataan sumber daya perikanan bersifat sangat reaktif terhadap eksploitasi dan kondisi
alam, sehingga dapat menentukan seberapa banyak jumlah ikan yang bisa ditangkap.
Hal ini juga didukung karena sifat common property perikanan tangkap, sehingga SDA
ikan dapat dikatakan sebagai ferae naturae. Ferae nature adalah kondisi dimana hewan atau
ikan tidak ada yang berhak mengklaim kepemilikannya dan kepemilikan hanya berlaku ketika
seseorang berhasil menangkapnya. Dalam konteks ekonomi perikanan sumberdaya diistilahkan
sebagai capture resource atau sumberdaya tangkap. Oleh karena sifat dari ferae naturae inilah
sehingga pasar perikanan mengalami gejala apa yang disebut sebagai kegagalan pasar
(market failure) karena tidak ada kepemilikan resource perikanan yang jelas dan menyebabkan
suatu karakteristik eksternalitas. Kondisi dimana sering terjadinya biaya eksternalitas diluar
biaya pribadi/privat mengakibatkan output tidak akan menjadi efisien sehingga pasar tidak
dapat bersaing sempurna.
Sifat pasar perikanan cenderung tidak dapat memenuhi persyaratan dari terbentuknya
perfect market sehingga pasar perikanan cenderung mengarah pada kondisi kegagalan pasar
atau market failure (Mansjur, 2009). Ciri-ciri dari kegagalan pasar adalah sebagai berikut :
a) Jumlah hasil penjual dan pembeli komoditas perikanan tidak seimbang, seringkali kita
menemukan kondisi pada hasil tangkapan yang dijual tidak dapat kebutuhan stok pasar,
atau bisa juga dikarenakan penjualan ikan banyak namun minat pembeli dari masyarakat
sedikit pada suatu komoditas ikan tertentu. Sehingga Kegagalan pasar terjadi apabila
mekanisme pasar tidak dapat berfungsi secara efisien dalam mengalokasikan sumber-
sumber ekonomi yang ada dalam masyarakat. Dalam hal ini, mekanisme pasar akan
menyebabkan barang yang dihasilkan menjadi terlalu banyak atau terlalu sedikit dan
dalam hal yang sangat ekstrim kegagalan pasar akan menyebabkan pasar tidak terjadi
sehingga barang dan jasa tertentu tidak dihasilkan oleh pasar tersebut.
b) Barang (ikan) atau jasa tidak bersifat homogen melainkan stok ikan bersifat mudah rusak
atau Perishable (Poernomo, 2002), dalam perfect market seharusnya konsumen
menganggap bahwa barang yang dijual itu sama mutunya dengan barang lainnya, sehingga
konsumen tidak dapat membedakan antara barang yang satu dengan yang lainnya
(contohnya : beras, kayu, besi). Namun, pada pasar perikanan terdapat perbedaan yaitu
sifat produk ikan sangat bervariatif kualitas produknya dan mudah mengalami kerusakan
kualitas tergantung dari bagaimana ikan ditanganinya, sehingga harga ikan pun antara satu
penjual dengan penjual lainnya menjadi bervariasi (tidak pasti) tergantung dari kategori
kualitas barang yang dijual.
c) Ketidakpastian pembeli dan penjual yang tidak mengetahui keadaan pasar sehingga
penyampaian informasi pasar tidak tersebar menyeluruh, bagi pembeli informasi barang
yang dijual sangat penting untuk mengetahui harga tetap yang berlaku, sedangkan bagi
penjual informasi kondisi pasar dapat membantu perubahan harga yang berlaku atau
dapat merubah sesuai dengan kondisi pasar.
d) Terdapat biaya (Transaction cost) diluar biaya produksi normal
transaksi
e) Incresing return to scale, semakin besar profit maka semakin besar usaha dimana nantinya
usaha harus berasal dari satu sumber (monopolistic) contohnya adalah penyedia bahan
bakar solar atau modal lainnya. Sehingga input dari satu sumber biasanya di jual untuk satu
sumber.
Contoh kasusnya adalah biasanya terjadi pada nelayan-nelayan tradisional atau nelayan
daerah pesisir yang jalur distribusinya langsung turun ke pasar, namun harus melalui beberapa
rantai distribusi. Contoh lainnya adalah Distribusi komoditas gurita (Octopus flower) di pasar
antar pulau yang dikelola oleh PT. Kelola Mina Laut Unit Kendari (Aminah et al., 2016)
Sumber gambar :
(Copes, 1986 dalam Zuzy A,
2021)
Fokus penjelasannya yang akan dibahas adalah bagaimana cara Copes mendefinisikan Biaya
Sosial sebagai biaya yang tersusun atas beberapa komponen. Komponen biaya tersebut
diantaranya yaitu sebagai berikut :
a) Biaya Proses Penangkapan
- Biaya upah normal nelayan (normal wages)
- Biaya utama pengadaan alat tangkap, kapal dan perlengkapan lainnya.
- Biaya operasi termasuk depresiasi (biaya perbaikan alat, kapal, dll.)
b) Biaya pengelolaan yang dikeluarkan oleh pemerintah (Biaya kebijakan lainnya) per tahun
pada daerah kawasan tertentu.
Biaya sosial dalam diagram Copes ini menggambarkan bahwa biaya sosial dalam
perikanan terjadi karena faktor produksi seperti tenaga kerja, alat penangkapan, depresiasi
yang dapat terjadi sewaktu-waktu dan biaya kebijakan pengelolaan yang ditetapkan oleh
pemerintah di suatu daerah tertentu. Pada dasarnya Copes mencoba untuk menghubungkan
bahwa biaya sosial yang sangat erat kaitannya dengan biaya faktor produksi (tenaga kerja, alat,
dll) pada kegiatan ekonomi perikanan, dimana biaya sosial tersebut digunakan agar dapat
menghasilkan suatu manfaat sosial (penerimaan rente dan surplus) sehingga dapat diukur nilai
utilitas tangkapannya (Utililty Value).
5. (Jawaban Soal No 5) Pemanfaatan sumber daya perikanan secara open access tidak akan
memberikan rente ekonomi yang baik (tidak berkelanjutan) pada berbagai sisi
stakeholder yaitu Konsumen, Produsen maupun pemerintah.
Akibat dari Open access pada perikanan Indonesia, khususnya untuk kegiatan perikanan
tangkap akan kehilangan (diabaikan) kontrol terhadap input ikan yang akan diekspolitasi
dengan kata lain setiap orang dapat memanen sumber daya tersebut (Clark, 1990 dalam
Kusumastanto, 2003). Sehingga tidaklah mengherankan jika kondisi perairan darat maupun
perairan laut mengalami degradasi dari waktu ke waktu dan juga usaha yang terkait
dengannya menjadi tidak optimal dan tidak berkelanjutan. Pendekatan konsep open access ini
menimbulkan setiap pelaku berusaha mengejar rente setinggi-tingginya sampai pada tingkat
rente tersebut habis dengan sendirinya (rente=0), tanpa mempedulikan ancaman terhadap
kelestarian sumberdaya nya,
sehingga produktivitas stok ikan akan menurun bahkan dapat menghilang pada daerah perairan
tersebut.
Meskipun jumlah effort yang dihasilkan lebih besar dibandingkan dengan kondisi pemodelan
pemanfaatan SDA seperti MSY (Maximum Suistanable Yield) & MEY (Maximum Economic Yield),
karena sifat perikanan Open Access yang free entry (bebas masuk) bagi siapa saja untuk
mendapatkan rente dalam pemanfaatan sumberdaya perikanan, namun tetap dapat
berdampak juga di masa depan bagi keseimbangan bioekonomi perikanan suatu daerah.
Bagi Pelaku perikanan (nelayan) jika sifat open access ini masih terus berlanjut tanpa adanya
tindak lanjut kebijakan pemerintah yang mengawasi jumlah output (ikan) yang ditangkap maka
lama-kelamaan nelayan akan dirugikan dengan sendirinya. Menurut Fauzi dan Anna (2005)
menyatakan bahwa keseimbangan Open Access akan terjadi jika seluruh rente ekonomi telah
terkuras habis (Total cost = Total revenue) sehingga tidak ada lagi insentif, pelaku perikanan
hanya akan menerima biaya oppurtinitasnya saja dan rente ekonomi sumberdaya tidak lagi
menghasilkan profit. Kemudian dampak lebih lanjut adalah jika sudah terjadi kondisi dimana
TC/Total Cost yang dikeluarkan oleh para nelayan lebih tinggi dari TR/Total Revenue (TC>TR),
maka para nelayan akan mengalami kerugian dan memilih keluar dari usaha pemanfaatan
sumberdaya perikanan, sebaliknya jika TC/Total Revenue yang dihasilkan para nelayan lebih
besar dari TC/Total Cost yang dikeluarkan (TR>TC), maka akan lebih banyak lagi nelayan yang
tertarik memanfaatkan sumberdaya perikanan sehingga rente akan terkuras habis. Jadi hanya
pada titik keseimbangan tercapai dimana (TC=TR) lah maka proses keluar (exit) dan masuk
(entry) tidak akan terjadi meskipun effort yang didapat kurang maksimal.
Kemudian dampaknya bagi konsumen (masyarakat) akan terasa ketika menurunnya kualitas
perairan darat maupun lautan akibat penggunaan input baik budidaya maupun perikanan
tangkap yang berlebihan dan dalam jangka Panjang Karena sifat open accesss yang tidak
dikontrol. Hal tersebut tentu akan berdampak pada situasi semakin menurunnya produktivitas
hasil perikanan budidaya maupun tangkap, setelah itu minat masyarakat (konsumen) dan rente
ekonomi konsumen akan berkurang pada hasil perikanan, dikarenakan sumber daya yang
langka sedangkan permintaan konsumsi produk ikan meningkat, tanpa diimbangi dengan
pasokan hasil stok ikan yang sesuai, akan mempengaruhi nilai variabel harga yang berlaku di
pasar (harga ikan menjadi mahal). Kemudian pada masyarakat yang fungsinya sebagai produsen
(nelayan) sekaligus konsumen itu sendiri juga akan terkena dampaknya dengan berkurangnya
daerah tangkapan dan hilangnya sumber mata pencaharian mereka.
Aminah, S., Ola, L. O. La, & Lawelle, dan S. A. (2016). ANALISIS KEGAGALAN PASAR
KOMODITI IKAN DI PASAR ANTAR PULAU (STUDI KASUS: DI PT. KELOLA MINA LAUT
UNIT KENDARI). Jurnal Sosial Ekonomi Perikanan FPIK UHO, 1(1), 3–10.
Fauzy, A. (2010). Ekonomi Perikanan Teori, Kebijakan, dan Pengelolaan. PT Gramedia
Pustaka Utama.
Fauzy A, S. A. (2005). Pemodelan Sumberdaya Perikanan dan Kelautan untuk Analisis
Kebijakan. PT Gramedia Pustaka Utama.
Hempel G, P. D. (n.d.). Fisheries and Fisheries Science in Their Search for Sustainability.
Gramedia Pustaka Utama.
Imron. (2003). Pengembangan Ekonomi Nelayan dan Sistem Sosial Budaya. PT Gramedia
Jakarta.
Mansjur, D. E. (2009). Alternatif Kebijakan Ekonomi Publik Melalui Role Of Government
Terhadap Terjadinya Kegagalan Pasar. Jurnal Ekonomi Dan Bisnis, 2(1), 19.
Poernomo, H. S. (2002). Teknologi Pengolahan Ikan (Departemen & K. dan Perikanan
(eds.)). Pusat Pendidikan dan Pelatihan Perikanan.
Prof. Dr. Zuzy Anna. (2021). Ekonomi Perikanan (Lecuture Note 5 : Aspek Manfaat dan
Biaya). PPT Pembelajaran Ekonomi Sumber Daya Perikanan.
Suadi, J. W. (2006). Pengelolaan Sumberdaya Perikanan Laut, Gajah. Mada University
Press, Yogyakarta.