Anda di halaman 1dari 20

MAKALAH REVIEW

RESTORASI GAMBUT DAN LAHAN BASAH


(TKL-8801)
“ATURAN YANG DIGUNAKAN DAN INTERAKSI LEMBAGA
DALAM KOMUNITAS BERBASIS PROGRAM RESTORASI
GAMBUT DI SEMENANJUNG MALAYSIA”

DISUSUN OLEH :
Nama : Afifah Nadia Azahri
NIM : D1051191081

DOSEN PENGAMPU :
Jumiati, S.Si., M.Si.
NIP. -

JURUSAN TEKNIK LINGKUNGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS TANJUNGPURA
PONTIANAK
2022
KATA PENGANTAR

Alhamdulillah, puji dan syukur saya panjatkan kehadirat Allah SWT atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya saya dapat menyelesaikan penulisan makalah
berjudul “Aturan yang Digunakan dan Interaksi Lembaga dalam Komunitas
Berbasis Program Restorasi Gambut di Semenanjung Malaysia” ini dengan baik
dan tepat waktu. Saya selaku penulis berharap makalah ini dapat menambah
pengetahuan dan pengalaman bagi pembaca tentang aturan yang berlaku dan
peran pihak pemerintah dalam melaksanakan program restorasi gambut
berkelanjutan.
Dalam kesempatan ini, saya mengucapkan terima kasih kepada semua
pihak yang sudah memberikan bantuan berupa semangat, motivasi hingga
bimbingan dalam pembuatan tugas makalah ini. Kepada dosen pembimbing saya
Ibu Jumiati, S.Si., M.Si., dan juga kepada teman-teman seperjuangan yang
membantu saya dalam berbagai hal. Saya menyadari bahwa penulisan makalah ini
masih banyak kekurangan, maka saya mengharapkan saran dan kritik yang
bersifat positif dan membangun guna menyempurnakan penulisan makalah ini
maupun makalah selanjutnya.
Demikian makalah ini saya buat, apabila terdapat kesalahan dalam
penulisan ataupun adanya ketidaksesuaian materi yang saya angkat pada makalah
ini, saya mohon maaf sebesar-besarnya.

Pontianak, 25 Februari 2022


Penulis

Afifah Nadia Azhari


DAFTAR ISI
DAFTAR TABEL
DAFTAR GAMBAR
BAB I

PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang

Hutan rawa gambut atau yang dieknal juga dengan Peatland Swamp Forest
(PSF) menghasilkan banyak fungsi dan manfaat yang penting, baik bagi
lingkungan maupun manusia. Hutan-hutan ini memiliki fungsi ekologis yang
penting, dari penyimpanan air dan pengaturan aliran, penyerapan dan
penyimpanan karbon, dukungan mata pencaharian bagi masyarakat lokal serta
habitat banyak spesies endemik yang paling langka sekalipun. Terlepas dari
signifikasi ekologi, sosial-ekonomi dan iklimnya yang tinggi, penipisan hutan
rawa gambut tropis terus berlanjut di seluruh dunia pada tingkat yang
mengkhawatirkan.

Selama 25 tahun terakhir Semenanjung Malaysia, Sumatera dan


Kalimantan telah kehilangan sekitar 2/3 hutan rawa gambut mereka sebagai akibat
dari penebangan liar, pembuatan drainase, kebakaran dan transformasi lahan
menjadi pertanian, industri pulp dan minyak kelapa sawit. Sebuah studi
menunjukkan bahwa deforstasi, konservasi dan degradasi hutan rawa gambut
menimbulkan ancaman bagi kondisi sosial-ekonomi, budaya dan lingkungan yang
berdampak besar dari skala lokal hingga global termasuk menimbulkan perubahan
dalam dinamika nutrisi dan komposisi hutan, terganggunya fungsi hidrologis,
hilangnya keanekaragaman hayati dan menyebabkan peningkatan emisi gas rumah
kaca.

Di Malaysia hutan rawa gambut terlihat di dataran pantai dan luasnya


sekitar 7% dari luas total permukaan tanah, dimana lebih dari seperempatnya
(26%) berada di Semenanjung Malaysia dan sisanya 74% sebagian besar
didistribusikan di bagian barat Malaysia, Sarawak dan Sabah. Hutan-hutan ini
dikelola oleh pemerintah sebagai hutan negara dan menjadi sasaran kegiatan
penebangan dan pembangunan hingga tahun 1990, yang kemudian ditetapkan
sebagai hutan cadangan permanen. Sepanjang tahun 1990-an dan awal tahun 200,
terjadi beberapa insiden kebakaran besar yang membakar sekitar 1.000 Ha
kawasan hutan rawa gambut yang menjadi bagian dari hutan lindung dengan total
luas sebesar 35.656 Ha. Kemudian lahan yang terbakar tersebut dirambah dan
diubah menjadi perkebunan kelapa sawit dan tanaman komersial lainnya secara
ilegal.

Sejak tahun 2008 pihak pemerintah, departemen kehutan bekerja sama


dengan pemangku kepentingan yang terdiri dari Intergovermental Organizations
(IGOs), Nongovernmental Organizations (NGOs), Dan Multinational
Corporations (MNCs) dalam mengatasi masalah sosial dan ekologi yang
kompleks berkaitan dengan konservasi hutan serta urgensi tantangan isu - isu
lingkungan lainnya. Dalam konteks penelitian ini, dengan adanya perubahan
institusional yang dimaksud adalah aturan pakai yang bersifat informal
serta peran pihak berwajib yang bertanggung jawab dalam mempengaruhi
lahan gambut.

Aturan informal ini memungkinkan pihak berwajib lainnya dapat


berinteraksi untuk mengatasi masalah sosial yang kompleks dan isu-isu ekologi
yang terkait dengan konservasi hutan yang kurang mendapatkan perhatian khusus
dalam penelitian. Peningkatan interaksi antar pihak berwajib yang bertanggung
jawab ini dapat meningkatkan tata kelola hutan, perluasan kawasan hutan dan
pemanfaatan seluruh ekosistem hutan. Dengan demikian, kemitraan multipihak
dapat dikembangkan dengan berbagai lembaga dan individu menuju program
konservasi dan restorasi berkelanjutan.

I.2 Rumusan Masalah

I.3 Tujuan

Berdasarkan penjelasan latar belakang, maka didapatkan beberapa tujuan


guna melengkapi jalannya proses penelitian. Berikut ini beberapa tujuan dari
dilakukannya penelitian ini :

- Menjelaskan persepsi masyarakat lokal terhadap perubahan aturan pakai


(pemanfaatan) hutan rawa gambut akibat dari terjadinya perubahan rezim tata
kelola.
- Menjelaskan dampak yang timbul dari perubahan tata kelola ini terhadap mata
pencaharian mereka.

- Mengeksplorasi interaksi berbagai lembaga/pihak berwajib yang bersangkutan


dalam menjalakan program konservasi berkelanjutan dan rehabilitasi hutan rawa
gambut.
BAB II

PEMBAHASAN

II.1 Jurnal Acuan

II.1.1. Metode Penelitian

Penelitian dilakukan di Hutan Lindung Raja Musa yang terletak di


dataran pantai datar di sudut Barat Laut Negara Bagian Selangor di
Semenanjung Malaysia dengan titik koordinat N 3°40′26.56″, E
101°4′29.52″. Hutan Lindung Raja Musa merupakan cagar alam yang
dikelilingi oleh empat desa. Sebagian besar penduduk desa berkegiatan
dibidang pertanian terutama budidaya padi, menanam sayuran dan
perkebunan kelapa sawit. Desa yang berbatasan langsung dengan hutan
lindung adalah Desa Tanjong Karang.

II.1.2. Pendekatan Analitis

Pendekatan dilakukan dengan Analisis dan Pengembangan


Kelembagaan (APK) yang berguna dalam mendeskripsikan dan menganalisis
hutan dan sumber daya alam lainnya. APK memiliki kerangka kerja yang
berfokus pada faktor kontekstual seperti aturan yang digunakan dan faktor
situasi tindakan yang meliputi lembaga, kelompok, organisasi ataupun
individu yang berada dalam situasi aksi. Situasi aksi sendiri merupakan
ruang sosial dimana pihak berwajib yang bersangkutan dengan keberagaman
kepentingannya melakukan sebuh interkasi (bertukar barang dan jasa, mem
buat keputusan pemerintahan) maupun terlibat dalam pola interkasi yang
terbentuk dan menghasilkan hasil. Situasi aksi dibentuk oleh tiga kategori
faktor kontekstual yang menghasilkan pembatasan dan/atau insentif bagi
beberapa tindakan.
II.1.3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data lapangan dilakukan dengan metode kualitatif


dan kuantitatif. Pengumpulan data secara kualitatif dilakukan dengan
mengadakan lokakarya, melakukan diskusi kelompok dan mewawancarai 5
orang yang menjadi kunci narasumber. Untuk pengumpulan data secara
kuantitatif dilakukan survei rumah tangga pada empat desa yang saling
berdekatan yaitu Desa Sungai Sireh, Desa Sri Tiram Jaya, Desa Raja Musa
dan Desa Bestari Jaya. Suveri dilakukan dengan cara mewawancarai 200
rumah tangga yang dipilih secara acak, 50 dari setiap desanya.

Dari pengumpulan data yang dilakukan, didpatkan bahwa


dilakukannya tes McNemar untuk mengeksplorasi perbedaan signifikan atas
perubahan yang terjadi. Tingkat signifikansi ditetapkan pada tingkat
probabilitas 0,05. Studi ini telah diseutuji oleh Komite Etik Fakultas Sains
dan Teknik, Universitas Nottingham Malaysia.

II.1.4. Hasil Penelitian

A. Persepsi Masyarakat Lokal tentang Aturan yang Digunakan

Masyarakat lokal berpendapat tentang perubahan empat hak de facto yaitu


hak akses hutan, penarikan sumber daya hutan, penggunaan lahan hutan
untuk pertanian, dan penggunaan hutan untuk rekreasi selama status hutan
menjadi hak milik negara (hutan negara) dan status hutan menjadi program
restorasi hutan gambut berbasis masyarakat. Aturan de facto dijalankan oleh
masyarakat lokal tetapi tidak diakui oleh otoritas pemerintah. Responden
(60%) berpendapat bahwa mereka dan anggota keluarganya dapat dengan
mudah mengakses hutan tanpa izin dari departemen kehutanan selama status
hutan menjadi hak milik negara (hutan negara) dan selama status hutan
menjadi program restorasi hutan gambut berbasis masyarakat hanya 32%
responden yang menggunakan hak akses hutan dengan izin.
B. Dampak Perubahan Kelembagaan terhadap Konservasi Hutan dan Mata
Pencaharian Masyarakat Lokal

Perubahan tata kelola hutan rawa gambut dari status hutan hak milik negara
(hutan negara) menjadi status hutan dengan program restorasi hutan gambut
berbasis masyarakat (walau hanya terfokus pada 1000 Ha hutan Lindung Raja
Musa), membawa beberapa hasil positif dalam hal menciptakan lingkungan
yang kondusif untuk partisipasi masyarakat yang lebih luas dan peluang mata
pencaharian bagi penduduk lokal. Dengan adanya pembentukan komunitas
organisasi merupakan salah satu pencapaian luar biasa terhadap keterlibatan
masyarakat lokal dalam progam rehabilitasi meskipun mereka hanya
memiliki sedikit konstribusi untuk proses perencanaan.

Perubahan status hukum lahan hutan negara menjadi kawasan hutan lindung
permanen, akses bebas masyarakat lokal selama berstatus menjadi lahan
hutan negara ke hutan rawa gambut untuk pengumpulan sumber daya dan
penggunaan lahan hutan untuk pertanian dibatasi. Proses pembatasan ini lah
yang berdampak negatif terhadap mata pencaharian mereka.

C. Lembaga dan Peranannya

Teridentifikasi 44 lembaga organisasi dibawa tujuh kategori termasuk 2


kementerian pemerintah malaysia, 28 lembaga kepemerintahan, 3 lembaga
swadaya masyarakat, 4 lembaga swasta/perusahaan, 3 lembaga berbasis
masyarakat lokal, 3 universitas dan 1 lembaga penelitian yang terlibat secara
langsung maupun tidak langsung dalam rehabilitas dan konservasi Hutan
Lindung Raja Musa. Berdasarkan tingkat keterlibatan yang diidentifikasi,
dibagi menjadi dua lembaga yaitu lembaga inti dan lembaga pendukung,

Lembaga inti secara aktif terlibat dalam semua dan/atau banyak dari fungsi
tata kelola Hutan Lindung Raja Musa (seperti perencanaan, implementasi,
pemeliharaan, keuangan, koordinasi, pemantauan), sementara lembaga
pendukung bisa bersifat lembaga ataupun individu berperan memberikan
dukungan terhadap lembaga inti.

D. Interaksi Antar Lembaga Inti

Program rehabilitas hutan multipihak di Hutan Lindung Raja Musa mengarah


ke dalam tingkatan lokal dan interaksi antara tingkat lokal, negara bagian dan
federal. Hal ini dikarenakan meningkatnya kekhawatiran degradasi hutan
rawa gambut dan meningkatnya inisiatif nasional dan internasional terhadap
conservasi hutan rawa gambut.

II.1.5. Pembahasan

A. Aturan yang Digunakan

Menurut Undang-Undang Kehutanan Nasional Malaysia tahun 1984, setiap


orang membutuhkan izin atau lisensi untuk menggunakan hak hutan apapun
termasuk akses ke hutan, ekstraksi sumber daya hutan dan penggunaan lahan
hutan untuk pertanian atau rekreasi. Orang-orang merasa bahwa baik dalam
rezim hutan menjadi hak milik negara (SFM) dan hutan menjadi program
restorasi hutan gambut berbasis masyarakat (CBPRP), cukup banyak hak de
facto dan pengurangan hak yang signifikan dari pelaksanaan hak-hak
tersebut. Hal ini mungkin terkait dengan peningkatan komitmen Departemen
Kehutanan Negara Bagian Selangor (SSFD) dalam penegakan hutan hukum,
pengenalan pemantauan hutan melalui masyarakat lokal dan peningkatan
kesadaran masyarakat sekitar tentang hukum kehutanan.

B. Perubahan Kelembagaan, Konservasi Hutan, dan Mata Pencaharian


Masyarakat Lokal

Salah satu hasil signifikan dari transisi tata kelola hutan rawa gambut
menjadi restorasi hutan gambut berbasis masyarakat adalah berkembangnya
cakupan yang lebih luas lagi bagi banyak lembaga yang terlibat dalam
pengelolaan hutan rawa gambut dan khususnya pembentukan lembaga
swadaya masyarakat. Partisipasi dan dukungan lokal yang berkelanjutan
dapat dicapai ketika masyarakat melihat bahwa mereka adalah bagian dari
proses pengambilan keputusan, mendapatkan materi dan manfaat hutan serta
mengamankan dukungan institusional. Meskipun pengurangan pelaksanaan
hak hutan yang berbeda mungkin berdampak negatif pada masyarakat lokal,
tetapi pembatasan ini bersama dengan beberapa kegiatan rehabilitasi yang
didorong oleh masyarakat seperti penanaman kembali, sekat kanal dan
patroli hutan berkontribusi pada perbaikan ekologi hutan rawa gambut.
Hutan partisipatif sudah efektif untuk dikonservasi dan meningkatkan
banyak mata pencaharian pedesaan contoh di Bangladesh dan Sri Lanka.
Dengan demikian dapat disarankan bahwa meskipun masyarakat lokal tidak
dilibatkan dalam proses pengambilan keputusan, namun memiliki andil yang
cukup besar dalam hal partisipasi proses rehabilitasi hutan rawa gambut serta
mata pencaharian dan perbaikan ekologi adalah hal yang masuk akal.

C. Lembaga, Perannya dan Interaksinya

Teridentifikasi 7 kategori lembaga yang terlibat dalam rehabilitasi hutan


rawa gambut di Hutan Lindung Raja Musa. Pusat Lingkungan Global (GEC)
dan Departemen Kehutanan Negara Bagian Selangor (SSFD) memegang
peranan penting dalam tata kelola program restorasi hutan gambut berbasis
masyarakat yang diikuti oleh lembaga penelitiannya. Secara khusus GEC
telah memfasilitasi kolaborasi antara lembaga internasional, nasional dan
lokal untuk program rehabilitasi hutan rawa gambut di Hutan Lindung Raja
Musa. Selain itu, lembaga lokal yang juga memiliki pengaruh dalam
pengelolaan hutan pastisipatif adalah Departemen Kehutanan. Partisipasi
lembaga lokal adalah hal penting dalam setiap tugas tata kelola hutan
termasuk komunikasi dan kerjasama dengan lembaga lainnya.

D. Keterbatasan Penelitian Sekarang dan Penelitian Mendatang


Penelitian ini adalah studi pertama yang mengidentifikasi lembaga dan
interkasinya di program restorasi hutan gambut berbasis masyarakat, yang
diimplementasikan dalam Hutan Lindung Raja Musa. Namun penelitian ini
mungkin memiliki beberapa keterbatasan. Meskipun studi ini
mengidentifikasi lembaga dan interaksi mereka, tetapi ini bisa
mengeksplorasi lembaga dan sejauh mana kekuasaan mereka dilaksanakan
dalam pemerintahan. Temuan penelitian ini sebagian besar didasarkan pada
narasi kualitatif. Hanya beberapa aturan yang digunakan yang diukur, namun
kuantifikasi pada berbagai tingkat kerangka kerja akan membantu untuk
menarik kesimpulan yang kuat.

II.1.6. Kesimpulan

Studi ini memberikan gambaran tentang perspektif multipihak tata


kelola hutan rawa gambut di Malaysia berdasarkan analisis kelembagaan
program rehabilitasi Hutan Lindung Raja Musa. Dalam tata kelola hutan
multipihak, memahami peran dan hubungan multifaset antar berbagai
lembaga sangat penting untuk kolaborasi berkelanjutan dalam pengelolaan
hutan. Temuan studi ini menunjukan bahwa “multipihak” yang sudah mapan
struktur pemerintahannya dapat dikritik karena hanya didominasi oleh
segelintir orang, memiliki partisipasi lokal yang terbatas dalam proses
pengambilan keputusan, kegiatan sosial-ekonomi yang tidak memadai dan
penganturan kelembagaan yang tidak mungkin mempertaruhkan partisipasi
jangka panjang dan kerjasama masyarakat lokal. Partisipasi masyarakat lokal
dalam pengelolaan hutan rawa gambut perlu dilembagakan karena kebijakan
kehutanan saat ini di Semenanjung Malaysia belum diakui partisipasi
masyarakat dalam pengelolaan hutan.
II.2 Jurnal Pembanding/Tambahan (?)

“Implementasi Kebijakan Restorasi Gambut di Kalimantan Selatan dari Perspektif


Komunikasi Kebijakan (Studi Kasus di Kecamatan Candi Laras Utara Kabupaten
Tapin)” ditulis oleh Denny Susanto, Sanusi dan Rahmi Widyanti

II.2.1. Metode Penelitian

Penelitian menggunakan metode deskriptif kualitatif dengan teknik


survey yaitu pengamatan kondisi dan wawancara di lapangan kepada pihak-
pihak terkait. Metode yang digunakan dalam mengidentifikasi permasalahan
terkait dengan kawasan konservasi dan kawasan budidaya, pemanfaatan lahan
gambut untuk komoditi tanaman pangan dan lainnya, serta identifikasi
implementasi program restorasi gambut.

II.2.2. Waktu dan Tempat Penelitian

Kegiatan penelitian dilaksanakan pada September-Desember 2019


di Desa Buas-buas, Kecamatan Candi Laras Utara, Kabupaten Tapin. Ruang
lingkup materi dari penelitian ini adalah implementasi program Tim Restorasi
Gambut Daerah (TRGD) dan Badan Restorasi Gambut (BRG) di Kecamatan
Candi Laras Utara, Kabupaten Tapin. Penelitian ini dibagi dalam empat
variabel utama meliputi pra kondisi implementasi kebijakan, yang di
dalamnya mencakup empat subvariabel, yakni komunikasi kebijakan, sumber
daya, disposisi atau sikap pelaksana kebijakan, dan struktur birokrasi.
Kemudian tingkat implementasi kebijakan, hasil restorasi dan kinerja tim
restorasi.

II.2.3. Prosedur Penelitian


Penelitian ini untuk mengidentifikasi sejauh mana Implementasi
Program Restorasi Gambut di Kecamatan Candi Laras Utara, Kabupaten
Tapin.Metode penelitian yang dilaksanakan dimulai dari persiapan, survey
lokasi penelitian, pengambilan data (data primer dan sekunder), dan
menganalisis data. Penentuan pengambilan responden dilakukan dengan
teknik cluster sampling. Cluster sampling merupakan metode penganalisaan
data yang memilih sebuahsampel dari kelompok-kelompok unit yang kecil.
Sampel yang digunakan merupakan sampel yang memiliki kesetaraan pada
tiap kelompok. Sampel pada penelitian ini adalah sampel yang diambil dari
kelompok tani.Adapun karakteristik responden yang digunakan dalam
penelitian ini adalah lamanya menetap, pendidikan, pendapatan, usia dan luas
lahan masyarakat.

II.2.4. Hasil dan Pembahasan

Mengacu pada tujuan penelitian ini diketahui bahwa beberapa


kegiatan atau aktivitas yang menyebabkan kerusakan gambut di Kalimantan
Selatan antara lain :

a. Kebakaran lahan gambut untuk keperluan pembukaan lahan pertanian dan


perkebunan oleh masyarakat lokal.
b. Penebangan pohon (illeggal logging) di hutan rawa gambut
c. Pembuatan saluran drainase seperti parit dan kanal di lahan gambut
dengan tujuan menunjang kegiatan budidaya pertanian mauun perkebunan
kelapa sawit.
d. Lahan gambut pada kawasan hutan merupakan objek yang rawan terjadi
konversi untuk penggunaan/pemanfaatan lahan lain.

Salah satu penyebab rusaknya eksositem gambut di Kalimantan Selatan karena


adanya perluasan perkebunan kelapa sawit, industri dan pertambangan. Proses
konversi inilah yang berdampak besar terhadap rusaknya lahan gambut. selain
itu, kurangnya pengetahuan tentang sistem pertanian dan perkebunan ramah
lingkungan menyebabkan masih terjadinya bencana asap setiap tahun di
Indonesia salah satunya di Kalimantan Selatan.

Kebijakan restorasi gambut di Kalimantan Selatan dimulai dengan


adanya kebijakan Presiden RI Bapak Ir. H. Joko Widodo, pada 6 Januari 2016,
yang membentuk Badan Restorasi Gambut (BRG) melalui Peraturan Presiden
Nomor 1 Tahun 2016. Tujuan utamanya untuk mengatasi dan mencegah
kebakaran lahan gambut serta melakukan pemulihan lahan gambut yang rusak
akibat kebakaran. Ada tiga program kerja pokok BRG dan TRGD yaitu
rewetting (Pembasahan), Revegetasi (Penanaman kembali) dan Revitalisasi
ekonomi masyarakat sekitar gambut. Kegiatan restorasi di tingkat tapak maka
BRG dibantu oleh Tim Restorasi Gambut Daerah (TRGD) Provinsi yang
dibentuk oleh gubernur. Gubernur Provinsi Kalimantan Selatan selaku
penanggung jawab pada tim inti sedangkan Wakil Gubernur ditunjuk sebagai
ketua tim inti. Selanjutnya dibentuk tim teknis TRGD yang bertugas
melaksanakan koordinasi dan fasilitasi kegiatan restorasi yang dilaksanakan
beranggotakan pemangku kepentingan lainnya, misalnya swasta, masyarakat,
LSM, perguruan tinggi, dan lain sebagainya. Jika upaya konsolidasi dan
koordinasi dengan lembaga-lembaga terkait dilakukan dengan benar, maka hal
ini akan menunjang terhadap keberhasilan upaya restorasi gambut di lapangan.

Pengelola lahan dan hutan gambut di Kalimantan Selatan


dilaksanakan Unit Pelaksana Restorasi Gambut (UPRG) yang
bertanggungjawab merencanakan dan melaksanakan kegiatan restorasi. UPRG
menjadi “ujung tombak” dari implementasi kegiatan restorasi gambut di
lapangan atau tingkat tapak. Jumlah UPRG di Provinsi Kalimantan Selatan
sebanyak 27 UPRG terdiri dari 8 UPRG Pemerintah Kabupaten, 2 UPRG
KPH Provinsi, 14 UPRG Perusahaan pemegang HGU/IUP, dan 3 UPRG
Tumpang Tindih. Target restorasi gambut di Provinsi Kalimantan Selatan
telah didistribusikan kepada unit-unit pelaksana restorasi yang memiliki
tanggung jawab dalam pencapaiannya mulai dari unit kerja
kementerian/lembaga di pusat, organisasi perangkat daerah di provinsi dan
kabupaten/kota sampai pada pemegang izin yang mempunyai kewajiban untuk
menjaga konsesinya untuk keberlanjutan produksi, keselamatan lingkungan
dan kesejahteraan masyarakat di dalam dan sekitar konsesinya. Rencana
restorasi gambut di Kalimantan Selatan dilaksanakan pada 4 Kesatuan
Hidrologis Gambut (KHG) seluas 298,758 ha terdiri dari: 1) KHG Sungai
Balangan–Sungai Batangalai (luas 30,859 ha); 2) KHG Sungai Barito–Sungai
Alalak (luas 47.935 ha); 3) KHG Sungai Barito–Sungai Tapin (luas 112.227
ha); 4) KHG Sungai Utar–Sungai Serapat (luas 107.737 ha).

II.2.5. Implementasi Kebijakan Restorasi Gambut

Pelaksanaan restorasi di Kalimantan Selatan berupa a. Pemetaan


Sosial b. Pelatihan Pembangunan Sekat Kanal Berbasis Masyarakat c.
Pengembangan Kapasitas Perencanaan Desa d. Pengembangan Kapasitas
Penyusunan Kebijakan Tingkat Desa e. Pembentukan dan Pengembangan
Kapasitas POKMAS f. Pelatihan BUM (Badan Usaha Milik) desa dan
Pengelolaan Keuangan g. Pelatihan Upaya Ekonomi Pedesaan. Pelaksanaan
Restorasi Ekosistem Gambut dalam area pemegang izin sebagaimana
direncanakan dalam RREG ini akan mendapatkan supervisi dalam kostruksi,
operasi, dan pemeliharaan infrastruktur oleh Badan Restorasi Gambut.
Pemantauan dan evaluasi secara reguler akan dilaksanakan dan hasilnya
disarikan sebagai perbaikan dan pengambilan kebijakan sehingga setiap target
dapat dicapai dan menjadi penilaian bagi tahun mendatang. Utamanya seluruh
elemen baik pada lingkup pemerintahan, sektor dunia usaha, masyarakat,
lembaga non-pemerintah dan mitra pembangunan di Provinsi Kalimantan
Selatan diharapkan secara nyata memberikan peran dan sumbangannya, serta
bersinergi untuk mewujudkan pencapaian target restorasi gambut dan
mencegah ekosistem gambut dari kerusakan.

Masih terdapat penentangan dari masyarakat terhadap


implementasi kebijakan restorasi gambut, khususnya terkait pembangunan
sekat kanal yang oleh sebagian petani dianggap justru merugikan dan
mengganggu tanah garapannya, serta lokasi pembangunan tidak sesuai
dengan kebutuhan petani. Untuk program revitalisasi juga dikeluhkan karena
tidak sesuai dengan harapan dan keinginan masyarakat. Dimana masyarakat
desa Buas-buas menghendaki paket bantuan perkebunan jeruk, tetapi yang
diberikan adalah ternak itik.

II.2.6. Kesimpulan

Secara umum implementasi kebijakan restorasi gambut sudah


berjalan, namun ada berbagai kendala dalam implementasi program restorasi
gambut di Kalimantan Selatan. Kebijakan restorasi gambut ini bersifat top
down artinya implementasinya berasal dari pusat dan masyarakat di tingkat
tapak hanya menerima kebijakan tersebut, sehingga kerap menimbulkan
konflik seperti penolakan masyarakat dan Pemda, karena kurangnya
sosialisasi dan pemahaman tentang kebijakan restorasi gambut.
BAB III

PENUTUP

III. 1 Kesimpulan

Dari penjabaran kedua jurnal diatas, maka ditarik kesimpulan sebagai


berikut :

1.) Kerusakan lahan gambut yang terjadi baik di Indonesia maupun di Luar
Indonesia dapat disebabkan oleh berbagai faktor seperti cuaca kemarau yang
ekstrem, illegal fogging, kebakaran lahan akibat dari aktivitas pembukaan
lahan pertanian, perkebunan maupun industri, serta disebabkan oleh
ketidaksengajaan dari aktivitas harian manusia seperti membuang puntung
rokok sembarangan di dalam hutan dan lain sebagainya.
2.) Pentingnya peran pemerintah pusat maupun daerah dan lembaga yang
berkaitan dalam memperhatikan dan menggalakan program restorasi gambut
serta bertindak tegas dan menegakan hukum yang berlaku bagi para
pelanggar aturan yang sudah ditetapkan. Komunikasi antar lembaga menjadi
poin penting utama dalam mencapai kesuksesan program ini.
3.) Masyarakat lokal juga berperan penting dalam membantu memenuhi dan
memperlancar program kerja pemerintah, dikarenakan lahan tersebut
merupakan mata pencaharian bagi masyarakat lokal. Kerjasama seperti inilah
yang pada akhirnya diharapkan dapat meningkatkan kondisi ekonomi
masyarakat lokal hingga kondisi ekonomi-sosial daerah yang bersangkutan.
4.) Program restorasi pada laahn rawa gambut dapat berupa pembuatan sumur
bor, sekat kana, revegetasi dan revitalisasi ekonomi masyarakat. Kinerjadi
dari program ini dapat diamati dari perubahan budaya/perilaku masyarakat
seperti menurunnya kasus kebakaran lahan gambut serta terbentuknya
pemahaman dan upaya tata kelola lahan gambut yang ramah lingkungan dan
berkelanjutan oleh masyarakat.

Anda mungkin juga menyukai