Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH PENGANTAR PERTANIAN DAN PANGAN

BERKELANJUTAN

“KOMODITAS KELAPA SAWIT DI KABUPATEN SANGGAU

KALIMANTAN BARAT”

Oleh :

AHMAD FAIZ FATTAR (C0061231019)

PROGRAM STUDI BUDIDAYA TANAMAN DAN PERKEBUNAN

FAKULTAS PERTANIAN

UNIVERSITAS TANJUNGPURA

2023

0
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Bisnis usaha perkebunan kelapa sawit memberi jaminan keuntungan ekonomi yang sangat
tinggi dan membuka banyak lowongan pekerjaan. Iklim yang cocok, lahan yang masih luas,
pemberian izin dan hak usaha dari Pemerintah yang mudah serta upah buruh yang relatif murah
menjadikan Indonesia sebagai tempat subur berkembangnya usaha perkebunan kelapa sawit di
dunia. Oleh karena kebutuhan minyak kelapa sawit dunia yang semakin meningkat serta minat
yang begitu tinggi atas potensi dan kontribusi perkebunan kelapa sawit bagi perekonomian
nasional sehingga perkembangan bisnis kelapa sawit dari tahun ke tahun sangat maju pesat.
Saat ini
Indonesia merupakan produsen kelapa sawit terbesar di dunia dengan produksi Crude Palm
Oil (CPO) dengan angka estimasi tahun 2016 mencapai 32,5 juta ton.1 Pasar ekspor CPO
Indonesia adalah India, China dan Uni Eropa. Daya tarik ini tidak hanya menggerakkan
Perusahaan Swasta Nasional maupun multi nasional dan Badan Usaha Milik Negara (BUMN)
yang membuka secara besar-besaran lahan perkebunan, tetapi juga banyak masyarakat mandiri
yang mengalihkan pertaniannya pada usaha kelapa sawit yang lebih menjanjikan.

Beberapa hasil studi yang dikutip oleh Sheil Casson menyebutkan bahwa perkebunan
kelapa sawit merupakan salah satu faktor pemicu deforestasi, yaitu penghilangan atau
penggundulan hutan di Indonesia karena sifat ekspansifnya yang cepat dalam waktu yang
singkat.2 Deforestasi itu dibuktikan dengan fakta bahwa pada tahun 2006 luas kebun kelapa
sawit hanya sekitar 6,2 juta ha, namun luasannya terus meningkat tajam hingga mencapai 9 juta
ha pada tahun 2013. Dari data itu Indonesia layak disebut sebagai negara penghancur hutan
tercepat di dunia. Laju penyusutan luas hutan di Kalimantan Barat dengan luas kerusakan
165.000 hektar per tahun. Data Wahana Lingkungan Hidup (Walhi) Kalimantan Barat
menyebutkan luas hutan yang rusak itu setara dengan dua kali luas lapangan sepak bola per
jam.3 Secara khusus, total luas penambahan kebun sawit di Kabupaten Sanggau pada tahun
1990-2013 sebesar 118,252 ha, yang diperoleh dari pembukaan lahan hutan sekunder sebesar
6,793 ha pada tanah gambut dan 1,865 ha pada tanah mineral, sedangkan dari lahan non-hutan
sebesar 10,136 ha pada tanah gambut dan 99,458 ha pada tanah mineral.4 Perluasan wilayah
kelapa sawit itu mengalami “pembenaran” dengan jargon-jargon pertumbuhan ekonomi untuk
merambah daerah-daerah strategis.5 Kategori daerah terpecil yang jauh dari perkotaan
kemudian menjadi target perkebunan dan industri kelapa sawit.

1 Edy Subiantoro & Yanuar Arianto (editors), Statistik Perkebunan Indonesia Komoditi Sawit 2014-
2016, (Jakarta, Direktorat Jendral Perkebunan Kementrian Pertanian, 2015), 3.
2 Sheil D., Casson, A., The Impacts and Opportunities of Oil Palm ini Southeast Asia: What We Know
and What Do We Nee to Know? (Bogor: CIFOR Occasional Paper, 2009), 51.
3 Bambang H. Purwana, Keserakahan Global yang Menang Kearifan Lokal yang malang, dalam Ade
Makmur (editor), Kearifan lokal di Tengah Modernisasi. (Jakarta: Kementrian Kebudayaan dan
Pariwisata, 2011), 255.
4 Safira S. Hanjani dkk, Dinamika penggunaan lahan dan perkembangan perkebunan kelapa sawit di
kabupaten Kubu Raya dan Sanggau 1990 sampai 2013. Jurnal tanah dan lingkungan Volume 17 no 1 April
2015. (Bogor: Fakultas Pertanian Ilmu Pertanian Bogor, 2015), 45.
5 Ade Makmur (editor), “Kearifan lokal di Tengah”, 211.

1
Daerah penghasil sawit terbesar di wilayah Kalimantan Barat adalah Kabupaten Sanggau.
Saat ini ada terdapat sekitar 43 perusahaan perkebunan kelapa sawit di daerah ini, baik milik
swasta maupun juga milik Badan Usaha Milik Negara.6 Wilayah Sanggau sudah dikelilingi
perkebunan kelapa sawit yang dianggap sebagai komoditi unggul daerahnya. Perluasan areal
perkebunan kelapa sawit itu berkorelasi dengan pengurangan wilayah hutan dan satwa liar yang
ada dan hidup di dalamnya. Fungsi hutan sebagai penghasil oksigen semakin menipis. Disisi
lain pohon kelapa sawit merupakan pemicu berkurangnya kuantitas air tanah karena
penyerapan yang tinggi.

Kallarackal dalam penelitiannya di India mengemukakan rata-rata air yang dibutuhkan satu
batang pohon kelapa sawit berkisar 2,0-5,5 mm/hari atau 140-385 liter/ha dalam sehari dengan
jumlah 143 pohon/ha.7 Dalam konteks Kalimantan Barat, khususnya di areal sawit Kabupaten
Landak menunjukkan pengurangan debit air 30% hingga 40% akibat tanaman kelapa sawit. 8
Selain itu juga ada dampak atas berkurangnya keanekaragaman hayati bila perkebunan
monokultur itu diterapkan serta menurunkan kesuburan masa depan tanah akibat penggunaan
pupuk dan pestisida yang sangat besar. Atas pengaruh itu juga menjadikan banyak masyarakat
Dayak yang selama ini hidupnya bergantung pada hutan beralih berkerja menjadi buruh di
perusahaan kelapa sawit.9

Konversi hutan menjadi perkebunan kelapa sawit bertentangan dengan pemahaman


masyarakat Dayak yang menganggap hutan sejak zaman nenek moyang sebagai sumber
kehidupan dan penghidupan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Tidak ada satupun sisi
kehidupan mereka yang tidak berkaitan dengan alam sekitarnya. Upacara ritual dan adat juga
berhubungan dengan dengan alam, baik tarian maupun nyanyian.10 Atas alasan itu orang Dayak
selalu berupaya untuk menyelamatkan hutannya. Hutan yang selama ini menjadi “rumah” dan
sumber penghidupan mereka dialihkan fungsi dan penggunaannya oleh Pemerintah Pusat atau
Daerah yang memberikan izin untuk pengelolaan kelapa sawit kepada Pengusaha. Akhirnya
masyarakat mengalami efek nyata atas hilangnya hutan yang diganti dengan perkebunan kelapa
sawit yaitu kerusakan ekologis, berkontribusi pada percepatan pemanasan global 11,
memudarnya budaya masyarakat, kemiskinan serta konflik sosial terhadap perusahaan

6 Pemetaan Potensi dan Peluang Investasi Daerah, (Sanggau: Badan Koordinasi Penanaman Modal
(BKPM) Republik Indonesia Kabupaten Sanggau, 2013), 2.

7 J. Kallarackal, P. Jeyakumar P, SJ George, Water Use of Irrigated Oil Palm at Three Different
Arid Locations in Peninsular India. Journal of Oil Palm Research Volume 16, 2004, 59-67
8 Mohamad Toufiq, Hari Sisoyo & Anggara WWS, Pengaruh Tanaman Kelapa Sawit Terhadap
Keseimbangan Air Hutan (Studi Kasus Sub DAS Landak, DAS Kapuas) Jurnal Teknik Pengairan, Volume 4,
no1. Mei 2013, 51.
9 Kenyataan ini ditemui berdasarkan pengalaman Penulis ketika tinggal bersama dengan masyarakat
yang hidup di sekitar perkebunan kelapa sawit.
10 Marthin Billa, Alam Lestari dan Kearifan Budaya Dayak Kenyah, (Jakarta: Sinar Harapan, 2005),
43.
11 Kerusakan hutan di Indonesia juga menjadi perhatian besar dunia. Perserikatan Bangsa-
Bangsa (PBB) mengatakan “Perubahan iklim dunia tergantung Indonesia”, artinya Indonesia memiliki
kontribusi besar bagi baik-buruk iklim dunia. Pernyataan tersebut semakin dikuatkan ketika Indonesia memiliki
standar cukup tinggi menurunkan emisi karbon untuk mengurangi dampak global warming. Uni Eropa baru saja
mengeluarkan larangan untuk menolak impor CPO dari Indonesia, tindakan ini merupakan reaksi keras karena
Indonesia dianggap lebih mengutamakan bisnis ekonomi daripada pelestarian ekologi. Semangat yang sama
mendorong tumbuhnya “Gerakan Hijau” aktivis lingkungan hidup dari berbagai elemen masyarakat maupun
juga Lembaga Swadaya Masyarakat yang memperjuangkan penyelamatan atas alam. Kenyataan ini kontras
berbeda dengan laju penambahan penambahan kelapa sawit yang terjadi di Kalimantan Barat khususnya.

2
perkebunan yang tidak kunjung henti di Kalimantan Barat, khususnya wilayah Kabupaten
Sanggau.

Era kejayaan bisnis minyak bumi dan tambang yang selama ini dianggap sebagai komoditi
ekonomi terbesar di wilayah Kalimantan kini menurun drastis karena harga beli dunia yang
anjlok beberapa tahun terakhir, kemudian potensi untuk mengembangkan agro industri yakni
perkebunan kelapa sawit dianggap sebagai target dan pilihan utama industri masa depan. 12
Pandangan demikian mengindikasikan ekspansi perkebunan kelapa sawit kini dan masa yang
akan datang menjadi agenda besar yang didukung oleh Pemerintah dalam kerja sama dengan
investor nasional maupun asing. Dengan adanya perluasan wilayah tersebut berdampak pada
kerusakan ekologis yang akan semakin parah di wilayah Kalimantan. Eksploitasi alam yang
besar dan kerusakan lingkungan yang akut menjadi persoalan dan ancaman terbesar yang
dialami tanah Borneo kini dan nanti.

Polanya adalah dengan mengusahakan pertanian kepala sawit secara mandiri maupun
bekerja sama dengan pihak Perusahaan dalam bentuk kebun plasma untuk mendukung finansial
Gereja selain mengandalkan persembahan dari warga jemaat. Gereja kadang tampak menjadi
bagian dari sistem yang dapat merusak lingkungan. Akibatnya Gereja kurang menampilkan
critical engagement sebagai motor penggerak untuk advokasi terhadap eksploitasi alam yang
berlebihan. Dalam tataran praksis pada konteks Kalimantan sering dijumpai Gereja sangat
lamban bahkan terlambat untuk merespon kerusakan ekologis di sekitarnya. Krisis ekologis
yang terjadi tanpa peran kontributif Gereja juga menunjukkan bukan hanya krisis teologis tetapi
juga krisis eklesiologis.13 Gereja-gereja masih hidup dalam eklesiologi yang berpusat pada
manusia dan kurang menekankan pemahaman gereja tentang hakikat dirinya dalam kaitan
dengan Tuhan, manusia, dan alam semesta.14 Eklesiologi yang antroposentris perlu dikaji
kembali agar gereja menjadi lebih efektif dan relevan dimana ia hadir untuk berkarya. Karena
itu Gereja tidak dapat mengembangkan suatu eklesiologi tanpa ekologi. 15 Ekologi mesti
menjadi bagian integral dalam membangun sebuah eklesiologi gereja.
Masyarakat Terusan yang berada di desa Sejuah, Kecamatan Kembayan, Kabupaten
Sanggau, merupakan salah satu kawasan yang sampai saat ini belum tersentuh ekspansi
perkebunan kepala sawit. Warga masyarakat Terusan masih kuat menjaga wilayahnya dari
pengaruh itu walaupun berbagai tawaran dari pihak perusahaan terus memengaruhi. Sedangkan
daerah lain di sekitarnya laju perluasan areal perkebunan kelapa sawit semakin menguat dan
menghimpit. Masyarakat adat Dayak Bisomu yang beragama Kristen sebagai penghuni desa ini
masih memegang teguh nilainilai kultural ecological wisdom budayanya ditengah modernitas
yang nyata di sekelilingnya.
Masyarakat Terusan melakukan pola hidup, ritual, pesta perayaan yang dekat dengan alam,
termasuk juga sistem pengolahan lahan di areal hutan sebagai cara untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi dan sekaligus melestarikan ekologi. Aturan hidup melalui hukum adat bermuatan
pantangan dan anjuran dengan ketergantungan dengan alam. Kearifan ekologis masyarakat
Terusan bertujuan untuk menjaga keutuhan ciptaan yang menjadi bagian tidak terpisahkan
12 Hal ini disampaikan oleh Gubernur Kalimantan Timur, Awang Faroek Ishak, dalam harian Kompas,
tanggal 26 September 2017.
13 Yusak B. Setyawan, Menuju Eko-Eklesiologi: Gereja dalam Konteks Persoalan Ekologis di
Indonesia. Dalam Menggereja Secara Baru di Indonesia, Yusak Soleiman (Editor), (Jakarta: Persetia, 2015),
165.
14 Yusak B. Setyawan, “Menuju Eko-Eklesiologi”, 202.
15 E. Geritt Singgih, Berteologi dalam Konteks: Pemikiran-pemikiran Mengenai Kontekstualisasi
Teologi di Indonesia. (Jakarta & Yogyakarta: BPK Gunung Mulia & Kanisius, 2004), 226. 16 Avery Dulles,
Model-Model Gereja (Ende: Penerbit Nusa Indah, 1990), 7.

3
dalam hidup mereka. Perjuangan komunitas masyarakat Terusan bukan hanya sekadar bertahan
dari arus ekspansi perkebunan kelapa sawit, tetapi juga melakukan perlawanan melalui
penguatan nilai budaya lokal dalam hidup harmoni dengan alam. Gereja yang selama ini
tampaknya kurang tanggap dan lambat menyikapi persoalan kerusakan ekologi perlu
membangun model Gereja dengan perjumpaan dengan kearifan konteks lokal.

Adapun beberapa penelitian terdahulu dalam hubungannya dengan topik ini antara lain,
John Simon, dosen di STT Intim, menulis: “Mempertahankan Surga di Delang: Dilema Sawit
dan Hutan”.16 Masyarakat Desa Delang Kabupaten Lamandau, Kalimantan Tengah, bersehati
mempertahankan hutan dari ekspansi sawit. Penulis menemukan pemahaman teologis
masyarakat Delang bahwa hutan bukan sekadar benda yang bernilai ekonomis, melainkan
“rumah” bagi Yang Ilahi. Bagi Penulis pandangan dunia primal dari sistem kepercayaan
masyarakat lokal tersebut dapat menolong gereja menemukan kembali misi kontekstualnya.
Penelitian lain dari tesis “Ecothelogy In The Crisis of Lake Tondano” oleh Angie Olivia
Wuysang.17 Peneliti menemukan hanya jemaat GMIM Desa Telap dari puluhan gereja yang
terdorong oleh motivasi ekonomi dan teologi yang antroposentris dalam upaya pelestarian di
danau Tondano yang mengalami krisis ekologi. Fokus Penulis yang membedakan dari
penelitian diatas terletak pada upaya membangun model gereja dalam kearifan ekoteologis
lokal masyarakat Terusan yang tidak antroposentris tetapi dalam keutuhan hubungan dengan
manusia, alam, dan Tuhan.

Menjadi salah satu primadona komoditas, pemandangan tanaman kelapa sawit


mendominasi sepanjang jalan Kabupaten Sanggau dan sekitarnya. Namun, di balik hamparan
hijau pohon kelapa sawit di kedua kabupaten terluas di Kalimantan Barat itu, terdapat sejumlah
masalah, terutama yang menimpa para petani sawit. Mulai dari legalitas, perizinan, harga jual
sawit, sulitnya mengakses dana replanting, hingga minimnya pendampingan tentang tata cara
berkebun sawit yang tepat.
Tak hanya itu, petani juga membutuhkan Surat Tanda Daftar Usaha Perkebunan untuk
Budidaya (STDB). Surat yang diperuntukkan bagi pemilik lahan sawit kurang dari 25 hektare
ini bertujuan untuk mendaftar petani yang nantinya akan diberikan pembinaan oleh
Kementerian Pertanian.

B.RUMUSAN MASALAH

1. Penjualan tandan buah segar di Kabupaten Sanggau pada petani kelapa sawit terdapat
perbedaan saluran pemasaran.

16 John Simon, Mempertahankan Sorga di Delang: Dilema sawit dan hutan. Jurnal Gema Teologika
Volume 1 No.2, Oktober 2016.
17 Angie Olivia Wuysang, Ecothelogy In The Crisis of Lake Tondano, Tesis, Fakultas Agama dan
Lintas Budaya, Universitas Gadjah Mada, 2011.

4
2. Bagaimana ekspansi perkebunan kelapa sawit di Sanggau?

3. Bagaimana kearifan ekoteologis masyarakat Terusan menyikapi ekspansi perkebunan


kelapa sawit?

C.TUJUAN

1. Untuk mengetahui kondisi petani dan budidaya komoditas tanamannya


2. Mendeskripsikan dan menganalisi ekspansi perkebunan kelapa sawit di Sanggau

3. Mengkaji kearifan ekoteologis masyarakat Terusan dalam menyikapi ekspansi perkebunan

kelapa sawit

D.MANFAAT

1. Untuk mengetahu kondisi pertanian dalam membudidaya tanaman yang terdapat pada
perkebunan kelapa sawit di Sanggau.

5
BAB II

KONDISI UMUM

A. Permasalahan yang dihadapi petani dalam budidaya kelapa sawit

Persoalan perkebunan kelapa sawit di Kabupaten Sintang masih banyak yang belum
terselesaikan. Bahkan persoalan antara pihak perusahaan perkebunan kelapa sawit dengan
masyarakat setempat semakin menumpuk. Demikian diungkapkan Bupati Sanggau, Paolus
Hadi S.IP. M.Si. Dia mendesak Pemkab Sanggau untuk segera menyelesaikan berbagai
persoalan yang terjadi di area perkebunan kelapa sawit. Apalagi, Bupati Sanggau sendiri sudah
mengeluarkan surat edaran yang ditandatangani oleh Wakil Bupati Sanggau pada 1 April 2021,
perihal evaluasi perusahaan kebun sawit dan karet yang ada di wilayah desa. Dalam surat
edaran tersebut, Bupati Sanggau memerintahkan pada camat dan kepala desa yang desanya
berada di dalam area perkebunan sawit untuk mendata luas area perkebunan sawit yang berada
di wilayah desanya. Kemudian mendata besaran CSR yang diberikan oleh perusahaan pada
desa dalam bentuk uang atau program – program kegiatan. “Dalam surat edaran itu, camat dan
kepala desa juga diminta mendata luas lahan HGU perusahaan perkebunan yang berada di
wilayah desa yang tidak dikelola atau ditelantarkan lebih dari dua tahun. Apakah surat edaran
ini sudah dilaksanakan oleh camat dan kepala desa,” tanya Paolus. Dia melihat di beberapa
areal perusahaan perkebunan sawit terjadi persoalan yang perlu menjadi perhatian khusus oleh
Pemkab Sanggau untuk disegera diselesaikan. “Karena jika tidak cepat diselesaikan bisa
menimbulkan berbagai persoalan dan konflik di masyarakat,” katanya. Paolus menyebutkan,
masih banyak perusahaan perkebunan sawit di Kabupaten Sanggau yang belum melaksanakan
tanggung jawabnya sesuai dengan MoU bersama masyarakat, atau belum melaksanakan
peraturan yang berlaku.

B. DATA STATISTIK

Kecamatan Kembayan terletak di antara Luas Wilayah 610,8 Km², luas Darat 592,8 Km².
Letak Geografis, Lintang Utara 0,33,23,1.Bujur Timur 110,24,32,6. Batas Wilayah,
Sebelah Utara Kec.Beduai, Sebelah Timur Kec.Bonti, Sebelah Selatan Kec.Tayan Hulu,
Sebelah Barat Kec.Serimbu Kab.Landak. Klimatologi, Curah Hujan Rata-Rata 304,62/mm/Th,
Jumlah Hari Hujan 96 Hari, Temperature CCC, Tingkat Kelembaban 78%.

6
BAB III

PEMBAHASAN

A. Penjualan tandan buah segar di Kecamatan Kembayan

Karakteristik responden adalah suatu identitas dari para responden yang diperoleh dari
penelitian ini meliputi luas lahan, kepemilikan lahan, usia, status pernikahan, Jenis kelamin,
pendidikan terakhir, dan jumlah tanggungan keluarga. Adapun jumlah sampel pada penelitian
ini yang menjadi responden adalah 97 petani terdiri dari 52 petani plasma, 45 petani swadaya,
dan 33 pedagang pengumpul. Adapun karakteristik sampel petani yang bergabung dengan
program kemitraan ini meliputi umur, Pendidikan, luas kebun, Pengalaman usahatani kelapa
sawit, produktivitas kelapa sawit,frekuensi panen dan harga jual kelapa sawit.

Harga Jual dan Frekuensi Panen Petani Plasma Tahun 2018 didapatkan menunjukkan umur
rata-rata petani plasma adalah 45 tahun dimana ini tergolong dalam usia produktif dengan
rentang 30 – 60 tahun, hal tersebut dikarenakan usia petani masih mampu bekerja dan
menghasilkan kebutuhan hidup maupun sebagai tambahan Pendidikan petani juga tergolong
masih rendah dengan rata-rata berpendidikan 7 tahun. Luas kebun kelapa sawit rata-rata 2,5 ha.
Pada pengalaman Bertani kepala sawit rata rata 20 tahun. Produktifitas rata-rata kebun kelapa
sawit per sekali panen 2.000 kg. Hal tersebut menunjukkan bahwa tinggi produktifitas
dikarenakan pengamalan petani kelapa sawit dalam pengelolaanya sudah lama. Frekuensi
panen rata rata 14 hari atau sama dengan 2 kali dalam sebulan dengan harga jual Rp. 1800 /kg.

Umur rata-rata petani swadaya rentang 25-45 tahun. Sementara pada tingkat pendidikan
rata-rata 9 tahun dengan luas kebun sebanyak 2 ha. Lamanya berkebun kelapa sawit dengan
rata-rata 15 tahun dengan rata-rata sekali panen 1.000 kg. Hal tersebut menunjukkan bahwa

7
rendahnya produktifitas dikarenakan kurangnya pengamalan petani tentang kelapa sawit dalam
pengelolaan kebun kelapa sawit. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian (Petrus, 2019)
yang mengatakan bahwa yang memiliki luas kebun rata-rata 2,3 ha dengan produktifitas rata-
rata per sekali panen 2.400 kg. Hal tersebut menunjukkan bahwa rendahnya produktifitas
dikarenakan kurangnya pengamalan petani tentang kelapa sawit dalam pengelolaanya.
Pedagang pengumpul telah melakukan usaha ini rata-rata selama 2 tahun dengan rata-rata
pembelian perhari 6.000 kg, informasi harga yang ditawarkan pedagang pengumpul sesuai
dengan harga yang berada di pabrik PT. MPE, harga yang di pabrik Rp. 2.200 maka petani akan
beli TBS dari petani sebesar Rp 1.800, rata-rata pembelian TBS berasal dari petani swadaya
dikarenakan mayoritas petani di Kecamatan Kembayan petani swadaya, hal tersebut
menunjukkan bahwa pengumpul di Kecamatan Kembayan sudah memiliki pengalaman dalam
usaha pemasaran kelapa sawit. Dalam pengumpulan kelapa sawit, pengumpul secara langsung
mengambil hasil panen kelapa sawit petani ke lokasi kebun atau TPH (tempat pengumpulan
hasil). Pabrik ini sudah beroperasi selama 10 tahun dengan penerimaan dan penjualan
perharinya sebanyak 1.000 ton, banyaknya tonasi diperoleh dari penjualan pedagang
pengumpul rata-rata sebanyak 300 ton dan PT. MPE dalam sehari bisa melakukan pemanenan
rata-rata TBS sebanyak 700 ton.

B. Faktor-faktor Yang Mempengaruhi Pemilihan Saluran Pemasaran

Pada saluran pemasaran ini petani sebagai produsen bisa menjual kepada pedagang
pengumpul dan pabrik, selanjutnya pedagang pengumpul menjual kepada Pabrik sebagai
konsumen akhir pemasaran kelapa sawit dengan persentase petani plasma menjual ke pabrik
48% sedangkan lebih banyak ke pedagang pengumpul 52%. Persentasi petani swadaya menjual
ke pabrik hanya 2% saja sedangkan ke pedagang pengumpul sebanyak 98% . Keterangan lebih
lengkat sapat dilihat pada gambar 2:

8
1) Petani Plasma

Petani plasma juga memiliki beberapa alasan yang menjadi faktor pemilihan saluran
pemasaran dalam menjual TBS terkait dengan pinjaman, jarak dan harga yang dilakukan oleh
pedagang pengumpul dengan persentase pinjamanan sebanyak 4% , jarak 50% dan harga 46%.
Keterangan lebih lanjut dapat dilihat pada gambar 3.

- Adanya keterikatan pinjaman dengan pedagang pengumpul Pinjaman yang diberikan


pedagang pengumpul menjadikan petani plasma untuk meminjam kebutuhan sarana produk dan
meminjam pupuk. Karena sering terjadi pinjaman maka petani plasma dan pedagang
pengumpul memiliki hubungan yang baik untuk berlanggan menjual hasil TBS langsung
kepedagang pengumpul

9
- Jarak lokasi penjualan Jarak pada penelitian adalah lokasi kebun dengan lokasi penjualan.
Dalam lampiran 4 menunjukkan bahwa hanya 25% petani plasma yang menjadikan alasan
petani plasma memilih saluran pemasaran tersebut dikarenakan lokasi yang ditempuh tidaklah
jauh dari kebun kepala sawit jika diantar menggunakan kendaran roda dua, dan pedagang
pengumpul juga bersedia mengambil ke lokasi jika buah kelapa sawit cukup banyak.

- Harga yang ditawarkan Harga yang ditawarkan adalah keseluruhan jumlah TBS yang tersedia
untuk ditawarkan pada berbagai tingkat harga tertentu dan waktu tertentu. Jika harga TBS naik,
jumlah barang yang ditawarkan bertambah. Jika harga naik petani plasma lebih menjual ke
pedagang pengumpul. Begitu juga ketika harga TBS turun, maka jumlah barang yang
ditawarkan juga turun atau semakin sedikit, metode pembayaran juga dilakukan secara
langsung. Dengan menggunakan metode pembayaran secara langsung maka pelayanan yang
dilakukan pedagang pengumpul juga mempengaruhi petani plasma menjual langsung ke
pedagang pengumpul.

2) Petani Swadaya Dalam tujuan penjualan, petani juga memiliki beberapa alasan
mengapa petani pekebun memilih menjual kepada lembaga tersebut.

- Adanya keterikatan pinjaman dengan pedagang pengumpul Petani kelapa sawit menerima
perlakuan khusus seperti pinjaman berbentuk uang kebutuhan petani maupun alat
pertanian dan pupuk dan membayar dengan cara cicilan setiap kali panen dan dipotong
dengan hasil panen tersebut. Karena sudah langganan dengan pedagang pengumpul petani
swadaya yang melakukan pinjaman akan dibayar oleh petani dengan kesepakatan
pembayaran secara sukarela atau kemampuan petani untuk membayar dengan
pemotongan pada hasil panen. Hal tersebut dilakukan pedagang pengumpul untuk menark
pelanggan menjual hasil TBS ke pedagang pengumpul.
- Jarak lokasi penjualan Jarak lokasi penjualan juga menjadi alasan sebagian petani untuk
memilih menjual hasil kelapa sawit secara tetap kepada pedagang pengumpul tersebut,
dapat dilihat pada lampiran 4 dimana 25% petani menjadikan faktor alasan petani dalam

10
memilih tujuan penjualan. Pedagang pengumpul secara langsung menjemput ke lokasi
TPH kebun petani, jarak tidak menjadi alasan penuh pada petani dalam memilih saluran
pemasaran.
- Harga yang ditawarkan Selain jarak, harga yang tinggi juga menjadi alasan petani kemana
petani sebagai produsen menjual hasil panennya dengan metode pembayaran secara
langsung. Harga yang diberikan oleh pedagang pengumpul bervariasi, hal tersebut
dikarenakan kondisi daerah kelapa sawit itu tumbuh, bagi petani swadaya juga sudah
langganan untuk mengantarkan TBS langsung ke pedagang pengumpul tidak terlalu jauh
selain itu jarak penjemputan hasil panen juga menjadi kriteria penentuan harga yang akan
diberikan pedagang pengumpul maupun pabrik sebagai lembaga pemasaran.

KESIMPULAN DAN SARAN

KESIMPULAN

Kesimpulan hasil dan pembahasan ini bahwa saluran pemasaran kelapa sawit Tandan
Buah Segar (TBS) di Kecamatan Kembayan terdapat 2 saluran pemasaran dan 1 saluran
pemasaran Saluran I ( Petani – Pedagang pengumpul – Pabrik ) dan saluran II ( Petani –
Pabrik) Kemudian fungsi pemasaran yang dilakukan oleh pelaku pemasaran di Kecamatan
Kembayan pada masing-masing saluran petani plasma dan petani swadaya yaitu melakukan
fungsi penjualan, pengangkutan dan Informasi pasar. Pedagang pengumpul melakukan fungsi
pembelian, penjualan, pengangkutan, standarisasi, penanggungan resiko dan Informasi pasar.

Adapun Biaya pemasaran pada saluran pemasaran petani di Kecamatan Kembayan


baik saluran pertama dan ke dua sebesar Rp. 630/kg. Hal ini menunjukan keuntungan yang
didapat petani sebesar Rp.1.570 dari hasil penjualan TBS dan marjin pemasaran pada saluran
petani di Kecamatan Kembayan sebesar Rp. 1.170/kg, sedangkan di pedagang pengumpul
sebesar Rp.1.800/kg. Dari 2 metode yang digunakan dalam menganalisis pemasaran kelapa
sawit di Kecamatan Kembayan pemasaran yang paling efisien adalah pada saluran petani
langsung ke Pabrik.

Faktor-faktor yang mempengaruhi petani plasma dan swadaya dalam menjual Tandan
Buah Segar (TBS) karena memiliki ikatan pinjaman dan sudah langganan, jarak tempuh
antara kebun kelapa sawit tidaklah jauh dari tempat penjualan. Jarak akan mempengaruhi
pelayanan petani untuk menjual TBS dan harga yang ditawarkan juga tidaklah jauh dengan di
pabrik.

SARAN

11
Kepada petani plasma dan sawadaya di harapkan dapat meningkatkan hasil produksi
dan memperbaiki kulitas TBS suapaya dapat meningkatkan pendapatan petani dan diharapkan
untuk kedepanya petani tidak lagi membayar uang jalan dari setiap hasil penjulan TBS,
langsung saja diambil alih oleh pihak pabrik.

DAFTAR PUSTAKA

Asih, P. (2010). Potensi Konflik Pengembangan Perkebunan Kelapa Sawit. Dalam


https://annisaafillah.wordpress.com/2010/05/10/potensi-konflik-pengembanganperkebunan-
kelapa-sawit-oleh-putri-asih-sulistiyo/., 23 Januari 2016. BPS. (2018). Dalam B. P. Statistik.
Provinsi Kalimantan Barat. BPS. (2018). Badan Pusat Statistik Kabupaten Sintang. Petrus, O.
H. (2019). Analisis Efisiensi dan Marjin Tataniaga Tandan Buah Segar (TBS) Pada Pelaku
Pemasaran Kelapa Sawit ( Ealis Jacq) di Kabupaten Lbuhan Batu Utara dan Kabupaten
asahan. Ratya, A. (2017). Pemasaran Produk Pertanian . Yogyakarta: Cv. Andi Offset.
Soekartawi. (1995). Dalam A. Usahatani. Jakarta: UI-PRESS. Soekartawi. (1995). Analisis
Usahatani. Jakarta: UI-PRESS.

https://data.sanggau.go.id/dataset/luas-letak-geografis-batas-wilayah-klimatologi-2022/
resource/5651efed-2adb-4510-8acf-e68e32faad89

12

Anda mungkin juga menyukai