Anda di halaman 1dari 25

See

discussions, stats, and author profiles for this publication at: https://www.researchgate.net/publication/304782743

TATA KELOLA RANTAI NILAI SAWIT DAN


KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN
Conference Paper May 2016

CITATIONS

READS

465

6 authors, including:
Herry Purnomo

Ade Ayu Dewayani

IPB and CIFOR

Center for International Forestry Research

57 PUBLICATIONS 414 CITATIONS

2 PUBLICATIONS 0 CITATIONS

SEE PROFILE

SEE PROFILE

Ramadhani Achdiawan

Beni Okarda

Center for International Forestry Research

Center for International Forestry Research

26 PUBLICATIONS 610 CITATIONS

4 PUBLICATIONS 6 CITATIONS

SEE PROFILE

All in-text references underlined in blue are linked to publications on ResearchGate,


letting you access and read them immediately.

SEE PROFILE

Available from: Herry Purnomo


Retrieved on: 23 September 2016

TATA KELOLA RANTAI NILAI SAWIT DAN KEBAKARAN HUTAN DAN LAHAN1
Oleh: Herry Purnomoa,b, Ade Ayu Dewayania, Ramadhani Achdiawana, Made Alic, Samsul Komard, Beni
Okardaa dan Kartika Sari Juniwatya
a

Center for International Forestry Research (CIFOR), Bogor


Fakultas Kehutanan, Institut Pertanian Bogor (IPB), Bogor
c
Jaringan Kerjasama Penyelamat Hutan Riau (JIKALAHARI), Riau
d
World Wildlife Fund (WWF) Indonesia, Riau
b

ABSTRAK
Sawit merupakan komoditi super yang mendukung pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional.
Sawit menyumbang ekspor Rp 280 trilyun dengan luas kebun 11,4 juta ha. Namun adanya kebakaran dalam
penyiapan lahan dan penanaman kembali sawit membuat Presiden Indonesia mengeluarkan moratorium
pemberian izin baru untuk perluasan kebun sawit. Sebelumnya pemerintah telah meluncurkan ISPO
(Indonesian Sustainable Palm Oil) pada tahun 2011 untuk mengembangkan kebun sawit yang layak
ekonomi, sosial dan ramah lingkungan. Sampai sekarang hanya sekitar 20% industri yang bersertifikat
ISPO. Makalah ini menjawab pertanyaan tentang hubungan antaraktor dalam rantai nilai sawit, tata kelola
nilai sepanjang rantai tersebut serta solusi kedepan agar tata kelola sawit dapat mencegah kebakaran.
Penelitian ini dilakukan dengan metode peninjauan (review) hasil penelitian sebelumnya, diskusi kelompok
terfokus dengan parapihak di Provinsi Riau dan kunjungan lapangan serta analisis rantai nilai sawit. Kami
menemukan bahwa sawit merupakan bagian dari solusi pengembangan ekonomi daerah dan nasional bila
dikembangkan secara berkelanjutan. Jika tidak maka rantai nilai sawit akan melibatkan pemburu rente
berupa pengklaim lahan ilegal, penebas serta pembakar lahan dan hutan. Tata kelola sawit dikuasai oleh
empat aktor besar yaitu pemilik kilang, PKS, korporasi kebun dan pemilik kebun skala sedang. Keempat
aktor ini memiliki peran besar dalam menentukan standar, kualitas dan tata cara perdagangan sawit dari
hulu ke hilir. Solusi yang dapat diterapkan untuk mengembangkan tata kelola sawit dalam pencegahan
kebakaran hutan adalah melalui penguatan asosiasi petani dengan skenario bergerak ke atas dan skenario
produk hijau.
Kata kunci: tata kelola, sawit, kebakaran, rantai nilai, produk hijau
I. PENDAHULUAN
Indonesia menyediakan 52% dari pasokan sawit dunia. Indonesia bertekad untuk terus menjadi
pemasok terbesar komoditas ini dengan bantuan investasi dari negara-negara lain termasuk Malaysia dan
Singapura. Lewat areal seluas 11.4 juta ha, Indonesia mengekspor 33 juta ton sawit dengan penghasilan
20,75 milyar dolar AS pada tahun 2015 (MoI 2015). Sawit adalah komoditas ekspor terbesar Indonesia
setelah minyak dan gas.
Indonesia berencana untuk mengalokasikan jutaan hektar untuk pengembangan pertanian. Ada
10,15 juta ha hutan produksi konversi yang dialokasikan untuk penggunaan non-kehutanan dari total hutan
produksi 68,99 juta ha (Prathama 2016). Pemerintah juga berencana untuk melakukan reformasi lahan
(land reform) seluas 9 juta ha untuk petani kecil (smallholder) termasuk sawit.2 Permintaan terhadap lahan
di Indonesia terutama didorong oleh tingginya pemintaan global terhadap sawit. Sebagai komoditas
1

Inti artikel ini telah dipresentasikan pada Diskusi Kelompok Terfokus (FGD) Penguatan posisi ISPO sebagai
standar utama industri kelapa sawit Indonesia, Kementerian Koordinator Ekonomi, Kota Tua, Jakarta, 24 Mei
2016. Email penulis koresponden h.purnomo@cgiar.org
2
http://setkab.go.id/prioritas-untuk-petani-marjinal-pemerintah-segera-bagikan-lahan-seluas-9-juta-hektar/

perkebunan, sawit merupakan tanaman yang sangat produktif yang menghasilkan tujuh kali lipat lebih
banyak dari minyak rapeseeds (Brassica napus) dan 11 kali lebih banyak dari kedelai per hektar. Selain itu,
minyak sawit berkualitas tinggi dan sangat serbaguna. Sawit umumnya dipakai sebagai minyak goreng di
negara-negara Asia. Secara global minyak sawit sekarang digunakan sebagai dasar untuk margarin, sabun,
lipstik, berbagai ragam kembang gula dan coklat, es krim, pelumas industri dan bahan bakar (bio-fuel).3
Sawit menjadi kunci pertumbuhan ekonomi daerah dan nasional yang harus dilindungi
pemerintah.4 Namun Presiden Jokowi sebelum kunjungan keliling Eropa telah menyampaikan rencana
moratorim pemberian izin baru untuk perluasan sawit dan tambang karena alasan kebakaran hutan dan
lahan (Karhutla) dan pelestarian lingkungan.5 Api sering dipakai untuk membersihkan lahan karena murah
dan cepat. Ini jelas illegal, namun kenyataan menunjukkan 16% titik panas (hot spots) dari 2010-2015 di
seluruh Sumatra dan Kalimantan terjadi pada kebun sawit di lahan areal penggunaan lain (APL) dan
kawasan hutan (Purnomo et al. 2015a). Industri sawit dalam rantai pasoknya juga mendapatkan tandan
buah segar (TBS) dari mereka yang mengkonversi hutan lindung dan taman nasional menjadi kebun sawit
(EOF 2016) termasuk dari Taman Nasional Tesso Nilo (WWF 2013) dan Hutan Lindung Bukit Betabuh
(Ali 2015). Konversi hutan ke kebun sawit dianggap sebagai sumber deforestasi.6
Indonesia bertekad melaksanakan pembangunan ekonomi berdasarkan prinsip berkelanjutan dan
berwawasan lingkungan sesuai dengan amanat UUD 1945, Pasal 33 ayat 4.7 Pemerintah, lewat
Kementerian Pertanian, telah menetapkan berlakunya ISPO (Indonesian Sustainable Palm Oil) lewat
Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 19/2011 yang diperbarui dengan Permentan No. 11/2015.
ISPO, dalam Permentan tersebut, didefinisikan sebagai sistem usaha di bidang perkebunan kelapa sawit
yang layak ekonomi, layak sosial dan ramah lingkungan didasarkan pada peraturan perundangan yang
berlaku di Indonesia.
Situasi yang dilematis ini bisa diringkas. Pertama, sawit sangat penting bagi pelaku ekonomi besar
dan kecil dan bagi ekonomi daerah dan nasional itu sendiri. Kedua, sawit melibatkan perusakan lingkungan
dan pembakaran dalam rantai pasoknya. Ketiga, usaha-usaha pembangunan berkelanjutan seperti
penerapan ISPO mengalami kendala dalam pelaksanaanya. Walaupun transparansi ISPO perlu
ditingkatkan jika dibandingkan dengan roundtable on sustainabile palm oil (RSPO) yang lebih dulu ada
(Suharto et al. 2015). Makalah ini bertujuan untuk memetakan rantai nilai sawit dan tata kelolanya yang
meliputi korporasi dan petani plasma dan swadaya serta hubungannya dengan Karhutla. Makalah ini
menjawab pertanyaan (a) bagaimana hubungan antaraktor dalam rantai nilai sawit yang meliputi pasarkilang-PKS (pabrik kelapa sawit)-kebun? (b) bagaimana tata kelola nilai sepanjang rantai tersebut, siapa
yang berkuasa? Dan (c) Bagaimana solusi kedepan agar tata kelola sawit dapat mencegah kebakaran?

II. METODA

http://www.mongabay.co.id/2015/04/17/mengapa-sawit-berkembang-sebagai-komoditas-perkebunan-utamadi-indonesia/
4
http://www.neraca.co.id/article/53156/pemerintah-harus-lindungi-industri-sawit-nasional-jadi-kuncikemandirian-ekonomi
5

http://nasional.kompas.com/read/2016/04/14/16062001/Jokowi.Akan.Keluarkan.Moratorium.Lahan.Sawit.dan.Ta
mbang
6
http://www.mongabay.co.id/tag/sawit-sumber-deforestasi/
7
http://www.si-pedia.com/2014/03/bunyi-pasal-33-uud-1945-1-5-dan-pembahasannya.html

Penelitian ini dilakukan dengan cara (a) Peninjauan (review) hasil penelitian dan investigasi
sebelumnya mengenai sawit dan kebakaran; (b) Diskusi kelompok terfokus (Focus Group Discussion atau
FGD) dengan parapihak di Provinsi Riau dan kunjungan lapangan; (c) Analisis rantai nilai (Value chains
analysis, VCA).
FGD dilakukan pada tanggal 9 Mei 2016 yang dihadiri perwakilan dari pemerintah, lembaga
swadaya masyarakat (LSM), pebisnis, masyarakat desa, akademisi dan mahasiswa relawan pencegah
kebakaran. FGD dihadiri oleh peserta yang terdiri dari berbagai kalangan. Pemerintah diwakili oleh Dinas
Kehutanan Provinsi Riau; perusahaan diwakili oleh Asosiasi Pengusahaan Hutan Indonesia (APHI); LSM
diwakili oleh JIKALAHARI, World Wildfile Fund (WWF), Wahana Lingkungan Hidup Indonesia
(WALHI), Jaringan Masyarakat Gambut Riau (JMGR), The Nature Conservancy (TNC) dan Eyes on the
Forest (EOF); masyarakat diwakili oleh Kepala Desa dan Ketua Masyarakat Peduli Api (MPA) Desa
Dompas dan Sejangat; serta mahasiswa diwakili oleh Relawan Duta Desa Bersih Jerebu.Partisipan FGD
disajikan temuan-temuan yang telah dilakukan oleh CIFOR, WWF dan Eyes on the Forest tentang rantai
nilai sawit. Partisipan kemudian dibagai menjadi tiga kelompok yang masing-masing mendalami rantai
nilai sawit lebih rinci. Masing-masing kelompok kemudian menyampaikan kembali dalam rapat pleno dan
mendapat masukan dari kelompok lainnya. Annex 1 menyajikan daftar peserta FGD.
Tinjauan lapangan dilakukan pada tanggal 10-12 Mei 2016 oleh empat orang, 1 dari CIFOR/IPB,
1 orang CIFOR, 1 orang WWF dan 1 orang JIKALAHARI. Tinjauan lapangan dilakukan di Kabupaten
Indragiri Hulu yaitu di Hutan Lindung Bukit Betabuh dan Kabupaten Pelelawan yaitu Kompleks Hutan
Tesso Nilo yang meliputi Taman Nasional Tesso Nilio, PT Sola Hutani Lestari dan PT Siak Raya Timber.
Tinjauan lapangan dilakukan disertai diskusi dengan pekerja traktor land clearing, tokoh masyarakat
setempat dan aparat desa.
Wawancara dengan grup responden 1 (SLH) ada di kilometer 102 Koridor RAPP Baserah. Koridor
atau jalan logging ini dibangun PT RAPP dengan total sepanjang 54,1 kilometer, membelah kawasan Tesso
Nilo dari Utara ke Selatan, terbagi atas jaringan jalan sepanjang 30 km di sebelah barat (Koridor Sektor
Baserah), dan sepanjang 24,1 km disebelah timur (Koridor Sektor Ukui-Gondai).8 Wawancara dengan grup
responden 2 (STM) yang sedang membuka lahan di Hutan Lindung Bukit Batabuh. Wawancara dengan
grup responden 3 (MKL) tokoh masyarakat Sungai Santan, kecamatan Batang Cebaku, Kabupaten Indragiri
Hulu. Gambar 1 menyajikan peta situasi penelitian dan lokasi wawancara.

http://www.wwf.or.id/?5420/PT-RAPP-Cut-Logging-Access-to-Tesso-Nilo

Gambar 1. Peta situasi Kompleks Hutan Tesso Nilo and Hutan Lindung Bukit Betabuh dan lokasi
wawancara
VCA dilakukan dengan tahapan sebagai berikut (Kaplinsky and Morris 2001; Herr et al. 2006): (a)
memetakan awal rantai nilai tambah; (b) survei lapangan; dan (c) evaluasi temuan dan mengembangkan
skenario intervensi. VCA difokuskan untuk mencari rangkaian nilai tambah dan tatakelolanya dari setiap
simpul mulai dari kebun sampai dengan produk akhir sawit. Nilai tambah merupakan nilai yang diberikan
oleh setiap aktor dalam pembentukan produk. Setiap aktor dalam rantai nilai berkontribusi dalam
pembentukan harga akhir. Jika nilai tambah itu dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan akan menjadi
keuntungan dari aktor tersebut.
Tata kelola sawit mengeksplorasi hubungan antaraktor di tiap simpul tersebut. Hubungan itu
dibedakan menjadi empat kategori yaitu hirarki, jaringan terpimpin (directed network), jaringan seimbang
(balanced network) dan pasar. Hirarki dicirikan oleh integrasi vertikal, pemasok dimiliki oleh customer,
dan terbatas kesempatan mengambil keputusan sendiri. Jaringan terpimpin dicirikan oleh customer utama
mengambil 50% output, customer memberi bantuan teknis dan ketidakseimbangan informasi. Jaringan
seimbang diindikasikan oleh pemasok punya ragam customer, pertukaran informasi dua arah, dan keduanya
punya kapasitas negosiasi. Pasar diidikasikan oleh banyak pemasok dan banyak customer, tidak ada
bantuan teknis, transaksi berulang, dan pertukaran informasi terbatas (Muradian and Pelupessy 2005).

III. HASIL DAN PEMBAHASAN


3.1. Sawit dan kebakaran
3.1.1. Sawit Indonesia dan Riau
Perkebunan sawit di Indonesia mempunyai luat 11,4 juta ha (Tabel 1). Petani memiliki 41%,
korporasi 52% dan badan usaha milik negara (BUMN) 7%. Kebun sawit mengalami perluasan dua kali dari
tahun 2005 ke 2015. Perluasan ini dilakukan oleh petani dan pihak swasta, sedangkan BUMN tumbuh
perlahan.

Tabel 1. Pengembangan kebun sawit di Indonesia (MoA 2015)


Tahun
2005
2006
2007
2008
2009
2010
2011
2012
2013
2014
2015

Petani
2,356,895
2,549,572
2,752,172
2,881,898
3,061,413
3,387,257
3,752,480
4,137,620
4,356,087
4,551,854
4,739,986

Luas kebun (ha)


Swasta
BUMN
2,567,068
529,854
3,357,914
687,428
3,408,416
606,248
3,878,986
602,963
4,181,369
630,512
4,366,617
631,520
4,561,966
678,378
4,751,868
683,227
5,381,166
727,767
5,656,105
748,272
5,935,465
769,357

Total
5,453,817
6,594,914
6,766,836
7,363,847
7,873,294
8,385,394
8,992,824
9,572,715
10,465,020
10,956,231
11,444,808

Provinsi Riau merupakan pusat penelitian dampak sawit terhadap lingkungan karena mempunyai
luas kebun terbesar di Indonesia yaitu 2,4 juta ha. Investasi sawit tidak hanya dari dalam negeri tetapi juga
dari negara tetangga terutama Malaysia dan Singapura. Investasi dari luar negeri marak setelah
penandatanganan Letter of Intent (LoI) antara Indonesia dan International Monetary Fund (IMF) tahun
1998 untuk liberalisasi investasi perkebunan di Indonesia (Varkkey 2016). Kabupaten Rokan Hulu
mempunyai luas kebun sawit terbesar (Tabel 2). Total kebun kelapa dan karet menempati areal seluas lebih
dari 1 juta ha, atau dengan kata lain sawit merupakan perkebunan terluas dan pilihan utama di Riau
dibandingkan kebun-kebun lainnya.
Table 2. Sebaran kebun sawit, kelapa dan karet di Provinsi Riau (BPS Riau 2015)
No Kabupaten/kota
1
2
3
4
5
6
7
8
9
10
11
12

Kuantan Singingi
Indragiri Hulu
Indragiri Hilir
Pelalawan
Siak
Kampar
Rokan Hulu
Bengkalis
Rokan Hilir
Kepulauan Meranti
Pekanbaru
Dumai
Total

Luas kebun (ha)


Sawit
Kelapa
Karet
128,808
2,614 145,388
118,969
1,828
61,372
228,051 439,955
5,369
306,877
16,668
29,632
287,331
1,657
15,569
400,249
1,766 102,353
422,850
1,132
56,442
198,947
12,531
35,472
271,679
5,547
26,359
10,929
15
2,917
37,129
1,729
2,395
31,453
13,638
2,411,819 516,895 496,906

Sawit Indonesia sebesar 10 juta ton diekspor ke India (21%) dan 7 juta ton ke Tiongkok (16%).
Impotir sawit Indonesia adalah India, Tiongkok, Uni Eropa, Pakistan, Malaysia, Mesir, Bangladesh dan
5

Amerika Serikat (USDA 2016). Sekitar 70% ekpor sawit Indonesia dilakukan oleh enam besar yang
tergabung dalam Indonesian Palm Oil Pledge (IPOP)9 yaitu Wilmar, Cargil, Golden Agri-Resources
(GAR), Asian Agri, Musim Mas dan Astra Agro Lestari. IPOP pada tanggal 29 Juni 2016 telah
membubarkan diri dengan alasan tidak sesuai dengan regulasi di Indonesia.10

3.1.2. Penggunaan lahan dan kebakaran


Berdasarkan overlay dari data World Resource Institure (WRI), National Aeronautics and Space
Administration (NASA) dan KLHK didapatkan penggunaan lahan seperti pada Tabel 3. Secara garis besar
areal terbagi menjadi dua bagian yaitu izin konsesi korporasi 34% dan di luar izin konsesi/korporasi 65%.
Ada empat jenis konsesi yaitu areal Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Dalam Hutan Alam
(IUPHHK-HA atau biasa dikenal dengan HPH), hutan tanaman industri (HTI) dan Kebun kelapa sawit
(KKS) dan satu areal tumpang-tindih antara ketiganya. KKS ada di dua tempat yaitu kawasan APL (9%)
dan kawasan hutan yang beralih fungsi menjadi kebun (3%). Sedangkan di luar konsesi terdiri dari APL
yang diluar kebun sawit (29%) dan kawasan hutan (36%).
Tabel 3. Penggunaan lahan di Sumatra dan Kalimantan (Purnomo et al. 2015a)
Luas

Penggunaan lahan
Ha

Di dalam konsesi
dan korporasi
(34% luas lahan;
45% titik panas)

Di luar konsesi
dan korporasi
(66% luas lahan
dan 55% titik
panas)

Rerata titik
panas
Jumlah
%
545
4

HPH

12,501,285

12

HTI

8,443,633

3,297

23

8,951,386

1,589

11

2,791,974

750

2,374,943
29,876,742

2
29

260
4,963

2
21

36,851,699

36

3,057

34

101,791,661

100

14,459

100

Terletak di
APL
Kebun kelapa sawit (KKS) Terletak di
kawasan
hutan
Tumpang-tindih
APL (di luar KKS)
Kawasan hutan (di luar konsesi HTI dan
KKS)

Jumlah total

Titik panas selama 15 tahun rata-rata terakhir terjadi pada konsesi korporasi HPH, HTI dan kebun
kelapa sawit (KKS) dan di luar konsesi. Rata-rata Titik panas sebanyak 45% ada di wilayah konsesi (4%
di IUPHHK-HA, 23% di HTI, 16% di KKS dan 2% di areal yang tumpang tindih (overlapped) dan 55% di
luar wilayah konsesi (34% di Kawasan hutan dan 21% di APL).
Intensitas terjadinya titik panas berbeda pada beragam penggunaan lahan. HTI merupakan wilayah
dengan kerapatan titik panas yang teritnggi sebanyak 469 titik panas per tahun per satu juta ha, diikuti KKS
9

http://www.mongabay.co.id/2016/02/23/kala-kementerian-pertanian-ancam-ipop-serikat-petani-dan-pegiatlingkungan-angkat-bicara/
10
http://perkebunannews.com/2016/06/29/anggota-ipop-membubarkan-diri/

di kawasan hutan dan APL, non konsesi APL, areal tumpang tindih konsesi dan non konsesi kawasan hutan.
Sedangkan titik panas terkecil ada pada wilayah IUPHHK-HA (Gambar 2). Ini juga dimungkinkan juga
karena intensitas manajemen lahan pada HTI dan KKS lebih tinggi daripada tipe penggunaan lahan lain.
Open access atau idle lands, yaitu areal yang di-konsesikan, namun tidak mampu dikendalikan oleh pemilik
konsesi karena konflik sosial dan ketidak jelasan tenurial memungkinkan tingginya titik panas di areal
konsesi ini.

500
450
400
350
300
250
200
150
100
50
IUPHHK-HA

HTI

KKS - APL

KKS Kawasan
hutan

Tumpang
tindih

Non-Konsesi Non-Konsesi
APL
Kws Hutan

Gambar 2. Jumlah titik panas rata-rata lima tahun terakhir per satu juta hektar (Purnomo et al. 2015a)
Titik panas dalam korporasi sawit tertinggi terjadi pada perusahaan yang tidak termasuk dalam
grup-besar, diikuti oleh grup-grup besar baik yang berbasis di Indonesia, Singapura maupun Malaysia. Jika
dibuat rata-rata selama enam tahun terakhir maka, titik panas ini terjadi 68% di areal korporasi yang bukan
termasuk grup (non-group) dan 32% pada grup-grup. Titik panas yang terjadi di grup, 19% terjadi pada
delapan grup dan 13% pada 71 grup-grup lainnya (Tabel 4).

Tabel 4. Titik panas korporasi kelapa sawit (Purnomo et al. 2015a)


No Nama grup
1 Bukan grup
2
KKS1
3
KKS2
4
KKS3
5
KKS4
6
KKS5
7
KKS6
8
KKS7
9
KKS8
10 71KKSLain

INA
INA
Sing
Sing
Sing
INA
INA
Mal
-

2010 2011 2012 2013 2014 2015 Rerata


%
283 1,435 1,413 1,094 3,330 3,023 1,763 68%
27
35
56
316
132
61
105
4%
15
42
104
113
297
29
100
4%
29
99
36
76
188
128
93
4%
9
34
41
36
144
195
77
3%
0
9
6
0
27
169
35
1%
36
92
28
27
38
70
49
2%
0
0
0
11
53
49
19
1%
2
15
47
10
18
46
23
1%
68
210
279
339
484
564
324 13%
469 1,971 2,010 2,022 4,711 4,334 2,586 100%

3.2. Rantai Nilai Sawit


Peta awal rantai nilai

Kawasan hutan dan APL atau lahan privat banyak bertransformasi menjadi menjadi kebun sawit.
Kawasan hutan yang diubah umumnya adalah yang telah rusak atau dirusak. Dari bekas kawasan hutan
yang dikelola negara, yang terlantar, nganggur dan open access, kebun-kebun sawit besar baru dibuka
(Gambar 3). Petani membuka kebun plasma dengan kerjasama dengan perusahaan. Kebun plasma bisa
dari bekas kawasan hutan yang dialihfungsikan, maupun dari APL. Petani swadaya atau independen
membuka kebun-kebun sawit swadaya yang berskala kecil, kurang dari 25 ha. Tandan buah segar (TBS)
atau Fresh Fruit Bunch (FFB) dari kebun-kebun besar dan plasma masuk dalam pabrik kelapa sawit (PKS)
yang dipunyai perusahaan. Sedangkan petani swadaya menjual TBS ke PKS swadaya atau independen.
Minyak kelapa sawit (Crude Palm Oil CPO) dan inti kelapa sawit (Palm Kernel Oil PKO) dibawah ke
kilang (refinery plant) yang umumnya merupakan unit dari perusahaan besar. Kilang ini kemudian
menjualnya ke konsumen-konsumen seperti Unilever dan Procter & Gamble untuk diolah lebih lanjut
(Gambar 3). Penggunaan terbesar CPO untuk industri minyak goreng (51%), diikuti industri margarine dan
shortening (37%), Oleochemical (8%), industri sabun mandi (3%) dan industri sabun cuci (1%).11
Konsumen

Kilang besar

Pabrik besar

Kebun besar

Hutan

Kebun plasma

Lahan nganggur

Pabrik
independen

Kebun
independen

Lahan privat

Gambar 3. Peta awal rantai nilai sawit


Pahan (2012) secara detil menggambarkan proses rantai pasok dan pengolahan sawit. Lembito et
al. (2013) menjelaskan bahwa produksi sawit ditentukan oleh keseimbangan pasokan dan permintaan.
Sedangkan Abdulla et al. (2014) menyampaikan pengaruh produksi sawit Indonesia terhadap sawit
Malaysia. Ketika Indonesia meningkatkan produksi kebun sawit, Malaysia berpindah untuk lebih
menekankan pada industri hilir sawit (downstream industry). Sedangkan Mohammadi et al. (2015)
menyatakan bahwa produksi sawit sensitif terhadap harga kedelai (soybean) dibandingkan dengan
biodiesel.

Hasil FGD dan kunjungan lapang


Pada level korporasi, harga komoditas sawit yang tinggi dan stabil membuat orang dengan
mudahnya ingin membuka kebun sawit. Terdapat kemudahan dari bank untuk korporasi dalam peminjaman
dana untuk petani yang bertujuan untuk membuka kebun sawit. Berdirinya PKS tanpa kebun juga menjadi
11

https://beutifulexperience.wordpress.com/2011/02/24/potensi-dan-prospek-bisnis-kelapa-sawit-indonesia/

pemicu maraknya pembukaan kebun sawit baru. Pihak yang menentukan harga TBS adalah korporasikorporasi besar yang beroperasi dalam produksi CPO. Ini merupakan wujud oligarki pasar. Tauke memiliki
peran penting, karena dia jadi akses petani untuk menjual panen sawitnya. Legalitas kepemilikan juga masih
sangat tidak beraturan, hanya dengan memiliki SKT dianggap kebun legal. Padahal dibangun di kawasan
ilegal menggunakan dokumen legal yang diperjualbelikan kepala desa.
Pada tingkat cukong, mengambil kasus investigasi WWF tentang kasus di Kompleks Hutan Tesso
Nilo, perambahan lahan dilakukan untuk dikonversi menjadi kebun sawit. Konversi ke kebun sawit ini
dilakukan dengan cara membakar. Perambah terdiri dari cukong dan individu. Ketika panen TBS dijual ke
CS, anak perusahaan grup sebuah grup besar sawit. Kasus kedua di Bukit Tiga Puluh, peruntukan hutan
produksi, kemudian dirambah dan dijadikan kebun sawit. Hasil TBS nya dijual ke PKS AA. Dari kedua
kasus, para petani kecil lebih dimanfaatkan oleh perusahaan besar. PKS independen menciptakan ninjaninja sawit yang merupakan pihak yang tidak mempunyai kebun tapi punya TBS, yang menampung TBS
dari petani swadaya atau independen (Gambar 4).

Gambar 4. Rantai pasok sawit yang berasal dari pembukaan illegal lahan oleh cukong dan individual
(hasil FGD)
Kami menemukan bagian Hutan Lindung Bukit Betabuh di Kabupaten Indragiri Hulu yang sedang
dikonversi secara illegal menjadi sawit dalam kunjungan lapangan. Lewat wawancara dengan Responden
STM, kami mendapatkan bahwa lahan tersebut dikelola sebuah perusahaan yang punya banyak areal sawit
di hutan lindung tersebut. Upah untuk tim operator buldozer untuk membersihkan hutan dan lahan per
ha adalah Rp. 250 ribu. Hutan yang sedang di-buldozer seluas 600 ha (Gambar 5).

Gambar 5. Konversi lahan Hutan Lindung Bukit Betabuh menjadi kebun sawit
Pada tingkat petani, bibit sawit yang ditanam masyarakat adalah adalah sawit yang memiliki berat
paling tinggi tanpa menghiraukan apakah hasil minyaknya banyak atau tidak. Sistem yang banyak
diterapkan adalah sistem ijon, di mana pengumpul memberikan bantuan/pinjaman dana kepada petani,
sehingga pada saat panen harga yang diberikan pengumpul dapat ditekan. Selanjutnya sawit dari pengumpul
akan dikumpulkan ke agen, di mana agen juga sudah menetapkan harga untuk kepada pengumpul (Gambar
6). Perusahaan besar pada umumnya jarang mengambil sawit yang dihasilkan oleh kebun-kebun
independen karena kualitasnya berbeda dengan kualitas sawit yang dihasilkan oelh kebun perusahaan.

Gambar 6. Rantai pasok sawit dari petani dan tata kelolanya (hasil FGD)
10

Hubungan antarsimpul pada umumnya bersifat hirarki atau jaringan terpimpin. PKS dan kilang
menentukan harga yang diterima oleh aktor-aktor lain. Diantara petani dan PKS ada dua aktor lain yaitu
pengumpul dan agen. Pengumpul beroperasi di lapangan dan biasanya mempunyai alat transportasi
pengangkut TBS. Sedangkan agen memegang delivery order (DO) dari PKS. Kedua aktor tersebut
berkuasa dalam penentuan harga yang diterima petani. Sebagai misal, harga jual sawit dari kebun ke
pengumpul Rp1400/kg. Harga jual dari pengumpul ke agen Rp1450. Harga di tingkat petani tidak seperti
harga yang ditetapkan oleh pemerintah.

Rantai Nilai Sawit


Rantai nilai sawit terbentuk dari pembuatan kebun sampai konsumsi minyak goreng. Hutan
dikonversi menjadi kebun lewat secara legal dan illegal. Secara legal lewat pelepasan kawasan hutan
produksi konversi. Sedangkan jalur illegal lewat perambahan (encroachment) hutan. Untuk setiap hektar
kebun sawit rata-rata menghasilkan TBS 20-24 ton/tahun atau 2 ton/bulan. Satu ton TBS berharga sekitar
Rp1-1,6 juta. Hidayat et al. (2014) menggambarkan beragam rantai pasokan dari kebun sampai dengan
konsumen sawit serta aliran uangnya. Lifianthi et al. (2014) menyatakan penerimaan per ha dari petani
sawit plasma di lahan kering per ha per tahun adalah 29,6 juta, biaya produksi Rp 4,2 juta, sehingga
keuntungannya Rp 25,4 juta/ha/th, atau sekitar Rp 2 juta rupiah per bulan. Sedangkan di lahan basah
pendapatan Rp 28,7 juta, total biaya produksi Rp 9 juta, sehingga keuntungannya Rp 19,6 juta/ha/th. Untuk
setiap ton TBS akan dihasilkan CPO 0,21 ton (21%) dan PKO 0,051 ton (5.1%). Harga CPO/ton kurang
lebih Rp 8,1 juta.
Kawasan hutan yang biasanya telah rusak di klaim dan dijual dengan harga 1,5 juta rupiah per
hektar (Responden STM). Kawasan hutan ini kemudian dibersihkan dan dilengkapi dengan surat-surat
seperti SKT (Surat Keterangan Tanah) dan SKGR (Surat Keterangan Ganti Rugi) dijual dengan harga 8,5
juta rupiah. Untuk penyiapan lahan sawit secara cepat dan murah dilakukan pembakaran dengan biaya 2,5
juta/ha. Lahan ini kemudian ditanami sawit, dan setelah 3 tahun berharga Rp 40 juta/ha (Purnomo et al.
2015b). Distribusi nilai tambah dari pengembangan sawit seharga 40 juta rupiah/ha disajikan pada Gambar
7.

11

Harga lahan
Rp 40.000

Anggota klp tani,


Upah perawatan kebun
Rp 1.900 (5%)
Anggota klp tani, menebas
Rp 1.250 (3%)
Anggota klp tani, menebang
Rp 1.000 (3%)

Anggota klp tani, membakar


Rp 200 (1%)
Pengurus klp tani
Rp 20.374 (51%)

Anggota klp tani, lahan


murah/gratis
Rp 22 (0.1%)
Pengklaim lahan,
Rp 500 (1%)
Tim pemasar lahan,
Biaya pemasaran
Rp 705 (2%)
Aparat desa & kecamatan
Rp 1.150 (3%)
Biaya pembuatan kebun
Rp 12.898 (32%)

Gambar 7. Nilai tambah lahan Siap Panen Sawit per hektar (dalam ribuan rupiah)

Asrida (2012) menyampaikan bahwa secara finansial, dengan discount factor 7 %, kegiatan
investasi pabrik kelapa sawit (PKS) kapasitas 30 ton TBS per jam layak untuk dilaksanakan ditinjau dari
semua kriteria investasi yang digunakan. Nilai NPV sebesar Rp. 106.698.657.000, IRR sebesar 22,34, Net
B/C sebesar 2,30 dan payback period selama 3 tahun 8 bulan. Jika CPO tersebut diolah menjadi minyak
goreng ( per 24 jam ), maka akan diperoleh hasil sebagai berikut Olein (minyak goreng) 75%, bahan baku
margarine, kosmetik dan sabun 20% dan sisaan berupa sabun cair 5%.12 Benefit Cost Ratio dari
pembangunan minyak goreng bervariasi antara 1,3 sampai dengan 2,6. Hasil penelitian di Bengkulu
menunjukkan BCR 1,269. 13 Sementara pembangunan pabrik minyak goreng AAL mempunyai IRR 45%
dan BCR 2,6 (Setyono 2003). Tabel 4 menyajikan sebaran nilai tambah tiap hektar kebun sawit.

12
13

http://investasi-sawit.blogspot.co.id/2014/01/harga-pks-mini-dan-harga-pabrik-minyak.html
http://rozisatria.blogspot.co.id/2014/12/artikel-studi-kelayakan-pembangunan_67.html

12

Tabel 4. Sebaran nilai tambah per hektar kebun sawit hasil konversi illegal dari hutan
Pengklai
m dan
penjual
kawasan
hutan
ha
1

Pene
bas

Pem
baka
r

Penge
mbang
lahan
sawit

Petani/p
engusah
a kebun

Pengum
pul/pen
gepul

ha

ha

ha

ha/th
20 ton
TBS

ha/th
20 ton
TBS

ha/th
20 ton
TBS

ha/th
4,2 ton CPO
1,2 ton PKO

Penda
patan

=20x
Rp 1,5
juta =30
juta
rupiah

=Rp
20x 50
ribu= 1
juta

=Rp
20x 50
ribu= 1
juta

Biaya

Rp 5
juta

50%

50%

= 4,2x Rp 8,2
juta= Rp 34,4
juta rupiah
= 1,2xRp 11
juta= 13,2 juta
rupiah
Total = 47,6
juta rupiah
Rp 31 juta +
5,3 juta
11,3

Satuan
Besara
n

Nilai
tambah
(juta
Rp)

1,5

2,5

29

25

0,5

Agen

0,5

Pemilik PKS
(CPO dan
PKO)

Pemilik Pabrik
minyak goreng

ha/th
Per ton CPO
=75% minyak
goreng; 20%
margarine dan
kosmetik; 5%
sabun cair
BCR = 2

11,3

Budidarsono et al. (2012) menyatakan bawah keuntungan potensial kebun sawit bervariasi antar
Rp 44-295 juta/ha. Keuntungan pada lahan gambut lebih kecil 35% daripada tanah mineral. Sedangkan
keuntungan per ton CPO dan PKO adalah USD 43-164 atau Rp 580,500-2,214,000.14 Tabel 4 menyajikan
nilai yang lebih kecil dari minimum perhitungan keuntungan per hektar sawit (25 juta vs. 44 juta rupiah)
dibandingkan temuan Budidarsono et al. (2012). Demikin juga sedikit lebih kecil untuk perhitungan per
ton CPO dan PKO (565 ribu vs 580,5 ribu). Perbedaan ini bisa disebabkan oleh kualitas bibit sawit yang
dipakai, pemelihaaraan dan harga pasar yang bervariasi dari tempat ke tempat dan waktu ke waktu.

Tata Kelola Rantai Nilai Sawit


Tata kelola (governance) dari rantai nilai sawit menyajikan kontestasi kekuasaan (power) dalam
membuat aturan-aturan yang berjalan, disebut sebagai kelembagaan atau instutusi, pada rantai nilai sawit
dari pembukaan hutan untuk kebun sampai dengan produksi kilang sawit dan konsumsinya. Nilai tambah
yang diterima tiap aktor mencerminkan apa yang akan diterima untuk tiap hektar sawit yang terusahakan
di kebun atau hulu. Skala kerja setiap aktor berbeda. Misalkan pengklaim lahan secara illegal dan
penjualnya dapat bekerja pada skala 1.000 ha, sedangakan penebas dan pembakar lahan hanya 100 ha.
Sedangkan petani swadaya dan plasma bekerja pada skala 20 ha. Korporasi pemilik kebun sawit umumnya
bekerja pada skala 10.000 ha. Pengumpul bekerja pada skala 20.000 ton TBS per tahun atau ekuvalen
dengan 1,000 ha, sedangkan agen bekerja dengan tiga kali lipatnya. Pemilik PKS bekerja dengan skala
14

Dengan kurs dolar 13,500 rupiah untuk setial 1 USD

13

200,000 ton TBS per tahun dan pemilik kilang bekerja dengan skala 2 juta ton TBS atau setara dengan 0,5
juta ton CPO dan PKO per tahun. Dari skala tersebut kalau dikalikan dengan nilai tambah yang didapat
akan menghasilkan kekuatan ekonomi masing-masing aktor (Tabel 5). Kalau kemudian kekuatan ekonomi
tersebut dinormalisasi dengan membaginya dengan kekuatan ekonomi aktor terkecil yaitu pembakar, maka
didapatkan kekuatan ekonomi relatif para aktor.

Tabel 5. Kekuatan ekonomi relatif aktor ekonomi sawit

Satuan
Nilai
tambah
(juta Rp)
Skala
kerja (ha)
Skala
kerja (ton
TBS/th
ekuivalen)
Kekuatan
ekonomi
(juta Rp.)
Kekuatan
ekonomi
relatif

Pengkla
im
lahan

Peneb
as

Pemb
akar

1,5

2,5

Petani
sawit
(swaday
a dan
plasma
15
)
ha/th
25

ha

ha

ha

Pemili
k sawit
skala
menen
gah

Pengu
mpul/p
engepu
l

Agen

Pemilik
PKS

Pemilik
kilang

ha/th
25

Korpora
si kebun
sawit
(swasta
dan
BUMN)
ha/th
25

ha/th
0,5

ha/th
0,5

ha/th
11,3

ha/th
11,3

500

100

100

20

1000

10.000

1.000

3.000

10.000

100.000

10.000

2.000

2.000

400

20.000

200.000

20.000

60.000

200.000

2.000.0
00

750

700

250

500

25.000

250.000

500

1.500

113.000

1.130.0
00

100

1.000

452

4.520

Pemilik kilang merupakan aktor ekonomi terkuat (1), disusul oleh pemilik korporasi kebun (2),
pemilik PKS (3) dan pemilik kebun sawit skala sedang (4). Disusul oleh agen CPO (5) dan Pengklaim lahan
(6) dan Penebas lahan (7). Petani sawit, terutama petani swadaya, adalah aktor yang lemah dalam rantai
sawit nilai ini. Kekuatan ekonomi ini secara implisit menyajikan empat aktor paling berkuasa, yaitu pemilik
kilang, PKS, korporasi kebun dan pemilik kebun skala sedang, dalam menentukan standar, kualitas dan tata
cara perdagangan sawit ini dari hulu ke hilir. Mereka mengendalikan rantai nilai sawit, dalam artian siapa
mendapat apa ditentukan keempat aktor tersebut.
Keempat aktor tersebut terkoneksi dengan aktor lain dengan relasi hirakki, jaringan terpimpin,
jaringan seimbang dan pasar yang menggambarkan tata kelola rantai nilai sawit (Gambar 7). Seperti
disampaikan dalam bagian Metode, bahwa hirarki dicirikan oleh integrasi vertikal, pemasok dimiliki oleh
customer, dan terbatas kesempatan mengambil keputusan sendiri. Jaringan terpimpin dicirikan oleh
customer utama mengambil 50% output, customer memberi bantuan teknis dan ketidakseimbangan
informasi. Jaringan seimbang diindikasikan oleh pemasok punya ragam customer, pertukaran informasi

15

Petani plasma mempunyai produktitivitas TBS per ha yang lebih tinggi dari petani swadaya. Sehingga petani
plasma reltif lebih kuat posisinya daripada petani swadaya.

14

dua arah, dan keduanya punya kapasitas negosiasi. Pasar diidikasikan oleh banyak pemasok dan banyak
customer, tidak ada bantuan teknis, transaksi berulang, dan pertukaran informasi terbatas.
Konsumen
pasar

Ekspor CPO/
PKO

Kilang
korporasi besar
jaringan terpimpin

pasar

hirarki

Broker

pasar

jaringan seimbang

PKS swadaya

PKS korporasi
hirarki

hirarki

hirarki

Agen
pasar

jaringan
seimbang

hirarki

jaringan terpimpin

Pengumpul
jaringan terpimpin

Kebun besar
korporasi

Kebun plasma

Kebun sedang
pasar

jaringan
terpimpin

pasar

Kebun swadaya

jaringan
terpimpin jaringan
terpimpin

jaringan
terpimpin

Lahan konversi legal


jaringan terpimpin

Lahan konversi illegal

pasar

Lahan APL

jaringan terpimpin

Kawasan hutan

Gambar 7. Tata kelola rantai nilai sawit

Hutan dikonversi baik secara legal maupun illegal menjadi kebun lewat jaringan terpimpin, dalam
artian bahwa hubungan pemerintah sebagai pengelola kawasan hutan dan mereka yang mendapatkan lahan
secara legal atau illegal tidak berjalan secara transparan. Penerima lahan legal memahami aturan pelepasan
kawasan hutan bahkan mereka atau kroninya bisa merupakan pengelola kawasan hutan sebelumnya yang
sering berbentuk konsesi hutan (HPH) yang gagal melestarikan hutan. Mereka sudah punya jaringan kuat
dengan oknum pejabat pemerintah untuk kemudian mengusulkan pelepasan kawasan hutan untuk diubah
menjadi sawit secara legal (Purnomo 2015). Dalam kasus lahan konversi illegal terjadi pembiaran oleh
oknum pemerintah terhadap akusisi atau perambahan kawasan hutan baik dilakukan oleh cukong maupun
petani kecil.
Lahan hasil konversi diusahakan menjadi kebun-kebun sawit besar, plasma, sedang dan swadaya
lewat relasi jaringan terpimpin dengan pengusaha dan petani kebun. Sedangkan lahan-lahan APL
dijadikan kebun lewat relasi pasar, artinya terjadi banyak opsi yang bisa dipilih sebelum memutuskan untuk
menjadi kebun sawit seperti karet dan kelapa. Kebun besar yang biasanya mempunyai luas 10.000 ha
umumnya dimiliki oleh korporasi yang memiliki PKS dan kilang atau memiliki relasi hirarki diantara
mereka, demikian juga dengan kebun plasma yang bekerja sama dengan kebun skala besar. Sedangkan
15

kebun-kebun sedang yang luasnya umumnya antara 100-1.000 ha yang dimiliki oleh orang-orang kaya
daerah berjaringan seimbang dengan PKS korporasi disamping menjadi pemasok atas dasar relasi pasar
dengan PKS swadaya.
Petani kebun-kebun independen atau swadaya yang umumnya mempunya luasan kurang dari 25 ha
terkoneksi lewat jaringan terpimpin dengan para pengumpul atau pengepul. Pengumpul ini merupakan
penampung TBS para petani swadaya yang tidak mungkin mengangkut TBS-nya sendiri ke PKS. Harga
TBS ditentukan oleh pengumpul yang terelasi secara jaringan terpimpin dengan para agen. Agen ini
merupakan kaki tangan atau terelasi hirarki dengan PKS swadaya, yang membuat delivery order (DO)
untuk mereka. PKS swadaya ini lewat jaringan seimbang dengan broker memasok kilang sawit korporasi
atau mengekspor CPO dan PKO mereka ke luar negeri seperti Tiongkok, India, Pakistan, Bangladesh dan
Malaysia. Demikian juga dengan PKS korporasi yang bisa mengekspor produknya atau memasok kilang
korporasi besar grup seperti Wilmar, GAR, Cargil, Asian Agri, Musim Mas dan Astra Agro Lestari. Kilang
sawit ini menghasilkan produk seperti minyak goreng, margarine dan sabun atau bahan baku lainnya yang
dijual ke perusahaan lain seperti Unilever dan Procter & Gambler lewat relasi pasar.
Anak panah dalam gambar tata kelola tersebut mengarah dari bawah ke atas untuk menggambarkan
juga arah pasokan bahan baku, sedangkan relasi tata kelola sesungguhnya berjalan dua arah. Namun untuk
simplifikasi relasi tata kelola disajikan dengan anak panah satu arah. Untuk aliran uang (money flow)
mempunyai arah sebaliknya yaitu dari atas ke bawah. Aliran uang juga dalam tata kelola sawit sering
menggambarkan juga siapa yang lebih berkuasa. Artinya mereka yang ada diatas lebih berkuasa daripada
yang ada dibawah, seperti lazimnya produk-produk pertanian dan kehutanan. Relasi ini sering disebut
buyer driven yang umumnya merupakan produk tidak berteknologi tinggi. Pembeli lebih berkuasa daripada
penjual. Ini berbeda dengan produk seperti senjata militer, pesawat terbang, reaktor nuklir dan mobil
berteknologi tinggi yang merupakan producer driven dimana pemasok yang menentukan harga dan mampu
mengarahkan pasar (Herr et al. 2006).
3.3. Skenario meningkatkan kinerja sawit dan mengurangi kebakaran
Tata kelola sawit seperti ini secara nasional menghasilkan nilai ekspor sawit senilai Rp 280 trilyun
dan mendukung pertumbuhan ekonomi nasional dan daerah. Namun pada saat yang sama sawit
menyumbang 16% dari total titik-titik panas di Sumatra dan Kalimantan.16 Konversi kawasan hutan secara
illegal juga banyak dilakukan untuk pengembangan kebun sawit. Lahan-lahan tersebut kemudian lewat
beragam jaringan kriminal (organized crimes) diperjualbelikan tidak hanya pada orang-orang sekitar daerah
tersebut tetapi pada investor-investor baik lokal, nasional maupun manca negara. Pertanyaan terbesarnya
adalah bagaimana bisa meningkatkan nilai tambah dari sawit untuk setiap aktor yang terlibat dan pada saat
yang sama menjaga kelestarian lingkungan hidup seperti pencegahan kebakaran dan bebas asap.
Lingkungan hidup adalah milik bersama yang perlu aksi multipihak untuk melindunginya (Purnomo et al.
2013).
Rantai nilai sawit ini memiliki dimensi horisontal dan vertikal. Dimensi vertikal terkait pada
beragam aktor dalam tahapan berbeda dari rantai nilai mulai dari konversi kawasan hutan, kebun, PKS dan
kilang. Sedangkan dimensi horisontal terkait dengan ragam aktor pada tahapan yang sama dalam rantai
nilai seperti pemilik kebun sawit korporasi, plasma, sedang dan swadaya atau antara PKS korporasi dan
PKS swadaya.
VCA menyajikan ragam skenario dengan tujuan berbeda seperti skenario asosiasi petani (smallscale association) untuk meningkatkan kesejahteraan petani dan industri kecil; skenario produk hijau
16

Bandingkan dengang HTI yang punya luasan hampir sama tetapi menyumbang 23% titik panas dan ekspor pulp
dan kertas sebesar Rp 86 trilyun rupiah.

16

(green product) untuk menghijaukan rantai pasokan; skenario kolaborasi ke bawah (collaborating down)
untuk mengamankan pasokan bahan baku; dan skenario bergerak ke atas (moving up) untuk meningkatkan
nilai tambah bagi produsen bahan baku. Skenario pertama menyajikan kerjasama dimensi horisontal
sedangkan ketiga skenario yang lain mengacu pada dimensi vertikal dari rantai nilai. Tiga skenario yang
relevan dengan rantai sawit adalah skenario asosiasi petani, bergerak ke atas dan produk hijau.
Pengembangan asosiasi petani sawit atau produsen kecil akan meningkatkan posisi tawar terhadap
pengumpul dan agen TBS demikian juga terhadap pemilik PKS. Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS)17
dan Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (APKASINDO)18 telah memainkan peran tersebut. SPKS juga
menjembatani hubungan atara petani plasma dan korporasi kebun besar. Lewat asosiasi petani ini
diharapkan petani menikmati harga yang lebih baik serta mempunyai kekuatan untuk bernegosiasi dengan
pasar TBS lebih baik. Tidak kalah pentingkanya adalah pengakuan (recognition) dari pemerintah tentang
peran sentral mereka. Sebanyak 41% lahan sawit terkait dengan petani ini yang bisa menghasilkan 40%
dari TBS yang kemudian diolah menjadi CPO dan PKO. Asosiasi ini berpotensi memberikan tingkat
kesejahteraan yang lebih pada petani jika ditatakelolai dengan baik dan bisa mengurangi keuntungan para
pengepul dan agen (Purnomo et al. 2014).
Korporasi kebun besar umumnya sudah memiliki PKS sendiri untuk memaksimum nilai tambah
yang bisa dinikmati. Petani lewat asosiasi dan usahanya dapat bergerak ke atas dengan memiliki atau
menanamkan sahamnya pada PKS-PKS regular atau skala mini.19 Membangun PKS mini membutuhkan
investasi puluhan milyar yang mustahil dilakukan oleh seorang diri atau asosiasi yang tidak sehat.
Peningkatan nilai tambah petani dan pemilik kebun dengan investasi padat modal ini meningkatkan
kesejahteraan aktor industri hulu dan pada saat yang sama menciptakan persaingan pada aktor industri hilir
terutama pada pemilik PKS yang tidak mempunyai kebun. Tidak menutup kemungkinan PKS yang tidak
punya kebun akan kesulitan mendapatkan TBS jika tidak memberi tawaran harga yang kompetitif pada
petani.
Produk hijau merupakan keniscayaan. Pasar menuntut agar sawit yang dijual di pasar memenuhi
standar-standar berkelanjutan. Indonesia lewat Pasal 33 ayat 4 UUD 1945 memastikan bahwa
pembangunan ekonomi diselenggarakan berdasarkan prinsip berkelanjutan dan berwawasan lingkungan.
Dalam konteks sawit, Indonesia lewat Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) No. 19/2011, yang
kemudian diperbarui dengan Permentan No. 11/2015 meluncurkan Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit
Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainablle Palm Oil - ISPO)20. ISPO adalah sistem usaha di bidang
perkebunan kelapa sawit yang layak ekonomi, layak sosial dan ramah lingkungan didasarkan pada
peraturan perundangan yang berlaku di Indonesia. Ada tujuh prinsip ISPO yaitu (1) Legalitas usaha
perkebunan; (2) Manajemen perkebunan; (3) Perlindungan terhadap pemanfaatan hutan alam primer dan
lahan gambut; (4) Pengelolaan dan pemantauan lingkungan; (5) Tanggung jawab terhadap pekerja; (6)
Tanggung jawab sosial dan pemberdayaan ekonomi masyarakat; dan (7) Peningkatan usaha secara
berkelanjutan.
Prinsip ke-1 mensyarakatkan legalitas usaha perkebunan, yang dua kriterianya adalah sebagai
berikut: Kriteria 1.3. Perolehan lahan usaha perkebunan (HPK seiizin KLHK); dan Kriteria 1.6. Lokasi
perkebunan harus sesuai dengan tata ruang yang berlaku. Dengan kata lain ISPO memastikan bahwa

17

http://www.spks.or.id/
https://id-id.facebook.com/Asosiasi-Petani-Kelapa-Sawit-Indonesia-APKASINDO-114691002022690/
19
http://industri.bisnis.com/read/20120207/99/63032/pabrik-sawit-bppt-kembangkan-teknologi-pks-mini-kapasitas5-ton
20
http://perundangan.pertanian.go.id/admin/file/Permentan%2011-2015%20ISPO.pdf
18

17

semua perkebunan legal. Pelaksanaan ISPO akan memastikan aktor pengklaim lahan illegal, penjual lahan
illegal, serta penebas dan pembakar lahan untuk dijadikan kebun sawit menerima dampak negatif. Pemilik
kebun yang ada di kawasan hutan, sebanyak 24% (Tabel 3), akan merugi. Sedangkan sisanya berusaha di
kawasan APL sebanyak 76% kalau dilengkapi dokumen legalitas lainnya akan beruntung. Pemilik sawit
skala menengah lebih banyak akan dirugikan, karena banyak diantara mereka tidak mendaftarkan usahanya
atau memeroleh lahannya secara legal. Sedangkan petani sawit terkategori menjadi sebagian legal dan
sebagian illegal status kebunnya. Namun kami berasumsi lebih banyak yang legal mengingat secara
keseluruhan kebun sawit 76% ada di APL. Dengan perbandingan ini tidak berlebihan kalau dikatakan
bahwa ISPO akan menguntungkan petani kebun dengan menikmati stabilitas dan dukungan pasar terhadap
TBS yang diproduksinya. Diperkirakan 20 juta ton CPO akan bersertifikat ISPO dalam dua tahun
mendatang.21 Keuntungan juga diperoleh para pemilik PKS yang memastikan TBS-nya legal Demikian
juga pemilik kilang memastikan bahan baku CPO dan PKO legal.
Sedangkan Prinsip ke-4 ISPO adalah Pengelolaan dan pemantauan lingkungan, yang Kriteria 4.5.
adalah Pencegahan dan penanggulangan kebakaran. Dengan kata lain ISPO memastikan bahwa semua
perkebunan tidak membakar lahan dan berupaya untuk mencegah dan menanggulangi kebakaran. Kriteria
ini memastikan usaha-usaha yang positif dalam mendukung pencegahan kebakaran. Ringkasan skenario
dan kemungkinan (likely) dampak terhadap ekonomi dan pencegahan kebakaran tersaji pada Tabel 6.

Tabel 6. Skenario dan kemungkinan dampak ekonomi dan kebakaran (meningkat +, menurun - dan
netral 0)
Dampak

Skenario
Asosiasi petani
Bergerak ke
atas
ISPO
Produ
RSPO
k
Defore
hijau
stasi
Nol
IPOP27

Ekonomi

Petani
sawit

Pengusa
ha sawit
skala
menenga
h

Korpor
asi
kebun
sawit22

Peng
klaim
lahan

Mega
korpor
asi
sawit23

Peng
ump
ul

+24

sda

Pen
ebas

Pem
baka
r

Pence
gahan
kebak
aran

Age
n

Korp
orasi
PKS

Korp
orasi
kilan
g

+20

+25

+26

sda

sda

sda

sda

sda

21

http://sawitindonesia.com/hot-issue/20-juta-ton-cpo-akan-bersertifikat-ispo
Bisa menjadi anggota GAPKI
23
Anggota IPOP
24
Sebagian besar beruntung, sebagian lagi akan merugi. Mereka yang merugi ini bisa menghalangi proses-proses
sertifikasi ISPO, RSPO maupun komitmen deforestasi nol.
25
Pasokan TBS akan terkoreksi untuk sementara karena TBS illegal tidak bisa didapat. Namun dalam jangka
menengah akan menguntungkan stabilitas harga dan dukungan pasar.
26
Pasokan CPO dan PKO terkoreksi untuk sementara karena CPO dan PKO illegal tidak bisa didapat. Namun dalam
jangka menengah akan normal dan mendapat keuntungan dari dukungan pasar global.
27
Walaupun IPOP telah membubarkan diri pada tanggal 29 Juni 2016, namun baik juga dilihat bagaimana dampak
komitmen deforestasi-nol seperti ini yang mungkin dilakukan secara individual atau kelompok lain.
22

18

Sedangkan RSPO28 mempunyai delapan prinsip yaitu: (1) Komitmen terhadap transparansi; (2)
Memenuhi hukum dan peraturan yang berlaku; (3) Komitmen terhadap kelayakan ekonomi dan keuangan
jangka panjang; (4) Penggunaan praktik terbaik tepat oleh perkebunan dan pabrik; (5) Tanggung jawab
lingkungan dan konservasi kekayaan alam dan keanekaragaman hayati; (6) Pertimbangan bertanggung
jawab atas karyawan, individu, dan komunitas yang terkena dampak perkebunan dan pabrik; (7)
Pengembangan perkebunan baru yang bertanggung jawab; dan (8) Komitmen terhadap perbaikan terusmenerus pada wilayah-wilayah utama aktivitas. Perbedaan mendasar dengan ISPO adalah tentang
transparansi (Prinsip 1) dan hak-hak masyarakat terdampak (Prinsip 6). Demikian juga Kriteria 7.3 tentang
cut off year 2005 untuk tidak mengkoversi hutan primer dan melindungi daerah dengan nilai konservasi
tinggi.
Kriteria 5.5 dari RSPO yaitu menghindari pembakaran untuk penyuiapan lahan dan penanaman
baru sejalan dengan Kriteria 4.5 dari ISPO. Patut disampaikan bahwa kebakran pada kebun sawit umumnya
tidak dimonopoli oleh grup-grup besar seperti yang terjadi pada HTI. Kebakaran pada sawit menyebar pada
perusahaan-perusahaan bukan grup.
Ini menekankan pentingnya GAPKI untuk memerluas
keanggotaannya ke seluruh perusahaan sawit dan memantau anggotanya untuk agar tidak membakar lahan.
Mudah melihat dampak penerapan standar RSPO terhadap pencegahan kebakaran yang tentu
hasilnya positif. Namun, agak sulit melihat dampak RSPO terhadap aktor-aktor ekonomi. Dengan cut off
November 2005 untuk konversi hutan primer, banyak kebun sawit yang tidak lolos walaupun sudah
memenuhi syarat legalitas. Namun kami meyakini bahwa sebagian besar petani sawit dan korporasi sawit
adalah legal dan bisa memenuhi standar RSPO secara tahap demi tahap.29 Sertifikat RSPO terus didapat
oleh petani dan korporasi sawit Indonesia.30 Sedangkan korporasi PKS dan kilang diyakini akan mendapat
keuntungan dengan RSPO, dalam artian TBS dan CPO serta PKO yang diproses bersih dari kontaminasi
dengan elemen-elemen hasil kebakaran dan perusakan lingkungan lainnya.
Komitmen IPOP terhadap deforestasi-nol dilandasi oleh New York Forest Declaration 2014.31
Komitmen ini tidak berbeda banyak dengan Kriteria 7.3 dari RSPO. Anggota IPOP Wilmar, Cargil,
Golden Agri-Resources (GAR), Asian Agri, Musim Mas dan Astra Agro Lestari tidak hanya berkomitmen
terhadap kebunnya sendiri tetapi juga terhadap rantai pasokan terhadap PKS dan kilangnya yang harus
bersih dari deforestasi. Komitmen ini tentu akan menguntungkan korporasi PKS dan kilang dalam jangka
menengah dengan pasokan TBS, CPO dan PKO yang bersih. Demikian juga kebun-kebun besar mega
korporasi. Mereka akan mendapat insentif kepastian pasar di seluruh dunia. Para pengklaim lahan, penebas
dan pembakar lahan tentu dirugikan. Demikian juga dengan cukong yang memiliki kebun secara illegal.
Petani dan korporasi kebun sawit yang terkait secara hirarki dengan anggota IPOP bisa diuntungkan, tetapi
yang tidak terkait atau terkait dengan relasi pasar dan jaringan seimbang tidak akan teruntungkan.

28

http://www.rspo.org/files/resource_centre/RSPO%20Criteria%20Final%20Guidance%20with%20NI%20Document
%20(BI).pdf
29
http://www.antaranews.com/berita/434987/gppi-cpo-indonesia-terbanyak-kantongi-sertifikat-rspo
30

http://www.rspo.org/file/Salah%20Satu%20Perkebunan%20Plasma%20Sawit%20Terbesar%20di%20Dunia%20Me
ndapatkan%20Sertifikasi%20RSPO.pdf
31
http://www.un.org/climatechange/summit/wp-content/uploads/sites/2/2014/07/New-York-Declaration-onForest-%E2%80%93-Action-Statement-and-Action-Plan.pdf

19

Pengendalian kebakaran bisa ditingkatkan dengan komitmen deforestasi-nol ini, karena pembakaran selalu
diawali dengan degradasi hutan dan deforestasi.

3.4. Harapan ke Depan


Mengingat pentingnya sawit bagi perekonomian Indonesia maka diharapkan bisnis sawit
berkembang secara berkelanjutan. Sawit bisa menjadi lokomotif pembangunan ekonomi daerah dan
nasional dengan peningkatan pendapatan masyarakat yang relatif lebih adil dan merata sepanjang rantai
pasoknya. Lewat berbagai inisiatif nasional seperti ISPO dan global seperti RSPO diharapkan sawit lebih
ramah terhadap lingkungan dan masyarakat adat atau asli yang berkeinginan untuk meningkatkan
kesejahteraan ekonomi dengan benar. Akses sumberdaya alam dan dukungan institusi diperlukan untuk
meningkatkan kesejahteraan mereka (Purnomo et al. 2012a) Peningkatan produktivitas lahan harus lebih
diutamakan daripada ekstensivikasi atau perluasan lahan, mengingat kendala legalitas, kepastian lahan serta
rencana Instruksi Presiden tentang moratorium perluasan lahan sawit dan tambang.32
Pembenahan berberapa aspek harus dilakukan. Persyaratan legalitas dan tata ruang harus dipenuhi.
Pihak pemerintah harus menyelesaikan permasalahan tata ruang untuk memberi kepastian usaha. Praktik
pengembangan sawit harus tidak dengan jalan membakar dalam penyiapan lahan atau penanaman kembali
(replanting). Praktik pembakaran masih dijalankan oleh korporasi, cukong dan individual. Indonesia harus
bisa membedakan antara aktor baik yaitu petani dan pengusaha sungguh-sungguh ingin mendapatkan
keuntungan dengan benar dan aktor buruk pemburu rente yang terkena moral hazard. Pemerintah harus
memerkuat akses-akses politik terhadap pengusaha yang baik (Purnomo et al. 2012b). Rantai pasokan
sawit yang berkeadilan dan tidak terkontaminasi pembakaran dan perambahan lahan harus terus menerus
diusahakan. Pengembangan asosiasi petani kecil, skenario bergerak ke atas dan produk hijau harus terus
menerus diterapkan. Kemitraan sungguh-sungguh saling menguntungkan antara masyarakat dan
perusahaan diperlukan (Purnomo dan Mendoza 2011; Purnomo et al. 2003a). Ragam skenario spasial dan
temporal dapat dimunculkan dan disimulasikan (Purnomo et al. 2003b).
Pada masa depan harus lebih banyak petani dan perusahaan yang mendapatkan sertifikat ISPO dan
RSPO. Saat ini hanya 149 perusahaan dari sekitar 700 perusahaan yang mendapat ISPO33, lebih sedikit
lagi yang bersertifikat RSPO. Organisasi seperti GAPKI, SPKS dan APKASINDO harus meluaskan
keanggotaannya dan memfasilitasi para anggotanya untuk melakukan best practices dalam pengusahaan
sawit serta memenuhi beragam standar yang ada. Indonesia, sebagai negara berkembang dan produsen
sawit terbesar di dunia, harus lebih ramah, terbuka dan percaya diri pada inisiatif-inisiatif global dari
konsumen, masyarakat dan antar-pemerintah dunia. Pemangku kepentingan sawit bisa belajar dari proses
sertifikasi unit manajemen hutan dan lacak balak produk kayu yaitu SVLK (Sistem Verifikasi Legalitas
Kayu) yang sangat diakui oleh masyarakat global. SVLK akan segera bermetamorfose menjadi lisensi
FLEGT (Forest Law Enforcement, Governance and Trade) yang dikeluarkan oleh Uni Eropa sehingga
mempermudah masuknya kayu dan produk kayu Indonesia ke Uni Eropa tanpa pemeriksaan mendalam
(due diligence). Transparansi pengembangan SVLK bisa dijadikan rujukan dalam pengembangan dan
pemerkuatan ISPO. Standar baru yang rencananya dikembangkan bersama Indonesia dan Malaysia dengan

32

http://nasional.kompas.com/read/2016/04/14/16062001/Jokowi.Akan.Keluarkan.Moratorium.Lahan.Sawit.dan.Ta
mbang
33
http://m.inilah.com/news/detail/2278277/kementan-genjot-industri-sawit-bersertifikat-ispo

20

payung Council of Palm Oil Producing Countries (CPOPC)34 bisa bercermin pada proses pengembangan
SVLK yang transparan dan multipihak. Standar CPOPC merupakan penguatan ISPO. Indonesia harus
yakin bahwa keberlanjutan (sustainability) yang diamanatkan UUD 1945, Pasal 33 ayat 4 akan menjadi
keunggulan (Sustainability Advantage) pada masa mendatang.

IV. KESIMPULAN
Sawit adalah bagian dari solusi buat pengembangan ekonomi daerah dan nasional jika
dikembangkan secara berkelanjutan. Artikel ini menyimpulkan sebagai berikut:

Sawit berkontribusi besar terhadap pengembangan ekonomi daerah dan nasional, namun pada
saat yang sama juga berkontribusi pada kebakaran dan kerusakan lingkungan.
Rantai nilai sawit disamping melibatkan petani, pengusaha PKS dan kilang juga melibatkan
pemburu rente berupa pengklaim lahan illegal, penebas dan pembakar lahan dan hutan ketika
kebun sawit dikembangkan dengan tidak mengikuti prinsip-prinsip keberlanjutan.
Tata kelola sawit dikuasai empat aktor besar yaitu yaitu pemilik kilang, PKS, korporasi kebun
dan pemilik kebun skala sedang, dalam menentukan standar, kualitas dan tata cara perdagangan
sawit ini dari hulu ke hilir.
Penguatan asosiasi petani, skenario bergerak ke atas dan produk hijau bisa meningkatkan
keadilan dan keberlanjutan bisnis sawit.

PUSTAKA
Abdulla I, Arshad FM, Bala BK, Noh KM, Tasrif M. 2014. Impact of CPO export duties on Malaysian
palm oil industry. American Journal of Applied Sciences 11 (8): 1301-1309.
http://thescipub.com/PDF/ajassp.2014.1301.1309.pdf (20 Juni 2016)
Ali M. 2015. Kebakaran Hutan dan Lahan di Riau: Cerita dari ruang sidang hingga reportase lapangan.
Laporan internal proyek 'Ekonomi Politik Kebakaran dan Asap. CIFOR. Tidak dipublikasikan.
Asrida. 2012. Kelayakan finansial investasi pabrik kelapa sawit di Kabupaten Aceh Utara. Lentera 12(1):
30-36.
Badan Pusat Statistik [BPS] Riau. 2015. Riau in Figures 2015. Pekanbaru: BPS-Statistics of Riau
Province. http://riau.bps.go.id/websiteV2/pdf_publikasi/Riau-Dalam-Angka-2015.pdf (10 January
2016)
Budidarsono S, Rahmanulloh A, Sofiyuddin M. 2012. Economics Assessment of Palm Oil Production.
Technical Brief No. 26: palm oil series. Bogor, Indonesia: World Agroforestry Centre - ICRAF,
SEA Regional Office. 6p.

34

http://rimanews.com/ekonomi/investasi/read/20160201/259159/Standar-Sawit-CPOPC-Ditargetkan-SelesaiKuartal-I-2016

21

Eyes on the Fores [EOF]. 2016. Tidak ada yang aman: Kelapa sawit ilegal menyebar melalui rantai
pasokan dunia kendati ada komitmen dan sertifikasi kelestarian global
http://www.eyesontheforest.or.id/attach/Laporan%20EoF%20April2016%20Tak%20ada%20yan
g%20aman_FINAL.pdf (19 Juni 2016)
Herr, M.L., Hultquist, I., Rogovsky, N. & Pyke, F. 2006. A Guide for Value Chain Analysis and
Upgrading. Rome, ILO
Hidayat S, Nurhasanah N, Prasongko RA. 2014. Formulasi nilai tambah pada rantai pasok minyak sawit.
Jurnal Optimasi Sistem Industri. 13(1):576-587
Kaplinsky, R. & Morris, M. 2001. A Handbook for Value Chain Research, paper prepared for the IDRC.
IDS. Available at: http://www.ids.ac.uk/ids/global/pdfs/VchNov01.pdf (19 Juni 2016)
Lembito H, Seminar KB, Kusnadi N, Arkeman Y. 2013. Designing a supply chain system dynamic model
for palm oil agro-industries. International Journal of Information Technology and Business
Management 12(1): 1-8. http://www.jitbm.com/12th%20volume/hoetomoe%201.pdf (20 Juni
2016)
Lifianthi, Oktarina S, Aryani D. 2014. Perbandingan kontribusi pendapatan dan pengeluaran konsumsi
petani plasma kelapa sawit di dua tipologi lahan di Sumatera Selatan. Prosiding Seminar
Nasional Lahan Suboptimal 2014, Palembang 26-27 September 2014. http://www.pur-plsounsri.org/dokumen/22_lifianthi_red.pdf (21 Juni 2016).
Ministry of Agriculture - Directorate General of Estate Crops [MoA]. 2015. Tree Crop Estate Statistics Of
Indonesia: Palm oil 2013 - 2015. Jakarta. Ministry of Agriculture.
http://ditjenbun.pertanian.go.id/tinymcpuk/gambar/file/statistik/2015/SAWIT%202013%202015.pdf (2 February 2016)
Ministry of Industry [MoI]. 2015. Indonesias sectoral export.
http://www.kemenperin.go.id/statistik/peran.php?ekspor=1 (10 January 2016)
Mohammadi S, Arshad FM, Bala BK, Ibragimov A. 2015. System dynamics analysis of the determinants
of the malaysian palm oil price. American Journal of Applied Sciences 2015, 12 (5): 355.362.
http://thescipub.com/PDF/ajassp.2015.355.362.pdf (21 Juni 2016)
Muradian, R. & Pelupessy, W. 2005. Governing the coffee chain: The role of voluntary regulatory
Systems. World Development, 33, 2029-2044.
Pahan I. 2012. Kelapa Sawit: Manajemen agribisnis dari hulu hingga hilir. Jakarta: Penebar Swadaya.
411 hal.
Prathama IBP. 2016. Status hutan produksi sekarang. Disampaikan pada acara lokakarya Kemenko
Ekomomi-CIFOR di Jakarta April 2016
Purnomo H. 2015. Playing with fire: the economics and network of fire and haze. The Conversation.
September 21st. http://theconversation.com/playing-with-fire-the-economics-and-network-of-fireand-haze-47284
Purnomo H, Okarda B, Shantiko B, Achdiawan R, Kartodiharjo H, Dewayani AA. 2015a. Kabut Asap,
Penggunaan Lahan dan Politik Lokal. Makalah dipresentasikan pada Diskusi Pakar Kebakaran
22

Hutan dan Lahan dan Bencana Asap di Provinsi Jambi, Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Jakarta, 3 November 2015.
https://www.researchgate.net/publication/294721462_Kabut_Asap_Penggunaan_Lahan_dan_Poli
tik_Lokal
Purnomo H, Shantiko B, Gunawan H, Sitorus A, Salim MA, Achdiawan R. 2015b. Ekonomi Politik
Kebakaran Hutan dan Lahan: Sebuah pendekatan analitis. Disajikan pada diskusi terbatas
"Mencegah Kebakaran Lahan dan Hutan" yang diselenggarakan oleh Yayasan Sarana Wana Jaya,
tgl 11 Juni 2015, di Gedung Manggala Wana Bakti, Jakarta.
https://www.researchgate.net/publication/294721273_Ekonomi_Politik_Kebakaran_Hutan_dan_
Lahan_Sebuah_pendekatan_analitis
Purnomo H, Achdiawan R, Melati, Irawati RH, Sulthon, Shantiko B, Wardell A. 2014. Value-chain
dynamics: strengthening the institution of small-scale furniture producers to improve their value
addition. Forests, Trees and Livelihoods 23(1-2): 87-101
Purnomo H, Suyamto D, Irawati RH 2013. Harnessing the climate commons: an agent-based modelling
approach to making reducing emission from deforestation and degradation (REDD) + work.
Mitigation and Adaptation Strategies for Global Change 18: 471489.
Purnomo H, Arum GS, Achdiawan R, Irawati RH. 2012a. Rights and wellbeing: an analytical approach to
global case comparison of community forestry. Sustainable Development 5(6): 35.
Purnomo H, Suyamto D, Abdullah L, Irawati RH 2012b. REDD+ actor analysis and political mapping:
an Indonesian case study. International Forestry Review. Vol. 14(1): 74-89
Purnomo H, Mendoza G. 2011. A system dynamics model for evaluating collaborative forest
management: a case study in Indonesia. International Journal of Sustainable Development &
World Ecology 18(2): 164176.
Purnomo H, Yasmi Y, Prabhu R, Hakim S, Jafar A, Suprihatin. 2003a. Collaborative modeling to support
forest management: Qualitative systems analysis at Lumut Mountain Indonesia. Small-scale
Forest Economics, Management and Policy 2(2): 259275.
Purnomo H, Yasmi Y, Prabhu R, Yuliani L, Priyadi H, Vanclay JK. 2003b. Multi-agent simulation of
alternative scenarios of collaborative forest management. Small-scale Forest Economics,
Management and Policy 2 (2): 277292.
Setyono E. 2003. Analisis kelayakan investasi pembangunan pabrik minyak goreng di PT. Astra Agro
Lestari. thesis Magister MB-IPB. http://elibrary.sb.ipb.ac.id/files/disk1/11/mbipb12312421421421412-ekosetyono-546-3-e17-03-s-f.pdf (21 Juni 2016).
Suharto R, Husein K, Sartono, Kusumadewi D, Darussamin A, Nedyasari D, Riksanto D, Hariyadi,
Rahman A, Uno T, Gillespie P, Arianto C, Prasodjo R. 2015. Studi Bersama Persamaan dan
Perbedaan Sistem Sertifikasi ISPO dan RSPO. Kementerian Pertanian Republik Indonesia,
http://www.rspo.org/publications/download/255c19b8ae32d03 (19 Juni 2016)
United States Department of Agriculture - Foreign Agricultural Service [USDA]. 2016. Palm oil: Top 10
importers 2008-2014. http://www.schusterinstituteinvestigations.org/#!palm-oil-supplychain/c1q1d (18 Juni 2016)
23

World Wildlife Fund (WWF). 2013. Sawit dari taman nasional: Menelusuri TBS illegal di Riau.
http://awsassets.wwf.or.id/downloads/wwf_indonesia__2013__menelusuri_sawit_illegal_di_riau
_final.pdf (19 Juni 2016)

24

Anda mungkin juga menyukai