Anda di halaman 1dari 32

1.

KELAPA SAWIT

ANTARA FOTO/RAISAN AL FARISI Buruh memanen kelapa sawit di Desa Sukasirna,


Cibadak, Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat, Jumat (13/7/2018). Gabungan Pengusaha Kelapa
Sawit Indonesia (Gapki) optimistis produksi kelapa sawit tahun ini akan mengalami peningkatan
produksi sebesar dua persen atau sebanyak 40 juta ton dibandingkan dengan dengan tahun lalu
yang hanya 38 juta ton.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Keanekaragaman Hayati dan Eksistensi
Kelapa Sawit di Indonesia",
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/28/07080071/keanekaragaman-hayati-dan-eksistensi-
kelapa-sawit-di-indonesia.

Editor : Laksono Hari Wiwoho

INDONESIA menjadi negara yang memiliki keanekaragaman hayati yang tak terelakkan.
Menurut data Indonesian Biodiversity Strategy and Action Plan (IBSAP) 2015 -2020 yang dibuat
oleh Bappenas, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan LIPI, sebanyak
15,5 persen dari total jumlah flora di dunia ada di Indonesia. Jumlah itu terdiri dari 1.500 spesies
alga, 80.000 spesies tumbuhan berspora (jamur, lumut, kerak, paku-pakuan), 30.000 hingga
40.000-an spesies tumbuhan berbiji. Untuk fauna, terdapat 8.157 spesies fauna vertebrata
(mamalia, burung, herpetofauna, dan ikan), 1.900 spesies kupu-kupu yang merupakan 10 persen
dari spesies dunia. Bahkan, Indonesia juga memiliki endemisitas spesies fauna yang sangat
tinggi, seperti burung, mamalia, dan reptil yang tertinggi di dunia. Sebagai negara kepulauan
terbesar di dunia, sumber-sumber keanekaragaman hayati di Indonesia sendiri tersebar di
beberapa tempat, seperti di hutan dan laut. Keragaman berbagai flora dan fauna tersebut hidup
berdampingan di alam yang terjaga kelestariannya. Sayangnya, tidak semua hewan dan
tumbuhan bisa hidup berdampingan secara heterogen. Beberapa jenis harus tumbuh sendiri.
Salah satunya adalah efek budidaya kelapa sawit terhadap lingkungan. Beberapa pakar
lingkungan mempunyai klaim masing-masing terhadap kelapa sawit. Ada golongan akademisi
mengatakan, kelapa sawit bukanlah penyebab deforestasi alias alih fungsi lahan. Adapun
akademisi lain menyebut sistem penanaman sawit dengan monokultur (homogen) mengikis
keragaman hayati dan kerentanan alam seperti kualitas lahan menurun, terjadinya erosi, serta
merebaknya hama dan penyakit tanaman. Terlepas dari analisis para akademisi, penjarahan hutan
untuk kepentingan hutan homogen adalah logika yang mudah kita pahami. Forest Watch
Indonesia mencatat kerusakan hutan di Indonesia dari tahun ke tahun terus meningkat, saat ini
telah mencapai 2 juta hektar per tahun.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Keanekaragaman Hayati dan Eksistensi
Kelapa Sawit di Indonesia",
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/28/07080071/keanekaragaman-hayati-dan-eksistensi-
kelapa-sawit-di-indonesia.

Editor : Laksono Hari Wiwoho

Berdasarkan data Direktori Perkebunan Kelapa Sawit pada 2015, ada 1.599 perusahaan kelapa
sawit di 24 provinsi di Indonesia. Lima provinsi dengan jumlah perusahaan kelapa sawit
terbanyak adalah Sumatera Utara (328 perusahaan), Riau (192 perusahaan), Kalimantan Barat
(175 perusahaan), Kalimantan Tengah (145 perusahaan), dan Sumatera Selatan (138
perusahaan). Berikut ini peta persebaran perusahaan perkebunan kelapa sawit di Indonesia yang
dicatat dalam Direktori Perusahaan Perkebunan Kelapa Sawit BPS tahun 2015.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Keanekaragaman Hayati dan Eksistensi
Kelapa Sawit di Indonesia",
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/28/07080071/keanekaragaman-hayati-dan-eksistensi-
kelapa-sawit-di-indonesia.

Editor : Laksono Hari Wiwoho

Data tersebut cukup menjelaskan, kenapa Asia Tenggara menderita darurat kabut asap akibat
kebakaran hutan Indonesia sepanjang 2013. Selama Juni 2013, mayoritas kebakaran yang terjadi
terpusat di Provinsi Riau, Pulau Sumatera, Indonesia (WRI, 2014). Bukti lainnya, bila pada 2004
terdapat 5.284.723 hektar total perkebunan kelapa sawit di Indonesia, pada 2014 luas area
tersebut menjadi 10.754.801 ha. Total produksi sawit ikut meningkat dari 2.267.271 ton pada
2004 menjadi 5.855.638 ton pada 2014 (Direktorat Jenderal Perkebunan, 2015). Dengan kata
lain, dalam jangka waktu 10 tahun, jumlah luas lahan perkebunan dan produksi kelawa sawit
meningkat hingga 100 persen. Melihat angka peningkatan yang pesat, tidak heran dalam jangka
waktu 10 tahun tersebut, Indonesia sudah dikenal sebagai produsen kelapa sawit terbesar di
dunia. Laporan dari Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (PAPSI) pada 2014
menyebutkan bahwa produksi kelapa sawit Indonesia mencapai 20.433 ton. Lima negara
pengimpor kelapa sawit terbesar adalah India, Uni Eropa, Tiongkok, Pakistan, dan Bangladesh.
Kelapa sawit juga dinilai memberikan andil dalam pengentasan kemiskinan di Indonesia. Salah
satu faktornya, karena banyak menyerap tenaga kerja. Pada 2000, terdapat 2.077.916 orang yang
bekerja di sektor perkebunan kelapa sawit. Angka tersebut meningkat jadi 7.988.464 pada 2015
(PAPSI). Belum termasuk lagi sumbangan kelapa sawit sebagai salah satu komoditas ekspor
non-migas terbesar. Seorang warga yang tinggal di daerah perkebunan kelapa sawit di
Samarinda, Kalimantan Timur, mengatakan, "Jalan aspal yang membentang di daerah-daerah
kecil rumah saya baru dibangun sejak ada perkebunan kelapa sawit di desa saya. Kami ikut
senang karena sawit memberikan dampak pembangunan pada desa kami." Pengakuan tersebut
hanyalah satu dari sekian orang yang merasakan dampak perkebunan kelapa sawit yang
merajalela. Entah, mengertikah ia bahwa jalan aspal di desanya mungkin tidak akan bertahan
dalam jangka panjang. Atau, orang awam seperti dia tidak menyadari berapa hektar hutan yang
harus dikorbankan untuk membuat jalan desanya menjadi beraspal. Atau, jangan-jangan di
daerah perkebunan kelapa sawit lebih banyak masyarakat yang merasakan hal yang sama seperti
di atas. Menggabungkan problem kelapa sawit dalam konteks keanekaragaman hayati di
Indonesia adalah hal yang kompleks. Namun, yang tetap harus ditekankan adalah bagaimana
pencarian solusi untuk masalah ini memprioritaskan hajat hidup orang banyak. Bukan hanya para
pemilik modal.

Artikel ini telah tayang di Kompas.com dengan judul "Keanekaragaman Hayati dan Eksistensi
Kelapa Sawit di Indonesia",
https://nasional.kompas.com/read/2018/07/28/07080071/keanekaragaman-hayati-dan-eksistensi-
kelapa-sawit-di-indonesia.

Editor : Laksono Hari Wiwoho

2.

Tanah Papua menjadi harapan terakhir bagi Indonesia untuk bisa mempertahankan citranya
sebagai negara dengan keanekaragaman hayati terkaya ketiga di dunia.

Selama bertahun-tahun, para peneliti kerap menemukan aneka spesies flora dan fauna baru di
tanah yang masih menjadi tempat konflik bagi manusia itu.

Maret 2017, sebuah makalah ilmiah yang disusun dua peneliti asal Berlin, Jerman, dan satu
peneliti dari Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, mengumumkan penemuan udang air tawar
baru, Cherax warsamsonicus, tepatnya di Sungai Warsamson, Papua Barat.

Pada periode tahun yang sama, peneliti lain juga menemukan dua spesies anggrek baru, yakni
Trichotosia Gabriel-asemiana di Tambrauw dan Dendrobium spiculatum di dataran tinggi
Arfak, Papua Barat.

Dua penemuan itu masing-masingnya dilaporkan dalam jurnal Reinwardtia-Lembaga Ilmu


Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Malesian Orchid Journal.

Banyak peneliti yang meyakini, masih banyak spesies flora dan fauna baru di Papua yang belum
teridentifikasi.
Akan tetapi, ancaman eksploitasi, seperti pembukaan lahan, yang saat ini masif terjadi
mengancam potensi keanekaragaman hayati itu.

Dalam beberapa tahun terakhir, aktivitas pembalakan liar dan peredaran kayu ilegal terus marak
di Papua. Hal itu bisa dilihat melalui data satelit yang dipublikasikan oleh Greenpeace yang
berjudul "Forest clearing for oil palm plantations mapped between 2015 and 2018".

Kondisi ini bukan hanya mengancam perubahan iklim lantaran kantong-kantong udara semakin
menipis, namun juga hilangnya spesies-spesies yang biasa menempati hutan-hutan tersebut.

Data International Union for Conservation of Nature (IUCN) Red List yang diolah tim Lokadata
Beritagar.id menunjukkan, Indonesia memiliki sekitar 1.300 spesies flora dan fauna yang
terancam punah, dengan indeks habitat spesies rendah, yakni 46,5.

Indeks habitat spesies adalah salah satu indikator keanekaragaman hayati yang mengukur
proporsi habitat yang tersisa, dibandingkan dengan penghitungan awal yang dilakukan pada
2001.

Hilangnya habitat berkaitan dengan tingkat kepunahan spesies terutama di kawasan yang tingkat
keanekaragaman hayatinya tinggi. Padahal, keanekaragaman hayati dibutuhkan untuk
membentuk keseimbangan dan keberlangsungan planet.

Indonesia berada di jajaran ketiga negara dengan jumlah flora dan fauna terancam punah
terbanyak, membawahi Ekuador, Amerika Selatan, dan Madagaskar, Afrika Timur.

Sementara yang termasuk kategori punah adalah terancam punah dengan kondisi kritis (critically
endangered), akan punah dalam waktu panjang (endangered), dan rentan punah (vulnerable).

3. Hutan gambut

Bisnis.com, PALANGKA RAYA – Hutan gambut di Kalimantan Tengah mengalami degradasi


(kemerosotan) akibat kegiatan yang kurang bahkan tidak berwawasan lingkungan, salah satunya
seperti pembakaran untuk tujuan membuka lahan, mengancam keanekaragaman hayati di daerah
itu."Degradasi yang terjadi pada hutan gambut berdampak pada risiko hilangnya
keanekaragaman hayati di kawasan tersebut," kata Sekretaris Daerah Kalteng, Fahrizal Fitri, saat
membuka sosialisasi Borneo Nature Foundation (BNF) program Sebangau di Palangka Raya,
Kamis (28/2/2019).Ia mengatakan lahan gambut merupakan lahan yang rapuh, sehingga setiap
bentuk pengelolaan lahan akan menimbulkan dampak baru yang berpengaruh terhadap
komponen-komponen di dalamnya.Menurut dia, untuk menjaga dan memelihara hutan gambut
dari degradasi yang semakin meningkat, diperlukan aksi konservasi maupun restorasi di semua
tingkatan mulai dari lokal. Nasional, hingga internasional."Namun, kegiatan konservasi maupun
restorasi tidak akan berjalan maksimal jika tidak didukung dengan penelitian dan kerjasama
multi pihak dan pendanaan yang memadai," ungkapnya.Dia menjelaskan lahan gambut tropis
berperan penting dalam sistem biosfir dan berpengaruh besar pada keseimbangan iklim dunia.
Salah satu hutan gambut terbesar di Indonesia, yakni hutan rawa gambut di Sebangau.Hutan
rawa ini merupakan kawasan hutan gambut tropik yang luas dengan keanekaragaman hayati
yang tinggi dan unik serta memiliki ciri tertentu.Beberapa jenis flora dan fauna endemik tidak
ditemukan pada habitat lain serta tercatat sebagai pendukung populasi kekayaan dunia flora dan
fauna yang memiliki nilai ekonomi tinggi."Flora dan fauna itu seperti, ramin (gonystylus
bancanus), jelutung rawa (dyera costulata) serta satwa dilindungi seperti orang utan, bekantan,
owa serta beberapa jenis burung langka," ucap Fahrizal. Newswire | 28 Februari 2019 21:30 WIB

4.

Papua No. 1 News Portal | Jubi ,

Arfak, Jubi - Survei NKT (Nilai Konservasi Tinggi) atau High Conservation Value Forest di
Kabupaten Pegunungan Arfak oleh WWF dan sejumlah pihak terkait, melaporkan  bahwa selama
dilakukan survei tidak ditemukannya jenis kupu-kupu sayap burung (Ornithoptera) baik jantan
maupun betina, meski jenis tumbuhan yang menjadi pakan kupu-kupu tersebut masih tersedia.

"Survei NKT pada bulan Agustus lalu, kami menemukan walaupun  pakan kupu-kupu jenis
sayap burung (Ornithoptera) tersedia, sayangnya dalam survei itu tidak ditemukan jenis kupu-
kupu yang dilaporkan van Mastrigt, H dkk (2010) di wilayah Pegunungan Arfak baik jantan
maupun betina. Ini dimungkinkan karena habitat kupu-kupu itu terganggu,” ujar Wika Rumbiak, 
Acting West Papua Landscape Manager, WWF Indonesia - Papua Program di Manokwari belum
lama ini.

Selain itu, kata Wika, beberapa tekanan pun diidentifikasi di kawasan Pegunungan Arfak seperti
invasi spesies eksotik yang mengancam spesies endemik, kebakaran hutan, penebangan liar
hingga longsor yang terjadi di beberapa titik.

Kondisi tersebut disampaikan Wika dalam konsultasi publik NKT kepada Pemerintah Daerah
pihak terkait di Kabupaten Pegunungan Arfak.

“Untuk itu melalui konsultasi publik ini juga diharapkan ada persamaan pemahaman antar
pemangku kepentingan dalam menyikapi tekanan terhadap kawasan Pegunungan Arfak serta
pelaksanaan pembangunan yang dapat bersinergi dengan prinsip-prinsip keberlanjutan untuk
menjaga keseimbangan ekologi,” ujarnya seperti dalam rilis yang diterima Jubi.

Konsultasi publik ini, lanjut Wika, bertujuan untuk mensosialisasaikan hasil dan temuan survei
di lapangan tentang NKT yang telah dilakukan pada bulan Agustus lalu di tiga kabupaten di
Provinsi Papua Barat yakni Kabupaten Pegunungan Arfak, Kabupaten Manokwari Selatan,
Kabupaten Tambrauw dan satu Kabupaten Supiori di Provinsi Papua.

"Survey NKT merupakan tindak lanjut dari komitmen Pemprov Papua Barat sebagai provinsi
konservasi yang menargetkan peningkatan luas kawasan lindung di provinsi Papua Barat. Untuk
mendorong upaya tersebut, WWF-Indonesia bersama Pemprov Papua Barat berinisiatif untuk
meningkatkan fungsi lindung sebesar 3-5 persen di kabupaten-kabupaten tersebut,” ujarnya .

Peningkatan fungsi lindung yang dimaksud, telah sejajar dengan temuan di lapangan selama
survei berlangsung atas beberapa jenis spesies endemik baik flora dan fauna yang bernilai
penting untuk menjaga fungsi ekologi lingkungan juga bermanfaat secara sosial budaya
masyarakat tradisional yang mendiami wilayah tersebut. 

"Melalui survey NKT identifikasi dilakukan atas enam atribut pendukung NKT yakni  kawasan
yang mempunyai tingkat keanekaragaman hayati penting, kawasan bentang alam yang penting
bagi dinamika ekologi secara alami, kawasan yang mempunyai ekosistem langka atau terancam
punah, kawasan yang menyediakan jasa-jasa lingkungan alami, kawasan yang mempunyai fungsi
penting untuk pemenuhan kebutuhan dasar masyarakat lokal dan kawasan yang mempunyai
fungsi penting untuk identitas budaya tradisional komunitas lokal,” ujar Wika.

Dalam konsultasi publik NKT itu, juga dipaparkan teknis pelaksanaan survei, termasuk
metodologi serta ancaman ataupun tekanan yang diidentifikasi dalam survey tersebut. 

Selain WWF, survei NKT di Pegaf ini juga melibatkan Universitas Papua, Universitas
Cenderawasih, Universitas Ottow Geissler, Litbang Kehutanan Manokwari dan Yayasan
Paradisea dan didukung penuh oleh pemerintah kabupaten Tambrauw, Manokwari Selatan dan
Pegunungan Arfak.

Bupati Kabupaten Pegunungan Arfak Yosias Saroi mengatakan, Pemerintah Kabupaten


Pegunungan Arfak sepenuhnya mendukung  kegiatan survei hingga pelaksanaan konsultasi
publik NKT (Nilai Konservasi Tinggi) yang telah dilakukan di wilayah Kabupaten Pegunungan
Arfak. 

"Pemda Pegaf akan memberikan dukungan untuk keberlanjutan dari hasil survei NKT ini,
sehingga tidak selesai sampai di tingkat konsultasi publik tapi akan disesuaikan dengan program
pembangunan di Pegaf yang sampai saat ini masih prioritaskan pembangunan infrastruktur jalan
dan sarana penunjang lainnya,” ujar Saroi. (*)

5.

Dunia kehilangan hampir 150.000 individu orangutan dari Pulau Kalimantan dalam 16 tahun
terakhir akibat hilangnya habitat dan pembunuhan. Berikutnya, diperkirakan, kita akan kembali
kehilangan 45.000 individu lainnya pada 2050, berdasarkan studi di Jurnal Current Biology.

Penelitian yang dipublikasikan 15 Februari 2018 ini, mengamati 36.555 sarang orangutan di
seluruh Kalimantan -sebuah pulau yang dimiliki Indonesia, Malaysia, dan Brunei- dari 1999
hingga 2015. Selama periode tersebut, para peneliti melaporkan penurunan tajam jumlah sarang
yang mereka temui di sepanjang wilayah yang diteliti: dijumpai lebih dari separuh dari 22,5
sarang per kilometer (sekitar 36 per mil) sampai 10,1 sarang per kilometer. Penurunan tersebut,
menurut perhitungan, merupakan perkiraan kehilangan 148.500 individu orangutan kalimantan
(Pongo pygmaeus).

Data tersebut juga menunjukkan bahwa hanya 38 dari 64 kelompok orangutan yang dipisahkan
secara spasial, yang dikenal sebagai metapopulasi, sekarang mencakup lebih dari 100 individu.
Ini merupakan batas minimal yang dapat diterima untuk dianggap normal.
“Mereka menghilang lebih cepat dari yang diperkirakan para peneliti,” kata Maria Voigt, peneliti
di Max Planck Institute for Evolutionary Anthropology di Jerman dan penulis utama studi ini.

“Penyebab utamanya adalah degradasi dan kehilangan habitat sebagai respon terhadap
permintaan sumber daya alam lokal dan global. Termasuk, produk kayu dan pertanian, namun
sangat mungkin juga karena pembunuhan langsung,” tulis Voigt.

Hutan dan perkebunan kelapa sawit di Kalimantan. Foto: Dokumentasi. Dr. Marc Ancrenaz

Sekitar 288.500 orangutan diyakini tinggal di Kalimantan tahun 1973, ketika tiga perempat pulau
itu masih ditutupi hutan. Pada 2012, jumlahnya turun menjadi sekitar 104.700 individu, menurut
IUCN.

Dalam rentang hampir empat dekade itu, lebih dari sepertiga hutan hujan Kalimantan hancur
karena kebakaran, penebangan, pertambangan, dan pengembangan perkebunan, terutama sawit.
Skala deforestasi berdampak parah pada populasi orangutan di pulau ini, hewan arboreal
terbesar.

“Penurunan kepadatan penduduk paling parah terjadi di daerah yang digunduli atau
ditransformasikan untuk pertanian industri, karena orangutan berjuang untuk tinggal di luar
kawasan hutan,” kata Voigt.

Studi tersebut menemukan tingkat penurunan orangutan paling tinggi – 63 sampai 75 persen – di
daerah-daerah yang mengalami deforestasi atau dikonversi menjadi perkebunan di Kalimantan,
bagian Indonesia dari pulau ini, dan negara bagian Sabah di Malaysia. Sebaliknya, hampir tidak
ada hutan tanaman industri dan kawasan penggundulan hutan di wilayah orangutan di Sarawak.

“Namun, yang mengkhawatirkan adalah, jumlah orangutan terbesar hilang dari daerah yang tetap
memiliki hutan selama masa studi tersebut,” kata Voigt.

Hilangnya orangutan di hutan-hutan yang tidak tersentuh, atau “primer,” dan diseleksi secara
selektif, di mana mayoritas orangutan tinggal, menyumbang 67 persen dari total perkiraan
kerugian di Kalimantan antara 1999 dan 2015. Voigt menyatakan “peran besar pembunuhan”
sebagai penyebab utama penurunan populasi di daerah ini, terutama karena tidak adanya
penjelasan alternatif yang masuk akal, seperti jenis penyakit menular yang terjadi di antara kera
di Afrika.

Agustus lalu, Pemerintah Indonesia melaporkan bahwa empat per lima dari 57.350 orangutan liar
di Kalimantan tinggal di luar taman nasional dan kawasan lindung lainnya, sehingga
membiarkan mereka terkena perburuan dan konflik dengan manusia.
“Orang membunuh orangutan untuk daging mereka, seperti mereka berburu spesies lain yang
dapat dimakan,” kata Voigt. “Orangutan juga terbunuh saat anak-anak mereka ditangkap untuk
perdagangan hewan sebagai peliharaan.”

Tetapi, beberapa pembunuhan ini juga terkait dengan deforestasi dan penebangan kayu, Voigt
mencatat.

“Orang-orang di Kalimantan membunuh orangutan karena situasi konflik, saat hewan didorong
memasuki taman atau perkebunan karena habitat mereka telah hancur,” katanya.

“Dengan meningkatnya pembangunan dan deforestasi dan konversi yang dihasilkan, tatap muka
antara satwa dan manusia meningkat, jumlah manusia meningkat dan habitat yang tersisa untuk
orangutan menurun,” tambahnya.

Voigt mengatakan, studi tersebut hanya memberikan sedikit gambaran tentang interaksi
orangutan dan manusia di Kalimantan.

Dua orangutan dilaporkan terbunuh tahun ini di Kalimantan Tengah dan Kalimantan Timur.
Indonesia juga menjadi pemberitaan dunia pada 2011 ketika setidaknya 20 orangutan dibantai
oleh pekerja perkebunan di Kalimantan Timur dengan kedok “pengendalian hama.”

Lutung Kasarung

Masyarakat Sunda pasti sudah tidak asing dengan "Lutung Kasarung", sebuah cerita pantun yang
mengisahkan perjalanan Sanghyang Guruminda dari Kahyangan yang diturunkan ke bumi dalam
wujud seekor lutung jawa.
.
.
Lutung jawa sendiri merupakan hewan endemik Indonesia yang hanya bisa dijumpai di pulau
Jawa, Bali, dan Lombok. Ia hidup di kawasan hutan dengan berbagai variasi. Bulunya berwarna
hitam dengan berat tubuh sekitar 6 kg. Ia memiliki ekor yang hampir mencapai dua kali lipat
panjang tubuhnya.
.
Kini, populasi lutung jawa semakin menurun. IUCN Redlist mengkategorikan lutung jawa dalam
status konservasi terancam (Vulnerable) . Selain itu, CITES juga memasukkan spesies ini dalam
Apendiks II.
.
Ancaman utama terhadap lutung jawa disebabkan oleh berkurangnya habitat sebagai dampak
deforestasi hutan dan perburuan yang dilakukan manusia.
.
Yuk cegah kepunahan lutung jawa!
#ragamsekitar #bwkehati #savelutungjawa
BURUNG

Akhir Januari 2019, peneliti dan pemerhati burung dari berbagai penjuru Indonesia berkumpul di
Kota Padang, Sumatera Barat. Tepatnya, di kampus Universitas Andalas. Ini merupakan
Konferensi Peneliti dan Pemerhati Burung Indonesia [KPPBI] V, sejak pertama kali digelar di
Kota Bogor, Jawa Barat. Tema yang diangkat adalah “Restorasi Habitat untuk Kelestarian
Burung di Sekitar Kita”.

Pembicara utama yang hadir tidak hanya dari Indonesia, ada juga dari luar negeri. Sebut saja
Chin Aik Yeap dari Malaysian Nature Society, Mark O’Hara dari Vet Med Viena University,
Austria, dan Wally Van Sickle dari Idea Wild, Amerika Serikat. Dalam konferensi ini, sebanyak
60-an abstrak hasil penelitian burung dipaparkan, ada habitat buatan, genetika, ekomorfologi,
ekofisiologi, penangkaran, hingga perdagangan.

Ani Mardiastuti, Guru Besar Departemen Konservasi Sumberdaya Hutan dan Ekowisata Institut
Pertanian Bogor [IPB], memaparkan tentang empat dekade penelitian dan konservasi burung di
Indonesia. Ia memulai penjelasannya tentang peneliti Jepang, Nagamichi Kuroda, yang menulis
buku burung-burung di Pulau Jawa pada 1933, lalu Andries Hoogerwerf [1949], hingga buku
panduan lapangan 2016.

“Dalam waktu dekat akan diluncurkan buku panduan lapangan lebih lengkap, judulnya “Burung-
burung di Indonesia, Sunda Besar dan Kawasan Wallacea”. Bukunya sangat tebal dan harganya
bisa lebih Rp1 juta,” ungkapnya.

Baca: Burung di Indonesia, Bagaimana Kondisinya?

Julang sulawesi [Knobbed hornbill] yang statusnya Rentan [VU}. Foto:


Rhett Butler/Mongabay.com

Ani menuturkan, penelitian dan konservasi burung di Indonesia perlu dilacak dan direkam agar
kemajuannya dapat diketahui. Penelitian telah banyak berkembang dalam hal jumlah; peneliti,
geografis, kualitas, dan variasi tema, khususnya setelah buku panduan lapangan diterbitkan.
Metode lapangan dibakukan, serta peralatan lapangan semakin lengkap dan terjangkau.

Selama empat dekade penelitian, sebanyak 457 burung telah dinyatakan sebagai spesies baru
karena proses spesiasi akibat isolasi geografis, yang sebagaian besar berada di kawasan
Wallacea. Namun demikian, spesies burung yang terancam punah ikut bertambah walau
konservasi semakin digiatkan.

“Topik penelitian banyak berkembang. Tidak hanya laporan eksploratif dan keanekaragaman
hayati tapi juga penangkaran, pembuktian kaidah biologi atau ekologi, adaptasi burung pada
habitat termodifikasi, serta kesehatan lingkungan.”

Baca: Konservasi Burung Liar Memang Penting untuk Ekosistem Alam

Burung anis-bentet sangihe (Colluricincla sanghirensis) yang


dikeluarkan dari daftar dilindungi. Foto: Hanom Bashari

Selain itu, kebijakan telah diperkuat dengan berbagai peraturan dan rencana strategis. LSM,
peneliti, himpunan mahasiswa, pengamat burung, bahkan kelompok fotografer bertambah.
Demikian pula pertemuan ilmiah dan diskusi. Kerja sama antar-negara terjalin dengan adanya
migrasi burung, perdagangan internasional, dan upaya memerangi penyelundupan.

“Empat dekade terakhir dapat disimpulkan, penelitian dan konservasi burung di Indonesia
berkembang pesat,” ungkap Ani.

Status Burung 2019

Ria Saryanthi, Head of Communication & Institutional Development Burung Indonesia,


memaparkan status burung di Indonesia 2019 yang jumlahnya sebanyak 1.777 spesies. Dari
jumlah itu, 168 jenis merupakan jenis terancam punah dengan rincian; 30 jenis Kritis, 44 jenis
Genting, dan 94 jenis Rentan. Selain itu, sebanyak 244 jenis mendekati terancam punah, 1.351
jenis risiko rendah, dan 11 jenis kurang data.

Untuk status konservasi lain, jumlah jenis burung yang dilindungi sebanyak 553 spesies
berdasarkan Permen KLHK No.P 92/MenKLHK/Setjen/Kum.1/8/2018. Dari jumlah itu, tercatat,
jumlah jenis burung endemis 515 spesies sementara jumlah jenis burung sebaran terbatasnya 452
spesies.

Baca: Ini Penyebab Burung Terus Terancam di Alam Liar…


 

Yanthi, biasa disapa, juga menyebutkan terdapat 228 daerah penting bagi burung dan keragaman
hayati di Sumatera, Kalimantan, Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Maluku.

“Salah satu pendekatan untuk melakukan perlindungan habitat burung di luar kawasan
konservasi melalui restorasi ekosistem di hutan alam produksi. Caranya, melalui Izin Usaha
Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu Restorasi Ekosistem atau IUPHHK-RE,” ungkapnya.

Di Indonesia, saat ini telah dikeluarkan 16 izin kawasan restorasi ekosistem dengan luas 623.075
hektar. Sepuluh kawasan berada di Sumatera dan enam di Kalimantan dengan periode izin mulai
60 hingga 100 tahun. Tipe ekosistem mencakup hutan dataran rendah, mangrove, rawa gambut,
hutan rawa air tawar, dan hutan kerangas.

Namun menurut Yanthi, tantangan yang dihadapi saat ini adalah masifnya industri ekstraktif
seperti pertambangan dan perkebunan, juga pembukaan kawasan untuk pertanian. Apalagi,
sebanyak 97 habitat penting seluas 4.782.120 hektar berada di luar kawasan konservasi.
Sementara untuk kawasan hutan, di Indonesia telah ada hutan konservasi seluas 27,4 juta hektar,
hutan lindung 29,7 juta hektar, dan hutan produksi sekitar 68,8 juta hektar. MONGABAY.CO.ID

Desa KONSERVASI

Desa Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kabupaten Kulon Progo, Yogyakarta adalah desa yang
sangat unik. Desa ini menyimpan potensi keragaman fauna dan flora serta potensi alam yang luar
biasa.

Beberapa penelitian dan pendataan, baik dari pihak luar maupun internal desa, menyebutkan
bahwa paling tidak ada sekitar 20 gua, 97 jenis burung, 30-an jenis moluska (siput), 30 jenis
capung, 100-an jenis kupu-kupu, 30-an jenis anggrek, dan ada banyak ditemukan fosil terumbu
karang. Belum lagi jenis fauna lainnya seperti serangga dan yang lainnya.

 
Kondisi alam Desa Jatimulyo, Kecamatan
Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta adalah desa yang menyimpan potensi keragaman fauna dan
flora serta potensi alam yang luar biasa. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

Ini luar biasa untuk potensi sebuah desa. Apalagi dahulu kala banyak pemburu burung yang
dibiarkan bertahun-tahun. Kesadaran mulai timbul sekitar 5 tahun yang lalu, ketika beberapa
orang yang tinggal di desa itu, diantaranya Kepala Desa Jatimulyo, Anom Sucondro dan
warganya Kelik Suparno, merasa kehidupan alami desanya mulai hilang.

Anom memulainya dengan Peraturan Desa No.8/2014 tentang lingkungan hidup, yang tentunya
disertakan sanksi pidana dan perdata (denda Rp5-10 juta). Menurutnya, masyarakat yang
dulunya seperti menelantarkan potensi alam yang luar biasa, yang dipunyai desa ini, didorongnya
untuk berubah dengan Perdes itu. Dan ini juga masuk ke dalam Rencana Pembangunan Jangka
Menengah Desa (RPJMDes)

Selain itu, seperti dikutip Kompas.com, ada Perdes Pengelolaan Sumber Daya Air Desa, Perdes
Perlindungan Karst Mandiri Desa, dan Perdes Lembaga Kemasyarakatan Desa.

 
Anakan burung cabe api Desa Jatimulyo, Kecamatan
Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

Air berlimpah yang dimiliki desa ini karena banyak sumber air, dulunya justru hanya dinikmati
desa lain, tetapi sekarang mulai dikelola dengan baik. Desa jatimulyo kini menikmati air dengan
bersama dengan desa lainnya, dengan pengaturan yang baik pula.

Dan yang lebih penting lagi adalah, tidak diperbolehkannya perburuan hewan apapun, terutama
burung di desa ini. Selain juga pelarangan pemetikan dan pengambil berbagai jenis floranya.
Misalnya saja, penebangan pohon harus mendapatkan surat izin dari desa walaupun di tanah
sendiri dan diwajibkan menanam pohon pengganti.

Seekor bunglon desa konservasi Jatimulyo, Kecamatan


Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

Keanekaragaman hayati Desa Jatimulyo memang luar biasa. Bahkan ditemukan beberapa spesies
unik. Pada awalnya, Anom merasa tidak mengenal konservasi. Hanya merasa bahwa kekayaan
alamnya harus dirawat agar alam desanya asri dan lestari.
Hal itu diamini Kelik. Pada awalnya Kelik adalah pemburu burung. Dia tersadar berburu itu
salah ketika suara-suara burung mulai menghilang dari kebun dan hutan desanya. Kehidupannya
berburu bersama teman-teman desanya harus diakhiri. Dia khawatir anak cucunya nanti tidak
pernah lagi melihat burung-burung yang dia lihat di masa lalu.

Ditambah lagi, kedatangan teman-teman dari berbagai komunitas lingkungan serta fotografer
burung ke desanya, semakin memantapkan niatnya untuk melestarikan desanya. Bersama teman-
teman, Kelik mulai belajar mencintai alam. Dari pemburu menjadi pelestari.

Seekor burung cekakak jawa di desa konservasi Jatimulyo,


Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

Sekarang Kelik dengan keahlian khususnya tentang burung selama menjadi pemburu pada masa
lalu, dipergunakannya untuk menjaga burung-burung, menemani para peneliti, serta fotografer
alam liar.

Menurutnya, ada beberapa species unik yang ada di desa ini, seperti gelatik jawa, suling, pelatuk,
dan cekakak jawa.

Bahkan melalui usahanya sebagai petani dan pemilik kedai kopi suling, mereka membuat
program adopsi sarang burung, yaitu bila warga menemukan sarang burung di lahan
pertaniannya, kemudian memberitahu dan menjaganya dari perburuan, maka akan diberikan
imbalan uang dari keuntungan kedai kopi mereka.

 
Seekor burung pijantung desa Jatimulyo,
Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta. Foto : Anton Wisuda/Mongabay Indonesia

Seorang pemerhati lingkungan, Sidik Harjanto, yang juga sekarang menggerakkan warga Desa
Jatimulyo beternak madu klanceng menjelaskan Peneliti dari Pusat Penelitian Biologi Lembaga
Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Cahyo Rahmadi bersama Peneliti dari Leiden, Belanda,
Jeremy Miller menemukan spesies laba-laba gua eksotis di kawasan Bukit Manoreh pada 2012.
Spesies itu dinamai Amauropelma mata kecil.

Usaha pelestarian di Desa Jatimulyo menunjukan perkembangan yang signifikan. Burung-burung


yang dulu menghilang mulai berdatangan kembali. Potensi-potensi alam desa, benar-benar dijaga
dan dirawat dengan baik.

Setidaknya ada 12 destinasi wisata yang memanfaatkan kekayaan alam di desa Jatimulyo, seperti
air terjun Kedung Pedut, Taman Ekowisata Sungai Mudal, air terjun Kembang Soka, Goa
Kiskendo, yang bernilai ekonomis bagi warga desa. Belum lagi turis mancanegara yang datang
untuk melakukan aktivitas pengamatan burung.

 
Seekor ulat bulu, salah satu kekayaan fauna di
desa konservasi Jatimulyo, Kecamatan Girimulyo, Kulon Progo, Yogyakarta. Foto : Anton
Wisuda/Mongabay Indonesia

Dengan aktivitas dan potensinya itu, Desa Jatimulyo dapat ditetapkan sebagai wilayah cagar
alam atau perlindungan khusus sebagai penguatan untuk warga mengelola desanya.

Alam akan menunjukan caranya berterimakasih, ketika dirinya dirawat dengan baik. Suara alam
pun kini seakan bernyanyi bersahutan di pagi hari menyapa kehidupan di desa ini. Desa
Jatimulyo. oleh Anton Wisuda [Yogyakarta] di 23 February 2019

Orangutan kalimantan betina dengan anaknya.


Foto: Dokumentasi Dr. Marc Ancrenaz

Studi yang dilakukan Voigt memproyeksikan, kematian 45.000 orangutan pada 2050, hanya
berdasarkan konsekuensi langsung atas hilangnya habitat.
Jika tingkat deforestasi saat ini terus berlanjut, sekitar 215.000 kilometer persegi (83.000 mil
persegi) hutan di Kalimantan akan hilang antara 2007 dan 2020, mengurangi wilayah hutan yang
tersisa menjadi 24 persen. Prediksi ini berdasarkan penelitian WWF di 2012.

Voigt mengatakan, temuan timnya menyoroti perlunya perubahan dalam upaya melindungi
orangutan di Kalimantan, termasuk konservasi habitat dan tindakan untuk memerangi
pembunuhan ilegal tersebut.

“Ini adalah sesuatu yang bisa kami konfirmasikan. Bahkan meskipun jika ada hutan, orangutan
akan lenyap dan diperlukan lebih banyak tindakan konservasi, seperti peningkatan kesadaran,
pendidikan, dukungan dalam situasi konflik bagi masyarakat lokal, juga penegakan hukum,”
katanya.

“Dengan sebagian besar orangutan yang tinggal di luar kawasan lindung, berarti kita perlu
menjangkau orang-orang yang mengelola kawasan ini, yaitu masyarakat dan perusahaan.”

Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Forest Stewardship Council (FSC) adalah
contoh skema sertifikasi yang memberi insentif pada kemitraan ini, dengan memungkinkan
konsumen untuk mendukung pengelolaan sumber daya alam bertanggung jawab.

Pemerintah Indonesia pada 2016 mendeklarasikan moratorium lima tahun lisensi baru untuk
mendirikan perkebunan kelapa sawit di seluruh nusantara. Kebijakan tersebut juga mencabut izin
pembebasan hutan untuk periode 2015-2016.

“Temuan kami mengkhawatirkan,” kata Voigt. “Untuk mencegah penurunan lebih lanjut dan
melanjutkan kepunahan orangutan, manusia harus bertindak sekarang: konservasi
keanekaragaman hayati perlu diserap ke dalam semua sektor politik. Masyarakat harus menjadi
prinsip utama dalam wacana publik dan proses pengambilan keputusan politik.”
Mongabay.co.id

                                                                                                                                                           

KUSKUS

Ternate di Maluku Utara memiliki kekayaan alam yang patut dibanggakan. Salah satunya adalah
kuskus mata biru yang bernama latin Phalanger sp ternate.

Namun begitu menurut seorang petani pala dan perajin bambu, Ismail Soleman (66), kuskus dan
hewan endemik Ternate mulai jarang ditemui. "Selain burung, kuso (kuskus) mulai langka.
Kalau dulu banyak. Biasanya di pohon belakang rumah sini. Bahkan saat ambil bulu (bambu) di
kebun sering dapat," katanya kepada Beritagar.id, Senin (9/7/2018).

Penduduk Tongole dan Marikrubu, Ternate, memang menyebutnya Kuso. Namun; hewan
omnivora pemakan serangga, daun, dan buah mulai sulit ditemui.
"Banyak warga yang sering datang berburu Kuso untuk dikonsumsi. Mereka datang dari luar
lingkungan Tongole. Bukan penduduk sini. Para pemburu ini biasanya bawa senjata (senapan
angin), itu untuk tembak Kuso," lanjut Ismail.

Selain faktor manusia yang memburu hewan mamalia dilindungi undang-undang itu, hilangnya
kuskus Ternate juga disebabkan karena pengalihan fungsi lahan hutan dan kebun menjadi
perumahan dan permukiman. Penduduk pun kian bertambah.

Ternate adalah salah satu kota di Provinsi Maluku Utara, Indonesia bagian Timur. Luas kota
berbentuk bulat kerucut itu hanya 5.795 km dan didominasi oleh laut. Sementara luas daratan
162 km. Sisanya laut yang mencakup 5.633 km dari luas pulau itu.

Secara administrasi, Kota Ternate terdiri dari 7 Kecamatan dan 77 Kelurahan. Sensus penduduk
2015 menyebutkan, populasi Kota Ternate adalah 212.997 jiwa dengan kepadatan rata-rata 1.315
orang per km.

Orang dapat mengelilingi pulau tersebut sekitar 2 jam dengan mobil. Namun, untuk menikmati
kekayaan flora dan fauna endemik di pulau ini, orang harus siap kecewa. Semuanya mulai punah
karena pengaruh alih fungsi lahan perkebunan dan hutan.

"Kuso ini kalau saya perhatikan tidak suka keramaian. Karena sebelum banyak rumah di
Kelurahan Marikrubu dan Maliaro, Kuso masih banyak dijumpai dekat sini. Di pohon durian dan
pohon nangka. Tapi semenjak banyak rumah, Kuso sudah jarang saya temukan," ujar Ismail.

Meski belum beruntung menemukan kuskus mata biru di hutan sekitar Tongole tempat
habitatnya berkumpul, tapi hewan mamalia tersebut masih berhasil diabadikan. Apalagi Ismail
memberi sinyal bahwa di lingkungannya terdapat salah seorang pemuda Tongole yang
memelihara hewan kuskus.

Ia adalah Rahmin Safrudin. Beritagar.id menyambangi kediaman lelaki 31 tahun itu. Sambil
membersihkan kendaraan roda dua, suami Siti Nurhayati itu membenarkan bahwa ia memelihara
dua ekor kuskus beda kelamin dari hutan Tongole.

Rahmin pun mengizinkan Beritagar.id untuk melihatnya. "Iya. Boleh. Keduanya ada di atas
pohon jambu," kata Rahmin sambil menunjuk ke arah kuskus mata biru, hewan peliharaannya
yang dirawat cukup baik sejak 2012.

Rahmin mengaku senang dengan hewan peliharaannya, tapi lelaki yang berprofesi sebagai
tukang ojek ini tidak tahu bila Blue-eyed cuscus tersebut dilindungi Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan Ekosistemnya. UU itu
menyebutkan bahwa setiap orang dilarang menangkap, melukai, membunuh, memiliki,
memelihara, dan memperniagakan (memperjualbelikan) hewan yang dilindungi.

"Sehari-hari saya beri makan pisang. Semua jenis buah juga dimakan. Kalau siang dia tidur.
Biasanya sore dan malam hari sudah gelap baru keluar (beraktivitas). Setiap malam, atap rumah
ini bunyi karena Kuso berjalan di atasnya," ujar Rahmin.
Hewan peliharaannya itu pernah didatangi peneliti dari LIPI (Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia) dan seorang peneliti lain pada 2017. Mereka mendokumentasikannya dalam bentuk
foto. Bahkan salah seorang peneliti sempat meminta salah seekor kuskusnya, tapi Rahmin
menolak.

Abas Hurasan, Kepala Seksi Konservasi Wilayah I Ternate BKSDA Provinsi Maluku,
menjelaskan bahwa hewan kuskus masuk kategori dilindungi. Setiap hewan yang dilindungi
undang-undang ini jika ditemukan ada warga yang memeliharanya akan diambil.

Abas menyarankan kepada warga yang ingin memelihara atau memperdagangkan hewan yang
dilindungi, sebaiknya diambil dari proses penangkaran satwa itu. Meski demikian, sejauh ini
wilayah Provinsi Maluku Utara belum ada penangkaran satwa liar.

Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1990 Tentang Konservasi Sumber Daya Alam Hayati dan
Ekosistemnya menyebutkan bahwa sanksi pidana bagi orang yang dengan sengaja melakukan
pelanggaran terhadap satwa dilindungi sebagaimana dimaksud dalam Pasal 21 Ayat 2 itu adalah
pidana penjara maksimal 5 tahun dan denda paling banyak Rp 100.000.000.

Abas menambahkan, keberadaan kuskus mata biru ini merupakan endemik Maluku Utara yang
hidup di hutan Pulau Ternate. Juga ada kuskus jenis lainnya yang hidup di hutan Pulau Sanana,
Halmahera, Bacan, Obi, Gebe dan Pulau Morotai.

Abas mengemukakan, sebaran spesies tersebut di Maluku Utara mencapai 7 jenis. Namun, Abas
membenarkan bahwa habitat hutan sebagai tempat tinggal spesies tersebut terancam.

DR M. Natsir Tamalene, Ketua Pusat Studi Konservasi Keanekaragaman Hayati Universitas


Khairun (Unkhair) Ternate, dalam sebuah artikelnya menjelaskan bahwa kuskus adalah salah
satu generasi marsupial yang tergolong dalam genus (marga) Spilocuscus atau bertotol dan
diklasifikasikan ke dalam genus Phalangeridae (tidak bertotol).

Bagi Natsir, kuskus merupakan hewan mamalia berkantung yang endemik. Kuskus juga tersebar
di wilayah Papua, Papua New Guinea, dan Australia (Menzies 1991, Petocz 1994 dan Flannery
1995). Ada pula sebaran kuskus di pulau Sulawesi, Kepulauan Maluku, dan kepulauan Timor.

Adapun dua genus kuskus ini bisa ditemukan di Kepulauan Maluku, Pulau Halmahera, Bacan,
dan Pulau Morotai (Latinis K 1996). Natsir menambahkan bahwa kuskus juga dilindungi oleh
Peraturan Pemerintah Nomor 7 Tahun 1999, Tentang Pengawetan Jenis Tumbuhan dan Hewan.

Secara global dua genus kuskus setempat di antaranya telah terdaftar dalam Appendix II
Convention on International Trade in Endangered Species of Wild Fauna and Flora (CITES).
International Union Conservation of Nature yang rajin melakukan upaya konservasi flora dan
fauna di dunia juga memasukkan kuskus ke dalam redlist (buku merah) dan tergolong sebagai
hewan vulnerable (terancam) karena populasinya makin berkurang.

"Hewan mamalia yang memiliki karakter morfologi yang mempesona ini karena wilayah
persebarannya terbatas sehingga menjadi dasar penetapannya sebagai hewan yang dilindungi
oleh pemerintah RI melalui Keputusan Menteri Pertanian Nomor: 247/KPTS/UM/4/1979," lanjut
Natsir ketika dihubungi melalui aplikasi pesan instan WhatsApp, Kamis (12/7).

Di Ternate, kekayaan flora dan fauna yang dilindungi bukan hanya kuskus mata biru. Data Seksi
Konservasi Wilayah I BKSDA Maluku menyebutkan ada pula burung Nuri dan Kakatua Putih
yang lagi-lagi kini mulai sulit dijumpai di hutan setempat.

Data BSKADA Maluku ini juga menyebutkan keanekaragaman flora dan fauna yang terdapat di
pesisir pantai laut Pulau Ternate yang keberadaannya pun kian langka. Misalnya, ikan laut jenis
Duyung (Dugong) yang biasanya ditemukan bermain di depan Pantai Falajawa, Kelurahan
Mahajirin, Kecamatan Ternate Tengah.

"(Jadi) kalau (flora dan fauna) di Pulau Ternate itu bukan punah. Tetapi habitatnya sudah tidak
ada jadi dia pindah ke tempat lain," kata Abas.

"Kalau terumbu karang dan ikan Duyung itu biasanya dipicu karena adanya kapal-kapal. Iya
termasuk reklamasi pantai sudah tentu mengganggu ekosistem yang bergantung hidup di sekitar
pesisir pantai Pulau Ternate," teganya.

Situasi ini menjadi kebalikan dari zaman lampau. Padahal pada abad 19, pulau Ternate dahulu
pernah menjadi tempat studi dan pusat penelitian salah seorang naturalis dunia, Alfred Russel
Wallace.

Naturalis atau peneliti hayati asal Inggris itu melakukan jelajah ilmiah di Malaysia, Singapura,
dan Indonesia selama delapan tahun pada 1854-1862. Di Indonesia bagian Timur, ia bertandang
ke Pulau Ternate sampai delapan kali pada 1858-1861.

Selama kurun waktu itu; Wallace juga berjelajah ke Pulau Halmahera, Bacan, Makian, Ambon,
Buru, Kei, dan Papua. Wallace menjadikan Ternate sebagai markas dalam penjelajahan di
Indonesia bagian Timur.

Bahkan pada Februari 1858; Wallace mengirim makalah panjang ke naturalis lain asal Inggris,
Charles Darwin. Makalah itu menyangkut evolusi seleksi alami dan itu dikembangkan oleh
Darwin menjadi buku terbitan 1859 berjudul "The Origin of Species" (Asal Usul Spesies).

Dalam makalahnya, Wallace menghimpun kumpulan 5.000 spesimen hayati (mamalia, insekta,
burung, dan tumbuh-tumbuhan). Satu hewan yang ditelaah ialah kuskus mata biru.

Pada tahun 1869, Wallace menerbitkan buku dalam dua jilid mengenai hasil jelajah ilmiahnya
berjudul Malay Archipelago. Tahun 2019 merupakan peringatan 150 tahun terbitnya buku akbar
Wallace itu dan lembaga ilmiah di Inggris akan merayakannya.

Perhatian terhadap pelestarian ekosistem dan hayati endemik Maluku Utara yang dimiliki bumi
para sultan di Moloku Kieraha (sebutan lain Maluku Utara) itu juga diabadikan oleh pemerintah
RI dalam uang kertas Rp 1.000 berlatar Pulau Maitara, depan Pulau Ternate. kuskus ini juga
masuk dalam perangko PT Pos Indonesia terbitan 2012 meski hewan yang ada dalam perangko
itu adalah kuskus tutul hitam asal Papua.

Sementara untuk mengantisipasi dampak perubahan iklim akibat hutan dan mangrove yang
sudah ditebang, saat ini pemkot Ternate melakukan beberapa langkah mitigasi. Mereka
menanam ribuan bibit mangrove di sekitar wilayah terdampak abrasi pantai di Ternate.

Bahkan, pemprov Maluku Utara melalui Dinas Kelautan dan Perikanan, tahun ini berencana
menerbitkan Peraturan Daerah Tentang Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil
(RZWP3K) Provinsi Maluku Utara.

"Perda ini akan mengatur tentang penentuan alokasi ruang seperti wilayah zona tangkap, wilayah
konservasi, ekonomi wisata, dan zona batas pesisir," kata Buyung Radjiloen, Kepala Dinas
Kelautan dan Perikanan Provinsi Malut.

Buyung menambahkan, pemberlakuan perda ini masih akan menyesuaikan dengan pola ruang di
sepuluh Kabupaten Kota wilayah Provinsi Kepulauan itu. "Kalaupun ada pemda yang melakukan
pembangunan pelabuhan-pelabuhan baru maupun kegiatan reklamasi lainnya maka akan dikaji
sesuai ketentuan Perda RZWP3K ini," katanya.

https://beritagar.id/artikel/sains-tekno/kuskus-mata-biru-ternate-yang-kian-langka

BANTENG

Hulu Sungai Belantikan, terletak di Kabupaten Lamandau, Kalimantan tengah. Hulu sungai ini
langsung berbatasan dengan deretan Pegunungan Schwaner, yang jadi batas alam antara
Kalimantan Tengah dan Kalimantan Barat.

Di sanalah, para peneliti sumber daya hayati dan bioteknologi, termasuk dari Yayasan Orangutan
Indonesia (Yayorin) memastikan masih ada satwa langka, banteng Kalimantan (Bos javanicus
lowi).

Di pesisir selatan Kalimantan Tengah itu, monitoring site banteng diselenggarakan Yayorin yang
saya ikuti pada 12-13 Februari 2019. Kami menuju Camp Nanga Matu.

Nanga Matu, secara geografis desa paling hulu, sebelum Desa Bintang Mengalih, di barat
lautnya, dan Desa Petarikan di timur laut di aliran Sungai Belantikan. Sebagian besar desa-desa
itu hutan produksi (HP). Kondisi terbilang lebih baik dibanding kawasan lain di Lamandau,
kebanyakan sudah jadi perkebunan sawit.

Bukan berarti hutan masih perawan. Dalam hutan produksi itu ada izin hak pengusahaan hutan
(HPH) dipegang PT Karda Traders. “Total Karda dulu 98.000 hektar. Sekarang, sudah
berkurang,” kata Eddy Santoso, Direktur Yayorin.
Kendati begitu, melalui serangkaian penelitian panjang, Yayorin memastikan, masih ada
setidaknya belasan banteng Kalimantan teridentifikasi berada di sana.

“Kami riset itu sebenarnya sejak 2003. Dari rekan kami riset untuk S-2. Ditemukan informasi
banteng dari masyarakat. Kemudian ada (penemuan) tanduk, kotoran dan segala macam,”
katanya yang biasa disapa Ewong, tentang latar belakang awal keterlibatan Yayorin, dalam
konservasi banteng.

Sopanan Pasiran, tempat biasa banteng Kalimantan di hulu Belantikan, bermain. Foto: Budi
Baskoro/ Mongabay Indonesia

Terekam kamera pengintai

Informasi awal itu kemudian ditindaklanjuti dengan memasang kamera pengintai untuk
mendapatkan visualisasi banteng. Hasilnya, terbukti. Awalnya banteng terekam melalui gambar
hitam-putih. Bukti-bukti itu diperkuat setelah banteng terekam lebih intens melalui video dari
kamera pengingati yang tersebar pada 32 titik dalam areal seluas 64 km persegi.

Yayorin coba melindungi spesies yang ada di lingkup perlindungan orangutan. “Orangutan kita
ketahui sebagai satwa spesies umbrella atau spesies payung. Ia memayungi seluruh spesies di
satu ekosistem,” katanya. “Di situ ada banteng, kami berniatan melindungi banteng di
Belantikan,” katanya.

Ewong bilang, awal 2000-an, masih sekitar 6.000 orangutan di hutan Belantikan hulu. Ia
populasi terbesar orangutan di luar kawasan konservasi, seperti taman nasional, suaka
margasatwa atau hutan lindung. Di sana, populasi banteng lebih sedikit. Awalnya, mereka
memperkirakan sekitar 30, tetapi sepanjang dua tahun terakhir, setelah meneliti serius bekerja
sama dengan Tropical Forest Conservation Aid (TFCA), ternyata tak lebih 20.

Iman Safari, Program Manager Yayorin, mengatakan, populasi banteng itu, teramati periodik
melalui kamera pengintai. Tempat yang dikunjungi banteng adalah salt lick atau mineral lick,
yang oleh masyarakat lokal setempat disebut sopanan.

“Ada juga yang terekam bergerombol, anaknya dua. Umur sekitar setahun, ada yang tiga tahun,”
kata lelaki yang pernah mengikuti konferensi soal banteng Kalimantan, di Sabah Malaysia ini.

Anggota Pokdarwis Desa Nanga Matu, Kecamatan Belantikan Raya, Kabupaten Lamandau dan
rombongan Monitoring Site Banteng Kalimantan. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

 
 

Beda dengan banteng Jawa?

Iman mengatakan, sangat serius meneliti soal banteng ini, meliputi aspek bioekologi dan
etnozoologi, guna mengetahui perkiraan populasi dan sebaran, karakteristik genetik
molekulernya, hingga kondisi habitat.

“Karena di Indonesia, tak ada baseline data akurat, terbaru terkait banteng. Jadi selama ini,
asumsi selalu ditarik dari banteng di Jawa,” katanya.

Berdasarkan analisis genetik molekuler yang dipimpin pakar dari Pusat Penelitian Sumberdaya
Hayati dan Bioteknologi (PPSHB), Institut Pertanian Bogor (IPB), Dedy Duryadi Solihin,
banteng di Belantikan, sama dengan banteng Kalimantan lain, sebenarnya tidak sama dengan
banteng Jawa (Bos javanicus javanicus). Selama ini, Bos javanicus javanicus (Jawa dan Bali),
Bos javanicus lowi (Kalimantan), dan Bos javanicus birmanicus (Asia daratan), disepakati
sebagai subspesies dari Bos javanicus.

Berdasarkan analisis genetik molekuler itu, banteng Kalimantan, disimpulkan lebih dekat ke Bos
gaurus, dibandingkan banteng Jawa. Banteng Jawa ini lebih dekat ke banteng Birma.

Kesimpulan itu, katanya, diambil setelah melalui dua metode uji DNA untuk menentukan
spesiasi, yaitu marka barcoding COI dan marka gen Cytochrome-B.

Material sampel untuk analisis itu pun dari tiga lokasi aktual banteng Kalimantan, yakni di
Belantikan, Taman Nasional Kutai (Kalimantan Timur), dan Taman Nasional Kayan Mentarang
(Kalimantan Utara).

Sampel itu meliputi tulang tengkorak, tanduk, kulit, daging kering, dan feces. Material itu dari
enam individu banteng di Kayan Mentarang, dan masing-masing empat dari Kutai dan
Belantikan.

Hasilnya, dengan marka gen barcoding cytochrome oxidase subunit I (CO I), perbedaan antara
banteng Kalimantan dan banteng Jawa mencapai 4,3%. Dengan marka gen Cytochrome-B
mencapai 5,5%.

Iman bilang, perbedaan 3% saja, sebenarnya sudah berbeda spesies. “Artinya ini memang soal
keberanian para pihak mendorong, mendeklarasikan bahwa ini spesies baru.”

Kalau secara metodologi, katanya, ada 10 langkah harus dilewati guna menyatakan ini spesies
baru. Namun, katanya, untuk orangutan Tapanuli (Pongo Tapanuliensis) tidak 10 langkah.
“Secara metodologi ada 10 standar, dalam praktik mungkin hanya satu atau dua, sudah bisa,”
katanya.

Secara morfologis pun banteng Kalimantan terlihat berbeda dari banteng Jawa. Ia berpostur
sedikit lebih kecil dibanding banteng Jawa.
Menurut Eddy, kemungkinan terjadi karena banteng Kalimantan harus beradaptasi dengan
kondisi habitat di Kalimantan. “Dari hasil adaptasi, Kalimantan identik dengan hutan lebat,
dengan tutupan rapat. Jadi, satwa-satwa besar itu mengalami adaptasi. Badan mereka mengecil
untuk jalan. Salah satu jadi alasan itu. Mungkin juga karena makanan hingga mempengaruhi
sistem pencernaan,” katanya.

Jejak kaki banteng Kalimantan yang dijumpai di sekitar Sopanan Pasiran saat Monitoring Site
Banteng Belantikan, 13 Februari 2019. Foto: Budi Baskoro/ Mongabay Indonesia

Konservasi penting

Karena populasi sangat sedikit, tak mudah menyaksikan satwa yang menurut International Union
for the Conservation of Nature and Natural Resources (IUCN) berstatus endangered (terancam)
itu. Dalam kegiatan monitoring, tak satupun rombongan menemukan banteng.

Meskipun begitu, jejak dan aroma banteng tak terbantahkan. Di Sopanan Pasiran, terlihat jejak
dan aroma bekas kunjungan banteng. Beberapa tapak kaki terlacak di sekitar sopanan.

Iman memperkirakan, jejak itu belum lama, kemungkinan belum 24 jam. Bisa saja jejak di tanah
basah itu terhapus andaikan lebih 24 jam, karena hujan deras turun sore hari sebelum monitoring
itu.

Kondisi sopanan itu pun seperti kubangan bekas kerbau atau sapi. Di beberapa titik sopaan,
terdapat sumber air alami (salt lick), dan dua kamera pengintai, yang memantau segala aktivitas
di sana.

Meski dalam konsesi HPH, kondisi hutan di sekitar tiga sopanan ini relatif masih baik. Batang-
batang pohon berdiameter besar, sekitar satu meter masih tampak. Ada pohon ulin, bengkirai
yang bernilai jual tinggi. Situs-situs yang disebut rada (hamparan semak belukar) yang biasa jadi
tempat rehat banteng terjaga apik.

Iman mengatakan, ada 56 jenis tanaman pakan banteng, dari 240 jenis tumbuhan (teridentifikasi
138) di hutan Belantikan hulu. “Bambu, rebung juga dimakan, sama beberapa rumput,” katanya.

Bukan hanya terkait banteng, dalam perjalanan ini juga bisa dijumpai apa yang orang Belantikan
Hulu bilang balai ruai. Ruai atau kuau besar (Arguasianus argus) adalah burung endemik,
sekaligus legendaris di Kalimantan, ekor dan sayap panjang bisa mekar.

Balai ruai, adalah hamparan tanah kosong di tengah hutan, tempat sepasang burung ruai
bercengkerama. Ido, pemuda Nanga Matu, mengatakan, burung ini unik, selalu membersihkan
tempatnya. “Sekarang lagi tak di sini, maka kotor. Kalau ada, bersih di sekeliling ini, tanpa ada
satupun daun,” katanya.

Catatan Yayorin, sekitar hutan ini ada 92 jenis satwa. Sebanyak 58 spesies mamalia, 31 burung,
dan reptil tiga spesies. Selain banteng, ada beberapa satwa terekam kamera, seperti orangutan,
kijang, kucing kuwuk, trenggiling, kuau kerdil, kijang kuning Kalimantan, kucing merah
Kalimantan, macan dahan, dan bangau storm .

Menurut Iman, Karda Traders, menetapkan seluas 1.700 hektar hutan sekitar tiga sopanan
sebagai kawasan konservasi plasma nutfah. Pemerintah Lamandau, katanya, juga menetapkan
kawasan itu wilayah konservasi.

Upaya konservasi juga oleh sejumlah desa di kawasan itu. Sebanyak tiga desa, yakni, Nanga
Matu, Kahingai, dan Bintang Mengalih, menerbitkan peraturan desa tentang perlindungan satwa
liar jenis banteng dan perlindungan kawasan hutan setempat.

Juga ada peraturan adat. “Ada denda adat bagi yang melanggar. Bukan hanya orang desa, buat
orang luar juga. Artinya, siapapun yang melanggar bisa didenda adat.”

Ada juga kesepakatan untuk tak membuat ladang di sekitar sopanan. Hasil kesepakatan itu, tiga
sampai lima kilometer. “Kalau dulu ada cerita ladang mereka terlalu mepet sopanan, hingga ada
padi diserang, dirusak, banteng otomatis dibunuh,” katanya.

Wisata terbatas?

Upaya konservasi ini, katanya, jadi pembahasan serius dalam agenda monitoring site banteng ini.
Kelompok Sadar Wisata (Pokdarwis) Desa Nanga Matu, punya niat mengembangkan site
banteng ini sebagai destinasi wisata. Staf dari Dinas Pariwisata Kabupaten Lamandau, pun turut
serta dalam kegiatan ini.

Edmond Lamey Mambat, dari Dinas Pariwisata Lamandau mengatakan, punya keinginan
mengemas Belantikan Hulu, sebagai wisata konservasi banteng. Dia bayangkan, Belantikan,
sebagai obyek wisata khusus, bukan wisata massal (mass tourism). “Karena itu paketnya harus
mahal.”

Ade Soeharso, Direktorat Jenderal Konservasi Sumber Daya Alam dan Ekosistem (KSDAE)
yang ikut dalam kegiatan itu mengatakan, alternatif-alternatif pengelolaan banteng Kalimantan
dan habitatnya itu harus dirumuskan dalam satu dokumen. “Harapannya, ada alternatif
pengelolaan kita nanti akan punya konsep akan mau konservasi lokal atau mau konservasi daerah
atau kawasan khusus,” katanya.
Senada dikatan Eddy Santoso, perumusan konsep ini harus selaras antarkepentingan para pihak.
“Antara pemerintah daerah, pusat dan masyarakat itu harus kita perhatikan. Kalau bungkusnya
konservasi, (mungkin bagi) pemda kurang menarik. Kalau konservasi itu ada nilai penting buat
daerah dan masyarakat sebagai bagian dampak konservasi itu, pasti mendukung. Kalau sekadar
banteng, enggak akan pernah dapat support,” katanya.

Pembahasan pengembangbiakan dengan membuat sanctuary bagi banteng Kalimantan, pun


sempat mengemuka. “Yang jadi masalah, banteng itu satwa liar yang gampang stres. Kalau mau
berhasil harus banteng anak, kalau banteng dewasa tak akan hidup. Memang, secara genetis
banteng mudah berkembang biak. Membuat model sanctuary, pengelolaan, penangkapan itu
bukan proses mudah,” kata Iman.

Kegiatan monitoring site banteng ini berakhir dengan pembentukan Forum Konservasi Banteng
Belantikan (Forum Sibatik) yang akan bertugas merumuskan kelanjutan konservasi banteng
Kalimantan, di Belantikan Hulu ini.

“Paling tidak banteng ada perhatian mungkin status bisa dinaikkan. Orangutan yang masih
banyak saja status critical endangared. Banteng populasi sangat kecil masih endangered,” ucap
Iman.

https://www.mongabay.co.id/2019/03/10/banteng-kalimantan-satwa-langka-ini-perlu-
perlindungan-serius/

KEBAKARAN HUTAN Oky

Selasa 8 Januari 2019 - 09:03

Winnetnews.com - Akhir-akhir ini kasus kebakaran hutan terutama di wilayah pegunungan


menjadi topik perbincangan hangat, mengingat hal tersebut sangat memprihatinkan. Bagaimana
tidak, hutan yang selama ini sangat berperan penting bagi kelangsungan hidup manusia dan juga
ekosistem didalamnya dengan sengaja dibakar oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab
untuk kepentingan sendiri. Mereka tidak berfikir bahwa apa yang dilakukannya untuk
kepentingan pribadi ini sangat merugikan banyak pihak.

Terjadinya kebakaran hutan tidak hanya menimbulkan kepunahan bagi ekosistem didalamnya,
tetapi juga berdampak terhadap kehidupan manusia di masa yang akan datang serta memberikan
dampak buruk terhadap lingkungan dengan memicu terjadinya bencana-bencana yang lainnya
seperti banjir dan tanah longsor. Sangat disayangkan sekali karena manusia yang seharusnya
memiliki tanggung jawab untuk menjaga hutan, malah dengan sengaja merusaknya.

Baca Juga:
 Hal Ini Sebabkan Kebakaran di Pasar Blok A Kebayoran
 Usai Nonton Debat Pilpres, Rumah Ketua DPR Kebakaran
 Kebakaran Landa Pemukiman Padat di Tomang, 250 Rumah Ludes
 Diduga Hubungan Pendek, Semalam Terjadi Kebakaran di Pejaten Village  
 Rumahnya Kena Kebakaran California, Lady Gaga Ngungsi

Seperti yang kita ketahui bahwa hutan merupakan paru-paru dunia yang sangat memberikan
kontribusi bagi kelangsungan kehidupan di muka bumi ini. Hutan beperan sebagai pemasok
oksigen terbesar yang ketersediaannya sangat dibutuhkan untuk kelangsungan hidup semua
makhluk hidup.

Tak hanya itu saja, hutan juga merupakan rumah bagi banyak spesies hewan maupun tumbuhan
yang didalamnya membentuk suatu ekosistem kehidupan selain kehidupan manusia sebagai
konsumen tingkat tinggi. Tak bisa dipungkiri bahwa hutan merupakan komponen penting dalam
kelangsungan hidup makhluk di bumi.

Selain sebagai paru-paru dunia dan rumah bagi banyak ekosistem hewan maupun tumbuhan,
hutan memiliki fungsi dan peran yang lainnya. Diantaranya hutan berfungsi sebagai tempat
penyimpan air dalam jumlah yang besar mengingat di hutan hidup berbagai macam tumbuh-
tumbuhan dan pepohonan yang akarnya dapat digunakan untuk menyimpan air. Kedua, hutan
berperan besar dalam mengurangi tingkat polusi dan pencemaran udara yang dihasilkan oleh
kendaraan bermotor maupun pabrik industri. Pepohonan dalam hutan dapat menahan dan
menyaring partikel-partikel padat di udara dan juga dapat menyerap gas-gas beracun seperti
CFC, karbonmonoksida, karbondioksida dan gas-gas beracun lainnya yang berpotensi
mengakibatkan efek rumah kaca yang akan berdampak pada terjadinya global warming atau
pemanasan global. Ketiga, hutan juga berperan dalam mencegah terjadinya bencana lain seperti
banjir, erosi tanah dan tanah longsor. Terjadinya tanah longsor dan banjir disebabkan karena
ketidakmampuan tanah dalam mengendalikan air dalam jumlah yang besar.

Disinilah fungsi hutan diperlukan untuk dapat menyangga air dan tanah dan juga sebagai
penghalang agar tidak terjadi banjir maupun tanah longsor. Keempat,  hutan berperan sebagai
sumber plasma nutfah dimana hutan merupakan rumah bagi bermacam-macam flora dan fauna
untuk tumbuh dan berkembang. Saat ini Indonesia menjadi negara dengan keanekaragaman
hayati terlengkap setelah hutan Amazon di Brazil dengan jutaan bahkan miliyaran spesies flora
dan fauna hidup di hutan Indonesia. Kelima, hutan juga berperan dalam meningkatkan sumber
perekonomian negara. Hal ini disebabkan karena hutan di Indonesia menghasilkan banyak
komoditas ekspor yang bernilai tinggi baik dalam bentuk bahan baku seperti kayu maupun dalam
bentuk bahan jadi seperti kertas.

Lalu apa yang terjadi apabila hutan dengan berbagai macam fungsi dan peran yang penting
tersebut terbakar hebat? Dan parahnya lagi sebagian besar penyebab kebakaran tersebut adalah
manusia-manusia yang tidak bertanggung jawab yang hanya mementingkan keuntungan diri
sendiri.

Kebakaran hutan di wilayah pegunungan di Indonesia bukan merupakan kasus yang baru lagi.
Meskpun di tahun 2018 ini, data menyebutkan bahwa kebakaran hutan mengalami penurunan
persentase sebesar 85% jika dibandingkan dengan tahun 2017, namun tetap saja masih ditemui
kasus-kasus kebakaran hutan di Indonesia terutama yang disebabkan karena pembukaan lahan
oleh aktivitas masyarakat sekitar. Seperti kasus yang baru-baru ini terjadi yaitu kebakaran hutan
di Gunung Sindoro-Sumbing yang meludeskan sekitar 1.122 hektare hutan. Alasan klise dari
para pelaku pembakaran hutan ini adalah untuk membuka lahan baru tanpa ijin sehingga dapat
dijadikan lahan untuk berkebun.

Awal mulanya, sang pelaku mengaku membakar hutan untuk membuka lahan baru dan untuk
membersihkan ranting-ranting yang telah ia tebangi dengan cepat. Namun, ia tidak menyangka
bahwa aksinya tersebut malah menimbulkan kebakaran besar yang melahap banyak hutan di
Gunung Sindoro. Hal tersebut tentunya membahayakan bagi keberlangsungan ekosistem di
dalam hutan. Tidak hanya itu saja, kebakaran yang terjadi di Gunung Sindoro ini mengakibatkan
banyak pendaki yang merasa sangat terganggu dan terpaksa harus dievakuasi karena ditakutkan
terjadi hal-hal yang tidak diinginkan.

Di Indonesia, 99% tejadinya kebakaran hutan disebabkan oleh aktivitas manusia baik sengaja
maupun tidak disengaja, dan hanya 1% diantaranya terjadi secara alamiah. Sejak tahun 1980-an,
pembukaan lahan perkebunan kelapa sawit dan hutan tanaman industri diduga sebagai penyebab
utama terjadinya kebakaran hutan secara besar-besaran.

Alasan utama masyarakat melakukan pembukaan lahan ini adalah karena lahan yang telah
ditanami selama 2-3 tahun ini lama kelamaan akan menjadi miskin hara sehingga mengakibatkan
tanaman yang mereka tanam menjadi kurang subur dan hasilnya kurang maksimal. Oleh karena
itu, mereka melakukan pembukaan lahan baru yang masih kaya akan unsur hara untuk ditanami
sehingga menghasilkan hasil tanaman yang maksimal dan layak untuk dijual.

Biasanya, pembakaran ini dilakukan pada lahan-lahan yang ditinggalkan untuk menghilangkan
sisa-sisa panen, serta pada lahan-lahan calon perkebunan dalam kegiatan persiapan lahan tanam.
Pembakaran biasanya dilakukan pada musim kemarau untuk mempercepat proses pembukaan
lahan dan karena kurangnya pengawasan, pembakaran lahan di hutan yang niatnya hanya
sebagian saja ini, malah merembet ke area sekitarnya sehingga mengakibatkan terjadinya
kebakaran hutan yang hebat dan menimbulkan kerugian besar.

Tidak hanya itu saja, ternyata adanya kegiatan penanaman hutan terutama dengan sistem tebang
habis atau kegiatan reboisasi ini juga dapat memicu terjadinya kebakaran hutan. Hal ini
disebabkan karena pada persiapan lahan tanam sering kali menggunakan api agar mempercepat
proses persiapan lahan.

Pengawasan yang kurang ketat pada kegiatan tersebut dapat memicu terjadinya perambatan api
ke wilayah lain sehingga dapat memicu terjadinya kebakaran hutan. Selain itu, aktivitas lain
yang juga dapat memicu terjadinya kebakaran hutan terutama di gunung adalah aktivitas oleh
para pendaki.

Para pendaki ini biasanya membutuhkan api untuk menghangatkan badan mengingat suhu di
pegunungan yang sangat dingin, maupun untuk membuat makan agar mereka dapat bertahan
selama beberapa hari. Api yang telah menyala ini sering kali dipadamkan, namun karena
keteledoran maupun ketidaktelitian pengamatan, api yang dikira padam ini sebenarnya masih
belum padam sempurna dan masih meninggalkan sisa percikan api. Oleh karena kondisi angin di
pegunungan yang cenderung kering, adanya api sekecil apapun memungkinkan terjadinya 
kebakaran yang dapat meluas ke beberapa area sehingga menimbulkan kebakaran hutan.

Sifat rakus dan keteledoran manusia untuk kepuasan diri sendiri mengakibatkan mereka seolah
kalap untuk melakukan apa saja agar mereka dapat bertahan hidup. Seolah mereka tidak peduli
akan dampak besar yang ditimbulkan dari aksi tidak bertanggung jawab mereka.

Bisa dibayangkan berapa banyaknya ekosistem yang mati akibat ulah manusia yang tidak
bertanggung jawab tersebut? Banyak satwa yang kehilangan rumah mereka yang selama ini
memberikan kehidupan bagi mereka. Tentunya hal tersebut disebabkan karena hutan yang
selama ini menjadi tempat tinggal mereka, tempat mereka mencari makan, tempat mereka
berkembang biak telah musnah dilalap si jago merah yang disebabkan oleh manusia-manusia
tidak bertanggung jawab.

Jika sudah begini, tentu saja binatang-binatang liar tersebut ingin mencari tempat baru untuk
bertahan hidup dan mereka menyasar pemukiman penduduk sebagai tempat tinggal mereka.
Akibatnya, penduduk sekitar geram dan beramai-ramai memusnahkan hewan-hewan liar
tersebut.

jika sudah begini siapa yang disalahkan? Hewan-hewan liar tersebut tidak salah, mereka hanya
ingin bertahan hidup seperti kita para manusia. Mereka marah karena rumah yang selama ini
mereka tempati telah hancur. Logikanya begini, binatang-binatang liar itu tidak akan
mengganggu kehidupan manusia jika manusia tidak mengusik kehidupan mereka. Dan para
pelaku pembakaran hutanlah yang telah mengusik kehidupan mereka.

Jika kebakaran hutan ini terus dibiarkan, maka bukan tak mungkin ekosistem flora dan fauna
didalamnya akan semakin terancam dan mengalami kepunahan. Apalagi, di dalam hutan terdapat
banyak spesies-spesies langka yang hanya bisa ditemukan dibeberapa hutan saja. Tidak hanya itu
saja, asap yang dihasilkan dari kebakaran hutan, selain mengganggu sistem pernafasan dan
mengakibatkan polusi udara di wilayah sekitar, tenyata juga dapat mempengaruhi iklim global
dan memicu terjadinya global warming.

Ketika terjadi kebakaran hutan, maka akan dihasilkan gas karbon monoksida (CO) yang
merupakan gas berbahaya yang dapat membentuk ozon. Tingkat ozon pada lapisan stratosfer
yang merupakan bagian paling atas dari atmosfer memang berperan baik karena dapat
melindungi makhluk bumi dari radiasi tinggi sinar matahari.

Namun, jika konsentrasi ozon dilapisan bagian bawah atmosfer lebih tinggi daripada bagian atas
atmosfer, hal ini akan membahayakan kesehatan manusia. Sirkulasi angin juga dapat
mempengaruhi tersebarnya ozon hingga mencapai bagian troposfer atas. Jika hal ini terjadi,
maka akan membentuk gas rumah kaca yang sangat berbahaya karena dapat memicu terjadinya
perubahan iklim atau pemanasan global.
Perubahan iklim yang lebih besar disebabkan karena aerosol yang terlepas ke udara akibat
kebakaran biomassa. Hal ini memicu radiasi matahari akan sulit masuk ke bumi, penguapan air
menjadi rendah sehingga mengakibatkan tidak tejadinya hujan. Bisa dibayangkan bagaimana
kehidupan makhluk hidup tanpa hutan, tentunya akan sangat memprihatinkan.

Rusaknya hutan juga dapat mempengaruhi ketersediaan oksigen yang sangat dibutuhkan bagi
semua makhluk hidup, mengingat selama ini fungsi hutan adalah seperti paru-paru dunia yang
dapat menyerap gas-gas beracun yang membahayakan makhluk hidup dan memproduksi oksigen
yang sangat dibutuhkan. Selain itu, kebakaran hutan juga memberikan dampak pada penurunan
kualitas dan kuantitas sumber air.

Ketika hutan terbakar, banyak pohon yang mati dan tidak ada lagi yang dapat meyimpan
cadangan air didalam tanah. Jika sudah demikian, maka kuantitas air akan berkurang drastis dan
dapat menimbulkan bencana kekeringan pada saat musim kemarau. Juga jangan lupakan
bencana-bencana lain yang ditimbulkan akibat hutan yang rusak akibat terjadinya kebakaran,
seperti bencana banjir dan tanah longsor. Hal ini disebabkan karena akar pepohonan yang selama
ini dapat memperkuat struktur tanah dan juga menyerap air dan menyimpan cadangan air hujan
telah mati sehingga tidak mampu menahan banyaknya air hujan yang jatuh ke bumi.

Yang tidak kalah berbahayanya, dampak dari kebakaran hutan ini juga mengakibatkan tejadinya
erosi tanah dimana tanah akan mengalami pengikisan sedikit demi sedikit sehingga tanah akan
kehilangan kekuatannya. Hal ini disebabkan karena pepohonan yang selama ini melindungi tanah
dari tenaga potensial yang dihasilkan oleh derasya air hujan telah hilang, sehingga
mengakibatkan air dengan mudahnya mengikis tanah.

Makhluk hidup di dunia ini bukan hanya manusia saja, kita hidup berdampingan dengan populasi
hewan dan tumbuhan yang lainnya. Sudah sewajarnya kita saling menjaga keberlangsungan
hidup satu sama lain agar keseimbangan ekosistem di bumi ini tetap terjaga. Salah satunya
adalah dengan menjaga kelestarian hutan sebagai paru-paru dunia dimana kelestariannya juga
sangat mempengaruhi kehidupan manusia dan makhluk hidup lainnya seperti yang telah
dijelaskan sebelumnya.

Pemerintah dan masyarakat harus bersinergi satu sama lain untuk melindungi hutan terutama dari
aksi pembakaran hutan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Sanksi tegas harus
diberikan agar para pelaku yang melakukan tindakan pembakaran hutan baik sengaja maupun
tidak sengaja ini mendapatkan ganjaran atas aksi tidak terpujinya. Sudah sepatutnya kita sebagai
manusia yang bertanggung jawab atas kelesatarian hutan melakukan tindakan-tindakan preventif
untuk tetap melindungi hutan dari kerusakan.

Pertama, menerapkan sistem tebang pilih untuk mengurangi dampak dari penebangan hutan
secara liar yang dapat memicu tejadinya kebakaran hutan. Pada sistem ini penebangan dilakukan
pada pohon-pohon yang sudah tidak produktif lagi, sehingga pohon-pohon muda yang masih
bisa bereproduksi dibiarkan terus sampai tua dan sudah tidak dapat tumbuh lagi. Selain itu,
sistem tebang pilih ini juga berguna agar masyarakat tidak sembarangan dalam melakukan
penembangan hutan sehingga tidak menggunduli semua pohon di hutan untuk kepentingan
ekonomi.
Kedua, menerapkan sistem tebang-tanam, dimana pada sistem ini hutan yang telah ditebang
dilakukan penanaman kembali untuk mencegah terjadinya hutan gundul karena hutan banyak
ditebang tanpa dilakukan penanaman kembali.

Ketiga, tidak membuang sampah sembarangan di hutan terutama bagi para pendaki yang
biasanya membawa persediaan makanan. Apalagi putung rokok yang dibuang sembarangan di
hutan ini akan sangat membahayakan bagi kelangsungan hutan karena hal ini dapat
mengakibatkan terjadinya kebakaran hutan. Sekecil apapun api yang ditimbulkan, dapat menjadi
besar karena angin di pegunungan bersifat kering. Dan apabila hal ini terjadi tentunya dapat
mengakibatkan kebakaran hutan yang hebat yang merugikan makhluk hidup lainnya.

Keempat, menjaga dan melindungi habitat yang ada di hutan. Hal ini perlu dilakukan untuk
mencegah terjadinya kepunahan yang disebabkan oleh kebakaran hutan maupun penebangan
hutan yang banyak dilakukan oleh manusia demi kepentingan pribadi.

Kelima, mengidentifikasi dan mencegah terjadinya kebakaran hutan. Hal ini sangat perlu
dilakukan mengingat kebakaran hutan merupakan faktor utama yang mengakibatkan kerusakan
hutan sehingga perlu adanya edukasi melalui seminar kepada masyarakat luas akan pentingnya
hutan bagi kelangsungan hidup makhluk hidup.

Keenam, mengurangi penggunaan kertas juga merupakan salah satu langkah sederhana untuk
mengurangi aktivitas penebangan pohon di hutan untuk kepentingan produksi. Sehingga, hal
tersebut secara tidak langsung juga menyelamatkan hutan dari aksi penebangan liar oleh para
manusia.

Dilihat dari krusialnya peran dan fungsi hutan dalam kehidupan makhluk hidup di muka bumi
ini, sudah sepatutnya kita sebagai manusia sebagai makhluk yang memiliki akal dan pikiran
sadar akan hal tersebut dan berlomba-lomba untuk melestarikan hutan dan semua ekosistem di
dalamnya.

Manusia dan makhluk hidup lainnya yang hidup secara berdampingan dan merupakan satu
kesatuan dalam ekosistem di bumi ini sudah sepatutnya saling menjaga satu sama lain demi
mewujudkan ekosistem alam yang seimbang tanpa ada makhluk hidup lain yang dirugikan.

ELANG JAWA

CIBINONG,(PR).- Pengembangbiakan Elang Jawa menjadi perhatian utama saat ini mengingat
populasi hewan tersebut cenderung terus menurun bahkan mengalami resiko kepunahan. Padahal
Elang Jawa merupakan salah satu keanekaragaman hayati Indonesia yang ternilai dan ditetapkan
oleh pemerintah sebagai spesies yang dilindungi.

“Saat ini populasi Elang Jawa hanya tertinggal antara 300 sampai 500 ekor saja. Jika tidak
dilakukan pengembangbiakan, dikhawatirkan hewan tersebut bisa punah,” kata Humas Taman
Safari Indonesia(TSI) Cisarua, Yulis H Suprihardo kepada “PR” Online Jumat 29 Maret 2019.
Dijelaskan Yulius, Elang Jawa (Nisaetus bartelsi) merupakan kekayaan  keanekaragaman hayati
Indonesia tertinggi nomor dua di dunia, baik flora maupun fauna.  Elang Jawa adalah spesies
endemik, hanya terdapat di sepanjang  pulau Jawa.  Karena populasinya tidak banyak dan
terancam punah, maka pemerintah Indonesia menetapkan Elang Jawa sebagai spesies yang
dilindungi dan pada tahun 1993 melalui Keputusan Presiden No. 4 tahun 1993. Elang Jawa
ditetapkan sebagai salah satu satwa nasional.

Melihat kondisi seperti itu, Taman Safari Indonesia bekerja sama dengan Hino Indonesia,
sebagai pembuat truk dan bus yang terdepan di Indonesia ramah lingkungan, dalam
pengembangbiakan Elang Jawa. “Agar populasi Elang Jawa bisa ditingkatkan, maka TSI
bersama Hino Indonesia membangun komitmen bersama untuk melakukan pengembangbiakan,”
kata Yulis.

Taman Safari Indonesia (TSI) sebagai lembaga konservasi dengan pengalaman konservasi eksitu
(di luar habitat alami) lebih dari 30 tahun untuk menjalankan program konservasi Elang Jawa.
Sementara Hino Indonesia punya kepedulian untuk ikut terlibat dalam pengembangbiakan. “Atas
inisiatif dari Hino Indonesia, maka dilakukan penanda-tangan kerja sama dengan TSI yang
dilanjutkan dengan peletakan batu pertama pembangunan kandang,” jelas Yulius.

Kerja sama tersebut  meliputi dua program besar yaitu perkembangbiakan (breeding) dan
penelitian tentang reproduksi Elang Jawa. Kerja sama ini bertujuan untuk meningkatkan jumlah
populasi Elang Jawa yang sampai dengan hari ini terus menurun supaya  ke depan  Elang Jawa
makin bertambah.

Sebagai realisasi dari kerjasama tersebut,  adalah pembangunan kandang perkembangbiakan


(breeding) Elang Jawa di Taman Safari Indonesia , Cisarua.  Setelah jadi. kandang akan diisi
oleh sepasang Elang Jawa dan proses pengembangbiakan Elang Jawa akan dimonitor dan
dipelajari oleh peneliti ahli dari TSI dan universitas lokal. Hasil penelitian tersebut diharapkan
dapat meningkatkan tingkat keberhasilan pengembangbiakan Elang Jawa di dalam penangkaran
(exsitu).

https://www.pikiran-rakyat.com/jawa-barat/2019/03/29/populasi-elang-jawa-terancam-punah

Irwan Natsir Jumat, 29 Mar 2019, 10:29

Anda mungkin juga menyukai