Anda di halaman 1dari 12

Tugas Hukum lingkungan

Mengurangi Emisi Akibat Industri Kelapa Sawit di


Indonesia

Disusun oleh

UNIVERSITAS TANJUNGPURA
FAKULTAS HUKUM
2020/2021
A. Ringkasan Kasus

Perjalanan Kelapa Sawit di Indonesia


Kelapa Sawit sebenarnya bukan merupakan tanaman Asli Indonesia. Tanaman
ini dibawa dari Afrika oleh Orang Belanda ke Indonesia pada tahun 1848. Karena
dilihat tanaman ini tumbuh subur dan ketika ditanam di berbagai daerah dapat tumbuh
dengan baik, kemudian pada tahun 1910 tanaman tersebut mulai dibudidayakan untuk
tujuan komersial.
Indonesia sendiri merupakan penghasil kelapa sawit terbesar dunia dengan
produksi di atas 40,56 juta ton pada 2018. Indonesia menggeser posisi Malaysia yang
sebelumnya menempati posisi pertama selama bertahun-tahun. Berdasarkan data
Badan Pusat Statistik (BPS) dari Publikasi Desember 2019, luas perkebunan kelapa
sawit di Indonesia mencapai 14,32 juta hektar. Rinciannya, perkebunan besar sebesar
8,51 juta hektar dengan produksi kelapa sawit 26,57 juta ton. Lalu perkebunan kelapa
sawit rakyat seluas 5,81 juta hektar dengan produksi sebesar 13,99 juta ton.
Berdasarkan wilayah, Riau masih jadi langganan provinsi dengan luas kebun sawit
terbesar di Indonesia yang mencapai 2,74 juta hektar di 2018. Produksi kelapa
sawitnya dicatat BPS sebanyak 8,59 juta ton. Lahan sawit di provinsi ini bertambah
cukup luas dalam waktu singkat. Di tahun 2017, lahan sawit di Riau tercatat sebesar
2,21 juta hektar. Di urutan kedua ada Sumatera Utara dengan luasan perkebunan sawit
mencapai 1,74 juta hektar dengan produksi tandan sawit 5,37 juta ton. Lalu berturut-
turut Kalimantan Barat seluas 1,53 juta hektar, Kalimantan Tengah 1,51 juta hektar,
Sumatera Selatan 1,19 juta hektar, Kalimantan Timur 1,08 juta hektar. Di Pulau Jawa,
luas perkebunan sawit relatif tak terlalu besar. Itu pun hanya ada di Jawa Barat
sebesar 17.600 hektar dan Banteng seluas 20.600 hektar. Sementara Maluku Utara
yang di tahun 2017 belum memiliki kebun kelapa sawit, di tahun 2018 tercatat sudah
memiliki lahan sawit seluas 6.900 hektar.
Bagi Negara Indonesia, industri sawit merupakan salah satu andalan
penerimaan negara, baik melalui berbagai bentuk pajak dan pendapatan ekspor. Tahun
2017, devisa dari ekspor produk minyak kelapa sawit dan turunannya bernilai 15 juta
USD. Di beberapa industri, kinerja ekspornya menurun tajam. Sektor kelapa sawit
cukup stabil dalam hal kinerja ekspornya. Bahkan, jika dilihat dari total ekspor non

1
migas Indonesia tahun 2008, nilai ekspor produk sawit dan turunannya merupakan
yang terbesar dan menduduki peringkat pertama. Dengan demikian, peran produk
sawit dan turunannya memiliki peran penting dlaam struktur neraca perdagangan
nasional

Isu Lingkungan Akibat Minyak Kelapa Sawit


Pada bulan April 2017, Parlemen Eropa lewat keputusan mayoritas lintas
partai mengadopsi sebuah laporan yang menyoroti pelanggaran hak asasi manusia,
pelanggaran tenaga kerja, perampasan tanah dan perusakan lingkungan yang berkaitan
dengan produksi minyak sawit. Laporan tersebut khususnya mengkritik bagaimana
minyak sawit, yang digunakan dalam biodiesel dan pembangkit listrik, diterima
sebagai 'bahan bakar nabati' sementara dalam kenyataannya minyak sawit jauh dari
mengurangi perubahan iklim, sebagian besar produksi minyak sawit menyebabkan
emisi gas rumah kaca yang tinggi dari pembukaan hutan, pengeringan lahan gambut,
dan kebakaran lahan. Menurut laporan tersebut, 46% impor minyak sawit Eropa
digunakan sebagai bahan bakar nabati.
Sementara mengenai dampak perluasan lahan sawit terhadap lingkungan,
pembukaan lahan mendatangkan efek buruk laju deforestasi. Karena pembukaan
lahan acap dilakukan di area hutan dengan skala besar. Organisasi konservasi
independen World Wildlife Fund for Nature (WWF) menemukan kondisi lingkungan
di Pulau Sumatera dan Kalimantan telah berisiko tinggi akibat ekspansi perkebunan
sawit. Hal ini dipaparkan dalam studi WWF bersama organisasi non-profit Proforest
berjudul "Kelapa Sawit Berkelanjutan: Perdagangan dan Pelaku Usaha Kunci antara
Indonesia dan Tiongkok". Risiko tinggi yang disebut dalam studi mengacu pada
habitat alam hutan maupun masyarakat setempat yang hidup bergantung pada hutan.
Dengan adanya pembangunan perkebunan dengan tidak mempertimbangkan
aspek sosial dan lingkungan, dapat memberikan dampak negatif jangka panjang, baik
bagi kelestarian lingkungan dan perlindungan keberadaan masyarakat adat dan lokal.
Padahal, hutan di Sumatera dan Kalimantan merupakan ekosistem bagi banyak satwa
langka dan endemik yang justru bakal terancam keberadaannya. Hutan di lokasi
tersebut juga didominasi lahan gambut dengan cadangan karbon yang tinggi.
Pembukaan hutan untuk perkebunan tanpa kajian mendalam salah-salah dapat
melepaskan banyak karbon dan berdampak pada pemanasan global.

2
Bengkulu dan Sumatera Barat merupakan kawasan yang memiliki risiko tinggi
lingkungan dan ancaman kerapatan spesies di Sumatera. Sementara risiko sosial
paling tinggi ditemukan di Riau dan Jambi. Adapun Kalimantan, risiko terhadap
ancaman lingkungan dan spesies terkonsentrasi di kawasan Jantung Kalimantan yang
ditengarai sedang mengalami pertambahan. Organisasi lingkungan Greenpeace
Indonesia menyebut korporasi di bidang perkebunan sawit mulai merambah lahan ke
hutan-hutan di Papua seiring menipisnya lahan yang tersedia
di Kalimantan dan Sumatera.Menurut catatan Greenpeace Indonesia,
Kalimantan telah kehilangan 1.778.125 hektare hutan sementara di
Sumatera kehilangan 712.001 hektare hutan dalam konsesi perkebunan sawit
sepanjang 2001-2019.
Beberapa waktu lalu, investigasi Greenpeace International dan Forensic
Architecture menemukan pembukaan lahan di area perkebunan sawit milik anak
perusahaan Korea Selatan, Korindo Group di Papua dilakukan dengan pembakaran
secara sengaja. Perusahaan tersebut diduga telah menghancurkan sekitar 57.000
hektar hutan di provinsi tersebut sejak 2001. Lahan tersebut hampir seluas ibu kota
Korea Selatan, Seoul. Menanggapi hal ini, Kementerian Lingkungan Hidup dan
Kehutanan (KLHK) mengklaim sudah memberikan sanksi kepada Korindo karena
melanggar aturan. Begitu pula dengan perusahaan lainnya yang mengantongi izin
pengelolaan lahan dari pemerintah.
Pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit yang kerap dilakukan
dengan cara membakar lahan menjadi konsentrasi utama dari isu lingkungan terkait
eksistensi dari Perkebunan Kelapa Sawit ini. Cara ini sering dipilih baik oleh
korporasi maupun petani perseorangan karena dinilai lebih mudah, lebih cepat dan
lebih murah. Namun, nyatanya kegiatan pembakaran ini malah merusak ekosistem
hayati alam dan mengubah bentuk bentang alam yang berujung pada hilangnya fungsi
hutan tropis. Hal ini berujung pada masalah-masalah lingkungan yang memicu
terjadinya bencana alam, seperti banjir karena kurangnya daerah resapan air.
Namun, meskipun dampak negatif ini sudah semakin nyata mempengaruhi
kehidupan masyarakat luas, banyak korporasi yang masih mengaplikasikan metode
pembakaran untuk pembukaan lahan. Pihak aliansi korporasi kelapa sawit Indonesia
sendiri memberikan pernyataan bahwa pembakaran lahan hanya dilakukan oleh
korporasi yang tidak memiliki izin atau ilegal. Namun, nyatanya banyak korporasi
kelapa sawit yang memanfaatkan konsesi dari Pemerintah untuk melakukan ekspansi

3
sebesar-besarnya terhadap hutan Indonesia tanpa memikirkan akibat jangka
panjangnya.

B. Analisis Kasus

Berdasarkan uraian kasus di atas diketahui bahwa Kelapa Sawit merupakan


komoditas perkebunan yang krusial bagi Negara Indonesia. Bersama-sama Malaysia,
Indonesia menjadi pemasok utama kebutuhan minyak kelapa sawit dunia. Sehingga
pendapatan dari komersial Kelapa Sawit dan turunannya mencapai angka yang tidak
sedikit dibanding komoditas perkebunan lainnya. Kalimantan dan Sumatera
penyumbang lahan terbesar untuk perkebunan kelapa sawit.
Ada beberapa hal yang menyebabkan kecendurangan dunia bergantung pada Kelapa
Sawit, yakni:
 berfungsi sebagai pengawet alami sehingga bisa mengawetkan suatu produk lebih
lama;
 lima puluh persen produk yang kita pakai sehari-hari mengandung minyak kelapa
sawit;
 titik maksimum pemanasan minyak kelapa sawit adalah 425 F, artinya minyak
tidak akan rusak dengan capat selama dipanaskan dalam waktu yang lama;
 karena minyak kelapa sawit mengandung lemak tak jenuh, manufaktur bisa
menyatakan bahwa produk mereka bebas lemak tak jenuh;
 minyak kelapa sawit memiliki harga jual yang murah dan dapat dimanfaatkan
untuk produksi dengan nilai jual yang tinggi.

Dampak negatif dari kelapa sawit bukan hanya menyangkut soal kebakaran
hutan. Tanaman jenis palma ini memberikan efek yang besar terhadap lingkungan
hidup. Berubahnya struktur alami hutan hujan memicu timbulnya masalah yang lebih
ruwet. Berikut adalah diantara dampak negatif yang nyata karena disebabkan oleh
keberadaan perkebunan kelapa sawit, yakni:
 Hilangnya habitat spesies-spesies langka secara serius
Konversi skala besar hutan tropis menjadi perkebunan kelapa sawit berdampak
buruk pada sejumlah besar spesies tumbuhan dan hewan. Produksi kelapa sawit
juga menyebabkan peningkatan konflik manusia-satwa liar karena populasi
hewan-hewan besar terjepit ke dalam fragmen habitat alami yang semakin

4
terisolasi. Habitat yang dihancurkan seringkali mengandung spesies langka dan
terancam punah atau berfungsi sebagai koridor satwa liar antar wilayah dengan
keanekaragaman genetik. Bahkan taman nasional pun terkena dampak yang parah.
Empat puluh tiga persen Taman Nasional Tesso Nilo di Sumatera yang didirikan
untuk menyediakan habitat bagi Harimau Sumatera yang terancam punah kini
telah dibanjiri penanaman kelapa sawit ilegal.
 Polusi Udara
Pembakaran adalah metode umum untuk membuka vegetasi di hutan alam
maupun di dalam perkebunan kelapa sawit. Pembakaran hutan melepaskan asap
dan karbon dioksida ke atmosfer, mencemari udara dan berkontribusi pada
perubahan iklim. Kebakaran di kawasan gambut sangat sulit untuk dipadamkan.
Asap dan kabut dari kobaran api ini berdampak pada kesehatan di seluruh Asia
Tenggara.
 Pencemaran Tanah dan Air
Pabrik minyak sawit menghasilkan 2,5 metrik ton limbah untuk setiap metrik ton
minyak sawit yang dihasilkannya. Pelepasan langsung limbah ini dapat
menyebabkan pencemaran air tawar, yang mempengaruhi keanekaragaman hayati
dan manusia di bagian hilir. Meskipun perkebunan kelapa sawit bukanlah
pengguna besar pestisida dan pupuk secara keseluruhan, penerapan bahan-bahan
ini secara sembarangan dapat mencemari sumber air permukaan dan air tanah.
 Longsoran
Erosi terjadi ketika hutan dibuka untuk perkebunan, dan juga dapat disebabkan
oleh penanaman pohon dalam pengaturan yang tidak tepat. Penyebab utama erosi
adalah penanaman kelapa sawit di lereng yang curam. Erosi menyebabkan
peningkatan banjir dan endapan lumpur di sungai dan pelabuhan. Area yang
terkikis membutuhkan lebih banyak pupuk dan input lainnya, termasuk perbaikan
jalan dan infrastruktur lainnya.
 Perubahan Iklim
Praktik mengeringkan dan mengubah hutan gambut tropis di Indonesia sangat
merusak, karena "penyerap karbon" ini menyimpan lebih banyak karbon per
satuan luas daripada ekosistem mana pun di dunia. Selain itu, kebakaran hutan
yang digunakan untuk membuka vegetasi dalam pembangunan perkebunan kelapa
sawit merupakan sumber karbondioksida yang berkontribusi terhadap perubahan

5
iklim. Karena laju deforestasi yang tinggi, Indonesia adalah penghasil emisi gas
rumah kaca terbesar ketiga di dunia.

Kebutuhan akan kelapa sawit tentunya bukan tanpa alasan. Komoditi


kelapa sawit sudah menjadi kebutuhan utama dunia selama bertahun-tahun.
Indonesia sebagai pemasok utama kebutuhan kelapa sawit di dunia tentu memiliki
andil dalam memenuhi permintaan yang meningkat setiap tahunnya. Hal ini juga
tidak erlepas dari keuntungan yang didapat dalam usaha industri kelapa sawit.
Bersamaan dengan isu lingkungan dan kebutuhan perdagangan, berikut
adalah rangkuman mengenai pro dan kontra dari keberadaan kelapa sawit.
1. Dampak Positif Akibat Industri Kelapa Sawit
 Hasil panen tinggi bagi petani
 Penggunaan lahan yang efisien
 Sumber pendapatan bagi perekonomian lokal
 Dapat meningkatkan kondisi kehidupan banyak orang
 Mengurangi kemiskinan dan kelaparan
 Pendapatan pajak lebih tinggi
 Penciptaan lapangan kerja
 Dapat digunakan untuk banyak produk makanan
 Minyak kaya nutrisi
 Dapat digunakan untuk produksi barang material lainnya
 Cocok untuk pembangkit energi melalui produksi biofuel
 Minyak sawit dapat dipanaskan hingga suhu tinggi
 cocok untuk vegetarian dan vegan

2. Dampak Negatif Akibat Industri Kelapa Sawit


 Masalah keberlanjutan
 Produksi minyak sawit berkontribusi pada deforestasi
 Perusakan habitat
 Hilangnya keanekaragaman hayati
 Membahayakan spesies
 Ketidakseimbangan ekologis
 Perubahan iklim
 Hilangnya habitat suku lokal

6
 Kondisi tenaga kerja yang buruk
 Penggunaan pestisida dan herbisida dalam jumlah berlebihan
 Masalah kesehatan

C. Kesimpulan

Permintaan global untuk minyak sawit telah meningkat pesat selama beberapa
dekade terakhir, begitu pula produksinya. Minyak sawit dibuat dari buah kelapa sawit,
tanaman yang hanya tumbuh dengan baik di lingkungan tropis. Saat ini, Indonesia dan
Malaysia merupakan produsen dan eksportir minyak sawit terbesar di dunia. Uni
Eropa (UE) adalah salah satu kawasan pengimpor utama. Tujuh puluh persen minyak
sawit global digunakan untuk makanan, baik secara langsung sebagai minyak nabati
atau sebagai bahan dalam sejumlah besar makanan olahan mulai dari olesan cokelat
hingga pizza beku.
Namun, meski digunakan secara luas, minyak sawit memiliki reputasi yang
buruk. Banyak yang terutama mengasosiasikan produksi minyak sawit dengan
deforestasi tropis, perubahan iklim, hilangnya habitat orangutan dan spesies langka
lainnya, dan perpindahan masyarakat lokal untuk memberi ruang bagi perkebunan
kelapa sawit besar perusahaan multinasional. Dengan latar belakang ini, seringkali
minyak sawit harus dilarang, untuk menghindari semua hasil negatif ini. Beberapa
perusahaan pengolahan makanan besar telah beralih ke minyak nabati lain dan
berhasil menggunakan label "tanpa minyak sawit" sebagai alat pemasaran,
menargetkan konsumen yang sadar akan keberlanjutan. Bahkan negara dan wilayah,
seperti UE, telah mempertimbangkan pembatasan dan larangan impor minyak sawit
atas dasar keberlanjutan.
Tetapi apakah pelarangan minyak sawit benar-benar meningkatkan
keberlanjutan global? Jawabannya jelas “tidak”, baik dari sudut pandang lingkungan
maupun dari segi sosial ekonomi.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit memang berkontribusi pada deforestasi
tropis. Secara global, sekitar setengah dari area kelapa sawit saat ini dikembangkan
dengan mengorbankan hutan, yang menyebabkan hilangnya keanekaragaman hayati
dan emisi karbon yang signifikan. Tetapi pelarangan minyak sawit berarti bahwa
permintaan minyak nabati harus dipenuhi melalui produksi yang lebih tinggi dari
tanaman minyak lainnya, seperti kedelai, bunga matahari, atau lobak. Ini akan

7
membutuhkan lebih banyak lahan, karena kelapa sawit menghasilkan 3-4 kali lebih
banyak minyak nabati per hektar dibandingkan tanaman lainnya. Oleh karena itu,
mengganti minyak sawit dengan minyak nabati lainnya akan mengakibatkan
hilangnya hutan dan habitat alami lainnya yang lebih tinggi.
Konversi lahan alam menjadi lahan pertanian merupakan ancaman utama bagi
keanekaragaman hayati, terutama di daerah tropis, dan juga menyumbang 50% dari
seluruh emisi gas rumah kaca dari pertanian. Itulah mengapa perubahan penggunaan
lahan tambahan harus dihindari sejauh mungkin. Tetapi bahkan ketika mengabaikan
perbedaan hasil dan hanya membandingkan efek lingkungan per hektar lahan, kelapa
sawit sebagai tanaman perkebunan lebih disukai daripada tanaman minyak tahunan
dalam hal penyerapan karbon, efisiensi penggunaan pupuk, dan keanekaragaman
hayati lapangan. Dengan kata lain, mengganti minyak sawit dengan minyak nabati
lain tidak akan mengurangi tetapi justru meningkatkan jejak lingkungan dan iklim
produksi.
Orang mungkin berpendapat bahwa alih-alih mengganti minyak sawit,
mengurangi permintaan minyak nabati secara keseluruhan juga bisa menjadi pilihan.
Ini sangat benar Mengurangi jumlah minyak nabati yang dibutuhkan melalui
konsumsi yang lebih sadar, mengurangi limbah, dan menghindari penggunaan bahan
bakar nabati yang tidak efisien jelas penting untuk mendorong keberlanjutan. Namun
demikian, jumlah global yang dibutuhkan akan terus meningkat, terutama didorong
oleh pertumbuhan populasi dan pendapatan di Afrika dan Asia. Dengan latar belakang
ini, memilih tanaman dan teknologi produksi yang dapat membantu memenuhi
permintaan yang meningkat dengan cara yang paling tidak merusak lingkungan harus
mendapat prioritas tinggi dari perspektif keberlanjutan yang lebih luas, yang selalu
perlu mempertimbangkan tujuan lingkungan, sosial, dan ekonomi.

Indonesia sendiri khususnya sudah mengimplementasikan Program REDD+ dan


mengurangi emisi akibat dari deforestasi dan degradasi hutan. Dilansir dari situs resmi
KementerianLingkungan Hidup dan Kehutanan, menayatakan bahwa strategi REDD+
di Indonesia bertujuan untuk mengatur sumber daya alam secara berkelanjutan
sebagai asset nasional demi kesejahteraan bangsa. Tujuan tersebut dapat tercapai
melalui implementasi di lima area fungsional pembangunan institusi dan proses yang
menjamin peningkatan tata kelola hutan dan lahan gambut, pengkajian ulang dan
peningkatan kerangka peraturan, meluncurkan program strategis untuk manajemen
lansekap, merubah paradigma lama dan melibatkan pemangku kepentingan utama

8
secara bersamaan. Sebagai provinsi percontohan, Kalimantan Tengah akan menjadi
laboratorium untuk uji coba penerapan dari lima area fungsional di atas. Provinsi
lainnya di Indonesia akan menerapkan strategi REDD+ sesuai dengan kepentingan
masing-masing provinsi. Untuk pelaksanaan di tingkat provinsi dan pusat, Satgas
REDD+ akan membentuk institusi untuk memonitor, mengkoordinasi, dan
mengimplementasi kegiatan REDD+; serta institusi untuk memonotir, melaporkan,
dan meverifikasi. Sejalan dengan itu, instrumen pendanaan akan ditetapkan untuk
memastikan ketersediaan dana.
Sebagai suatu langkah pertama yang signifikan, Presiden menandatangani
Instruksi Presiden No.10/2011 pada tanggal 20 Mei 2011, yang mengikat Indonesia
untuk melakukan penundaan penerbitan izin baru selama dua tahun untuk penggunaan
hutan alam primer dan lahan gambut. Penundaan memberikan suatu kesempatan
untuk meningkatkan tata kelola hutan dengan menciptakan jeda untuk meningkatkan
tata kelola hutan dengan mengkaji dan memperbaiki kerangka peraturan untuk ijin
penggunaan lahan dan menciptakan suatu sistem database dengan informasi yang
mendalam terkait lahan kritis sehingga memperkuat tata ruang, secara jelas
menetapkan lahan untuk pembangunan, dan mendukung perusahaan-perusahaan yang
berpindah ke lahan kritis. Penundaan selama dua-tahun akan memungkinkan untuk
memulai dengan lembaran yang bersih, dan mengembangkan sistem penggunaan
lahan yang baru yang memaksimalkan manfaat ekonomi dari penggunaan sumber
daya alam di Indonesia dan mengurangi emisi gas rumah kaca sesuai dengan
komitmen internasional.
Terkait dengan isu deforestasi akibat industri kelapa sawit, Indonesia juga
sudah mengambil inisiatif untuk mengadakan industri kelapa sawit yang
berkelanjutan melalui program Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). Kebijakan ini
merupakan salah satu bukti keseriusan Pemerintah Indonesia sebagai komitmen
internasional dalam mengurang emisi rumah kaca akibat deforestasi dari industri
Kelapa Sawit.
Singkatnya, minyak sawit berkelanjutan adalah produk yang dibuat di bawah
kebijakan yang menjanjikan nihil deforestasi, nihil pengembangan gambut, dan nihil
eksploitasi (NDPE). Cara termudah untuk mengetahuinya adalah dengan mencari
sertifikasi keberlanjutan yang diakui seperti Roundtable on Sustainable Palm Oil
(RSPO) yang didasarkan pada delapan prinsip, yakni:

9
1) Komitmen terhadap transparansi
2) Kepatuhan terhadap hukum dan peraturan yang berlaku
3) Komitmen untuk kelangsungan ekonomi dan keuangan jangka panjang
4) Penggunaan praktik terbaik yang tepat oleh petani dan pabrik
5) Tanggung jawab lingkungan dan konservasi sumber daya alam dan
keanekaragaman hayati
6) Pertimbangan yang bertanggung jawab atas karyawan, dan individu serta
komunitas yang terpengaruh oleh penanam dan pabrik
7) Pengembangan penanaman baru yang bertanggung jawab

Indonesian Sustainable Palm Oil System (ISPO) adalah suatu kebijakan yang
diambil oleh Pemerintah Indonesia dalam hal ini Kementerian Pertanian dengan
tujuan untuk meningkatkan daya saing minyak sawit Indonesia di pasar dunia dan ikut
berpartisipasi dalam rangka memenuhi komitmen Presiden Republik Indonesia untuk
mengurangi gas rumah kaca serta memberi perhatian terhadap masalah lingkungan.
ISPO dibentuk pada tahun 2009 oleh pemerintah Indonesia[1] untuk memastikan
bahwa semua pihak pengusaha kelapa sawit memenuhi standar pertanian yang
diizinkan. ISPO merupakan standar nasional minyak sawit pertama bagi suatu negara,
dan negara lain kini mencoba mempertimbangkan untuk mengimplementasikan
standar serupa di antara produsen minyak sawit. Beberapa hal yang diterapkan dalam
pembukaan lahan kelapa sawit baru sesuai prinsip ISPO yaitu:[2]
 Tersedia SOP/ Instruksi atau prosedur teknis pembukaan lahan baru kelapa sawit.
 Pembukaan lahan dilakukan tanpa bakar dan memperhatikan konservasi lahan.
 Sebelum pembukaan lahan dilakukan, pelaku usaha wajib melakukan studi
kelayakan dan AMDAL.
 Lahan tidak dapat ditanami dengan kemiringan <30%, lahan gambut dengan
kedalaman <3 meter dan hamparan lebih dari 70%; lahan adat, sumber air, situs
sejarah dan sebagainya tetap dijaga kelestariaanya.
 Untuk pembukaan lahan gambut hanya dilakukan pada lahan kawasan budidaya
dengan ketebalan gambut 3 meter, kematangan saprik (matang)
dan hemik (setengah matang) dan di bawah gambut bukan merupakan lapisan
pasir kuarsa atau lapisan tanah sulfat asam serta mengatur drainase untuk
mengurangi emisi gas rumah kaca.

10
 Khusus untuk lahan gambut harus dibangun sistem tata air (water management)
sesuai dengan ketentuan yang berlaku.
 Pembuatan sarana jalan, terasering, rorak, penanaman tanaman penutup tanah
dalam rangka konservasi lahan.
 Tersedianya rencana kerja tahunan (RKT) pembukaan lahan baru.
 Kegiatan pembukaan secara terdokumentasi (dan pernyataan pelaku usaha bahwa
pembukaan lahan dilakukan tanpa bahan bakar.)

11

Anda mungkin juga menyukai