Anda di halaman 1dari 13

PERMASALAHAN LINGKUNGAN : EKSPANSI INDUSTRI

PERKEBUNAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA

Disusun Untuk Memenuhi Ujian Tengah Semester

Mata Kuliah : Sejarah Lingkungan

Dosen Pengampu : Dr. Drs. Endah Sri Hartatik, M. Hum

Disusun Oleh :

ANNISA KHAIRANI ZAHRA

13030121120021

PROGRAM STUDI S1 SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2023
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Perkebunan kelapa sawit merupakan salah satu sumber penghasilan kebanyakan dari
masyarakat daerah Sumatera dan Kalimantan. Saat ini tidak dapat kita pungkiri bahwasanya
banyak masyarakat berbondong-bondong untuk membuka lahan perkebunan kelapa sawit karena
dengan memiliki perkebunan sawit kehidupan perekonomian masyarakat dapat meningkat dari
hasil perkebunan tersebut. Alasan dari pemerintah sering kali terdengar bahwasanya pemerintah
ingin meningkatkan ekspor untuk meningkatkan pendapatan. Namun pemerintah sering kali lupa
terhadap dampak dari proyek yang sedang berjalan ini. Daerah Sumatera, Kalimantan, dan juga
Papua menjadi daerah yang dijadikan industri kelapa sawit. Di daerah Sumatera telah terancam
punah hewan yang di lindungi yaitu harimau sumatera dan gajah sumatera. Sedangkan daerah
Kalimantan dijadikan sebagai rumah bagi hewan orang utan. Namun ternyata hal-hal tersebut
dikesampingkan oleh pemerintah guna untuk mencapai negara sebagai produksi minyak kelapa
sawit terbesar di dunia.

Industri secara umum adalah kelompok bisnis tertentu yang memiliki teknik dan metode
yang sama dalam menghasilkan laba. Karena itu, dampak secara ekonomi lebih dirasakan,
padahal masih terdapat akibat lain yang tidak hanya menguntungkan tetapi juga merugikan yang
jarang diperhatikan. Industri kelapa sawit merupakan industri strategis yang bergerak pada sektor
pertanian (agro-based industry) yang banyak berkembang di negara-negara tropis seperti
Indonesia, Malaysia dan Thailand. Manfaat sawit sangat banyak diantaranya adalah bahan dasar
industri seperti industri makanan, kesehatan, kosmetika, industri sabun. minyak pelumas mesin
dan lndustri bahan bakar nabati (Biodiesel). Limbahnya bisa menjadi pupuk organik yg juga
akan memberikan pendapatan.

Ekspansi perkebunan kelapa sawit yang terjadi di Indonesia merupakan isu yang
bersisian dari berbagai aspek, baik dari aspek sosial, ekonomi maupun ekologi. Meningkatnya
kebutuhan minyak nabati maupun crude palm oil (CPO) domestik dan internasional telah
memicu produksi kepala sawit Indonesia. Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai
konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya

1
semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah)
terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Bersamaan dengan bertumbuhnya permintaan
akan kelapa sawit, bertambah pula luasan area yang dibutuhkan untuk perkebunan sawit.

B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar belakang diatas, maka pertanyaan penerlitian dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Bagaimana ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia?
2. Bagaimana dampak dari ekspansi perkebunan kelapa sawit di Indonesia?
C. METODE PENULISAN
Jenis penelitian yang akan digunakan dalam penulisan paper ini menggunakan
pendekatan deskriptif analisis. Menurut Sugiyono (2005: 21) menyatakan bahwa metode
deskriptif adalah suatu metode yang digunakan untuk menggambarkan atau menganalisis suatu
hasil penelitian. Sedangkan teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penulisan paper ini
menggunakan teknik studi pustaka. Menurut Surwono (2006) mengatakan studi pustaka ialah
mempelajari berbagai buku referensi serta hasil penelitian sebelumnya yang sejenis.

2
BAB II

PEMBAHASAN

1. EKSPANSI LAHAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA

Kelapa sawit merupakan termasuk kepada golongan tumbuhan tinggi dengan rasio
ketinggian 0 sampai dengan 25 meter. Jenis kelapa sawit ini tergolong sebagai pohon yang
menyerap air dengan banyak 20 liter perhari/batang. Didalam unsur kelapa sawit terdapat 5 ciri-
ciri secara fisik. Pertama daun, Daun kelapa sawit merupakan daun majemuk berwarna hijau tua,
pelapah berwarna sedikit lebih muda. Penampilannya sangat mirip dengan tanaman salak hanya
saja dengan duri yang tidak terlalu keras dan tajam. Kedua batang, Batang tanaman diselimuti
bekas pelapah hingga umur ±12 tahun. Setelah umur ±12 tahun pelapah yang mengering akan
terlepas sehingga menjadi mirip dengan tanaman kelapa. Ketiga akar, Akar serabut tanaman
kelapa sawit mengarah ke bawah dan samping. Selain itu juga terdapat beberapa akar napas yang
tumbuh mengarah ke samping atas untuk mendapatkan tambahan aerasi. Keempat bunga, Bunga
jantan dan betina terpisah dan memiliki waktu pematangan berbeda sehingga sangat jarang
terjadi penyerbukan sendiri. Bunga jantan memiliki bentuk lancip dan panjang sementara bunga
betina terlihat lebih besar dan mekar. Terakhir buah, Buah sawit mempunyai warna bervariasi
dari hitam, ungu, hingga merah tergantung bibit yang digunakan.

Petani kelapa sawit tidak memerlukan tenaga lebih untuk menanam dan memanen
tanaman kelapa sawit. Mereka mempunyai pekerja sendiri untuk melakukan penanaman dan
pemanenan sawit dan cenderung memakai sistem penyuplai bibit, menanam hingga pemanenan.
Petani kelapa sawit cenderung untuk melakukan bertani secara individualisme dibanding gotong
royong, ketersediaan jasa dalam pengelolaan kelapa sawit menjadikan petani kelapa sawit lebih
individualisme dibanding petani padi sawah yang bersifat gotong royong. Kesejahteraan petani
kelapa sawit lebih baik dibandingkan petani padi sawah.

Tahun 1970-1990an merupakan tahun dimana pemerintahan orde baru masih memimpin.
Salah satu kebijakan pemerintah orde baru ialah transmigrasi. Memindahkan sebagian
masyarakat kota ke desa dengan memberikan jaminan hidup salah satunya memberikan lahan
dan juga bibit kelap sawit. Pertumbuhan kelapa sawit sangat pesat. Cepatnya perkembangan luas
disebabkan dari kenyataan di awal masa krisis, para petani kelapa sawit menikmati Tanda Buah

3
Segar (TBS) dengan harga yang lumayan tinggi. Oleh karena itu masyarakat khususnya di
pedesaan mengalami tingkat kesejahteraan yang cukup tinggi. Dampak dari dari kesejahteraan
itu sendiri menyebabkan semaki tingginya minat masyarakat di dalam industri kelapa sawit.
Selain itu kontribusi perkebunan kelapa sawit terhadap ekonomi nasional sangat meningkat.
Dimana terjadi peningkatan pertumbuhan yang begitu cepat dari tahun 1993 hingga 1997. Saat
ini pertumbuhan sawit diperkirakan telah melampaui pertumbuhan karet.

Ekspansi sawit terbesar di Indonesia terjadi di Sumatera, Kaliamantan dan Papua. Tren
ekspansi perkebunan kelapa sawit di Sumatera dan Kalimantan merata, di mana luas deforestasi
yang didorong oleh kelapa sawit menurun di Sumatera dan meningkat di Kalimantan sebagai
akibat dari pergeseran produksi. Lebih dari 90 persen lahan yang cocok untuk budidaya kelapa
sawit di Sumatera tidak lagi ditutupi oleh hutan alam, menunjukkan bahwa ekspansi kelapa sawit
di masa depan akan terus berlanjut terutama di kawasan non-hutan. Oleh karena itu, banyak
pengusaha sawit seperti perusahaan perkebunan kelapa sawit milik swasta dan petani kelapa
sawit di Indonesia melakukan ekspansi perkebunan kelapa sawit untuk memenuhi permintaan
pasar. Ekspansi perkebunan kelapa sawit tidak hanya dilakukan oleh perusahaan perkebunan
kelapa sawit, namun juga petani kelapa sawit. Perusahaan perkebunan kelapa sawit selama ini
mengekspansi kelapa sawitnya di area Hak Guna Usaha (HGU), sedangkan petani kelapa sawit
mengekspansi perkebunan kelapa sawit di lahan-lahan yang mereka miliki seperti belukar,
ladang atau kebun. Selain itu, ada beberapa petani kelapa sawit mengekspansi perkebunan kelapa
sawit di area-area hutan yang ada di sekitar tempat tinggal mereka.

2. DAMPAK EKSPANSI LAHAN KELAPA SAWIT DI INDONESIA

Ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan mengakibatkan banyaknya area


hutan yang hilang, memicu deforestasi, menimbulkan erosi tanah, serta fragmentasi habitat.
Ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan juga berdampak pada perubahan lanskap
ekologi dan perubahan tata guna lahan, perubahan tutupan lahan serta beberapa masalah
lingkungan yang serius. Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Indonesia saat ini semakin
pesat. Kelapa sawit (Elaeis guineensis) merupakan salah satu komoditas utama tanaman
perkebunan yang penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penghasil devisa negara.

4
A. Laju Deforestasi

Salah satu penyebab hilangnya tutupan hutan di Indonesia adalah perluasan perkebunan
sawit untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun internasional. Kementerian Kehutanan
Indonesia menunjukkan bahwa kelapa sawit memainkan peran penting dalam deforestasi di 32
persen kawasan hutan Indonesia. Hilangnya hutan di luar konsesi sebagian besar disebabkan oleh
konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun tidak dapat di pungkiri, bahwa
hilangnya hutan juga didorong oleh jaringan luas perkebunan kelapa sawit kecil yang
dioperasikan oleh petani kecil yang menghasilkan hampir 40 persen stok sawit Indonesia.
Tanaman industri ini memiliki ikatan yang tidak terpisahkan dengan deforestasi di Indonesia
Sebagian besar hutan tropis dengan nilai pelestarian tinggi di Indonesia telah dibuka untuk
perkebunan kelapa sawit dengan menggunakan api sebagai pendekatan yang lebih murah untuk
membuka hutan untuk penanaman baru. Kelapa sawit berkontribusi terhadap kerusakan ekologis
yang lebih tinggi. Berkurangnya tutupan hutan dan di ganti dengan perkebunan kelapa sawit
yang secara struktural kurang kompleks dibandingkan hutan alam . Kelapa sawit memiliki
struktur umur pohon yang seragam, kanopi yang lebih rendah, semak yang jarang, iklim mikro
yang kurang stabil dan merupakan jenis tanaman yang dibersihkan serta ditanam kembali dengan
rotasi 25–30 tahun. Setelah 30 tahun, tanah yang ditanami sawit akan terdegradasi dengan nutrisi
yang lebih sedikit.

B. Kepunahan Habitat

Kelapa sawit juga memiliki kekayaan spesies yang jauh lebih rendah daripada hutan
bekas tebangan. Penghapusan kawasan hutan telah mengakibatkan ketidakstabilan lingkungan ke
habitat alami hutan. Kondisi ini mengakibatkan Orangutan, Harimau Sumatera dan Badak
menghadapi kepunahan akibat menyusutnya hutan tropis dan dikonversi menjadi kelapa sawit.
Setiap konversi hutan alam pasti akan merusak keanekaragaman hayati. Kelapa sawit merupakan
salah satu penyebab konversi hutan yang merusak di Indonesia perusakan habitat menyebabkan
spesies terancam punah, termasuk berdampak pula bagi orangutan yang telah hancur habitatnya.
Orangutan adalah spesies kunci dan memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan
ekosistem, namun saat ini Orangutan terkena dampak langsung deforestasi dan mengalami
penurunan jumlah yang signifikan. Jumlah hewan dan tumbuhan hutan lebih banyak
dibandingkan lahan perkebunan kelapa sawit. Hal ini menunjukkan bahwa perubahan lahan

5
hutan menjadi perkebunan kelapa sawit akan memberikan dampak terhadap keberlangsungan
keanekaragaman ekosistem. Lahan perkebunan kelapa sawit menurunkan keanekaragaman
karena kondisi lingkungan lahan sawit yang lembab dan tidak cocok bagi sebagian besar hewan.
Penurunan keanekaragaman juga akan mengakibatkan kerentanan kondisi alam.

Lahan perkebunan kelapa sawit akan memberikan dampak bagi unsur tanah yang
merupakan tempat tinggal beberapa jenis hewan seperti semut dan cacing. Kelembaban tanah di
lahan perkebunan kelapa sawit akan memberikan dampak sulitnya semut dan cacing bertahan
hidup di tanah yang lembab. Penurunan keanekaragaman yang terjadi yang dilihat dari
perbandingan keaneragaman jenis hewan dan tumbuhan antara lahan hutan dan lahan
perkebunan kelapa sawit. Lahan perkebunan kelapa sawit yang lembab dan tertutup
menyebabkan sulitnya sinar matahari masuk ke permukaan tanah yang menyebabkan tumbuhan
seperti rumput sulit tumbuh. Hal ini akan berdampak kepada keanekaragaman tumbuhan dan
kelangsungan ekosistem. Lahan perkebunan kelapa sawit hanya ditumbuhi tumbuhan yang dapat
tumbuh dikeadaan lembab seperti pakis dan lumut. Keberadaan ilalang pun tidak terlalu
signifikan di lahan perkebunan kelapa sawit. Matahari sebagai sumber energi bagi tumbuhan
sangat diperlukan, jika intensitas sinar matahari terhalang makan sulit tumbuhan untuk tumbuh
dengan baik. Tumbuhan sangat diperlukan bagi keberadaan keaneragaman serangga sebagai
sumber makanan beberapa hewan lainnya.

Kondisi sungai ketika belum terjadi ekspansi terdapat banyak ikan yang bisa dikonsumsi
oleh masyarakat, namun kini ikan-ikan mulai berkurang karena kondisi air sungai yang sudah
tidak baik akibat buangan limbah dari pemupukan pohon kelapa sawit dan pengolahan kelapa
sawit. Ekspansi kelapa sawit menjadi salah satu ancaman bagi hewan yang terancam punah.
Lahan yang ditanami kelapa sawit memiliki jumlah rata-rata mamalia 1525% per hektar,
jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan yang berada di hutan tropis, berkurangnya spesies
serangga, burung, reptil, dan mikroorganisme tanah. Selain itu, ekspansi menjadi penyebab yang
paling signifikan dari fragmentasi habitat di Kalimantan dan Sumatera. Dampak lain yang
memengaruhi keanekaragam hayati adalah penurunan vegetasi tanah akibat dari peningkatan
tutupan yang dihasilkan langsung dari tumpang tindih daun, hal ini menyebabkan penurunan
jumlah spesies tanaman.

6
C. Penggunaan Bahan Kimia

Minyak sawit melepaskan polusi seperti emisi ke udara, tanah dan air limbah. Kelapa
sawit menggunakan pupuk N yang diaplikasikan pada tanaman kelapa sawit di pembibitan
maupun di perkebunan. Proses ini memancarkan N2O ke atmosfer yang berkontribusi terhadap
pemanasan global. Pupuk ini juga dapat menambah kebocoran nitrat dan fosfat ke air tanah
meskipun dampaknya masih perlu diteliti lebih lanjut. Polutan dari bahan kimia pertanian yang
terkait dengan produksi minyak sawit (pupuk dan pestisida) memiliki dampak berbahaya pada
ekosistem darat dan perairan. Limbah kelapa sawit, yang dicerna secara mikroba di kolam
terbuka, sering meluap ke saluran air saat hujan deras dan menyebabkan tercemarnya air yang di
konsumsi masyarakat sekitar perkebunan. Penurunan kualitas air akan membuat penduduk
setempat kesulitan mencari air bersih untuk minum dan mandi. Bertambahnya luasan perkebunan
kelapa sawit, maka semakin banyak penggunaan pupuk-pupuk serta obat-obatan untuk
memberikan kesuburan pada pohon kelapa sawit, hal ini mengakibatkan air dari kegiatan
pemupukan terbuang ke sungai maupun kolam yang berdampak pada pencemaran air sungai.
Penggunaan pupuk dan pestisida dengan jumlah yang banyak akan menyebabkan kerusakan
lingkungan serta mengancam keanekaragaman hayati.

D. Penurunan Kualitas Lahan

Lahan sawit akan mengakibatkan penurunan kualitas lahan disertai erosi, hama dan
penyakit bagi lingkungan. Lahan perkebunan kelapa sawit juga akan memberikan dampak
kerusakan unsur hara dan air tanaman monokultur, karena lahan sawit satu batang menyerap air
sebanyak 12 liter. Di samping itu lahan perkebunan kelapa sawit dirangsang oleh berbagai zat
fertilizer seperti pestisida dan bahan kimia lainnya yang berbahaya bagi tanah. Lahan kelapa
sawit akan mengakibatkan munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama
baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini
disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi. Geografis
ditutupi oleh hutan rawa gambut. Dibukanya perkebunan sawit menyebabkan pengeringan tanah
organik kaya karbon ini berpotensi melepaskan emisi gas rumah kaca yang besar. hutan tropis
yang unik dan terdiri dari tanah padat, sangat mudah terbakar dan melepaskan emisi karbon. Ini
berarti, proses perusakan lahan gambut untuk pembukaan perkebunan sawit menyumbang emisi

7
global tahunan. Tanah yang ditanami hanya satu jenis tanaman secara terus menerus akan
mengakibatkan menurunnya kualitas tanah secara periodik.

Pada tahap landclearing maka fungsi tutupan hutan hilang. Tutupan hutan mempunyai
fungsi penyimpanan air secara alami dan melindungi tanah dari erosi akibat air hujan. Setelah
tutupan hutan berubah menjadi calon lahan perkebunan kelapa sawit maka erosi tanah dan banjir
pun terjadi. Erosi tanah terjadi ketika air hujan jatuh ke tanah secara langsung tanpa ada kanopi
daun-daun pohon yang menjadi pelindung, sehingga air hujan membawa material tanah secara
langsung ke daerah lebih rendah dan sungai yang berdampak pada warna air sungai menjadi
coklat dan luapan air sungai ke area pemukiman penduduk. Banjir yang terjadi di area
pemukiman penduduk akibat dari luapan air sungai terjadi semakin sering setelah banyaknya
ekspansi perkebunan kelapa sawit.

E. Suhu

Ekspansi perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan perubahan tutupan lahan hutan
yang berdampak pada perubahan ekologi suatu kawasan. Perubahan suhu udara. Perubahan
tutupan lahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit telah meningkatkan eksposure
terhadap matahari sehingga berdampak pada suhu udara menjadi semakin berubah panas.

F. Air

Berkurangnya kuantitas air tanah sehingga ketika musim kemarau datang tak jarang
terjadi kekeringan. Akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit yang dilakukan melalui konversi
hutan alam, akan merusak habitat hutan, dan merubah lanskap hutan alam, selain itu akan
merusak kondisi daerah aliran sungai (DAS) yang berada di bawahnya. Akibat dari berubahnya
kondisi DAS adalah terjadinya tanah longsor, sedimentasi, meningkatnya aliran permukaan, dan
erosi tanah, kelapa sawit memiliki laju evapotranspirasi (penguapan air) yang cukup tinggi.
Evapotranspirasi pada tanaman kelapa sawit mencapai 81% dari potensi evapotranspirasi yang
bisa terjadi. Evapotranspirasi adalah gabungan antara evaporasi dari permukaan tanah dan
transpirasi tanaman yang mengalami penguapan sehingga berpengaruh terhadap kesediaan air
tanah . Bertambahnya luasan pekebunan kelapa sawit berdampak terhadap lingkungan, antara
lain semakin berkurangnya ketersediaan air tanah

8
Kerakusan unsur hara dan kebutahan air tanaman sawit sangat tinggi. a. Kebutuhan air
siraman untuk bibit ± 2 liter per polybag per hari disesuaikan dengan umur bibit. 1000 bi bit=
2000 liter/ hari b. Kebutuhan air sawit dewasa ± 10 liter /hari. 1000 pohon = 10.000 liter/hari c.
Tidak kurang dari 1.000 liter air dibutuhkan setiap hari untuk 1 hektar kebun kelapa sawit.

9
BAB III

KESIMPULAN

Dampak negatif lingkungan yang telah terdokumentasi adalah pemangkasan hutan yang
mengakibatkan banyaknya area hutan yang hilang dan memicu deforestasi karena konversi hutan
yang semakin meluas. Akibat lainnya adalah hilangnya keanekaragaman hayati, pencemaran air,
dan erosi tanah. Ekspansi perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan juga berdampak pada
perubahan lanskap ekologi dan perubahan tata guna lahan, perubahan tutupan lahan serta
beberapa masalah lingkungan yang serius seperti penipisan unsur hara tanah serta meningkatnya
emisi karbon akibat pemangkasan hutan dan emisi yang melekat pada pengolahan buah kelapa
sawit.

Dampak negatif baru akan muncul pada tahap konstruksi, dimana pada tahap ini terdapat
beberapa kegiatan utama yang memberikan dampak, yaitu pembuatan jalur jalan, cut and fill,
persiapan area tanam dan pembangunan pabrik. Hilangnya area yang biasanya berguna untuk
menjaga kelembaban udara dan tanah, hilangnya tanaman tinggi yang menjaga area tropis
menjadi bersuhu tidak terlalu panas dan pembukaan lahan luas mempengaruhi iklim mikro yang
pada akhirnya berpengaruh pada perubahan iklim global.

10
DAFTAR PUSTAKA

BUKU

Fauzi, Y., Widyastuti, Y. E., Satyawibawa, I., & Paeru, R. H. 2012. Kelapa sawit. Jakarta :
Penebar Swadaya Grup.

M ubyarto. 1995. Pengantar Ekonomi Pertanian. Jakarta (ID) : LP3ES.

Maryani. 1998. Geografi Ekonomi. Bandung : Jurusan Geografi UPI

Pahan I. 2010. Panduan Lengkap Kelapa Sawit. Manajemen Agribisnis dari Hulu hingga Hilir.
Jakarta (ID) : Penebar Swadaya

Sarwono,J.(2006). Metode Penelitian Kuantitatif dan Kualitatif. Yogyakarta : Graha Ilmu.

Sastrosayono, I. S. (2003). Budi daya kelapa sawit. Jakarta : AgroMedia

Sugiyono. 2005. Metode Penelitian Kuantitatif Kualitatif dan R&D. Bandung : Alfabeta

Suriana, N. (2019). Budi Daya Tanaman Kelapa Sawit. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer.

JURNAL

Adji, F.F., Damanik, Z., Yulianti, N., Birawa, C., Handayani, F., Sinaga, A.N., Teguh, R., dan
Dohong, S. (2017). Dampak alih fungsi lahan terhadap sifat fisik tanah dan emisi karbon
gambut transisi di Desa Kanamit Barat Kalimantan Tengah. Jurnal Pedon Tropika, 1(3):
79-88

Amalia, R., Dharmawan, A. H., Prasetyo, L. B., & Pacheco, P. (2019). Perubahan tutupan lahan
akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit: Dampak sosial, ekonomi dan ekologi. Jurnal
Ilmu Lingkungan, 17(1), 130-139.

Ankles. T. R. (2002). Pengaruh Alih Fungsi dan Penanggulanganya. Jurnal Ekologi, Vol. 34, Hal
: 15 – 40.

Ayu, K. P. (2021). Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit di Kalimantan Tengah: Mekanisme


Politik di Balik Kerusakan Ekologi. Journal SOSIOLOGI, 4(2), 61-71.

Dharmayanthi, E., Zulkarnaini, Z., & Sujianto, S. (2018). Dampak alih fungsi lahan pertanian
padi menjadi perkebunan kelapa sawit terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial budaya

11
di desa Jatibaru kecamatan Bunga Raya kabupaten Siak. Dinamika Lingkungan
Indonesia, 5(1), 34-39.

S aputra A. (2013). Faktor-faktor yang Memengaruhi Konversi Tanaman Karet Menjadi Kelapa
Sawit di Kabupaten Muaro Jambi. Sosio Ekonomika Bisnis. 16(2): 1825

Seno. T. (2003). Ekosistem Sawah dan Ekosistem Sawit. Kumpulan Jurnal Ilmiah Indonesia. Vol
22 Hal: 34 – 35.

Siradjuddin I. (2015). Dampak Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Perekonomian Wilayah di


Kabupaten Rokan Hulu. Jurnal Agroteknologi. 5(2): 714

Sudirja. (2008). Alih Fungsi dan Ekosistem. Kumpulan Jurnal Ilmiah Indonesia. Vol 90 Hal : 9 –
10.

T aufiq M, Siswoyo H, Anggara WWS. (2013). Pengaruh Tanaman Kelapa Sawit Terhadap
Keseimbangan Air Hutan (Studi Kasus Sub Das Landak, Das Kapuas). Jurnal Teknik
Pengairan. 4(1): 4752.

Utami, R., Putri, E. I. K., & Ekayani, M. (2017). Dampak ekonomi dan lingkungan ekspansi
perkebunan kelapa sawit (Studi kasus: Desa penyabungan, kecamatan merlung,
kabupaten tanjung jabung barat, jambi). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 22(2), 115-
126.

Widodo IT, Dasanto BD. (2010). Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Ditinjau
dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit. Journal Agromet Indonesia. 24(1): 2332

Yulian B.E., Dharmawan A.H., Soetarto E., Pacheco P. (2017). Dilema nafkah rumahtangga
pedesaan sekitar perkebunan kelapa sawit di Kalimantan Timur. Sodality: Jurnal
Sosiologi Pedesaan Vol 5 No. 3 Desember 2017 hal 242-249

12

Anda mungkin juga menyukai