Anda di halaman 1dari 18

MAKALAH

PERLUASAN INDUSTRI PERKEBUNAN KELAPA SAWIT BERDAMPAK


PADA LINGKUNGAN DI SUMATERA UTARA

Dosen Pengampu :

Drs. Slamet Subekti, M.Hum.

Disusun Oleh :

Annisa Khairani Zahra 13030121120021

PROGRAM STUDI S1 SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

SEMARANG

2023
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

Segala puji syukur mari dipanjatkan kepada Tuhan Yang Maha Esa. Atas rahmat dan
karunia-Nya, saya dapat menyelesaikan tugas penulisan makalah mata kuliah bahasa Indonesia
tepat waktu. Penulisan makalah ini berjudul “Perluasan Industri Perkebunan Kelapa Sawit
Berdampak Pada Lingkungan di Sumatera Utara“ guna memenuhi ujian akhir semester pada
mata kuliah Sejarah Lingkungan, Jurusan Sejarah, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas
Diponegoro. Saya menyadari bahwa tanpa bantuan dari berbagai pihak, tugas ini tidak akan
dapat diselesaikan. Oleh karena itu, saya mengucapkan terima kasih kepada:

1. Bapak Drs. Slamet Subekti, M.Hum. selaku Dosen Pengampu Mata Kuliah Sejarah
Lingkungan

2. Semua pihak yang telah terlibat dalam penyusunan tugas ini hingga terselesaikan.

Pembahasan materi tentang dampak dari semakin luasnya lahan sawit di Sumatera Utara
dijabarkan pada makalah ini. Penyusunan makalah ini dilakukan dengan mengumpulkan sumber-
sumber relevan contohnya seperti buku, jurnal dan artikel online. Perluasan perkebunan kelapa
sawit yang terjadi di Indonesia merupakan isu yang bersisian dari berbagai aspek, baik dari aspek
sosial, ekonomi maupun ekologi. Meningkatnya kebutuhan minyak domestik dan internasional
telah memicu produksi kepala sawit Indonesia. Alih fungsi lahan atau lazimnya disebut sebagai
konversi lahan adalah perubahan fungsi sebagian atau seluruh kawasan lahan dari fungsinya,
semula (seperti yang direncanakan) menjadi fungsi lain yang menjadi dampak negatif (masalah)
terhadap lingkungan dan potensi lahan itu sendiri. Bersamaan dengan bertumbuhnya permintaan
akan kelapa sawit, bertambah pula luasan area yang dibutuhkan untuk perkebunan sawit.

Penulis menyadari ada banyak kekurangan dalam penulisan makalah, baik dari segi
referensi penulisan maupun tata tulis. Oleh karena itu, saya memohon saran, masukan, dan kritik
yang membangun guna perbaikan makalah selanjutnya. Akhir kata, semoga dengan adanya tugas
ini dapat berguna dan bermanfaat bagi siapa saja, baik langsung maupun tidak langsung.

Wassalamu’alaikum warahmatullahi wabarakatuh

i
Semarang, 15 Mei 2023

Annisa Khairani Zahra

ii
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR ..................................................................................................................... i


DAFTAR ISI.................................................................................................................................. iii
BAB 1 PENDAHULUAN .............................................................................................................. 1
1.1. Latar Belakang ..................................................................................................................... 1
1.2. Rumusan Masalah ................................................................................................................ 2
1.3. Tujuan................................................................................................................................... 3
BAB 2 PEMBAHASAN ................................................................................................................. 4
2.1. Dampak Dari Perluasan Penanaman Sawit Terhadap Lingkungan Di Sumatera
Utara…………………………………………………………………………………………….4
2.1.1. Laju Deforestasi ............................................................................................................ 5
2.1.2. Kepunahan Habitat ....................................................................................................... 5
2.1.3. Penggunaan Bahan Kimia ............................................................................................. 7
2.1.4. Penurunan Kualitas Lahan ............................................................................................. 7
2.1.5. Perubahan Suhu ............................................................................................................. 8
2.1.6. Peningkatan Kebutuhan Air........................................................................................... 9
2.2. Solusi Kerusakan Lingkungan di Sumatera Utara Akibat Perluasan Penanaman Sawit ..... 9
2.2.1. Penerapan Kebijakan Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit .......................................... 9
2.2.2. Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup ......................................................................... 10
BAB 3 KESIMPULAN................................................................................................................. 12
DAFTAR PUSTAKA ................................................................................................................... 13

iii
BAB 1 PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Minyak kelapa sawit dihasilkan dari tumbuhan yang bernama kelapa sawit dengan nama
latin Elaeis Guineensis Jacq. Kelapa sawit telah terkenal dan menjadi komoditi perdagangan
pasar dunia. Kelapa sawit dinamakan dengan African oil palm karena berasal dari Afrika Barat.
Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah kolonial Belanda pada
tahun 1848. Ketika itu ada empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa dari Maurutius dan
Amsterdam untuk ditanam di Kebun Raya Bogor. Selanjutnya hasil anakannya dipindahkan ke
Deli, Sumatera Utara. Di tempat ini selama beberapa puluhan tahun, kelapa sawit yang telah
berkembang biak hanya berperan sebagai tanaman hias di sepanjang jalan di Deli sehingga
potensi yang sesungguhnya belum kelihatan. Tanaman kelapa sawit mulai diusahakan dan
dibudidayakan secara komersial pada tahun 1911. Perintis usaha perkebunan kelapa sawit di
Indonesia adalah Adrian Haller, seorang berkebangsaan Belgia yang telah banyak belajar tentang
kelapa sawit di Afrika. Budi daya yang dilakukannya di ikuti oleh perkebunan kelapa sawit di
Indonesia. Sejak saat itu perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan
kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli)

Diawali dengan empat batang bibit kelapa sawit yang dibawa Belanda dari Mauritius,
pada tahun 1875 kelapa sawit mulai ditanam pada lahan seluas 0,4 Ha di Tanah Deli. Pada tahun
1940 perusahaan perkebunan swasta telah mengekspor minyak sawit sebesar 250.000 ton ke
Eropa. Kehadiran perkebunan kelapa sawit yang telah lama ada di Sumatera Utara, maka
tidaklah berlebihan jika Sumatera Utara mempunyai perhatian yang paling besar, karena
merupakan tempat kelahiran komoditas kelapa sawit di Indonesia. Walaupun Provinsi Sumatera
Utara tidak merupakan urutan terbesar pertama pada penghasil minyak sawit di Indonesia,
namun Provinsi Sumatera Utara merupakan salah satu Provinsi di Indonesia yang menghadapi
cukup banyak konflik lahan dan perluasan maupun pengelolaan perkebunan kelapa sawit.

Indonesia telah memasuki era ketergantungan kepada kelapa sawit dan sekaligus juga
mulai muncul penolakan masyarakat karena perusahaan perkebunan kelapa sawit dinilai telah
menurunkan kualitas lingkungan hidup Indonesia. Peningkatan kesadaran pentingnya lingkungan
yang baik, sehat dan nyaman bersamaan dengan makin dirasakan peningkatan pendapatan dari

1
usaha perusahaan perkebunan kelapa sawit. Bila kegiatan pembangunan yang mengandalkan
sumber daya alam tidak dikelola secara bijaksana, maka manfaatnya tidak dapat dinikmati secara
bersama. Kesenjangan akan makin dalam, dan pada saat yang sama kerusakan dan penurunan
kualitas lingkungan terus berlangsung. Minyak sawit dinyatakan kalangan industri sebagai
minyak masa depan, sementara penggiat lingkungan menyatakan sebagai perusak masa depan.
Mulai dari masalah pembukaan dan alih fungsi lahan hutan, penguasaan lahan masyarakat
hingga masalah dampak sosial dijadikan isu melawan kehadiran industri kelapa sawit.
Perusahaan perkebunan kelapa sawit menimbulkan konflik antara pencinta lingkungan dan
penggiat pembangunan. Ada yang mengibaratkan industri sawit ibarat api. Waktu kecil masih
aman dan nyaman pemanfaatannya. Bila sudah membesar dan diluar kendali, menimbulkan
suasana yang menakutkan karena dia akan melahap siapa saja yang coba menghalanginya.
Pertentangan suka dan tak suka akan industri sawit makin keras tanpa ada yang mengalah.
Masing masing punya alasan yang kuat atas pendapatnya.

Luas areal perkebunan kelapa sawit yang secara nasional mencapai hampir 10 juta Ha
dimana sekitar 18 % berada di Provinsi Sumatera Utara, telah menjadikan Indonesia sekaligus
menduduki posisi pertama sebagai negara dengan areal perkebunan kelapa sawit terluas di dunia.
Berdasarkan provinsi, Sumatera Utara merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar
kedua di Indonesia dengan total produksi mencapai 3,99 Juta Ton (atau sekitar 20% dari
produksi nasional) dan dengan luas lahan sebesar 1.2 Juta Ha atau mencapai 18% dari luas lahan
kelapa sawit nasional.

1.2. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang disampaikan pada paparan diatas, permasalahan dapat
dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimana dampak perluasan penanaman sawit terhadap lingkungan di Sumatera


Utara?
2. Bagaimana solusi kerusakan lingkungan di Sumatera Utara akibat dari perluasan
penanaman sawit?

2
1.3. Tujuan

Tujuan dibuatnya makalah ini yaitu :


1. Untuk mengetahui dampak dari perluasan penanaman sawit terhadap lingkungan di
Sumatera Utara
2. Untuk mengetahui solusi mengatasi kerusakan lingkungan di Sumatera Utara akibat
dari perluasan penanaman sawit

3
BAB 2 PEMBAHASAN

2.1. Dampak Dari Perluasan Penanaman Sawit Terhadap Lingkungan Di Sumatera


Utara

Kelapa sawit (Elaeis Guineensis Jacq) merupakan salah satu komoditas utama tanaman
perkebunan yang penting dalam perekonomian Indonesia sebagai penghasil devisa negara.
Sebelum menjadi negara penghasil minyak kelapa sawit terbesar di dunia, Indonesia lebih
mengandalkan sektor pertanian. Namun, lama-kelamaan banyak masyarakat mulai beralih ke
perkebunan kelapa sawit. Faktor-faktor yang menjadi pertimbangan petani untuk meninggalkan
sektor pertanian adalah waktu panen lama, kondisi alam yang tidak menentu, dan perawatannya
yang cenderung sulit. Hal ini berbanding terbalik dengan kelapa sawit yang dianggap mudah
dalam perawatannya, masa hidup lama (25 tahun), serta pemanenan yang dapat dilakukan
sebanyak dua kali dalam sebulan setelah masa tanam selama kurang lebih 3 tahun. Pengelolaan
perkebunan sawit sebelumnya masih dilakukan dalam skala kecil, namun lamakelamaan menjadi
besar saat masuknya para investor. Investor yang berinvestasi pada sektor perkebunan kelapa
sawit di Sumatera Utara semakin meningkat. Alasan maraknya investor asing tertarik
menanamkan modalnya dalam sektor perkebunan kelapa sawit adalah dikarenakan minyak
kelapa sawit merupakan salah satu jenis minyak yang paling banyak diproduksi dan dikonsumsi
oleh masyarakat didunia. Selain harganya yang relatif murah, minyak kelapa sawit juga mudah
diproduksi serta sangat stabil untuk digunakan dalam berbagai makanan, produk kebersihan,
kosmetik dan sebagai sumber biofuel. Namun, minyak kelapa sawit hanya diproduksi dibeberapa
wilayah seperti Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Hal ini dikarenakan pohon kelapa sawit
memerlukan suhu hangat, sinar matahari yang cukup dan curah hujan tinggi untuk pemaksimalan
produksi buah kelapa sawit. Oleh karena itu para investor meyakini bahwa sektor perkebunan
kelapa sawit memberi keuntungan yang besar.

Konsep dampak diartikan sebagai pengaruh munculnya aktifitas manusia dalam


pembangunan terhadap lingkungan termasuk manusia. sehubungan dengan itu pada dasarnya
sasaran pembangunan adalah menaikkan tingkat kesejahteraan rakyat, akan tetapi aktifitas
pembangunan menimbulkan efek samping yang tidak direncanakan di luar sasaran yang disebut
dampak. Bila dihitung dari segi sumber daya alam yang terpakai, nilai ekonomi yang diperoleh
serta kemampuannya mendukung kehidupan, industri kelapa sawit termasuk industri yang boros

4
dan tidak akrab lingkungan. Perkembangan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara saat ini
semakin pesat. Dampak dari perluasan perkebunan kelapa sawit antara lain, yaitu :

2.1.1. Laju Deforestasi


Salah satu penyebab hilangnya tutupan hutan di Indonesia adalah perluasan perkebunan
sawit untuk memenuhi kebutuhan domestik maupun internasional. Kementerian Kehutanan
Indonesia menunjukkan bahwa kelapa sawit memainkan peran penting dalam deforestasi di 32
persen kawasan hutan Indonesia. Hilangnya hutan di luar konsesi sebagian besar disebabkan oleh
konversi lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit. Namun tidak dapat di pungkiri, bahwa
hilangnya hutan juga didorong oleh jaringan luas perkebunan kelapa sawit kecil yang
dioperasikan oleh petani kecil yang menghasilkan hampir 40 persen stok sawit Indonesia.
Mengutip dari sumut.bps.go.id pada tahun 2021 luas perkebunan kelapa sawit mencapai
442.072.76 Ha dengan total produksi 7.451.890.91 Ton dengan Kabupaten/Kota tertinggi yaitu
Kabupaten Asahan dengan luas 96.818,19 Ha dengan total produksi 2.449.288,70. Dari tadi
tersebut dapat disimpulkan bahwa adanya laju deforestasi karena tanaman industri ini memiliki
ikatan yang tidak terpisahkan dan sebagian besar hutan tropis dengan nilai pelestarian tinggi di
Sumatera Utara telah dibuka untuk perkebunan kelapa sawit dengan menggunakan api sebagai
pendekatan yang lebih murah untuk membuka hutan untuk penanaman baru. Kelapa sawit
berkontribusi terhadap kerusakan ekologis yang lebih tinggi. Berkurangnya tutupan hutan dan di
ganti dengan perkebunan kelapa sawit yang secara struktural kurang kompleks dibandingkan
hutan alam . Kelapa sawit memiliki struktur umur pohon yang seragam, kanopi yang lebih
rendah, semak yang jarang, iklim mikro yang kurang stabil dan merupakan jenis tanaman yang
dibersihkan serta ditanam kembali dengan rotasi 25–30 tahun. Setelah 30 tahun, tanah yang
ditanami sawit akan terdegradasi dengan nutrisi yang lebih sedikit.

2.1.2. Kepunahan Habitat


Kelapa sawit juga memiliki kekayaan spesies yang jauh lebih rendah daripada hutan
bekas tebangan. Penghapusan kawasan hutan telah mengakibatkan ketidakstabilan lingkungan ke
habitat alami hutan. Kondisi ini mengakibatkan Orangutan, Harimau Sumatera, Badak Sumatera
dan Gajah Sumatera yang terancam punah menghadapi kepunahan akibat menyusutnya hutan
tropis dan dikonversi menjadi kelapa sawit. Setiap konversi hutan alam pasti akan merusak
keanekaragaman hayati. Kelapa sawit merupakan salah satu penyebab konversi hutan yang

5
merusak di Indonesia perusakan habitat menyebabkan spesies terancam punah, termasuk
berdampak pula bagi orangutan yang telah hancur habitatnya. Orangutan adalah spesies kunci
dan memainkan peran penting dalam menjaga kesehatan ekosistem, namun saat ini Orangutan
terkena dampak langsung deforestasi dan mengalami penurunan jumlah yang signifikan. Jumlah
hewan dan tumbuhan hutan lebih banyak dibandingkan lahan perkebunan kelapa sawit. Hal ini
menunjukkan bahwa perubahan lahan hutan menjadi perkebunan kelapa sawit akan memberikan
dampak terhadap keberlangsungan keanekaragaman ekosistem. Lahan perkebunan kelapa sawit
menurunkan keanekaragaman karena kondisi lingkungan lahan sawit yang lembab dan tidak
cocok bagi sebagian besar hewan. Penurunan keanekaragaman juga akan mengakibatkan
kerentanan kondisi alam.

Lahan perkebunan kelapa sawit akan memberikan dampak bagi unsur tanah yang
merupakan tempat tinggal beberapa jenis hewan seperti semut dan cacing. Kelembaban tanah di
lahan perkebunan kelapa sawit akan memberikan dampak sulitnya semut dan cacing bertahan
hidup di tanah yang lembab. Penurunan keanekaragaman yang terjadi yang dilihat dari
perbandingan keaneragaman jenis hewan dan tumbuhan antara lahan hutan dan lahan
perkebunan kelapa sawit. Lahan perkebunan kelapa sawit yang lembab dan tertutup
menyebabkan sulitnya sinar matahari masuk ke permukaan tanah yang menyebabkan tumbuhan
seperti rumput sulit tumbuh. Hal ini akan berdampak kepada keanekaragaman tumbuhan dan
kelangsungan ekosistem. Lahan perkebunan kelapa sawit hanya ditumbuhi tumbuhan yang dapat
tumbuh dikeadaan lembab seperti pakis dan lumut. Keberadaan ilalang pun tidak terlalu
signifikan di lahan perkebunan kelapa sawit. Matahari sebagai sumber energi bagi tumbuhan
sangat diperlukan, jika intensitas sinar matahari terhalang makan sulit tumbuhan untuk tumbuh
dengan baik. Tumbuhan sangat diperlukan bagi keberadaan keaneragaman serangga sebagai
sumber makanan beberapa hewan lainnya.

Kondisi sungai ketika belum terjadi perluasan perkebunan kelapa sawit masih terdapat
banyak ikan yang bisa dikonsumsi oleh masyarakat, namun kini ikan-ikan mulai berkurang
karena kondisi air sungai yang sudah tidak baik akibat buangan limbah dari pemupukan pohon
kelapa sawit dan pengolahan kelapa sawit. Hal ini menjadi ancaman bagi hewan yang terancam
punah. Lahan yang ditanami kelapa sawit memiliki jumlah rata-rata mamalia 1525% per hektar,
jumlah ini lebih sedikit dibandingkan dengan yang berada di hutan tropis, berkurangnya spesies

6
serangga, burung, reptil, dan mikroorganisme tanah. Selain itu, ekspansi menjadi penyebab yang
paling signifikan dari fragmentasi habitat di Sumatera. Dampak lain yang memengaruhi
keanekaragam hayati adalah penurunan vegetasi tanah akibat dari peningkatan tutupan yang
dihasilkan langsung dari tumpang tindih daun, hal ini menyebabkan penurunan jumlah spesies
tanaman.

2.1.3. Penggunaan Bahan Kimia


Minyak sawit melepaskan polusi seperti emisi ke udara, tanah dan air limbah. Kelapa
sawit menggunakan pupuk N yang diaplikasikan pada tanaman kelapa sawit di pembibitan
maupun di perkebunan. Proses ini memancarkan N2O ke atmosfer yang berkontribusi terhadap
pemanasan global. Pupuk ini juga dapat menambah kebocoran nitrat dan fosfat ke air tanah
meskipun dampaknya masih perlu diteliti lebih lanjut. Polutan dari bahan kimia pertanian yang
terkait dengan produksi minyak sawit (pupuk dan pestisida) memiliki dampak berbahaya pada
ekosistem darat dan perairan. Limbah kelapa sawit, yang dicerna secara mikroba di kolam
terbuka, sering meluap ke saluran air saat hujan deras dan menyebabkan tercemarnya air yang di
konsumsi masyarakat sekitar perkebunan. Penurunan kualitas air di Sumatera Utara membuat
penduduk terutama yang bertempat tinggal di dekat perkebunan kelapa sawit kesulitan mencari
air bersih untuk minum dan mandi. Bertambahnya luasan perkebunan kelapa sawit, maka
semakin banyak penggunaan pupuk-pupuk serta obat-obatan untuk memberikan kesuburan pada
pohon kelapa sawit, hal ini mengakibatkan air dari kegiatan pemupukan terbuang ke sungai
maupun kolam yang berdampak pada pencemaran air sungai. Badan Wilayah Sungai Sumatera II
menyatakan, kualitas air sungai di Medan, masuk kategori buruk, antara lain karena tutupan
lahan dan limbah domestik banyak mengalir ke sungai. Di Sumatera Utara ada delapan sungai
utama mengelilingi tiga kabupaten kota, yakni, Sungai Babura, Deli, Tungtungan, Belawan,
Bedera, Putih, Sulang-saling, dan Sungai Kera. Semua dalam kondisi waspada

2.1.4. Penurunan Kualitas Lahan


Lahan sawit akan mengakibatkan penurunan kualitas lahan disertai erosi, hama dan
penyakit bagi lingkungan. Lahan perkebunan kelapa sawit juga akan memberikan dampak
kerusakan unsur hara dan air tanaman monokultur, karena lahan sawit satu batang menyerap air
sebanyak 12 liter. Di samping itu lahan perkebunan kelapa sawit dirangsang oleh berbagai zat
fertilizer seperti pestisida dan bahan kimia lainnya yang berbahaya bagi tanah. Lahan kelapa

7
sawit akan mengakibatkan munculnya hama migran baru yang sangat ganas karena jenis hama
baru ini akan mencari habitat baru akibat kompetisi yang keras dengan fauna lainnya. Ini
disebabkan karena keterbatasan lahan dan jenis tanaman akibat monokulturasi. Dibukanya
perkebunan sawit di Sumatera Utara menyebabkan pengeringan tanah organik kaya karbon ini
berpotensi melepaskan emisi gas rumah kaca yang besar. hutan tropis yang unik dan terdiri dari
tanah padat, sangat mudah terbakar dan melepaskan emisi karbon. Ini berarti, proses perusakan
lahan gambut untuk pembukaan perkebunan sawit menyumbang emisi global tahunan. Tanah
yang ditanami hanya satu jenis tanaman secara terus menerus akan mengakibatkan menurunnya
kualitas tanah secara periodik. Pada tahap landclearing maka fungsi tutupan hutan hilang.
Tutupan hutan mempunyai fungsi penyimpanan air secara alami dan melindungi tanah dari erosi
akibat air hujan. Setelah tutupan hutan berubah menjadi calon lahan perkebunan kelapa sawit
maka erosi tanah dan banjir pun terjadi. Erosi tanah terjadi ketika air hujan jatuh ke tanah secara
langsung tanpa ada kanopi daun-daun pohon yang menjadi pelindung, sehingga air hujan
membawa material tanah secara langsung ke daerah lebih rendah dan sungai yang berdampak
pada warna air sungai menjadi coklat dan luapan air sungai ke area pemukiman penduduk. Banjir
yang terjadi di area pemukiman penduduk akibat dari luapan air sungai terjadi semakin sering
setelah banyaknya perluasan perkebunan kelapa sawit. Sebagai Kabupaten dengan luas
perkebuna kelapa sawit maka Kabupaten Asahan merupakan salah satu yang paling terdampak,
seperti pada 15 Agustus 2021 terdata 707 keluarga dengan perkiraan 1.900-an terkepung banjir.
Ketinggian banjir bervariatif, diperkirakan 30-150 cm

2.1.5. Perubahan Suhu


Perluasan perkebunan kelapa sawit telah mengakibatkan perubahan tutupan lahan hutan
yang berdampak pada perubahan ekologi suatu kawasan. Perubahan suhu udara. Perubahan
tutupan lahan dari hutan menjadi perkebunan kelapa sawit telah meningkatkan eksposure
terhadap matahari sehingga berdampak pada suhu udara menjadi semakin berubah panas. BMKG
telah mencatat 15 daerah terpanas di Indonesia pada 2022, Pancur Batu menempati urutan ke 2
daerah terpanas dengan 35,9 derajat celcius, selain itu Kota Medan menjadi urutan ke 5 dengan
34,8 derajat celcius, lalu disusul Deli Serdang dengan 34,6 derajat celcius yang berada pada
urutan 11 kota terpanas di Indonesia.

8
2.1.6. Peningkatan Kebutuhan Air
Kelapa sawit membutuhkan air yang cukup banyak. Tanaman kelapa sawit secara
ekologis merupakan tanaman yang banyak membutuhkan air dalam proses pertumbuhannya.
Kelapa Sawit dapat tumbuh dengan baik apabila air tanah tersedia secara cukup atau curah hujan
tahunan 2.000-2.500 mm, tanpa periode kering yang nyata. Tanaman kelapa sawit yang
monokultur menyebabkan peningkatan air limpasan dua belas kali lebih besar dari limpasan
hutan. Selain untuk proses evapotranspirasi, pembukaan hutan jadi perkebunan tanaman
monokultur meningkatkan kebutuhan air tanaman sebesar 67 mm/tahun. Semakin tua tanaman,
semakin banyak kebutuhan unsur hara dan air. Jumlah kebutuhan air untuk satu pohon kelapa
sawit dewasa dalam sehari mencapai 12 liter per hari. Dalam satu hektar terdapat 140 hingga 144
batang pohon sehingga kebutuhan air untuk satu hektar adalah 1.680 liter –1.728 liter perhari.
Sementara itu kebutuhan air siraman untuk bibit ± 2 liter per polybag per hari disesuaikan
dengan umur bibit. 1000 bi bit= 2000 liter/ hari. Maka dapat disimpulkan kerakusan unsur hara
dan kebutuhan air tanaman sawit sangat tinggi.

2.2. Solusi Kerusakan Lingkungan di Sumatera Utara Akibat Perluasan


Penanaman Sawit

2.2.1. Penerapan Kebijakan Perluasan Perkebunan Kelapa Sawit


Terdapat 6 alternatif kebijakan perluasan perkebunan kelapa sawit guna mengatasi
permasalahan yang berkaitan dengan perkebunan kelapa sawit di Sumatera Utara. 6 alternatif
kebijakan tersebut yaitu :

1. Pengembangan produk dan peningkatan nilai tambah produk kelapa sawit


2. Transparansi dari informasi pembangunan dan perluasan industri perkebunan
kelapa sawit
3. Promosi dan advokasi serta kampanye publik tentang industri kelapa sawit yang
berkelanjutan mendorong penerapan prinsip dan kriteria yang ada pada
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO)
4. Pengembangan pada mekanisme resolusi konflik, pengembangan aksesibilitas
petani terhadap sumber daya

9
5. Penguatan dan penegakan hukum pada pembangunan industri kelapa sawit
berkelanjutan melalui penerapan Indonesian Suistanable Palm Oil (ISPO) dengan
tata kelola perizinan
6. Pengendalian konversi hutan alam primer dan lahan gambut.

Keenam langkah-langkah diatas dapat dijadikan sebagai sumber rujukan dalam


perluasaan dan pengembangan industri kelapa sawit yang berkelanjutan di Sumatera Utara. Pada
dasarnya pengelolaan limbah di Indonesia mengacu pada prinsip-prinsip dan pedoman
pembangunan berkelanjutan yang telah dituangkan dalam Peraturan perundang-undangan,
khususnya Undang-Undang No. 23 tentang pengelolaan limbah telah diatur dalam Peraturan
Pemerintah No. 18 Tahun 1999. Peraturan pemerintah yang mengatur tentang pemanfaatan air
limbah untuk digunakan sebagai pupuk pada lahan di perkebunan kelapa sawit. Keputusan
Menteri Lingkungan Hidup No. 28 tahun 2003 tentang pedoman teknis pengkajian pemanfaatan
air limbah dari industri minyak kelapa sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit dan
Keputusan Menteri Lingkungan Hidup No. 29 Tahun 2003 tentang pedoman syarat dan tata cara
perizinan pemanfaatan air limbah industri minyak sawit pada tanah di perkebunan kelapa sawit.
Untuk melakukan pengelolaan limbah cair, diwajibkan melakukan kajian terlebih dahulu tentang
kelayakan pemanfaatan air limbah sebagai pupuk pada tanah di perkebunan. Hasil dari kajian
akan menjadi dasar dalam pemberian izin pemanfaatan tersebut

2.2.2. Upaya Pelestarian Lingkungan Hidup


Upaya pelestarian lingkungan hidup dengan menggunakan cara-cara berikut:

1. Melakukan pengolahan tanah sesuai kondisi dan kemampuan lahan, serta mengatur
sistem irigasi atau drainase sehingga aliran air tidak tergenang

2. Memberikan perlakuan khusus kepada limbah, seperti diolah terlebih dahulu sebelum
dibuang agar tidak mencemari lingkungan

3. Melakukan reboisasi pada lahan-lahan yang kritis, tandus dan gundul, serta melakukan
sistem tebang tanam untuk kelestarian hutan agar fauna yang ada didalamnya dapat terjaga

4. Menciptakan dan menggunakan barang-barang yang ramah lingkungan

10
5. Melakukan pengawasan dan evaluasi terhadap perilaku para pemegang hak
pengusahaan hutan (HPH) agar tidak mengeksploitasi hutan secara besar-besaran

Selain kelima upaya tersebut adapula strategi yang dapat dilakukan oleh perluasan
perkebunan kelapa sawit gna mengurangi emisi karbon adalah dengan menyeleksi lahan yang
akan digunakan untuk penanaman kelapa sawit. Lahan-lahan yang diprioritaskan adalah yang
terdegradasi atau terlantar. Jika industri perkebunan kelapa sawit menanam kelapa sawit dilahan
gambut, maka mereka harus mengidentifikasi karakteristik lahan gambut yang digunakan dan
memanajemen air. Manajemen air penting untuk perkembangan akar, menjaga kondisi tanah
gambut agar tidak kering dan mudah terbakar, serta berperan penting dalam menurunkan emisi
karbon karena dapat mereduksi dekomposisi dari lahan gambut dan subsiden tanah.

Bagi industri perkebunan kelapa sawit yang ingin membuka lahan dengan memanfaatkan
hutan tidak diperbolehkan membakar lahan hutan. Dengan begitu peningkatan emisi karbon di
udara dapat dikurangi. Agar residu pemupukan, asap dan limbah pabrik industri kelapa sawit
tidak mencemari lingkungan maka langkah yang dapat dilakukan oleh industri perkebunan
kelapa sawit berupa pemupukan yang rendah, penanaman pohon kelapa sawit disekitar pabrik
untuk mengurangi gas karbon dari asap pabrik, dan pengolahan yang bertahap terhadap limbah
kelapa sawit. Selain itu industri kelapa sawit diwajibkan untuk mengikuti undang-undang dan
kebijakan yang dibuat oleh pemerintah Indonesia guna mengurangi dampak kerusakan
lingkungan terutama di Sumatera Utara.

11
BAB 3 KESIMPULAN

Kelapa sawit telah terkenal dan menjadi komoditi perdagangan pasar dunia. Luas
areal perkebunan kelapa sawit yang secara nasional mencapai hampir 10 juta Ha dimana sekitar
18 % berada di Provinsi Sumatera Utara, telah menjadikan Indonesia sekaligus menduduki posisi
pertama sebagai negara dengan areal perkebunan kelapa sawit terluas di dunia. Berdasarkan
provinsi, Sumatera Utara merupakan provinsi penghasil minyak sawit terbesar kedua di
Indonesia dengan total produksi mencapai 3,99 Juta Ton (atau sekitar 20% dari produksi
nasional) dan dengan luas lahan sebesar 1.2 Juta Ha atau mencapai 18% dari luas lahan kelapa
sawit nasional. Industri kelapa sawit termasuk industri yang boros dan tidak akrab lingkungan.
Dampak dari perluasan perkebunan kelapa sawit antara lain, yaitu : laju deforestasi, kepunahan
habitat seperti, orangutan, badak sumatera, dan gajah sumatera yang telah terancam punah,
penggunaan bahan kimia, penurunan kualitas lahan, perubahan suhu, peningkatan kebutuhan air.

Solusi yang dapat dilakukan adalah penerapan kebijakan sebagai mengurangi dampak
perluasan perkebunan kelapa sawit, yaitu : pengembangan produk dan peningkatan nilai tambah
produk kelapa sawit, transparansi dari informasi pembangunan dan perluasan industri
perkebunan kelapa sawit, promosi dan advokasi serta kampanye publik tentang industri kelapa
sawit yang berkelanjutan mendorong penerapan prinsip dan kriteria yang ada pada
Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO), pengembangan pada mekanisme resolusi konflik,
pengembangan aksesibilitas petani terhadap sumber daya, penguatan dan penegakan hukum pada
pembangunan industri kelapa sawit berkelanjutan melalui penerapan Indonesian Suistanable
Palm Oil (ISPO) dengan tata kelola perizinan, pengendalian konversi hutan alam primer dan
lahan gambut. Selain itu, perlu adanya upaya pelestarian lingkungan yaitu : melakukan
pengolahan tanah sesuai kondisi dan kemampuan lahan serta mengatur sistem irigasi atau
drainase, memberikan perlakuan khusus kepada limbah, melakukan reboisasi, serta melakukan
sistem tebang tanam untuk kelestarian hutan agar fauna yang ada didalamnya dapat terjaga,
menciptakan dan menggunakan barang-barang yang ramah lingkungan, melakukan pengawasan
dan evaluasi terhadap perilaku para pemegang hak pengusahaan hutan (HPH)

12
DAFTAR PUSTAKA

Amalia, R., Dharmawan, A. H., Prasetyo, L. B., & Pacheco, P. (2019). Perubahan tutupan lahan
akibat ekspansi perkebunan kelapa sawit: Dampak sosial, ekonomi dan ekologi. Jurnal
Ilmu Lingkungan, 17(1), 130-139

Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara. Luas Tanaman dan Produksi Kelapa Sawit
Tanaman Perkebunan Rakyat menurut Kabupaten/Kota 2019-2021.
https://sumut.bps.go.id/indicator/54/204/1/luas-tanaman-dan-produksi-kelapa-sawit-
tanaman-perkebunan-rakyat-menurut-kabupaten-kota.html (Di akses 6 Juni 2023)

Dharmayanthi, E., Zulkarnaini, Z., & Sujianto, S. (2018). Dampak alih fungsi lahan pertanian
padi menjadi perkebunan kelapa sawit terhadap lingkungan, ekonomi dan sosial budaya
di desa Jatibaru kecamatan Bunga Raya kabupaten Siak. Dinamika Lingkungan
Indonesia, 5(1), 34-39.

Pretty. 15 Kota Terpanas di Indonesia Tahun 2022. https://www.rukita.co/stories/kota-terpanas-


di-indonesia-2022/ (Di akses 6 Juni 2023)

Sood, M. (2021). Hukum Lingkungan Indonesia. Jakarta : Sinar Grafika.

Suriana, N. (2019). Budi Daya Tanaman Kelapa Sawit. Jakarta : Bhuana Ilmu Populer.

Suryadi, S., Dharmawan, A. H., & Barus, B. (2020). Ekspansi Perkebunan Kelapa Sawit:
Persoalan Sosial, Ekonomi dan Lingkungan Hidup (Studi Kasus Kab. Pelalawan,
Riau). Jurnal Ilmu Lingkungan, 18(2), 367-374.

Tarigan, A. E. F. 2016. DAMPAK PERKEBUNAN KELAPA SAWIT TERHADAP


KELESTARIAN LINGKUNGAN. PROSIDING SEMINAR NASIONAL “Strategi
Penguatan Kebijakan Pengelolaan Lingkungan Hidup Pada Sektor Perkebunan Kelapa
Sawit” : Universitas Riau

Utami, R., Putri, E. I. K., & Ekayani, M. (2017). Dampak ekonomi dan lingkungan ekspansi
perkebunan kelapa sawit (Studi kasus: Desa penyabungan, kecamatan merlung,
kabupaten tanjung jabung barat, jambi). Jurnal Ilmu Pertanian Indonesia, 22(2), 115-
126.

13
Widodo IT, Dasanto BD. (2010). Estimasi Nilai Lingkungan Perkebunan Kelapa Sawit Ditinjau
dari Neraca Air Tanaman Kelapa Sawit. Journal Agromet Indonesia. 24(1): 2332

Ziaulhaq, W. (2022). Keberadaan Industri Kelapa Sawit terhadap Lingkungan


Masyarakat. Indonesian Journal of Agriculture and Environmental Analytics, 1(1), 1-12.

14

Anda mungkin juga menyukai