Anda di halaman 1dari 11

LADA LAMPUNG DALAM MENYOKONG KOMODITAS

PERDAGANGAN BANTEN PADA ABAD XVI

Disusun Untuk Memenuhi Tugas

Mata Kuliah : Sejarah Indonesia Abad XVI-XVII

Dosen Pengampu : Dr. Alamsyah, S.S, M.Hum

Disusun Oleh :

ANNISA KHAIRANI ZAHRA

13030121120021

PROGRAM STUDI SEJARAH

FAKULTAS ILMU BUDAYA

UNIVERSITAS DIPONEGORO

2022
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Kawasan Nusantara sudah sejak lama menjadi simpul perdagangan dunia yang
menghubungkan pelabuhan-pelabuhan dagang di Timur Tengah dan Asia Timur. Salah satu jalur
perdagangan dunia dikenal dengan istilah jalur sutra yang menghubungkan kawasan Asia dengan
Eropa. Keberadaan jalur perdagangan ini menjadikan pelabuhan-pelabuhan dagang di Sumatra,
Ternate-Tidore, dan Banda menjadi dikenal pedagang Cina. Selanjutnya, para pedagang dari
Jawa dan Melayu juga memegang peranan penting dalam niaga dunia.1 Lada (Piper nigrum Linn)
adalah tanaman yang termasuk dalam suku Piperaciae dan berasal dari Malabar, India.
Diperkirakan, lada meluas di Indonesia sejak abad 1 SM.. Tanaman lada cocok dengan iklim
tropis dengan curah hujan yang cukup banyak namun airnya tidak menggenang. Selain itu, lada
tidak cocok dengan iklim musim kering yang lama, sehingga memerlukan kelembapan udara.
Lada biasanya ditanam di tempat yang landai dan tidak terlalu berlumpur namun sedikit berpasir.
Iklim dan jenis tanah seperti ini menunjukkan ciri yang cocok pada lingkungan Indonesia,
terutama Palembang, Lampung, dan Banten yang dikenal sebagai produsen terbesar lada.2

Perdagangan rempah-rempah, khususnya lada, berkembang pesat sejak Portugis


menguasai Malaka pada tahun 1511. Jawa sebagai pusat lada tidak lepas dari perhatian Portugis
di Malaka. Hubungan antara Portugis (Malaka) dengan Sunda mulai ditingkatkan pada 1512.
Jayadewata sebagai penguasa Sunda mengirim utusan yang dipimpin Ratu Samiam kepada
Alfonso d’Albuquerque sebagai wakil Portugis di Malaka. Hubungan intens antara Portugis dan
Sunda berlangsung pada tahun 1522, berupa perjanjian kerja sama pertahanan yang ujung-
ujungnya pada lada. Lampung sejak masa klasik merupakan kawasan penting penghasil lada bagi
kerajaan di Jawa. Pada beberapa sumber sejarah banyak diuraikan bahwa lada merupakan barang
komoditas yang menjadi incaran dunia. Banten merupakan pusat redistribusi lada ke Cina atau

1
Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 2009. Sejarah Nasional Indonesia III.
Jakarta: Balai Pustaka. Hlm. 5-6
2
Koestoro, Lucas Partanda, dan Rumere, Yos. 2004. “Rempah Timur dalam Kuliner Barat: Upaya
Penyediaan dan Penggunaannya”. Medan: Balai Arkeologi Medan. Hlm. 61
Eropa dari wilayah-wilayah kekuasaannya. Banten sebagai pusat lada telah berlangsung sejak
masa Kerajaan Sunda sebelum kerajaan Islam terbentuka.3

B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana aktivitas perdagangan di Lampung pada abad ke-16?
2. Bagaimana relasi komoditas lada di Lampung dengan Kesultanan Banten?
3. Bagaimana Peran Lada Lampung dalam Menyokong Komoditas Perdagangan
Banten?

3
Swantoro, P. 2019. Perdagangan Lada Abad XVII: Perebutan “Emas” Putih dan Hitam di Nusantara.
Jakarta: PT Gramedia. Hlm. 8-9
BAB II

PEMBAHASAN

1. Aktivitas Perdagangan di Lampung pada Abad Ke-16

Wilayah Lampung yang berada di Selatan Pulau Sumatera menjadikannya secara tidak
langsung menjadi penghubung antara Pulau Jawa dan Sumatera, membuatnya menjadi wilayah
yang sangat strategis sebagai tempat untuk untuk berhubungan dengan daerah-daerah lain di
nusantara. Hal ini justru menarik para penguasa untuk datang serta menguasai wilayah ini.
Lampung mempunyai iklim yang optimum bagi pengembangan area usaha pertanian dan
perikanan secara ekonomis. Lada adalah salah satu komoditi perdagangan unggulan dari wilayah
Nusantara. Permintaan akan lada di pasar Eropa dan Timur Tengah begitu tinggi membuat
daerah-daerah penghasil lada dapat menaikkan harga jual dan wilayah produksinya meluas.
Pencarian rempah membuat para penjelajah Eropa mengarungi lautan pada abad ke-16.4

Lada Lampung dikenal dengan istilah Lampung black papper sudah menjadi primadona
komoditas rempahrempah dan diekspor ke berbagai penjuru dunia sejak abad ke-XVI. Pada masa
kejayaannya, lada merupakan bahan rempah yang sangat diminati oleh banyak orang yang
berasal dari bangsa Arab, Timur Asing hingga Eropa sebagai citarasa masakan, sehingga banyak
suadagar asing berdatangan ke Nusantara, khususnya wilayah penghasil rempah. Lada Lampung
banyak dijual melalui Pelabuhan Banten, mengingat Lampung pernah dikuasai oleh Kesultanan
Banten. Kejayaan Lampung sebagai salah satu penghasil lada terbesar di Nusantara hingga
mendapat julukan Lampung tanoh lado melekat lebih dari setengah abad lampau. Sebait lirik
lagu daerah berjudul Tanoh Lado merekam ingatan kolektif kejayaan Lampung sebagai
penghasil lada di masa lalu. Bumi Ruwa Jurai sudah sejak dahulu terkenal dengan komoditas
rempah- lada/lado. Lada/lado merupakan rempah yang tak terlepas dalam sejarah Lampung telah
melalui perjalanan panjang di masa lalu, lada juga membuat Lampung mudah menjalin
hubungan dengan daerah lain dan menarik para penguasa untuk berkompetisi mengusai wilayah
ini yang terbagi dalam perdagangan lada 3 masa yaitu masa Kesultanan Banten, masa
kependudukan VOC dan masa Hindia Belanda. Lada Lampung sudah terkenal karena menjadi

4
Imron, Ali. 2016. Sejarah Pembentukan Provinsi Lampung. Bandar Lampung: Universitas Lampung. Hlm.
9
komoditas andalan rempah dan diekspor ke berbagai negara sejak abad ke-16 yang mana pada
saat itu Lampung dibawah kekuasaan Kesultanan Banten.5

Pada abad ke-15, Malaka berhasil tampil menjadi aktor utama dalam lalu lintas
perdagangan dan pelayaran di Nusantara. Pada akhir abad ini ratusan pedagang yang berasal dari
Arab, Persia, India, China, dan juga wilayah terdekat berbondong-bondong berkunjung ke
Malaka setiap tahunnya untuk melakukan aktivitas dagang. Ramainya perdagangan di wilayah
Nusantara khususnya Malaka waktu itu memberikan pemandangan yang menakjubkan bagi
bangsa Eropa yang pernah singgah di Malaka. Pada abad ke-16, banyak hal-hal menarik terjadi
dalam dunia perdagangan Nusantara yang diawali dengan jatuhnya Malaka ke tangan Portugis
pada tahun 1511. Segera setelah berhasil menduduki Malaka, Portugis mulai menerapkan
kebijakan-kebijakan perdagangan yang cukup memberatkan bagi para pedagang yang singgah,
sehingga muncul jalan alternatif lain untuk menghindari Malaka. Jalur perdagangan yang semula
melewati selat Malaka beralih ke selat Sunda. Hal ini, mengakibatkan munculnya pelabuhan-
pelabuhan baru yang mengambil peran Malaka sebagai pelabuhan penting dalam dunia
perdagangan interberasonal. Contohnya seperti pelabuhan Banten yang menjadi pelabuhan
penting dan masuk jaringan pelayaran dan perdagangan jalur sutra. Selain itu ada pelabuhan
Sunda Kelapa, Jepara, Gresik, Aceh, Ternate, Banda, Gowa, Banjarmasin, dan Palembang yang
juga mengambil alih sebagian peran pelabuhan Malaka.6

Raja-raja pesisir baik secara aktif maupun pasif selalu mendapatkan keuntungan dari
pajak perdagangan maupun pelayaran di pelabuhan-pelabuhan yang dikuasainya. Secara akitif
para raja biasanya mengadakan pelayaran dan perdagangan secara pribadi. Bisanya raja
mengutus saudagar pilihannya dan bisa juga nahkoda untuk menjalankan perdagangan atas nama
sultan. Secara pasif, raja-raja tersebut memperoleh keuntungan dengan bermain saham dalam
perdagangan atau melalui sistem partnership yang disebut dengan commenda oleh bangsa Eropa.
Hal ini terjadi di Indragiri yang memiliki kantor dagang di Malaka. Melalui wakil-wakilnya yang
berada di Malaka, raja menanamkan saham dalam kapal maupun perahu yang akan berlayar
melakukan perdagangan. Melihat besarnya kebutuhan modal dalam perdagangan laut, maka
dipastikan para pedagang laut bukanlah berasal golongan kelas bawah. Hal ini dikarenakan para
pedagang yang turut dalam pelayaran dagang harus membayar pajak serta sewa tempat. Secara
5
Ibid., Hlm. 11
6
Adeng. 2010. Pelabuhan Banten Sebagai Jalur Sutera. Jurnal Patanjala. Vol 2. No 1. Hlm. 6
otomatis dengan mempertimbangkan biaya pajak dan sewa tempat, maka barang dagangan yang
dibawa tidak dalam jumlah yang sedikit. buhan-pelabuhan yang ada di pesisir pantai. Pelabuhan
sebagai tempat kapal-kapal dagang berlabuh juga merupakan tempat berkumpulnya para
pedagang untuk melakukan aktivitas perdagangan. Barang-barang yang berasal dari daerah
pedalaman maupun dari luar, dikumpulkan di pelabuhan untuk saling ditukarkan. Setelah itu
kemudian disalurkan kembali ke daerah pedalaman.7

2. Hubungan Komoditas Lada di Lampung dengan Kesultanan Banten

Pada masa Kesultanan Banten, kesultanan ini melakukan kuasa penuh atas daerah
penghasil lada, seperti Lampung, Palembang, Bengkulu dan Jambi. Ketiga nama terakhir
akhirnya melepaskan diri dari pengaruh Banten. Sementara, Lampung dalam jangka waktu yang
cukup lama dipengaruhi dan memberi surplus pada Kesultanan Banten sebagai pemasok lada
berkualitas yang memiliki nilai jual tinggi. Bahkan karena begitu kuatnya pengaruh Banten
terhadap Lampung, marga-marga dan keratuan yang ada di Lampung sangat tunduk dan hormat
pada Kesultanan Banten tanpa sedikitpun melakukan perlawanan walau sesungguhnya mereka
sangat ditekan untuk menanam dan menghasilkan panen lada yang berlimpah dan berkualitas
kepada pihak Banten.8

Banten saat menguasai wilayah Lampung dan menjadikan Lampung sebagai wilayah
penghasil lada berkualitas, dapat membangun pelabuhan yang besar, sedangkan Lampung
sebagai wilayah penghasil lada dan memiliki nilai jual tinggi itu sendiri tidak terlihat perubahan
dalam hal gaya hidup masyarakat, fasilitas maupun infrastruktur wilayahnya saat adanya
penguasaan Banten di wilayah Lampung. Banten sebagai pusat lada hampir tidak dapat
memenuhi permintaan dunia. Wilayah Banten di Pulau Jawa tidak dapat memenuhi kebutuhan
lada dunia. Pihak Banten memanfaatkan hubungan dengan Lampung untuk memenuhi
permintaan perdagangan dunia terhadap lada. Situasi sosiopolitik di Lampung memungkinkan
Banten tidak perlu melakukannya dengan mengerahkan kekuatan militer, tetapi cukup dengan
mengeluarkan peraturan. Sebagai wilayah kekuasaan Banten, Lampung berperan besar dalam
memasok kebutuhan lada bagi Banten. Eksploitasi ekonomi dan tata niaga lada diciptakan
Banten terhadap Lampung. Sebagai bentuk pengendalian terhadap tata niaga lada, penguasa
7
Ibid., Hlm. 7
8
Masroh. 2015. Perkebunan dan Perdagangan Lada Di Lampung Tahun 1816-1942. Malang. Jurnal Sejarah
Dan Budaya : Jurnal sejarah, Budaya, dan Pengajarannya. Vol. 9. Nomor 1. Hlm. 6
Banten menempatkan jenjen (jinjam atau jenang) di Semangka (Kota Agung). Karena hanya
berurusan dengan soal lada, jenjen tidak mencampuri urusan pemerintahan. Dengan posisi
demikian, elit lokal Lampung yang terpencar-pencar yang disebut “adipati” secara hirarkis tidak
berada di bawah perintah jinjam.9

Tugas utama jenjen adalah mengelola penerimaan lada dari Lampung dan
mendistribusikannya ke Bandar Banten. Selanjutnya, Sultan Banten menugaskan para punggawa
sebagai wakilnya di Tulang Bawang, Sekampung, dan Semangka. Daerah penghasil lada yang
utama di Lampung adalah Tulang Bawang, Sekampung, Semangka, dan Seputeh. Perniagaan
lada yang semakin meningkat pada gilirannya menumbuhkan kota-kota dagang di pesisir
Lampung. Di Kota Teluk Betung, para pedagang berkumpul membawa barang-barang, setelah
melalui aliran sungai dan pantai antara lain, Pelabuhan Sukamenanti, Bandar Balak, Bandar
Lunik, dan Bandar Teba. Tumenggung Nata Negara yang ditunjuk Banten bertindak sebagai
adipati di Teluk Betung, yang memerintah 3000 penduduk.10

Marga atau mego berkembang menjadi wilayah kekuasaan-kekuasaan kecil yang


bersaing satu sama lainnya, hal ini membuat tak ada satu pemimpin yang kuat untuk menyatukan
margamarga mereka berdikari sendiri. Akibat dari banyaknya marga ini, membuat pihak dari luar
wilayah Lampung sangat mudah dan leluasa menaklukkan bumi Lampung. Daerah sepanjang
Sungai Komering dikuasai Palembang, sedangkan Banten berkuasa di Selebar dan Semangka
Adanya persaingan antara marga satu dengan marga yang lain ini membuat para pemuka marga
berbondong-bondong mencari dan mendapatkan dukungan pada penguasa yang lebih kuat yaitu
Kesultanan Banten, Dengan cara melakukan Seba. Seba adalah sebutan untuk meraka yang
melakukan perjalanan menuju Kesultanan Banten dan disana dan disana mendapatka tanda
pengakuan dari Kesultanan Banten.11

Marga-marga bersaing secara ketat untuk mendapatkan perlindungan dan pengakuan dari
penguasa (Banten) dan hal ini disetujui oleh Kesultanan Banten seperti yang dijelaskan pada
9
ijal, Andi Syamsu. 2011. Dua Pelabuhan Satu Selat: Sejarah Pelabuhan Merak dan Pelabuhan Bakauheni
di Selat Sunda 1912-2009. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya Program Studi Sejarah Universitas
Indonesia.Hlm. 40
10
Gonggong, Anhar (eds.). 1993. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di Daerah
Lampung. Jakarta: Depdikbud. Hlm. 28
11
Sumargono, S., Pratama, R. A., Perdana, Y., Lestari, N. I., & Triaristina, A. (2022). PERAN LADA LAMPUNG
MENYOKONG KOMODITAS PERDAGANGAN BANTEN. Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah, 8(1), 60-69.
Hlm. 7
paragraf sebelumnya para pemuka/pemimpin marga melakukan seba untuk mendapatkan gelar
adat tertinggi dalam marganya, selain itu juga para pemuka marga yang melakukan seba ini juga
diberikan bermacam perhiasan/perlengkapan adat sebagai simbol pemberian gelar tersebut dari
Sultan Banten. Sebagai timbal baliknya Sultan Banten mengelurkan piagam yang berisi tentang
masyarakat Lampung harus menanam pohon lada dan menjual keseluruhan hasil panen lada
kepada Banten dan patuh terhadap peraturan yang dibuat oleh Sultan Banten. Hal inilah yang
membuat masyarakat Lampung tidak melakukan perlawanan/pemberontakan saat dikuasai
karena Kesultanan Banten mampu memahami keinginan orang-orang Lampung yang
menginginkan keamanan dan pengakuan untuk keberlanjutan kepemimpinan marganya pada saat
itu, sehingga dapat terjadi relasi (hubungan) yang baik antara Kesultanan Banten dengan Marga-
marga di Lampung.12

3. Peran Lada Lampung dalam Menyokong Komoditas Perdagangan Banten

Lampung memiliki lahan yang sangat subur untuk semua jenis tanaman, baik tanaman
industri, hingga tanaman pangan. Lada Lampung adalah lada hitam, Masroh dalam jurnalnya
mengatakan hasil produksi wilayah Lampung akan lada hitam merupakan yang terbesar di
wilayah Sumatera. Sejak awal abad masehi berbagai pemukiman berupa kota-kota pelabuhan
bermunculan di Kepulauan Indonesia, khususnya di lokasi-lokasi strategis 13

Salah satu kota pelabuhan yang strategis dan termasuk salah satu kota dagang dengan
pasokan rempah-rempahnya yang besar yakni lada, adalah Banten. Hal ini diperkuat oleh laporan
Tome Pires (1513), yang mana Banten digambarkan adalah kota pelabuhan yang ramai. Lada
yang tumbuh subur di tanah Lampung sendiri merupakan lahan tanam lada bagi Banten.
Penarikan tata niaga lada sangat di intensifkan. Hal ini semakin membuat Lampung dijadikan
sebagai lada Lampung menjadi pusat komoditas utama bagi Banten. Berkat adanya pasokan lada
yang berlimpah dari Lampung Kesultanan Banten dapat membangun pelabuhan yang besar dan
megah, membeli kapalkapal baru untuk mengangkut lada. Selain itu Sultan Banten, para

12
Ibid., Hlm. 9
13
Marihandono, Djoko & Bondan Kanumoyoso. 2016. Rempah, Jalur Rempah dan Dinamika Masyarakat
Nusantara. Jakarta : Direktorat Sejarah. Direktorat Jenderal Kebudayaan. Kementerian Pendidikan dan
Kebudayaan. Hlm. 32
bangsawan dan saudagar hidup dalam kemewahan. Beberapa dari bangsawan memiliki rumah
mewah, kapal dan budak.14

Hal ini menunjukkan bahwa Lada merupakan barang pokok yang perannya sangat penting
dalam perdagangan Kesultanan Banten. Bandar atau Pelabuhan Banten sendiri menjadi ramai
disebabkan karena Malaka ketika itu jatuh ke tangan Portugis, sehingga bangsa–bangsa Eropa
yang tidak memiliki kekuatan melawan bangsa portugis kala itu seperti Belanda, mengambil rute
lain menyisir selat Sunda. Selain bangsa Eropa bangsa-bangsa lain dari Asia seperti Cina, Arab
(Islam) dan India juga memilih jalur baru untuk menghindari kontak konflik langsung dengan
portugis. Pada Tahun 1511, Malaka jatuh ditangan Portugis menyebabkan pedagang-pedagang
Islam enggan ke Malaka dan memindahkan rute pelayaran mereka melalui selat sunda, akibatnya
Banten menjadi ramai, berdatangan pedagang-pedagang dari luar : Barat (Portugis, Inggris, dan
Belanda) Asia (Arab, India, Cina) dan sebagainya”.15

Bandar Banten pada abad ke16 sampai 19 merupakan salah satu bandar Nusantara yang
bertaraf Internasional. Letaknya yang strategis antara Malaka dan Gresik telah menjadikannya
sebagai salah satu bandar Internasional yang berpengaruh di Nusantara baik secara sosial, politik,
ekonomi, budaya maupun agama.16 Salah satu puncak kejayaan Banten sendiri adalah pada masa
pemerintahan Sultan Maulana Yusuf yang melanjutkan apa yang sudah dirintis ayahnya yakni
Sultan Maulana Hasanuddin, beberapa yang dilakukannya adalah meningkatkan keamanan
dengan benteng-benteng pertahanan, mengembangkan kota hingga meningkatkan sektor
pertanian, mengingat hasil rempah-rempah dari Banten sangat dibutuhkan oleh pedagang asing.17

BAB III

KESIMPULAN

Perdagangan rempah-rempah, khususnya lada, berkembang pesat sejak Portugis


menguasai Malaka pada tahun 1511. Jawa sebagai pusat lada tidak lepas dari perhatian Portugis

14
Lubis, Nina H. . 2003. Banten dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta : LP3ES. Hlm.
26
15
Tegamoan Nitipradjo Arifin, 2010. Hubungan Lampung dan Banten. Bandar Lampung : CV. Mitra Media
Pustaka. Hlm. 9
16
Fauziyah, Siti. 2009. Peran Orang Cina dalam Perekonomian Kesultanan Islam Banten Abad XVI-XVIII.
Jurnal Al-Qalam. Vol 26. No 3. Hlm. 393
17
Adeng. 2010. Pelabuhan Banten Sebagai Jalur Sutera. Jurnal Patanjala. Vol 2. No 1. Hlm. 84
di Malaka. Hubungan antara Portugis (Malaka) dengan Sunda mulai ditingkatkan pada 1512.
Jayadewata sebagai penguasa Sunda mengirim utusan yang dipimpin Ratu Samiam kepada
Alfonso d’Albuquerque sebagai wakil Portugis di Malaka. Hubungan intens antara Portugis dan
Sunda berlangsung pada tahun 1522, berupa perjanjian kerja sama pertahanan yang ujung-
ujungnya pada lada. Lampung sejak masa klasik merupakan kawasan penting penghasil lada bagi
kerajaan di Jawa. Lampung memiliki lahan yang sangat subur untuk semua jenis tanaman, baik
tanaman industri, hingga tanaman pangan. Lada Lampung adalah lada hitam, Masroh dalam
jurnalnya mengatakan hasil produksi wilayah Lampung akan lada hitam merupakan yang
terbesar di wilayah Sumatera. Sejak awal abad masehi berbagai pemukiman berupa kota-kota
pelabuhan bermunculan di Kepulauan Indonesia, khususnya di lokasi-lokasi strategis

Banten saat menguasai wilayah Lampung dan menjadikan Lampung sebagai wilayah
penghasil lada berkualitas, dapat membangun pelabuhan yang besar, sedangkan Lampung
sebagai wilayah penghasil lada dan memiliki nilai jual tinggi itu sendiri tidak terlihat perubahan
dalam hal gaya hidup masyarakat, fasilitas maupun infrastruktur wilayahnya saat adanya
penguasaan Banten di wilayah Lampung. Banten sebagai pusat lada hampir tidak dapat
memenuhi permintaan dunia. Wilayah Banten di Pulau Jawa tidak dapat memenuhi kebutuhan
lada dunia. Pihak Banten memanfaatkan hubungan dengan Lampung untuk memenuhi
permintaan perdagangan dunia terhadap lada. Lada yang tumbuh subur di tanah Lampung sendiri
merupakan lahan tanam lada bagi Banten. Penarikan tata niaga lada sangat di intensifkan. Hal ini
semakin membuat Lampung dijadikan sebagai lada Lampung menjadi pusat komoditas utama
bagi Banten. Berkat adanya pasokan lada yang berlimpah dari Lampung Kesultanan Banten
dapat membangun pelabuhan yang besar dan megah, membeli kapal-kapal baru untuk
mengangkut lada.

DAFTAR PUSTAKA

Adeng. 2010. Pelabuhan Banten Sebagai Jalur Sutera. Jurnal Patanjala. Vol 2. No 1.
Fauziyah, Siti. 2009. Peran Orang Cina dalam Perekonomian Kesultanan Islam Banten Abad
XVI-XVIII. Jurnal Al-Qalam. Vol 26. No 3.
Gonggong, Anhar (eds.). 1993. Sejarah Perlawanan terhadap Imperialisme dan Kolonialisme di
Daerah Lampung. Jakarta: Depdikbud.

Ijal, Andi Syamsu. 2011. Dua Pelabuhan Satu Selat: Sejarah Pelabuhan Merak dan Pelabuhan
Bakauheni di Selat Sunda 1912-2009. Tesis. Depok: Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya
Program Studi Sejarah Universitas Indonesia.
Imron, Ali. 2016. Sejarah Pembentukan Provinsi Lampung. Bandar Lampung: Universitas
Lampung.
Koestoro, Lucas Partanda, dan Rumere, Yos. 2004. “Rempah Timur dalam Kuliner Barat: Upaya
Penyediaan dan Penggunaannya”. Medan: Balai Arkeologi Medan.
Lubis, Nina H. . 2003. Banten dalam Pergumulan Sejarah : Sultan, Ulama, Jawara. Jakarta :
LP3ES.
Marihandono, Djoko & Bondan Kanumoyoso. 2016. Rempah, Jalur Rempah dan Dinamika
Masyarakat Nusantara. Jakarta : Direktorat Sejarah. Direktorat Jenderal Kebudayaan.
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Masroh. 2015. Perkebunan dan Perdagangan Lada Di Lampung Tahun 1816-1942. Malang.
Jurnal Sejarah Dan Budaya : Jurnal sejarah, Budaya, dan Pengajarannya. Vol. 9. Nomor 1
Poesponegoro, Marwati Djoened, dan Nugroho Notosusanto. 2009. Sejarah Nasional Indonesia
III. Jakarta: Balai Pustaka.
Sumargono, S., Pratama, R. A., Perdana, Y., Lestari, N. I., & Triaristina, A. (2022). PERAN
LADA LAMPUNG MENYOKONG KOMODITAS PERDAGANGAN
BANTEN. Candrasangkala: Jurnal Pendidikan dan Sejarah, 8(1), 60-69.

Swantoro, P. 2019. Perdagangan Lada Abad XVII: Perebutan “Emas” Putih dan Hitam di
Nusantara. Jakarta: PT Gramedia.
Tegamoan Nitipradjo Arifin, 2010. Hubungan Lampung dan Banten. Bandar Lampung : CV.
Mitra Media Pustaka.

Anda mungkin juga menyukai