Anda di halaman 1dari 16

UNIVERSITAS INDONESIA

Perkembangan Perdagangan di Kesultanan Aceh Pada abad ke-16

TUGAS

Diajukan sebagai salah satu syarat untuk memenuhi Mata Kuliah Sejarah
Maritim Indonesia

Harrist Riansyah
1906365542

FAKULTAS ILMU PENGETAHUAN BUDAYA


PROGRAM STUDI ILMU SEJARAH
DEPOK
2021
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Aceh merupakan salah satu wilayah Indonesia yang memiliki sejarah panjang pada
masyarakatnya. Hal ini bisa terlihat dari kerajaan-kerajaan atau kesultanan-kesultanan
yang pernah berdiri disana dan mampu bertahan beratus-ratus tahun dan mampu
bersaing dengan berbagai kerajaan disekitarnya dan juga bangsa-bangsa barat yang
datang untuk mencari rempah-rempah dan memonopoli perdagangan di Kawasan Asia
Tenggara terutama di Selat Malaka.

Selat Malaka merupakan jalur pelayaran sekaligus jalur perdagangan yang


digunakan oleh para pedagang dari daerah barat (Arab,Afrika, Persia, dan Bengal) dan
juga dari Timur (Cina dan Jepang). Para pedagang ini datang menggunakan kapal-kapal
layar yang kemudian berkembang menjadi kapal uap ketika bangsa barat sudah mulai
menguasai atau membuat koloni-koloni di Asia.

Dengan adanya pelayaran melalui Selat Malaka dan juga munculnya pelabuhan-
pelabuhan transito yang diikuti juga dengan adanya kota-kota pesisir pantai sumatera
memunculkan perdagangan dan juga interaksi antara para pribumi dengan para
pendatang yang beberapa dari mereka juga merupakan pedagang. Munculnya berbagai
macam perdagangan ini membuat daerah-daerah yang berada dan yang ingin melalui
Selat Malaka mengalami perkembangan seperti memunculkan kerajaan/ kesultanan di
Nusantara khususnya di pulau Sumatera dan Semenanjung Malaya. Kesultanan seperti
Malaka, Pasai, Kampat Siak, Riau-Linggau mendapatkan banyak pendapatan dari
adanya perdagangan di Selat Malaka.

Pada awalnya Kesultanan Malaka yang memiliki peran dan kekuatan paling besar
di wilayah Selat Malak aini. Namun sejak kedatangan Portugis hingga pada akhirnya
bangsa Portugis mengambil alih kota Malaka pada tahun 1511 dibawah pimpinan
Alfonso de Albuquerque. Penalukkan ini menyebabkan terjadinya pergeseran pada para
pedagang, khususnya pedagang muslim yang biasanya transit atau berdagang di kota
Malaka mulai beralih ke Aceh yang kemudian menjadi pelabuhan ekspor-impor utama
pengganti Malaka di kawasan Selat Malaka. Dan juga pusat perkembangan budaya
Melayu pun mengalami perpindahan yang semula di kota Malaka bergeser ke Johor dan
Aceh.1

Pergesaran para pedangang ini membuat kerajaan Aceh mendapat kesempatan


untuk mendapat keuntungan secara ekonomi ataupun militer. Hal itu juga menjadi
alasan dibuatnya penelitian ini untuk mencari tau keuntungan apa saja yang didapatkan
kerajaan Aceh dari keuntungan dari semakin banyaknya para pedagang yang singgah di
Aceh.

1.2 Rumusan Masalah


a. Bagaimana kondisi perpolitikan Kerajaan-kerajaan sekitar Kesultanan Aceh
pada abad ke-16?
b. Bagaimana kondisi sosial politik di Kesultanan Aceh pada abad ke-16?
c. Bagaimana perdagangan-perdaganagan yang terjadi di kesultanan Aceh pada
abad ke-16?

1.3 Tinjauan Pustaka


Ada beberapa penelitian terdahulu yang membahas mengenai Kesultana Aceh pada
Abad ke-16 antara lain seperti, jurnal yang berjudul “Relasi Islam dan Politik Dalam
Sejarah Politik Aceh Abad 16-17” karya Kamaruzzaman Bustamam Ahmad. Dalam
tulisannya lebih cenderung membahas mengenai peran islam dalam politik di
Kesultanan Aceh yang dimana mengacu pada sumber-sumber yang berasal dari kitab
dan hikayat Aceh yang menjelaskan mengenai silsilah keluarga raja dan juga membahas
peraturan yang berlaku di Kerajaaan.
Dan ada juga jurnal dengan judul “Aceh dan Pembangunan Kepelabuhanan:
perbandingan aspek sejarah dan kontemporari” karya Muhammad Subhan.
Penelitiannya membahas tentang peran pelabuhan-pelabuhan di Aceh dengan
pembangunan dan perkembangan wilayah Aceh dan dalam pembahasannya Aceh
dianggap sebagai sebuah wilayah atau provinsi di Indonesia bukan merupakan
kesultanan atau kerajaan, namun diawal tulisannya ada pembahasan mengenai

1
Leonard Y. Andaya, Selat Malaka: Sejarah Perdagangan dan Etnisitas (Depok: Komunistas Bambu,
2019), Hal. 121.
Pelabuhan-pelabuhan di Aceh pada abad 16-18 yang hanya informasi singkat dan tidak
terlalu mendalam.

Kemudian ada pula jurnal dengan judul “Perekonomian Kerajaan Aceh Darussalam
Era Sultan Iskandar Muda”, karya Zumrotul Muhzinat. Sesuai dengan judulnya jurnal
ini hanya memfokuskan perekonomian zaman berkuasanya Iskandar Muda yang dimana
Iskandar Muda berkuasa di abad ke-17 sehingga periode yang dicakup dalam penelitian
ini berbeda dengan penelitian yang sekarang coba diteliti.

Kebarauan yang penelitian kali ini coba angkat ialah aspek perdagangan yang tentu
saja menyangkut peran Pelabuhan di kesultanan Aceh berbeda dengan penelitan diatas
yang hanya berfokus pada Pelabuhan saja dan juga periodenya yang kontemporer
berbeda dengan penelitian kali ini yang mengambil periode pada abad ke-16 atau lebih
tepatanya setelah penalukkan Malaka oleh Armada Portugis pada tahun 1511.

1.4 Metode Penelitian

Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Sejarah yang terdiri
dari empat tahap, yakni tahap heuristik, verifikasi (kritik sumber), interpretasi, dan
historiografi. Tahap pertama adalah heuristik, yakni proses pencarian dan
pengumupulan data-data sumber sejarah. Pada tahap ini peneliti telah mencari dan
mengumpulkan beberapa sumber, baik sumber primer maupun sumber sekunder.
Sumber primer atau juga sering disebut sumber asli merupakan bukti tertulis atau yang
dibuat selama periode yang teliti berlangsung.

Tahapan kedua adalah Verifikasi atau juga disebut kirtik sumber. Dalam tahapan
ini dilakukan pemeriksaan dan menguji keaslian sumber yang diperoleh. Kritik sumber
sendiri dibagi menjadi dua. Kritik ekstern atau autentisitas dan kritik intern atau
kredibilitas. Kritik ekstern atau autentisitas merupakan penyeleksian terhadap keaslian
sebuah dokumen, meliputi kertas, tinta, gaya tulisan, bahasa, huruf, dan semua
penampilan luar. Sedangkan kritik intern atau kredibilitas merupakan penyeleksian
terhadap kebenaran isi dokumen.

Tahapan ketiga adalah interpretasi atau penafsiran. Pada tahap ini dilakukan proses
memaknai dan memahami arti sebenarnya yang terdapat dalam sumber-sumber sejarah
yang sudah dilakukan kritik sumber. Pada tahap ini diperlukan wawasan yang luas dan
pemahaman yang mendalam terkait dengan tema yang diteliti agar mempermudah
pada tahap ini.

Kemudian tahapan terakhir adalah historiografi atau penulisan. Pada tahap ini
dilakukan penulisan sejarah. Pada tahap ini peneliti dituntut untuk merangkai kata-kata
dari sumber-sumber sejarah yang sudah diolah sebelumnya dan menghasilkan tulisan
yang bersifat akademis
BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Kondisi Geopolitik Selat Malaka pada Abad ke-16

Memasuki abad ke-16, dengan jatuhnya kota Malaka kepada bangsa Portugis
memperlihatkan mulai timbul keinginan dari para bangsa barat untuk melakukan
perdagangan maupun pembuatan koloni di Asia Tenggara pada abad-abad selanjutnya.
Perdagangan sendiri yang paling utama dari abad ke 16 sampai abad 18 adalah rempah-
rempah, yang merupakan komoditas yang dicari-cari oleh para bangsa barat yang
mendorong mereka untuk mengarungi samudera. Rempah-rempah sendiri yang
sebenarnya produksinya lebih sedikit dibandingkan produksi beras, tekstil, tuak, dan
ikan asin telah menjadi produk yang memiliki harga jual yang tinggi.2

Kota Melaka sendiri di tahun 1511 merupakan salah satu dari kota di dunia yang
paling pluralistik; sebagian besar dari penduduknya adalah orang Jawa, India Selatan,
Gujarat, Champa, Tagalok, dan orang yang berasal dari setiap pelabuhan di Asia.

Portugis setelah berhasil menguasai kota Malaka, pada tahun 1513 sampai 1530
orang Portugis mendapat keuntungan besar, mendominasi pasaran Eropa dengan
membawa masuk rata-rata lebih dari 30 ton cengkih dan 10 ton pala, sementara jalur
Timur Tengah tetap memasukkan jumlah yang sedikit dan tidak ajeg.3

Alasan mengapa bangsa Portugis menganggap Malaka merupakan tempat yang


penting dikarenakan Malaka merupakan pelabuhan besar untuk perdagangan komoditas
berharga di dunia. Jung-jung dari cina yang datang membawa barang dari asalnya
seperti emas, berlian, dan kain sutra. Maupun kapal-kapal yang berasal dari Kepulauan
Nusantara yang lain (Jawa, Kalimantan, Maluku, Sumatera) yang banyak membawa
rempah-rempah seperti lada, pala, dan cengkeh. Dan alasan lainnya ialah karena Malaka

2
Didik Pradjoko, & Bambang Budi Utomo, ATLAS PELABUHAN PELABUHAN BERSEJARAH DI INDONESIA.
(Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan
dan Kebudayaan Republik Indonesia, 2013), Hal. 20.
3
Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2: Jaringan Perdagangan Global.
(Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), Hal. 19.
merupakan kota yang banyak ditempati oleh para pedagang muslim yang merupakan
musuh utama dari bangsa Portugis.4
Sekalipun jatuhnya Malaka merupakan hal yang penting, peristiwa itu hanya
sebentar saja menganggu perdagangan orang Asia Tenggara. Selanjutnya, mereka
menyebarkan perdagangan dan pedagangnya di beberapa kota pelabuhan lainnya. 5
Orang-orang Portugis menimbulkan suatu keadaan di mana perdagangan menjadi
tersebar di beberapa pusat lainnya. Patani, Johor, Pahang, Aceh, Banten, merupakan
pelabuhan-pelabuhan yang paling banyak mendapatkan keuntungan dari jatuhnya
Malaka.6

Hal itu disebabkan karena pedagang-pedagang yang biasanya berasal dari Persia,
India, Cina, dan daerah-daerah lainnya yang biasanya singgah ke kota Malaka, mulai
menghindari kota itu. Para pedagang itu pindah dari Malaka dikarenakan politik
Portugis yang memaksakan sistem monopoli kepada para pedagang yang sudah terbiasa
dengan sistem perdagangan bebas. Para pedangang ini pun mencoba jalur baru melalui
Selat Sunda demi menghindari praktek monopoli Portugis. Dengan beralihnya para
pedagang itu melewati Selat Sunda membuat Banten menjadi tempat transit baru bagi
para pedagang dari penjuru dunia. Namun seiring datangnya bangsa Belanda pada tahun
1619 yang berhasil merebut Jayakarta yang pada saat itu dipimpin oleh Wijayakrama
dan mengganti namanya menjadi Batavia, membuat Batavia menjadi pusat baru politik
dan perdagangan.7

Kehancuran Malaka dan pelayaran niaga orang Islam yang pertama kali dilakukan
oleh Portugis tidak berakibat meluasnya agama Kristen tetapi justru terjadi konsolidasi
kekuasaan dalam tangan dinasti-dinasti Muslim yang sanggup dan bersedia untuk
melawan ancaman itu. Aceh dan Banten dibangun sebagai pusat-pusat Muslim yang
anti-Portugis di tahun 1520-an. Sedangkan kondisi di kota Malaka sendiri, penduduk
Malaka berkurang seperempatnya setelah direbut Portugis pada tahun 1511 dan hanya
bisa dikembalikan ke keadaan semula dalam masa kini. 8 Dengan adanya penaklukkan
bangsa Portugis atas kota Malaka membuat banyaknya daerah-daerah yang sebelumnya
4
NAM, Portugese Documents on Malaca. (Kuala Lumpur: National Archieves of Malaysia, 1993), Hal.
85,87. Dikutip dari Dr. Edward L. Poelinggomang, Op.cit.,Hal 58-59.
5
Ibid, Hal 314.
6
Ibid, Hal 242.
7
M.D. Poesponegoro. Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. (Jakarta: Balai Putaka, 1984), Hal. 339-340.
8
Anthony Reid. Op.cit., Hal 350
menjadi kekuasaan Malaka seperti Kampar dan Siak, mulai memisahkan diri dari
Malaka.

2.2 Kondisi Sosial Politik Kesultanan Aceh pada Abad ke-16

Pada mulanya Aceh masih merupakan kerajaan taklukkan dari Kerajaan Pidie, akan
tetapi berkat Sultan Mughyat Syah Aceh mampu melepaskan diri dari Pidie dan
mendirikan kerajaannya sendiri. Dan setelahnya kerajaan Aceh sangat terpengaruh
dengan ditaklulkkannya Malaka oleh bangsa Portugis.

Kesultanan Aceh pada awal abad ke-16 mulai mengalami kemajuan yang
signifikan. Kemajuan kesultanan Aceh sendiri terlihat dari meluasnya daerah
kekuasaannya dibawah kepemimpinan Ali Mughyat Syah yang berkuasa dari tahun
1515-1530. Pada masa ini Aceh mampu mendapatkan kerjaaan-kerajaan pelabuhan
yang berada di pesisir seperti Daya (1520), Pidie (1521), dan Samudera Pasai (1524).
Hal ini dilakukan Aceh dikarenakan daerah kekuasaanya pada awalnya terletak di
pedalaman tepatnya di sekitar Sungai Aceh. 9 Dengan menguasai daerah pesisir
diharapkan kerajaan Aceh mendapatkan keuntungan ekonomis dan politik di kawasan
Sumatera dan Semanjung Malaya. Meski khusus untuk Pidie ada alasan agama karena
Pidie bersahabat dengan Portugis yang tidak beragama Islam.10

Pada tahun 1529 Kesultanan Aceh juga sempat merencanakan serangan kepada
Portugis di Malaka, namun urung terjadi karena pemimpin mereka Ali Mughyat Syah
wafat pada 1530.11 Takluknya kota Malaka dari Portugis selain membawa keuntungan
ekonomi bagi Aceh juga mendapatkan pengaruh politk yang kuat terutama terhadap
sesama negara Melayu karena menurunnya kekuasaan kerajaan Malaka secara tidak
langsung pusat kebudayaan Melayu pindah ke Aceh yang mampu mengembangkan
budaya Melayu selama 150 tahun setelahnya.12

Pada abad ini juga Aceh memiliki hubungan diplomatik dengan kerajaan-kerajaan
Islam di Timur Tengah seperti, Turki, Abysinia, dan Mesir. Adanya hubungan
diplomatik dengan kerajaan-kerajaan di Timur Tengah Aceh mendapatkan dukungan
militer guna memerangi Portugis di Malaka. Hal ini terlihat Ketika Aceh pada akhirnya
9
Leonard Y. Andaya, Op. Cit., hal. 130-131.
10
M. D. Poesponegoro. Op.cit., hal. 335
11
Ibid, hal. 30.
12
Leonard Y Andaya, Op. Cit., hal. 155.
berperang dengan Portugis pada tahun 1537, 1547, dan 1568 dalam ketiga perang
tersebut selain ada tentara yang berasal dari kesultanan Aceh ada juga pasukan Turki
dan juga dibantu dengan peralatan perang yang berupa meriam-meriam berukuran kecil
dan besar. Selain itu berperang melawan Portugis adanya keuntungan militer ini juga
dimanfaatkan Aceh pada abad ini untuk memperluas wilayahnya dengan mengadakan
penyerangan ke Aru pada tahun 1564 dan Perak pada tahun 1575.13

Sementara itu hubungan politik Aceh dengan daerah di Sumatera lain khususnya
daerah pesisir barat dibangun Ketika Sultan Alauddin Riayat Syah berhasil menguasai
daerah Barus yang dipimpin oleh suami dari saudara perempuannya. Atas keberhasilan
penalukkan tersebut ia (suami adik perempuannya) diangkat menjadi Sultan Barus yang
diikuti pengangkatan dua putra Sultan Alauddin Riayat Syah menjadi Sultan Aru
(Sultan Ghori) dan Sultan Pariaman (Sultan Mughal).14

Jumlah Penduduk Aceh pada abad ini sekitar 70.000 orang berada di kotanya dan
7.500 diantaranya merupakan orang asing. Orang-orang asing sendiri tinggal di berbagai
kawasan di kota. Ada satu kawasan yang dihuni 3.500 saudagar Pasai, ada juga desa
yang dihuni 3.000 orang saudagar asing yang ditempat tinggal mereka ada Gudang
untuk menyimpan barang dagangan. Keberagaman yang terdapat di kota ini tidak
terlepas dari keberhasilan Aceh yang mampu menyerap tradisi dari negeri-negeri yang
ditaklukkan.15

Kondisi pasar-pasar di kota-kota Aceh mayoritas diurus oleh perempuan, para


lelaki hanya berada di pasar jika barang-barang dagangan yang dihasilkan dan berkaitan
dengan urusan laki-laki, seperti senjata dan perkakas. Meski demikian di pasar-pasar
Aceh banyak ditemukan para pedagang laki-laki asing yang berjualan yang dimana
orang-orang tersebut berpakaian seperti orang Turki, Nagapattinam, Gujarat, Tanjung
Kormorin, Kalikut, Srilanka, dan berbagai tempat lain di dunia. Para saudagar ini
menjual barang dagangannya yang berupa sutra, benang, kapas, porselin, obat-obatan,
dan batu mulia.16

13
M. D. Poesponegoro. Loc. Cit.
14
Ibid, hal. 336.
15
Leonard Y Andaya, Op. Cit., hal. 132-133.
16
Anthony Reid, Op. Cit., hal. 109.
Kehidupan para bangsawan pribumi di Aceh kerap membedakan diri dengan orang
awam seperti membiarkan kuku ibu jari dan kelingking tumbuh Panjang, sebagai bentuk
ungkapan kepada orang lain bahwa mereka tidak pernah melakukan kerja-tangan. 17
Sedangkan rumah para bangsawan dan Raja pun sedikit berbeda dengan rumah rakyat
biasa. Perbedaannya terdapat pada bangunannya yang lebih besar, tinggi, dan Istimewa
meski bahan-bahan yang digunakan untuk membangun rumah sama.18

2.3 Perdagangan di Kesultanan Aceh pada Abad ke-16

Wilayah antara Aceh hingga Pedir terkenal dengan daerah penghasil daging, beras,
anggur, dan merica dengan kekhasannya tersendiri. 19 Meski tidak memiliki komoditas
yang banyak dan tidak terlalu diminati oleh para pedagang asing tetapi Aceh tetap
disinggahi oleh banyak pedagang dari berbagai negeri, Aceh masih diminati oleh para
pedagang sebagai tempat transit mereka mengingat lokasinya yang berada di Selat
Malaka dan bersaing dengan pelabuhan-pelabuhan transito lain yang berada di Selat
Malaka.

Penalukkan kota Malaka oleh Portugis seperti yang sudah dibahas sebelumnya
membuat pusat perdagangan mulai bergeser yang semula berpusat pada kota Malaka
pindah ke kota-kota di sekitar Selat Malaka. Hal ini terjadi karena Portugis melakukan
monopoli di kota Malaka dan ketidakmampuan Portugis dalam mengamankan jalur
perdagangan sepanjang Selat Malaka dari bahaya perompak sehingga banyak para
saudagar yang mengalihkan rute pelayarannya yang semulanya melalui Selat Malaka
justru menggunakan rute baru yakni melalui pantai barat Sumatera hingga Koromandel
dan dari kambay ke hingga Laut Merah.20

Jatuhnya Malaka ke tangan Portugis dimanfaatkan dengan baik oleh Aceh dengan
tetap menjadi Pasai sebagai pelabuhan penting dan tetap menggunakan mata uang pasai
yang sudah mapan sebagai alat pembayaran dalam perdagangan. Uang pasai sendiri
17
Anthony Reid, Op. Cit., hal. 143.
18
John Davis, The Voyage and Works of john Davis the Navigator. (London: Hakluyt Society, 1880), hal.
148, diambil dari Anthony Reid, Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah di Bawah
Angin. (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2014), hal. 76.
19
Armando Cortesao, Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut Merah ke Cina & Buku
Francisco Rodrigues. (Yogyakarta: Penerbit Ombak, 2018), hal. 172.
20
Leonard Y Andaya, Op. Cit., hal.133.
berupa koin-koin kecil yang terbuat dari timah dan terbuat dari cap dari raja yang
berkuasa dan ada juga koin-koin emas yang disebut drama.21

Motif tetap menggunakan mata uang Kerajaan Pasai ini mengingat kerajaan Pasai
sebelum dikuasai oleh Aceh merupakan kerajaan kaya karena banyaknya pedagang
muslim singgah disana setelah ditalukkannya Malaka dan juga adanya perang Aceh
dengan Pedir sehingga banyak pedagang muslim yang berasal dari Rum, Turki, Arab,
Persia, Gujarat, Keling, Melayu, Jawa, dan Siam memilih Pasai sebagai tempat berlabuh
selain kondisi yang strategis juga aman dari adanya perang yang terjadi di daerah lain di
sekitar Selat Malaka.22

Selain itu keberhasilan Aceh dalam melakukan penanaman benih lada dari Malabar. 23
Hal ini sangat menguntungan bagi Aceh mengingat pada abad ini terjadi lonjakan
permintaan lada, cengkeh, dan pala di pasar internasional. 24 Selain itu Sultan Aceh yang
berkuasa yaitu Sultan Alauddin Riayat Syah al-Mukamil (1537-1568) dan Sultan
Iskandar Muda (1607-1636) selalu mengusahakan menarik para pedagang asing untuk
singgah di Aceh dengan memastikan pasokan lada, timah, gajah. Kedua Sultan tersebut
juga menalukkan daerah-daerah penghasil lada di pesisir barat dan timur Sumatera, serta
penghasil timah yaitu Perak dan Kedah di Semenanjung Malaya.25

Pada tahun 1560 diperkirakan ada sekitar 1.250 hingga 2.000ton lada yang berasal
dari Sumatera dan diangkut melalui rute pantai barat Sumatera hingga ke Mesir 26, hal ini
tentu saja memberikan kerugian bagi Portugis karena rute melalui Selat Malaka terlihat
semakin dihindari oleh para pedagang terutama pedagang muslim yang memilih
menggunakan rute baru yang dinilai lebih murah dibandingkan melalui Selat Malaka.

Sedangkan kondisi pasar-pasar di kota-kota Aceh mayoritas diurus oleh perempuan,


para lelaki hanya berada di pasar jika barang-barang dagangan yang dihasilkan dan
berkaitan dengan urusan laki-laki, seperti senjata dan perkakas. Meski demikian di
pasar-pasar Aceh banyak ditemukan para pedagang laki-laki asing yang berjualan yang
dimana orang-orang tersebut berpakaian seperti orang Turki, Nagapattinam, Gujarat,
21
Armando Certesao, Op. Cit., hal. 179
22
Ibid, hal. 177.
23
Leonard Y Andaya, Loc. Cit.
24
Anthony Reid, Op. Cit., hal. 3.
25
Leonard Y Andaya, Op. Cit, hal. 136-137.
26
Anthony Reid, Op. Cit, hal 26-27.
Tanjung Kormorin, Kalikut, Srilanka, dan berbagai tempat lain di dunia. Para saudagar
ini menjual barang dagangannya yang berupa sutra, benang, kapas, porselin, obat-
obatan, dan batu mulia.27

Komunitas-komunitas pedagang Asing di Aceh ini ada yang mampu memberikan


peranan penting dalam perkembangan perdagangan di Aceh. Salah satunya pedagang
India spesifiknya dari pesisir Koromondel. Para pedagang Koromondel pada abad ke-16
dan ke-17 menjadikan Aceh sebagai pusat perdagangan mereka di Asia Tenggara. Para
pedagang Koromondel ini membawa beras, besi, baja, nila, beberapa budak dan juga
tekstil yang memang daerah Koromondel terkenal dengan tekstil mereka yang
berkualitas dari segi desain dan warna. Barang-barang dagangan yang mereka bawa
ditukar dengan lada, timah, gading, gajah, cengkih, buah pala, dan bunga pala.

Ada juga pedagang muslim Gujarat yang setelah Malaka diambil alih Portugis pada
1511 mengalihkan perdagangannya ke Aceh karena mereka bisa mendapatkan
komoditas seperti lada, bunga pala, cengkih, timah, emas, dan komoditas lainnya.

Pada akhir abad ke-16 para penguasa dan bangsawan Golkanda turut berinvestasi
dalam pelayaran dan perdagangan. Hal ini yang kemudian mendorong para orang
muslim khususnya orang Persia dan Golkanda menyediakan sumber daya untuk
melakukan pelayaran dan perdagangan yang terbentang dari Koromondel Utara dan
berpusat di Masulipatnam di pelabuhan-pelabuhan Asia Tenggara khususnya Aceh.
Aceh pun menghargai arus perdagangan dari Golkanda dan mengirimkan agen
permanen di Masulipatnam, begitu pula dengan Golkanda yang menempatkan agen di
Aceh. 28

BAB III

27
Anthony Reid, Ibid., hal. 109.
28
Leonard Y Andaya, Op. Cit., hal. 137-138.
KESIMPULAN

Kesultanan Aceh yang pada mulanya hanya kerajaan taklukkan kerjaan Pidie
dibawah pimpinan Sultan Ali Mughayat Syah yang mampu memisahakan Aceh dari
kekuasaan Pidie dan menjadi awal mula perkembangan Kerajaan Aceh.

Penalukkan Malaka oleh Portugis pada tahun 1511 menandai kemajuan Kesultanan
Aceh pada abad tersebut yang kemudian mencapai masa keemasannya pada abad ke-17
dibawah Sultan Iskandar Muda. Sistem monopoli yang diberlakukan Portugis di kota
Malaka membuat banyak pedagang terutama pedagang muslim mencoba rute alternatif
melewati pesisir barat Sumatera demi menghindari Selat Malaka.

Kesultanan Aceh mendapat keuntungan yang cukup besar dari beralihnya pelayaran
pada pedagang internasional khususnya pedagang yang berasal dari barat (Persi, India,
Arab). Ini dimulai pada Sultan Ali Mughyat Syah yang mampu memperluas wilayah
Aceh dengan menalukkan kerajaan-kerajaan pesisir di dekatnya. Dan juga para
penerusnya yang mampu membangun hubungan dengan kesultanan Islam di Timur
Tengah dan mendapatkan bantuan militer dari Kesultanan Islam dari Timur Tengah
untuk mendukung ekspansi militernya ke daerah di Semenanjung Malaya dan Sumatera.

Sedangkan dalam hal perdagangan Aceh mampu mendapatkan peranan penting di


abad ini selain karena beralihnya rute pelayaran para pedagang, faktor lain yaitu
berhasil pembudidayaan lada yang benihnya di impor dari Malabar dan dibudidaya di
daerah kekuasaanya yang dilakukan karena melonjaknya permintaan lada di pasar
Internasional.

Selain itu kesultanan Aceh mampu memastikan keamanan para pedagang dan juga
menjamin pasokan rempah-rempah di daerah kekuasaanya. Hal inis terjadi karena
Kesultanan Aceh yang mampu menyerap budaya wilayah taklukkannya dan mampu
menyesuaikan kondisi di tiap wilayahnya sehingga bisa memaksimalkan potensi di tiap
wilayah kekuasaannya.

Kondisi pasar-pasar di Aceh pun bisa dilihat dengan mayoritas perempuan yang
berada di pasar pedagang laki-laki hanya ditemukan jika berkaitan dengan alat-alat
perkakas dan senjata atau para saudagar asing terutama yang berasal dari India dan
Persia.
Menurut bebarapa laporan terdapat komunitas-komuitas pedagang asing yang
dimana meraka banyak tinggal dikawasan kota dengan di tiap rumahnya terdapat
gudang penyimpanan untuk menyimpan barang dagangannya. Bahkan berkembanganya
perdagangan di Aceh ini membuat Kerajaan seperti Golkanda sampai mengirimkan
perwakilannya di Aceh begitu pula pihak Aceh menempatakan perwakilannya di
Golkanda demi melancarkan arus perdaganagan di kedua kerajaan tersebut.

Dengan begitu bisa dilihat bahwa pada kurun abad ke-16 kesultanan Aceh
mengalami peningkatan volume perdagangan internasional yang diawali karena di
taklukkannya Malaka oleh bangsa Portugis yang membuat efek berantai ke berbagai
aspek, yang dimana perubahan tersebut dimanfaatkan oleh para penguasa Aceh pada
abad ini sehingga mendapatkan keuntungan yang besar yang di abad ke-17 mencapai
masa keemasan Kesultanan Aceh.
DAFTAR PUSTAKA

Buku:
 Andaya, L. Y. (2019). Selat Malaka, Sejarah Perdagangan dan Etnisitas.
Depok: Komunitas Bambu.
 Cortesao, A. (2018). Suma Oriental Karya Tome Pires: Perjalanan dari Laut
Merah ke Cina & Buku Francisco Rodrigues. (A. Perkasa, & A. Pramesti,
Trans.) Yogyakarta: Penerbit Ombak.
 Poelinggomang, D. E. (2012). Bahan Ajar Sejarah Maritim Dunia. Makassar:
LEMBAGA KAJIAN DAN PENGEMBANGAN PENDIDIKAN (LKPP).
 Poesponegoro, M. D. (1984). Sejarah Nasional Indonesia Jilid III. Jakarta: Balai
Pustaka.
 Pradjoko, D., & Utomo, B. B. (2013). ATLAS PELABUHAN PELABUHAN
BERSEJARAH DI INDONESIA. Jakarta: Direktorat Sejarah dan Nilai Budaya,
Direktorat Jenderal Kebudayaan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan
Republik Indonesia.
 Reid, A. (2011). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 2:
Jaringan Perdagangan Global. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
 Reid, A, (2014). Asia Tenggara Dalam Kurun Niaga 1450-1680 Jilid 1: Tanah
di Bawah Angin. Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia.
 Ricklefs, M.C. (2008). Sejarah Indonesia Modern. Yogyakarta: Gadjah Mada
University Press.

Jurnal
 Bustamam-Ahmad, K. (2016). Relasi Islam dan Politik dalam Sejarah Politik
Aceh Abad 16-17. Dalam, Al-Tahrir, 16(2).
 Muhzinat, Z. (2021). Perekonomian Kerajaan Aceh Darussalam Era Sultan
Iskandar Muda. Tsaqofah dan Tarikh: Jurnal Kebudayaan dan Sejarah
Islam, 5(2), 73-82.

 Subhan, M. (2010). Aceh dan Pembangunan Kepelabuhanan: perbandingan


aspek sejarah dan kontemporari. Aceh Development International Conference
(ADIC) (pp. 1-16). Kedah Darul Aman: Universiti Utara Malaysia.

Anda mungkin juga menyukai