Anda di halaman 1dari 6

64

BAB V

SIMPULAN DAN SARAN

A. Simpulan

1. Bahwa pada sekitar abad ke-XIV dan permulaan abad ke- XV terdapat lima

jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan perdagangan

Teluk Bengal yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan, Sri Langka,

Birma (kini Myanmar), dan pesisir Utara dan Barat Sumatera. Kedua, jaringan

perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang meliputi pesisir

Timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan (untuk

memudahkan, kita sebut jaringan perdagangan Laut Cina Selatan). Keempat,

jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir Barat Luzon, Mindoro,

Cebu, Mindanao, dan pesisir Utara Kalimantan (Brunei Darussalam). Kelima,

jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara, Kepulauan

Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian Selatan Sumatera. Jaringan

perdagangan yang di sebut terakhir berada di bawah hegemoni Majapahit.

Sejarah jalur lautan mempunyai arti penting bagi sejarah awal Indonesia dan

masa-masa berikutnya, karena mengandung episode penting dalam sejarah

politik dan sejarah kebudayaan yang terkait erat dengan perdagangan dan jalur

perdagangan.

Dengan pulau dan lautan yang lebih luas dari daratannya, Indonesia

mempunyai letak yang strategis dan potensial bagi pertumbuhan dan

perkembangan kebudayaan. Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan

tersebut antara lain didorong faktor lautan yang menjadi jalur pelayaran

internasional. Dengan jalur pelayaran tersebut, terjadilah jaringan perdagangan

64
65

antar-pulau dan antar-suku bangsa yang kemudian berkembang menjadi

jaringan perdagangan internasional atau perdagangan antar-bangsa

Ternate sebagai bandar jalur sutera mengalami masa jaya pada abad ke- 16 M.

Pada masa itu Ternate berhasil meluaskan kekuasaannya di seluruh wilayah

yang terbentang antara Sulawesi dan Irian Jaya. Ke Barat kekuasaannya diakui

sampai ke pesisir Timur Sulawesi termasuk Sulu dan Kepulauan Banggai, ke

Selatan Ternate meluaskan kekuasaannya ke Seram Barat (Jazirah Hoamal) dan

kepulauan Ambon. Kekuasaan yang begitu jelas didukung oleh sumber daya

manusia dan sarana yang cukup kuat, seperti perahu, junk, atau kapal sebagai

alat untuk menjangkau antar-pulau yang membutuhkan cengkeh. Tanpa

dukungan yang kuat tidak mungkin mampu mengadakan ekspansi politik. Hal

ini erat kaitannya dengan peranan Ternate sebagai bandar jalur sutera.

Munculnya Ternate sebagai bandar jalur sutera berkaitan erat dengan interaksi

jalur dagang darat maupun jalur dagang laut .

2. Bahwa setelah Islam masuk, seorang Sultan dibantu oleh para Imam

(pemimpin dalam agama Islam, pembantu sultan dalam bidang agama Islam),

pada masa ini kedudukan para Imam menjadi sangat penting. Mereka juga

sering dipilih menjadi anggota Soasiwa (Soa: kampung, siwa: sembilan atau

dalam pengertiannya 9 sengaji). Tidak jarang mereka turut menentukkan nasib

kesultanan sekaligus ikut berperan dalam perang melawan para bangsa asing,

selain sebagai penetap hukum keagamaan karena merekalah yang paling

mengerti hukum-hukum agama. Di Ternate, Raja adalah kunci utama

perdagangan, mengumpulkan cengkeh dari tangan masyarakat sebagai hasil

pajak, dan hanya memberikan sedikit imbalan kepada masyarakat, atau dalam
66

keadaan tertentu mengambil dengan paksa atau menyita hasil bumi itu

untuknya. Sehingga perdagangan rempah-rempah tidak membawa keuntungan

bagi masyarakat biasa, yang mendapat untung besar hanyalah raja dan

bawahan-bawahannya.

Jogugu (menteri) dan Fala Raha (kata ini secara harfiah berarti empat rumah

dan dianggap di sini sebagai Raja Penasehat) terpilih untuk membantu raja

dalam menjalankan kerajaan. Fala Raha merupakan perwakilan dari empat klan

bangsawan yang merupakan pilar penting dari Kerajaan Ternate. Dapat

dikatakan bahwa Fala Raha merupakan pengganti empat momole pada periode

pra-Islam. Selain itu ada beberapa posisi yang dibentuk untuk membantu raja

seperti Nyagimoi Bobato (Dewan 18), Sabua Raha (empat hakim agung), Heku

Cim (angkatan laut dan darat), Salahakan (Gubernur), dan Sangaji.

Kepercayaan atau keagamaan penduduk di daerah Maluku dan Ternate

sebagian besar masih animisme dan dinamisme dan sebagian kecil pada lapisan

atas terutama golongan raja dan bangsawan berikut anggota birokratnya sudah

menganut agama Islam. Golongan atau lapisan masyarakat seperti telah

digambarkan oleh Antonio Galvao dari mulai kolano atau sultan setelah Islam

masuk dan tersebar di daerah itu lambat laun makin bertambah dan bukan

penduduk asli saja tetapi sudah bercampur dengan etnik lainnya akibat

kedatangan pedagang-pedagang dari etnis lainnya yang berdagang di situ.

Perhubungan yang erat sekali berasal dari Jawa atau kebudayaan Jawa masuk

dan bercampur dengan kebudayaan setempat seiring dengan pertumbuhan

jaringan pelayaran dan perdagangan.

Seluruh sistem pertanian, industri, dan sosial di Maluku didasari pada


67

pemahaman bahwa tanah atau lahan dan pengusahaan lahan, termasuk juga laut

dan ikan di dalamnya, adalah milik masyarakat. Artinya setiap penduduk

mempunyai hak untuk mengelola sistem-sistem ini akan tetapi sebagian dari

hasil panen diserahkan kepada para penguasa. Masyarakat Ternate divariasikan

dalam hal pekerjaan mereka. Karena Ternate terkenal dengan hasil panen

seperti rempah-rempah, dan cengkeh, sebagian besar orang menjadi petani.

Mereka yang biasanya bertanam cengkeh, pala, kenari, dan kayu manis tinggal

di daerah bukit. Sementara orang-orang yang tinggal dekat pantai biasanya

menanam kelapa atau menjadi nelayan. Selain itu, beberapa dari mereka adalah

pedagang. Huda yang terbuat dari beras, sagu, atau singkong yang biasanya

dimasak dengan cara tertentu adalah makanan pokok Ternate .

3. Bahwa digunakannya jalur laut ke ”kepulauan rempah-rempah” oleh para

pedagang bangsa asing untuk mencapai dan membawa ke pelabuhan-pelabuhan

lain. Karena jalur darat dirasakan tidak aman dan beresiko tinggi selain

berhadapan dengan para perampok, para pedagang yang melewati jalur ini

harus mengeluarkan biaya yang terlalu tinggi belum lagi terjadi pungutan

dalam sepanjang perjalanan oleh orang-orang yang bermukim di wilayah jalur

niaga. Kerajaan atau kesultanan-kesultanan di Maluku sangat mengandalkan

penghasilannya pada sektor perdagangan rempah-rempah. Hingga pada abad

ke-16 M, Ternate berhasil mencapai kejayaannya. Menurut catatan sejarah

tentang dunia perniagaan cengkeh merupakan niaga utama yang mempengaruhi

dunia perniagaan karena mendatangkan keuntungan yang sangat besar. Jadi

tidaklah mengherankan para pedagang terdorong untuk menemukan wilayah

produsen rempah-rempah, walaupun jalan menuju tujuan ke Maluku tidaklah


68

mudah.

Pengaruh rempah-rempah telah mengangkat perekonomian Ternate, pengaruh

rempah-rempah juga membuat percaturan politik antara kerajaan maupun

kesultanan daerah sekitar Maluku saling memperluas wilayahnya. Kedatangan

para bangsa asing khususnya bangsa Eropa pada abad ke-16, telah membawa

perubahan dalam perniagaan rempah-rempah. Kebanyakan dari mereka ingin

menguasai dan memonopoli perdagangan dengan cara politik bujuk rayu dan

adu domba antar-kesultanan hingga menyebabkan kerajaan atau kesultanan-

kesultanan di Maluku terperangkap dengan siasat itu. Sejalan dengan

penyebaran barang perdagangan yang diduga dibuat di dalam maupun di luar

kesultanan, maka didapatkan sistem ekspor dan impor. Sistem ekspor

dimaksudkan adalah penjualan barang-barang ke luar wilayah dari Kesultanan

Ternate. Baik berupa hasil pertanian dan non-pertanian. Sedangkan sistem

impor adalah penjualan barang-barang yang didatangkan dari luar wilayah

kekuasaan Kesultanan Ternate, baik berupa bahan makanan seperti beras,

benda seni seperti keramik yang didatangkan dari Jawa dan Cina, dan peralatan

sehari-hari.

B. Saran

Pembahasan sejarah maritim khususnya perdagangan rempah-

rempah di Kesultanan Ternate dalam sejarah Indonesia ini, juga merupakan

sebuah periode atau masa yang cukup menarik untuk dikaji dalam ilmu

sejarah, karena dalam masa ini tidak hanya membangun nilai-nilai

nasionalisme, tetapi juga memberikan nilai-nilai dan pengetahuan bagaimana

awal pembangunan kekuatan ekonomi maritim Indonesia. Nilai-nilai tersebut


69

sangat baik manakala diberikan kepada peserta didik dalam bentuk

pembelajaran sejarah lokal wilayah pesisir. Pemberian pembelajaran sejarah

maritim berbasis sejarah lokal diharapkan dapat membentuk bentuk prilaku

para peserta didik yang memiliki watak disiplin, loyalitas yang tinggi dan

ketekunan dalam bekerja selaras dengan perkembangan kearifan lokal (basis

maritim).

Anda mungkin juga menyukai