Anda di halaman 1dari 12

BAB II

KESULTANAN TERNATE PADA AWAL ABAD KE-17

A. Deskripsi Geografis dan Potensi Ekonomi Wilayah Ternate Sejak

Abad ke-16

Ternate muncul sekitar abad ke-13 M sekitar tahun 1257 karena

permusyawarahan antara 3 kerajaan di wilayah Ternate yang ingin mengakhiri

pertikaian di antara mereka, yang bisa membawa pada kerugian masing-masing

hingga terjadilah kemufakatan dengan terpilihnya Momole Cico sebagai pucuk

pimpinan kerajaan. Setelah menjadi penguasa tunggal atas ketiga komunitas

tersebut, Cico mengubah gelarnya menjadi Kolano.

Wilayah Ternate mulai ramai dikunjungi para pedagang dari Jawa

dan Melayu sekitar permulaan abad ke-14 M, menyusul setelahnya yaitu para

pedagang dari luar wilayah Nusantara. Sejarah mencatat agama Islam datang

ke Ternate pada masa kepemipinan Kolano Marhum. Akan tetapi proses

Islamisasi di Kesultanan Ternate terjadi setelahnya yaitu pada masa Sultan

Zainal Abidin. Tahun pun terus berganti, Ternate kemudian berkembang

menjadi kerajaan/kesultanan terbesar di Maluku ini dibuktikan dengan dapat

dikuasainya 72 pulau yang selalu membayar upeti kepada Kesultanan Ternate

yakni terjadi pada masa kepemimpinan Sultan Baabullah (Alwi, 2005: 14).

Setelah berakhirnya masa Baabullah menjadi Sultan Ternate lambat

laun Kesultanan Ternate mengalami kemunduran yang siginifikan ini bisa

diasumsikan dengan tidak banyak cakapnya sultan-sultan di Ternate sehingga

2220
23

memudahkan bangsa asing, yakni Portugis, Spanyol, dan Belanda yang secara

silih berganti memonopoli perdagangan rempah-rempah dan memegang

kekuasaan atas wilayah Kesultanan Ternate.

Letak Ternate yang dekat dengan laut mengakibatkan Alfred Thayer

Mahan, seorang ahli yang membahas pengaruh laut terhadap sejarah,

menyatakan bahwa apabila keadaan pantai suatu negeri memungkinkan orang

turun ke laut maka penduduk negeri itu akan bergairah mencari hubungan ke

luar untuk berdagang, kecenderungan ini selanjutnya memunculkan kebutuhan

untuk memproduksi komoditasi. Meskipun letak Ternate dekat dengan pantai,

bukanlah hasil laut yang jadi primadona perdagangan saat itu. Melainkan

rempah-rempah yang merupakan hasil dari perkebunan. Pendapat Mahan

tersebut mengacu pada dua hal penting, yaitu kondisi wilayah dan penduduk.

Kondisi wilayah bukan hanya menyangkut letak dan keadaan alam tetapi juga

kedudukannya dalam dunia perdagangan. Sementara yang terakhir menyangkut

matapencaharian penduduk serta pemerintahan (Alwi, 2005: 20).

Menurut pemahaman penulis bahwa pada masa-masa awal

kerajaankerajaan yang berada di Nusantara memiliki dua corak yaitu, kerajaan

yang bercorak maritim karena letaknya yang berada di pesisir pantai, dan

kerajaan yang bercorak agraris karena letaknya yang berada di pedalaman.

Kerajaan maritim biasanya lebih menitik beratkan kehidupannya pada

perdagangan yaitu suatu ciri yang erat kaitannya dengan kenyataan bahwa para

pedagang lebih sesuai hidup dalam masyarakat kota bercorak maritim. Ciri

kerajaan maritim ini biasanya dimiliki oleh kerajaan-kerajaan Islam.


24

Sebaliknya kerajaan yang bercorak agraris dalam kehidupan ekonominya lebih

menitik beratkan pada pertanian, sedangkan kekuatan militernya lebih dititik

beratkan pada angkatan darat. Ciri ini biasanya dimiliki oleh kerajaan-

kerajaaan pada zaman Indonesia Hindu. Namun, tidak semua kerajaan pada

zaman Indonesia-Hindu bercorak agraris, contoh kerajaan Majapahit

merupakan kerajaan yang bercorak campuran agraris-maritim.

Maluku Utara adalah daerah kepulauan yang terletak pada lintasan

garis Khatulistiwa dan berada pada 124º Bujur Timur dan 3º Lintang Selatan.

Ada sekitar 353 pulau besar dan kecil baik yang berpenghuni maupun yang

belum berpenghuni di wilayah ini. Pulau terbesarnya dan paling utama adalah

Halmahera, menyusul pulau-pulau penting lainnya seperti Obi, Sula, Morotai,

Bacan, Makian, Ternate, dan Tidore. Luas wilayah Maluku Utara mencapai

32.000 km², sementara kawasan lautnya sebesar 107.381 km². Di sebelah Utara

kawasan ini berbatasan dengan Samudera Pasifik, di sebelah Selatan dengan

Laut Seram, di sebelah Timur dengan Laut Halmahera, dan di sebelah Barat

dengan Laut Maluku. Wilayah kota Ternate terletak antara 0° - 2° Lintang

Utara dan berada pada posisi 126° - 128° Bujur Timur, dengan luas wilayah

249,75 km², seluruh wilayah daerah ini dikelilingi laut, dengan batas-batasnya

meliputi: Sebelah Timur dengan Selat Halmahera dan Sebelah Barat dengan

Laut Maluku (Kementerian Dalam Negri, 1992: 37).

Wilayah kota Ternate merupakan daerah kepulauan karena

wilayahnya terdiri dari delapan buah pulau, lima pulau berukuran sedang, dan

tiga pulau lainnya berukuran kecil yang hingga sekarang belum dihuni
25

penduduk. Nama dan luas pulau tersebut serta kategorinya seperti pada uraian

berikut :

1. Pulau Ternate (110,7 km²/ dihuni)

2. Pulau Hiri (12,4 km²/ dihuni)

3. Pulau Moti (24,6 km²/ dihuni)

4. Pulau Mayau (78,4 km²/ dihuni)

5. Pulau Tifure (22,1 km²/ dihuni)

6. Pulau Maka (0,50 km²/ tidak dihuni)

7. Pulau Mano (0,50 km²/ tidak dihuni)

8. Pulau Gurida (0,55 km²/ tidak dihuni) (Kementerian Dalam Negri, 1992:

41)

Nama Maluku pada awalnya hanya menunjuk kepada sebuah mata

rantai lima pulau kecil yaitu Ternate, Tidore, Morotai, Bacan, dan Makian yang

membentang sepanjang 25 mil2 dan berada hanya 5 mil2 dari pantai pesisir

pulau yang relatif cukup besar yaitu Jailolo (6,950 mil2) yang dewasa ini

disebut Halmahera. Letaknya di sebelah Utara Khatulistiwa dan arah ke

Selatan dari Filipina. Kepulauan kecil ini yang memiliki jumlah daratan tidak

kurang dari 200 mil2 pada zaman dahulu dihuni oleh 25.000 jiwa

(dibandingkan dengan 50.000 jiwa dewasa ini). Pemegang peranan di

kepulauan ini adalah pulau kembar Ternate dan Tidore yang masing-masing

luasnya sekitar 40 mil2. Kedua pulau tersebut merupakan gunung berapi yang

menyembul dari dasar laut sampai ketinggian lebih dari satu mil di atas

permukaan laut.
26

Secara alamiah kedua pulau ini pada awalnya merupakan sumber

penghasil cengkeh dunia. Pulau-pulau ini merupakan kedudukan dari para

kaicil (yaitu pemimpin-pemimpin tertinggi atau raja-raja kecil) yang menguasai

kawasan yang membentang ke Barat sampai ke Sulawesi, Mindanao di Utara,

Papua di Timur, Seram, serta Ambon di Selatan (Amal, 2009: 7).

Maluku sebagai daerah yang mendapat julukan “emas hijau”

mempunyai hasil utama dalam bidang pertanian yaitu jagung, sagu, dan padi.

Hasil utama perkebunan berupa kelapa, pala, cengkeh, dan kopi, dalam bidang

kehutanan yaitu kayu putih. Hasil utama perikanan berupa ikan laut, rumput

laut, dan mutiara. Dalam bidang industri antara lain; minyak pala, minyak

kelapa, kayu lapis, dan kayu olahan; bidang pertambangan; minyak bumi,

mangaan, batu perhiasan, dan lain-lain.

Julukan “emas hijau” ini karena komoditi berupa rempah-rempah,

seperti tulisan Tomé Pires dalam bukunya The Suma Oriental of Tomé Pires,21

yang menjelaskan bahwa cengkeh, pala dan bunga pala (fuli) hanya terdapat di

Indonesia bagian Timur dan terdapat dalam jumlah besar, oleh karena itu

cengkeh dapat diupayakan menjadi barang ekspor guna memenuhi kebutuhan

yang selalu berubah, terutama di pasaran Eropa (Hanna dan Alwi, 1996: 18).

Orang-orang Maluku memanfaatkan rempah-rempah sebagai bumbu

penyedap masakan dan untuk pengobatan. Ketika Francis Drake mengunjungi

Ternate, ia dijamu Sultan Baabullah dengan berbagai jenis masakan yang

semuanya diramu dengan aroma cengkeh. Orang-orang Cina, pada zaman

dahulu, menggunakan cengkeh untuk pengobatan dan stimulasi selera makan.


27

Bahkan, mereka percaya bahwa cengkeh dapat meningkatkan kemampuan

seksual manusia.

Pada zaman pemerintahan dinasti Han di Cina, cengkeh digunakan

para hakim untuk melegakan tenggorokan sebelum mengucapkan putusan atau

mejatuhkan hukuman kepada seorang terdakwa. Para punggawa juga

diharuskan mengunyah cengkeh untuk mengharumkan suasana audiensi

mereka atau ketika menghadap kaisar menerima titah, supaya mereka bisa

berbicara dengan suara bagus dan lancar. Di Eropa, selain untuk pengobatan

dan penyedap masakan, cengkeh juga digunakan sebagai parfum. Bubuk

cengkeh dipakai sebagai obat hirup yang biasanya merupakan asesori kalangan

menengah ke atas. Tetapi, karena harganya sangat mahal, ia hanya dapat

dinikmati oleh golongan berduit (Hanna dan Alwi, 1996: 33).

Ternate sama dengan wilayah di Nusantara lainnya, mengenal

musim kemarau dan hujan. Perubahan musim ini bergantung pada keadaan

muson. Musim hujan berlangsung antara November hingga April berkat angin

muson Barat, musim penghujan berakhir pada bulan Mei hingga Oktober

ketika angin muson Barat berhenti dan digantikan oleh angin muson Timur.

Angin muson tidak hanya mempengaruhi perubahan musim tetapi juga

pelayaran dan perdagangan. Perubahan angin yang terjadi di Indonesia setiap

setengah tahun dipengaruhi oleh dua faktor (Hasan, 1998: 9).

Pertama, peredaran bumi mengitari matahari yang menyebabkan

“daerah angin mati” berpindah-pindah dari Lintang Mengkara (Tropic of

Cancer) ke Lintang Padayat (Tropic of Capricorn). Maka, angin pasat


28

Tenggara pada waktu melintas garis Khatulistiwa akan berubah menjadi Barat

Daya, sedangkan apabila angin pasat Timur Laut melintas Khatulistiwa dalam

perjalanan ke Selatan ia akan berubah menjadi angin laut. Faktor kedua ialah

lokasi Indonesia di antara dua kontinen, Asia dan Australia. Iklim panas di

salah satu benua ini akan mengakibatkan suatu tekanan rendah yang cukup

mempengaruhi daerah angin mati tersebut bergeser lebih jauh ke Selatan atau

Utara menurut musimnya sehingga merubah arah angin yang bersangkutan.

Dengan demikian terjadilah angin musim yang berubah tujuan setiap setengah

tahun sehingga angin memutar haluannya (Lombard, 2006: 74).

Perubahan musim ini sudah lama dikenal pelaut-pelaut Nusantara.

Dengan memanfaatkan perubahan angin, pada bulan Oktober kapal-kapal

sudah berangkat dari Maluku menuju pusat-pusat perdagangan di kota-kota

sebelah barat, adapun pada bulan Maret dengan menggunakan angin barat

biasanya dimanfaatkan oleh pedagang yang berada di bagian Barat seperti

Malaka, Riau, Johor, dan Batavia, untuk berlayar ke arah Timur.

B. Deskripsi Singkat Perniagaan Wilayah Ternate Hingga Akhir Abad

ke-16

Hall yakin bahwa pada sekitar abad ke-XIV dan permulaan abad ke-

XV terdapat lima jaringan perdagangan (commercial zones). Pertama, jaringan

perdagangan Teluk Bengal yang meliputi pesisir Koromandel di India Selatan,

Sri Langka, Birma (kini Myanmar), dan pesisir Utara dan Barat Sumatera.

Kedua, jaringan perdagangan Selat Malaka. Ketiga, jaringan perdagangan yang

meliputi pesisir Timur Semenanjung Malaka, Thailand, dan Vietnam Selatan


29

(untuk memudahkan, kita sebut jaringan perdagangan Laut Cina Selatan).

Keempat, jaringan perdagangan Laut Sulu, yang meliputi pesisir Barat Luzon,

Mindoro, Cebu, Mindanao, dan pesisir Utara Kalimantan (Brunei Darussalam).

Kelima, jaringan Laut Jawa, yang meliputi kepulauan Nusa Tenggara,

Kepulauan Maluku, pesisir barat Kalimantan, Jawa, dan bagian Selatan

Sumatera. Jaringan perdagangan yang di sebut terakhir berada di bawah

hegemoni Majapahit. Sejarah jalur lautan mempunyai arti penting bagi sejarah

awal Indonesia dan masa-masa berikutnya, karena mengandung episode

penting dalam sejarah politik dan sejarah kebudayaan yang terkait erat dengan

perdagangan dan jalur perdagangan (Ohorella, 1997: 38).

Dengan pulau dan lautan yang lebih luas dari daratannya, Indonesia

mempunyai letak yang strategis dan potensial bagi pertumbuhan dan

perkembangan kebudayaan. Pertumbuhan dan perkembangan kebudayaan

tersebut antara lain didorong faktor lautan yang menjadi jalur pelayaran

internasional. Dengan jalur pelayaran tersebut, terjadilah jaringan perdagangan

antar-pulau dan antar-suku bangsa yang kemudian berkembang menjadi

jaringan perdagangan internasional atau perdagangan antar-bangsa

Ternate sebagai bandar jalur sutera mengalami masa jaya pada abad

ke- 16 M. Pada masa itu Ternate berhasil meluaskan kekuasaannya di seluruh

wilayah yang terbentang antara Sulawesi dan Irian Jaya. Ke Barat

kekuasaannya diakui sampai ke pesisir Timur Sulawesi termasuk Sulu dan

Kepulauan Banggai, ke Selatan Ternate meluaskan kekuasaannya ke Seram

Barat (Jazirah Hoamal) dan kepulauan Ambon. Kekuasaan yang begitu jelas
30

didukung oleh sumber daya manusia dan sarana yang cukup kuat, seperti

perahu, junk, atau kapal sebagai alat untuk menjangkau antar-pulau yang

membutuhkan cengkeh. Tanpa dukungan yang kuat tidak mungkin mampu

mengadakan ekspansi politik. Hal ini erat kaitannya dengan peranan Ternate

sebagai bandar jalur sutera. Munculnya Ternate sebagai bandar jalur sutera

berkaitan erat dengan interaksi jalur dagang darat maupun jalur dagang laut

(Ricklefs, 2008: 117).

Di Ternate terdapat Pelabuhan Samudera “Ahmad Yani” dan Bandar

Udara “Babullah”. Kota Ternate sendiri berlokasi di pesisir Timur pulau

Ternate menghadap pulau Halmahera, posisi ini sangat potensial28.

Kedudukan yang demikian ini menyebabkan kota Ternate memiliki peranan

yang sangat penting dalam ekonomi perdagangan lintas Halmahera. Selain itu,

letak pulau Ternate adalah dekat dengan kota Manado ibukota Propinsi

Sulawesi Utara. Posisi strategis yang berhadapan dengan kawasan Dodinga,

sebuah persimpangan jalan di pulau Halmahera yang menyebabkan kota ini

berkembang dalam jalur perdagangan di daerah Maluku Utara. Rempah-

rempah dari Maluku menemukan pasar yang makin meluas, karena dibawa

dalam jumlah besar ke Eropa lewat Mesir dan Venesia. Karena Maluku hampir

merupakan satu-satunya produsen rempah-rempah, maka segera menjadi

tempat yang penting secara politik (Ricklefs, 2008: 200).

Kedatangan Portugis ke Maluku mulai berupaya memonopoli

perdagangan rempah-rempah. Namun, menurut Howard Federspiel, usaha

Portugis tidak terlalu berhasil, akibat tidak mampu menggantikan sistem


31

perdagangan yang telah ada. Lebih lanjut, Des Alwi menjelaskan, bahwa

perdagangan rempah-rempah yang dilakukan oleh Portugis di Maluku tidak

lain semacam sistem barter yang sangat memberi keuntungan besar kepada

Portugis sedangkan Maluku menerima keuntungan yang sangat kecil saja.

Membandingkan dengan harga dewasa ini maka volume dan nilai perdagangan

Portugis di Maluku dapat diperkirakan kira-kira pemasukan dan pengeluaran

per tahun hanya sekitar 3.000 ton senilai 2 sampai 3 juta dollar AS. Tetapi 2-3

juta dollar pada abad ke-16 M setara dengan 20-30 juta dollar AS atau bahkan

50-100 juta dollar AS sekarang. Pada jalur Ternate-Lisabon, Portugis berhasil

memuat sekitar setengah juta pound setiap tahun dan seperempat juta pound

pala dan fuli dengan nilai total yang dilaporkan sebesar sekitar 2 juta dollar AS

di pasaran Eropa. Keuntungan sepihak inilah yang mengindikasikan Portugis

menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku dan Ternate tidak

mengalami sukses secara signifikan (Alwi, 2007: 51).

Di Eropa, selama abad Pertengahan, rempah-rempah ini dijual

dengan harga sangat mahal, tapi harga itu sangat sedikit, karena masalah biaya

produksi atau jumlah yang tersedia. Pembudidayaan cengkeh hanya

membutuhkan sedikit kerja, dan pohon itu terus berproduksi selama tiga

perempat abad, yang sangat cukup menutupi ongkos selama periode lama

pertumbuhan sebelum mulai berbunga hampir 12 tahun. Yang membuat

biayanya begitu mahal ialah biaya transportasi, serta resiko tinggi perjalanan

panjang di laut. Penduduk kepulauan Maluku tidak banyak beruntung dari


32

perdagangan itu dibandingkan pedagang-pedagang Jawa, Gujarat, dan Cina

(Reid, 1998: 92).

Kepulauan rempah-rempah sudah menjadi legenda di Eropa sebagai

sumber kekayaan terbesar di kawasan Timur. Cengkeh dan pala adalah

produknya. Cengkeh, kuncup bunga yang dikeringkan dari pohon cengkeh.

Dengan perkembangan perdagangan cengkeh yang menyebabkan perluasan

perkebunan cengkeh dan menurunnya produksi bahan pangan, maka bahan

makanan harus didatangkan dari luar, terutama dibawa oleh orang Jawa dan

Melayu. Orang Cina pun mula-mula berlayar sampai ke Maluku, akan tetapi

sesudah abad ke-14 M mereka tidak lagi berhubungan langsung dengan

Maluku, mungkin karena tidak bisa menghadapi saingan berat dari pedagang

Jawa dan Melayu. Yang jelas ialah bahwa pedagang Cina memperoleh rempah-

rempah Maluku dari pelabuhan-pelabuhan di Jawa. Keadaan ini mungkin

berubah pada abad ke-16 M. Sebab ketika orang Belanda khususnya VOC tiba

di Maluku (awal abad ke-17 M) mereka bertemu dengan banyak orang Cina

yang memainkan peranan penting di Maluku sebagai juru bahasa dan penilai

rempah-rempah. Mereka ini mungkin datang dari kepulauan Filipina (Leirissa,

1973: 50).

Sekitar tahun 1630 M, Belanda telah mencapai banyak kemajuan

dalam meletakkan dasar-dasar militer untuk mendapatkan hegemoni

perdagangan atas perniagaan laut di Indonesia. Mereka berkuasa di Ambon, di

pusat kepulauan penghasil rempah-rempah, dan mendirikan markas besar di

Batavia yang terletak di Nusantara bagian barat. Pada tahun 1641 M, Malaka
33

Portugis jatuh ke tangan VOC, dan pada tahun 1648 M, Perang Delapan Puluh

Tahun di Eropa berakhir, mengakhiri permusuhan antara Belanda dan Spanyol.

Akan tetapi, pada pertengahan abad XVII, menjadi jelas bawa hegemoni VOC

tidak dapat ditegakkan hanya dengan perjanjian-perjanjian perdamaian,

pembangunan benteng-benteng, dan dipertahankannya keunggulan angkatan

lautnya. Kekuasaan-kekuasaan di Indonesia, baik yang besar maupun yang

kecil, masih tetap dapat megacaukan rencana-rencana VOC. Oleh karena itu,

VOC harus melakukan suatu kebijakan militer yang bahkan lebih agresif,

dengan campur tangan secara langsung dalam urusan dalam negeri beberapa

negara di Indonesia. Dengan demikian, diletakanlah dasar-dasar bagi apa yang

disebut sebagai imperium Belanda di Indonesia.

Anda mungkin juga menyukai