Anda di halaman 1dari 13

BAB III

KESULTANAN TERNATE DAN PEMBENTUKAN NILAI-NILAI

ISLAMI KESULTANAN TERNATE

A. Pembentukan Geopolitik Kesultanan Ternate

Di seluruh wilayah Nusantara, pada masa lampau banyak terdapat

kerajaan-kerajaan yang secara historis kelahirannya berbeda antara kerajaan

yang satu dengan kerajaan yang lainnya. Sejarah Maluku sebelum kedatangan

Portugis adalah sejarah yang diterka atau rekaan saja, karena memang tidak ada

catatan sejarah dan peninggalan-peninggalan arkeologis penting. Bahkan

Maluku juga sama sekali tidak mendekati kepada arus civilisasi yang maju

sampai masa mulai menyebarnya Islam pada abad ke-15 M. Sebelum masa itu

para imigran dari daerah Melayu telah datang dan menetap di pulau-pulau di

sepanjang pesisir yang sampai hari ini masih bisa kita temukan. Berdirinya

kesultanan Ternate tidak dapat dilepaskan pada awal sejarah terbentuknya

Kerajaan Ternate atau yang disebut awal masa pra-kolano (raja). Awal

berdirinya kerajaan Ternate berkaitan dengan beberapa sumber mitos dan

legenda (Leirissa, 1973: 64).

Menurut Des Alwi35 yang bersumber dari naskah tua Ternate, pada

awalnya Ternate diduduki oleh pelarian-pelarian yang telah menentang

kekuasaan penguasa lalim dari Jailolo. Profil pemimpin Ternate pertama yang

cukup berpengaruh adalah seorang yang bernama Guna seorang kepala Desa

Tobona yang bertempat tinggal di ketinggian lereng kepundan Merapi. Ketika

34
35

pada suatu hari ia sedang berkelana mencari kelapa untuk melegakkan

tenggorokan dengan airnya, kaki Guna tersentuh sebongkah batu yang

kemudian ternyata terbuat dari emas murni. Harta ini yang pada awalnya

dianggap bekas milik jin yang dianggap bisa membuat pemiliknya

mendapatkan kekuatan magis yang pada zaman dahulu dianggap sebagai

kelengkapankelengkapan yang dimiliki seorang pemimpin. Oleh karena itu

Guna dan para pengikutnya dianggap sebagai penguasa-penguasa seluruh pulau

Ternate (Alwi, 2007: 82).

Kerajaan Ternate bermula dari beberapa Momole di antaranya;

Momole Guna yang berkedudukan di Tobona yang menemukan benda berupa

bongkahan emas, tetapi karena terjadi huru-hara yang menyertai keberadaan

benda tersebut, lalu beliau menyerahkan kepada Momole Matiti yang

berkedudukan di Foramadiyahi, namun Momole Matiti juga tak sanggup

menahan benda yang dianggap mempunyai kekuatan magis, maka diserahkan

kepada, Momole Cico yang berkedudukan di Sampalu, Momole Cico ternyata

berhasil mengendalikan huru-hara masyarakat yang berasal dari benda aneh

dan dianggap mempunyai magis tersebut. Akhirnya para Momole setuju untuk

mengangkat Momole Cico sebagai Kolano pertama Kerajaan Ternate (Reid,

2004; 79).

Proses terbentuknya Kerajaaan Ternate dimulai sejak menyatunya

empat persekutuan hukum adat yakni, Tobona, Tobanga, Sampalu, dan

Momole Toyo melalui suatu forum yang dikenal dengan nama Foramadiyahhi

yang artinya duduklah kebenaran dan keadilan. Proses pernyataan empat


36

persekutuan itu sendiri diprakarsai oleh Mashur Malamo, putra keempat dari

Siti Nursafah dengan Jafar Sadik yaitu seorang penyiar agama Islam yang tiba

di Ternate pada tahun 1250 M. Sedangkan menurut Abdul Hamid Hasan,

Kerajaan Ternate berdiri karena pertikaian antara sesama Momole di Ternate,

yang menyebabkan kerugian para kelompok-kelompok Momole, hingga

diadakanlah suatu permufakatan bersama pada tahun 1251 yang dikenal

dengan persetujuan ”Foramadiahi” artinya duduklah kebenarannya (Hasan,

1998: 30).

Dari beberapa versi di atas, bahwa asal-usul berdirinya kerajaan

Ternate dimulai dari penyatuan beberapa wilayah persekutuan hukum adat

yang ada di pulau Ternate. Pada versi kedua, kerajaan Ternate terbentuk pada

saat sebelum masuknya pengaruh Islam di wilayah itu, yang ditandai dengan

ditemukannya sebuah benda aneh, di mana Cico-lah yang diangkat menjadi

(Kolano) raja pertama. Sementara versi ketiga, menunjukkan bahwa kerajaan

Ternate terbentuk setelah terjadi perkawinan antara Jafar Sadik dengan Siti

Nursafah, setelah masuknya pengaruh agama Islam, semua Momole pada

persekutuanpersekutuan hukum tersebut semua berada dalam satu garis

keturunan genealogis. Terkecuali pada versi pertama, sumber yang berasal dari

cerita rakyat yang disebut legenda atau mitos yang dipengaruhi unsur

animisme, sehingga tingkat keotentikan sumber tersebut sangat lemah. Namun,

cerita rakyat tersebut, dapat dijadikan kekayaan Nusantara sebagai wacana

pembuktian lebih lanjut mengenai kerajaan Ternate (Leirissa dkk, 1999: 60).
37

Pada masa kerajaan pucuk pimpinan dinamakan, Kolano, dari kata

Koko-la-nao, yang artinya tegak diatas kekuatan dimana kekuatan-kekuatan

dibawahnya terdiri dari lembaga-lembaga kerajaan, yaitu:

1. Gam Raha = Empat Pilar Besar, sebagai dewan tertinggi yang memilih dan

mengangkat kolano serta menyatakan perang dan damai.

2. Bobato Nyagimoi de Tufkange = Dewan Delapan Belas, sebagai lembaga

penetapan hukum-hukum adat dan berhak mengajukan kandidat kolano.

3. Soasio = Dewan Menteri

4. Falahara = Dewan Pertimbangan Agung

5. Sabua Raha = Mahkamah Agung

6. Sangaji-sangaji = Pemerintahan Wilayah

7. Heku Cim = Angkatan Bersenjata

8. Bala Kusu se Kano-kano = Rakyat (Hasan, 1998: 51-52).

Pada sub-judul sebelumnya, diterangkan bahwa Ternate pertama kali

bersentuhan dengan Islam, yaitu pada masa Kolano Marhum. Namun, secara

struktur pemerintahan gelar kolano sebagai raja belum digantikan dengan gelar

sultan, itu berarti intensitas Islamisasi yang terjadi di kerajaan Ternate pada

masa Marhum masih dalam masa transisi. Ketika masa kepemimpinan Marhum

berakhir, tahta kerajaan Ternate digantikan anaknya Zainal Abidin. Awal

kepemimpinannya, gelar sultan mulai diterapkan sebagai identitas pemimpin

kerajaan. Dengan demikian, secara de facto struktur pemerintahan kerajaan

Ternate telah berganti menjadi kesultanan Ternate, seiring dengan pergantian

gelar tersebut. Meski pada masa Marhum Islamisasi baru pada tahap transisi,
38

tampaknya Marhum menyadari betul bahwa Islam benar-benar sebuah pilihan

sehingga berimplikasi pada pentingnya mempelajari dan mendalami Islam.

Oleh karena itu, Marhum berupaya mendidik anaknya, Zainal Abidin,

mempelajari Islam di bawah bimbingan Maula Husein, dan memperoleh

pendidikan Islam secara formal di sekolah tinggi Islam Gresik yang dipimpin

langsung oleh Sunan Giri (Ricklefs, 2008: 173).

Adanya perubahan dalam sistem pemerintahan ini mengakibatkan

fungsi ganda Sultan, yaitu sebagai pemegang kekuasaan duniawi (pemerintah)

dan juga sebgai pemegang kekuasaan spiritual (keagamaan). Secara teoritis

sultan adalah pengganti Rasul atau dikenal dengan istilah Tubaddi al Rasul,

yaitu sultan memiliki tanggung jawab memimpin negara sekaligus menyiarkan

dan memelihara agama Islam. selain itu, sultan memiliki kewajiban

memperluas wilayah kekuasaannya dan menundukkan daerah-daerah lain.

B. Proses Kristalisasi Milai-Nilai Islam Dalam Kesultanan Ternate

Menurut Ricklefs, penyebaran Islam di Nusantara berlangsung

melalui dua proses. Pertama, penduduk pribumi berhubungan dengan pemeluk

agama Islam yang datang ke wilayah Nusantara kemudian penduduk pribumi

menganut agama Islam. Kedua, orang-orang asing, seperti Arab, India, dan

Cina yang telah beragama Islam bertempat tinggal secara permanen di suatu

wilayah, kemudian melakukan perkawinan campur dan mengikuti gaya hidup

lokal. Jadi, pendapat Ricklefs, faktor yang lebih berpengaruh dalam proses

penyebaran agama Islam adalah melalui proses perkawinan (Ricklefs, 2008:

173).
39

Sedangkan menurut De Graaf, penyebaran Islam di Nusantara

melibatkan tiga fase penting yang saling melengkapi, yaitu yang pertama

melalui fase perdagangan, kedua fase tasawuf (sufi), ketiga melalui fase

politik. Pendapat De Graaf mengindikasikan antara ketiga fase tersebut

memiliki korelasi yang saling berkesinambungan, terutama pada fase

perdagangan dan tasawuf, yang memungkinkan para pedagang tersebut juga

merupakan seorang ulama (sufi). Sementara pada fase politik, para penguasa di

Nusantara memeluk Islam demi memperoleh dukungan dari para pedagang

Muslim secara ekonomis dan politis (Azra, 1999: 49).

Lebih jauh lagi motif penyebaran Islam merupakan akibat dari

ancaman agama Kristen yang mendorong penduduk Nusantara masuk Islam.

Jadi, masuknya Islam akibat dari persaingan antara Islam dan Kristen untuk

memenangkan pemeluk baru di Indonesia. Penyebaran Islam di Nusantara

terjadi ketika persaingan dan konflik semakin sengit di antara bangsa Portugis

dan para pedagang Muslim. Namun, secara umum proses masuk dan

berkembangnya agama Islam ini disepakati berjalan secara damai, meskipun

ada juga penggunaan kekuatan oleh penguasa Muslim untuk mengislamkan

rakyat atau masyarakat. Secara umum mereka menerima Islam tanpa

meninggalkan kepercayaan praktek keagamaan lain (Azra, 1999: 57).

Perbedaan pendapat tentang apa yang dimaksud dengan “Islam”, ada

yang memberikan pengertian Islam dengan kriteria formal yang sangat

sederhana seperti pengucapan dua kalimat syahadat atau pemakaian nama

Islam, sebagian lain mendefenisikan Islam secara sosiologis, yakni masyarakat


40

itu dikatakan telah Islam, jika prinsip-prinsip Islam telah berfungsi secara

aktual dalam lembaga-lembaga sosial, budaya dan politik, jadi mereka

menganggap bacaan kalimat syahadat tidak dapat dijadikan bukti adanya

penetrasi Islam dalam suatu masyarakat. Hal tersebut menyebabkan konsep

masuknya Islam atau Islamisasi masih dicampuradukkan antara “datang”

(terdapat bekas Islam disuatu tempat), “berkembang” (mesjid ditemukan), dan

munculnya Islam sebagai kekuatan Politik (sultan memerintah).

Bahwa, apapun teori Islamisasi yang dijelaskan di atas, kedatangan

Islam ke daerah Maluku sangat mengandalkan jalur perdagangan yang

terbentang antara pusat lalu lintas pelayaran internasional di Malaka, Jawa, dan

Maluku. Menurut tradisi setempat, bangsa Arab datang ke Maluku sejak abad

ke-14 M. Raja Ternate yang ke-12 bernama Molomasetija (1350-1357 M) telah

bersahabat akrab dengan orang Arab, tetapi hubungan kekerabatan tersebut

tidak berpengaruh pada penyebaran Islam. Islam mulai menyebar di Ternate

ketika masa pemerintahan Kolano Marhum (1465-1468 M) oleh seorang ulama

dari Jawa bernama Maula Husein. Pendatang dari Jawa ini telah membuat raja

dan orang-orang di Maluku tertarik akan ajaran Islam. Dengan demikian maka

Maula Husein berhasil meng-Islamkan banyak orang di daerah itu (Azra,

1999: 49).

Setelah Kolano Marhum, raja Ternate yang telah memeluk agama

Islam adalah Zainal Abidin (1486-1500 M), beliau tidak hanya sekedar masuk

Islam melainkan juga berupaya dalam proses perkembangan Islam di Maluku.

Ia mendapat ajaran agama tersebut dari madrasah Giri di Jawa. Dalam


41

kunjungan ke pusat Islam ini, Sultan Ternate bertemu dengan kepala daerah

Hitu dari Ambon. Antara keduanya diadakan persetujuan mengenai

persekutuan. Masuknya pengaruh agama Islam pada abad ke-15 M (masa

Kolano Marhum 1468) mempengaruhi juga pertumbuhan dan perkembangan

dalam bidang politik dan pemerintahan. Kepemimpinan dalam bentuk Kolano

Ternate menjadi Kesultanan Ternate dan Zainal Abidin diangkat sebagai Sultan

pertama.

Menurut pengetahuan umum bahwa masuknya Islam di Ternate

dalam tiga periode, yaitu periode awal, periode pertengahan dan periode

diterimanya Islam oleh Kesultanan.

1. Periode Awal

Periode ini dimulai pada masa perdagangan orang-orang Arab ke

daerah ini untuk membeli rempah-rempah, berupa cengkeh, pala, dan fuli, lalu

dibawa ke Eropa. Periode ini berlangsung pada pertengahan abad VII Masehi.

Masuknya orang-orang Arab ke daerah ini paling tidak memberi pengaruh

terhadap masyarakatnya, terjadinya interaksi antara dua orang atau lebih, akan

memberi peluang untuk memberi pengaruh antara satu dengan yang lainnya.

2. Periode Pertengahan

Periode ini dimulai pada abad XII, pada periode ini penyiaran Islam

telah disampaikan kepada penduduk, bahkan telah memasuki kawasan

kerajaan, baik Ternate, Tidore, Bacan, dan Jailolo. Bahkan masyarakat pada

umumnya. Periode ini ditandai dengan munculnya nama-nama raja yang sudah

dipengaruhi nama-nama Arab, dan diduga keras adalah pengaruh ajaran Islam,
42

seperti Mashur Malamo (1257-1272) yang nama aslinya adalah Cico untuk

kerajaan Ternate, lalu Kolano Sida Arif Malamo (1322-1331). Dari nama-nama

raja yang telah dikemukakan, jelas bahwa telah ada pengaruh langsung dari

bangsa Arab yang masuk ke daerah ini, terhadap para raja dari kerajaan-

kerajaan yang ada di daerah ini.

3. Periode Penerimaan Islam oleh Kesultanan

Sultan Zainal Abidin adalah penguasa Ternate yang ke-19, yang juga

merupakan orang pertama di Ternate yang memakai gelar Sultan. Ini

dikarenakan beliau sudah belajar ajaran Islam sedari kecil dan memperoleh

didikan formal dari Maula Husein, hingga ia belajar di sekolah tinggi Islam

Gresik di bawah pimpinan Sunan Giri, inilah yang disebut dengan penerimaan

Islam oleh Kesultanan. Dari hasil belajar Islam beberapa bulan di Giri, Zainal

Abidin berhasil membangun persahabatan dengan orang-orang yang

berpengaruh besar di Jawa. Beliau juga kemudian bersahabat dengan penguasa

lokal yang dikunjunginya dalam perjalanan pulang setelah belajar agama Islam,

seperti penguasa Ambon dan Makasar. Bukan hanya kembali ke kerajaan,

Zainal Abidin juga membawa serta para sufi dari Jawa ke Ternate untuk

membantu dalam menyiarkan Islam pada kalangan istana maupun juga kepada

masyarakat Ternate. Sehingga mampu membentuk budaya masyarakat Islam

pada masanya di daerah ini (Hasan, 1998: 70-72).

Sangat sulit menganalisa dan menyajikan struktur masyarakat kota

pelabuhan Ternate, berkaitan dengan langkanya sumber-sumber mengenai

masyarakat kota tersebut serta agaknya terlalu kompleks memahami teori


43

struktur masyarakat (social structure). Biasanya struktur masyarakat terjadi

dari berbagai aturan kelembagaan dan lingkungannya, cara inilah yang

dianggap sebagai proses pemeliharaan dan hubungan satu dengan lainnya dan

menentukan kesatuan dan komposisi suatu struktur masyarakat. Namun, aturan

kelembagaan selalu terbentur dengan aturan politik, kekuasaan, militer, dan

ekonomi (Abdullah, 1979: 14).

Antonio Galvao sedikitnya mampu menggambarkan struktur

masyarakat Ternate sebelum Islam, berdasarkan penerapan peranan sosial dan

status ekonomi masing-masing dan mengklasifikasikannya sesuai dengan nama

gelar. Momole adalah sebutan atau gelar pemimpinnya, kemudian berganti

menjadi kolano, atau istilah yang hampir sama dengan istilah raja. Kolano atau

raja adalah posisi tertinggi dalam struktur kerajaan Ternate. Di bawah kolano

terdapat golongan elit birokrat, mereka adalah Sangaji atau para adipati,

kemudian Marsaoli atau para ksatria, dan Menteri atau para pembesar kerajaan.

Pada level bawah terdapat Chetti atau para pedagang, terkecuali para pedagang

yang memiliki modal besar. Sedangkan golongan budak disebut Ngofangares.

Raja-raja atau kolano-kolano beserta saudara-saudaranya, sengaji dan anak-

anaknya menyandang gelar-gelar yaitu untuk laki-laki bergelar Kaicil

(Pangeran) untuk wanita bergelar Naicil. Hanya saudara-saudara laki maupun

perempuan dari sengaji-sengaji dan para adipati memakai gelar-gelar yang

diberikan oleh kolano (Leirissa dkk, 1999: 40).

Para Sengaji di daerahnya masing-masing dan daerah kekuasaannya

ditaati rakyatnya, ditakuti, dan dihormati seperti raja-raja. Ia mengurusi


44

peradilan sipil dan kejahatan beserta memakai lencana kerajaan. Para sengaji

itu memelihara perbatasan-perbatasan dan tanda-tanda bagi pertanahan, di

seluruh wilayahnya, kekuasaannya, tempat-tempat, desa-desa, dan kota-kota

yang dibagi menjadi bagian-bagian yang disebut soa-soa (kampung-kampung).

Jumlah penduduk dikatakan yang terbesar daerah itu mempunyai penduduk

tidak sampai 2.000 orang. Penduduk itu kebanyakan menempati sepanjang

pesisir atau sepanjang alur-alurnya, dengan rumah-rumahnya di atas tiang-tiang

disertai tangga yang diambil pada malam hari (Kartordirdjo, 1992: 11).

Setelah Islam masuk, seorang Sultan dibantu oleh para Imam

(pemimpin dalam agama Islam, pembantu sultan dalam bidang agama Islam),

pada masa ini kedudukan para Imam menjadi sangat penting. Mereka juga

sering dipilih menjadi anggota Soasiwa (Soa: kampung, siwa: sembilan atau

dalam pengertiannya 9 sengaji). Tidak jarang mereka turut menentukkan nasib

kesultanan sekaligus ikut berperan dalam perang melawan para bangsa asing,

selain sebagai penetap hukum keagamaan karena merekalah yang paling

mengerti hukum-hukum agama. Di Ternate, Raja adalah kunci utama

perdagangan, mengumpulkan cengkeh dari tangan masyarakat sebagai hasil

pajak, dan hanya memberikan sedikit imbalan kepada masyarakat, atau dalam

keadaan tertentu mengambil dengan paksa atau menyita hasil bumi itu

untuknya. Sehingga perdagangan rempah-rempah tidak membawa keuntungan

bagi masyarakat biasa, yang mendapat untung besar hanyalah raja dan

bawahan-bawahannya (Hasan, 1998; 39).


45

Jogugu (menteri) dan Fala Raha (kata ini secara harfiah berarti

empat rumah dan dianggap di sini sebagai Raja Penasehat) terpilih untuk

membantu raja dalam menjalankan kerajaan. Fala Raha merupakan perwakilan

dari empat klan bangsawan yang merupakan pilar penting dari Kerajaan

Ternate. Dapat dikatakan bahwa Fala Raha merupakan pengganti empat

momole pada periode pra-Islam. Selain itu ada beberapa posisi yang dibentuk

untuk membantu raja seperti Nyagimoi Bobato (Dewan 18), Sabua Raha

(empat hakim agung), Heku Cim (angkatan laut dan darat), Salahakan

(Gubernur), dan Sangaji (Hasan, 1998; 39).

Kepercayaan atau keagamaan penduduk di daerah Maluku dan

Ternate sebagian besar masih animisme dan dinamisme dan sebagian kecil

pada lapisan atas terutama golongan raja dan bangsawan berikut anggota

birokratnya sudah menganut agama Islam. Golongan atau lapisan masyarakat

seperti telah digambarkan oleh Antonio Galvao dari mulai kolano atau sultan

setelah Islam masuk dan tersebar di daerah itu lambat laun makin bertambah

dan bukan penduduk asli saja tetapi sudah bercampur dengan etnik lainnya

akibat kedatangan pedagang-pedagang dari etnis lainnya yang berdagang di

situ. Perhubungan yang erat sekali berasal dari Jawa atau kebudayaan Jawa

masuk dan bercampur dengan kebudayaan setempat seiring dengan

pertumbuhan jaringan pelayaran dan perdagangan (Hasan, 1998; 42).

Seluruh sistem pertanian, industri, dan sosial di Maluku didasari

pada pemahaman bahwa tanah atau lahan dan pengusahaan lahan, termasuk

juga laut dan ikan di dalamnya, adalah milik masyarakat. Artinya setiap
46

penduduk mempunyai hak untuk mengelola sistem-sistem ini akan tetapi

sebagian dari hasil panen diserahkan kepada para penguasa. Masyarakat

Ternate divariasikan dalam hal pekerjaan mereka. Karena Ternate terkenal

dengan hasil panen seperti rempah-rempah, dan cengkeh, sebagian besar

orang menjadi petani. Mereka yang biasanya bertanam cengkeh, pala, kenari,

dan kayu manis tinggal di daerah bukit. Sementara orang-orang yang tinggal

dekat pantai biasanya menanam kelapa atau menjadi nelayan. Selain itu,

beberapa dari mereka adalah pedagang. Huda yang terbuat dari beras, sagu,

atau singkong yang biasanya dimasak dengan cara tertentu adalah makanan

pokok Ternate.

Anda mungkin juga menyukai