19
20
itu adanya berita Ibnu Batutah dan Ma-Huan serta penemuan kompleks makam
Islam di Tralaya, Majapahit mendukung pendapat kedua ini. Proses Islamisasi di
Indonesia dilakukan dalam berbagai cara yaitu, Perkawinan, Pendidikan, Dakwah,
Ajaran Tasawuf, dan Kesenian. Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
dianataranya adalah :
1. Kerajaan Samudra Pasai
Terletak di Pantai Utara Aceh di muara sungai Pisangan, kerajaan ini
merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Sumber sejarah terdapat pada
berita Marco Polo dan nisan Sultan Malik Al-saleh. Didirikan oleh Meurah Khair
dan digantikan oleh Sultan Malik Al-saleh. Pada masanya Samudra Pasai
memiliki pelabuhan yang sangat penting bagi jalur perdagangan. Namun Samudra
Pasai runtuh di tangan kerajaan Majapahit (Adityasono:2011).
2. Kerajaan Malaka
Muncul pada awal abad ke-15 sebagai pusat perdagangan dan pusat
kegiatan Islam. Didirikan oleh seorang pangeran yang melarikan diri dari
Majapahit setelah perang Paregreg. Namanya Paramisora yang lalu diganti
menjadi Iskandar Syah. Ia lalu digantikan putranya yang bernama Muhammad
Iskandar Syah, ia membawa Malaka mencapai puncak kejayaannya. Raja terakhir
kerajaan Malaka adalah Sultan Mahmud Syah, ia membuat kerajaan Malaka
mangalami kemunduran dari segi politis dan ekonomi dan akhirnya dikalahkan
oleh bangsa portugis (Adityasono:2011).
3. Kerajaan Aceh
Terletak di Aceh Besar dengan Kutaraja sebagai ibu kota, dipimpin oleh
Sultan Ali Mughayat Syah. Kerajaan Aceh mendapatkan masa keemasan dibawah
pimpinan Sultan Iskandar Muda yang membuat pelabuhan Aceh menjadi
pelabuhan Internasional. Pada masa pemerintahannya, ia menulis undang-undang
tata pemerintahan yang disebut Tata Makuta Alam. Sultan Iskandar Muda
digantikan Sultan Iskandar Thani. Pada masanya banyak bermunculan sastrawan
besar. Terdapat tulisan yang terkenal berjudul Bustanussalatin (taman raja-raja)
(Adityasono:2011).
22
4. Kerajaan Demak
Merupakan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yang didirikan oleh
Raden Patah karen melemahnya pengaruh Majapahit. Saat ia menjabat, pendirian
masjid agung Demak dimulai dengan corak dan ciri khas kerajaan Demak. Raden
Patah digantikan oleh putranya Pati Unus(pangeran Sabrang Lor) dikenal sebagai
panglima perang yang tangguh saat menghadapi portugis di Malaka. Raden
Trenggono (saudara Pati Unus) menggantikan posisi Pati Unus. Dibawah
kepemimpinanna kerajaan Demak berhasil melakukan politik ekspansi dengan
mengutus Fatahillah sebagai panglima perang. Sepeninggal Trenggono terjadi
perebutan kekuasaan yang akhirnya dimenangkan oleh Jaka Tingkir/Sultan
Hadiwijaya. Ia lalu memindahkan kerajaan Demak ke Pajang dan menjadikannya
kerajaan Pajang (Adityasono:2011).
5. Kerajaan Mataram
Pendiri kerajaan Mataram Islam adalah Sutawijaya. Terdapat banyak
tentangan saat Sutawijaya berkuasa dan akhirnya ia digantikan putranya yang
bernama Mas Jolang. Namun ia tidak cakap dalam memimpin dan digantikan oleh
Mas Rangsang atau Sultan Agung. Dibawah kepemimpinan Sultan Agung,
Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya. Kegiatan ekonomi dan politik
ekspansi berjalan dengan baik. Pengganti Sultan Agung adalah Amangkurat I. Ia
menjalin hubungan dengan belanda dan memicu pemberontakan oleh Pangeran
Trunojoyo dari Madura. Amangkurat II menggantikannya, namun hampir seluruh
daerah Mataram Islam telah dikuasai Belanda. Akhirnya ia memindahkan
kerajaannya ke Kartasura. Setelah Amangkurat II wafat, berdasar pada perjanjian
Giyanti, Mataram Islam dibagi menjadi 2 daerah yaitu, Kasultanan Yogyakarta
dan Kasuhuna Surakarta. Lalu berdasarkan perjanjian Salatiga, Mataram dipecah
lagi menjadi tiga yaitu, Kasultanan Yogyakarta, Kasuhunan Surakarta, dan
Mangkunegaran (Adityasono:2011).
6. Kerajaan Banten
Wilayah kekuasaanya mulai dari Banten sampai ke Lampung, dipimpin
oleh Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Pada saat
pemerintahan Maulana Yusuf, penyebaran Islam bisa dilakukan dengan baik
23
kepentingan ibadah serta candi dibuat sebagai bentuk persembahan kepada dewa-
dewa. Umat Hindu percaya bahwa orang yang sudah meninggal harus dibakar
jenazahnya dan abu nya disimpan di dalam candi. Upacara pembakaran ini disebut
ngaben. Upacara ngaben membutuhkan biaya yang besar dan memaksa integrasi
sosial masyarakat untuk melaksanakannya. Contoh candi yang bercorak Hindu
adalah Candi Badut, Candi Roro Jonggrang, dll. Pura merupakan tempat
peribadahan umat Hindu yang memiliki 2 bagian yaitu, halaman depan (untuk
sesaji) dan halaman belakang (untuk pemujaan). Untuk umat Buddha patung juga
sangat penting untuk beribadah, tidak seperti umat Hindu yang membuat patung
berbagai macam dewa, umat Buddha hanya membuat patung Sang Buddha
Gautama. Candi yang bercorak Buddha diantaranya adalah Candi Borobudur,
Candi Mendut dan Pawon, Candi Sewu, Candi Kalasan, dan Candi Plaosan
(Adityasono:2011).
Karya Sastra dan Wayang Karya Sastra Hindu diantaranya adalah
Ramayana dan Mahabharata. Cerita Ramayana dan Mahabharat oleh bangsa
Indonesia dijadikan suatu cerita yang dikemas dengan pertunjukan wayang.
Wayang, Gamelan, Batik, Pesantren, Masjid, Beduk, dan Kentongan
Merupakan peninggalan atau tradisi-tradisi Islam. Misalnya Wayag dan gamelan
digunakan Walisongo saat penyebaran agama Islam. Wayang dikembangkan ke
arah Islam oleh Sunan Kalijaga dan digunakan untuk menarik perhatian orang-
orang Indonesia sehingga mereka penasaran dan ikut mempelajari Islam begitu
juga gamelan yang dikembangkan oleh Sunan Bonang. Karya seni batik juga
merupakan perwujudan budaya Islam dimana orang Islam dilarang
menggambarkan makhluk hidup, karena itulah pola-pola abstrak batik
bermunculan. Selain bidang kesenian, Islam juga mengembangkan lembaga
pendidikan dengan pendirian pesantren-pesantren diilhami dari kebudayaan
Hindu-Buddha yang memiliki pusat pendidikan tersendiri. Pesantren bertujuan
menyiapkan orang yang siap untuk berdakwah dan menanamkan kehidupan Islam
di dalamnya. Sampai sekarang banyak pesantren-pesantren yang ada di Indonesia
disebut surau di wilayah Sumatera Barat dan dayah di daerah Aceh. Tempat
ibadah umat Islam adalah masjid, selain untuk tempat ibadah masjid juga
25
tesebut digugurkannya sendiri. Tidak ada ras yang superior dan tidak ada
lingkungan fisik yang benar-benar menciptakan peradaban dalam sendirinya. Hal
ini dikarenakan ras dan lingkungan fisik hanya bersifat membantu perkembangan
peradaban (Lauer:2001).
Peradaban muncul karena dua faktor yang berkaitan: adanya minoritas
kreatif dan kondisi lingkungan. Antara keduanya tak ada yang terlalu
menguntungkan atau terlalu merugikan bagi pertumbuhan kultur. Mekanisme
kelahiran dan dinamika kelangsungan hidup kultur dijelmakan dalam konsep
tantangan dan tanggapan (challange and response). Lingkungan (mula-mula
alamiah, kemudian juga sosial) terus menerus menantang masyarakat, dan
masyarakat melalui minoritas kreatif menentukan cara menanggapi tantangan itu.
Segera setelah itu tantangan ditanggapi, muncul tantangan baru dan diikuti oleh
tanggapan berikutnya (Sztompka:2004).
Toynbee (2011) memperkenalkan sejarah dalam kaitan dengan challenge-
and-response. Peradaban muncul sebagai jawaban atas beberapa satuan tantangan
kesukaran ekstrim, ketika "minoritas kreatif" yang mengorientasikan kembali
keseluruhan masyarakat. Minoritas kreatif ini adalah sekelompok manusia atau
bahkan individu yang memiliki "self-determining" (kemampuan untuk
menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang kuat).
Dengan adanya minoritas kreatif, sebuah kelompok manusia akan bisa keluar dari
masyarakat primitif.
Tantangan dan tanggapan adalah bersifat fisik, seperti ketika penduduk
zaman neolithik berkembang menjadi suatu masyarakat yang mampu
menyelesaikan proyek irigasi besar-besaran; atau seperti ketika Gereja Agama
Katholik memecahkan kekacauan post-Roman Eropa dengan pendaftaran
Kerajaan berkenaan dengan bahasa Jerman yang baru di dalam masyarakat
religius tunggal.
Peradaban muncul sebagai tanggapan atas tantangan. Mekanisme sebab-
akibat bukanlah sesuatu yang benar-benar ada, tetapi hanya sekadar hubungan,
dan hubungan itu dapat terjadi antara manusia dan alam atau antara manusia dan
manusia. Sebagai contoh, peradaban Mesir sebagai hasil tanggapan yang memadai
29
atas tantangan berasal dari rawa dan hutan belantara lembah Nil, sedangkan
peradaban lain muncul dari tantangan konflik antarkelompok.
Peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan rintangan,
bukan karena menempuh jalan yang terbuka lebar dan mulus. Toynbee membahas
lima perangsang yang berbeda bagi kemunculan peradaban, yakni kawasan yang:
ganas, baru, diperebutkan, ditindas, dan tempat pembuangan (Lauer:2001).
Kawasan ganas mengacu pada lingkungan fisik yang sukar ditaklukkan,
seperti wilayah yang terbiasa untuk banjir bandang yang sensntiasa mengancam
seperti di sepanjang sungan Hoang Ho, Cina. Kawasan baru mengacu kepada
daerah yng belum pernah diolah dan dihuni, sehingga masyarakat akan merasa
asing dan melakukan upaya untuk adaptasi. Kawasan yang dipersengketakan,
temasuk yang baru ditaklukkan dengan kekuatan militer. Kawasan tetindas
menunjukkan suatu situasi ancaman dari luar yang berkepanjangan. Kawasan
hukuman atau pembuangan mengacu pada kawasan tempat kelas dan ras yang
secara historis telah menjadi sasaran penindasan, diskriminasi, dan eksloitasi
(Lauer:2001).
Ketika mendapat tantangan, jangan selalu memberikan tanggapan yang
dapat membangkitkan suatu peradaban. Namun demikian, tidak semua tantangan
bisa dianggap sebagai sebuah rangsangan positif. Ada pula tantangan yang tidak
menimbulkan peradaban. Dalam Ali (Purnomo, 2003) diterangkan bahwa dalam
alam yang baik, manusia akan berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan,
seperti di Eropa, India, dan Cina. Di daerah yang terlalu dingin seolah-olah
kegiatan manusia membeku (Eskimo), di daerah yang terlalu panas tidak dapat
timbul suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, Gobi). Tantangan itu mungkin
sedemikian hebatnya sehingga orang tidak dapat menciptakan tanggapan
memadai. Oleh karena itu, tidak ada hubungan langsung antara tantangan dan
tanggapan, tetapi hubungannya berbentuk kurva linear. Artinya tingkat kesukaran
yang sangat besar dapat membangkitkan tanggapan yang memadai, tetapi
tantangan ekstrim dalam arti terlalu lemah dan terlalu keras, tidak mungkin
membangkitkan tanggapan memadai (Lauer:2001).
30
Tak ada peradaban yang terus menerus tumbuh tanpa batas. Umumnya
peradaban akan mengalami kehancuran bila elit kreatifnya tidak berfungsi secara
memadai, mayoritas tak lagi memberikan kesetiaan kepada minoritas, dan
menirunya; dan bila kesatuan sosial mengalami perpecahan. Kehancuran dan
perpecahan adalah biasa, namun tak terelakkan. Mungkin pula terjadi proses
pembatuan, seperti ditunjukkan oleh masyarakat mesir kuno dan timur jauh.
Dalam keadaan membatu masyarakat hidup terus, meskipun sebenarnya sudah
menamatkan perjalanan hidupnya (Lauer:2001).
Dalam fase perpecahan dan kehancuran peradaban, minoritas kreatif
behenti menjadi manusia kreatif. Peradaban binasa dari dalam karena kemampuan
kreatif sangat menurun padahal tantangan baru semakin meningkat. Kehancuran
peradaban disebabkan oleh kegagalan kekuatan kreatif kalangan minoritas dan
karena lenyapnya kesatuan sosial dalam masyarakat sebagai satu kesatuan
(Sztompka, 2004:173-174). Apabila minoritas menjadi lemah dan kehilangan
daya menciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi.
Minoritas menyerah, mundur dan pertumbuhan tidak akan berkembang lagi.
Apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, keruntuhan mulai nampak.
Keruntuhan terjadi dalam tiga tahap (Purnomo:2003), yaitu:
Kemerosotan kebudayaan. Masa ini tejadi karena minoritas kehilangan
daya menciptanya dan kehilangan kewibawaannya, sehingga mayoritas tidak lagi
bersedia mengikuti minoritas. Perarutan alam dalam kebudayaan yang dibuat
antara mayoritas dan minoritas pecah dan tunas-tunas kebudayaan menuju pada
kematian.
Kehancuran kebudayaan. Masa ini mulai muncul setelah tunas-tunas
kehidupan kebudayaan mati, sehingga pertumbuhannya terhenti. Akibatnya daya
hidup kebudayaan membeku dan kebudayaan tesebut menjadi tidak berjiwa lagi.
Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification atau pembatuan (menjadi fosil)
kebudayaan.
Lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah
membatu itu hancur lebur dan lenyap.
32
sikap tak terpengaruh dari filsif dan campur tangan penggunaan kekuasaandan
paksaan dari raja.
Penjelmaan tuhan dalam diri manusia. Ini seperti halnya yang ada pada
diri juru selamat yang mencerminkan dirinya sendiri sebagai tuhan yang
menawarkan harapan, atau tepatnya hanyalah isa almasih yang dapat
membebaskan manusia dari kematian.
Toynbee menyatakan adanya pola umum yang melandasi atau logika unik
yang terjelma sendiri dalam jangka panjang dan belaku untuk semua peradaban.
Pola umum itu adalah kemajuan spiritual dan agama. Peradaban adalah “tangan
pelayan” dari agama. Fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan
menuju wawasan keagamaan yang makin mendalam dan untuk bertindak
berdasarkan wawasan.
Pandangan Toynbee tentang gerak sejarah adalah bahwa dalam sejarah
tidak terdapat suatu hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul-
tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan dengan pasti. Toynbee menganjurkan
bahwa sejarah harus dipelajari secara holistik. Mempelajari sejarah tidak dapat
dipisah-pisahkan antara bagian-bagian yang ada di dalamnya. Mempelajari sejarah
harus mempelajari suatu masyarakat secara keseluruhan, masyarakat secara utuh
sebagai satu kesatuan unit dari proses sejarah (Purnomo, 2003).
Oleh karena sejarah adalah studi tentang peradaban, Toynbee menyatakan
bahwa ada kontinuitas dalam sejarah. Contoh kontinuitas tersebut adalah adanya
orang tua dan anak. Kontinuitas sejarah bukan kontinuitas individu, melainkan
kelangsungan generasi. Oleh karena itu kesalahan-kesalahan dalam mempelajari
sejarah sebagai satu unit harus dihilangkan (Purnomo:2003).
Kaitannya dengan permasalahan yang terjadi pada masa ini yang menjadi
permasalahan universal yang terjadi tidak hanya pada masa lalu, tetapi juga pada
masa kini, Toynbee memusatkan perhatian pada kemungkinan perkembangan
peradaban barat dan nasib peradaban masa lalu. Ia mengemukakan sejumlah
masalah mendasar yang dihadapi dan harus diselesaikan (Lauer:2001)
35
perang mereka di Irak untuk tentara Irak. Amerika lupa orang-orang tersebut
fanatik dan itulah cikal bakal Al-Qaeda, mereka mencegah komunisme namun
melupakan fanatisme.
Al-Qaeda sendiri produk Saudi dan negara-negara Sunni, yang digunakan
untuk melawan negara yang bertentangan dengan Saudi serta pengikutnya (UEA,
Qatar, Bahrain, Yordania dan lainnya) entah masalah politik, bisnis, wilayah
maupun agama atau etnis tertentu. Namun akhirnya membelot dan mencoba
berdiri sendiri, sama seperti ISIS yg membelot dari Al-Qaeda. Osama bin Laden
sendiri adalah milyarder dari Saudi.
murah. ISIS pun sudah sampai ke perbatasan di Kobani tapi tidak pernah mencoba
masuk menyerang ke Turki.
Kemudian negara-negara Sunni tetangga Irak dan Suriah seperti Yordania,
Saudi dan UEA tidak pernah mengirim tentara untuk melawan ISIS dan hanya
mengirimkan pesawat tempur. Seakan mereka tidak niat serius untuk melawan
ISIS, padahal mereka tahu bahaya dah kekejaman ISIS. Karena di satu sisi mereka
diuntungkan oleh ISIS karena ISIS lebih banyak membantai Syiah walaupun ada
juga Sunni yang dibantai karena melawan maupun tak setuju dengan ideologi
mereka. ISIS juga dianggap membantu dalam menciptakan ketidakstabilan di Irak
dan Suriah serta membantu meruntuhkan Bashar, mungkin jika Bashar runtuh
baru mereka merasa perlu melenyapkan ISIS karena sudah dianggap tidak
berguna, walaupun sebenarnya ISIS itu adalah produk mereka yang lepas kendali
namun selama tindakan mereka menguntungkan lebih baik mereka diam dulu
sambil melihat perkembangan.
Intinya “The Enemy of My Enemy is My Friend”, “Musuh dari Musuh
saya adalah Teman saya”. Namun sementara ini agar tidak terlihat cuek dan jelek
di mata dunia maka negara-negara Arab ini mencoba membantu sekedarnya.
Berbeda jauh dengan Iran yang justru mengirimkan 25.000 tentaranya demi
membantu Irak (Sanjiono : 2015 diunduh pada tanggal 12 Mei 2016).
Kerusuhan yang terjadi di negara-negara Timur Tengah lainnya seperti
Irak, Suriah yang memakan korban jiwa begitu banyak dari kalangan umat Islam
menandakan bahwa umat Islam di sana tidak bisa dibuat contoh atau rujukan umat
Islam di Indonesia.
Oleh karena itu umat Islam di Timur Tengah seperti Arab, Mesir dan
sebagainya tidak bisa dijadikan rujukan atau kiblat bagi umat Islam di Indonesia.
Di sana banyak ulama besar seperti Syekh Wahbah Zuhaili yang terkenal
sangat alim dengan berbagai hasil karyanya. Namun demikian ulama di sana tidak
mempunyai pengaruh di masyarakat, sehingga ketika terjadi kerusuhan-kerusuhan
di negara-negara Timur Tengah para ulama tidak bisa berbuat banyak untuk
meredam kerusuhan yang terjadi.
44
fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting. Setting
adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-
hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang
sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut
yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku
mereka.
Adapun menurut Keraf (2010: 369) bahwa kearifan lokal adalah sebagai
berikut:
Yang dimaksud dengan kearifan tradisional di sini adalah semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau
etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
ekologis. Jadi kearifan lokal ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan
pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di
antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat
kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni
komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati,
dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang
sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama
manusia maupun terhadap alam dan Yang Gaib.
Hal tersebut menunjukkan bahwa:
Kearifan tradisional adalah milik komunitas. Demikian pula, yang dikenal
sebagai pengetahuan tentang manusia, alam dan relasi dalam alam juga milik
komunitas. Tidak ada pengetahuan atau kearifan tradisional yang bersifat
individual.
Kearifan tradisional, yang juga berarti pengetahuan tradisional, lebih
bersifat praktis, atau “pengetahuan bagaimana”. Pengetahuan dan kearifan
masyarakat adat adalah pengetahuan bagaimana hidup secara baik dalam
komunitas ekologis, sehingga menyangkut bagaimana berhubungan secara baik
dengan semua isi alam. Pengetahuan ini juga mencakup bagaimana
memperlakukan setiap bagian kehidupan dalam alam sedemikian rupa, baik untuk
mempertahankan kehidupan masing-masing spesies maupun untuk
47
mempertahankan seluruh kehidupan di alam itu sendiri. Itu sebabnya, selalu ada
berbagai aturan yang sebagian besar dalam bentuk larangan atau tabu tentang
bagaimana menjalankan aktivitas kehidupan tertentu di alam ini.
Kearifan tradisional bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan dan
pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta.
Alam adalah jaring kehidupan yang lebih luas dari sekedar jumlah keseluruhan
bagian yang terpisah satu sama lain. Alam adalah rangkaian relasi yang terkait
satu sama lain, sehingga pemahaman dan pengetahuan tentang alam harus
merupakan suatu pengetahuan menyeluruh.
Berdasarkan kearifan tradisional dengan ciri seperti itu, masyarakat adat
juga memahami semua aktivitasnya sebagai aktivitas moral. Kegiatan bertani,
berburu dan menangkap ikan bukanlah sekedar aktivitas ilmiah berupa penerapan
pengetahuan ilmiah tentang dan sesuai dengan alam, yang dituntun oleh prinsip-
prinsip dan pemahaman ilmiah yang rasional. Aktivitas tersebut adalah aktivitas
moral yang dituntun dan didasarkan pada prinsip atau tabu-tabu moral yang
bersumber dari kearifan tradisional.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan Barat yang mengkalim dirinya sebagai
universal, kearifan tradisional bersifat lokal, karena terkait dengan tempat yang
partikular dan konkret. Kearifan dan pengetahuan tradisional selalu menyangkut
pribadi manusia yang partikular (komunitas masyarakat adat itu sendiri), alam (di
sekitar tempat tinggalnya) dan relasinya dengan alam itu. Tetapi karena manusia
dan alam bersifat universal, kearifan dan pengetahuan tradisional dengan tidak
direkayasapun menjadi universal pada dirinya sendiri. Kendati tidak memiliki
rumusan universal sebagaimana dikenal dalam ilmu pengetahuan modern,
kearifan tradisional ternyata ditemukan di semua masyarakat adat atau suku asli di
seluruh dunia, dengan substansi yang sama, baik dalam dimensi teknis maupun
dalam dimensi moralnya.
Menurut Teezzi, dkk (dalam Ridwan, 2007:3) mengatakan bahwa "akhir
dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama".
Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian,
pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam
48
akibat peran akal dengan asumsi bahwa akal adalah dasar kebudayaan, maka
sebenarnya kebudayaan itu juga yang menjadikan variasi praktik-praktik agama,
khususnya dikalangan umat Islam (Khadiziq : 2015)
Mengkaji Islam Nusantara dengan menggunkan perspektif kenusantaraan
ini diharapkan mampu memiliki keunggulan di bidang akurasi (ketepatn) serta
profonditas (kedalaman). Dengan demikian akan memperoleh dan memiliki
otoritas (kewenangan) yang lebih tinggi disbanding yang lain.
Nusantara menjadi penting dan relevan baik dalam konteks geopolitik
ataupun geokultural dalam percaturan politik global dewasa ini, sehingga
pengembangan kajian Nusantara saat ini menjadi sangat urgen.
Nusantara dalam prespektif ini bukanlah hanya konsep geografis
(kawasan0 yang terbentang antara Benua Asia dan Australia, serta antara Samudra
Pasifik dengan Samudra Hindia. Lebih jauh dari itu Nusantara merupakan
encounter culture (pusat pertemuan budaya) dariseluruh penjuru dunia. Mulai dari
budaya Arab, India, Turki, Persia, Cina termasuk budaya Barat, sehingga
melahirkan budaya dan tata nilai yang sangat khas. Oleh karena itu, Nusantara
bukan sebuah konsep geografis (kawasan) melainkan sebuah konsep filosofi dan
menjadi perspektif (wawasan) sebuah pola Pikir, tata nilai dan cara pandang,
dalam melihat dan menghadapi berbagai budaya yang datan (Siradj Said
Aqil:2015).