Anda di halaman 1dari 32

BAB II

TINJAUAN UMUM TENTANG ISLAM NUSANTARA


SEBAGAI KAJIAN KEARIFAN LOKAL

A. Islam dan Nusantara


a. Islam
Kata ’’dinul islam’(dinual-islam) terdiri atas 2 kata, yaitu ’’ad-din’’ dan
’’al-islam’’.Secara etimologis din dalam bahasa smit berarti undang-undang atau
hukum.Sedangkan dalam bahasa Arab, ad-din atau dinnah, artinya menguasai,
patuh, balasan, kebiasaan, dan utang.Menurut Adnan([1970) ad-din identik
dengan kata “asy-syariah” , “ath-thariqah”, dan “al-millah”, yang dapat di
artikan sebagai “Peraturan dari Allah SWT.untuk manusia yang berakal, untuk
mencapai keyakinan dan mencapai jalan bahagia lahir batin, dunia akhirat,
bersandar kepada wahyu Allah SWT.yang terhimpun dalam kitab suci Al-Quran
yang di terima oleh Nabi Muhammad SAW” (Yusuf ali Anwar : 2003).
Islam adalah agama yang suci, turun dari Allah kepada melalui Nabi
Muhammad, dengan perantara malaikat Jibril bersamaan dengan diturunkannya
kitab suci Al-Qur’an sebagai sumber utama ajaran Islam. Islam seperti inilah yang
selalu disiarkan dan didakwahkan oleh setiap muslim kepada orang atau muslim
lainnya, sebagai salah satu tugas suci yang diperintahkan oleh Allah. Akan tetapi
Islam yang tunggal tersebut dalam perkembangannya mengalami dinamika prktis
didalam diri manusia dan masyarakat. Dengan akalnya setiap manusia atau
masyarakat mempunyai pandangan dan cara pengalaman agama islam masing-
masing. Dengan mudah kita temukan aneka perdebatan tentang ajaran agama
Islam dimasyarakat melalui para tokoh agama, demikian pula dengan mudah kita
dapat saksikan aneka ragam cara pengamalan agama islam dalam kehidupan
sehari-hari. Dalam konteks seperti inilah muncul istilah Islam Normatif (Islam
yantg asli dan murni dari Allah) dan Islam Historis (Islam yang dipikirkan dan
dipraktikan orang yang terpengaruh oleh dimensi ruang dan waktu) (Khadziq:
2009).

19
20

Sedangkan secara terminologis disepakati oleh para ulama bahwa Islam


adalah, kaidah hidup yang di turunkan kepada manusia sejak manusia di turunkan
ke muka bumi dan terbina dalam bentuknya yang terakhir dan sempurna dalam
Al-Quran yang suci yang di wahyukan Tuhan kepada nabi-Nya yang terakhir,
yakni Nabi Muhammad SAW, satu kaidah hidup yang memuat tuntunan yang
jelas dan lengkap mengenai aspek hidup manusia, baik spiritual maupun material
(Yusuf Ali Anwar :2003).
Dapat disimpulkan bahwa Islam adalah agama yang di turunkan Allah
kepada manusia melalui rasul-rasul-Nya, berisi aturan-aturan atau norma-norma
yang mengatur hubungan manusia dengan Allah, manusia dengan manusia, dan
manusia dengan alam semesta. Dengan demikian , dapat di katakan bahwa Islam
adalah agama yang universal , satu-satunya agama yang benar di sisi Allah.
Sepeninggalan nabi agung Muhammad SAW tepatnya pada 632 M silam,
kepemimpinan agama Islam tidak berhenti begitu saja. Kepemimpinan Islam
diteruskan oleh para khalifah dan disebarkan ke seluruh penjuru dunia termasuk
Indonesia. Hebatnya baru sampai abad ke 8 Islam telah menyebar hingga ke
seluruh afrika, timur tengah, dan benua eropa. Baru pada dinasti Ummayah
perkembangan islam masuk ke nusantara.
b. Sejarah masuknya Islam ke Indonesia (Teori Van de Bosch)
Zaman dahulu Indonesia dikenal sebagai daerah terkenal akan hasil
rempah-rempahnya, sehingga banyak sekali para pedagand dan saudagar dari
seluruh dunia datang ke kepulauan Indonesia untuk berdagang. Hal tersebut juga
menarik pedagang asal Arab, Gujarat, dan juga Persia. Sambil berdagang para
pedagang muslim sembari berdakwak untuk mengenalkan ajaran Islam kepada
para penduduk (Adityasono:2011).
Proses masuknya Islam ke Indonesia tidak terjadi dalam waktu yang
serentak melainkan dengan waktu yang berbeda-beda di setiap daerah. Pendapat
pertama mengatakan Islam masuk ke Indonesia pada aba ke-7 M, dimana telah
ditemukannya batu nisan berbahasa Arab bernama Fatimah binti Maimun.
Pendapat kedua mengatakan Islam masuk ke Indonesia pada abad ke-13, ditandai
dengan kemunculan kerajaan bercorak Islam pertama yaitu Samudra Pasai. Selain
21

itu adanya berita Ibnu Batutah dan Ma-Huan serta penemuan kompleks makam
Islam di Tralaya, Majapahit mendukung pendapat kedua ini. Proses Islamisasi di
Indonesia dilakukan dalam berbagai cara yaitu, Perkawinan, Pendidikan, Dakwah,
Ajaran Tasawuf, dan Kesenian. Kerajaan-kerajaan Islam di Indonesia
dianataranya adalah :
1. Kerajaan Samudra Pasai
Terletak di Pantai Utara Aceh di muara sungai Pisangan, kerajaan ini
merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia. Sumber sejarah terdapat pada
berita Marco Polo dan nisan Sultan Malik Al-saleh. Didirikan oleh Meurah Khair
dan digantikan oleh Sultan Malik Al-saleh. Pada masanya Samudra Pasai
memiliki pelabuhan yang sangat penting bagi jalur perdagangan. Namun Samudra
Pasai runtuh di tangan kerajaan Majapahit (Adityasono:2011).
2. Kerajaan Malaka
Muncul pada awal abad ke-15 sebagai pusat perdagangan dan pusat
kegiatan Islam. Didirikan oleh seorang pangeran yang melarikan diri dari
Majapahit setelah perang Paregreg. Namanya Paramisora yang lalu diganti
menjadi Iskandar Syah. Ia lalu digantikan putranya yang bernama Muhammad
Iskandar Syah, ia membawa Malaka mencapai puncak kejayaannya. Raja terakhir
kerajaan Malaka adalah Sultan Mahmud Syah, ia membuat kerajaan Malaka
mangalami kemunduran dari segi politis dan ekonomi dan akhirnya dikalahkan
oleh bangsa portugis (Adityasono:2011).
3. Kerajaan Aceh
Terletak di Aceh Besar dengan Kutaraja sebagai ibu kota, dipimpin oleh
Sultan Ali Mughayat Syah. Kerajaan Aceh mendapatkan masa keemasan dibawah
pimpinan Sultan Iskandar Muda yang membuat pelabuhan Aceh menjadi
pelabuhan Internasional. Pada masa pemerintahannya, ia menulis undang-undang
tata pemerintahan yang disebut Tata Makuta Alam. Sultan Iskandar Muda
digantikan Sultan Iskandar Thani. Pada masanya banyak bermunculan sastrawan
besar. Terdapat tulisan yang terkenal berjudul Bustanussalatin (taman raja-raja)
(Adityasono:2011).
22

4. Kerajaan Demak
Merupakan kerajaan Islam pertama di pulau Jawa yang didirikan oleh
Raden Patah karen melemahnya pengaruh Majapahit. Saat ia menjabat, pendirian
masjid agung Demak dimulai dengan corak dan ciri khas kerajaan Demak. Raden
Patah digantikan oleh putranya Pati Unus(pangeran Sabrang Lor) dikenal sebagai
panglima perang yang tangguh saat menghadapi portugis di Malaka. Raden
Trenggono (saudara Pati Unus) menggantikan posisi Pati Unus. Dibawah
kepemimpinanna kerajaan Demak berhasil melakukan politik ekspansi dengan
mengutus Fatahillah sebagai panglima perang. Sepeninggal Trenggono terjadi
perebutan kekuasaan yang akhirnya dimenangkan oleh Jaka Tingkir/Sultan
Hadiwijaya. Ia lalu memindahkan kerajaan Demak ke Pajang dan menjadikannya
kerajaan Pajang (Adityasono:2011).
5. Kerajaan Mataram
Pendiri kerajaan Mataram Islam adalah Sutawijaya. Terdapat banyak
tentangan saat Sutawijaya berkuasa dan akhirnya ia digantikan putranya yang
bernama Mas Jolang. Namun ia tidak cakap dalam memimpin dan digantikan oleh
Mas Rangsang atau Sultan Agung. Dibawah kepemimpinan Sultan Agung,
Mataram Islam mencapai puncak kejayaannya. Kegiatan ekonomi dan politik
ekspansi berjalan dengan baik. Pengganti Sultan Agung adalah Amangkurat I. Ia
menjalin hubungan dengan belanda dan memicu pemberontakan oleh Pangeran
Trunojoyo dari Madura. Amangkurat II menggantikannya, namun hampir seluruh
daerah Mataram Islam telah dikuasai Belanda. Akhirnya ia memindahkan
kerajaannya ke Kartasura. Setelah Amangkurat II wafat, berdasar pada perjanjian
Giyanti, Mataram Islam dibagi menjadi 2 daerah yaitu, Kasultanan Yogyakarta
dan Kasuhuna Surakarta. Lalu berdasarkan perjanjian Salatiga, Mataram dipecah
lagi menjadi tiga yaitu, Kasultanan Yogyakarta, Kasuhunan Surakarta, dan
Mangkunegaran (Adityasono:2011).
6. Kerajaan Banten
Wilayah kekuasaanya mulai dari Banten sampai ke Lampung, dipimpin
oleh Syarif Hidayatullah atau lebih dikenal sebagai Sunan Gunung Jati. Pada saat
pemerintahan Maulana Yusuf, penyebaran Islam bisa dilakukan dengan baik
23

setelah menaklukan kerajaan Pajajaran. Maulana Muhammad menggantikan


ayahnya, pada saat ia berkuasa terdapat pertikaian dengan Belanda dan ia
terbunuh di salah satu penyerangan Belanda. Lalu ia digantikan Sultang Ageng
Tirtayasa, ia membuat kerajaan Banten mencapai puncak kejayaan. Ia terkenal
dengan sifatnya yang sangat anti dengan Belanda. Berbeda dengan anaknya Sultan
Haji yang ikut bekerjasama dengan Belanda dan akhirnya kerajaan Banten tunduk
pada Belanda (Adityasono:2011).
7. Kerajaan Ternate dan Tidore
Daerah kekuasaannya meliputi Malukun dan sebagian Papua dengan hasil
rempah-rempah yang sangat melimpah. Karena kepentingan penguasaan
perdagangan dibentuklah persekutuan Uli Lima yang lalu disebut Ternate dan Uli
Siwa yang lalu disebut Tidore. Kedua kubu ini bersaing dengan sengit sehingga
Ternate mengadakan kerjasama dengan Belanda dan Tidore bekerjasama dengan
Spanyol. Pada masa pemerintahan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak
kejayaan (Adityasono:2011).
8. Kerajaan Gowa dan Tallo Kerajaan
Gowa dan Tallo sering disebut kerajaan Makassar, merupakan kerajaan
maritim ternama dengan armada laut yang kuat dan memiliki jalur perdagangan
laut yang luas. Raja Makassar yang pertama masuk Islam adalah Sultan Alauddin
yang sebenarnya pendahulunya merupakan orang-orang Hindu. Sultan Alauddin
membawa perkembangan bagi kerajaan yang selanjutnya dilanjutkan oleh Sultan
Hasannudin yang membawa Gowa dan Tallo ke puncak kejayaan. Ia menjadi
penguasa tunggal jalur perdagangan nusantara timur dan sering berperang dengan
VOC. Karen ketangguhannya ia dijuluki “Ayam Jantan dari Timur”. Putra
Hasannudin, Mapasomba meneruskan perjuangan ayahnya, namun ia tidak
setangguh ayahnya dan Makassar jatuh ke tangan Belanda (Adityasono:2011).
c. Interaksi tradisi lokal, Hindu-Buddha, dan Islam di Indonesia
Patung dan Candi Umat Hindu sangat mahir dalam membuat arca-arca dan
candi untuk kepentingan keagamaan mereka. Arca memilik funsi sebagai alat
pemujaan, kiasan yang menunjukan ciri khas tempat ibadah, dan alat bantu umat
Hindu untuk melakukan samadhi. Arca-arca biasanya diletakan dalam candi untuk
24

kepentingan ibadah serta candi dibuat sebagai bentuk persembahan kepada dewa-
dewa. Umat Hindu percaya bahwa orang yang sudah meninggal harus dibakar
jenazahnya dan abu nya disimpan di dalam candi. Upacara pembakaran ini disebut
ngaben. Upacara ngaben membutuhkan biaya yang besar dan memaksa integrasi
sosial masyarakat untuk melaksanakannya. Contoh candi yang bercorak Hindu
adalah Candi Badut, Candi Roro Jonggrang, dll. Pura merupakan tempat
peribadahan umat Hindu yang memiliki 2 bagian yaitu, halaman depan (untuk
sesaji) dan halaman belakang (untuk pemujaan). Untuk umat Buddha patung juga
sangat penting untuk beribadah, tidak seperti umat Hindu yang membuat patung
berbagai macam dewa, umat Buddha hanya membuat patung Sang Buddha
Gautama. Candi yang bercorak Buddha diantaranya adalah Candi Borobudur,
Candi Mendut dan Pawon, Candi Sewu, Candi Kalasan, dan Candi Plaosan
(Adityasono:2011).
Karya Sastra dan Wayang Karya Sastra Hindu diantaranya adalah
Ramayana dan Mahabharata. Cerita Ramayana dan Mahabharat oleh bangsa
Indonesia dijadikan suatu cerita yang dikemas dengan pertunjukan wayang.
Wayang, Gamelan, Batik, Pesantren, Masjid, Beduk, dan Kentongan
Merupakan peninggalan atau tradisi-tradisi Islam. Misalnya Wayag dan gamelan
digunakan Walisongo saat penyebaran agama Islam. Wayang dikembangkan ke
arah Islam oleh Sunan Kalijaga dan digunakan untuk menarik perhatian orang-
orang Indonesia sehingga mereka penasaran dan ikut mempelajari Islam begitu
juga gamelan yang dikembangkan oleh Sunan Bonang. Karya seni batik juga
merupakan perwujudan budaya Islam dimana orang Islam dilarang
menggambarkan makhluk hidup, karena itulah pola-pola abstrak batik
bermunculan. Selain bidang kesenian, Islam juga mengembangkan lembaga
pendidikan dengan pendirian pesantren-pesantren diilhami dari kebudayaan
Hindu-Buddha yang memiliki pusat pendidikan tersendiri. Pesantren bertujuan
menyiapkan orang yang siap untuk berdakwah dan menanamkan kehidupan Islam
di dalamnya. Sampai sekarang banyak pesantren-pesantren yang ada di Indonesia
disebut surau di wilayah Sumatera Barat dan dayah di daerah Aceh. Tempat
ibadah umat Islam adalah masjid, selain untuk tempat ibadah masjid juga
25

digunakan untuk menyelesaikan urusan-urusan kemasyarakatan. Sedangkan beduk


dan kentongan merupakan ciri khas masjid di Inonesia. Tabuhannya menandakan
waktu melakukan solat wajib atau memperingati hari raya Islam
(Adityasono:2011).
d. Teori peradaban menurut Arnold J Toynbee
Pemikiran Toynbee (2011) tentang peradaban adalah bahwa peradaban
selalu mengikuti alur mulai dari kemunculan sampai kehancuran. Teori Toynbee
ini senada dengan hukum siklus. Artinya ada kelahiran, pertumbuhan, kematian,
kemudian disusul dengan kelahiran lagi, dan seterusnya. Pemikiran Toynbee ini
senada dengan teori yang berkembang di Yunani pada masa pra-Socrates.
Terbentuknya gereja universal, munculnya penyelamat atau Al Mahdi,
pernyataan bahwa peradaban adalah “tangan pelayan” dari agama, dan fungsi
historis peradaban adalah sebagai batu loncatan menuju wawasan keagamaan
maka secara tidak langsung pemikiran ini senada dengan pemikiran para pemikir
patristik, seperti St Augustinus. Lebih lanjut lagi Toynbee menyatakan bahwa
keruntuhan kebudayaan bisa dihentikan. Upaya menghentikan keruntuhan
kebudayaan/peradaban yang mungkin berhasil ialah dengan penggantian segala
norma-norma kebudayaan dengan norma-norma ketuhanan (Ali:1961). Lebih
lanjut lagi, ia menyatakan bahwa dengan penggantian itu, tampaklah pula tujuan
gerak sejarah ialah kehidupan ketuhanan, atau dengan bahasan yang lebih konkret
adalah Kerajaan Allah. Mengenai pandangan ini Ali menyatakan bahwa teori
Toynbee merupakan muara teori Augustinus, yatu Civitas Dei (Purnomo:2003).
Dari sekian banyak karya dari Toynbee, baik sebagai penulis utama,
kontributor, editor, translator, serta pemberi kata pengantar dan pendahuluan,
karya yang paling monumental dari Toynbee adalah bukunya yang ditulis mulai
dari tahun 1930-an sampai tahun 1961, yaitu A Study of History. Buku ini terdiri
dari 12 jilid, yang masing-masing jilid menerangkan tahapan dalam peradaban
mulai dari kemunculan, pertumbuhan, dan kehancuran.
26

e. Konsep Peradaban Toynbe


Toynbee (2011) membagi sejarah dunia dalam 26 peradaban. Dari jumlah
peradaban itu 16 telah musnah, tiga lebur, sementara itu 7 lainnya masih bertahan.
Ketujuh peradaban itu kemudian dikombinasikan menjadi lima, yaitu (1)
Peradaban Barat, (2) Kristen Ortodoks, termasuk Eropa Tenggara, (3) Islam, (4)
Hindu, dan (5) Timur Jauh, termasuk di dalamnya Cina, Jepang, dan Korea
(Ekayati, 1996). Pembagian sejarah ini yang mendasari dilakukannya kajian
tentang peradaban dalam bukunya, A Study of History. Peradaban-peradaban yang
menjadi kajian dari Toynbee adalah Mesir, Andean, Sinic, Minoan, Sumeria,
Maya, Indic, Hittite, Hellenik, Peradaban Barat, Kristen Kaum ortodox di Rusia
dan Eropa, Cina dan timur jauh (Korea/Jepang),Iran, Arab, Hindu, Mexic,
Yucatek, dan Babylonia. Selainj itu ada empat 'abortif civilisations' ( Kristen
Barat Jauh, Kristen timur Jauh, Syriac, dan Scandinavia) dan lima peradaban yang
bertahan (arrested civilization) yaitu Polinesia, Eskimo, Nomadic, ottoman, dan
Spartan. Dari sekian peradaban yang ditelitinya total ada tiga puluh peradaban.
Dalam mengaji peradaban itu, Toynbee melakukan pendekatan yang sama
Ia dengan detail mengulas tentang asal usul, pertumbuhan, kemuduran, status
universal, dan disintegrasi. Ia membuat generalisasi berdasarkan semua bukti
historis yang pernah tercatat. Menurutnya, unit studi sejarah yang tepat bukan
keseluruhan umat, bukan pula satu negara-bangsa tertentu tetapi adalah “unit
menengah” yang rentangan ruang dan waktunya lebih besar daripada sebuh
masyarakat tertentu tetapi lebih kecil daripada kemanusiaan, yakni peradaban.
Gagasan tentang adanya keunikan atau potensi dominan dalam setiap peradaban
muncul kembali. Contohnya, estetika dalam peradaban Hellenis; agama dalam
peradaban Hindu; ilmu dan teknologi dalam peradaban Barat.
Toynbee (2011) melihat gejala peradaban sebagai sebuah siklus. Dalam
pandangan ini peradaban, seperti halnya riwayat organisme hidup, mengalami
tahap-tahap kelahiran, tumbuh dewasam dan runtuh. Dalam proses perputaran itu
sebuah peradaban tidak selalu berakhir dengan kemusnahan total. Terdapat
kemungkinan bahwa proses itu berulang, meskipun dengan corak yang tidak
sepenuhnya sama dengan peradaban yang mendahuluinya (Rahardjo:2002).
27

Toynbee menyatakan bahwa peradaban peradaban baru yang menggantikannya itu


dapat mencapai prestasi melebihi peradaban yang digantikannya. Lebih lanjut lagi
bagi Toynbee peradaban adalah suatu rangkaian siklus kehancuran dan
pertumbuhan, tetapi setiap peradaban baru yang kemudian muncul dapat belajar
dari kesalahan-kesalahan dan meminjam kebudayaan dari tempat lain. Dengan
demikian, memungkinkan setiap siklus baru memunculkan tahap pencapaian yang
lebih tinggi. Ini berarti setiap siklus dibangun di atas peradaban yang lain
(Rahardjo:2002).
Toynbee (2011) membagi pentahapan ke dalam tiga periode utama, yaitu
geneses, growth, dan breakdown. Namun karena Toynbee memberikan perhatian
paling besar pada periode ketiga, maka bagian ini masih disambung lagi dengan
tahap-tahap disintegrations, universal states, universal churches, dan heroic ages,
yang menandai akhir suatu siklus dan awal siklus baru. Disamping itu Toynbee
dalam bukunya A Study of History masih menambahkan aspek-aspek lain dari
gejala peradaban, yakni contacs between civilization in space, dan contact
between ciivlization in time.
Peradaban bagi Toynbee bermula ketika manusia mampu menjawab
tantangan lingkungan fisik yang keras kemudian berhasil juga dalam menjawab
tantangan lingkungan sosial. Pertumbuhan terjadi tidak hanya ketika tantangan
tertentu berhasil diatasi, tetapi juga karena mampu menjawab lagi tantangan
berikutnya. Kriteria pertumbuhan itu tidak diukur dari kemampuan manusia
mengendalikan lingkungan fisik (misalnya melalui teknologi), atau pengendalian
lingkungan sosial (misalnya melalui penaklukan), melainkan diukur dari segi
peningkatan kekuatan yang berasal dari dalam diri manusia, yakni semangat yang
kuat (self determination) untuk mengatasi rintangan-rintangan eksternal. Dengan
kata lain, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu bersifat internal dan
spiritual (Rahardjo:2002).
Mengapa peradaban bisa muncul? Pertanyaaan itulah yang mengawali
pemikiran Toynbee tentang munculnya peradaban. Pada mulanya ia berpikiran
bahwa faktor gen dalam ras dan kondisi lingkungan fisiklah yang menjadi
landasan utama munculnya peradaban. Akan tetapi pada akhirnya pemikiran
28

tesebut digugurkannya sendiri. Tidak ada ras yang superior dan tidak ada
lingkungan fisik yang benar-benar menciptakan peradaban dalam sendirinya. Hal
ini dikarenakan ras dan lingkungan fisik hanya bersifat membantu perkembangan
peradaban (Lauer:2001).
Peradaban muncul karena dua faktor yang berkaitan: adanya minoritas
kreatif dan kondisi lingkungan. Antara keduanya tak ada yang terlalu
menguntungkan atau terlalu merugikan bagi pertumbuhan kultur. Mekanisme
kelahiran dan dinamika kelangsungan hidup kultur dijelmakan dalam konsep
tantangan dan tanggapan (challange and response). Lingkungan (mula-mula
alamiah, kemudian juga sosial) terus menerus menantang masyarakat, dan
masyarakat melalui minoritas kreatif menentukan cara menanggapi tantangan itu.
Segera setelah itu tantangan ditanggapi, muncul tantangan baru dan diikuti oleh
tanggapan berikutnya (Sztompka:2004).
Toynbee (2011) memperkenalkan sejarah dalam kaitan dengan challenge-
and-response. Peradaban muncul sebagai jawaban atas beberapa satuan tantangan
kesukaran ekstrim, ketika "minoritas kreatif" yang mengorientasikan kembali
keseluruhan masyarakat. Minoritas kreatif ini adalah sekelompok manusia atau
bahkan individu yang memiliki "self-determining" (kemampuan untuk
menentukan apa yang hendak dilakukan secara tepat dan semangat yang kuat).
Dengan adanya minoritas kreatif, sebuah kelompok manusia akan bisa keluar dari
masyarakat primitif.
Tantangan dan tanggapan adalah bersifat fisik, seperti ketika penduduk
zaman neolithik berkembang menjadi suatu masyarakat yang mampu
menyelesaikan proyek irigasi besar-besaran; atau seperti ketika Gereja Agama
Katholik memecahkan kekacauan post-Roman Eropa dengan pendaftaran
Kerajaan berkenaan dengan bahasa Jerman yang baru di dalam masyarakat
religius tunggal.
Peradaban muncul sebagai tanggapan atas tantangan. Mekanisme sebab-
akibat bukanlah sesuatu yang benar-benar ada, tetapi hanya sekadar hubungan,
dan hubungan itu dapat terjadi antara manusia dan alam atau antara manusia dan
manusia. Sebagai contoh, peradaban Mesir sebagai hasil tanggapan yang memadai
29

atas tantangan berasal dari rawa dan hutan belantara lembah Nil, sedangkan
peradaban lain muncul dari tantangan konflik antarkelompok.
Peradaban hanya tercipta karena mengatasi tantangan dan rintangan,
bukan karena menempuh jalan yang terbuka lebar dan mulus. Toynbee membahas
lima perangsang yang berbeda bagi kemunculan peradaban, yakni kawasan yang:
ganas, baru, diperebutkan, ditindas, dan tempat pembuangan (Lauer:2001).
Kawasan ganas mengacu pada lingkungan fisik yang sukar ditaklukkan,
seperti wilayah yang terbiasa untuk banjir bandang yang sensntiasa mengancam
seperti di sepanjang sungan Hoang Ho, Cina. Kawasan baru mengacu kepada
daerah yng belum pernah diolah dan dihuni, sehingga masyarakat akan merasa
asing dan melakukan upaya untuk adaptasi. Kawasan yang dipersengketakan,
temasuk yang baru ditaklukkan dengan kekuatan militer. Kawasan tetindas
menunjukkan suatu situasi ancaman dari luar yang berkepanjangan. Kawasan
hukuman atau pembuangan mengacu pada kawasan tempat kelas dan ras yang
secara historis telah menjadi sasaran penindasan, diskriminasi, dan eksloitasi
(Lauer:2001).
Ketika mendapat tantangan, jangan selalu memberikan tanggapan yang
dapat membangkitkan suatu peradaban. Namun demikian, tidak semua tantangan
bisa dianggap sebagai sebuah rangsangan positif. Ada pula tantangan yang tidak
menimbulkan peradaban. Dalam Ali (Purnomo, 2003) diterangkan bahwa dalam
alam yang baik, manusia akan berusaha untuk mendirikan suatu kebudayaan,
seperti di Eropa, India, dan Cina. Di daerah yang terlalu dingin seolah-olah
kegiatan manusia membeku (Eskimo), di daerah yang terlalu panas tidak dapat
timbul suatu kebudayaan (Sahara, Kalahari, Gobi). Tantangan itu mungkin
sedemikian hebatnya sehingga orang tidak dapat menciptakan tanggapan
memadai. Oleh karena itu, tidak ada hubungan langsung antara tantangan dan
tanggapan, tetapi hubungannya berbentuk kurva linear. Artinya tingkat kesukaran
yang sangat besar dapat membangkitkan tanggapan yang memadai, tetapi
tantangan ekstrim dalam arti terlalu lemah dan terlalu keras, tidak mungkin
membangkitkan tanggapan memadai (Lauer:2001).
30

Pertumbuhan atau kemajuan sesungguhnya adalah energi kreatif yang


tumbuh sebagai akibat dari pengalaman-pengalaman sebelumnya dalam mengatasi
tantangan-tantangan eksternal. Ia mengatakan bahwa kemajuan manusia
seharusnya diukur dari peningkatan semangat yang kuat (self-determination) yang
biasanya dimiliki oleh sekelompok kecil individu yang kreatif (minority of
creative persons). Dengan demikian, kekuatan yang mendorong pertumbuhan itu
bersifat internal dan sipiritual (Rahardjo:2002).
Pertumbuhan peradaban tergantung pada perilaku minoritas kreatif.
Seluruh tindakan sosial adalah karya individu-individu pencipta. Namun
kebanyakan umat manusia cenderung tetap teperosok ke dalam cara-cara hidup
lama. Oleh karena itu, tugas minoritas kreatif bukanlah semata-mata menciptakan
bentuk-bentuk dan proses-proses sosial baru, melainkan juga menciptakan cara-
cara membawa mayoritas ini bersama-sama dengan mereka untuk mencapai
kemajuan. Dengan pimpinan elit, peradaban akan tumbuh melalui serentetan
tanggapan yang berhasil menghadapi tantangan yang berkelanjutan.
Toynbee dalam Lauer (2001) menyebut tahap pertumbuhan (growth)
sebagai proses “penghalusan”, yakni pergeseran penekanan dari alam
kemanusiaan atau perilaku yang lebih rendah ke taraf yang lebih tinggi. Ini berarti
menaklukkan rintangan awal sehingga dengan demikian energi dapat tersalurkan
untuk menanggapi tantangan yang lebih bersifat internal dari pada yang bersifat
eksternal, dan yang bersifat spiritual ketimbang material. Pertumbuhan demikian
berarti peningkatan penentuan nasib sendiri, dan ini menimbulkkan deferensiasi
terus menerus di antara bagian-bagian masyarakat. Diferensiasi ini tejadi karena
sebagian masyarakat tertentu berhasi memberikan tanggapan memadai atas
tantangan; sebagian yang lain berhasil dengan jalan meniru bagian yang berhasil
itu. Sebagian yang lain lagi gagal, baik dalam menciptakan atau meniru, dan
demikian akan mendekati kematian. Akibatnya adalah berkembangnya ciri khas
tertentu di dalam setia peradaban. Peradaban Yunani misalnya, memiliki
keunggulan pandangan estetika mengenai kehidupan sebagai suatu keseluruhan.
Peradaban hindu dan India cenderung menuju ke suatu pandangan hidup yang
mengtamakan keagamaan (Lauer:2001).
31

Tak ada peradaban yang terus menerus tumbuh tanpa batas. Umumnya
peradaban akan mengalami kehancuran bila elit kreatifnya tidak berfungsi secara
memadai, mayoritas tak lagi memberikan kesetiaan kepada minoritas, dan
menirunya; dan bila kesatuan sosial mengalami perpecahan. Kehancuran dan
perpecahan adalah biasa, namun tak terelakkan. Mungkin pula terjadi proses
pembatuan, seperti ditunjukkan oleh masyarakat mesir kuno dan timur jauh.
Dalam keadaan membatu masyarakat hidup terus, meskipun sebenarnya sudah
menamatkan perjalanan hidupnya (Lauer:2001).
Dalam fase perpecahan dan kehancuran peradaban, minoritas kreatif
behenti menjadi manusia kreatif. Peradaban binasa dari dalam karena kemampuan
kreatif sangat menurun padahal tantangan baru semakin meningkat. Kehancuran
peradaban disebabkan oleh kegagalan kekuatan kreatif kalangan minoritas dan
karena lenyapnya kesatuan sosial dalam masyarakat sebagai satu kesatuan
(Sztompka, 2004:173-174). Apabila minoritas menjadi lemah dan kehilangan
daya menciptanya, maka tantangan-tantangan dari alam tidak dapat dijawab lagi.
Minoritas menyerah, mundur dan pertumbuhan tidak akan berkembang lagi.
Apabila keadaan sudah memuncak seperti itu, keruntuhan mulai nampak.
Keruntuhan terjadi dalam tiga tahap (Purnomo:2003), yaitu:
Kemerosotan kebudayaan. Masa ini tejadi karena minoritas kehilangan
daya menciptanya dan kehilangan kewibawaannya, sehingga mayoritas tidak lagi
bersedia mengikuti minoritas. Perarutan alam dalam kebudayaan yang dibuat
antara mayoritas dan minoritas pecah dan tunas-tunas kebudayaan menuju pada
kematian.
Kehancuran kebudayaan. Masa ini mulai muncul setelah tunas-tunas
kehidupan kebudayaan mati, sehingga pertumbuhannya terhenti. Akibatnya daya
hidup kebudayaan membeku dan kebudayaan tesebut menjadi tidak berjiwa lagi.
Toynbee menyebut masa ini sebagai petrification atau pembatuan (menjadi fosil)
kebudayaan.
Lenyapnya kebudayaan, yaitu apabila tubuh kebudayaan yang sudah
membatu itu hancur lebur dan lenyap.
32

Toynbee menyatakan bahwa uraian peradaban tidaklah disebabkan oleh


hilangnya kendali terdiri atas lingkungan, yang terdiri atas lingkungan manusia,
atau faktor yang menyerang dari luar. Kemunduran itu diakibatkan kemandulan
dari "minoritas yang kreatif," kemudian menjadi " minoritas dominan" yang
memaksa mayoritas untuk mematuhi tanpa pantas menerima ketaatan. Ia
menyatakan minoritas kreatif itu memburuk dalam kaitan dengan suatu pemujaan.
Mereka selalu bernostalgia tentang " diri yang dahulu," dengan mana mereka
menjadi merasa bangga, dan gagal untuk cukup menunjuk tantangan yang
berikutnya yang mereka menghadapi.
Toynbee (2011) menyatakan bahwa, keruntuhan peradaban bermula ketika
terbentuk suatu "Kaum tani Internal" (internal proletariat) dan "Kaum tani
Eksternal" (external proletariat). Protelariat yang internal berhasil ditundukkan
oleh minoritas yang dominan di dalam peradaban, akan tetapi kaum proletariar
eksternal yang ada di luar peradaban itu berada dalam kemiskinan dan kekacauan,
dan pada akhirnya tumbuh cemburu dan dengki. Ia menyatakan bahwa hal itu
sebagai bentuk kemunduran peradaban, proses ini disebut " perpecahan dalam
badan sosial" (schism in the body social) di mana kebebasan yang tanpa kendali
dan pengendalian-diri bersama-sama menggantikan kreativitas, dan kemangkiran
dan kesyahidan/semangat martir bersama-sama menggantikan semangat untuk
belajar seperti yang diajarkan oleh minoritas kreatif .
Bahwa di dalam lingkungan ini, orang-orang memilih archaism
(kekolotan), futurisme, detasemen (penghilangan dirinya dari kenyataan
kemunduran dunia), dan transenden. Ia menyatakan bahwa transendensi telah
menyebabkan kelahiran bagi gereja sebagai upaya untuk pengalihan perhatian dari
keterpurukan yang terjadi kepada hal yang lebih bersifat rohani dan menjadi
manusia baru.
Peradaban itu hancur dan bila kehancuran terjadi, diikuti pula oleh khas
seperti berikut. Terjadi perpecahan masyarakat, diikuti perpecahan peradaban
menjadi tiga kelompok yang berlawanan, yaitu minoritas dominan, proletariat
internal, dan proletariat eksternal. Masing-masing kelompok selanjutnya
33

menciptakan institusi yang khas: suasana universal (universal state), gereja


universal (universal chruch), dan peperangan biadab (heroic ages) (Lauer:2001).
Singkatnya, perpecahan peradaban itu diungkapkan dalam istilah mundur
teratur. Sebagai contoh keadaan universal mencerminkan konsolidasi sesudah
mundur teratur ketika berada dalam keadaan sukar. Terakhir mengingat peradaban
yang tumbuh ditandai oleh peningkatan diferensiasi, sebaliknya peradaban yang
sedang hancur ditandai oleh peningkatan standarisasi. Minortias dominan secara
seragam menciptakan falsafah dan keadaan universal; proletariat internal secara
seragam menemukan agama yang lebih agung, yang diungkapkan melalui sebuah
gereja universal; proletariat eksternal secara serentak menghimpun pasukan untuk
melancarkan serangan terhadap peradaban (Lauer:2001).
Kehancuran kebudayaan dapat ditahan. Usaha itu dipimpin oleh jiwa-jiwa
besar yang bertindak seolah-olah sebagai Al Mahdi. Akan tetapi perjuangan itu
tidak berhasil sama sekali. Suatu usaha untuk menghentikan keruntuhan suatu
kebudayaan yang mungkin berhasil ialah penggantian dari suatu kebudayaan
dengan norma-norma ketuhanan (Purnomo, 2003). Hal ini dibuktikan dengan pada
tingkat perpecahan dimunculkan juru selamat masyarakat. Secara khusus ada
empat jenis juru selamat yang muncul (Lauer:2001), yaitu:
Juru selamat dengan pedang, yakni pencipta dan penegak keadaan
universal. Juru selamat dengan mesin waktu, yakni orang yang berpandangan
kolot atau yanmg berpandangan maju. Orang yang berpandangan kolot adalah
yang merasa selamat dengan memulihkan zaman ke keemasa masa lalu.
Sedangkan yang berpandangan maju, mereka yang selamat dengan melompat ke
masa depan yang belum diketahui (dengan revolusi yang memutuskan hubungan
masyarakat dengan masa lalu.
Falsafah yang menyatakan bahwa raja mencreminkan penyelesaian
masalah tanpa menggunkan pedang dan mesin waktu. Hal ini dikemukakan oleh
Plato. Penyelesaian ini memerlukan suatu kesatuan falsafah dan kekuatan politik,
baik filsuf harus menjadi raja, atau raja harus menjadi filsuf. Toynbee menyatakan
penyelesaian ini akan mengalami kegagalan karena kontradiksi ensternal antara
34

sikap tak terpengaruh dari filsif dan campur tangan penggunaan kekuasaandan
paksaan dari raja.
Penjelmaan tuhan dalam diri manusia. Ini seperti halnya yang ada pada
diri juru selamat yang mencerminkan dirinya sendiri sebagai tuhan yang
menawarkan harapan, atau tepatnya hanyalah isa almasih yang dapat
membebaskan manusia dari kematian.
Toynbee menyatakan adanya pola umum yang melandasi atau logika unik
yang terjelma sendiri dalam jangka panjang dan belaku untuk semua peradaban.
Pola umum itu adalah kemajuan spiritual dan agama. Peradaban adalah “tangan
pelayan” dari agama. Fungsi historis peradaban adalah sebagai batu loncatan
menuju wawasan keagamaan yang makin mendalam dan untuk bertindak
berdasarkan wawasan.
Pandangan Toynbee tentang gerak sejarah adalah bahwa dalam sejarah
tidak terdapat suatu hukum tertentu yang menguasai dan mengatur timbul-
tenggelamnya kebudayaan-kebudayaan dengan pasti. Toynbee menganjurkan
bahwa sejarah harus dipelajari secara holistik. Mempelajari sejarah tidak dapat
dipisah-pisahkan antara bagian-bagian yang ada di dalamnya. Mempelajari sejarah
harus mempelajari suatu masyarakat secara keseluruhan, masyarakat secara utuh
sebagai satu kesatuan unit dari proses sejarah (Purnomo, 2003).
Oleh karena sejarah adalah studi tentang peradaban, Toynbee menyatakan
bahwa ada kontinuitas dalam sejarah. Contoh kontinuitas tersebut adalah adanya
orang tua dan anak. Kontinuitas sejarah bukan kontinuitas individu, melainkan
kelangsungan generasi. Oleh karena itu kesalahan-kesalahan dalam mempelajari
sejarah sebagai satu unit harus dihilangkan (Purnomo:2003).
Kaitannya dengan permasalahan yang terjadi pada masa ini yang menjadi
permasalahan universal yang terjadi tidak hanya pada masa lalu, tetapi juga pada
masa kini, Toynbee memusatkan perhatian pada kemungkinan perkembangan
peradaban barat dan nasib peradaban masa lalu. Ia mengemukakan sejumlah
masalah mendasar yang dihadapi dan harus diselesaikan (Lauer:2001)
35

Masalah perang yang telah menjadi penyebab utama perpecahan dan


kehancuran peradaban masa lalu. Dengan ditemukannya bom nuklir, pengendalian
perang menjadi semakin mendesak.
Masalah pertentangan kelas. Industrialisasi menyebabkan bagian terbesar
barang kebutuhan material tidak lagi dimonopoli oleh segelintir orang yang
memiliki hak istimewa. Rakyat takkan senang, kecuali kalau mereka sudah bebas
dari kemiskinan. Paling tidak dalam kasus ini ada beberapa kelas, yaitu kaum
buruh yang kemudian bergabung dalam serikat buruh.kemduian ada pula kelas
menengah yang terperosok ke dalam pengekangan kehidupan dalam bentuk
birokrasi.
Sejarah manusia yang dikemukakan Toynbee adalah suatu lingkaran
perubahan berkepanjangan dari peradaban: lahir, tumbuh, pecah, dan hancur.
Kaitannya dengan gerak sejarah, Toynbee menyatakan bahwa sejarah umat
manusia sama halnya dengan konsep peradaban, mengalami siklus, mulai dari
kemunculan sampai pada kehancuran.
Kemunculan peradaban, pertumbuhan, dan kehancuran peradaban ada satu
benang merah yng mengaitkannya, yaitu adanya kalangan yang memegang
pengaruh. Dari kemunculan peradaban dan pertumbuhannya ada istilah minoritas
kreatif yang menjadi penentu peradaban dan massa. Pada fase kemunduran, yang
disebabkan mandek-nya kaum minoritas kreatif dalam menaggapi tantangan
secara tepat melalui inovasi, ada istilah minoritas dominan yang menyelewengkan
kekuasaannya. Pelajaran yang dapat diambil dari pemikiran Toynbee adalah
bahwa kehancuran dimulai dari mandulnya kreativitas manusia. Selain itu
Toynbee juga mengingatkan kita kepada hasil studinya yang menyatakan tak ada
peradaban yang kebal terhadap kemerosotan tetapi, ada upaya yang bisa dilakukan
untuk tetap menjaga eksistensi dengan mengembangkan inovasi dan kreativitas.
f. Nusantara
Nusantara merupakan istilah yang dipakai untuk menggambarkan wilayah
kepulauan yang membentang dari Sumatera sampai Papua, yang sekarang
sebagian besar merupakan wilayah negara Indonesia. Kata ini tercatat pertama
kali dalam literatur berbahasa Jawa Pertengahan (abad ke-12 hingga ke-16) untuk
36

menggambarkan konsep kenegaraan yang dianut Majapahit. Setelah sempat


terlupakan, pada awal abad ke-20 istilah ini dihidupkan kembali oleh Ki Hajar
Dewantara sebagai salah satu nama alternatif untuk negara merdeka pelanjut
Hindia Belanda yang belum terwujud. Ketika penggunaan nama "Indonesia"
(berarti Kepulauan Hindia) disetujui untuk dipakai untuk ide itu, kata Nusantara
tetap dipakai sebagai sinonim untuk kepulauan Indonesia.
Pengertian ini sampai sekarang dipakai di Indonesia. Akibat
perkembangan politik selanjutnya, istilah ini kemudian dipakai pula untuk
menggambarkan kesatuan geografi-antropologi kepulauan yang terletak di antara
benua Asia dan Australia, termasuk Semenanjung Malaya namun biasanya tidak
mencakup Filipina. Dalam pengertian terakhir ini, Nusantara merupakan padanan
bagi Kepulauan Melayu (Malay Archipelago), suatu istilah yang populer pada
akhir abad ke-19 sampai awal abad ke-20, terutama dalam literatur berbahasa
Inggris.
g. Nusantara dalam konsep kenegaraan Jawa Majapahit
Konsep kenegaraan Jawa pada abad ke-13 hingga ke-15, raja adalah
"Raja-Dewa": raja yang memerintah adalah juga penjelmaan dewa. Karena itu,
daerah kekuasaannya memancarkan konsep kekuasaan seorang dewa. Kerajaan
Majapahit dapat dipakai sebagai teladan. Negara dibagi menjadi tiga bagian
wilayah:
1. Negara Agung merupakan daerah sekeliling ibu kota kerajaan tempat raja
memerintah.
2. Mancanegara adalah daerah-daerah di Pulau Jawa dan sekitar yang
budayanya masih mirip dengan Negara Agung, tetapi sudah berada di "daerah
perbatasan". Dilihat dari sudut pandang ini, Madura dan Bali adalah daerah
"mancanegara". Lampung dan juga Palembang juga dianggap daerah
"mancanegara".
3. Nusantara, yang berarti "pulau lain" (di luar Jawa) adalah daerah di luar
pengaruh budaya Jawa tetapi masih diklaim sebagai daerah taklukan: para
penguasanya harus membayar upeti.
37

Gajah Mada menyatakan dalam Sumpah Palapa: Sira Gajah Mada


pepatih amungkubumi tan ayun amukita palapa, sira Gajah Mada : Lamun huwus
kalah Nusantara ingsun amukti palapa, lamun kalah ring Gurun, ring Seram,
Tanjungpura, ring Haru, ring Pahang, Dompo, ring Bali, Sunda, Palembang,
Tumasik, samana ingsun amukti palapa (wikipedia.org.2016).
Terjemahannya adalah: "Dia Gajah Mada Patih Amangkubumi tidak ingin
melepaskan puasa. Ia Gajah Mada, "Jika telah mengalahkan pulau-pulau lain, saya
(baru akan) melepaskan puasa. Jika mengalahkan Gurun, Seram, Tanjung Pura,
Haru, Pahang, Dompo, Bali, Sunda, Palembang, Tumasik, demikianlah saya (baru
akan) melepaskan puasa".
Kitab Negarakertagama mencantumkan wilayah-wilayah "Nusantara",
yang pada masa sekarang dapat dikatakan mencakup sebagian besar wilayah
modern Indonesia (Sumatra, Kalimantan, Nusa Tenggara, sebagian Sulawesi dan
pulau-pulau di sekitarnya, sebagian Kepulauan Maluku, dan Papua Barat)
ditambah wilayah Malaysia, Singapura, Brunei dan sebagian kecil Filipina bagian
selatan. Secara morfologi, kata ini adalah kata majemuk yang diambil dari bahasa
Jawa Kuna nusa ("pulau") dan antara (lain/seberang).
Kebanyakan sejarawan Indonesia percaya bahwa konsep kesatuan
Nusantara bukanlah pertama kali dicetuskan oleh Gajah Mada dalam Sumpah
Palapa pada tahun 1336, melainkan dicetuskan lebih dari setengah abad lebih awal
oleh Kertanegara pada tahun 1275. Sebelumnya dikenal konsep Cakrawala
Mandala Dwipantara yang dicetuskan oleh Kertanegara, raja Singhasari.
Dwipantara adalah kata dalam bahasa Sanskerta untuk "kepulauan antara", yang
maknanya sama persis dengan Nusantara, karena "dwipa" adalah sinonim "nusa"
yang bermakna "pulau". Kertanegara memiliki wawasan suatu persatuan kerajaan-
kerajaan Asia Tenggara di bawah kewibawaan Singhasari dalam menghadapi
kemungkinan ancaman serangan Mongol yang membangun Dinasti Yuan di
Tiongkok. Karena alasan itulah Kertanegara meluncurkan Ekspedisi Pamalayu
untuk menjalin persatuan dan persekutuan politik dengan kerajaan Malayu
Dharmasraya di Jambi. Pada awalnya ekspedisi ini dianggap penakhlukan militer,
akan tetapi belakangan ini diduga ekspedisi ini lebih bersifat upaya diplomatik
38

berupa unjuk kekuatan dan kewibawaan untuk menjalin persahabatan dan


persekutuan dengan kerajaan Malayu Dharmasraya. Buktinya adalah Kertanegara
justru mempersembahkan Arca Amoghapasa sebagai hadiah untuk menyenangkan
hati penguasa dan rakyat Malayu. Sebagai balasannya raja Melayu mengirimkan
putrinya; Dara Jingga dan Dara Petak ke Jawa untuk dinikahkan dengan penguasa
Jawa.
Pada tahun 1920-an, Ki Hajar Dewantara memperkenalkan nama
"Nusantara" untuk menyebut wilayah Hindia Belanda. Nama ini dipakai sebagai
salah satu alternatif karena tidak memiliki unsur bahasa asing ("India"). Alasan ini
dikemukakan karena Belanda, sebagai penjajah, lebih suka menggunakan istilah
Indie ("Hindia"), yang menimbulkan banyak kerancuan dengan literatur berbahasa
lain. Definisi ini jelas berbeda dari definisi pada abad ke-14. Pada tahap
pengusulan ini, istilah itu "bersaing" dengan alternatif lainnya, seperti "Indonesië"
(Indonesia) dan "Insulinde" (berarti "Hindia Kepulauan"). Istilah yang terakhir ini
diperkenalkan oleh Eduard Douwes Dekker.
Ketika akhirnya "Indonesia" ditetapkan sebagai nama kebangsaan bagi
negara independen pelanjut Hindia Belanda pada Kongres Pemuda II (1928),
istilah Nusantara tidak serta-merta surut penggunaannya. Di Indonesia, ia dipakai
sebagai sinonim bagi "Indonesia", baik dalam pengertian antropo-geografik
(beberapa iklan menggunakan makna ini) maupun politik (misalnya dalam konsep
Wawasan Nusantara).
h. Nusantara dan Kepulauan Melayu
Literatur-literatur Eropa berbahasa Inggris (lalu diikuti oleh literatur
bahasa lain, kecuali Belanda) pada abad ke-19 hingga pertengahan abad ke-20
menyebut wilayah kepulauan mulai dari Sumatera hingga Kepulauan Rempah-
rempah (Maluku) sebagai Malay Archipelago ("Kepulauan Melayu"). Istilah ini
populer sebagai nama geografis setelah Alfred Russel Wallace menggunakan
istilah ini untuk karya monumentalnya. Pulau Papua (New Guinea) dan sekitarnya
tidak dimasukkan dalam konsep "Malay Archipelago" karena penduduk aslinya
tidak dihuni oleh cabang ras Mongoloid sebagaimana Kepulauan Melayu dan
secara kultural juga berbeda. Jelas bahwa konsep "Kepulauan Melayu bersifat
39

antropogeografis (geografi budaya). Belanda, sebagai pemilik koloni terbesar,


lebih suka menggunakan istilah "Kepulauan Hindia Timur" (Oost-Indische
Archipel) atau tanpa embel-embel timur.
Ketika "Nusantara" yang dipopulerkan kembali tidak dipakai sebagai
nama politis sebagai nama suatu bangsa baru, istilah ini tetap dipakai oleh orang
Indonesia untuk mengacu pada wilayah Indonesia. Dinamika politik menjelang
berakhirnya Perang Pasifik (berakhir 1945) memunculkan wacana wilayah
Indonesia Raya yang juga mencakup Britania Malaya (kini Malaysia Barat) dan
Kalimantan Utara. Istilah "Nusantara" pun menjadi populer di kalangan warga
Semenanjung Malaya, berikut semangat kesamaan latar belakang asal usul
(Melayu) di antara penghuni Kepulauan dan Semenanjung.
Pada waktu negara Malaysia (1957) berdiri, semangat kebersamaan di
bawah istilah "Nusantara" tergantikan di Indonesia dengan permusuhan yang
dibalut politik Konfrontasi oleh Soekarno. Ketika permusuhan berakhir,
pengertian Nusantara di Malaysia tetap membawa semangat kesamaan rumpun.
Sejak itu, pengertian "Nusantara" bertumpang tindih dengan "Kepulauan Melayu".
(Wikipedia, diunduh pada tangagal 12 Mei 2016).
B. Keadaan Islam di Timur tengah dan Indonesia
Peperangan di Timur Tengah, khususnya Suriah, Irak dan Yaman
memiliki tali temali yang cukup rumit, melibatkan tipu daya antara kelompok
dengan sejumlah negara terkait. ISIS bukanlah kelompok yang baru lahir.
Awalnya, Jabhat Al-Nusra itu cabang Al-Qaeda. ISIS juga dulu cabang
Al-Qaeda. Dulu ISIS saat perang Irak hanya bernama Islamic State of Iraq tapi
pimpinannya Al-Baghdadi juga mau pegang Suriah, akhirnya dia suruh
komandannya yang paling berpengalaman Abu Mohammad Al-Julani buka
cabang di Suriah, namanya Jabhat Al-Nusra.
Begitu sukses berpengaruh di Suriah, Baghdadi memproklamirkan dan
mengubah nama Islamic State of Iraq menjadi Islamic State of Iraq and Syria, tapi
pimpinan Al-Nusra tidak setuju, lalu mereka berdua lapor ke Al-Qaeda. Namun
Al-Qaeda juga tidak setuju Al-Nusra digabung dengan ISIS, Baghdadi tidak
terima akhirnya balik menyerang dan mempengaruhi anggota Al-Nusra supaya
40

pindah ke ISIS dengan cara-cara kejam. Akhirnya Al-Qaeda memutuskan


hubungan dengan ISIS.
Di Suriah ada banyak grup Milisi melawan Bashar Al Ashad, dua yang
paling berpengaruh adalah Jabhat Al-Nusra dan FSA (Free Syrian Army).
Semuanya merupakan bentukan dari negara-negara Timur Tengah terutama Arab
Saudi karena Bashar itu Syiah, dan negara-negara Syiah (Suriah, Irak, Iran) sudah
tanda tangan kerjasama bangun jalur pipa migas ke Lebanon tahun 2011, satu
tahun sebelum pemberontakan terjadi di 2012 supaya Iran bisa jual migasnya ke
pasar Eropa.
Kalau Suriah stabil, rencana itu bisa sukses dan jadi saingan bisnis Saudi
maupun negara lainnya, Amerika ikut mempersenjatai grup Free Syrian Army
untuk menurunkan Bashar karena dianggap diktator, ditambah lagi musuh
bebuyutan Amerika yaitu Rusia ikut membacking presiden Bashar Al-Assad, bisa
dilihat dari peralatan perang yang digunakan mulai dari MBT (Main Battle Tank)
T-72 dan IFV (Infantry Fighting Vehicle) BMP-2 milik Rusia yang digunakan
tentara Suriah, tapi Amerika tidak pernah turun langsung.
Perang saudara di Suriah sekarang sudah tidak bisa dibilang perang
saudara lagi, karena faktanya para “pejuang” yang melawan Bashar sudah bukan
lagi penduduk Suriah, tapi impor dari negara-negara lain, seperti yang ada di
berita ini, terutama dari negara-negara di Timur Tengah, khususnya dari Saudi dan
Mesir. Mereka dibiayai lalu dilatih di Turki dan diselundupkan ke Suriah oleh
Turki, begitu juga anggota cikal bakal ISIS.
Sekarang beberapa grup Milisi di Suriah juga ikut memerangi ISIS
walaupun mereka sedang memerangi Bashar, namun ada juga yang justru
bergabung dengan ISIS. Bashar sendiri pun sekarang harus melawan ISIS
disamping harus melawan pemberontak. Kondisinya kacau. Yang sengsara justru
rakyat Suriah, padahal dulu negara ini paling akur walau ada banyak agama.
Dulu saat perang melawan komunis Rusia, Amerika membentuk, melatih
dan mempersenjatai grup Mujahideen di Pakistan dan Afghanistan untuk melawan
Rusia. Setelah menang, Amerika meninggalkan peralatan perang mereka untuk
para pejuang Mujahideen tersebut, sama seperti mereka meninggalkan peralatan
41

perang mereka di Irak untuk tentara Irak. Amerika lupa orang-orang tersebut
fanatik dan itulah cikal bakal Al-Qaeda, mereka mencegah komunisme namun
melupakan fanatisme.
Al-Qaeda sendiri produk Saudi dan negara-negara Sunni, yang digunakan
untuk melawan negara yang bertentangan dengan Saudi serta pengikutnya (UEA,
Qatar, Bahrain, Yordania dan lainnya) entah masalah politik, bisnis, wilayah
maupun agama atau etnis tertentu. Namun akhirnya membelot dan mencoba
berdiri sendiri, sama seperti ISIS yg membelot dari Al-Qaeda. Osama bin Laden
sendiri adalah milyarder dari Saudi.

Jadi ISIS itu sebenarnya bentukan negara Sunni untuk menggulingkan


Bashar dan menekan pengaruh Syiah di Iran semenjak Sadam Hussein lengser,
namun akhirnya bertingkah di luar kendali, alias produk gagal yang kebablasan.
Apapun namanya grup ini tujuannya hampir sama, tidak beda jauh, sama kayak
Boko Haram, semuanya fanatik, semuanya radikal.
ISIS muncul pertama kali di Irak Karena semenjak Amerika
menggulingkan kediktatoran Sadam Hussein yang Sunni, rakyat Irak yang
mayoritas Syiah mulai berkuasa dan membatasi pengaruh Sunni terutama dalam
pemerintahan. Sebelumnya Sadam Hussein sering menindas dan membantai kaum
Syiah, itulah yang membuat dia dicap diktator. Karenanya saat Amerika sukses
menggulingkan Sadam banyak rakyat Irak Syiah yang senang.
Sayangnya Amerika terlalu cepat pergi dari Irak, sebelum pergi Amerika
seharusnya memantapkan pemerintahan dan militer di Irak agar saat ditinggal
tidak justru jadi sasaran empuk penjajah, namun Amerika terlalu terburu-buru
angkat kaki karena rakyat Amerika sendiri banyak yang tidak setuju Amerika
tetap di irak.
Di saat Irak masih lemah karena baru ditinggal Amerika, ISIS
memanfaatkan momentum ini untuk menguasai Irak, kaum Sunni yang
merupakan minoritas di Irak juga mensupport ISIS karena merasa ditindas dan
khawatir jika pemerintahan dikuasai Syiah yang mayoritas.
42

ISIS tidak pernah menyerang dan invasi ke negara-negara Sunni yang


berbatasan dengan Irak dan Suriah seperti Yordania, Turki dan Saudi. Malah
justru Iran (Syiah) yang merasa terancam dan akhirnya ikut turun tangan
membantu Irak melawan ISIS. Sekarang malah justru negara-negara Sunni
khawatir jika Iran menang melawan ISIS di Irak maka Iran akan punya kekuasaan
lebih dan tentu rencananya untuk membangun jalur pipa migas akan lebih mudah
terealisasikan, langkah selanjutnya tinggal mengusir para pemberontak dari
Suriah, makanya Saudi langsung menyerang pemberontak Houti (Syiah) milik
Iran di Yaman karena merasa Iran mulai menjadi ancaman, jika Yaman juga
dikuasai bisa jadi masalah buat keamanan dan ekonomi mereka.
Iran mempunya Nuklir, seandainya nuklir tersebut bukan digunakan untuk
senjata dan benar hanya akan digunakan untuk membuat pembangkit listrik, itu
tetap akan jadi masalah, karena PLTN tersebut pasti akan digunakan untuk
memompa migas dari Iran ke Lebanon nantinya jika jaringan pipanya sudah
rampung.
Jadi ini sebenarnya masalah politik, wilayah kekuasaan dan ekonomi
(migas) di antara negara-negara Timur Tengah, cuma supaya makin seru dan
rakyat banyak yang setuju membabi buta. maka diberi embel-embel agama, jihad,
dan lain-lain. Supaya mereka bisa dapat relawan gratis buat jadi tentara mereka
yang siap disuruh bom bunuh diri dan sebagainya. Apalagi memang di Islam ada
ayat yang mudah disalahgunakan oleh negara-negara di Timur Tengah hanya
untuk kepentingan pribadi.
Negara pencipta ISIS seperti Saudi, Qatar, Turki dan lainnya bisa cuci
tangan dan pura-pura bego sementara kalian mati buat mereka, tanpa mereka
harus mengirimkan militer. Mereka menciptakan ISIS dan kawan kawan supaya
mereka tidak ketahuan sedang menjajah tetangga sendiri. Kalian pikir mengapa
Turki agak angin-anginan untuk melawan ISIS padahal sudah sampai di
perbatasan mereka? Pertama karena Turki sendiri yang dulu melatih dan
mengirim mereka ke perbatasan Suriah. Kedua, Turki menikmati migas ilegal
hasil jarahan ISIS di Irak dan Suriah yang dijual oleh ISIS ke Turki dengan harga
43

murah. ISIS pun sudah sampai ke perbatasan di Kobani tapi tidak pernah mencoba
masuk menyerang ke Turki.
Kemudian negara-negara Sunni tetangga Irak dan Suriah seperti Yordania,
Saudi dan UEA tidak pernah mengirim tentara untuk melawan ISIS dan hanya
mengirimkan pesawat tempur. Seakan mereka tidak niat serius untuk melawan
ISIS, padahal mereka tahu bahaya dah kekejaman ISIS. Karena di satu sisi mereka
diuntungkan oleh ISIS karena ISIS lebih banyak membantai Syiah walaupun ada
juga Sunni yang dibantai karena melawan maupun tak setuju dengan ideologi
mereka. ISIS juga dianggap membantu dalam menciptakan ketidakstabilan di Irak
dan Suriah serta membantu meruntuhkan Bashar, mungkin jika Bashar runtuh
baru mereka merasa perlu melenyapkan ISIS karena sudah dianggap tidak
berguna, walaupun sebenarnya ISIS itu adalah produk mereka yang lepas kendali
namun selama tindakan mereka menguntungkan lebih baik mereka diam dulu
sambil melihat perkembangan.
Intinya “The Enemy of My Enemy is My Friend”, “Musuh dari Musuh
saya adalah Teman saya”. Namun sementara ini agar tidak terlihat cuek dan jelek
di mata dunia maka negara-negara Arab ini mencoba membantu sekedarnya.
Berbeda jauh dengan Iran yang justru mengirimkan 25.000 tentaranya demi
membantu Irak (Sanjiono : 2015 diunduh pada tanggal 12 Mei 2016).
Kerusuhan yang terjadi di negara-negara Timur Tengah lainnya seperti
Irak, Suriah yang memakan korban jiwa begitu banyak dari kalangan umat Islam
menandakan bahwa umat Islam di sana tidak bisa dibuat contoh atau rujukan umat
Islam di Indonesia.
Oleh karena itu umat Islam di Timur Tengah seperti Arab, Mesir dan
sebagainya tidak bisa dijadikan rujukan atau kiblat bagi umat Islam di Indonesia.
Di sana banyak ulama besar seperti Syekh Wahbah Zuhaili yang terkenal
sangat alim dengan berbagai hasil karyanya. Namun demikian ulama di sana tidak
mempunyai pengaruh di masyarakat, sehingga ketika terjadi kerusuhan-kerusuhan
di negara-negara Timur Tengah para ulama tidak bisa berbuat banyak untuk
meredam kerusuhan yang terjadi.
44

Kondisi tersebut sangat berbeda jauh dengan umat Islam di Indonesia.


Ulama di Indonesia meskipun tidak se alim ulama di Timur Tengah tetapi
pengaruhnya di masyarakat jauh lebih besar dibanding ulama di Timur Tengah,
sehingga ulama di Indonesia bisa ikut ambil bagian dalam meredam kerusuhan.
Kalau melihat sejarahnya, paling tidak ada beberapa bagian Islam di
Indonesia yang terpengaruh. Sejak awal yang berkembang pertama kali
tradisionalisme, Islam sunni yang menghargai tradisi, kemudian di tahun awal-
awal abad 20 muncul gerakan Wahabi, muncullah diantaranya gerakan
Muhammadiyah. Sekarang pengaruhnya berupa Wahabi baru, yang dibawa anak-
anak yang habis kuliah dari Timur Tengah.
Mereka membawa warna baru ketika di Timur Tengah juga ada warna
baru, misalnya dalam 20 tahun terakhir ini, muncul gerakan-gerakan agak keras
yang tetap terinspirasi Wahabi, muncullah Hizbut Tahrir atau Salafy yang sifatnya
juga internasional. Ini juga berimbas ke kita.
Indonesia pada awalnya menganut tradisionalisme, ini warisan yang
dibawa oleh para pendakwah awal Islam. Jadi yang berkembang adalah islam
yang dari sisi budaya sinkretis. Nah ketika muncul gerakan Muhammadiyah yang
ingin menghapus kecenderungan itu, memang sebagian terpengaruh, tapi
kemudian dikontrol oleh kehadiran NU yang melanggengkan topologi budaya
seperti yang bertahan dan berkembang secara natural.
Memang, munculnya kelompok baru itu memang agak mengusik
keberadaan kelompok seperti NU, termasuk juga Muhammadiyah, karena orang
baru yang terlibat dalam gerakan Wahabi ini cukup militan, dalam artian mereka
merasa paling benar, saya sudah mendapat informasi tentang munculnya konflik-
konflik di tingkat lokal.
Kita kan memang memiliki prinsip-prinsip dengan mengembangkan syiar
Islam sebagaimana seharusnya, tapi kita menghargai tradisi dan pandangan-
pandangan berbeda yang dimiliki masyarakat lokal, pola yang akomodatif, kalau
kita ingin melihat dari sejarah, wali songo berhasil mengembangkan syiar Islam.
Memperkenalkan Islam, apalagi dengan orang yang bukan Islam kan
harus bil hikmah betul, bukan hanya rasionalitas saja yang diperlukan, tetapi
45

kepandaian, atau cara-cara berdakwah yang dilihat orang. Kalau belum-belum


semuanya sudah dilarang bagaimana? Padahal Islam tidak begitu, ya hanya ada
bebeapa yang tidak boleh.
Dinamika budaya yang terjadi, disatu sisi kita menghadapi tantangan
Islam yang bercorak hitam putih, tapi disisi lain kita juga menghadapi ancaman
liberalisme. Ya itu, kalau menurut saya, kita harus kembali pada pedoman-
pedoman yang kita anut yang kita punya, kita kan sudah punya, baik untuk
melawan yang terlalu hitam putih, yang semuanya tidak boleh, atau menghadapi
kalangan liberal yang membolehkan semuanya.
Padahal, selama ini umat Islam selalu merujuk segala sesuatu yang
berhubungan dengan Islam ke Timur Tengah seperti Arab, Mesir dan sebagainya.
Namun kenyataannya di negara-negara Timur Tengah sendiri, seperti Mesir saat
ini sedang terjadi kerusuhan yang melibatkan umat Islam serta memakan banyak
korban jiwa.
C. Islam Nusantara Sebagai Kajian Kearifan Lokal
Kearifan lokal menurut UU No.32/2009 tentang perlindungan dan
pengelolaan lingkungan hidup BAB I Pasal 1 butir 30 adalah adalah “nilai-nilai
luhur yang berlaku dalam tata kehidupan masyarakat untuk antara lain melindungi
dan mengelola lingkungan hidup secara lestari”.
Selanjutnya Ridwan (2007:2) memaparkan:
Kearifan lokal atau sering disebut local wisdom dapat dipahami sebagai
usaha manusia dengan menggunakan akal budinya (kognisi) untuk bertindak dan
bersikap terhadap sesuatu, objek, atau peristiwa yang terjadi dalam ruang tertentu.
Pengertian tersebut, disusun secara etimologi, di mana wisdom dipahami
sebagai kemampuan seseorang dalam menggunakan akal pikirannya dalam
bertindak atau bersikap sebagai hasil penilaian terhadap sesuatu, objek, atau
peristiwa yang terjadi. Sebagai sebuah istilah wisdom sering diartikan
sebagai "kearifan/kebijaksanaan". Local secara spesifik menunjuk pada ruang
interaksi terbatas dengan sistem nilai yang terbatas pula. Sebagai ruang interaksi
yang sudah didesain sedemikian rupa yang di dalamnya melibatkan suatu pola-
pola hubungan antara manusia dengan manusia atau manusia dengan lingkungan
46

fisiknya. Pola interaksi yang sudah terdesain tersebut disebut setting. Setting
adalah sebuah ruang interaksi tempat seseorang dapat menyusun hubungan-
hubungan face to face dalam lingkungannya. Sebuah setting kehidupan yang
sudah terbentuk secara langsung akan memproduksi nilai-nilai. Nilai-nilai tersebut
yang akan menjadi landasan hubungan mereka atau menjadi acuan tingkah laku
mereka.
Adapun menurut Keraf (2010: 369) bahwa kearifan lokal adalah sebagai
berikut:
Yang dimaksud dengan kearifan tradisional di sini adalah semua bentuk
pengetahuan, keyakinan, pemahaman atau wawasan serta adat kebiasaan atau
etika yang menuntun perilaku manusia dalam kehidupan di dalam komunitas
ekologis. Jadi kearifan lokal ini bukan hanya menyangkut pengetahuan dan
pemahaman masyarakat adat tentang manusia dan bagaimana relasi yang baik di
antara manusia, melainkan juga menyangkut pengetahuan, pemahaman dan adat
kebiasaan tentang manusia, alam dan bagaimana relasi di antara semua penghuni
komunitas ekologis ini harus dibangun. Seluruh kearifan tradisional ini dihayati,
dipraktikkan, diajarkan dan diwariskan dari satu generasi ke generasi lain yang
sekaligus membentuk pola perilaku manusia sehari-hari, baik terhadap sesama
manusia maupun terhadap alam dan Yang Gaib.
Hal tersebut menunjukkan bahwa:
Kearifan tradisional adalah milik komunitas. Demikian pula, yang dikenal
sebagai pengetahuan tentang manusia, alam dan relasi dalam alam juga milik
komunitas. Tidak ada pengetahuan atau kearifan tradisional yang bersifat
individual.
Kearifan tradisional, yang juga berarti pengetahuan tradisional, lebih
bersifat praktis, atau “pengetahuan bagaimana”. Pengetahuan dan kearifan
masyarakat adat adalah pengetahuan bagaimana hidup secara baik dalam
komunitas ekologis, sehingga menyangkut bagaimana berhubungan secara baik
dengan semua isi alam. Pengetahuan ini juga mencakup bagaimana
memperlakukan setiap bagian kehidupan dalam alam sedemikian rupa, baik untuk
mempertahankan kehidupan masing-masing spesies maupun untuk
47

mempertahankan seluruh kehidupan di alam itu sendiri. Itu sebabnya, selalu ada
berbagai aturan yang sebagian besar dalam bentuk larangan atau tabu tentang
bagaimana menjalankan aktivitas kehidupan tertentu di alam ini.
Kearifan tradisional bersifat holistik, karena menyangkut pengetahuan dan
pemahaman tentang seluruh kehidupan dengan segala relasinya di alam semesta.
Alam adalah jaring kehidupan yang lebih luas dari sekedar jumlah keseluruhan
bagian yang terpisah satu sama lain. Alam adalah rangkaian relasi yang terkait
satu sama lain, sehingga pemahaman dan pengetahuan tentang alam harus
merupakan suatu pengetahuan menyeluruh.
Berdasarkan kearifan tradisional dengan ciri seperti itu, masyarakat adat
juga memahami semua aktivitasnya sebagai aktivitas moral. Kegiatan bertani,
berburu dan menangkap ikan bukanlah sekedar aktivitas ilmiah berupa penerapan
pengetahuan ilmiah tentang dan sesuai dengan alam, yang dituntun oleh prinsip-
prinsip dan pemahaman ilmiah yang rasional. Aktivitas tersebut adalah aktivitas
moral yang dituntun dan didasarkan pada prinsip atau tabu-tabu moral yang
bersumber dari kearifan tradisional.
Berbeda dengan ilmu pengetahuan Barat yang mengkalim dirinya sebagai
universal, kearifan tradisional bersifat lokal, karena terkait dengan tempat yang
partikular dan konkret. Kearifan dan pengetahuan tradisional selalu menyangkut
pribadi manusia yang partikular (komunitas masyarakat adat itu sendiri), alam (di
sekitar tempat tinggalnya) dan relasinya dengan alam itu. Tetapi karena manusia
dan alam bersifat universal, kearifan dan pengetahuan tradisional dengan tidak
direkayasapun menjadi universal pada dirinya sendiri. Kendati tidak memiliki
rumusan universal sebagaimana dikenal dalam ilmu pengetahuan modern,
kearifan tradisional ternyata ditemukan di semua masyarakat adat atau suku asli di
seluruh dunia, dengan substansi yang sama, baik dalam dimensi teknis maupun
dalam dimensi moralnya.
Menurut Teezzi, dkk (dalam Ridwan, 2007:3) mengatakan bahwa "akhir
dari sedimentasi kearifan lokal ini akan mewujud menjadi tradisi atau agama".
Dalam masyarakat kita, kearifan-kearifan lokal dapat ditemui dalam nyayian,
pepatah, sasanti, petuah, semboyan, dan kitab-kitab kuno yang melekat dalam
48

perilaku sehari-hari. Kearifan lokal biasanya tercermin dalam kebiasaan-


kebiasaan hidup masyarakat yang telah berlangsung lama. Keberlangsungan
kearifan lokal akan tercermin dalam nilai-nilai yang berlaku dalam kelompok
masyarakat tertentu. Nilai-nilai itu menjadi pegangan kelompok masyarakat
tertentu yang biasanya akan menjadi bagian hidup tak terpisahkan yang dapat
diamati melalui sikap dan perilaku mereka sehari-hari.
Proses sedimentasi ini membutuhkan waktu yang sangat panjang, dari satu
generasi ke generasi berikut. Teezzi, dkk (dalam Ridwan, 2007:3) mengatakan
bahwa „kemunculan kearifan lokal dalam masyarakat merupakan hasil dari proses
trial and error dari berbagai macam pengetahuan empiris maupun non-empiris
atau yang estetik maupun intuitif‟.
Ardhana (dalam Apriyanto, 2008:4) menjelaskan bahwa: menurut
perspektif kultural, kearifan lokal adalah berbagai nilai yang diciptakan,
dikembangkan dan dipertahankan oleh masyarakat yang menjadi pedoman hidup
mereka. Termasuk berbagai mekanisme dan cara untuk bersikap, bertingkah laku
dan bertindak yang dituangkan sebagai suatu tatanan sosial.
Di dalam pernyataan tersebut terlihat bahwa terdapat lima dimensi kultural
tentang kearifan lokal, yaitu (1) pengetahuan lokal, yaitu informasi dan data
tentang karakter keunikan lokal serta pengetahuan dan pengalaman masyarakat
untuk menghadapi masalah serta solusinya. Pengetahuan lokal penting untuk
diketahui sebagai dimensi kearifan lokal sehingga diketahui derajat keunikan
pengetahuan yang dikuasai oleh masyarakat setempat untuk menghasilkan inisiasi
lokal; (2) Budaya lokal, yaitu yang berkaitan dengan unsur-unsur kebudayaan
yang telah terpola sebagai tradisi lokal, yang meliputi sistem nilai, bahasa, tradisi,
teknologi; (3) Keterampilan lokal, yaitu keahlian dan kemampuan masyarakat
setempat untuk menerapkan dan memanfaatkan pengetahuan yang dimiliki; (4)
Sumber lokal, yaitu sumber yang dimiliki masyarakat untuk memenuhi kebutuhan
dasarnya dan melaksanakan fungsi-fungsi utamanya; dan (5) proses sosial lokal,
berkaitan dengan bagaimana suatu masyarakat dalam menjalankan fungsi-
fungsinya, sistem tindakan sosial yang dilakukan, tata hubungan sosial serta
kontrol sosial yang ada.
49

Islam merupakan ajaran yang di turunkan untuk manusia agar bersosialisai


yang kemudian melahirkan suatu kebudayaan. Sebagai ajaran yang datang dari
Allah, Islam tidak akan bertentangan dengan manusia karena Allah-lah sumber
ajaran dan pencipta manusia.
Islam memandang masyarakat sebagai komunitas sosial dan wahana
aktualisasi amal saleh. Banyak ayat Al-Quran yang membahas peranan manusia di
tengah manusia lain (seperti yang telah di jelaskan di atas) menempatkan Islam
sebagai agama yang paling manusiawi di bandingkan dengan agama lainnya.
Adapun kebudayaan yang mencakup pengetahuan, kepercayaan,kesenian,
moral, hukum, adat istiadat, serta kebiasaan-kebiasaan yang di buat oleh manusia
sebagai anggota masyarakat, di pandang sebagai realita yang menjadi sasaran
ajaran Islam. Peran agama islam dalam kebudayaan ini adalah memberikan nilai-
nilai etis yang menjadi pedoman dan ukurannya (Yusuf Ali Anwar : 2003)
Kebudayaan itu sendiri dalam kerangka islam di artikan sebagai proses
pengembangan potensi kemanusiaan , yang mengembangkan fitrah, hati nurani,
dan daya untuk melahirkan kekuatan dan perekayasaan. Oleh karena itu, apabila
dari segi prosesnya kebudayaan dalam Islam adalah pendayagunaan segenap
potensi kemanusiaan agar manusia dapat mempertahankan dan mengembangkan
akal budi yang manusiawi sedangkan dari segi produknya, kebudayaan adalah
segala sesuatu yang di hasilkan oleh rekayasa manusia terhadap potensi fitrah dan
potensi alam dalam rangka meningkatkan hasil kerja yang menggambarkan
kualitas kemanusiaannya (Yusuf Ali Anwar : 2003)
Islam berasal dari Tuhan yang Maha Esa, Tunggal. Ia menurunkan ajaran
agama melalui seorang rasul, berupa ajaran yang tunggal dengan kebenaran yang
mutlaq yang tertulis didalam Al-Qur’an. Akan tetapi didalam mengaplikasikan
segenap ajaran tersebut manusia tidak dapat terlepas dari penggunaan aqal dan
fikiran. Hal ini merupakan sebuah kelaziman sekaligus berdampak berfariasinya
pemahaman pemeluknya sekaligus juga bervariasinya pengamalan agama yang
tunggal tersebut. Sangat “ganjil “ apabila ada orang Islam mengatakan ajaran
Islam itu bermacam-macam dan relatif akan tetapi ajaran Islam yang difahami dan
diamalkan oleh segenap umat Islam itulah yang bermacam-macam dan relatif
50

akibat peran akal dengan asumsi bahwa akal adalah dasar kebudayaan, maka
sebenarnya kebudayaan itu juga yang menjadikan variasi praktik-praktik agama,
khususnya dikalangan umat Islam (Khadiziq : 2015)
Mengkaji Islam Nusantara dengan menggunkan perspektif kenusantaraan
ini diharapkan mampu memiliki keunggulan di bidang akurasi (ketepatn) serta
profonditas (kedalaman). Dengan demikian akan memperoleh dan memiliki
otoritas (kewenangan) yang lebih tinggi disbanding yang lain.
Nusantara menjadi penting dan relevan baik dalam konteks geopolitik
ataupun geokultural dalam percaturan politik global dewasa ini, sehingga
pengembangan kajian Nusantara saat ini menjadi sangat urgen.
Nusantara dalam prespektif ini bukanlah hanya konsep geografis
(kawasan0 yang terbentang antara Benua Asia dan Australia, serta antara Samudra
Pasifik dengan Samudra Hindia. Lebih jauh dari itu Nusantara merupakan
encounter culture (pusat pertemuan budaya) dariseluruh penjuru dunia. Mulai dari
budaya Arab, India, Turki, Persia, Cina termasuk budaya Barat, sehingga
melahirkan budaya dan tata nilai yang sangat khas. Oleh karena itu, Nusantara
bukan sebuah konsep geografis (kawasan) melainkan sebuah konsep filosofi dan
menjadi perspektif (wawasan) sebuah pola Pikir, tata nilai dan cara pandang,
dalam melihat dan menghadapi berbagai budaya yang datan (Siradj Said
Aqil:2015).

Anda mungkin juga menyukai