A. Zaman Kerajaan
Zaman ini dimulai dengan masuknya 2 kerajaan besar di Indonesia yaitu Kerajaan Kutai
di pesisir Sungai Mahakam dan Kerajaan Tarumanegara yang berhasil menguasai wilayah Jawa
Barat. Sejarah kerajaan di Indonesia mulai berlanjut ketika bangsa Eropa masuk ke wilayah
Nusantara dan berhadapan dengan 2 kerajaan besar lainnya yaitu Kerajaan Majapahit di Pulau
Jawa dan Kerajaan Sriwijaya di Pulau Sumatera. Kerajaan Islam mulai masuk ke Indonesia sejak
abad ke 7 SM, ketika itu para pedagang Arab masuk ke pemukiman penduduk dan mulai
menyebarkan agama Islam. Tidak berhenti disitu saja, Islam mulai memberikan pengaruh pada
berbagai sektor pemerintahan di Indonesia pada masa itu. Hingga pada tahun 100 H Raja
Sriwijaya Jambi yang bernama Srindravarman tertarik untuk mengenal Islam dan ingin
mempelajari Islam lebih lanjut. Srindravarmanmemberikan perintah untuk mengirim surat
kepada Umar Bin Abdul Aziz pada masa kekhalifahan Bani Umayyah. Beliau meminta untuk
dikirimkan ulama dari Bani Umayyah ke Nusantara untuk mengajarkan Islam. Islam terus
berkembang dan menjadi semakin kokoh, hal ini terbukti dengan dibentuknya kesultanan Islam
yang diberi nama Kesultanan Peureulak yang didirikan tepat pada 1 Muharram 225 H atau 12
November 1839 M. Selain itu, Islam juga masuk ke Pulau Maluku pada tahun 1440 H rajanya
bernama Bayanullah yang seorang muslim. Sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
mencapai cita-citanya berjalan berabad-abad, dengan cara bermacam-macam dan bertahap.
Sejarah perjuanagan bangsa indonesia yang panjang itu, maka perlulah ditetapkan tonggak-
tonggak sejarah tersebut, yaitu peristiwa-peristiwa yang menonjol, terutama dalam hubungannya
dengan nilai-nilai perumusan Pancasila.
Menurut sejarah, kira-kira pada abad VII-XII, bangsa Indonesia telah mendirikan
kerajaan Sriwijaya di Sumatera Selatan dan kemudian pada abad XIII-XVI didirikan pula
kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Kedua zaman itu merupakan tonggak sejarah bangsa
Indonesia karena bangsa indonesia pada masa itu telah memenuhi syarat-syarat sebagai suatu
bangsa yang mempunyai negara. Menurut Mr. Muhammad Yamin, berdirinya negara
kebangsaan Indonesia tidak dapat dipisahkan dengan kerajaan-kerajaan lama yang merupakan
warisan nenek moyang bangsa indonesia. Negara kebangsaan Indonesia terbentuk melalui tiga
tahap. Pertama, zaman Sriwijaya di bawah wangsa Syailendra (600-1400). Kedua, Negara
kebangsaan zaman majapahit (1293-1525). Kedua tahap negara kebangsaan tersebut adalah
negara kebangsaan lama. Ketiga, negara kebangsaan modern, yaitu negara indonesia merdeka
17 Agustus 1945 (Sekertariat Negara RI. 1995: 11).
Pada abad ke VII, berdirilah kerajaan sriwijaya di bawah kekuasaan wangsa Syailendra di
Sumatera. Kerajaan yang berbahasa Melayu Kuno dan menggunakan huruf pallawa tersebut
dikenal juga sebagai kerajaan maritime yang mengandalkan jalur perhubungan laut. Kekuasaan
Sriwijaya menguasai Selat Sunda (686), kemudian Selat Malaka (775). Sistem perdagangan telah
diatur dengan baik, dimana pemerintah melalui pegawai raja membentuk suatu badan yang dapat
mengumpulkan hasil kerajiinan rakyat sehingga rakyat mengalami kemudahan dalam
pemasarannya. Pada zaman Sriwijaya telah didirikan universitas agama Budha yang sudah
dikenal di Asia. Pelajar dari universitas ini dapat melanjutkan studi ke India, banyak guru-guru
tamu yang mengajar disini dari India, seperti Dharmakitri. Cita-cita kesejahteraan bersama dalam
suatu negara telah tercermin pada kerajaan Sriwijaya, sebagaimana tersebut dalam perkataan
“marvuat vannua Sriwijaya Siddhayatra Subhiksa” (Suatu cita-cita negara yang adil dan
makmur). (Kaelan, 1999: 27).
Unsur-unsur yang terdapat di dalam pancasila, yaitu ketuhanan, kemanusiaan, persatuan, tata
pemerintahan atas dasar musyawarah dan keadilan sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang
menjiwai bangsa Indonesia, yang dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum
dirumuskan secara konkret. Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya unsur-unsur
tersebut ialah prasasti-prasasti di Talaga batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo, dan
Kota Kapur (Dardji Darmodihardjo,1974:22-23). Pada hakikatnya nilai-nilai budaya bangsa
semasa kejayaan Sriwijaya telah menunjukkan nilai-nilai Pancasila, yaitu sebagai berikut :
1) Nilai sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu hidup
berdampingan secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat kegiatan pembinaan dan
pengembangan agama Budha.
2) Nilai sila kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India (Dinasti Harsha).
Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah tumbuh nilai-nilai politik luar negeri
yang bebas dan aktif.
3) Nilai sila ketiga, sebagai negara maritim, Sriwijaya telah menerapkan konsep negara
kepulauan sesuai dengan konsepsi wawasan nusantara.
4) Nilai sila keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas, meliputi (Indonesia
sekarang) Siam, dan Semenanjung Melayu.
5) Nilai sila kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan, sehingga kehidupan
rakyatnya sangat makmur.
Sebelum kerajaan Majapahit berdiri telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa Tengah dan
Jawa Timur secara silih berganti, yaitu Kerajaan Kalingga (abad ke-VII) dan Sanjaya (abad ke-
VIII), sebagai refleksi puncak budaya dari kerajaan tersebut adalah dibangunnya candi
Borobudur (candi agama Budha pada abad ke-IX) dan candi Prambanan (candi agama Hindu
pada abad ke-X). Pada abad ke-XIII, berdiri kerajaan Singasari di Kediri, Jawa Timur, yang ada
hubungannya dengan berdirinya kerajaan Majapahit (1293). Zaman keemasan Majapahit terjadi
pada pemerintahan Raja Hayam Wuruk dengan Mahapatih Gajah Mada. Wilayah kekuasaan
Majapahit semasa jayanya membentang dari Semenanjung Melayu sampai ke Irian Jaya.
Pengalaman sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama Hindu dan Budha
hidup berdampingan secara damai. Empu Prapanca menulis Negarakertagama (1365) yang di
dalamnya telah terdapat istilah Pancasila. Empu Tantular mengarang buku Sutasoma di mana
dalam buku itu terdapat seloka persatuan nasional yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Hana
Dharma Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak ada agama yang
memiliki tujuan yang berbeda. Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan Raja Hayam
Wuruk dengan baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayoda, Champa, dan Kamboja. Di samping itu,
juga mengadakan persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar Mitreka Satata.
Perwujudan nilai-nilai sila persatuan Indonesia telah terwujud dengan keutuhan kerajaan,
khususnya sumpah palapa yang diucapkan oleh Gajah Mada yang diucapkannya pada sidang
Ratu dan menteri-menteri pada tahun 1331 yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh
nusantara raya yang berbunyi: “saya baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh
nusantara bertakluk di bawah kekuasaan negara, jika gurun, seram, Tanjung, Haru, Pahang,
Dempo, Bali, Sunda, Palembang, dan Tumasik telah dikalahkan.” (Muh Yamin, 1960: 60). Sila
kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat juga telah dilakukan oleh
sistem pemerintahan kerajaan Majapahit. Menurut prasasti Brumbung (1329), dalam tata
pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam penasihat kerajaan, seperti Rakryan I Hino, I
Sirikan, dan I Halu yang berarti memberikan nasihat kepada raja. Kerukunan dan gotong royong
dalam kehidupan masyarakat telah menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat dalam
memutuskan masalah bersama. Sedangkan perwujudan sila keadilan sosial adalah sebagai wujud
dari berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan dan
kemakmuran rakyatnya.
B. Zaman Penjajahan
1. Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Sistem Penjajahan
Kesuburan Indonesia dengan hasil buminya yang melimpah, terutama rempah-rempah yang
sangat dibutuhkan oleh negara- negara di luar Indonesia, menyebabkan bangsa asing (Eropa)
masuk ke indonesia. Bangsa eropa yang membutuhkan rempah-rempah itu mulai memasuki
indonesia, yaitu Portugis, Spanyol, Inggris, dan Belanda. Masuknya bangsa Eropa seiring
keruntuhan Majapahit sebagai akibat perselisihan dan perang saudara, yang berarti nilai- nilai
nasionalisme sudah ditinggalkan, walaupun abad ke-XVI agama islam berkembang dengan
pesat dengan berdirinya kerajaan- kerajaan islam, seperti Samudra Pasai dan Demak, tampaknya
tidak mampu membendung tekanan bangsa Eropa memasuk Indonesia. Bangsa-bangsa eropa
berlomba-lomba memperebutkan kemakmuran bumi indonesia ini. Sejak itu, mulailah lembaran
hitam sejarah indonesia dengan penjajahan eropa, khususnya Belanda. Masa penjajahan belanda
itu dijadikan tonggak sejarah perjuangan bangsa indonesia dalam mencapai cita-citanya, sebab
pada zaman penjajahan ini apa yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia pada zaman Sriwijaya
dan Majapahit menjadi hilang.
2. Perjuangan sebelum abad ke-XX
Penjajahan eropa yang memusnahkan kemakmuran bangsa Indonesia itu tidak dibiarkan
begitu saja oleh segenap bangsa Indonesia. Sejak semula, imprialis itu menjejakkan kakinya di
Indonesia, di mana-mana bangsa indonesia melawannya dengan semangat patriotik melalui
perlawanan secara fisik. Kita mengenal nama-nama pahlawan bangsa yang berjuang dengan
gigih melawan penjajah. Pada abad ke-XVII dan XVIII perlawanan terhadap penjajahan
digerakkan oleh Sultan Agung (Mataram 1645), Sultan Ageng Tirtayasa dan Ki Tapa di banten
(1650), Hasanuddin di makassar 1660), Iskandar Muda di aceh (1635), untung Surapati dan
Trunojoyo di Jawa Timur (1670), Ibnu Iskandar di Minangkabau (1680), dan lain-lain. Pada
permulaan abad ke- XIX penjajah Belanda mengubah sistem kolonialismenya yang semula
berbentuk perseroan dagang partikelir yang bernama VOC beganti dengan badan pemerintahan
resmi, yaitu pemerintahan Hindia Belanda. Semula pernah terjadi pergeseran pemertintahan
penjajahan dari Hindia Belanda kepada Inggris, tetapi tidak berjalan lama dan segera kembali
kepada belanda lagi. Dalam usaha memperkuat kolonialismenya, belanda menghadapi
perlawanan bangsa Indonesia yang dipimpin oleh Patimura (1817), Imam Bonjol di
Minangkabau (1822—1837), Diponegoro di mataram (1825-1830), Badaruddin di Palembang
(1817), Pangeran Antasari di Kalimantan (1860), Jelantik di bali (1850), Anang Agung made di
Lombok (1895), Teuku Umar, Teuku Cik Di Tiro dan Cut Nya’Din di aceh (1873-1904), Si
Singamangaraja di batak (1900).
a. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai titik puncak perjuangan bangsa Indonesia.
Kemerdekaan Indonesia merupakan buah perjuangan bangsa indonesia melawan penjajahan
secara bertahap-tahap. Pertama, perlawanan terhadap penjajahan barat sebelum tahun 1908.
Kedua, perjuangan dengan menggunakan organisasi. Ketiga, perlawanan dengan melahirkan rasa
nasionalisme. Keempat, perjuangan melalui taktik kooperasi dan nonkooperasi. Kelima,
perlawanan bangsa menentang penjajahan sampai kepada puncak, yaitu Proklamasi
Kemerdekaan 17 Agustus 1945.
b. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 sebagai sumber lahirnya Republik Indonesia.
Proklamasi bermakna bahwa bangsa indonesia yang selama berabad-abad dijajah telah berhasil
melepaskan diri dari belenggu penjajahan dan sekaligus membentuk perubahan baru, yaitu
negara Republik Indonesia, dengan membawa dua akibat. Pertama, lahirlah tata hukum indonesia
sekaligus dihapusnya tata hukum colonial. Kedua, merupakan sumber hukum bagi pembentukan
negara kesatuan Republik Indonesia.
c. Proklamasi kemerdekaan 17 Agustus 1945 merupakan norma pertama dari tata hukum Indonesia.
Dengan dinyatakan kemerdekaan bangsa indonesia dilihat dari segi hukum berarti bangsa
indonesia telah memutuskan ikatan dengan tata hukum sebelumnya. Dengan demikian, bangsa
indonesia saat ini telah mendirikan tata hukum yang baru, yaitu tata hukum Indonesia yang
ditentukan dan dilaksanakan sendiri oleh bangsa Indonesia. Proklamasi kemerdekaan merupakan
perwujudan formal dari salah satu revolusi bangsa Indonesia untuk menyatakan, baik kepada diri
sendiri maupun kepada dunia luar (internasional).
Atas dasar hal tersebut Presiden (Ir. Soekarno) menyatakan, bahwa negara dalam keadaan
ketatanegaraan yang membahayakan persatuan dan kesatuan bangsa serta keselamatan negara.
Untuk itu, Presiden mengeluarkan dekrit pada tanggal 5 juli 1959. Isi dekrit tersebut yaitu :
a) Membubarkan Konstituane.
b) Menetapkan berlakunya kembali UUD 1945 dan tidak berlaku lagi UUDS 1950.
c) Dibentuknya MPRS dan DPAS dalam waktu yang sesingkat-singkatnya.
5. Era Orde Baru
Setelah Presiden Soekarno lengser, digantikan oleh Soeharto yang sebelumnya
dikabarkan ikut memberantas gerakan PKI. Presiden Soeharto resmi dilantik pada tahun 1968
dan terus berlanjut hingga tahun 1998. Orde baru adalah era pemerintahan pengganti pemerntah
orde lama. Pemerintahan orde lama melaksanakan Pancasila dan UUD 1945 dalam rangka
“Revolusi Indonesia Belum Selesai”. Orde baru bertolak belakang dengan orde lama dalam hal
kebijakan ekonomi. Akan tetapi, dalam hal sistem dan kebijakan politik cenderung otoriter dan
monopolistic sebagai pelanjut dari rezim orde lama. Konsentrasi kekuasaan di tangan pemerintah
yang memungkinkan oposisi tidak dapat melakukan control. Pemerintah menganut kebijakan
ekonomi campuran sehingga ekonomi nasional meningkat rata-rata 7 persen dari tahun 1969
hingga decade 1980-an, tetapi kemudian membuka praktik monopoli, korupsi, dan kolusi yang
berskala masif antara penguasa dengan penguasa. Penyimpangan serta skandal raksasa di bidang
ekonomi banyak terjadi, seperti pada kasus Bank Duta, Bapindo, dan lain-lain. Menurut Didik
Rachbini, pada tahun 1993 sekitar 1% penduduk memperoleh 80% pendapat nasional,
sedaangkan 99% penduduk di tingkat bawah dan menengah menerima 20%. Hingga terjadilah
krisis moneter dimana inflasi meningkat drastis, jatuhnya nilai rupiah sehingga harga kebutuhan
MPR dan akhirnya pada tanggal 21 Mei 1998, Soeharto resmi mengundurkan diri dari kursi
Presiden pokok semakin melonjak. Keadaan ini membuat semua orang marah termasuk kalangan
mahasiswa, mereka melakukan demonstrasi besar-besaran sepanjang sejarah bangsa Indonesia
hingga jatuh banyak korban jiwa. Namun, pada akhirnya ribuan mahasiswa ini berhasil
menduduki gedung DPR RI.
D. Era Reformasi
Penyimpangan kehidupan bernegara era orde baru sampai kepada puncaknya dengan
muncul krisis moneter yang berakibat jatuhnya Presiden Soeharto yang telah berkuasa selama 32
tahun. Pada masa era grobal, telah tiga kali pergantian Presiden, yaitu Presiden B.J. Habibie
dengan Kabinet Reformasi Pembangunan, Presiden Abdurrahman Wahid sebagai Presiden hasil
Pemilu tahun 1999 dengan Kabinet Persatuan Nasional, namun Presiden Abdurrahman Wahid
diperhentikan oleh MPR karena dianggap melanggar haluan negara, kemudian digantikan oleh
Presiden Megawati dengan Kabinet Gotong Royong. Pada masa orde global ini, pembangunan
nasional dilaksanakan tidak lagi seperti orde baru yang dikenal dengan nama rencana
pembangunan lima tahun (Repelita), melainkan dengan nama program pembangunan nasional
(Propenas). Propenas yang telah disusun oleh Bappenas, berlaku untuk tahun 2000-2004.
Propenas tersebut meliputi berbagai bidang. Selanjutnya. Pada tanggal 29 Januari 2001 gedung
MPR kembali diserbu oleh para demonstran, mereka meminta agar Abdurahman Wahid turun
dari jabatannya karena diduga terlibat korupsi. Dengan adanya tekanan dari MPR akhirnya
Abdurahman Wahhid menyerahka tugas sebagai presiden kepada wakilnya Megawati Soekarno
Putri. Kemudian pada tahun 2004 diadakan pemilu terbesar di Indonesia dan Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) terpilih menjadi Presiden.
E. ERA GLOBALIZING (GLOBALISASI)
Era globalisasi merupakan perubahan global yang melanda seluruh dunia. Dampak yang
terjadi sangatlah besar terhadap berbagai aspek kehidupan manusia di semua lapisan masyarakat.
Baik di bidang ekonomi, sosial, politik, teknologi, lingkungan, budaya, dan sebagainya. Hal ini
disebabkan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi yang akan mengubah pola
perilaku konsumsi masyarakat. Perkembangan kehidupan masyarakat dewasa ini cenderung
semakin kompleks, oleh karena itu dengan beragamnya dan meningkatnya suatu zaman
perkembangan zaman ini, harapan terhadap pemuda untuk tetap menjaga tali silaturahim dan
gotong royong. Dampak dari era globalisasi yaitu ada dua, dampak ada yang positifnya dan
adapula dampak negatifnya bisa dilihat sebagai berikut :
Dampak Positif dari globalisasi dilihat dari di bawah ini
a. Informasi cepat tersebar di belahan dunia.
b. Teknologi semakin maju.
c. Sistem online internet semakin canggih.
d. Perkembangan ilmu pengetahuan baru.
e. Kebebasan perss.
f. Meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasional.
g. Mempermudah dalam hal komunikasi lokal/interlokal.
h. Meningkatkan pembangunan.
i. Mempermudah perjalanan berkendara (cepat sampai ditempat tujuan).
j. Tingkat hidup menjadi lebih baik.
Pada perkembangan zaman yang melesat ini merupakan sebuah keharusan yang harus di ikuti
bila tidak ingin ketinggalan zaman, namun pada kenyataannya pada era globalisasi terdapat ada
hal yang mesti diikutinya atau tidak baik untuk diikuti. Sehingga peran pemuda harus lebih
pintar dalam menyaring informasi agar tidak terjerumus pada dampak negatif dari perkembangan
teknologi. Sangatlah diperlukan untuk diimbangi dengan ajaran agama agar mengetahui jalan
yang baik dan jalan yang tidak baik. Maka dengan diadakannya kajian rohani yang
mengikutsertakan pemuda diharapkan dapat mengurangi hal buruk tersebut terjadi. Selain itu,
peran pemuda ini harus dapat mengembangkan pemikiran kreatifnya, serta mengaktifkan
pengalaman, baik secara hardskill atau softskill agar dapat bermanfaat bagi diri sendiri,
lingkungan, serta masyarakat luas.
GERAKAN PAHAM ISLAM DI INDONESIA
Pendidikan Islam adalah usaha bimbingan jasmani dan rohani pada tingkat kehidupan
individu dan sosial untuk mengembangkan fitrah manusia berdasarkan nilai-nilai yang
terkandung di dalam al- Qur’an dan Hadits menuju terbentuknya manusia ideal (insan kamil)
yang berkepribadian Islami dan berakhlak terpuji serta taat pada aturan-aturan yang telah
digariskan oleh Allah SWT dalam kerangka menghambakan diri kepada-Nya, sehingga dapat
mencapai kebahagiaan di dunia dan di akhirat.
Tujuan umum dari pendidikan Islam tersebut di atas, dapat dijabarkan dalam tiga aspek sebagai
berikut, yaitu:
1. Menyempurnakan hubungan manusia dengan Allah SWT.
Pendidikan Islam bertujuan untuk mendekatkan dan memelihara hubungan manusia dengan
Allah SWT. Semakin dekat dan semakin terpelihara hubungan tersebut, maka keimanan
seseorang akan semakin tumbuh dan berkembang pula keimanannya. Semakin tumbuh dan
berkembang keimanan seseorang, maka akan semakin terbuka juga kesadaran akan
penerimaan /ketaatan dan ketundukannya kepada segala perintah dan larangan-Nya.
2. Menyempurnakan hubungan manusia dengan sesamanya.
Memelihara, memperbaiki, dan meningkatkan hubungan antara manusia dan lingkungan
sosialnya merupakan upaya yang harus terus dilakukan. Di sinilah fungsi penting pendidikan
Islam yang bertujuan agar hubungan manusia senantiasa berjalan dengan baik. Terjaganya
hubungan antar manusia yang menjadi tujuan pendidikan tersebut tidak hanya terbatas pada
sesama Muslim, namun juga dengan non-Muslim.
3. Mewujudkan keseimbangan antara kedua hubungan.
Mewujudkan keseimbangan antara hubungan manusia dengan Allah SWT, serta hubungan
manusia dengan manusia merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam Islam. Hal ini
dikarenakan agama Islam adalah agama yang menekankan pentingnya kedua hubungan tersebut
dijaga dengan baik agar terwujud keseimbangan, di sinilah letak penting pendidikan Islam yang
mengemban tujuan agama Islam sebagai rahmatan lil ‘alamin, pembawa rahmat untuk seluruh
alam.
Upaya mengenal, memperbaiki diri, serta mengaktualisasikan kedua aspek hubungan manusia
dengan Allah SWT, dan hubungan manusia dengan manusia secara seimbang dalam bentuk
tindakan sehari-hari memberi petunjuk atas sejauh manakah tingkatan yang telah dicapai oleh
manusia di dalam menghambakan dirinya kepada Allah SWT.
Di dalam pendidikan Islam, nilai adalah sesuatu yang sangat penting dalam rangka
mencapai tujuan umum pendidikan Islam, yaitu penghambaan diri kepada Allah SWT. Menurut
Zakiah Derajat, nilai adalah suatu perangkat keyakinan atau perasaan yang diyakini sebagai
suatu identitas yang memberikan corak yang khusus kepada pola pemikiran dan perasaan,
keterikatan maupun perilaku. Adapun nilai-nilai Islam apabila ditinjau dari sumbernya, maka
dapat digolongkan menjadi dua macam, yaitu:
a) Nilai Ilahi.
Nilai Ilahi adalah nilai yang bersumber dari Al-Qur’an dan hadits. Nilai ilahi dalam aspek teologi
(kaidah keimanan) tidak akan pernah mengalami perubahan, dan tidak berkecenderungan untuk
berubah atau mengikuti selera hawa nafsu manusia. Sedangkan aspek alamiahnya dapat
mengalami perubahan sesuai dengan zaman dan lingkungannnya.
b. Nilai Insani
Nilai insani adalah nilai yang tumbuh dan berkembang atas kesepakatan manusia. Nilai insani ini
akan terus berkembang ke arah yang lebih maju dan lebih tinggi. Nilai ini bersumber dari ra’yu,
adat istiadat (‘urf), dan kenyataan alam. ‘Urf adalah sesuatu yang tertanam dalam jiwa yang
diperoleh melalui kesaksian dan akan diterima oleh tabiat.
‘Urf adalah suatu perbuatan dan perkataan yang menjadikan jiwa merasa tenang
mengerjakan suatu perbuatan, karena sejalan dengan akal sehat yang diterima oleh tabiat yang
sejahtera, namun tidak semua tradisi yang dapat dijadikan dasar ideal pendidikan Islam,
melainkan setelah melalui seleksi terlebih dahulu. Selanjutnya, ‘urf yang dapat dijadikan dasar
pendidikan Islam tentulah harus memenuhi beberapa kriteria, yaitu: Pertama, tidak bertentangan
dengan ketentuan nash baik itu Al-Qur’an maupun Hadits. Kedua, tradisi yang berlaku tidak
bertentangan dengan akal sehat dan tabiah sejahtera, serta tidak mengakibatkan kedurhakaan,
kerusakan, dan kemudharatan.
Adapun dimensi kehidupan yang mengandung nilai-nilai ideal Islam dapat dikategorikan
kedalam tiga kategori, yaitu:
a. Dimensi yang mengandung nilai yang meningkatkan kesejahteraan hidup manusia didunia.
b. Dimensi yang mengandung nilai yang mendorong manusia untuk meraih kehidupan di
akhirat yang membahagiakan.
c. Dimensi yang mengandung nilai yang dapat memadukan antara kepentingan hidup duniawi
dan ukhrawi.
Sebagai bagian penting dari agama Islam, akulturasi yang terjadi antara Islam dan budaya
Jawa pada akhirnya juga berakibat pada akulturasi antara nilai-nilai pendidikan Islam dengan
budaya Jawa. akulturasi ini dapat kita lihat dalam setiap fase kerajaan-kerajaan Islam di Jawa,
baik era Demak, Pajang, maupun Mataram Islam. Pendidikan memainkan peran penting dalam
penyebaran Islam di Jawa. Pondok pesantren menjadi lembaga pendidikan yang memainkan
peran penting, pesantren diselenggarakan oleh para ulama. Di pesantren para calon guru agama,
kiai, atau ulama mendapatkan pendidikan agama Islam. Setelah lulus dari pesantren, mereka
kembali ke kampong halaman masing-masing atau ke daerah lain untuk menyebarkan agama
Islam. Pesantren- pesantren pada awal penyebaran Islam di Jawa misalnya adalah pesantren yang
didirikan oleh Raden Rahmat (Sunan Ampel) di Ampel Denta-Surabaya, dan Pesantren yang
didirikan oleh Sunan Giri di Giri.
a.Tanah Jawa dan Madura dibagi atas beberapa bagian untuk lapangan pendidikan . Pimpinan
pekerjaan di tiap-tiap bagian dikepalai oleh seorang wali dan seorang pembantu (badal). Wali
diberi gelar sunan ditambah dengan nama daerah yang dikepalai olehnya, misalnya Sunan
Kudus, Sunan Muria, Sunan Giri, dan lain sebagainya.
b. Pendidikan Islam agar mudah dipahami dan diterima oleh masyarakat Jawa, maka pendidikan
harus diberikan melalui jalan kebudayaan yang hidup di masyarakat asal tidak bertentangan
dengan syari’ah.
c.Para wali/badal selain harus pandai ilmu agama juga harus memelihara budi pekerti supaya
menjadi suri tauladan bagi masyarakat.
d. Di Bintoro (di Demak) didirikan masjid Agung untuk menjadi sumber ilmu, dan pusat kegiatan
pendidikan Islam.
Sedangkan pada era Mataram Islam, pelaksanaan pendidikan di bagi dalam beberapa
tingkatan disesuaikan dengan birokrasi pemerintahan, sebagai berikut: pelaksanaan pendidikan
di tingkat kabupaten dibagi menjadi beberapa bagian. Pelaksanaan pendidikan dimasing-masing
bagian dipertanggungjawabkan kepada beberapa ketib, dibantu oleh beberapa modin. Naib
bertugas sebagai kepala, sedangkan pegawainya, serta modin desa adalah penyelenggara
pendidikan di tingkat desa. Pada beberapa daerah kabupaten diadakan pesantren besar lengkap
dengan pondok-pondoknya untuk melanjutkan pendidikan di tingkat desa. Guru yang mengelola
pesantren disebut kia sepuh atau kiai kajen, yang merupakan bagian dari “ulama keraton”.
Model pesantren yang dipraktekan pada era Demak dan Mataram tersebut, merupakan hasil
akulturasi dari sistem pendidikan Islam dengan sisem pendidikan era kerajaan-kerajaan Hindhu
di Jawa (Majapahit).
Di samping akulturasi sistem pendidikan Islam dengan sistem pendidikan era kerajaan
Hindu Jawa (Majapahit) yang menghasilkan sistem pendidikan model pesantren, akulturasi juga
terjadi dalam macapat dan nilai-nilai pendidikan Islam. Macapat adalah tembang atau puisi
tradisional Jawa. Setiap bait macapat mempunyai baris kalimat yang disebut gatra, dan setiap
gatra mempunyai sejumlah suku kata (guru wilangan) tertentu, dan berakhir pada bunyi sanjak
akhir yang disebut guru lagu. Macapat digunakan sebagai sarana pendidikan untuk
menanamkan nilai-nilai luhur pada era kerajaan Hindu Jawa.
Macapat diperkirakan muncul pada akhir Majapahit dan dimulainya pengaruh Walisanga,
namun hal ini hanya bisa dikatakan untuk situasi di Jawa Tengah. Sebab di Jawa Timur dan Bali
macapat telah dikenal sebelum datangnya Islam. Karya-karya kesusastraan klasik Jawa dari
masa Mataram Baru, pada umumnya ditulis menggunakan metrum macapat. Sebuah tulisan
dalam bentuk prosa atau gancaran pada umumnya tidak dianggap sebagai hasil karya sastra,
namun hanya semacam “daftar isi” saja. Beberapa contoh karya sastra Jawa yang ditulis dalam
tembang macapat misalnya adalah Serat Wedhatama, Serat Wulangreh, dan Serat Kalatidha.
Puisi tradisional Jawa atau tembang biasanya dibagi menjadi tiga kategori: tembang cilik,
tembang tengahan dan tembang gedhe. Macapat digolongkan kepada kategori tembang cilik dan
juga tembang tengahan, sementara tembang gedhé berdasarkan kakawin atau puisi tradisional
Jawa Kuno, namun dalam penggunaannya pada masa Mataram Baru, tidak diterapkan
perbedaan antara suku kata panjang ataupun pendek. Di sisi lain tembang tengahan juga bisa
merujuk kepada kidung, puisi tradisional dalam bahasa Jawa Pertengahan.
Maraknya gerakan keagamaan (Islam) di berbagai daerah di Indonesia ke dalam bentuk
perda bernuansa syari’at Islam memiliki kontinuitas sejarah. Lahirnya gerakan ini merupakan
akibat dari buruknya sikap dan kebijakan negara akibat proses reformasi yang tidak selesai.
Oleh karena itu, ketika muncul tawaran ideologi alternatif berbasis Islam yang mampu
berkelindung dengan semangat identitas lokal, maka wacana penerapan syari’at Islam ini
semakin menguat. Pengalaman buruk atas hegemoni negara terhadap Islam pada masa Orde
Baru semakin menambah semangat gerakan ini.
Gerakan penegakan Syari’at Islam yang muncul di berbagai daerah merupakan arus balik
reformasi. Tendensinya adalah pembentukan sikap komunal yang teokratik di antara pemeluk
agama (Islam). Hal ini bertentangan dengan spirit gerakan reformasi yang ingin menegakkan
prinsip-prinsip demokrasi dalam masyarakat majemuk Indonesia. Arus gerakan ini menguat dan
cenderung radikal dalam mengartikulasikan ideologinya. Hal ini memunculkan politik aliran,
yang menjamur di masyarakat sejak masa reformasi bergulir.
Di kalangan masyarakat Islam Indonesia, maraknya gerakan penerapan syari’at Islam ini
menimbulkan sikap pro dan kontra. Bagi masyarakat yang mendukung gerakan ini,
menganggap wajar jika Indonesia yang penduduknya mayoritas beragama Islam menerapkan
syariat Islam. Penegakan syari’at Islam, dalam pandangan kelompok ini, bukan semata
formalisasi, tetapi merupakan kewajiban religius bagi umat Islam. Bagi yang kontra, muncul
kekhawatiran akan akibat dari penerapan syari’at Islam yang dianggap dapat mengancam
disintregasi bangsa. Penerapan syari’at Islam, menurut kelompok ini, tidak harus melalui jalur
perundang-undangan. Di sisi lain, terdapat kesalahan konsepsi dan aplikasi dari gerakan ini,
yang selalu mengaitkan antara penerapan syari’at Islam dengan pembentukan negara Islam.
Beberapa deskripsi di atas, menghantarkan pada munculnya pertanyaan tentang ada apa
dengan gerakan penegakan syari’at Islam di Indonesia. Dalam hukum kausalitas, sebuah
gerakan muncul dan berkembang di masyarakat merupakan respons atas kondisi yang sedang
terjadi.
Hanya saja, respons tersebut tidak hanya disebabkan oleh satu aspek saja, tetapi banyak
aspek yang turut andil atas kehadiran gerakan ini. Untuk itu, menelusuri akar penyebab gerakan
ini menjadi penting untuk menemukan signifikansinya bagi kondisi keislaman dan
keindonesiaan. Dengan melakukan tracing genealogi gerakan ini, diharapkan dapat memberikan
potret yang jelas dari seluruh dimensi yang melingkupinya, baik dari sisi kontinuitas maupun
diskontinuitasnya.
Syari’at Islam mulai berlaku secara formal di nusantara sejak berdirinya kerajaan-
kerajaan Islam. Jauh sebelum masuknya kolonialisasi, kerajaan-kerajaan tersebut telah
memberlakukan syari’at Islam yang pada umumnya menganut mazhab Syafi’i. Kerajaan-
kerajaan tersebut antara lain Kerajaan Samudera Pasai, Kesultanan Demak, Kesultanan Mataram,
Kesultanan Cirebon, Banten, Ternate, Buton, Sumbawa, Kalimantan Selatan, Kutai, Pontianak,
dan Palembang. Model syari’at Islam pada masa ini adalah akulturatif, karena pada masa ini
hukum Islam mengalami adaptasi dengan budaya lokal nusantara. Secara sosio-kultural, hukum
Islam telah menyatu dan menjadi living law dalam masyarakat muslim Indonesia. Hal ini terlihat
dari akulturasi yang terjadi antara Islam (sebagai agama) dengan kebudayaan lokal. Di beberapa
daerah, seperti Aceh, Makassar, Minangkabau, Riau, dan Padang, hukum Islam diterima tanpa
reserve, sederajat dengan hukum adat. Hal ini dibuktikan dengan adanya pepatah adat basandi
syara’, syara’ basandi Kitabullah, syara’ mengata adat memakai. Ungkapan ini menggambarkan
bagaimana kentalnya hubungan antara hukum ada dan hukum Islam.
Realitas di atas menunjukkan bahwa syari’at Islam sudah melembaga dalam masyarakat
Islam nusantara. Atas dasar inilah muncul teori receptio in complexu, yang mengabsahkan
keberlakuan syari’at Islam di Indonesia masa itu. Namun demikian, kedatangan Belanda ke
nusantara mengubah tatanan berlakunya syari’at Islam. Secara umum, kebijakan kolonial
terhadap berlakunya syari’at Islam dapat dikategorikan dalam dua fase, yaitu fase toleransi dan
fase intervensi. Fase toleransi terjadi sejak kedatangan Belanda sampai VOC melimpahkan
kekuasaannya ke Kerajaan Belanda (Abad 17-18 M). Fase intervensi bermula dari Abad 18M
hingga abad 20 atau berakhirnya kolonialisme Belanda di Indonesia.
Secara umum faktor yang menjadi penyebab munculnya gerakan penegakan syari’at
Islam di Indonesia dibedakan antara faktor internal dengan faktor eksternal sebagai berikut:
1. Faktor Internal
Faktor internal yang menjadi penyebab munculnya gerakan penegakan syari’at Islam
adalah: historisitas Islam di Indonesia, komposisi penduduk muslim, dan permerintahan yang
buruk. Pertama, historisitas Islam di Indonesia, di mana hukum Islam pernah berlaku bagi umat
Islam di Indonesia. Sejak berdirinya kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara, hukum Islam menjadi
aturan resmi yang diberlakukan. Hal ini diakui oleh para ahli hukum Belanda yang kemudian
memunculkan teori receptio in complexu. Teori ini mengakui bahwa hukum Islam berlaku
sepenuhnya bagi masyarakat Indonesia, sehingga pada awal pendudukannya Belanda tidak turut
campur tangan dalam pelaksanaan hukum di Nusantara. Proses historis ini menyebabkan hukum
Islam mengakar dalam sendi. Kehidupan masyarakat muslim, bahkan menjadi satu dengan
hukum adat. Artinya, hukum Islam dan hukum adat terintegrasi, menyatu dalam kehidupan
masyarakat. Sebagaimana terjadi di Minangkabau muncul istilah adat basandi syara’, syara’
basandi Kitabullah, atau di masyarakat Banjar Kalimantan Selatan terdapat ungkapan Patih
Baraja’an Dika, Andika Badayan Sara’ (saya tunduk kepada perintah Tuanku, karena Tuanku
berhukumkan hukum syara’). Kenyataan ini berimplikasi pada masih adanya semangat
masyarakat muslim Indonesia untuk kembali menegakkan syari’at Islam. Kerinduan historis ini
wajar, karena tatanan hukum yang ada sekarang dianggap tidak mampu memberikan solusi bagi
problematika hukum di masyarakat. Alasan ini diperkuat dengan keyakinan bahwa umat Islam
wajib menerapkan hukum Islam dalam segala aspek kehidupannya.
Kedua, komposisi penduduk muslim yang menempati mayoritas serta kewajiban
keagamaan untuk menjalankan hukum agama (Islam). Dikotomi mayoritas dan minoritas
memang tidak produktif untukdi pertentangkan di Indonesia. Namun, dalam realitas perjalanan
sejarahnya, ternyata sinyalemen mayoritas-minoritas tetap muncul, meski tidak nyata di
permukaan. Dalam aspek tertentu, umat Islam yang mayoritas merasa berhak untuk mengatur
pemerintahan atas dasar proporsionalitas dan demokrasi. Adalah wajar jika umat Islam
memegang pemerintahan, karena jumlah mereka merepresentasikan mayoritas. Dalam kaitannya
dengan penegakan hukum, maka umat Islam, berdasarkan kuantitasnya, merasa berhak untuk
menerapkan hukum agamanya. Tuntutan ajaran Islam adalah menjalankan semua ajarannya
secara kaffah, sempurna. Untuk itu, mau tidak mau, bagi masyarakat Islam harus berlaku hukum
Islam. Maka sangat wajar jika Indonesia yang mayoritas penduduknya adalah muslim,
menerapkan syari’at Islam. Pengerasan identitas keislaman yang mendasari gerakan formalisasi
syari’at Islam di Indonesia, terjadi sebagai akibat dari pola relasi negaramasyarakat sipil yang
buruk.17 Sejak tahun 1970-an, seluruh organisasi sosial politik secara ketat dikontrol yang
mengakibatkan berakhirnya politik aliran.18 Puncaknya adalah munculnya kebijakan tentang
asas tunggal Pancasila, sebagai upaya purifikasi dan uniformasi ideologi. 19 Berbagai kebijakan
di bidang politik dan ideologi berimplikasi pada kebijakan depolitisasi Islam dalam sistem politik
Orde Baru.
Ketiga, sistem pemerintahan yang buruk, terutama dalam penegakan hukum, sehingga
masyarakat menjadikan syari’at Islam sebagai alternatif terbaik. Centang perenang penegakan
hukum di Indonesia, khususnya pada masa reformasi, menyebabkan masyarakat berada dalam
kegelisahan. Hukum yang ada tidak mampu memberi keadilan dan kenyamanan kepada
masyarakat. Korupsi yang merajalela, pornogafi dan pornoaksi yang semakin merusak tatanan
moral, dianggap sebagai bukti tidak mampunya aturan yang ada menjadi penjaga keadilan.
Melihat realitas ini, maka syari’at Islam menjadi alternatif yang paling tepat. Hal ini disebabkan
sifat hukum Islam yang berbeda dengan hukum lainnya. Hukum Islam memiliki dua dimensi,
yaitu dunia dan akhirat, sehingga kepatuhannya tidak terbatas pada penegak hukum di dunia,
tetapi juga kepada sang pembuat hukum (Syari’), yaitu Allah. Kepatuhan kepada Allah inilah
yang membuat hukum Islam lebih dita’ati. Berdasarkan alasan tersebut, kelompok pendukung
gerakan penegakan syari’at Islam bersemangat mengkampanyekan perlunya syari’at Islam
diberlakukan. Hal ini didukung sejumlah survei yang menggambarkan dukungan masyarakat atas
penegakan syari’at Islam.
2. Faktor Eksternal
Faktor eksternal yang menjadi pemicu munculnya gerakan penegakan syari’at Islam
adalah adanya transformasi pemikiran fundamentalis dari Timur Tengah dan munculnya gerakan
transnasional yang mengusung penegakan syari’ah dan khilafah. Pertama, transformasi
pemikiran radikal/ fundamental dari Timur Tengah. Kemunculan kelompok-kelompok Islam
garis keras di Indonesia terkait dengan lahirnya kelompok-kelompok Islam garis keras di Timur
Tengah, yang merupakan bentuk metamofosis salafisme abad ke-19.21 Gerakan ini tidak hanya
dalam bentuk purifikasi keagamaan semata, tetapi menolak berbagai paham yang tidak sesuai
dengan nilai-nilai agama, seperti modernisme, sekularisme, kapitalisme, dan lain-lain. Dengan
demikian, gerakan ini merupakan perumusan ulang ideologi klasik untuk merespons
perkembangan- perkembangan yang terjadi pada abad modern ini.22 Kedua, munculnya gerakan
trans-nasional yang giat melakukan gerakan syari’at Islam. Gerakan-gerakan trans-nasional ini
berasal dari proses transmisi gerakan revivalisme Islam di Timur Tengah ke Indonesia, yang
terjadi dari tahun 1980-2002. Termasuk gerakan ini antara lain: gerakan Ikhwanul Muslimin,
Hizbut Tahrir, dan Gerakan Salafi. Mereka memiliki andil besar dalam menumbuh-kembangkan
gerakan revivalismeIslam di tanah air. Dalam wajah Indonesia, gerakan ini berkembang menjadi
Gerakan Tarbiyah, Hizbut Tahrir Indonesia, dan Dakwah Salafi.
Dalam bidang politik, kita perlu bersikap intgrasionis. Artinya kita tidak perlu
memisahkan antara kepentingan bangsa. Umat islam adalah mayoritas di Negara ini. Kenyataan
ini adalah fakta sejarah yang barangkali untuk jangka waktu lama tidak akan berubah.
Masalahnya adalah apakah sistem nasional yang ada sekarang bisa kita terima atau tidak, sesuai
atau tida dengan islam. Sebagai warga Negara, kita punya hak untuk memilih.sistem yang benar.
Saluran agar kita bisa ikut “bersuara” juga perlu diperjuangkan. Tentu saja semua orang
punya hak untuk hal tersebut. Kita perlu berperan besar di Negara ini, masa depan Indonesia
adalah masa depan umat islam (Kuntowijoyo, 2017). Kita harus memerankan diri sebagai agen
dar pelbagai perubahan itu. Kita harus selesau jeli dan berada di baris depan untuk mengamati
kecenderungan-kecenderungan yang sedang berlangsung. Sekarang misalnya, terjadi
kecenderungan sistem kapitalisme di Indonesia. Apabila kita tidak setuju, kita perlu menolak dan
mengatakan tidak di garis depan. Sebab kalau kita hanya berada dipinggiran, kita akan menjadi
objek dari yang terjadi.
Kita harus berperan disemua sektor, kita harus mempunyai kesadaran kuat. Pada situasi
sekarang, memang mustahil menggerakkan massa, apalgi atas nama islam. Dalam periode
ideologi, kita memang memerlukan mobilisasi massa. Tetapi pada zaman teknokrasi, seperti
sekarang ini, massa tidak begitu memainkan peranan yang berpengaruh. Yang punya pengaruh
besar justru teknokrasi. Jika suatu saat nanti islam bisa menguasai teknokrasi, perjuangan politik
lewat mobilisasi massa sudah tidak relevan lagi. Dan itu bukan mustahil. Teknokrasi tida selalu
berarti jaringan kekuasan politik, tetapi juga meliputi jaringan bisnis, pendidikan, media massa,
dan sebagainya.
Kita menyadari bahwa proses penyadaran ini sama fungsionalnya dengan mobilisasi
massa. Kalau pada periode ideologi, mobilisasi massa sangat penting, maka pada zaman ide ini
proses penyadaran sangat relevan. Dalam konteks ini, kita cukup punya alasan untuk optimis.
Banyak kaum muda islam kini sudah sadar dir, mengerti siapa mereka, tugas-tugas apa yang
mereka hadapi, dan apa peranan mereka di masa depan. Melalui generasi seperti ini, generasi
yang sebentar lagi akan memasuki struktur teknokrasi, kita bisa berharap banyak.
Karena hal itulah, kita sudah berhak untuk optimis. Peranan penting disini, bagaimana
PMII menyikapi hal tersebut. Dimulai dari kesadaran bersama, yaitu menyadari akan adanya
periode teknokrasi kedepan. Setelah itu, dimulailah sebuah pergerakan dengan cara menjalin link
atau jaringan yang telah dibangun dengan aksi nyata.