Anda di halaman 1dari 34

BAB I

PANCASILA DALAM KAJIAN SEJARAH BANGSA INDONESIA

Tujuan Pembelajaran :
1. Mahasiswa mampu memahami kajian Pancasila Era Pra Kemerdekaan
2. Mahasiswa mampu memahami kajian Pancasila Era Kemerdekaan
3. Mahasiswa mampu memahami kajian Pancasila Era Orde Lama
4. Mahasiswa mampu memahami kajian Pancasila Era Orde Baru
5. Mahasiswa mampu memahami kajian Pancasila Era Reformasi

Pancasila adalah lima nilai dasar luhur yang ada dan berkembang bersama
dengan bangsa Indonesia sejak dahulu. Dasar negara merupakan alas atau
fundamen yang menjadi pijakan dan mampu memberikan kekuatan kepada
berdirinya sebuah Negara. Negara Indonesia di bangun juga berdasarkan pada
suatu landasan yaitu: pancasila. Pancasila dalam fungsi nya sebagai dasar negara,
merupakan sumber kaidah hukum yang mengatur Negara Republik Indonesia.
Termasuk di dalamnya seluruh unsur-unsurnya yakni pemerintah, wilayah, dan
rakyat.
Pancasila sebagai dasar filsafat Negara Republik Indonesia yang secara
resmi disahkan oleh PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 bersamaan dengan
batang tubuh UUD 1945. Dimana Pancasila sebagai dasar negara dari Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang telah diterima secara luas. Presiden Soekarno
pernah mengatakan “Jangan sekali-kali melupakan sejarah”. Arus sejarah
memperlihatkan dengan nyata bahwa semua bangsa memerlukan konsepsi dengan
cita-cita.
Pancasila dalam kajian sejarah bangsa Indonesia di antaranya yaitu:
1. Era pra kemerdekaan
2. Era kemerdekaan
3. Era orde lama
4. Era orde baru
5. Era reformasi
A. Era Pra Kemerdekaan
Soekarno pernah mengatakan “jangan sekali-kali meninggalkan sejarah”.
Dari perkataan tersebut dapat dimaknai bahwa sejarah mempunyai fungsi yang
beragam bagi kehidupan. Seperti diungkap seorang filsuf Yunani yang bernama
Cicero (106-43 SM) yang mengungkapkan “Historia Vitae Magistra”, yang
bermakna, “sejarah memberikan kearifan”. Pengertian yang lebih umum yaitu
“sejarah merupakan guru kehidupan”.  Sejarah memperlihatkan dengan nyata
bahwa semua bangsa memerlukan suatu konsepsi dan cita-cita. Jika mereka tidak
memilikinya atau jika konsepsi dan cita-cita itu menjadi kabur dan usang, maka
bangsa itu adalah dalam bahaya (Soekarno, 1989: 64).
Cita-cita ideal sebagai landasan moralitas bagi kebesaran bangsa diperkuat
oleh cendekiawan-politisi Amerika Serikat, John Gardner, “No nation can achieve
greatness unless it believes in something, and unless that something has moral
dimensions to sustain a great civilization” (tidak ada bangsa yang dapat mencapai
kebesaran kecuali jika bangsa itu mempercayai sesuatu, dan sesuatu yang
dipercayainya itu memiliki dimensi-dimensi moral guna menopang peradaban
besar) (Madjid dalam Latif, 2011: 42).
Kuat dan mengakarnya Pancasila dalam jiwa bangsa menjadikan Pancasila
terus berjaya sepanjang masa. Karena ideologi Pancasila tidak hanya sekedar
“confirm and deepen” identitas Bangsa Indonesia sepanjang masa. Sejak
Pancasila digali dan dilahirkan kembali menjadi Dasar dan Ideologi Negara, maka
ia membangunkan dan membangkitkan 2 identitas yang “tertidur” dan yang
“terbius” selama kolonialisme” (Abdulgani, 1979: 22).
1. Masa Kerajaan Sriwijaya
Pada abad ke VII berdirilah kerajaan Sriwijaya dibawah kekuasaan wangsa
Syailendra di Sumatera. Kerajaan yang berbahasa Melayu Kuno dan
huruf pallawa adalah kerajaan maritime yang mengandalkan jalur perhubungan
laut. Kekuasaan Sriwijaya menguasai selat Sunda (686), kemudian Selat Malaka
(775). Sistem perdagangan telah diatur dengan baik, dimana pemerintah melalui
pegawai raja membentuk suatu badan yang dapat mengumpulkan hasil kerajinan
rakyat sehingga rakyat mengalami kemudahan dalam pemasarannya. Dalam
sistem pemerintahan sudah terdapat pegawai pengurus pajak, harta benda
kerajaan, rohaniawan yang menjadi pengawas teknis pembangunan gedung-
gedung dan patung-patung suci sehingga saat itu kerajaan dapat menjalankan
sistem negaranya dengan nilai-nilai Ketuhanan (Kaelan,1999:27).
Pada zaman Sriwijaya telah didirikan Universitas Agama Budha yang sudah
dikenal di Asia. Pelajar dari Universitas ini dapat melanjutkan ke India, banyak
guru-guru tamu yang mengajar di sini dari India, seperti Dharmakitri. Cita-cita
kesejahteraan bersama dalam suatu negara telah tercermin pada kerajaan
Sriwijaya sebagai tersebut dalam perkataan “marvuat vannua Criwijaya
ssiddhayatra subhiksa” (suatu cita-cita negara yang adil dan makmur) (1999:27).
        Unsur-unsur yang terdapat di dalam Pancasila yaitu: Ke-Tuhan-an,
Kemanusiaan, Persatuan, Tata pemerintahan atas dasar musyawarah dan keadilan
sosial telah terdapat sebagai asas-asas yang menjiwai bangsa Indonesia, yang
dihayati serta dilaksanakan pada waktu itu, hanya saja belum dirumuskan secara
kongkrit. Dokumen tertulis yang membuktikan terdapatnya unsur-unsur tersebut
ialah Prasasti-prasasti di Talaga Batu, Kedukan Bukit, Karang Brahi, Talang Tuo
dan Kota Kapur (Dardji Darmodihardjo.1974:22-23).
         Pada hakekatnya nilai-nilai budaya bangsa semasa kejayaan Sriwijaya telah
menunjukkan nilai-nilai Pancasila, yaitu:
1) Nilai Sila pertama, terwujud dengan adanya umat agama Budha dan Hindu
hidup berdampingan secara damai. Pada kerajaan Sriwijaya terdapat pusat
kegiatan pembinaan dan pengembangan agama Budha.
2) Nilai Sila Kedua, terjalinnya hubungan antara Sriwijaya dengan India
(Dinasti Harsha). Pengiriman para pemuda untuk belajar di India. Telah
tumbuh nilai-nilai politik luar negeri yang bebas dan aktif.
3) Nilai Sila Ketiga, sebagai negara martitim, Sriwijaya telah menerapkan
konsep negara kepulauan sesuai dengan konsepsi Wawasan Nusantara.
4) Nilai Sila Keempat, Sriwijaya telah memiliki kedaulatan yang sangat luas,
meliputi (Indonesia sekarang) Siam, semenanjung Melayu.
5) Nilai Sila Kelima, Sriwijaya menjadi pusat pelayanan dan perdagangan,
sehingga kehidupan rakyatnya sangat makmur.
2. Masa Kerajaan Majapahit
Sebelum kerajaan Majapahit berdiri telah muncul kerajaan-kerajaan di Jawa
Tengah dan Jawa Timur secara silih berganti, yaitu Kerajaan Kalingga (abad ke
VII), Sanjaya (abad ke VIII), sebagai refleksi puncak budaya dari kerajaan
tersebut adalah dibangunnya candi Borobudur (candi agama Budha pada abad ke
IX) dan candi Prambanan (candi agama Hindu pada abad ke X).
Di Jawa Timur muncul pula kerajaan-kerajaan, yaitu Isana (abad ke IX),
Dharmawangsa (abad ke X), Airlangga (abad ke XI). Agama yang diakui kerajaan
adalah agama Budha, agama Wisnu dan agama Syiwa telah hidup berdampingan
secara damai. Nilai-nilai kemanusiaan telah tercermin dalam kerajaan ini, terbukti
menurut prasasti Kelagen bahwa Raja Airlangga telah mengadakan hubungan
dagang dan bekerja samadengan Benggala, Chola dan Champa. Sebagai nilai-nilai
sila keempat telah terwujud yaitu dengan diangkatnya Airlangga sebagai raja
melalui musyawarah antara pengikut Airlangga dengan rakyat dan kaum
Brahmana. Sedangkan nilai-nilai keadilan sosial terwujud pada saat raja Airlangga
memerintahkan untuk membuat tanggul dan waduk demi kesejahteraan pertanian
rakyat (Aziz Toyibin. 1997:28-29).
        Pada abad ke XIII berdiri kerajaan Singasari di Kediri Jawa Timur yang ada
hubungannya dengan berdirinya  kerajaan Majapahit (1293) Zaman Keemasan
Majapahit pada pemerintahan  raja Hayam Wuruk dengan maha patih Gajah
Mada. Wilayah kekuasaan Majapahit semasa jayanya membentang dari
semananjung Melayu sampai ke Irian Jaya.
       Pengamalan sila Ketuhanan Yang Maha Esa telah terbukti pada waktu agama
Hindu dan Budha hidup berdampingan secara damai, Empu Prapanca menulis
Negarakertagama (1365) yang di dalamnya telah terdapat istilah “Pancasila”.
Empu Tantular mengarang buku Sutasoma dimana dalam buku itu tedapat seloka
persatuan nasional yang berbunyi “Bhinneka Tunggal Ika Tan Hana Dharma
Mangrua”, artinya walaupun berbeda-beda, namun satu jua dan tidak ada agama
vyang memiliki tujuan yang berbeda. Hal ini menunjukkan realitas beragama
saat itu. Seloka toleransi ini juga diterima oleh kerajaan Pasai di Sumatera sebagai
bagian kerajaan Majapihit yang telah memeluk agama Islam.
       Sila kemanusiaan telah terwujud, yaitu hubungan raja Hayam Wuruk
dengan baik dengan kerajaan Tiongkok, Ayoda, Champa dan Kamboja.
Mengadakan persahabatan dengan negara-negara tetangga atas dasar “Mitreka
Satata”.
Sebagai perwujudan nilai-nilai Sila Persatuan Indonesia telah terwujud
dengan keutuhan kerajaan, khususnya Sumpah Palapa yang diucapkan oleh Gajah
Mada yang diucapkannya pada sidang Ratu dan Menteri-menteri pada tahun 1331
yang berisi cita-cita mempersatukan seluruh nusantara raya yang berbunyi : Saya
baru akan berhenti berpuasa makan palapa, jika seluruh nusantara bertakluk di
bawah kekuasaan negara, jika gurun, Seram, Tanjung, Haru, Pahang, Dempo,
Bali, Sundda, Palembang dan Tumasik telah dikalahkan (Muh. Yamin. 1960: 60).
Sila Kerakyatan (keempat) sebagai nilai-nilai musyawarah dan mufakat
yang dilakukan oleh sistim pemerintahan kerajaan Majapahit Menurut prasasti
Brumbung (1329) dalam tata pemerintahan kerajaan Majapahit terdapat semacam
penasehat kerajaanseperti Rakryan I Hino, I Sirikan dan I Halu yang berarti
memberikan nasehat kepada raja. Kerukuan dan gotong royong dalam kehidupan
masyarakat telah menumbuhkan adat bermusyawarah untuk mufakat dalam
memutuskan masalah bersama.
Sedangkan perwujudan sila keadilan sosial adalah sebagai wujud dari
berdirinya kerajaan beberapa abad yang tentunya ditopang dengan kesejahteraan
dan kemakmuran rakyatnya.
Berdasarkan uraian diatas dapat kita fahami bahwa zaman Sriwijaya dan
Majapahit adalah sebagai tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam
mencapai cita-citanya.
a. Perjuangan Bangsa Indonesia Melawan Sistem Penjajahan
Kesuburan Indonesia dengan hasil buminya yang melimpah, terutama
rempah-rempah yang sangat dibutuhkan oleh negara-negara di luar Indonesia,
menyebabkan bangsa Asing masuk ke Indonesia. Bangsa Barat yang
membutuhkan rempah-rempah itu mulai memasuki Indonesia, yaitu Portugis,
Spanyol, Inggris dan Belanda. Kemasukan bangsa Barat seiring dengan
keruntuhan Majapahit sebagai akibat perselisihan dan perang saudara, yang berarti
nilai-nilai nasionalisme sudah ditinggalkan, walaupun  abad ke XVI agama Islam
berkembang dengan pesat dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam, seperti 
Samudra Pasai dan Demak, nampaknya tidak mampu membendung tekanan Barat
memasuki Indonesia.
Bangsa-bangsa Barat berlomba-lomba memperebutkan kemakmuran bumi
Indonesia ini. Maka sejak itu mulailah lembaran hitam sejarah Indonesia dengan
penjajahan Barat, khususnya Belanda. Masa pejajahan Belanda itu dijadikan
tonggak sejarah perjuangan bangsa Indonesia dalam mencapai cita-citanya, sebab
pada zaman penjajahan ini apa yang telah dicapai oleh bangsa Indonesia pada
zaman Sriwijaya dan Majapahit menjadi hilang. Kedaulatan negara hilang,
persatuan dihancurkan, kemakmuran lenyap, wilayah dinjak-injak oleh penjajah.
b. Perjuangan Sebelum Abad ke XX
Penjajahan Barat yang memusnahkan kemakmuran bangsa Indonesia itu
tidak dibiarkan begitu saja oleh segenab Bangsa Indonesia. Sejak semula imprialis
itu menjejakkan kakinya di Indonesia, di mana-mana bangsa Indonesia
melawannya dengan semangat patriotik melalui perlawanan secara fisik.
Kita mengenal nama-nama Pahlawan Bangsa yang berjuang dengan gigih
melawan penjajah. Pada abad ke XVII dan XVIII perlawanan terhadap penjajah
digerakkan oleh pahlawan Sultan Agung (Mataram 1645), Sultan Ageng Tirta
Yasa dan Ki Tapa (Banten 1650), Hasanuddin Makasar 1660), Iskandar Muda
Aceh 1635) Untung Surapati dan Trunojoyo (Jawa Timur 1670), Ibnu Iskandar
(Minangkabau 1680) dan lain-lain.
Pada permulaan abad ke XIX penjajah Belanda mengubah sistem
kolonialismenya yang semula berbentuk perseroan dagang partikelir yang
bernama VOC berganti dengan Badan Pemerintahan resmi yaitu Pemerintahan
Hindia Belanda. Semula pernah terjadi pergeseran Pemerintahan penjajahan dari
Hindia Belanda kepada Inggris, tetapi tidak berjalan lama dan segera kembali
kepada Belanda lagi. Dalam usaha memperkuat kolonialismenya Belanda
menghadapi perlawanan bangsa Indonesia yang dipimpin oleh Patimura (1817),
Imam Bonjol di Minangkabau (1822-1837), Diponogoro  di Mataram (1825-
1830), Badaruddin di Palembang (1817), Pangeran Antasari di Kalimantan (1860)
Jelantik di Bali (1850), Anang Agung Made di Lombok (1895) Teuku Umar,
Teuku Cik Di Tiro, Cut Nya’Din di Aceh (1873-1904), Si Singamangaraja di
Batak (1900).
         Pada Hakikatnya perlawanan terhadap Belanda itu terjadi hampir setiap
daerah di Indonesia. Akan tetapi perlawanan-perlawanan secara fisik terjadi
secara sendiri-sendiri di setiap daerah. Tidak adanya persatuan serta
koordinasi dalam melakukan perlawanan sehingga tidak berhasilnya bangsa
Indonesia mengusir kolonialis, sebaliknya semakin memperkukuh kedudukan
penjajah. Hal ini membuktikan betapa pentingnya rasa persatuan (nasionalisme)
dalam menghadapi penjajahan.
c. Pergerakan Nasional
Pergerakan Nasional adalah pergerakan bangsa Indonesia yang meliputi
segala macam aksi yang dilakukan dengan organisasi secara modern kearah
perbaikan hidup untuk Indonesia. Gerakan Tersebut meliputi semua bidang,
antara lain bidang politik, ekonomi, sosial, agama, dan pendidikan. Dalam hal ini,
nasional atau kebangsaan mengandung arti menyeluruh bagi suku-suku bangsa di
Indonesia tanpa memandang derajat, pangkat, kekayaan, pendidikan, suku, adat,
ras, dan agamanya.

1. Pengertian pergerakan
a. Maksud dari "pergerakan" disini meliputi segala macam aksi dengan
mengggunakan "organisasi modern" untuk menentang penjajahan dan
mencapai kemerdekaan. Dengan organisasi ini menunjuk bahwa aksi
tersebut disusun secara teratur dalam arti ada pemimpinnya, anggota,
dasardan, tujuan yang ingin dicapai. Penggunaan organisasi modern
ini menunjukkan adanya perbedaan dengan upaya melawan penjajah
sebelum tahun 1908.
2. Pengertian Nasional
b. Istilah "nasional" menunjuk sifat dari pergerakan, yakni semua aksi
dengan organisasi modern yang mencakup semua aspek kehidupan,
seperti ekonomi, sosial, politik, budaya dan cultural dengan tujuan
yang sama, yakni melawan penjajahan untuk digantikan dengan
kekuasaan yang dipegang oleh bangsa Indonesia sendiri. Istilah
”nasional” dalam hal ini oleh Sartono Kartodirdjo (1990) diartikan
sebagai kata sifatdarisuatu "nation" yang menunjukkan kumpulan
individu-individu yang disatukan oleh ikatan politik, bahasa, kultural,
dansebagainya.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa Pergerakan nasional adalah


suatu bentuk perlawanan terhadap kepada kaum penjajah yang dilaksanakan tidak
dengan menggunakan kekuatan bersenjata, tetapi menggunakan organisasi yang
bergerak di bidang sosial, budaya, ekonomi dan politik. Demikian halnya dengan
pergerakan nasional yang terjadi di Indonesia. Pada awalnya, berdirinya
organisasi ini tidak ditujukan untuk perlawanan terhadap kaum penjajah, tetapi
organisasi-organisasi tersebut pada dasarnya didirikan dalam upaya meningkatkan
kesejahteraan rakyat yang mengalami penderitaan akibat penjajahan, namun pada
akhirnya bertujuan untuk mewujudkan kemerdekaan. Hal yang demikian ini pula
yang menjadi faktor awal berdirinya berbagai macam organisasi pergerakan
nasional di Indonesia.
Di Indonesia, pergerakan nasional merupakan istilah yang digunakan untuk
menyebut perjuangan bangsa Indonesia melawan penjajajah dalam kurun waktu
1908 - 1945. Di luar kurun waktu tersebut digunakan istilah perlawanan atau
perjuangan, misalnya perjuangan melawan kekuasan asing di berbagai daerah
yang terjadi pada masa VOC dan masa pemerintahan colonial Belanda. Ada lagi
perjuangan mempertahankan kemerdekaan yang berlangsung sejak Proklamasi
Kemerdekaan sampai terbentuknya Republik Indonesia Serikat tanggal 27
Desember 1949. Seperti halnya di berbagai Negara lainnya, pergerakan nasional
di Indonesia juga bertujuan untuk mengusir penjajah (Belanda) dan mewujudkan
Indonesia merdeka. Lahirnya pergerakan nasional dimulai dengan berdirinya
Boedi Oetomo pada tanggal 20 Mei 1908. Tanggal tersebut hingga kini selalu
diperingati sebagai Hari Kebangkitan Nasional. Pada awalnya Boedi Oetomo
merupakan organisasi yang bersifat sosial. Namun dalam perkembangannya
bergeser menjadi organisasi politik. Perkembangan selanjutnya adalah pada tahun
1932, Boedi Oetomo menyatakan bahwa tujuannya adalah Indonesia merdeka.
Organisasi-Organisasi Awal Pergerakan Nasional
1. Pergerakan Budi Utomo
A. Pengertian Budi Utomo
Boedi Oetomo (Budi Utomo) merupakan sebuah organisasi pemuda di
Hindia Belanda (Indonesia saat ini) yang didirikan oleh Dr.Soetomo dan
mahasiswa Stovia lainnya, seperti Goenawan Mangoenkoesoemo dan Soeradji
pada tanggal 20 Mei 1908. Organisasi ini juga digagas oleh Dr.Wahidin
Soediroehusodo. Budi Utomo bersifat sosial, ekonomi dan juga kebudayaan, dan
tidak politis. Organisasi Budi Utomo merupakan tonggak awal lahirnya berbagai
gerakan-gerakan dari kalangan terpelajar di Indonesia.
Selain dari mahasiswa Stovia, Budi Utomo juga terbentuk karena
dipelopori oleh mahasiswa-mahasiswa dari Sekolah Peternakan dan Pertanian
Bogor, Sekolah Guru Bandung, Sekolah Pamong Praja Magelang, dan
Probolinggo, serta Sekolah Sore untuk orang dewasa di Surabaya. Nama Budi
Utomo diusulkan oleh Soeradji. Budi Utomo sendiri memiliki semboyan Indie
Vooruit (Hindia Maju).

B. Terbentuknya Budi Utomo


Pembentukan Budi Utomo berawal dari perjalanan Dr. Wahidin
Sudirohusodo yang mengadakan kampanye di kalangan priyayi Jawa pada tahun
1906-1907. Tujuan kampanye Wahidin adalah untuk menyadarkan kaum priyayi
bahwa mahasiswa adalah kaum terpelajar yang membutuhkan bantuan-bantuan
dana pendidikan. Selain itu, dibutuhkan suatu usaha untuk meningkatkan harkat
dan martabat rakyat Indonesia. Peningkatan itu dilaksanakan dengan membentuk
Dana Pelajar (Studiefonds) yang bertugas untuk membiayai para pemuda yang
cerdas tetapi tidak mampu melanjutkan sekolahnya.
Pada akhir tahun 1907, Wahidin kemudian bertemu dengan Soetomo. Dari
pertemuan tersebut, Soetomo melanjutkan pembicaraannya dengan Wahidin
dengan teman-temannya di Stovia dengan menjelaskan maksud dan tujuan dari
Dr. Wahidin tersebut. Tujuan semula yang hanya mendirikan suatu lembaga yang
mengelola dan abagi para pelajar, kemudian berkembang menjadi suatu organisasi
pelajar. Istilah Budi Utomo sendiri terdiri atas du akata, yaitu Budi yang berarti
perangai atau tabiat, dan Utomo yang berarti baik atau luhur. Jadi Budi Utomo
dapat diartikan sebagai suatu perkumpulan yang akan mencapai suatu keluhuran
budi.
Pada hari minggu tanggal 20 Mei 1908 pukul 09.00 WIB, bertempat di salah
satu ruang kuliah Stovia, Soetomo menjelaskan gagasannya mengenai
pembentukan suatu organisasi kepemudaan. Ia mengatakan bahwasanya masa
depan bangsa dan negara ini terletak pada para pemuda. Atas dasar itu, maka
lahirlah organisasi Budi Utomo. Saat itu, kaum muda menyadari bahwa selain
mereka harus berorganisasi, mereka juga harus sadar bahwa tugas mereka sebagai
mahasiswa kedokteran sangatlah banyak.
Jadi, mereka berpendapat bahwa kaum tua harus memimpin organisasi ini,
sedangkan kaum muda menjadi pelopor pergerakan yang akan menggerakkan
organisasi Budi Utomo.Sepuluh tahun pertama, Budi Utomo mengalami beberapa
kali pergantian pemimpin organisasi. Kebanyakan pemimpin berasal dari
kalangan priyayi atau bangsawan dari kalangan keraton, seperti Raden Adipati
Tirtokoesumo (mantan bupati Karanganyar), dan Pangeran Ario Noto Dirodjo
(dari keraton Pakualaman).
Pada akhir tahun 1907 Dr. Wahidin Sudirohusodo berpidato menyampaikan
gagasan ini didepan mahasiswa STOVIA (Sekolah Dokter Pribumi) di Jakarta.
Pidato Dr. Wahidin Sudirohusodo mendapat tanggapan positif dari mahasiswa
STOVIA.
Mahasiswa-mahasiswa STOVIA yang sudah memiliki cita-cita
meningkatkan kedudukan dan martabat bangsa itu terdorong oleh kampanye yang
dilakukan Dr. Wahidin Sudirohusodo. Pada hari Rabu tanggal 20 Mei 1908,
Soetomo dan kawan-kawannya berkumpul diruang anatomi gedung  STOVIA.
Mereka sepakat mendirikan organisasi Budi Utomo. Para mahasiswa yang
tergabung dalam Budi Utomo ini adalah Soetomo sebagai ketua, Moh. Sulaiman
sebagai wakil ketua, Gondo Suwarno sebagai sekretaris I, Gunawan
Mangunkusumo sebagai sekretaris II, Angka sebagai bendahara, Muhammad
Saleh dan Suwarno sebagai komisaris. Juga beberapa nama lain yakni Suwardi,
Samsu, Suradji, Sudipyo, dan Gumbrek. Soetomo beserta kawan-kawannya
sepakat mendirikan Budi Utomo yang berarti ” Usaha Mulia”.
Dalam waktu singkat di beberapa kota berdiri cabang-cabang Budi Utomo
yakni di Bogor, Bandung, Yogyakarta, Magelang, Surabaya, dan Probolinggo.
Pada tanggal 3-5 Oktober 1908, Budi Utomo mengadakan kongres I di
Yogyakarta. Semangat dan jiwa kongres Budi Utomo yang diputuskan di
Yogyakarta ternyata disambut dengan hangat dari masyarakat setempat dan juga
bahkan akhirnya meluas di seluruh penjuru daerah di Indonesia.
Dalam kongres itu ditetapkan tujuan Budi Utomo adalah kemajuan yang
selaras (harmonis) buat negeri dan  bangsa, terutama dengan memajukan
pengajaran, pertanian, peternakan dagang , teknik dan industri, dan kebudayaan
(keseniaan dan ilmu).
Dalam kongres yang dihadir 8 cabang tersebut, dihasilkan susunan pengurus
sebagai berikut:

Ketua : Raden Tumenggung Aryo Tirtokusumo ( Bupati


Karanganyar)
Wakil ketua : Wahidin Sudirohusodo
Sekretaris I : Mas Ngabei Dwi Djosewojo
Sekretaris II : Raden Sostrosugondo
Bendahara : Raden Panji gondoatmodjo
Komisaris : Raden Mas Arjo Surdiputro, R.M.Panji Gondosumarjo,
R.Djojosubroto dan Cipto Mangunkusumo
C. Tujuan Budi Utomo
Tujuan Budi Utomo adalah mencapai kemajuan dan meningkatkan derajat
bangsa melalui pendidikan dan kebudayaan. Hal ini terlihat dari tujuan yang
hendak dicapai perbaikan pelajaran disekolah-sekolah, mendirikan badan wakaf
yang mengumpulkan tunjangan untuk kepentingan belanja anak-anak bersekolah,
membuka sekolah pertanian, memajukan teknik industri, menghidupkan kembali
seni dan kebudayaan bumi putera, dan menjunjung tinggi cita-cita kemanusiaan
dalam rangka mencapai kehidupan rakyat yang layak.
Sejak tahun 1915 kegiatan Budi Utomo tidak hanya bergarak dalam bidang
pendidikan dan kebudayaan, tetapi bergerak dalam bidang politik. Kegiatan Budi
Utomo dalam bidang politik adalah sebagai berikut:

1. Ikut duduk dalam komite indie weerbaar (Panitia Ketahanan Hindia


Belanda) dari Indonesia.
2. Ikut mengusulkan dibentuknya dewan perwakilan rakyat (Volksraad).
3. Tokoh Indonesia yang ikut duduk dalam volksraad yaitu S.Suryokusumo.
4. Merencanakan program politik untuk mewujudkan pemerintahan parlemen
berdasar kebangsaan.
5. Ikut bergabung kedalam permufakatan perhimpunan-perhimpunan politik
kebangsaan Indonesia (PPPKI) yang diprkarsai oleh Bung Karno pada
tahun 1927.
6. Bergabung dengan persatuan bangsa Indonesia ( PBI ) menjadi Partai
Indonesia Raya (PARINDRA).
Karena sebagai organisasi modern yang pertama kali muncul di Indonesia,
maka pemerintah Republik Indonesia menetapkan tanggal berdirinya Budi Utomo
diperingati sebagai hari Kebangkitan Nasional.
D. Penyebab Berakhirnya Budi Utomo
Budi Utomo semakin lamban kegiatannya setelah keluaranya
Mangunkusumo dan Suryodiputro. Aktivitas Budi Utomo pada waktu itu terbatas
pada penertiban majalah gueroe desa. Sejak tahun 1912 ketika pangeran
Otodirodjo menjabat sebagai ketua, Budi Utomo berusaha mengejar ketinggalan
tetapi tidak banyak hasilnya karena saat itu muncul organisasi-organisasi lain
seperti Sarekat Islam dan Indische Partij.
Dalam perekembangannya, ditubuh Budi utomo muncul 2 Aliran:
b. Pihak Kanan, berkehendak supaya keanggotaan dibatasi pada golongan
terpelajar saja, tidak bergerak dalam lapangan politik dan hanya membatasi
pada pelajaran sekolah saja.
c. Pihak kiri, yang jumlahnya lebih kecil terdiri dari kaum muda yang
berkeinginan kearah gerakan kebangsaan yang demokratis, lebih
memerhatikan nasib rakyat yang menderita.

Adanya 2 aliran dalam tubuh budi utomo meyebabkan terjadinya


perpecahan Dr. Cipto Mangunkusumo yang mewakili kaum muda keluar dari
keanggotaaan. Akibatnya gerak Budi Utomo semakin lamban.
Kebijakan-kebijakan politik yang dilakukan oleh pemerintah colonial
Belanda memaksa Budi Utomo mulai kehilangan kewibawaannya, sehingga
muncullah perpecahan di dalam Budi Utomo, dan muncul kelompok radikal dan
moderat di tubuh organisasi ini. Selain itu, Budi Utomo juga tidak pernah
mendapat dukungan massa, karena kedudukannya di dalam arena politik kurang
begitu penting. Sehingga pada tahun 1935, organisasi ini resmi dibubarkan.
Tujuan organisasi Budi Utomo kurang maksimal dilaksanakan diakibatkan
karena beberapa faktor, yaitu :
a. Lebih memajukan pendidikan kaum priyayi dari pada rakyat jelata
b. Keluarnya anggota Budi Utomo dari kalangan mahasiswa
c. Adanya kesulitan finansial
d. Adanya sikap Tirto Kusumo yang lebih memperhatikan kepentingan
pemerintah kolonial Belanda
e. Bahasa Belanda lebih menjadi prioritas dari pada bahasa Indonesia
f. Priyayi lebih banyak yang mementingkan jabatan dari pada mementingkan
kepentingan nasionalismenya.
Akhirnya dengan munculnya berbagai macam gerakan politik seperti
Serikat Islam pada tahun 1912 ,dan sebagian yang menarik dan berkembang
dengan pesat, menyebabkan Budi Utomo makin mundur dan pengaruhnya di
masyarakat makin berkurang. Walaupun kedudukannya secara politik kurang
begitu penting namun ada satu hal yang lebih penting dari Budi Utomo “bahwa di
dalam tubuhnya telah ada benih semangat nasional yang pertama dan karena itu ia
dapat di pandang sebagai induk pergerakan nasional.

2. Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia)


A. Pengertian Indische Vereeniging

Indische Vereeniging (Perhimpunan Indonesia) adalah salah satu organisai


pergerakan nasional yang berdiri di negeri Belanda. Perhimpunan Indonesia
didirikan oleh mahasiswa-mahasiswa Indonesia serta orang-orang Belanda yang
menaruh perhatian pada nasib Hindia Belanda yang tinggal di Negera Belanda.
Perhimpunan Indonesia berdiri pada tahun 1908, yang dibentuk sebagai sebuah
perhimpunan yang bersifat sosial. Organisasi ini merupakan ajang pertemuan dan
komunikasi antar mahasiswa Indonesia yang belajar di negeri Belanda.

B. Tokoh Pendiri

Indische Vereeniging berdiri atas prakarsa Soetan Kasajangan Soripada dan


R.M. Noto Soeroto yang tujuan utamanya ialah mengadakan pesta dansa-dansa
dan pidato-pidato.
Sejak Tjipto Mangoenkoesoemo dan Soewardi Soerjaningrat (Ki Hajar
Dewantara) masuk, pada 1913, mulailah mereka memikirkan mengenai masa
depan Indonesia. Mereka mulai menyadari betapa pentingnya organisasi tersebut
bagi bangsa Indonesia. Semenjak itulah vereeninging ini memasuki kancah
politik. Waktu itu pula vereeniging menerbitkan sebuah buletin yang diberi nama
Hindia Poetera, namun isinya sama sekali tidak memuat tulisan-tulisan bernada
politik.
C. Sejarah terbentuknya Indische Vereeniging

Pada mulanya, organisasi tersebut hanya merupakan sebuah organisasi


sosial. Akan tetapi, sejak berakhirnya Perang Dunia I perasaan anti kolonialisme
dan anti imperialisme di kalangan pemimpin-pemimpin Indische Vereenigin
semakin menonjol. Lebih-lebih sejak adanya seruan Presiden Amerika Serikat
Woodrow Wilson tentang hak untuk menentukan nasib sendiri, sehingga
keinginan para pelajar Indonesia untuk merdeka dari penjajahan Belanda semakin
kuat.
Pada tahun 1922, Indische Vereeniging berubah nama menjadi Indonesische
Vereeniging. Sejak tahun 1925, selain nama dalam bahasa Belanda juga
digunakan dalam bahasa Indonesia, yaitu Perhimpunan Indonesia. Dalam
perkembangannya, hanya nama Perhimpunan Indonesia (PI) saja yang digunakan.
Oleh karena itu, semakin tegas bahwa PI bergerak dalam bidang politik.
Untuk menyebarkan semangat perjuangannya, PI menerbitkan majalah
Hindia Putra. Dalam majalah bulan Maret 1923 disebutkan asas PI adalah
“Mengusahakan suatu pemerintahan untuk Indonesia, yang bertanggung jawab
hanya kepada rakyat Indonesia semata-mata, bahwa hal yang demikian itu hanya
akan dicapai oleh orang Indonesia sendiri bukan dengan pertolongan siapa pun
juga; Bahwa segala jenis perpecahan tenaga haruslah dihindarkan supaya tujuan
jelas tercapai.” Dan pada tahun 1924, majalah Hindia Putra diubah namanya
menjadi Indonesia Merdeka.
Meningkatnya kegiatan ke arah politik terutama sejak kedatangan dua orang
mahasiswa Indonesia yang belajar ke Belanda, yaitu Ahmad Subardjo pada tahun
1919 dan Moh. Hatta pada tahun 1921. Pada tahun 1925 dibuatlah suatu anggaran
dasar baru yang merupakan penegasan dan perjuangan PI. Di dalamnya
disebutkan bahwa kemerdekaan penuh bagi bangsa Indonesia hanya akan
diperoleh dengan aksi bersama yang akan dilakukan secara serentak oleh seluruh
kaum nasionalis dan bersadarkan kekuatan sendiri. Untuk itu, sangatlah
diperlukan suatu bentuk kekompakan rakyat seluruhnya. Hatta juga
mengusahakan agar majalah perkumpulan , Hindia Putra secara teratur sebagai
dasar pengikat antar anggota.
Kegiatan PI kemudian meningkat menjadi nasional-demokratis, non-
koperasi, bahkan anti-koonial dan bersifat internasional. Dalam bidang
internasional inilah, kegiatan PI bertemu dengan pekumpulan-perkumpulan
pemuda yang berasal dari negeri-negeri jajahan di Asia dan Afrika yang memiliki
cita-cita yang sama persis dengan bangsa Indonesia. PI tampaknya juga berusaha
agar masalah Indonesia mendapatkan perhatian dari dunia internasional. Oleh
karena itu, dijalinlah hubungan dengan beberapa “Liga Penentang Imperialisme
dan Penindasan Kolonial”; “Liga Demokrasi Internasional untuk Perdamaian”;
“Perkumpulan Studi Peradaban”; “Komintern”; bahkan dengan “All Indian
National Congress.”
Kedatangan tokoh-tokoh pergerakan nasional yang menjalani hukuman
buang ke Belanda semakin meningkatkan semangat radikal dan progresif anggota-
anggota PI. Tokoh-tokoh yang menjalani hukuman buang tersebut misalnya
Douwes Dekker, Cipto Mangunkusumo, Suwardi Suryaningrat, Semaun, dan
Darsono.
Dalam Liga VI Liga Demokrasi Internasional untuk Perdamaian pada bulan
Agustus 1926 di Paris, Perancis, Moh. Hatta dengan tegas menyatakan tuntutan
kemerdekaan Indonesia. Kejadian itu menyebabkan pemerintah Belanda semakin
curiga terhadap PI. Kecurigaan ini bertambah kembali sewaktu Moh. Hatta atas
nama PI menandatangani suatu perjanjian (rahasia) dengan Semaun (PKI) pada
tanggal 5 Desember 1926. Isi perjanjian tersebut menyatakan bahwa PKI
mengakui kememimpinan PI dan akan dikembangkan menjadi partai rakyat
kebangsaan Indonesia, selama PI secara konsekuen tetap menjalankan politik
untuk Kemerdekaan Indonesia. Karena dinilai oleh Komintern sebagai suatu
kesalahan besar, perjanjian itu dibatalkan kembali oleh Semaun.
Kegiatan PI di kalangan internasional menimbulkan reaksi keras dari
pemerintah Belanda. Atas tuduhan menghasut untuk memberontak, pada tanggal
10 Juni 1927 empat anggta PI, yaitu Moh. Hatta, Nazir Datuk Pamontjak,
Abdulmajid Djojodiningrat, dan Ali Sastroamidjojo dotangkap dan ditahan hingga
tanggal 8 Maret 1928. Namun dalam pemeriksaannya di sidang pengadilan Deen
Haag, Belanda pada tanggal 22 Maret 1928, mereka sama sekali tidak terbukti
bersalah sehingga dibebaskan.
D. Tujuan Didirikannya Indische Vereeniging

Adapun tujuan yang ingin dicapai adalah :


1. Mengusahakan suatu pemerintahan untuk Indonesia yang bertanggung
jawab terhadap rakyat Indonesia.Kemerdekaan harus dicapai oleh
orang-orang Indonesia sendiri tanpa bantuan siapa pun
2. Persatuan nasional harus dipupuk, segala macam perpecahan harus
dihindarkan agar tujuan perjuangannya segera tercapai.

3. Menyadarkan para mahasiswa agar mempunyai komitmen yang bulat


tentang persatuan dan kemerdekaan Indonesia, sebagai elit intelektual
dan profesional harus bertanggungjawab untuk memimpin rakyat
melawan penjajah;
4. PI harus membuka mata rakyat Belanda bahwa pemerintah kolonial
sangat opresif dan meyakinkan rakyat Indonesia tentang kebenaran
perjuangan kaum nasionalis.
5. Mengembangkan ideologi yang bebas dan kuat diluar pembatasan-
pembatasan Islam dan komunis.
E. Dampak Indische Vereeniging Terhadap Organisasi Pergerakan
Nasional lainnya.
Peranan Artikel-Artikel Perhimpunan Indonesia 
Para Pelajar yang ada di Belanda, mempunyai majalah yang namanya
Hindia Putra. Namun pada tahun 1924 di ubah menjadi majalah Indonesia
Merdeka. Nama ini disesuaikan dengan tujaun Perhimpuan Indonesia yaitu
kemerdekaan Indonesia. Para Pelajar yang ada dibelanda meluruskan pemberitaan
yang dikeluarkan oleh belanda tentang hal yang dipropagandakan oleh pihak
Belanda dapat ditangkis dengan berita-berita yang termuat dalam majalah
Indonesia Merdeka. Tentunya tulisan artikel-artikel yang termuat dalam majalah
itu sangat membuat belanda semakin panas.
Untuk memperingati hari ulang tahun PI yang ke-15, mahasiswa PI
menyusun buku yang berjudul “Gedenkboek 1908-1923 Indonesische
Vereeniging”. Dalam buku tersebut memuat 13 artikel.yang isinya tentang
Indonesia dan Nasionalisme. Ini membuat Belanda merasa terpukul dan
khawatir.apabila Buku itu terbitnya di Hindia Belanda, maka pasti Belanda akan
melarangnya. Namun karena buku itu terbitnya di negara Belanda, maka Belanda
sulit untuk mencegahnya. Hal ini karena di Negara Belanda menganut hukum
internasional, yan segala sesuatu berdasarkan demokrasi dan liberalisme.
Sedangkan di negeri jajahan diberlakukan hukum kolonial.
3. Sumpah Pemuda 1928
        Pada tanggal 28 Oktober 1928 terjadilah penonjolan peristiwa sejarah
perjuangan bangsa Indonesia mencapai cita-citanya. Pemuda-pemuda Indonesia
yang di pelopori oleh Muh. Yamin, Kuncoro Purbopranoto dan lain-lain
mengumandangkan Sumpah Pemuda yang berisi pengakuan akan
adanya Bangsa, tanah air dan bahasa satu yaitu Indonesia.

Melalui sumpah pemuda ini makin tegaslah apa yang diinginkan oleh
Bangsa Indonesia, yaitu kemerdekaan tanah air dan bangsa itu diperlukan adanya
persatuan sebagai suatu bangsa yang merupakan syarat mutlak. Sebagai tali
pengikat persatuan itu adalah Bahasa Indonesia.
Realisasi perjuangan bangsa pada tahun 1930 berdirilah Partai
Indonesia yang disingkat dengan Partindo (1931) sebagai pengganti PNI yang
dibubarkan. Kemudian golongan Demokrat yang terdiri dari Moh. Hatta dan
Sutan Syahrir mendirikan PNI Baru, dengan semboyan kemerdekaan Indonesia
harus dicapai dengan kekuatan sendiri.
A. Hubungan Perhimpunan Indonesia dengan Sumpah Pemuda
Gerakan perhimpunan Indonesia di Indonesia dan negeri Belanda
berdasarkan “non cooperation” dan “self-help”, yang ada pada masa itu belum ada
di Indonesia. Pergerakan nasional yang ada di Indonesia, pertama kali adalah Budi
Utomo dari tahun 1908-1926, belum bergerak langsung dalam bidang politik.
Namun, ketika para mahasiswa Indonesia di negeri Belanda telah banyak
menyelesaikan pendidikannya, maka banyak pula anggota-anggota Budi Utomo
yang mendapat pengaruh politik dan ingin segera merubah cara perjuangannya.
Hal ini dapat dimengerti, karena Dr. Soetomo yang termasuk pendiri Budi Utomo,
pernah pula menjadi ketua P.I di negeri Belanda. Dengan demikian usaha untuk
mengubah cara perjuangan itu, telah ada kontak dengan P.I. di negeri Belanda.
Melalui majalah “Indonesia Merdeka” yang secara sembunyi-sembunyi
dikirimkan ke Indonesia, jelas mempunyai pengaruh yang cukup besar terhadap
pemikiran para tokoh pergerakan kemerdekaan Indonesia Pada tahun 1925, di
Indonesia sudah banyak pelajar-pelajar yang duduk di sekolah lanjutan atas,
bahkan di tingkat perguruan tinggi. Ini semua memudahkan cara untuk
menebarluaskan cita-cita P.I. yang mengarah kepada cita-cita kemerdekaan.
Pada tahun 1925, di Indonesia telah didirikan perhimpunan pelajar-pelajar
Indonesia (PPPI), tetapi peresmiannya baru tahun 1926. Anggota-anggotanya
terdiri dari para pelajar-pelajar, sekolah-sekolah tinggi yang ada di Jakarta dan di
Bandung. Para tokoh PPPI antara lain ialah: Sugondo Djojopuspito, Sigit, Abdul
Syukur, Sumito, Samijono, Wilopo, Moammad Yamin, A.K Gani, dan lain-lain.
PPPI juga dapat menampung berbagai pemuda yang telah mempunyai atau
menjadi anggota perkumpulan pemuda yang bersifat kedaerahan. Pada masa ini
cukup besar. Sebaliknya kehidupan persatuan Nasional semakin subur. Oleh
karena itu, akan memudahkan untuk mencapai kesepakatan dalam menggalang
persatuan Nasional. Inilah benih-benih terjadinya Ikrar pemuda (Sudiyo; 1989;
130).
Namun, setelah terjadi suatu peristiwa yang mengakibatkan banyak korban
jiwa maupun penangkapan secara besar-besaran dan ditahannya para tokoh
pergerakan nasional, maka kebutuhan terbentuknya persatuan sangat mendesak.
Peristiwa tersebut adalah pemberontakan PKI pada bulan November 1926 yang
gagal. Kemudian, juga peristiwa berdirinya perserikatan Nasional Indonesia
(PNI), pada tanggal 4 juli 1927, yang selanjutnya atas usaha Ir. Soekarno dan
beberapa orang pendirinya maka “Perserikatan” diganti menjadi “Partai”. Dengan
demikian menjadi “Partai Nasional Indonesia” (disingkat PNI juga). Partai ini
langsung bergerak dalam bidang politik dan berhaluan “non-cooperation” dan
‘self-help”,sebagaimana yang telah dilakukan oleh Perhimpunan Indonesia di
negeri Belanda. PNI dengan tegas bertujuan untuk mencapai Indonesia merdeka.
Dari peristiwa-peristiwa tersebut diatas, maka usaha untuk pembentukan
badan “Fusi” atau badan “Federasi” pemuda semakin dipercepat. Akhirnya secara
praktis persiapan kongres Pemuda II telah terbentuk, sejak bulan Juni 1928.
Semenjak terbentuknya pengurus Kongres itu, maka pengurus terus berusaha
keras untuk terlaksananya Kongres Pemuda II. Hampir lima bulan lamanya,
pengurus mempersiapkan kongres tersebut. Dari sejak acara pembukaan sampai
dengan persidangan, telah disiapkan oleh panitia pengurus kongres. Pada tanggal
28 Oktober 1928, maka kongres Pemuda II mengambil keputusan yang dibacakan
oleh ketua kongres(Sugono Djoko Puspito):
Kerapatan pemuda-pemuda Indonesia yang diadakan oleh perkumpulan-
perkumpulan pemuda yang berdasarkan kebangsaan dengan namanya: Jong Java,
Jong Sumatranen Bond, Pemuda Indonesia, Sekar Rukun, Jong Islamieten Bond,
Jong Celebes, Jong Ambon, Pemuda Kaum Betawi, dan PPPI membuka rapat
pada tanggal 27 dan 28 Oktober 1928 di Jakarta. Sesudahnya menimbang segala
isi pidato-pidato dan pembicaraan, maka kerapatan mengambil keputusan:
Pertama : Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku bertumpah darah yang
satu, tanah Indonesia
Kedua : Kami Putra dan Putri Indonesia mengaku berbangsa yang satu,
bangsa Indonesia
Ketiga : Kami Putra dan Putri Indonesia menjunjung tinggi bahasa
persatuan, bahasa Indonesia.
Setelah mendengar putusan ini, kerapatan mengeluarkan keyakinan asas ini
wajib dipakai oleh segala perkumpulan-perkumpulan kebangsaan indonesia,
mengeluarkan keyakinan persatuan indonesia diperkuat dengan memperhatikan
dasar persatuannya: Kemauan, sejarah, hukum adat, pendidikan dan kepaduan.
Keputusan tersebut, pada mulanya merupakan ”IKRAR PEMUDA”, tetapi lama
kelamaan terkenal dengan nama ”SUMPAH PEMUDA”.
Selain berpropaganda untuk tujuan-tujuannya itu Perhimpunan Indonesia
juga melakukan kontak dengan gerakan-gerakan nasional negeri lainnya. Pada
bulan Februari 1927, Perhimpunan Indonesia pun ikut ambil bagian dalam
konggres anti kolonial (Liga Anti Kolonialisme) yang diadakan dikota Brussel.
Delegasi Indonesia di waktu itu dipimpin oleh Moh. Hatta. Liga tersebut dalam
konggresnya itu berhasil menuntut agar pemerintah Belanda menghapus
interneringan yang ada di Indonesia dan melepaskan pemimpin-pemimpin
Indonesia yang ditawan.
Tuntutan ini telah membikin kalapnya pemerintah kolonial hingga akhirnya
empat orang pengurus Perhimpunan Indonesia yakni Moh. Hatta, Abdulmajid, Ali
Sastroamijoyo dan Natsir Dt. Pamoncak ditangkap.
Pada sidang pengadilan mereka tanggal 2 Maret 1928 pererintah Belanda
tak berhasil membuktikan kesalahan Hatta ini. Karena itu mereka lalu dilepaskan.
Yang penting dari kejadian ini ialah, bahwa pengaruh Perhimpunan Indonesia
menjadi tambah besar. Lebih-lebih dengan adanya pelarangan PKI, maka asas
yang dianut Perhimpunan Indonesia, yaitu asas Nasionalisme yang radikal telah
mampu menandingi asas PKI. Di antara Perhimpunan Indonesia yang kemudian
menjadi populer ialah:
1. Hanya Indonesia yang bersatulah dapat menyingkirkan pertikaian antar
golongan. Tujuan bersama, kemerdekaan Indonesia itu memerlukan
perhimpunan tenaga massa nasional yang sadar atas dasar kekuatan sendiri.
2. Turut sertanya semua lapisan rakyat mutlak perlu untuk mencapai tujuan
tersebut.
3. Kalau penjajah selalu ingin mengurangi jurang antara mereka dengan si
terjajah, maka si terjajah harus melawannya dengan merpertajam jurang
tersebut.
4. Segala macam usaha harus diusahakan untuk mengembalikan keadaan
jasmina rohani ke keadaan biasa. Akibat penjajahan maka kehidupan rohani
jasmani Indonesia sangat rusak.

Cita-cita ini dapat dikatakan bersifat radikal nasionalisme, dan dengan


radikal ialah politik yang berdasar kekuatan diri sendiri, self-help serta non
cooperasi. Tidak mengherankan kalau dalam waktu sekejap pengaruh
Perhimpunan Indonesia telah mampu mengalahkan ajaran PKI yang berhaluan
Marxisme.
B. Perjuangan Bangsa Indonesia Zaman Penjajahan Jepang
Pada tanggal 7 Desember 1941 meletuslah Perang Pasifik, dengan
dibomnya Pearl Harbour oleh Jepang. Dalam waktu yang singkat Jepang dapat
menduduki daerah-daerah jajahan Sekutu di daerah Pasifik. Kemudian pada
tanggal 8 Maret 1942 Jepang masuk ke Indonesia menghalau penjajah Belanda,
pada saat itu Jepang mengetahui keinginan bangsa Indonesia, yaitu Kemerdekaan
Bangsa dan tanah air Indonesia. Peristiwa penyerahan Indonesia dari Belanda
kepada Jepang terjadi di Kalijati Jawa Tengah tanggal 8 Maret 1942.
        Jepang mempropagandakan kehadirannya di Indonesia untuk membebaskan
Indonesia dari cengkraman Belanda. Oleh sebab itu Jepang memperbolehkan
pengibaran bendera merah putih serta menyanyikan lagu Indonesia raya. Akan
tetapi hal itu merupakan tipu muslihat agar rakyat Indonesia membantu Jepang
untuk menghancurkan Belanda.
        Kenyataan yang dihadapi oleh bangsa Indonesia bahwa sesungguhnya
Jepang tidak kurang kejamnya dengan penjajahan Belanda, bahkan pada zaman
ini bangsa Indonesia mengalami penderitaan dan penindasan yang sampai kepada
puncaknya. Kemerdekaan tanah air dan bangsa Indonesia yang didambakan tak
pernah menunjukkan tanda-tanda kedatangannya, bahkan terasa semakin
menjauh bersamaan dengan semakin mengganasnya bala tentara Jepang.
        Kekecewaan rakyat Indonesia akibat perlakuan Jepang itu menimbulkan
perlawanan-perlawanan terhadap Jepang baik secara illegal maupun secara
legal, seperti pemberontakan PETA di Blitar.
        Sejarah berjalan terus, di mana Perang Pasifik menunjukan tanda-tanda akan
berakhirnya dengan kekalahan Jepang di mana-mana. Untuk mendapatkan
bantuan dari rakyat Indonesia, Jepang berusaha membujuk hati bangsa Indonesia
dengan mengumumkan janji kemerdekaan kelak di kemudian hari apabila perang
telah selesai. Kemudian janji yang kedua kemerdekaan diumumkan lagi oleh
Jepang berupa “Kemerdekaan tanpa syarat” yang disampaikan seminggu sebelum
Jepang menyerahkan kepada bangsa Indonesia memperjuangkan
kemerdekaannya, bahkan menganjurkan agar berani mendirikan negara Indonesia
merdeka dihadapan musuh Jepang.
C. Pancasila Era Kemerdekaan
Pada tanggal 6 Agustus 1945 bom atom dijatuhkan di kota Hiroshima oleh
Amerika Serikat yang mulai menurunkan moral semangat tentara Jepang. Sehari
kemudian BPUPKI berganti nama menjadi PPKI menegaskan keinginan dan
tujuan mencapai kemerdekaan Indonesia. Bom atom kedua dijatuhkan di
Nagasaki yang membuat Jepang menyerah kepada Amerika dan sekutunya.
Peristiwa ini pun dimanfaatkan oleh Indonesia untuk memproklamasikan
kemerdekaannya.
Untuk merealisasikan tekad tersebut, maka pada tanggal 16 Agustus 1945
terjadi perundingan antara golongan muda dan golongan tua dalam penyusunan
teks proklamasi yang berlangsung singkat, mulai pukul 02.00-04.00 dini hari.
Teks proklamasi sendiri disusun oleh Ir. Soekarno, Drs. Moh. Hatta dan Mr.
Ahmad Soebardjo di ruang makanLaksamana Tadashi Maeda tepatnya di jalan
Imam Bonjol No 1. Konsepnya sendiri ditulis oleh Ir. Soekarno. Sukarni (dari
golongan muda) mengusulkan agar yang menandatangani teks proklamasi itu
adalah Ir. Soekarno dan Drs. Moh. Hatta atas nama bangsa Indonesia.
Kemudian teks proklamasi Indonesia tersebut diketik oleh Sayuti Melik. Isi
Proklamasi Kemerdekaan tanggal 17 Agustus 1945 sesuai dengan semangat yang
tertuang dalam Piagam Jakarta tanggal 22 Juni 1945. Piagam ini berisi garis-garis
pemberontakan melawan imperialisme-kapitalisme dan fasisme serta memuat
dasar pembentukan Negara Republik Indonesia. Piagam Jakarta yang lebih tua
dari Piagam Perjanjian San Francisco (26 Juni 1945) dan Kapitulasi Tokyo (15
Agustus 1945) itu ialah sumber berdaulat yang memancarkan Proklamasi
Kemerdekaan Republik Indonesia (Yamin, 1954: 16). Piagam Jakarta ini
kemudian disahkan oleh sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 menjadi
pembentukan UUD 1945, setelah terlebih dahulu dihapus 7 (tujuh) kata dari
kalimat “Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-
pemeluknya”, diubah menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.
Pada tahun 1950-an muncul inisiatif dari sejumlah tokoh yang hendak
melakukan interpretasi ulang terhadap Pancasila. Saat itu muncul perbedaan
perspektif yang dikelompokkan dalam dua kubu. Pertama, beberapa tokoh
berusaha menempatkan Pancasila lebih dari sekedar kompromi politik atau
kontrak sosial. Mereka memandang Pancasila tidak hanya kompromi politik
melainkan sebuah filsafat sosial atau weltanschauung bangsa. Kedua, mereka
yang menempatkan Pancasila sebagai sebuah kompromi politik. Dasar
argumentasinya adalah fakta yang muncul dalam sidang-sidang BPUPKI dan
PPKI. Pancasila pada saat itu benar-benar merupakan kompromi politik di antara
golongan nasionalis netral agama (Sidik Djojosukarto dan Sutan takdir
Alisyahbana dkk) dan nasionalis Islam (Hamka, Syaifuddin Zuhri sampai
Muhammad Natsir dkk) mengenai dasar negara.
Pada waktu itu, Indonesia masuk ke dalam era percobaan demokrasi multi-
partai dengan sistem kabinet parlementer. Partai-partai politik pada masa itu
tumbuh sangat subur, dan proses politik yang ada cenderung selalu berhasil dalam
mengusung kelima sila sebagai dasar negara (Somantri, 2006). Pancasila pada
masa ini mengalami masa kejayaannya. Selanjutnya, pada akhir tahun 1959,
Pancasila melewati masa kelamnya dimana Presiden Soekarno menerapkan sistem
demokrasi terpimpin. Pada masa itu, presiden dalam rangka tetap memegang
kendali politik terhadap berbagai kekuatan mencoba untuk memerankan politik
integrasi paternalistic (Somantri, 2006). Pada akhirnya, sistem ini seakan
mengkhianati nilai-nilai yang ada dalam Pancasila itu sendiri, salah satunya
adalah sila permusyawaratan. Kemudian, pada 1965 terjadi sebuah peristiwa
bersejarah di Indonesia dimana partai komunis berusaha melakukan
pemberontakan. Pada 11 Maret 1965, Presiden Soekarno memberikan wewenang
kepada Jenderal Soeharto atas Indonesia. Ini merupakan era awal orde baru
dimana kemudian Pancasila mengalami mistifikasi. Pancasila pada masa itu
menjadi kaku dan mutlak pemaknaannya.
Pancasila pada masa pemerintahan presiden Soeharto kemudian menjadi
core-values (Somantri, 2006), yang pada akhirnya kembali menjadai nilai-nilai
dasar yang sesungguhnya terkandung dalam Pancasila itu sendiri. Pada 1998,
pemerintahan presiden Soeharto berakhir dan Pancasila kemudian masuk ke
dalam era baru yaitu era demokrasi, hingga hari ini.
D. Era Orde Lama
Era orde lama ditandai dengan dikeluarkannya dekrit Presiden pada tanggal
5 Juli 1959. Pada masa itu berlaku demokrasi terpimpin. Setelah menetapkan
berlakunya kembali UUD 1945, Presiden Soekarno meletakkan dasar
kepemimpinannya. Yang dinamakan demokrasi terpimpin yaitu demokrasi khas
Indonesia yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan
perwakilan. Demokrasi terpimpin dalam prakteknya tidak sesuai dengan makna
yang terkandung didalamnya dan bahkan terkenal menyimpang. Dimana
demokrasi dipimpin oleh kepentingan-kepentingan tertentu.
Pada masa pemerintahan Orde Lama, kehidupan politik dan pemerintah
sering terjadi penyimpangan yang dilakukan Presiden dan juga MPRS yang
bertentangan dengan pancasila dan UUD 1945. Artinya pelaksanaan UUD 1945
pada masa itu belum dilaksanakan sebagaimana mestinya. Hal ini terjadi karena
penyelenggaraan pemerintahan terpusat pada kekuasaan seorang presiden dan
lemahnya control yang seharusnya dilakukan DPR terhadap kebijakan-kebijakan.
Selain itu, muncul pertentangan politik dan konflik lainnya yang
berkepanjangan sehingga situasi politik, keamanaan dan kehidupan ekonomi
makin memburuk puncak dari situasi tersebut adalah munculnya pemberontakan
G30S/PKI yang sangat membahayakan keselamatan bangsa dan Negara.
Mengingat keadaan makin membahayakan Ir. Soekarno selaku presiden RI
memberikan perintah kepada Letjen Soeharto melalui Surat Perintah 11 Maret
1969 (Supersemar) untuk mengambil segala tindakan yang diperlukan bagi
terjaminnya keamanaan, ketertiban dan ketenangan serta kesetabilan jalannya
pemerintah. Lahirnya Supersemar tersebut dianggap sebagai awal masa Orde
Baru.
Kajian Kesimpulan Pada Era Orde Lama
a. Kelebihan
1. Munculnya aksi-aksi positif dari masyarakat sebagai bentuk demokrasi.
b. Kekurangan
1. Munculnya komunisme dan liberalisme.
2. Meletusnya pemberontakkan G 30 S/PKI.
3. Sering jatuhnya kabinet.
4. Penyimpangan terhadap UUD dan Pancasila yang ironisnya dilakukan
oleh Presiden Indonesia sendiri.
c. Kesimpulan dan solusi
Pada masa orde lama ini banyak terjadi penyimpangan dalam badan UUD
dan Pancasila. Juga terjadi hal-hal yang tidak sesuai dengan harapan seperti
munculnya liberlaisme dan komunisme. Puncaknya yaitu saat G 30 S/PKI dan
pemeritah dinilai tidak mampu mengatasinya sehingga Presiden Soekarno
memberikan mandat kepada Jenderal Soeharto untuk mengambil tindakan.
E. Pancasila Era Orde Baru
Setelah jatuhnya Ir. Soekarno sebagai presiden, selanjutnya Jenderal
Soeharto yang memegang kendali terhadap negeri ini. Dengan berpindahnya kursi
kepresidenan tersebut, arah pemahaman terhadap Pancasila pun mulai diperbaiki.
Pada peringatan hari lahir Pancasila, 1 Juni 1967 Presiden Soeharto mengatakan,
“Pancasila makin banyak mengalami ujian zaman dan makin bulat tekad kita
mempertahankan Pancasila”. Selain itu, Presiden Soeharto juga mengatakan,
“Pancasila sama sekali bukan sekedar semboyan untuk dikumandangkan,
Pancasila bukan dasar falsafah negara yang sekedar dikeramatkan dalam naskah
UUD, melainkan Pancasila harus diamalkan (Setiardja, 1994: 5).
Pancasila dijadikan sebagai political force di samping sebagai kekuatan
ritual. Begitu kuatnya Pancasila digunakan sebagai dasar negara, maka pada 1
Juni 1968 Presiden Soeharto mengatakan bahwa Pancasila sebagai pegangan
hidup bangsa akan membuat bangsa Indonesia tidak loyo, bahkan jika ada pihak-
pihak tertentu mau mengganti, merubah Pancasila dan menyimpang dari Pancasila
pasti digagalkan (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 42). Selanjutnya
pada tahun 1968 Presiden Soeharto mengeluarkan Instruksi Presiden Nomor 12
tahun 1968 yang menjadi panduan dalam mengucapkan Pancasila sebagai dasar
negara, yaitu:
Satu : Ke-Tuhan-an Yang Maha Esa
Dua : Kemanusiaan yang adil dan beradab
Tiga : Persatuan Indonesia
Empat : Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam
permusyawaratan / perwakilan
Lima : Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Instruksi Presiden tersebut mulai berlaku pada tanggal 13 April 1968. Pada
tanggal 22 Maret 1978 dengan Ketetapan MPR Nomor II/MPR/1978 tentang
Pedoman Penghayatan dan Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya
Pancakarsa) Pasal 4 menjelaskan, “Pedoman Penghayatan dan Pengamalan
Pancasila merupakan penuntun dan pegangan hidup dalam kehidupan
bermasyarakat berbangsa dan bernegara bagi setiap warga negara Indonesia,
setiap penyelenggara Negara serta setiap lembaga kenegaraan dan lembaga
kemasyarakatan, baik Pusat maupun di Daerah dan dilaksanakan secara bulat dan
utuh”.
Nilai dan norma-norma yang terkandung dalam Pedoman Penghayatan dan
Pengamalan Pancasila (Ekaprasetya Pancakarsa) tersebut meliputi 36 butir, yaitu:
1. Sila Ketuhanan Yang Maha Esa
a. Percaya dan takwa kepada Tuhan Yang Maha Esa sesuai dengan
agama dan kepercayaan masingmasing menurut dasar kemanusiaan
yang adil dan beradab.
b. Hormat-menghormati dan bekerja sama antara pemeluk agama dan
penganut-penganut kepercayaan yang berbeda-beda, sehingga terbina
kerukunan hidup.
c. Saling menghormati kebebasan menjalankan ibadat sesuai dengan
agama dan kepercayaannya.
d. Tidak memaksakan suatu agama dan kepercayaan kepada orang lain.
2. Sila Kemanusiaan Yang Adil Dan Beradab
a. Mengakui persamaan derajat, persamaan hak dan persamaan
kewajiban antara sesama manusia.
b. Saling mencintai sesama manusia.
c. Mengembangkan sikap tenggang rasa dan teposeliro.
d. Tidak semena-mena terhadap orang lain.
e. Menjunjung tinggi nilai kemanusiaan.
f. Gemar melakukan kegiatan kemanusiaan.
g. Berani membela kebenaran dan keadilan.
h. Bangsa Indonesia merasa dirinya sebagai bagian dari seluruh umat
manusia, karena itu dikembangkan sikap hormat menghormati dan
bekerja sama dengan bangsa lain.
3. Sila Persatuan Indonesia
a. Menempatkan persatuan, kesatuan, kepentingan dan keselamatan
bangsa dan negara di atas kepentingan pribadi dan golongan.
b. Rela berkorban untuk kepentingan bangsa dan negara.
c. Cinta tanah air dan bangsa.
d. Bangga sebagai bangsa Indonesia dan bertanah air Indonesia.
e. Memajukan pergaulan demi persatuan dan kesatuan bangsa yang ber-
Bhinneka Tunggal Ika.
4. Sila Kerakyatan Yang Dipimpin Oleh Hikmat Kebijaksanaan
Dalam Permusyawaratan Perwakilan
a. Mengutamakan kepentingan negara dan masyarakat.
b. Tidak memaksakan kehendak kepada orang lain.
c. Mengutamakan musyawarah dalam mengambil keputusan untuk
kepentingan bersama.
d. Musyawarah untuk mencapai mufakat diliputi olehsemangat
kekeluargaan.
e. Dengan itikad baik dan rasa tanggung jawab menerima dan
melaksanakan hasil keputusan musyawarah.
f. Musyawarah dilakukan dengan akal sehat dan sesuai dengan hati
nurani yang luhur.
g. Keputusan yang diambil harus dipertanggungjawabkan secara moral
kepada Tuhan
h. Yang Maha Esa, menjunjung tinggi harkat dan martabat manusia serta
nilai-nilai kebenaran dan keadilan.
5. Sila Keadilan Bagi Seluruh Rakyat Indonesia
a. Mengembangkan perbuatan-perbuatan yang luhur yang
mencerminkan sikap dan suasana
b. Kekeluargaan dan kegotong-royongan.
c. Bersikap adil.
d. Menjaga keseimbangan antara hak dan kewajiban.
e. Menghormati hak-hak orang lain.
f. Suka memberi pertolongan kepada orang lain.
g. Menjauhi sikap pemerasan terhadap orang lain.
h. Tidak bersifat boros.
i. Tidak bergaya hidup mewah.
j. Tidak melakukan perbuatan yang merugikan kepentingan umum.
k. Suka bekerja keras.
l. Menghargai hasil karya orang lain.
m. Bersama-sama mewujudkan kemajuan yang merata dan berkeadilan
sosial.
Nilai-nilai Pancasila yang terdiri atas 36 butir tersebut, kemudian pada tahun
1994 disarikan/dijabarkan kembali oleh BP-7 Pusat menjadi 45 butir P4.
Perbedaan yang dapat digambarkan yaitu: Sila Kesatu, menjadi 7 (tujuh) butir;
Sila Kedua, menjadi 10 (sepuluh) butir; Sila Ketiga, menjadi 7 (tujuh) butir; Sila
Keempat, menjadi 10 (sepuluh) butir; dan Sila Kelima, menjadi 11 (sebelas) butir.
Sumber hukum dan tata urutan peraturan perundangundangan di negara Indonesia
diatur dalam Ketetapan MPRS No. XX/MPRS/1966. Ketetapan ini menegaskan,
“Amanat penderitaan rakyat hanya dapat diberikan dengan pengamalan Pancasila
secara paripurna dalam segala segi kehidupan kenegaraan dan kemasyarakatan
dan dengan pelaksanaan secara murni dan konsekuen jiwa serta ketentuan-
ketentuan UUD 1945, untuk menegakkan Republik Indonesia sebagai suatu
negara hukum yang konstitusionil sebagaimana yang dinyatakan dalam
pembukaan UUS 1945” (Ali, 2009: 37).
Ketika itu, sebagian golongan Islam menolak reinforcing oleh pemerintah
dengan menyatakan bahwa pemerintah akan mengagamakan Pancasila.
Kemarahan Pemerintah tidak dapat dibendung sehingga Presiden Soeharto bicara
keras pada Rapim ABRI di Pekanbaru 27 Maret 1980. Intinya Orba tidak akan
mengubah Pancasila dan UUD 1945, malahan diperkuat sebagai comparatist
ideology. Jelas sekali bagaimana pemerintah Orde Baru merasa perlu
membentengi Pancasila dan TAP itu meski dengan gaya militer. Tak seorang pun
warga negara berani keluar dari Pancasila (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.),
2010: 43). Selanjutnya pada bulan Agustus 1982 Pemerintahan Orde Baru
menjalankan “Azas Tunggal” yaitu pengakuan terhadap Pancasila sebagai Azas
Tunggal, bahwa setiap partai politik harus mengakui posisi Pancasila sebagai
pemersatu bangsa (Pranoto dalam Dodo dan Endah (ed.), 2010: 43-44).
Dengan semakin terbukanya informasi dunia, pada akhirnya pengaruh luar
masuk Indonesia pada akhir 1990-an yang secara tidak langsung mengancam
aplikasi Pancasila yang dilakukan oleh pemerintah Orde Baru. Demikian pula
demokrasi semakin santer mengkritik praktek pemerintah Orde Baru yang tidak
transparan dan otoriter, represif, korup, dan manipulasi politik yang sekaligus
mengkritik praktek Pancasila. Meski demikian kondisi ini bertahan sampai dengan
lengsernya Presiden Soeharto pada 21 Mei 1998 (Pranoto dalam Dodo dan Endah
(ed), 2010: 45).
Asas Tunggal Pancasila
Dalam pidato kenegaraan di depan DPR-RI tanggal 16 Agustus 1982,
Presiden Soeharto mengemukakan gagasannya mengenai penerapan asas tunggal
Pancasila atas partai-partai politik. Sesungguhnya gagasan ini bukan gagasan baru
karena tahun 1966-1967 sudah terdengar gagasan  untuk mengasastunggalkan
partai-partai politik. Namun, tampaknya keadaan belum memungkinkan. Tujuan
menyeragamkan asas partai-partai politik adalah untuk mengurangi seminimal
mungkin potensi konflik idiologis yang terkandung dalam partai-partai politik.
Berbeda dengan gagasan Bung Karno dalam pidatonya tanggal 1 Juni 1945,
bahwa Soekarno mengharapkan agar Pancasila dijadikan dasar filosofis negara
Indonesia, tiap golongan hendaknya menerima anjuran filosofis ini dengan catatan
bahwa tiap golongan berhak memperjuangkan aspirasinya masing-masing dalam
mengisi kemerdekaan (Tim. LIP FISIP-UI. 1998. 39-40).
Akhirnya keinginan Presiden Soeharto itu terpenuhi dengan merubah UU
No.3/1975 dengan UU No.3/1985. Dalam penjelasan undang-undang itu
disebutkan bahwa pengertian asas meliputi juga pengertian “dasar”, “landasan”.
“pedoman pokok”, yang harus dicantumkan dalam anggaran dasar partai politik.
Perbedaan partai hanya dalam bentuk program saja. Asas tunggal Pancasila
menurut Deliar Noer berarti mengingkari kebhinnekaan masyarakat yang memang
berkembang menurut keyakinan masing-masing. Keyakinan ini biasanya
berumber dari agama atau dari fahaman lain.
F. Pancasila Era Reformasi
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks
sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap
warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki
persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Pancasila sebagai paradigma ketatanegaraan artinya pancasila menjadi
kerangka berpikir atau pola berpikir bangsa Indonesia, khususnya sebagai dasar
negara ia sebagai landasan kehidupan berbangsa dan bernegara. Sebagai negara
hukum, setiap perbuatan baik dari warga masyarakat maupun dari pejabat-pejabat
harus berdasarkan hukum, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dalam
kaitannya dalam pengembangan hukum, Pancasila harus menjadi landasannya.
Artinya hukum yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila Pancasila. Substansi produk hukumnya tidak bertentangan dengan
sila-sila pancasila.
Memahami peran Pancasila di era reformasi, khususnya dalam konteks
sebagai dasar negara dan ideologi nasional, merupakan tuntutan hakiki agar setiap
warga negara Indonesia memiliki pemahaman yang sama dan akhirnya memiliki
persepsi dan sikap yang sama terhadap kedudukan, peranan dan fungsi Pancasila
dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Semenjak ditetapkan
sebagai dasar negara (oleh PPKI 18 Agustus 1945), Pancasila telah mengalami
perkembangan sesuai dengan pasang naiknya sejarah bangsa Indonesia (Koento
Wibisono, 2001) memberikan tahapan perkembangan Pancasila sebagai dasar
negara dalam tiga tahap yaitu:
1. Tahap 1945 – 1968 Sebagai Tahap Politis
Orientasi pengembangan Pancasila diarahkan kepada Nation and Character
Building. Hal ini sebagai perwujudan keinginan bangsa Indonesia untuk survival
dari berbagai tantangan yang muncul baik dalam maupun luar negeri, sehingga
atmosfir politik sebagai panglima sangat dominan. Pancasila sebagai Dasar
Negara misalnya menurut Notonagoro dan Driarkara. Kedua ilmuwan tersebut
menyatakan bahwa Pancasila mampu dijadikan pangkal sudut pandang dalam
mengembangkan ilmu pengetahuan dan bahkan Pancasila merupakan suatu paham
atau aliran filsafat Indonesia, dan ditegaskan bahwa Pancasila merupakan
rumusan ilmiah filsafati tentang manusia dan realitas, sehingga Pancasila tidak
lagi dijadikan alternatif melainkan menjadi suatu imperatif dan suatu
philosophical concensus dengan komitmen transenden sebagai tali pengikat
kesatuan dan persatuan dalam menyongsong kehidupan masa depan bangsa yang
Bhinneka Tunggal Ika.
Bahkan Notonagoro menyatakan bahwa Pembukaan UUD 1945 merupakan
staat fundamental Norm yang tidak dapat diubah secara hukum oleh siapapun.
Sebagai akibat dari keberhasilan mengatasi berbagai tantangan baik dari dalam
maupun dari luar negeri, masa ini ditandai oleh kebijakan nasional yaitu
menempatkan Pancasila sebagai asas tunggal.
2. Tahap 1969 – 1994 Sebagai Tahap Pembangunan Ekonomi
Upaya mengisi kemerdekaan melalui program-program ekonomi. Orientasi
pengembangan Pancasila diarahkan pada bidang ekonomi, akibatnya cenderung
menjadikan ekonomi sebagai ideologi. Pada tahap ini pembangunan ekonomi
menunjukkan keberhasilan secara spektakuler, walaupun bersamaan dengan itu
muncul gejala ketidakmerataan dalam pembagian hasil pembangunan.
Kesenjangan sosial merupakan fenomena yang dilematis dengan program
penataran P4 yang selama itu dilaksanakan oleh pemerintah. keadaan ini semakin
memprihatinkan setelah terjadinya gejala KKN dan Kronisme yang bertentangan
dengan nilai-nilai Pancasila. Bersamaan dengan itu perkembangan perpolitikan
dunia, setelah hancurnya negara-negara komunis, lahirnya tiga raksasa
kapitalisme dunia yaitu Amerika Serikat, Eropa dan Jepang. Oleh karena itu,
Pancasila sebagai dasar negara tidak hanya dihantui oleh komunisme melainkan
juga harus berhadapan dengan gelombang aneksasinya kapitalisme, disamping
menhadapi tantangan baru yaitu KKN dan terorisme.
3. Tahap 1995 – 2020 Sebagai Tahap Repositioning Pancasila
Dunia masa kini sedang dihadapi kepada gelombang perubahan secara
cepat, mendasar, spektakuler, sebagai implikasi arus globalisasi yang melanda
seluruh penjuru dunia, khususnya di abad XXI sekarang ini, bersamaan arus
reformasi yang sedang dilakukan oleh bangsa Indonesia. Reformasi telah
merombak semua segi kehidupan secara mendasar, maka semakin terasa
orgensinya untuk menjadi Pancasila sebagai dasar negara dalam kerangka
mempertahankan jatidiri bangsa dan persatuan dan kesatuan nasional, lebih-lebih
kehidupan perpolitikan nasional yang tidak menentu di era reformasi ini.
Berdasarkan hal tersebut diatas perlunya reposisi Pancasila yaitu reposisi
Pancasila sebagai dasar negara yang mengandung makna Pancasila harus
diletakkan dalam keutuhannya dengan Pembukaan UUD 1945, dieksplorasikan
pada dimensi-dimensi yang melekat padanya.
Di era reformasi ini, Pancasila seakan tidak memiliki kekuatan
mempengaruhi dan menuntun masyarakat. Pancasila tidak lagi populer seperti
pada masa lalu. Elit politik dan masyarakat terkesan masa bodoh dalam
melakukan implementasi nilai-nilai pancasila dalam kehidupan berbangsa dan
bernegara. Pancasila memang sedang kehilangan legitimasi, rujukan dan elan
vitalnya. Sebab utamannya karena rejim Orde Lama dan Orde Baru menempatkan
Pancasila sebagai alat kekuasaan yang otoriter.
Terlepas dari kelemahan masa lalu, sebagai konsensus dasar dari berdirinya
bangsa ini, yang diperlukan dalam konteks era reformasi adalah pendekatan-
pendekatan yang lebih konseptual, komprehensif, konsisten, integratif, sederhana
dan relevan dengan perubahan-perubahan yang terjadi dalam kehidupan
masyarakat, bangsa dan negara.

Anda mungkin juga menyukai