Anda di halaman 1dari 6

PERIODE AWAL MASYARAKAT MUSLIM INDONESIA

Perkembangan Islam Berbasis Kerajaan/Kesultanan di Nusantara

Disusun untuk memenuhi tugas mata kuliah Masyarakat Muslim Indonesia

Dosen Pengampu:

Prof. Dr. Oman Fathurrahman, M.Hum

Dr. Abd Wahid Hasyim, MA

Disusun Oleh:

Alma Sahara Hasan (11200210000033)

PROGRAM STUDI BAHASA DAN SASTRA ARAB

FAKULTAS ADAB DAN HUMANIORA

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI JAKARTA

2022
Pembahasan

A. Proses Islamisasi di Nusantara


Islam masuk dan menyebar ke wilayah-wilayah di Indonesia dengan beberapa cara,
yaitu:
1. Perdagangan
Kepulauan Nusantara kaya akan berbagai hasil buminya yang memiliki daya tarik
tersendiri bagi para pedagang dari berbagai bangsa. Pada mulanya, komunitas Islam di
Nusantara merupakan komunitas kecil yang kurang dianggap keberadaannya. Namun
komunitas tersebut semakin berkembang karena datang dan adanya interaksi antar para
pedagang muslim dari berbagai negara seperti Arab, Persia, Melayu, India, dan Cina yang
akhirnya membentuk masyarakat muslim.1
2. Perkawinan
Seiring berkembangnya perdagangan di Nusantara, para pedagang muslim yang datang
dari berbagai negara memutuskan untuk menetap di wilayah Nusantara yang kemudian
menikah dengan masyarakat setempat dan terbentuk suatu keluarga muslim.
3. Dakwah
Proses islamisasi ini dilakukan oleh para mubalig, yaitu penyiar ajaran agama Islam
yang juga berprofesi sebagai pedagang.2
4. Kesenian atau Kultural
Para mubalig memanfaatkan kesenian sebagai sarana penyebaran ajaran agama Islam.
Misalnya, di Jawa menggunakan wayang kulit.3

B. Kerajaan-Kerajaan Islam di Nusantara


Kerajaan-kerajaan Islam di Nusantara merupakan hasil dari proses-proses islamisasi
yang kemudian melahirkan komunitas-komunitas muslim di berbagai daerah. Berikut
adalah kerajaan-kerajaan Islam yang ada di Nusantara:

1
Achmad Syafrizal, “Sejarah Islam Nusantara,” Islamuna (Jurnal Studi Islam) 2, no. 2 (2015): 235–52,
https://doi.org/10.19105/islamuna.v2i2.664.
2
Syafrizal. hal. 241
3
Budi Sulistiono, “Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Nusantara,” Lektur Keagamaan, 2005, 1–8.
1. Kerajaan Samudera Pasai
Kerajaan Samudera Pasai merupakan kerajaan Islam pertama di Indonesia yang terletak
di pantai utara Aceh, tepatnya di kota Samudera dan kota Pasai.4 Tanggal kelahiran dari
kerajaan ini belum diketahui pasti dan masih menjadi perdebatan para sejarawan.5 Kerajaan
Samudera Pasai ini terletak di daerah strategis dengan pusat pelayaran dan perdagangan
internasional yang menjadikan kerajaan ini berkembang dengan pesat. Raja pertama dari
kerajaan ini adalah Sultan Malik al-Saleh yang sekaligus pendiri dari kerajaan ini. Sultan
Malik al-Saleh wafat pada tahun 1297 yang kemudian digantikan oleh putranya, yaitu
Sultan Malik al-Thahir.
2. Kesultanan Aceh
Pada sekitar tahun 1511, kerajaan-kerajaan kecil yang berada di Aceh dan pesisir timur
Sumatera berada di bawah pengaruh kolonial Portugis. Adapun wilayah kerajaan Aceh kala
itu pada awalnya hanya mencakup Banda Aceh dan Aceh Besar saja. Namun kerajaan ini
berhasil memperluas wilayahnya dengan cara menaklukkan kerajaan-kerajaan kecil yang
berada di bawah pengaruh kolonial Portugis seperti kerajaan Peurelak, Pedir, Aru, dan
Daya.6 Sultan pertama sekaligus pendiri kerajaan ini adalah Sultan Ali Mughayat Syah.
Namun kerajaan ini mengalami perkembangan yang pesat dan mencapai masa gemilangnya
pada pemerintahan Sultan Iskandar Muda. Pada masa ini, wilayah kekuasaan kerajaan Aceh
meluas dan penyebaran Islam terjadi di hampir seluruh wilayah Sumatera.
3. Kesultanan Ternate
Ibu kota dari Kerajaan Ternate terletak di Sampalu, Ternate. Raja pertama dari kerajaan
ini adalah Masyhur Mulamo yang memerintah pada tahun 1257-1276. Setelah
kepemimpinan Masyhur Mulamo, kedudukan raja diteruskan oleh Kaicil Yamin, Kaicil
Siale, Kamalu, Kaicil Ngara Lamu, Patsyaranya Malamo, Sida Arif Molamo, Bayanullah,
dan Marhum. Marhum merupakan raja pertama yang masuk Islam setelah menerima
dakwah dari Datuk Maulana Husein−pedagang asal Minangkabau yang merupakan murid
Sunan Giri− yang datang ke Ternate pada tahun 1465.7
4. Kesultanan Palembang

4
Im Sodiawati dan Ahmad Abdul Ghofur, Kejayaan Islam di Nusantara (Jakarta: Kementrian Pendidikan dan
Kebudayaan, 2017). Hal. 4
5
Arki Auliahadi dan Doni Nofra, “Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Sumatera dan
Jawa,” Majalah Ilmiah Tabuah: Ta’limat, Budaya, Agama dan Humaniora 23, no. 1 (2019),
https://doi.org/10.15548/tabuah.v23i1.210.
6
Auliahadi dan Nofra.hal. 37
7
Rusdiyanto Rusdiyanto, “Kesultanan ternate dan Tidore,” Aqlam; Journal of Islam and Plurality 3, no. 1
(2018): 44–53, http://dx.doi.org/10.30984/ajip.v3i1.631. hal.47-48
Sebelum adanya Kerajaan Palembang, di tanah Palembang terdapat Kerajaan
Sriwijaya. Pada suatu hari, orang-orang dari Jawa yang mengaku sebagai wakil dari
Majapahit datang ke tanah Palembang yang kemudian menaklukkan Kerajaan Sriwijaya.
Penaklukan itu dipimpin oleh Aria Damar dan Raden Fatah. Setelah itu, Raden Fatah
memisahkan diri dari Majapahit dan memeluk agama Islam dan mendirikan Kerajaan
Demak yang merupakan kerajaan terbesar di Pulau Jawa. Setelah Raden Fatah meninggal
dunia, Kerajaan Demak mengalami kemunduran dan diperparah dengan serangan dari
Pajang. Akibat peristiwa tersebut, 24 keturunan dari Pangeran Trenggono−anak dari Raden
Fatah−pindah dari Demak ke Palembang dan dipimpin oleh Ki Gede Sedo Ing Lautan.8
Kerajaan Palembang sendiri berdiri sekitar tahun 1587 dengan raja bernama Ki Gede
Ing Suro. Ki Gede Ing Suro merupakan salah satu dari keturunan Pangeran Trenggono yang
datang ke Palembang dan menjadi raja pertama dari Kerajaan Palembang yang bercorak
Islam.9
5. Kesultanan Bima
Bima merupakan salah satu pusat kekuasaan Islam terpenting di Pulau Sumbawa
bahkan di daerah Nusa Tenggara.10 Raja dari kesultanan ini adalah Sultan Bima I atau
Sultan Abdul Kahir yang menjadi raja Muslim pertama dan memimpin Kesultanan Bima
dari tahun 1620 sampai tahun 1940.11
6. Kesultanan Cirebon
Kesultanan Cirebon didirikan dan dipimpin oleh Syarif Hidayatullah atau Sunan
Gunung Jati. Ia menyebarkan ajaran agama Islam di wilayah Majalengka, Kuningan,
Kawali Galuh, Sunda Kelapa, dan Banten. Sepeninggalnya Syarif Hidayatullah pada tahun
1568, Kesultanan Cirebon dipimpin oleh Fatahillah atau Fadillah Khan.12
7. Kesultanan Yogyakarta
Pada tanggal 13 Februari 1755, berdasarkan perjanjian Giyanti, Kesultanan Mataram
Islam terpecah menjadi dua, yaitu Surakarta dan Yogyakarta. Perpecahan itu menyebabkan

8
Aulia Novemy Dhita dan Salsabila Nofradotu, “Jalan Menuju Kelahiran Kesultanan Palembang,” Journal of
Science & Humanities “Estoria” Universtas Indraprasta PGRI 2 (2021): hal.154,
https://doi.org/10.30998/je.v2i1.598.
9
Yudi Pratama, “Jejak Kesultanan Palembang Darussalam di Ogan Hilir,” Raudhah Proud To Be Professionals:
Jurnal Tarbiyah Islamiyah 5, no. 1 (2020): hal.78–79, https://doi.org/10.48094/raudhah.v5i1.61.
10
Tawalinuddin Haris, “Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa,” Wacana 8, no. 1 (2006): 17–31,
https://doi.org/10.17510/wjhi.v8i1.244.
11
Muhammad Aqil, “Kesultanan Bima pada Masa Pemerintahan Sultan Abdul Hamid 1767-1811” (S1 thesis,
Universitas Negeri Makassar, 2018).
12
Auliahadi dan Nofra, “Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam di Sumatera dan Jawa,” hal. 41–
42.
terjadinya pembagian wilayah kekuasaan, rakyat, dan tanda-tanda kebesaran kerajaan
berupa benda-benda suci berkekuatan magis.
Sehubungan dengan terpecahnya Kesultanan Mataram Islam, tanggal 13 Februari 1755
juga menjadi tanggal didirikannya Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat dan dipimpin oleh
Pangeran Mangkubumi atau Sri Sultan Hamengkubuwono I. Pada masa kepemimpinannya,
Keraton Nyayogyakata Hadiningrat ini mengalami perkembangan di bidang seni dan
budaya.13
8. Pujangga Muslim Keraton
Karya sastra berperan penting dalam sejarah peradaban manusia. Melalui karya sastra,
seorang pujangga dapat berekspresi seperti memberikan kritik kepada raja, memberikan
gambaran perkembangan politik, sosial, ekonomi, maupun intelektual pada jamannya.
Pujangga sendiri adalah pengarang hasil-hasil sastra, ahli sastra, dan pegawai istana.
Pujangga juga ikut berperan dalam menyebarkan keyakinan dan agama yang diyakininya.14
Para pujangga akan bersemedi terlebih dahulu sebelum menyusun suatu karya.
Bersemedi bertujuan untuk mendapatkan ilham. Informasi yang diperoleh dari semedi lebih
dapat dipercaya dari pada informasi yang didapat dari tradisi lisan dan tulis. Pada masa
kejayaan kesusastraan Islam terdapat tiga pujangga ternama yang menjadi pegawai istana,
yaitu Yusadipura I, Yusadipura II, dan Ronggowarsito.15

13
Samsul Ariyadi, “Resepsi Al-Qur’an dan Bentuk Spiritualitas Jawa Modern (Kajian Praktik Mujahadah dan
Semaan al-Qur’an Mantab Purbojati Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat)” (Jakarta, Universitas Islam Negeri
Syarif Hidayatullah, 2018), hal.89–90.
14
Sururin Sururin dan Mohammad Muslim, “Islam dan Kesusastraan Jawa, Telaah Kepustakaan Jawa pada
Masa Mataram,” Jurnal Bimas Islam 11, no. 1 (2018): 135-164.
15
Sururin dan Muslim.
DAFTAR PUSTAKA

Aqil, Muhammad. “Kesultanan Bima pada Masa Pemerintahan Sultan Abdul Hamid 1767-
1811.” S1 thesis, Universitas Negeri Makassar, 2018.
Ariyadi, Samsul. “Resepsi Al-Qur’an dan Bentuk Spiritualitas Jawa Modern (Kajian Praktik
Mujahadah dan Semaan al-Qur’an Mantab Purbojati Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat).” Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, 2018.
Auliahadi, Arki, dan Doni Nofra. “Tumbuh dan Berkembangnya Kerajaan-Kerajaan Islam di
Sumatera dan Jawa.” Majalah Ilmiah Tabuah: Ta’limat, Budaya, Agama dan
Humaniora 23, no. 1 (2019). https://doi.org/10.15548/tabuah.v23i1.210.
Dhita, Aulia Novemy, dan Salsabila Nofradotu. “Jalan Menuju Kelahiran Kesultanan
Palembang.” Journal of Science & Humanities “Estoria” Universtas Indraprasta PGRI
2 (2021): 149–61. https://doi.org/10.30998/je.v2i1.598.
Haris, Tawalinuddin. “Kesultanan Bima di Pulau Sumbawa.” Wacana 8, no. 1 (2006): 17–31.
https://doi.org/10.17510/wjhi.v8i1.244.
Pratama, Yudi. “Jejak Kesultanan Palembang Darussalam di Ogan Hilir.” Raudhah Proud To
Be Professionals: Jurnal Tarbiyah Islamiyah 5, no. 1 (2020).
https://doi.org/10.48094/raudhah.v5i1.61.
Rusdiyanto, Rusdiyanto. “Kesultanan ternate dan Tidore.” Aqlam; Journal of Islam and
Plurality 3, no. 1 (2018): 44–53. http://dx.doi.org/10.30984/ajip.v3i1.631.
Sodiawati, Im, dan Ahmad Abdul Ghofur. Kejayaan Islam di Nusantara. Jakarta: Kementrian
Pendidikan dan Kebudayaan, 2017.
Sulistiono, Budi. “Sejarah Masuk Dan Berkembangnya Islam Di Nusantara.” Lektur
Keagamaan, 2005, 1–8.
Sururin, Sururin, dan Mohammad Muslim. “Islam dan Kesusastraan Jawa, Telaah Kepustakaan
Jawa pada Masa Mataram.” Jurnal Bimas Islam 11, no. 1 (2018): 135–64.
Syafrizal, Achmad. “Sejarah Islam Nusantara.” Islamuna (Jurnal Studi Islam) 2, no. 2 (2015):
235–52. https://doi.org/10.19105/islamuna.v2i2.664.

Anda mungkin juga menyukai