Anda di halaman 1dari 27

Nama Kelompok:

Eke Rena Setia Poppy (06)


Firman Dandi Setiawan (11)
Nathasa Sasmitha
Muhammad Abduh (21)
Silvi Qotrun Nada (31)
Kesultanan Tidore merupakan salah satu kerajaan Islam
yang berada di kepulauan Maluku. Kesultanan ini berpusat di
wilayah Kota Tidore Maluku Utara. Masa kejayaan kesultanan
Tidore terjadi sekitar abad ke-16 sampai abad ke-18. Pada masa
kejayaannya kerajaan ini menguasai sebagian besar Halmahera
selatan, Pulau Buru, Ambon, dan banyak pulau-pulau di pesisir
Papua barat.

Pada tahun 1521, Sultan Mansur dari Tidore menerima


Spanyol sebagai sekutu untuk mengimbangi kekuatan
Kesultanan Ternate saingannya yang bersekutu dengan
Portugis. Setelah mundurnya Spanyol dari wilayah tersebut
pada tahun 1663 karena protes dari pihak Portugis sebagai
pelanggaran terhadap Perjanjian Tordesillas 1494, Tidore
menjadi salah kerajaan paling independen di wilayah Maluku.
Terutama di bawah kepemimpinan Sultan Saifuddin
(memerintah 1657-1689), Tidore berhasil menolak pengusaan
VOC terhadap wilayahnya dan tetap menjadi daerah merdeka
hingga akhir abad ke-18.
Sultan Saifuddin (1657-1689)

Sebagai kerajaan yang bercorak Islam, masyarakat Tidore dalam kehidupan


sehari-harinya banyak menggunakan hukum Islam . Hal itu dapat dilihat pada
saat Sultan Nuku dari Tidore dengan De Mesquita dari Portugis melakukan
perdamaian dengan mengangkat sumpah dibawah kitab suci Al-Qur’an.
Info sumber mengenai pusat kerajaan tidore belum dapat dipastikan sejak awal
berdirinya hingga raja yang ke-4. Barulah pada era Jou Kolano Balibunga, informasi
mengenai pusat kerajaan Tidore sedikit terkuak, itupun masih dalam perdebatan.
Tempat tersebut adalah Balibunga, namun para pemerhati sejarah berbeda pendapat
dalam menentukan di mana sebenarnya Balibunga ini. Ada yang mengatakannya di
Utara Tidore, dan adapula yang mengatakannya di daerah pedalaman Tidore selatan.
Pada tahun 1495 M syariat islam mulai digunakan dalam system pemerintahan
kerajaan. Gelar raja berubah menjadi Sultan. Sultan Ciriliyati naik tahta dan menjadi
penguasa Tidore pertama yang memakai gelar Sultan. Saat itu, pusat kerajaan berada
di Gam Tina. Ketika Sultan Mansyur naik tahta tahun 1512 M, ia memindahkan pusat
kerajaan dengan mendirikan perkampungan baru di Rum Tidore Utara. Posisi
ibukota baru ini berdekatan dengan Ternate, dan diapit oleh Tanjung Mafugogo dan
pulau Maitara. Dengan keadaan laut yang indah dan tenang, lokasi ibukota baru ini
cepat berkembang dan menjadi pelabuhan yang ramai.
Dalam sejarahnya, terjadi beberapa kali perpindahan ibukota karena sebab yang
beraneka ragam. Pada tahun 1600 M, ibukota dipindahkan oleh Sultan Mole
Majimo(Ala ud-din Syah) ke Toloa di selatan Tidore. Perpindahan ini disebabkan
meruncingnya hubungan dengan Ternate, sementara posisi ibukota sangat dekat,
sehingga sangat rawan mendapat serangan. Pendapat lain menambahkan bahwa,
perpindahan didorong oleh keinginan untuk berdakwah membina komunitas Kolano
Toma Banga yang masih animis agar memeluk Islam. Perpindahan ibukota yang
terakhir adalah ke Limau Timore di masa Sultan Saif ud -din ( Jou Kota). Limau
Timore ini kemudian berganti nama menjadi Soa -Sio hingga saat ini.
 Masa kejayaan Kesultanan Tidore ketika pada masa
pemerintahan Sultan Nuku (1780-1805 M). Sultan Nuku dapat
menyatukan Ternate dan Tidore untuk bersama-sama melawan
Belanda yang dibantu Inggris. Belanda kalah serta terusir dari
Tidore dan Ternate. Sementara itu, Inggris tidak mendapat apa-
apa kecuali hubungan dagang biasa. Sultan Nuku memang
cerdik, berani, ulet, dan waspada. Sejak saat itu, Tidore dan
Ternate tidak diganggu, baik oleh Portugis, Spanyol, Belanda
maupun Inggris sehingga kemakmuran rakyatnya terus
meningkat. Wilayah kekuasaan Tidore cukup luas, meliputi
Pulau Seram, Makean Halmahera, Pulau Raja Ampat, Kai, dan
Papua. Pengganti Sultan Nuku adalah adiknya, Zainal Abidin. Ia
juga giat menentang Belanda yang berniat menjajah kembali.
Kerajaan Tidore terkenal dengan rempah-rempahnya, seperti di
daerah Maluku. Sebagai penghasil rempah-rempah, kerajaan
Tidore banyak didatangi oleh Bangsa-bangsa Eropa. Bangsa
Eropa yang datang ke Maluku, antara lain Portugis, Spanyol, dan
Belanda.
Pada masa kejayaannya, wilayah kerajaan Tidore mencakup
kawasan yang cukup luas hingga mencapai Kepulauan
Pasifik. Wilayah sekitar pulau Tidore yang menjadi bagian
wilayahnya adalah Papua, gugusan pulau-pulau Raja
Ampat dan pulau Seram. Di Kepulauan Pasifik, kekuasaan
Tidore mencakup Mikronesia, Kepulauan Marianas,
Marshal, Ngulu, Kepulauan Kapita Gamrange, Melanesia,
Kepulauan Solomon dan beberapa pulau yang masih
menggunakan identitas Nuku, seperti Nuku Haifa, Nuku
Oro, Nuku Maboro dan Nuku Nau. Wilayah lainnya yang
termasuk dalam kekuasaan Tidore adalah Haiti dan
Kepulauan Nuku Lae-lae, Nuku Fetau, Nuku Wange dan
Nuku Nono.
 Sistem pemerintahan di Tidore cukup mapan dan berjalan dengan baik. Struktur tertinggi
kekuasaan berada di tangan sultan. Menariknya, Tidore tidak mengenal sistem putra mahkota
sebagaimana kerajaan-kerajaan lainnya di kawasan Nusantara. Seleksi sultan dilakukan melalui
mekanisme seleksi calon-calon yang diajukan dari Dano-dano Folaraha (wakil-wakil marga dari
Folaraha), yang terdiri dari Fola Yade, Fola Ake Sahu, Fola Rum dan Fola Bagus. Dari nama-nama
ini, kemudian dipilih satu di antaranya untuk menjadi sultan.
Ketika Tidore mencapai masa kejayaan di era Sultan Nuku, sistem pemerintahan di Tidore telah
berjalan dengan baik. Saat itu, sultan (kolano) dibantu oleh suatu Dewan Wazir, dalam bahasa
Tidore disebut Syara, adat se nakudi. Dewan ini dipimpin oleh sultan dan pelaksana tugasnya
diserahkan kepada Joujau (perdana menteri). Anggota Dewan wazir terdiri dari Bobato pehak raha
(empat pihak bobato; semcam departemen) dan wakil dari wilayah kekuasan. Bobato ini bertugas
untuk mengatur dan melaksanakan keputusan Dewan Wazir. Empat bobato tersebut adalah:
1. Pehak labe, semacam departemen agama yang membidangi masalah syariah. Anggota pehak labe
terdiri dari para kadhi, imam, khatib dan modim
2. Pehak adat bidang pemerintahan dan kemasyarakatan yang terdiri dari Jojau, Kapita Lau
(panglima perang), Hukum Yade (menteri urusan luar), Hukum Soasio (menteri urusan dalam) dan
Bobato Ngofa (menteri urusan kabinet).
3. Pehak Kompania (bidang pertahanan keamanan) yang terdiri dari Kapita Kie, Jou Mayor dan
Kapita Ngofa.
4. Pehak juru tulis yang dipimpin oleh seorang berpangkat Tullamo (sekretaris kerajaan). Di
bawahnya ada Sadaha (kepala rumah tangga), Sowohi Kie (protokoler kerajaan bidang kerohanian),
Sowohi Cina (protokoler khusus urusan orang Cina), Fomanyira Ngare (public relation kesultanan)
dan Syahbandar (urusan administrasi pelayaran).
Selain itu masih ada jabatan lain yang membantu menjalankan tugas pemerintahan, seperti
Gonone yang membidangi intelijen dan Serang oli yang membidangi urusan propaganda.
Tidore telah menjadi pusat pengembangan agama Islam di kawasan kepulauan timur Indonesia sejak dulu kala.
Karena kuatnya pengaruh agama Islam dalam kehidupan mereka. Kuatnya relasi antara masyarakat Tidore
dengan Islam tersimbol dalam ungkapan adat mereka: Adat ge mauri Syara, Syara mauri Kitabullah (Adat
bersendi Syara, Syara bersendi Kitabullah). Perpaduan ini berlangsung harmonis hingga saat ini.

Berkenaan dengan garis kekerabatan, masyarakat Tidore menganut sistem matrilineal. Namun, tampaknya
terjadi perubahan ke arah patrilineal seiring dengan menguatnya pengaruh Islam di Tidore. Klen patrilineal yang
terpenting mereka sebut soa. Dalam sistem adat Tidore, perkawinan ideal adalah perkawinan antar saudara
sepupu (kufu). Setelah pernikahan, setiap pasangan baru bebas memilih lokasi tempat tinggal, apakah di
lingkungan kerabat suami atau istri. Dalam antropologi sering disebut dengan utrolokal.

Dalam usaha untuk menjaga keharmonisan dengan alam, masyarakat Tidore menyelenggarakan berbagai jenis
upacara adat. Di antara upacara tersebut adalah upacara Legu Gam Adat Negeri, upacara Lufu Kie daera se
Toloku (mengitari wilayah diiringi pembacaan doa selamat), upacara Ngam Fugo, Dola Gumi, Joko Hale dan
sebagainya.
Untuk berkomunikasi dalam kehidupan sehari-hari, orang Tidore menggunakan bahasa Tidore yang tergolong
dalam rumpun non-Austronesia. Dengan bahasa ini pula, orang Tidore kemudian mengembangkan sastra lisan
dan tulisan. Bentuk satra lisan yang populer adalah dola bololo (semacam peribahasa atau pantun kilat), dalil tifa
(ungkapan filosofis yang diiringi alat tifa atau gendang), kabata (sastra lisan yang dipertunjukkan oleh dua regu
dalam jumlah yang genap, argumennya dalam bentuk syair, gurindam, bidal dsb). Sebagian di antara satra lisan
ini disampaikan dan dipertunjukkan dengan iringan alat tifa, sejenis gendang. Sasra tulisan juga cukup baik
berkembang di Tidore, hal ini bisa dilihat dari peninggalan manuskrip kesultanan Tidore yang masih tersimpan
di Museun Nasional Jakarta. Dan boleh jadi, manuskrip-manuskrip tersebut masih banyak tersebar di tangan
masyarakat secara individual.

Untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, orang-orang Tidore banyak yang bercocok tanam di ladang. Tanaman
yang banyak ditanam adalah padi, jagung, ubi jalar dan ubi kayu. Selain itu, juga banyak ditanam cengkeh, pala
dan kelapa. Inilah rempah-rempah yang menjadikan Tidore terkenal, dikunjungi para pedagang asing Cina, India
Sultan kedua Tidore adalah Almansur yang naik takhta pada tahun 1512 dan kemudian ia menetapkan Mareku sebagai
pusat pemerintahan. Ia adalah Sultan yang menerima kedatangan Spanyol di Tidore untuk beraliansi secara
strategis sebagai jawaban atas aliansi yang dibangun oleh Ternate dan Portugis. Spanyol tiba di Tidore pada
tanggal 8 November 1521, turut serta dalam rombongan kapal armada Magellan, Pigafetta, seorang etnolog dan
sejarawan Italia.

Sultan Almansur memberikan tempat bagi Spanyol untuk melakukan perdagangan di Tidore. Sepotong kain
merah ditukar dengan cengkih satu bahar (550 pon), 50 pasang gunting dengan satu bokor cengkih, tiga buah
gong dengan dua bokor cengkih. Dengan cepat cengkih di seluruh Tidore ludes, sehingga harus dicari di tempat
lain seperti Moti, Makian dan Bacan. Demikianlah kerjasama antara Tidore dan Spanyol semakin berkembang,
tidak hanya di bidang perekonomian tetapi juga di bidang militer.

Pada tahun 1524, didasari persaingan ekonomi berupa penguasaan wilayah perdagangan rempah-rempah, pasukan
gabungan Ternate dan Portugis yang berjumlah 600 orang menyerbu Tidore dan berhasil masuk ke ibukota
Mareku. Hal yang menarik adalah, meski serangan gabungan tersebut mencapai ibukota Tidore, mereka tidak
dapat menguasai Tidore sepenuhnya dan berhasil dipukul mundur beberapa waktu kemudian. Dua tahun
berikutnya (1526) Sultan Almansur wafat tanpa meninggalkan pengganti.

Kegagalan serangan tersebut berujung dilakukannya perjanjian Zaragosa antara Raja Portugis, John III dan Raja
Spanyol, Charles V pada tahun 1529. Dengan imbalan sebesar 350.000 ducats, Charles V bersedia melepaskan
klaimnya atas Maluku, namun demikian hal tersebut tidak serta merta menyebabkan seluruh armada Spanyol
keluar dari Maluku.

Pada tahun yang sama dengan Perjanjian Zaragosa, putera bungsu Almansur, Amiruddin Iskandar Zulkarnaen,
dilantik sebagai Sultan Tidore dengan dibantu oleh Kaicil Rade seorang bangsawan tinggi Kesultanan Tidore
sebagai Mangkubumi. Dimasanya terjadi tribulasi, ketika Gubernur Portugis di Ternate, Antonio Galvao,
memutuskan untuk kembali meyerang Tidore. Pasukan Portugis mendapatkan kemenangan atas Tidore pada
tanggal 21 Desember 1536 dan mengakibatkan Tidore harus menjual seluruh rempah-rempahnya kepada Portugis
dengan imbalan Portugis akan meninggalkan Tidore.
Pada tahun 1547, Sultan Amiruddin Iskandar Zulkarnaen wafat dan digantikan oleh Sultan Saifuddin,
demikian pula tongkat estafet kesultanan berikutnya, berturut-turut Kie Mansur, Iskandar Gani dan
Gapi Baguna hingga tahun 1599. Pada era tersebut tidak terjadi sesuatu yang luar biasa di Kesultanan
Tidore, kecuali pada tahun 1578 Portugis membangun Benteng “Dos Reis Mogos” di Tidore. Namun
demikian benteng tersebut tidak mencampuri urusan internal kesultanan.
Kejadian penting lainnya yang patut dicatat adalah terjadinya unifikasi kekuatan Portugis dan
Spanyol di Maluku di bawah pimpinan Raja Spanyol pada tahun 1580. Sehingga demikian semua
benteng Portugis dan Spanyol di seluruh kepulauan Maluku dapat digunakan oleh kedua belah
pihak.
Unifikasi ini sebenarnya didahului oleh kejadian sebelumnya, yaitu penaklukan benteng Portugis-
Gamlamo di Ternate oleh Sultan Babullah, Sultan Ternate terbesar, pada tanggal 26 Desember 1575.
Menyerahnya Gubernur Portugis terakhir di Maluku, Nuno Pareira de Lacerda, menunjukkan
berakhirnya kekuasaan Portugis di Nusantara. Hal ini mengakibatkan mau tidak mau armada perang
Portugis membentuk persekutuan dengan Spanyol di kepulauan Maluku. Pada tanggal 26 Maret
1606, Gubernur Jenderal Spanyol di Manila, Don Pedro da Cunha, mulai membaca gerak-gerik VOC-
Belanda memperluas wilayah dagangnya hingga Maluku. Karena merasa terancam dengan kehadiran
armada dagang VOC-Belanda yang mulai menjalin kerjasama dengan Kesultanan Ternate, ia
memimpin pasukan menggempur Benteng Gamlamo tentu saja dengan bantuan dari Tidore yang
pada waktu itu dipimpin oleh Sultan Mole Majimu.
Spanyol berhasil menguasai Benteng Gamlamo di Ternate, tetapi tidak lama setelah itu VOC Belanda
berhasil pula membuat benteng yang kemudian disebut sebagai “Fort Oranje” pada tahun 1607 di
sebelah timur laut Benteng Gamlamo serta membangun garis demarkasi militer dengan Spanyol.
Paulus van Carden ditujuk sebagai Gubernur Belanda pertama di Kepulauan Maluku.
Ketika Sultan Tidore ke 12 memerintah yaitu Sultan Saifudin, pada tahun 1663 secara mengejutkan
Spanyol menarik seluruh kekuatannya dari Ternate, Tidore dan Siau yang berada di Sulawesi Utara ke
Filipina. Gubernur Jenderal Spanyol yang berada Manila, Manrique de Lara, membutuhkan semua
kekuatan untuk mempertahankan Manila dari serangan bajak laut Cina, Coxeng. Gubernur Spanyol
di Maluku, Don Francisco de Atienza Ibanez, nampak meninggalkan kepulauan Maluku pada bulan
Juni 1663. Maka berakhirlah kekuasaan Spanyol di Kepulauan Maluku.
Dengan tiadanya dukungan militer dari Spanyol, otomatis kekuatan Tidore melemah dan VOC-
Belanda menjadi kekuatan militer terbesar satu-satunya di kepulauan yang kaya dengan rempah-
rempah itu. Akhirnya Sultan Saifudin kemudian melakukan perjanjian dengan Laksamana Speelman
dari VOC-Belanda pada tanggal 13 Maret 1667 yang mana isinya adalah : (1) VOC mengakui hak-hak
dan kedaulatan Kesultanan Tidore atas Kepulauan Raja Empat dan Papua daratan (2) Kesultanan
Tidore memberikan hak monopoli perdagangan rempah-rempah dalam wilayahnya kepada VOC.
Batavia kemudian mengeluarkan Ordinansi untuk Tidore yang membatasi produksi cengkeh dan pala hanya pada
Kepulauan Banda dan Ambon. Di luar wilayah ini semua pohon rempah diperintahkan untuk dibasmi. Pohon-pohon rempah yang
‘berlebih’ ditebang untuk mengurangi produksi rempah sampai seperempat dari masa sebelum VOC-Belanda memegang kendali
perdagangan atas Maluku.
Apa yang dilakukan oleh VOC-Belanda tersebut, yaitu memusnahkan atau eradikasi pohon-pohon cengkih di Kepulauan
Maluku, disebut sebagai “Hongi Tochten”. Kesultanan Ternate sebenarnya telah terlebih dahulu mengadakan perjanjian yang
berkenaan dengan “Hongi Tochten” pada tahun 1652 kemudian disusul oleh Tidore beberapa waktu berikutnya setelah Tidore
mengakui kekuatan ekonomi-militer Belanda di Maluku. Pihak kesultanan menerima imbalan tertentu (recognitie penningen) dari
pihak VOC akibat operasi ini. “Hongi Tochten” dilakukan akibat banyaknya penyelundup yang memasarkan cengkih ke Eropa
sehingga harga cengkih menjadi turun drastis.
Sepeninggal Sultan Saifudin, Kesultanan Tidore semakin melemah. Banyaknya pertentangan dan pemberontakan di
kalangan istana kesultanan menyebabkan Belanda dengan begitu mudah mencaplok sebagian besar wilayah Tidore. Hal ini
mencapai puncaknya hingga pemerintahan Sultan Kamaluddin (1784-1797), dimana sejarawan mencatat bahwa sultan ini memiliki
perangai yang kurang baik. Namun demikian lambat laun situasi mulai berubah ketika Tidore memiliki Sultan yang terbesar
sepanjang sejarah mereka yaitu Sultan Nuku.
Pada tahun 1780, Nuku memproklamasikan dirinya sebagai Sultan Tidore dan menyatakan bahwa kesultanan-nya sebagai
wilayah yang merdeka lepas dari kekuasaan VOC-Belanda. Kesultanan Tidore yang dimaksudkan olehnya meliputi semua wilayah
Tidore yang utuh yaitu : Halmahera Tengah dan Timur, Makian, Kayoa, Kepulauan Raja Ampat, Papua Daratan, Seram Timur,
Kepulauan Keffing, Geser, Seram Laut, Kepulauan Garang, Watubela dan Tor.
Setelah berjuang beberapa tahun, Sultan Nuku memperoleh kemenangan yang gemilang. Ia berhasil membebaskan
Kesultanan Tidore dari kekuasaan Belanda dan mengembalikan pamornya. Penghujung abad ke-18 dan permulaan abad ke-19 adalah
era keemasan Tidore di bawah Nuku. Pada titik ini, kebesaran Sultan Nuku dapat dibandingkan dengan keagungan Sultan Babullah
yang telah mengusir Portugis dari Ternate.
Kemenangan-kemenangan yang diraih Sultan Nuku juga tidak lepas dari kondisi politik yang terjadi di negeri Belanda.
Tahun 1794, Napoleon Bonaparte menyerbu Belanda yang mengakibatkan Raja Willem V mengungsi ke Inggris. Selama menetap di
Inggris, ia mengeluarkan instruksi ke seluruh Gubernur Jenderal daerah jajahannya agar menyerahkan daerahnya ke Inggris supaya
tidak jatuh ke tangan Perancis. Tahun 1796, Inggris menduduki. Ditambah dengan bubarnya VOC pada Desember 1799, maka hal ini
semakin memperlemah kedudukan Belanda di Kepulauan Maluku.
Tetapi pada tanggal 14 November 1805, Tidore kehilangan seorang sultan yang pada masa hidupnya dikenal sebagai “Jou
Barakati” atau di kalangan orang Inggris disapa dengan “Lord of Forrtune”. Wafatnya Sultan Nuku dalam usia 67 tahun tidak hanya
membawa kesedihan bagi rakyat Malaku, tetapi juga memberikan kedukaan bagi rakyat Tobelo, Galela dan Lolada yang telah
bergabung ke dalam barisan Nuku sejak awal perjuangannya.
Selain memiliki kecerdasan dan karisma yang kuat, Sultan Nuku terkenal akan keberanian dan kekuatan batinnya. Ia
berhasil mentransformasi masa lalu Maluku yang kelam ke dalam era baru yang mampu memberikan kepadanya kemungkinan
menyeluruh untuk bangkit dan melepaskan diri dari segala bentuk keterikatan, ketidakbebasan dan penindasan.
Mundurnya Kerajaan Tidore disebabkan karena diadu
domba dengan Kerajaan Ternate yang dilakukan oleh
bangsa asing ( Spanyol dan Portugis ) yang bertujuan
untuk memonopoli daerah penghasil rempah-rempah
tersebut. Setelah Sultan Tidore dan Sultan Ternate
sadar bahwa mereka telah Diadu Domba oleh Portugis
dan Spanyol, mereka kemudian bersatu dan berhasil
mengusir Portugis dan Spanyol ke luar Kepulauan
Maluku. Namun kemenangan tersebut tidak bertahan
lama sebab VOC yang dibentuk Belanda untuk
menguasai perdagangan rempah-rempah di Maluku
berhasil menaklukkan Ternate dengan strategi dan
tata kerja yang teratur, rapi dan terkontrol dalam
bentuk organisasi yang kuat.
Kesultanan Ternate atau juga dikenal dengan Kerajaan
Gapi adalah salah satu dari 4 kerajaan Islam di Kepulauan
Maluku dan merupakan salah satu kerajaan Islam tertua
di Nusantara. Didirikan oleh Baab Mashur Malamo pada
tahun 1257. Kesultanan Ternate memiliki peran penting di
kawasan timur Nusantara antara abad ke-13 hingga abad ke-
17. Kesultanan Ternate menikmati kegemilangan di paruh
abad ke-16 berkat perdagangan rempah-rempah dan
kekuatan militernya. Pada masa jaya kekuasaannya
membentang mencakup wilayah Maluku, Sulawesi bagian
utara, timur dan tengah, bagian selatan
kepulauan Filipina hingga sejauh Kepulauan
Marshall di Pasifik.
Pulau Gapi (kini Ternate) mulai ramai di awal abad ke-13. Penduduk Ternate awal
merupakan warga eksodus dari Halmahera. Awalnya di Ternate terdapat 4
kampung yang masing-masing dikepalai oleh seorang momole (kepala marga).
Merekalah yang pertama–tama mengadakan hubungan dengan para pedagang
yang datang dari segala penjuru mencari rempah–rempah. Penduduk Ternate
semakin heterogen dengan bermukimnya
pedagang Arab, Jawa, Melayu dan Tionghoa. Oleh karena aktivitas perdagangan
yang semakin ramai ditambah ancaman yang sering datang dari para perompak
maka atas prakarsa Momole Guna pemimpin Tobona diadakan musyawarah
untuk membentuk suatu organisasi yang lebih kuat dan mengangkat seorang
pemimpin tunggal sebagai raja.
Tahun 1257 Momole Ciko pemimpin Sampalu terpilih dan diangkat
sebagai kolano (raja) pertama dengan gelar Baab Mashur Malamo (1257-1272).
Kerajaan Gapi berpusat di kampung Ternate, yang dalam perkembangan
selanjutnya semakin besar dan ramai sehingga oleh penduduk disebut juga
sebagai Gam Lamo atau kampung besar (belakangan orang menyebut Gam Lamo
dengan Gamalama). Semakin besar dan populernya Kota Ternate, sehingga
kemudian orang lebih suka mengatakan kerajaan Ternate daripada kerajaan Gapi.
Di bawah pimpinan beberapa generasi penguasa berikutnya, Ternate berkembang
dari sebuah kerajaan yang hanya berwilayahkan sebuah pulau kecil menjadi
kerajaan yang berpengaruh dan terbesar di bagian timur Indonesia khususnya
Maluku.
Pada masa–masa awal suku Ternate dipimpin oleh para momole.
Setelah membentuk kerajaan jabatan pimpinan dipegang seorang raja
yang disebut kolano. Mulai pertengahan abad ke-15, Islam diadopsi
secara total oleh kerajaan dan penerapan syariat
Islam diberlakukan. Sultan Zainal Abidin meninggalkan gelar kolano
dan menggantinya dengan gelar sultan. Para ulama menjadi figur
penting dalam kerajaan.
Setelah sultan sebagai pemimpin tertinggi, ada
jabatan jogugu (perdana menteri) dan fala raha sebagai para
penasihat. Fala raha atau empat rumah adalah
empat klan bangsawan yang menjadi tulang punggung kesultanan
sebagai representasi para momole pada masa lalu, masing–masing
dikepalai seorang kimalaha. Mereka yaitu Marasaoli, Tomagola,
Tomaito dan Tamadi. Pejabat–pejabat tinggi kesultanan umumnya
berasal dari klan–klan ini. Bila seorang sultan tak memiliki pewaris
maka penerusnya dipilih dari salah satu klan. Selanjutnya ada jabatan
– jabatan lain Bobato Nyagimoi se Tuf kange (Dewan 18), Sabua Raha,
Kapita Lau, Salahakan, Sangaji, dll.
Gapi Malamo I Muhammad Yasin
1359 - 1372 1796 - 1801
Baab Mashur Malamo Gapi Baguna I
Muhammad Ali
1257 - 1277 1372 - 1377 Mandarsyah
Jamin Qadrat 1807 - 1821
Komala Pulu 1648 - 1650 (masa
1277 - 1284 pertama) Muhammad
Komala Abu Said 1377 - 1432
Manila Sarmoli
1284 - 1298 Marhum (Gapi Baguna II)
1650 - 1655 1821 - 1823
Bakuku (Kalabata) 1432 - 1486
1298 - 1304
Mandarsyah Muhammad Zain
Zainal Abidin 1655 - 1675 (masa
Ngara Malamo 1823 - 1859
(Komala) 1486 - 1500 kedua)
1304 - 1317 Sultan Bayanullah Sibori Muhammad Arsyad
Patsaranga Malamo 1675 - 1689 1859 - 1876
1500 - 1522
1317 - 1322 Said Fatahullah
Cili Aiya (Sidang Arif Hidayatullah 1689 - 1714 Ayanhar
Malamo) 1522 - 1529 Amir Iskandar 1879 - 1900
1322 - 1331 Abu Hayat II Zulkarnain
Panji Malamo
Muhammad Ilham
1529 - 1533 Syaifuddin (Kolano Ara
1331 - 1332 1714 - 1751
Syah Alam Tabariji Rimoi)
Ayan Syah
1332 - 1343 1533 - 1534 1751 - 1754 1900 - 1902
Tulu Malamo Khairun Jamil Syah Mardan Haji Muhammad
1343 - 1347
Kie Mabiji (Abu Hayat 1535 - 1570 1755 - 1763 Usman Syah
I) Babullah Datu Syah Jalaluddin 1902 - 1915
1347 - 1350 1763 - 1774
1570 - 1583 Iskandar
Ngolo Macahaya Harunsyah
1350 - 1357
Said Barakat Syah 1774 - 1781 Muhammad
Momole 1583 - 1606 Achral Jabir Syah
1357 - 1359 Mudaffar Syah I 1781 - 1796 1929 - 1975
Selain Ternate, di Maluku juga terdapat paling tidak 3
kerajaan lain yang memiliki pengaruh yaitu Kesultanan
Tidore, Kesultanan Jailolo, dan Kesultanan Bacan.
Kerajaan–kerajaan ini merupakan saingan Ternate dalam
memperebutkan hegemoni di Maluku. Berkat perdagangan
rempah Ternate menikmati pertumbuhan ekonomi yang
mengesankan, dan untuk memperkuat hegemoninya di
Maluku, Ternate mulai melakukan ekspansi. Hal ini
menimbulkan antipati dan memperbesar kecemburuan
kerajaan lain di Maluku yang memandang Ternate sebagai
musuh bersama hingga memicu terjadinya perang.
Demi menghentikan konf lik yang berlarut–larut, sultan
Ternate ke-7 Kolano Cili Aiya atau disebut juga Kolano
Sida Arif Malamo (1322-1331) mengundang raja–raja
Maluku yang lain untuk berdamai dan bermusyawarah
membentuk persekutuan. Persekutuan ini kemudian
dikenal sebagai Persekutan Moti atau Motir Verbond. Butir
penting dari pertemuan ini selain terjalinnya persekutuan
adalah penyeragaman bentuk kelembagaan kerajaan di
Maluku
Diperkirakan sejak awal berdirinya kerajaan Ternate masyarakat
Ternate telah mengenal Islam mengingat banyaknya
pedagang Arab yang telah bermukim di Ternate kala itu.
Beberapa raja awal Ternate sudah menggunakan nama bernuansa
Islam namun kepastian mereka maupun keluarga kerajaan
memeluk Islam masih diperdebatkan. Hanya dapat dipastikan
bahwa keluarga kerajaan Ternate resmi memeluk Islam
pertengahan abad ke-15.
Kolano Marhum (1465-1486), penguasa Ternate ke-18 adalah raja
pertama yang diketahui memeluk Islam bersama seluruh kerabat
dan pejabat istana. Pengganti Kolano Marhum adalah puteranya,
Zainal Abidin (1486-1500). Beberapa langkah yang diambil Sultan
Zainal Abidin adalah meninggalkan gelar kolano dan
menggantinya dengan sultan, Islam diakui sebagai agama resmi
kerajaan, syariat Islam diberlakukan, dan membentuk lembaga
kerajaan sesuai hukum Islam dengan melibatkan para ulama.
Langkah-langkahnya ini kemudian diikuti kerajaan lain di
Maluku secara total, hampir tanpa perubahan. Ia juga
mendirikan madrasah yang pertama di Ternate. Sultan Zainal
Abidin pernah memperdalam ajaran Islam dengan berguru
pada Sunan Giri di pulau Jawa. Di sana dia dikenal sebagai Sultan
Bualawa (Sultan Cengkih).
Pada masa pemerintahan Sultan Bayanullah (1500-1521), Ternate semakin berkembang, rakyatnya
diwajibkan berpakaian secara islami, teknik pembuatan perahu dan senjata yang diperoleh dari
orang Arab dan Turki digunakan untuk memperkuat pasukan Ternate. Pada masa ini pula datang
orang Eropa pertama di Maluku, Loedwijk de Bartomo (Ludovico Varthema) tahun 1506.
Tahun 1512 Portugal untuk pertama kalinya menginjakkan kaki di Ternate dibawah pimpinan Fransisco
Serrao, atas persetujuan sultan, Portugal diizinkan mendirikan pos dagang di Ternate. Portugal datang
bukan semata–mata untuk berdagang melainkan untuk menguasai perdagangan rempah–
rempah, pala dan cengkih di Maluku. Untuk itu terlebih dulu mereka harus menaklukkan Ternate.
Sultan Bayanullah wafat meninggalkan pewaris-pewaris yang masih sangat belia. Janda sultan,
permaisuri Nukila dan Pangeran Taruwese, adik almarhum sultan bertindak sebagai wali. Permaisuri
Nukila yang asal Tidore bermaksud menyatukan Ternate dan Tidore dibawah satu mahkota yakni salah
satu dari kedua puteranya, Pangeran Hidayat (kelak Sultan Dayalu) dan pangeran Abu Hayat
(kelak Sultan Abu Hayat II). Sementara pangeran Tarruwese menginginkan tahta bagi dirinya sendiri.
Portugal memanfaatkan kesempatan ini dan mengadu domba keduanya hingga pecah perang saudara.
Kubu permaisuri Nukila didukung Tidore sedangkan pangeran Taruwese didukung Portugal. Setelah
meraih kemenangan pangeran Taruwese justru dikhianati dan dibunuh Portugal. Gubernur Portugal
bertindak sebagai penasihat kerajaan dan dengan pengaruh yang dimiliki berhasil membujuk dewan
kerajaan untuk mengangkat pangeran Tabariji sebagai sultan. Tetapi ketika Sultan Tabariji mulai
menunjukkan sikap bermusuhan, ia difitnah dan dibuang ke Goa, India. Di sana ia dipaksa Portugal
untuk menandatangani perjanjian menjadikan Ternate sebagai kerajaan Kristen dan vasal kerajaan
Portugal, namun perjanjian itu ditolak mentah-mentah oleh Sultan Khairun (1534-1570).
 Perlakuan Portugal terhadap saudara–saudaranya membuat Sultan Khairun geram dan bertekad
mengusir Portugal dari Maluku. Tindak–tanduk bangsa Barat yang satu ini juga menimbulkan
kemarahan rakyat yang akhirnya berdiri di belakang Sultan Khairun. Sejak masa sultan
Bayanullah, Ternate telah menjadi salah satu dari tiga kesultanan terkuat dan pusat Islam utama
di Nusantara abad ke-16 selain Aceh dan Demak setelah kejatuhan Malaka pada tahun 1511.
Ketiganya membentuk Aliansi Tiga untuk membendung sepak terjang Portugal di Nusantara.
 Tak ingin menjadi Malaka kedua, sultan Khairun mengobarkan perang pengusiran Portugal.
Kedudukan Portugal kala itu sudah sangat kuat, selain memiliki benteng dan kantong kekuatan
di seluruh Maluku mereka juga memiliki sekutu–sekutu suku pribumi yang bisa dikerahkan
untuk menghadang Ternate. Dengan adanya Aceh dan Demak yang terus mengancam kedudukan
Portugal di Malaka, Portugal di Maluku kesulitan mendapat bala bantuan hingga terpaksa
memohon damai kepada Sultan Khairun. Secara licik gubernur Portugal, Lopez de
Mesquita mengundang Sultan Khairun ke meja perundingan dan akhirnya dengan kejam
membunuh sultan yang datang tanpa pengawalnya.
 Pembunuhan Sultan Khairun semakin mendorong rakyat Ternate untuk menyingkirkan Portugal,
bahkan seluruh Maluku kini mendukung kepemimpinan dan perjuangan Sultan Baabullah (1570-
1583), pos-pos Portugal di seluruh Maluku dan wilayah timur Indonesia digempur. Setelah
peperangan selama 5 tahun, akhirnya Portugal meninggalkan Maluku untuk selamanya pada
tahun 1575. Di bawah pimpinan Sultan Baabullah, Ternate mencapai puncak kejayaan, wilayah
membentang dari Sulawesi Utara dan Tengah di bagian barat hingga Kepulauan Marshall di
bagian timur, dari Filipina Selatan di bagian utara hingga kepulauan Nusa Tenggara di bagian
selatan.
 Sultan Baabullah dijuluki penguasa 72 pulau yang semuanya berpenghuni hingga menjadikan
Kesultanan Ternate sebagai kerajaan Islam terbesar di Indonesia timur, di samping Aceh dan
Demak yang menguasai wilayah barat dan tengah Nusantara kala itu. Periode keemasaan tiga
kesultanan ini selama abad 14 dan 15 entah sengaja atau tidak dikesampingkan dalam sejarah
bangsa ini padahal mereka adalah pilar pertama yang membendung kolonialisme Barat.
 Sepeninggal Sultan Baabullah, Ternate mulai melemah, Kerajaan
Spanyol yang telah bersatu dengan Portugal pada tahun 1580 mencoba
menguasai kembali Maluku dengan menyerang Ternate. Dengan
kekuatan baru Spanyol memperkuat kedudukannya di Filipina,
Ternate pun menjalin aliansi dengan Mindanao untuk menghalau
Spanyol namun gagal, bahkan Sultan Said Barakati berhasil ditawan
Spanyol dan dibuang ke Manila.
 Kekalahan demi kekalahan yang diderita memaksa Ternate meminta
bantuan Belanda pada tahun 1603. Ternate akhirnya berhasil menahan
Spanyol namun dengan imbalan yang amat mahal. Belanda akhirnya
secara perlahan-lahan menguasai Ternate. Pada tanggal 26 Juni 1607
Sultan Ternate menandatangani kontrak monopoli VOC di Maluku
sebagai imbalan bantuan Belanda melawan Spanyol. Pada tahun 1607
pula Belanda membangun benteng Oranje di Ternate yang merupakan
benteng pertama mereka di nusantara.
 Sejak awal hubungan yang tidak sehat dan tidak seimbang antara
Belanda dan Ternate menimbulkan ketidakpuasan para penguasa dan
bangsawan Ternate. Diantaranya adalah Pangeran Hidayat (15??-1624),
raja muda Ambon yang juga merupakan mantan wali raja Ternate ini
memimpin oposisi yang menentang kedudukan sultan dan Belanda. Ia
mengabaikan perjanjian monopoli dagang Belanda dengan menjual
rempah–rempah kepada pedagang Jawa dan Makassar.
Semakin lama cengkeraman dan pengaruh Belanda pada Ternate semakin kuat. Belanda dengan leluasa mengeluarkan peraturan yang
merugikan rakyat lewat perintah sultan. Sikap Belanda yang kurang ajar dan sikap sultan yang cenderung manut menimbulkan
kekecewaan semua kalangan. Sepanjang abad ke-17, setidaknya ada 4 pemberontakan yang dikobarkan bangsawan Ternate dan rakyat
Maluku.
Tahun 1635, demi memudahkan pengawasan dan mengatrol harga rempah yang merosot Belanda memutuskan melakukan
penebangan besar–besaran pohon cengkeh dan pala di seluruh Maluku atau yang lebih dikenal sebagai Hongi Tochten yang
menyebabkan rakyat mengobarkan perlawanan. Pada tahun 1641, dipimpin oleh raja muda Ambon, Salahakan Luhu, puluhan ribu
pasukan gabungan Ternate, Hitu dan Makassar menggempur berbagai kedudukan Belanda di Maluku Tengah. Salahakan Luhu
kemudian berhasil ditangkap dan dieksekusi mati bersama seluruh keluarganya pada tanggal 16 Juni 1643. Perjuangan lalu dilanjutkan
oleh saudara ipar Luhu, Kapita Hitu Kakiali dan Tolukabessi hingga 1646.
Tahun 1650, para bangsawan Ternate mengobarkan perlawanan di Ternate dan Ambon, pemberontakan ini dipicu
sikap Sultan Mandarsyah (1648-1650,1655-1675) yang terlampau akrab dan dianggap cenderung menuruti kemauan Belanda. Para
bangsawan berkomplot untuk menurunkan sultan. Tiga di antara pemberontak yang utama adalah trio pangeran Saidi, Majira
dan Kalamata. Pangeran Saidi adalah seorang kapita laut atau panglima tertinggi pasukan Ternate, Pangeran Majira adalah raja muda
Ambon sementara Pangeran Kalamata adalah adik sultan Mandarsyah. Saidi dan Majira memimpin pemberontakan di Maluku
Tengah sementara Pangeran Kalamata bergabung dengan raja Kesultanan Gowa, Sultan Hasanuddin. Mereka bahkan sempat berhasil
menurunkan Sultan Mandarsyah dari tahta dan mengangkat Sultan Manilha (1650–1655), namun berkat bantuan Belanda kedudukan
Mandarsyah kembali dipulihkan. Setelah 5 tahun pemberontakan Saidi dkk berhasil dipadamkan. Pangeran Saidi disiksa secara kejam
hingga mati sementara Pangeran Majira dan Kalamata menerima pengampunan sultan dan hidup dalam pengasingan.
Sultan Muhammad Nurul Islam atau yang lebih dikenal dengan nama Sultan Sibori (1675 – 1691) merasa gerah dengan
tindak–tanduk Belanda yang semena-mena. Ia kemudian menjalin persekutuan dengan Datuk Abdulrahman penguasa Mindanao,
namun upayanya untuk menggalang kekuatan kurang maksimal karena daerah–daerah strategis yang bisa diandalkan untuk basis
perlawanan terlanjur jatuh ke tangan Belanda oleh berbagai perjanjian yang dibuat para pendahulunya. Ia kalah dan terpaksa
menyingkir ke Jailolo. Tanggal 7 Juli 1683 Sultan Sibori terpaksa menandatangani perjanjian yang intinya menjadikan Ternate sebagai
kerajaan dependen Belanda. Perjanjian ini mengakhiri masa Ternate sebagai negara berdaulat.
Meski telah kehilangan kekuasaan mereka, beberapa sultan Ternate berikutnya tetap berjuang mengeluarkan Ternate dari
cengkeraman Belanda. Dengan kemampuan yang terbatas karena selalu diawasi mereka hanya mampu menyokong perjuangan
rakyatnya secara diam–diam. Yang terakhir tahun 1914 Sultan Haji Muhammad Usman Syah (1896-1927) menggerakkan perlawanan
rakyat di wilayah–wilayah kekuasaannya, bermula di wilayah Banggai dibawah pimpinan Hairuddin Tomagola namun gagal.
Di Jailolo rakyat Tudowongi, Tuwada dan Kao dibawah pimpinan Kapita Banau berhasil menimbulkan kerugian di pihak
Belanda, banyak prajurit Belanda yang tewas termasuk Controleur Belanda Agerbeek dan markas mereka diobrak–abrik. Akan tetapi
karena keunggulan militer serta persenjataan yang lebih lengkap dimiliki Belanda perlawanan tersebut berhasil dipatahkan, kapita
Banau ditangkap dan dijatuhi hukuman gantung. Sultan Haji Muhammad Usman Syah terbukti terlibat dalam pemberontakan ini
oleh karenanya berdasarkan keputusan pemerintah Hindia Belanda, tanggal 23 September 1915 no. 47, Sultan Haji Muhammad Usman
Syah dicopot dari jabatan sultan dan seluruh hartanya disita, dia dibuang ke Bandung tahun 1915 dan meninggal disana tahun 1927.
Pasca penurunan Sultan Haji Muhammad Usman Syah jabatan sultan sempat lowong selama 14 tahun dan pemerintahan
adat dijalankan oleh Jogugu serta dewan kesultanan. Sempat muncul keinginan pemerintah Hindia Belanda untuk menghapus
Kesultanan Ternate namun niat itu urung dilaksanakan karena khawatir akan reaksi keras yang bisa memicu pemberontakan baru
sementara Ternate berada jauh dari pusat pemerintahan Belanda di Batavia.
Dalam usianya yang kini memasuki usia ke-750 tahun, Kesultanan Ternate masih tetap bertahan meskipun hanya sebatas
simbol budaya.
 Imperium Nusantara timur yang dipimpin Ternate memang telah runtuh sejak pertengahan abad ke-
17 namun pengaruh Ternate sebagai kerajaan dengan sejarah yang panjang masih terus terasa hingga
berabad kemudian. Ternate memiliki andil yang sangat besar dalam kebudayaan nusantara bagian
timur khususnya Sulawesi (utara dan pesisir timur) dan Maluku. Pengaruh itu
mencakup agama, adat-istiadat dan bahasa.
 Sebagai kerajaan pertama yang memeluk Islam, Ternate memiliki peran yang besar dalam upaya
pengislaman dan pengenalan syariat-syariat Islam di wilayah timur nusantara dan bagian selatan
Filipina. Bentuk organisasi kesultanan serta penerapan syariat Islam yang diperkenalkan pertama kali
oleh Sultan Zainal Abidin menjadi standar yang diikuti semua kerajaan di Maluku hampir tanpa
perubahan yang berarti.
 Keberhasilan rakyat Ternate di bawah Sultan Baabullah dalam mengusir Portugal pada tahun 1575
merupakan kemenangan pertama pribumi nusantara atas kekuatan barat, oleh karenanya Buya
Hamka bahkan memuji kemenangan rakyat Ternate ini telah menunda penjajahan barat atas bumi
nusantara selama 100 tahun sekaligus memperkokoh kedudukan Islam, dan sekiranya rakyat Ternate
gagal niscaya wilayah timur Indonesia akan menjadi pusat kristen seperti halnya Filipina.
 Kedudukan Ternate sebagai kerajaan yang berpengaruh turut pula mengangkat derajat Bahasa
Ternate sebagai bahasa pergaulan di berbagai wilayah yang berada dibawah pengaruhnya. Prof
E.K.W. Masinambow dalam tulisannya, "Bahasa Ternate dalam konteks bahasa-bahasa Austronesia
dan Non Austronesia" mengemukakan bahwa bahasa Ternate memiliki dampak terbesar
terhadap bahasa Melayu yang digunakan masyarakat timur Indonesia. Sebanyak 46%
kosakata bahasa Melayu di Manado diambil dari Bahasa Ternate. Bahasa Melayu Ternate ini kini
digunakan luas di Indonesia Timur terutama Sulawesi Utara, pesisir timur Sulawesi Tengah dan
Selatan, Maluku dan Papua dengan dialek yang berbeda–beda.[9]
 Dua naskah surat sultan Ternate, dari Sultan Abu Hayat II kepada Raja Portugal tanggal 27 April dan
8 November 1521 diakui sebagai naskah Melayu tertua di dunia setelah naskah Melayu Tanjung Tanah.
Kedua surat Sultan Abu Hayat tersebut saat ini masih tersimpan di Museum Lisabon, Portugal.
 Pada awalnya di daerah Gowa terdapat sembilan komunitas, yang dikenal dengan
nama Bate Salapang (Sembilan Bendera), yang kemudian menjadi pusat Kerajaan Gowa:
Tombolo, Lakiung, Parang-Parang, Data, Agangjene, Saumata, Bissei, Sero dan Kalili.
Melalui berbagai cara, baik damai maupun paksaan, komunitas lainnya bergabung untuk
membentuk Kerajaan Gowa. Cerita dari para pendahulu di Gowa mengatakan bahwa
Tumanurung merupakan pendiri Kerajaan Gowa pada awal abad ke-14.
 Abad ke-16
 Tumapa'risi' Kallonna
 Memerintah pada awal abad ke-16, di Kerajaan Gowa bertahta Karaeng (Penguasa) Gowa
ke-9, bernama Tumapa'risi' Kallonna. Pada masa itu salah seorang
penjelajah Portugis berkomentar bahwa "daerah yang disebut Makassar sangatlah kecil".
Dengan melakukan perombakan besar-besaran di kerajaan, Tumapa'risi' Kallonna
mengubah daerah Makassar dari sebuah konfederasi antar-komunitas yang longgar
menjadi sebuah negara kesatuan Gowa. Dia juga mengatur penyatuan Gowa dan Tallo
kemudian merekatkannya dengan sebuah sumpah yang menyatakan bahwa apa saja yang
mencoba membuat mereka saling melawan (ampasiewai) akan mendapat hukuman
Dewata. Sebuah perundang-undangan dan aturan-aturan peperangan dibuat, dan
sebuah sistem pengumpulan pajak dan bea dilembagakan di bawah seorang syahbandar
untuk mendanai kerajaan. Begitu dikenangnya raja ini sehingga dalam cerita pendahulu
Gowa, masa pemerintahannya dipuji sebagai sebuah masa ketika panen bagus dan
penangkapan ikan banyak.
 Dalam sejumlah penyerangan militer yang sukses penguasa Gowa ini mengalahkan
negara tetangganya, termasuk Siang dan menciptakan sebuah pola ambisi imperial yang
kemudian berusaha ditandingi oleh penguasa-penguasa setelahnya pada abad ke-16 dan
ke-17. Kerajaan-kerajaan yang ditaklukkan oleh Tumapa'risi' Kallonna diantaranya adalah
Kerajaan Siang, serta Kesultanan Bone, walaupun ada yang menyebutkan bahwa Bone
ditaklukkan oleh Tunipalangga.
Pada tahun 1666, di bawah pimpinan Laksamana Cornelis Speelman, VOC berusaha menundukkan
kerajaan-kerajaan kecil di Sulawesi, tetapi belum berhasil menundukkan Kesultanan Gowa. Di lain
pihak, setelah Sultan Hasanuddin naik tahta, ia berusaha menggabungkan kekuatan kerajaan-
kerajaan kecil di Indonesia bagian timur untuk melawan VOC (Kompeni).
Pertempuran terus berlangsung, Kompeni menambah kekuatan pasukannya hingga pada akhirnya Gowa
terdesak dan semakin lemah sehingga pada tanggal 18 November 1667 bersedia
mengadakan Perjanjian Bungaya di Bungaya. Gowa merasa dirugikan, karena itu Sultan
Hasanuddin mengadakan perlawanan lagi. Akhirnya pihak Kompeni minta bantuan tentara
ke Batavia. Pertempuran kembali pecah di berbagai tempat. Sultan Hasanuddin memberikan
perlawanan sengit. Bantuan tentara dari luar menambah kekuatan pasukan VOC, hingga akhirnya
Kompeni berhasil menerobos benteng terkuat milik Kesultanan Gowa yaitu Benteng Somba
Opu pada tanggal 12 Juni 1669. Sultan Hasanuddin kemudian mengundurkan diri dari tahta kerajaan
dan wafat pada tanggal 12 Juni1670.
Abad ke-20
Kesultanan Gowa telah mengalami pasang surut dalam perkembangan sejak Raja Gowa ke-1,
Tumanurung, hingga mencapai puncak keemasannya pada abad ke-17, hingga kemudian mengalami
masa penjajahan dibawah kekuasaan Belanda. Dalam pada itu, sistem pemerintahan mengalami
transisi pada masa Raja Gowa ke-36, Andi Idjo Karaeng Lalolang Sultan Muhammad Abdul Kadir
Aidudin, menyatakan Kesultanan Gowa bergabung menjadi bagian Republik Indonesia yang
merdeka dan bersatu, dan berubah bentuk dari kerajaan menjadi Daerah Tingkat II Kabupaten
Gowa. Sehingga dengan perubahan tersebut, Andi Idjo pun tercatat dalam sejarah sebagai Raja Gowa
terakhir dan sekaligus Bupati Kabupaten Gowa pertama.
 Sebagai negara maritim, maka sebagian besar masyarakat Gowa adalah
nelayan dan pedagang. Mereka giat berusaha untuk meningkatkan
taraf kehidupannya, bahkan tidak jarang dari mereka yang merantau
untuk menambah kemakmuran hidupnya. Walaupun masyarakat
Gowa memiliki kebebasan untuk berusaha dalam mencapai
kesejahteraan hidupnya, tetapi dalam kehidupannya mereka sangat
terikat dengan norma adat yang mereka anggap sakral. Norma
kehidupan masyarakat diatur berdasarkan adat dan agama Islam yang
disebut Pangadakkang. Dan masyarakat Gowa sangat percaya dan taat
terhadap norma-norma tersebut.
 Di samping norma tersebut, masyarakat Gowa juga mengenal
pelapisan sosial yang terdiri dari lapisan atas yang merupakan
golongan bangsawan dan keluarganya disebut
dengan Anakarung atau Karaeng, sedangkan rakyat kebanyakan
disebut to Maradeka dan masyarakat lapisan bawah disebut dengan
golongan Ata
 Dari segi kebudayaan, maka masyarakat Gowa banyak menghasilkan
benda-benda budaya yang berkaitan dengan dunia pelayaran. Mereka
terkenal sebagai pembuat kapal. Jenis kapal yang dibuat oleh orang
Gowa dikenal dengan nama Pinisi dan Lombo.
Kapal Pinisi dan Lombo merupakan kebanggaan rakyat Sulawesi
Selatan dan terkenal hingga mancanegara.
 Tumanurung (±1300)
 Tumassalangga Baraya
 Puang Loe Lembang
 I Tuniatabanri
 Karampang ri Gowa
 Tunatangka Lopi (±1400)
 Batara Gowa Tuminanga ri Paralakkenna
 Pakere Tau Tunijallo ri Passukki
 Daeng Matanre Karaeng Tumapa'risi' Kallonna (awal abad ke-16)
 I Manriwagau Daeng Bonto Karaeng Lakiyung Tunipallangga Ulaweng (1546-1565)
 I Tajibarani Daeng Marompa Karaeng Data Tunibatte
 I Manggorai Daeng Mameta Karaeng Bontolangkasa Tunijallo (1565-1590)
 I Tepukaraeng Daeng Parabbung Tuni Pasulu (1593)
 I Mangari Daeng Manrabbia Sultan Alauddin I Tuminanga ri Gaukanna; Berkuasa mulai tahun 1593 - wafat tanggal 15 Juni 1639,
merupakan penguasa Gowa pertama yang memeluk agama Islam
 I Mannuntungi Daeng Mattola Karaeng Lakiyung Sultan Malikussaid Tuminanga ri Papang Batuna; Lahir 11 Desember 1605, berkuasa
mulai tahun 1639 hingga wafatnya 6 November 1653
 I Mallombassi Daeng Mattawang Karaeng Bonto Mangape Sultan Hasanuddin Tuminanga ri Balla'pangkana; Lahir tanggal 12
Januari 1631, berkuasa mulai tahun 1653 sampai 1669, dan wafat pada 12 Juni 1670
 I Mappasomba Daeng Nguraga Sultan Amir Hamzah Tuminanga ri Allu'; Lahir 31 Maret 1656, berkuasa mulai tahun 1669 hingga 1674,
dan wafat 7 Mei 1681
 Sultan Mohammad Ali (Karaeng Bisei) Tumenanga ri Jakattara; Lahir 29 November 1654, berkuasa mulai 1674 sampai 1677, dan
wafat 15 Agustus 1681
 I Mappadulu Daeng Mattimung Karaeng Sanrobone Sultan Abdul Jalil Tuminanga ri Lakiyung. (1677-1709)
 La Pareppa Tosappe Wali Sultan Ismail Tuminanga ri Somba Opu (1709-1711)
 I Mappaurangi Sultan Sirajuddin Tuminang ri Pasi
 I Manrabbia Sultan Najamuddin

Anda mungkin juga menyukai