Anda di halaman 1dari 23

A.

Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Hukum Islam


1. Masa Nabi Muhammad SAW (610 M – 632 M)
Agama Islam sebagai “induk” hukum Islam muncul di semenanjung
Arab. Daerah yang sangat panas, penduduknya yang selalu berpindah-
pindah dana alam yang begitu keras membentuk manusia-manusia yang
individualistis serta hidup dalam klen-klen yang disusun berdasarkan garis
patrilineal yang saling bertentangan. Ikatan anggota klen berdasarkan
pertalian darah dan pertalian adat. Susunan klen yang demikian menuntut
kesetiaan mutlak pada para anggotanya (Ali, 2004).
Oleh karena itulah Nabi Muhammad SAW setelah hijrah dari Makkah ke
Madinah dianggap telah memutuskan hubungan dengan klen yang asli. Oleh
karena itu, beliau diperangi oleh anggota klen aslinya. Pada masa ini,
kedudukan Nabi Muhammad SAW sangatlah penting terutama bagi umat
Islam. Pengakuan terhadap Tuhan Yang Maha Esa tidaklah lengkap bagi
seorang muslim tanpa pengakuan terhadap kerasulan Nabi Muhammad
SAW (Hanafi, 1977).
Konsekuensinya adalah umat Islam haru mengikuti firman-firman Tuhan
yang terdapat dalam Al-Qur’an dan sunnah Nabi Muhammad yang dicatat
dalam kitab-kitab hadist. Melalui wahyu-Nya Allah menegaskan posisi
muhammad dalam rangka agama Islam, yaitu:
a. Kami mengutus Nabi Muhammad untuk menjadi rahmat bagi alam
semesta (Q.s 21:107)
b. Hai orang-orang yang beriman, ikutilah Allah dan ikutilah Rasul-Nya
(Q.s 4:59)
c. Barang siapa yang taat kepada Rasul berarti dia tat kepada Allah (Q.s
4:80)
d. Pada diri Rasulullah terdapat suri tauladan yang baik (Q.s 33:21)
Waktu Nabi Muhammad masih hidup, tugas untuk mengembangkan dan
menafsirkan hukum itu. Terletak pada diri beliau sendiri, melalui ucapan,
perbuatan, sikap diam yang disebut sunnah. Dengan mempergunakan Al-

26
Qur’an sebagai norma dasar Nabi Muhammad SAW memecahkan setiap
masalah yang timbul pada masanya dengan sebaik-baiknya (Ali, 2004).

2. Masa Khulafaurrasyidin (632 M – 662 M)


Dengan wafatnya Nabi Muhammad SAW, maka berhentilah wahyu yang
turun dan demikian halnya dengan sunnah. Kedudukan Nabi Muhammad
sebagai utusan Tuhan tidak mungkin tergantikan, akan tetapi tugas beliau
sebagai pemimpin masyarakat Islam dan Kepala Negara harus tetap
dilanjutkan. Maka dari itu peran Nabi digantikan oleh seorang khalifah dari
kalangan sahabat Nabi (Ali, 2004).
Tugas utama seorang khalifah adalah menjaga kesatuan umat dan
pertahanan Negara. Memiliki hak memaklumkan perang dan membangun
tentara untuk mnjaga keamanan dan batas Negara. Menegakkan keadilan
dan kebenaran serta berusaha agar semua lembaga Negara memisahkan
antara yang baik dan yang tidak baik, melarang hal-hal yang tercela menurut
Al-Qur’an, mengawasi jalannya pemerintahan, menarik pajak sebagai
sumber keuangan Negara dan tugas pemerintah lainnya. Khalifah yang
pertama dipilih adalah Abu Bakar Siddiq. Masa pemerintahan pada masa
Khulafaurrasyidin sangatlah penting karena dijadikan model atau contoh
pada generasi-generasi berikutnya (Ali, 2004).
Pada masa pemrintahan Abu Bakar, dibentuk panitia khusus yang
bertugas untuk mengumpulkan catatan ayat-ayat Al-Qur’an yang telah
ditulis dijaman Nabi pada bahan-bahan darurat seperti pelepah kurma dan
tulang-tulang unta kemudian menghimpunnya dalam satu naskah.
Khalifah kedua adalah Umar Bin Khatab yang melanjutkan perjuangan Abu
Bakar untuk memperluas daerah Islam sampai ke Palestina, Sirya. Irak dan
Persia. Contoh ijtihad Umar adalah menurut (Q.s 5:38). Orang yang
mencuri, diancam dengan hukuman potong tangan. Dimasa pemerintahan
Umar terjadi kelaparan dan masyarakat disemenanjung Arabia, dalam
keadaan itu ancaman terhadap pencuri tersebut tidak dilaksanakan oleh
khalifah Umar berdasarkan pertimbangan keadaan darurat dan demi
kemaslahatan jiwa masyarakat. Selanjutnya yaitu pada masa khalifah
Utsman Bin Affan. Pada masa khalifah Ustman terjadi nepotisme karena
kelemahannya. Dimasa pemerintahannya perluasan daerah Islam diteruskan
ke barat sampai ke Maroko, ke timur menuju India dan ke utara bergerak ke
arah konstantinopel. Ustman menyalin dan membuat Al-Qur’an standar
yang disebut modifikasi Al-Qur’an. Setelah Ustman wafat, yang
menggantikan posisi sebagai Khalifah adalah Ali bin Abi Thalib yang tidak
lain adalah keponakan dari Rasulullah. Pada masa pemerintahannya Ali
tidak dapat berbuat banyak untuk mengembangkan hukum Islam karena
keadaan Negara sedang tidak stabil. Tumbuh bibit-bibit perpecahan yang
serius dalam tubuh umat Islam, yang bermuara pada perang saudara yang
kemudian menimbulkan kelompok-kelompok (Ali, 2004).

3. Masa Pembinaan, Pengembangan dan Pembukuan (Abad VII – X M)


Pada masa ini lahir para ahli hukum Islam yang menemukan dan
merumuskan garis garis hukum Islam, serta muncul terori-teori yang masih
dianut oleh umat Islam sampai sekarang. Banyak fakta yang memungkinkan
pembinaan dan pengembangan pada periode ini, yaitu:
a. Wilayah Islam sudah sangat luas, tinggal berbagai suku bangsa dengan
asal-usul, adat istiadat dan berbagai kepentingan yang berbeda. Untuk
dapat menentukan itu maka ditentukan kaidah atau norma bagi suatu
perbuatan tertentu guna memecahkan suatu masalah yang timbul dalam
masyarakat.
b. Telah ada karya-karya tentang hukum yang digunakan sebagai bahan
untuk membangun serta mengembangkan hukum fiqih Islam.
c. Telah ada para ahli yang mampu berijtihad memecahkan berbagai
masalah hukum dalam masyarakat. Selain perkembangan pemikiran
hukum pada periode ini lahir penilaian mengenai baik buruknya
mengenai perbuatan yang dilakukan oleh manusia yang terkenal dengan
Al-Ahkam Al-Khamsah (Ali, 2004).
4. Masa Kelesuan Pemikiran (Abad X – XIX M)
Pada masa ini ahli hukum tidak lagi menggali hukum fiqih dari
sumbernya yang asli tetapi hanya sekedar mengikuti pendapat-pendapat
yang telah ada dalam mazhabnya masing-masing. Yang menjadi ciri umum
pemikiran hukum dalam masa ini adalah para ahli hukum tidak lagi
memusatkan usahanya untuk memahami prinsip-prinsip atau ayat-ayat
hukum yang terdapat pada Al-Qurr’an dan sunnah, tetapi pikirannya
ditumpukan pada pemahaman perkataan-perkataan, pikiram-pikiran hukum
para imamnya saja. Faktor-faktor yang menyebabkan kemunduran atau
keluesan hukum Islam dimasa itu adalah:
a. Kesatuan wilayah Islam yang luas telah retak dengan munculnya
berbagai Negara baru.
b. Ketidakstabilan politik.
c. Pecahnya kesatuan kenegaraan atau pemerintah menyebabkan
merosotnya kewibawaan pengendalian perkembangan hukum.
d. Gejala kelesuan berfikir timbul dimana-mana dengan demikian
perkembangan hukum Islam pada periode ini menjadi lesu.
(Ali, 2004)

5. Masa Kebangkitan Kembali (Abad XIX – Sekarang)


Setelah mengalami kelesuan dalam beberapa abad lamanya, pemikiran
islam telah bangkit kembali, timbul sebagai reaksi terhadap sikap taklid
tersebut yang telah membawa kemunduran hukum Islam. Pada abad XIV
telah muncul seorang mujtahid besar yang menghembuskan udara baru
dalam perkembangan hukum Islam yang bernama Ibnu Taimiyyah (1263 –
1328) dan muridnya Ibnu Qayyim al Jaujiyyah (1292 – 1356) walau pola
pemikiran mereka dilanjutkan pada abad ke XIIV oleh Muhammad Ibnu
Abdul Wahab (1703 – 1787) yang terkenal dengan gerakan Wahabi yang
memiliki pengaruh pada gerakan-gerakan para ahli hukum yang
menyaranakan kembali pada Al-Qura’an dan sunnah (Ali, 2004).
Ijtihad-ijtihad yang dilakukan oleh ketiga mujtahid tersebut kemudian
dilanjutkan oleh Jamaluddin Al-Afgani (1839 – 1897) terutama dalam
lapangan politik. Jamaludin inilah yang memasyhurkan Al-Qur’an:
Sesungguhnya Allah tidak akan merubah nasib satu bangsa jika bangsa itu
sendiri tida (terlebih dahulu) berusaha mengubah nasibnya sendiri (Q.s Ar-
Ra’du (13) : 11). Ayat tersebut dipakai untuk menggerakan kebangkitan
umat Islam yang pada umumnya dijajah oleh bangsa Barat pada waktu
tersebut. Oeleh karena penyebab utama dari kemunduran itu adalah pe
jajajhan bangsa Barat terhadap dunia Islam, maka Al-Afgani berpendapat
bahwa agar umat Islam dapat maju kembali. Maka penjajahan bangsa Barat
ini harys dilenyapkan terlebh dahulu. Untuk itu maka Al-Afgani menyimpan
ide monumentalnya yang sangat terkenal sampai saat ini yaitu Pan
Islamisme yang artinya persatuan seluruh umat Islam (Ali, 2004).

A. Sejarah Pertumbuhan Dan Perkembangan Hukum Islam Di Indonesia


Tidak dapat dipungkiri bahwa umat islam di indonesia adalah unsur paling
mayoritas dalam tataran dunia Islam internasional, umat Islam Indonesia
bahkan dapat disebut sebagai komunitas muslim paling besar yang berkumpul
dalam satu batas teritorial kenegaraan. Maka dari hal-hal yang telah diuraikan
dalam latar belakang diatas maka ada beberapa pengidentifikasian masalah
mengenai hal tersebut, yaitu bagaimana pertumbuhan serta perkembangan
hukum Islam di Indonesia pada:
1. Masa Prapenjajahan Belanda
Menururt J.C van Luer, diperkirakan sejak tahun 674 M ada koloni-
koloni Arab di barat laut Sumatra, yaitu Bairus, daerah penghasil kapur
yang terkenal. Dari berita Cina bisa diketahui bahwa di masa Dinasti Tang
(9-10 M) orang-orang Ta-Shih sudah ada di Sumatra. Ta-Shih adalah
sebutan untuk orang-orang Arab dan Persia, yaitu ketika itu sudah jelas
menjadi muslim. Perkembangan pelayaran dan perdagangan yang bersifat
internasional antara negri-negri Asia bagian baorat dan timur mungkin
disebabkan oleh kegiatan kerajaan Islam di bawah Bani Umayyahdi bagian
barat dan kekaisaran Cina zaman Dinasti Tang, serta kerajaan Sriwijaya di
Asia Tenggara (Yatim, 2003).
Perkembangan hukum Islam di kerajaan-kerajaan Islam di nusantara
dapat dijelaskan sebagai berikut:
a. Perkembangan hukum Islam di Sumatera
1) Kerajaan Samudra Pasai
Kesultanan Samudra Pasai memrupakan kerajaan islam pertama di
Indonesia yang terletak di pesisir pantai utara Sumatra, sektra Kota
Lhokseumawe (sekarang Aceh Utara). Kerjaan Samudra Pasai
merupakan kerajaan maritim yang telah mengadakan hubungan
dengan Sultan Delhi di India pada pelayaran kerajaan. Kerajaan ini
didirikan oleh Merah Silu, yang bergelar Malik al Shalih sekitar tahun
1267 dan berakhir dengan dikuasainya Pasai oleh Portugis pada tahun
1521 (Rahmat, 1999).
Menurut Ibnu Battutah, Kerajaan Samudra Pasai mempunyai peran
yang sangat peting dalam pengislaman Malaka maupun pilau Jawa.
Bahkan menurut Ibnu Battutah, Sultan al Malik az Zahir adalah
pecinta theologi dan ia senantiasa menerangi orang kafir yang
menjadikan mereka memeluk agama Islam (Rahmat, 1999).
Kerajaan Samudra Pasai merupakan pusat studi agama Islam dan
tempat berkumpulnya para ulama dari berbagai negara Islam. Mazhab
hukum Islam yang berkembang di Kerajaan Samudra Pasai yaitu
Mazhab Syafi’I (Rahmat, 1999).
2) Kerajaan Aceh
Kesultanan Aceh merupakan kelanjutan dari Samudra Pasai yang
telah di taklukkan oleh Portugis (14 M). Kerajaan Aceh terletak di
utara pulau Sumatra dengan ibu kota Kutaraja (Banda Aceh). Dalam
sejarahnya yang panjang itu (1496-1903), Aceh telah telah mengukir
masa lampaunya dengan begitu megah dan menakjubkan, terutama
karena kemampuan untuk mengembangkan pola dan sistem
pendidikan militer, komitmennya untuk menentang imperialisme
bangsa Eropa, sistem pemerintahan yang teratur dan sistematik,
mewujudkan pusat-pusat pengkajian ilmu pengetahuan, hingga
kemampuannya dalam menjalin hubungan diplomatik dengan negara
lain. Pada waktu itu Aceh berhasil mengadakan kerjasama militer
dengan Turki dan Italia (Rahmat, 1999).
Mazhab hukum Islam yang berkembang di Kerajaan Aceh adalah
Mazhab Syafi’i. Dalam bidang kesutraan dan ilmu agama, Aceh telah
melahirkan beberapa ulama ternama, yang karangan mereka menjadi
rujukan utama dalam bidang masing-masing. Adapun satrawan
sekaligus ulama tersebut adalah Hamzah Fanzuri dalam bukunya
Tabyan Fi Ma’rifati al-Adyan, Syamsudin al-Sumatrani dalam
bukunya Mi’raj al-Muhakikin al-Iman, Nurrudin ar-Raini dalam
bukunya Sirat al-Mustaqim dan Syekh Abdul Rauf Singkili dalam
bukunya Mi’raj (Rahmat, 1999).
Kemunduran Kesultanan Aceh bermula sejak kemangkatan Sultan
Iskandar Tsani pada tahun 1641. Adapun yang menjadi faktor
penyebabnya antara lainn ialah makin menguatanya kekuasaan
Belanda di pulau Sumatra dan Selat Malaka, ditandai dengan jatuhnya
wilayah Minangkabau, Siak, Deli, dan Bengkulu kepada belanda.
Faktaor penting lainnya adalah adanya perebutan kekuasaan diantara
pewaris tahta kesultanan. Setelah melakukan perang dengan negeri
Belanda maupun Batavia selama 40 tahun, Kesultanan Aceh jatuh ke
pangkuan kolonial Hindia-Belanda. Sejak kemerdekaan Indonesia
pada tahun 1945, Aceh menjadi bagian dari Republik Indonesia
(Rahmat, 1999).

b. Perkembangan Hukum Islam di Jawa


Perkembangan Islam di Jawa tidak bisa dipisahkan dari peranan wali,
jumlah wali yang terkenal sampai sekarang adalah sembilan, yang dalam
bahasa dikenal dengan sebutan wali songo (Rahmat, 1999).
1) Kerajaan Demak
Kesultanan Demak adalah kerajaan Islam pertama di Jawa yang
didirikan oleh Raden Patah pada tahun 1478. Raden Patah adalah
putra Raja Majapahit Brawijaya, dengan ibu keturunan Champa.
Raden Patah meninggal pada tahun 1518 dan digantikan oleh
menantunya Pati Unus. Pada tahun 1521 Pati Unus memimpin
penyerbuan ke Malaka melawan pendudukan Portugis. Pati Unus
gugur dalam pertempuran ini, dan digantikan oleh adik iparnya Sultan
Trenggono (Rahmat, 1999).
Sultan Trenggono sangat berjasa dalam penyebaran Islam di Jawa
Timur dan Jawa Tengah. Dalam kepemimpinannya Demak mulai
menguasai daerah-daerah Jawa lainnya seperti merebut Sunda Kelapa
dari Pajajaran serta menghalau Portugis yang akan mendarat di sana
(1527), Tuban (1527), Madiun (1529), Surabaya dan Pasuruan (1527),
Malang (1545), dan Blambangan (kerajaan Hindu terakhir di ujung
timur pulau Jawa). Panglima perang Demak waktu itu adalah
Fatahillah, pemuda asal Pasai yang juga menjadi menantu Sultan
Trenggono. Sultan Trenggono meninggal pada tahun 1546 dalam
sebuah pertempuran menaklukkan Pasuruan, dan kemudian digantikan
oleh Sunan Prawoto (Rahmat, 1999).
Peninggalan Kerajaan Demak setelah gugur di bidang hukum yang
terpeting adalah disusunnya suatu himpunan undang-undang dan
peraturan di bidang pelaksana hukum yang bernama Salokantara.
Sebagai kitab hukum di dalamnya antara lain menerangkan tentang
pemimpin keagamaan yang pernah menjadi hakim yang disebut
dharmadhyaksa dan kertopapatti (Rahmat, 1999).

2) Kerajaan Mataram
Lahirnya Kerajaan Mataram merupakan anugerah dari raja Pajang
yakni Sultan Adi Wijaya kepada Ki Gede Pamanahan karena telah
berhasil menumpas pemberontakan Aria Panangsang (Rahmat, 1999).
Sebelum Sultan Agung berkuasa, hukum Islam tidak banyak
berpengaruh dikalangan kerajaan. Pada masa Sultan Agung mulai
hidup dan berpengaruh besar di kerajaan tersebut. Hal tersebut dapat
dibuktikan dengan berubahnya tata hukum di Mataram yang
mengadili perkara-perkara yang membahayakan keselamatan kerajaan
(Rahmat, 1999).
Pada pemerintahan Sultan Agung Hanyakokusumo, wilayah
Mataram mencakup hingga pulau Jawa dan Madura. Akibatnya
gesekan dengan VOC yang berpusat di Batavia. Maka terjadilah
peperangan antara Mataram denga VOC. Kekacauan politik akibat
dari Amangkurat II yang patuh terhadap VOC. Kekacauan tersebut
dapat diselesaikan dengan membagi wilayah Mataram menjadi
Kesultanan Ngayogyakarta dan Kasunan Surakarta pada tahun 1755
yang tertuang pada perjanjian Giyanti. Dengan ditanda taginya
perjanjian tersebutmaka berakhirlah era Mataram satu kesatuan politik
dan wilayah (Rahmat, 1999).
3) Kerajaan Cirebon
Cirebon merupakan kerajaan Islam pertama di Jawa Barat. Tome
Peres menyebutkan bahwa Islam sudah ada di Cirebon sekitar 1470-
1475 M. orang yang berhasil meningkatkan status Cirebon menjadi
kerajaan yaitu Syarif Hidayat yang terkenal dengan sebutan Sunan
Gunung Jati, beliaulah pendiri Kerajaan Cirebon (Rahmat, 1999).
Hukum Islam di Kerajaan Cirebon dapat berkembang dengan baik,
terutama hukum-hukum yang berkaitan dengan kekeluargaan. Di
bawah pengaruh dan kepemimpinan Fatahillah, seorang tokoh
walisongo, hukum Islam di Kerajaan Cirebon mengalami
perkembanan pesat. Pesatnya perkembangan Islam dan kuatnya
pengaruh hukum Islam di sana, lapangan hukum tertentu mampu
menggeser hukum jawa kuno sebagai hukum asli penduduk setempat
(Rahmat, 1999).
4) Kerajaan Banten
Pada masa pemerintahan di pegang oleh Yusuf tercatat seorang
ulama yang ikut di dalam gerakan perlawanan terhadap Pakuan.
Ulama tersebut bernama “Molana Judah” (dari Jeddah Arab), berkat
jasa beliaulah hukum Islam di Banten dapat berkembang dengan baik
(Rahmat, 1999).
Perkembangan yang baik tersebut dilanjutkan oleh Muhammad
sebagai penguasa Kerajaan Banten ketiga. Muhammada melakukan
ekspedisi bersenjata ke Palembang guna memperluas daerah Islam.
Keberhasilan politik dari Kerajaan Banten untuk penyebaran Islam itu
meskipum menurut certa memakai kekerasan, ternyata memiliki
pengaruh yang besar bagi perluasan daerah raja-raja Islam di Jawa
Tengah dan Jawa Timur (Rahmat, 1999).

c. Perkembangan Hukum Islam di Kalimantan


Pada abad ke-16, Islam mulai memasuki Kerajaan Sukadana. Di
bagian selatan Kalimantan berdiri Kerajaan Islam Banjar sekitar tahun
1526. pangeran Suriansyah merupakan tokoh yang amat penting dalam
sejarah Islam di Kalimantan. Dalam usaha mengembangkan Islam Syekh
Muhammad Arsyad al-Banjari mendirikan pondok pesantren untuk
menampung santri yang datang dari berbagai plosok Kalimantan. Pada
masa berikutnya muncul seorang pahlawan Kalimantan yang sangat
berjasa dalam mengembangkan Islam, yaitu Sulta Amirudin Khlaifatul
Mukminin yang lebih dikenal dengan pangeran Antasari (Rahmat, 1999).

d. Perkembangan Hukum Islam di Sulawesi


Masuknya Islam di Sulawesi tidak terlepas dari peranan Sunan Giri di
Gresik. Beliau menyelenggarakan pesantren yang banyak didatangi oleh
santri dari luar Jawa, seperti Ternate dan Hitu. Pada abad ke-16 di Sulsel
telah berdiri kerajaan hindu Gowa dan Tallo. Pendudknya banyak yang
memeluk agama Islam karena hubungannya dengan Kesultanan Ternate
(Rahmat, 1999).

e. Perkembangan hukum Islam di Maluku dan Irian Jaya


Penyebaran Islam di Maluku tidak lepas dari jasa para santri Sunan
Drajat yang bersal dari Ternate dan Hitu. Di Maluku ada 4 kerajaan
bersaudara yang berasal dari keturunan yang sama yaitu Ternate, Tidore,
Bacan, Jailolo. Raja Tidore masuk Islam dan mengganti nama menjadi
Sultan Jamaludin. Demikia juga Raja Jailolo, ia masuk Islam dan
mengganti nama menjadi Sultan Hassanudin. Peran Kesultanan Ternate
dalam penyebaran Islam baru dimulai pada masa Sultan Zainal Abidin. Ia
juga berhasil mengembangkan Islam ke Maluku dan Irian Jaya bahkan
sampai ke Filipina (Rahmat, 1999).

2. Masa Penjajahan Belanda


Cikal bakal penjajahan Belanda terhadap kawasan nusantara dimulai
dengan kehadiran Organisasi Perdagangan Dagang Belanda di Hindia
Timur, atau yang lebih dikenal dengan VOC. Sebagai sebuah organisasi
dagang, VOC dapat dikatakan memiliki peran yang melebihi fungsinya. Hal
ini sangat dimungkinkan sebab Pemerintah Kerajaan Belanda memang
menjadikan VOC sebagai perpanjangtangannya di kawasan Hindia Timur.
Karena itu disamping menjalankan fungsi perdagangan, VOC juga mewakili
Kerajaan Belanda dalam menjalankan fungsi-fungsi pemerintahan. Tentu
saja dengan menggunakan hukum Belanda yang mereka bawa (Hutabarat,
2005).
Dalam kenyataannya, penggunaan hukum Belanda itu menemukan
kesulitan. Ini disebabkan karena penduduk pribumi berat menerima hukum-
hukum yang asing bagi mereka. Akibatnya, VOC pun membebaskan
penduduk pribumi untuk menjalankan apa yang selama ini telah mereka
jalankan. Kaitannya dengan hukum islam, dapat dicatat beberapa
“kompromi” yang dilakukan oleh pihak VOC, yaitu:
a. Dalam statuta Batavia yang ditetapkan pada tahun 1642 oleh VOC,
dinyatakan bahwa hukum kewarisan Islam berlaku bagi para pemeluk
agama Islam.
b. Adanya upaya kompilasi hukum kekeluargaan Islam yang telah berlaku
di tengah masyarakat. Upaya ini diselesaikan pada tahun 1760.
Kompilasi ini kemudian dikenal dengan Compendium Frejier.
c. Adanya upaya kompilasi serupa di berbagai wilayah lain, seperti di
Semarang, Cirebon, Gowa dan Bone.
Di Semarang misalnya, hasil kompilasi itu dikenal dengan nama Kitab
Hukum Mogharraer (dari al-Muharrar). Namun, kompilasi yang satu ini
memiliki kelebihan dibanding Compendium Frejier, dimana ia juga memuat
kaidah-kaidah hukum pidana Islam (Hutabarat, 2005).
Pengakuan terhadap hukum Islam ini terus berlangsung bahkan hingga
menjelang peralihan kekuasaan dari Kerajaan Inggris kepada Kerajaan
Belanda kembali. Setelah Thomas Stanford Raffles menjabat sebagai
gubernur selama lima tahun (1811-1816) dan Belanda kembali memegang
kekuasaan terhadap wilayah Hindia Belanda, semakin nampak bahwa pihak
Belanda berusaha keras mencengkramkan kuku-kuku kekuasaannya di
wilayah ini. Namun, upaya itu menemui kesulitan akibat adanya perbedaan
agama antara sang penjajah dengan rakyat jajahannya, khususnya umat
Islam yang mengenal konsep dari al-Islam dan dari al-harb. Itulah sebabnya,
Pemerintah Belanda mengupayakan ragam cara untuk menyelesaikan
masalah itu. Diantaranya dengan menyebarkan agama Kristen kepada rakyat
pribumi dan membatasi keberlakuan hukum Islam hanya pada aspek-aspek
batiniah (spiritual) saja (Hutabarat, 2005).
Bila ingin disimpulkan, maka upaya pembatasan keberlakuan hukum
Islam oleh Pemerintah Hindia Belanda secara kronologis adalah sebagai
berikut:
a. Pada pertengahan abad 19, Pemerintah Hindia Belanda melaksanakan
Politik Hukum yang Sadar, yaitu kebijakan yang secara sadar ingin
menata kembali dan mengubah kehidupan hukum di Indonesia dengan
hukum Belanda.
b. Atas dasar nota disampaikan oleh Mr. Scholten van Oud Haarlem,
Pemerintah Belanda menginstruksikan penggunaan undang-undang
agama, lembaga-lembaga dan kebiasaan pribumi dalam hal
persengketaan yang terjadi di antara mereka, selama tidak bertentangan
dengan asas kepatutan dan keadilan yang diakui umum. Kalusa terakhir
ini kemudian menempatkan hukum Islam di bawah subordinasi dari
hukum Belanda.
c. Atas dasar teori resepsi yang dikeluarkan oleh Snouck Hurgronje,
Pemerintah Hindia Belanda pada tahun 1922 kemudian membentuk
komisi untuk meninjau ulang wewenang pengadilan agama di Jawa
dalam memeriksa kasus-kasus kewarisan (dengan alasan, ia belum
diterima oleh hukum adat setempat).
d. Pada tahun 1925, dilakukan perubahan terhadap Pasal 134 ayat 2
Indische Staatsregeling (yang isinya sama dengan Pasal 78
Regerringsreglement), yang intinya perkara perdata sesama muslim akan
diselesaikan dengan hakim agama Islam jika hal itu telah diterima oleh
hukum adat dan tidak ditentukan lain oleh sesuatu ordonasi.
Lemahnya posisi hukum Islam ini terus terjadi hingga menjelang
berakhirnya kekuasaan Hindia Belanda di wilayah Indonesia pada tahun
1942 (Hutabarat, 2005).

3. Masa Pendudukan Jepang


Setelah Jendral Ter Poorten menyatakan menyerah tanpa syarat kepada
panglima militer Jepang untuk kawasan Selatan pada tanggal 8 Maret 1942,
segera Pemerintah Jepang mengeluarkan berbagai peraturan. Salah satu
diantaranya adalah Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1942, yang
menegaskan bahwa pemerintah Jepang meneruskan segala kekuasaan yang
sebelumnya dipegang oleh Gubernur Jendral Hindia Belanda. Ketetapan
baru ini tentu saja berimplikasi pada tetapnya posisi keberlakuan hukum
Islam sebagaimana kondisi terakhirnya di masa pendudukan Belanda
(Arsida, 2014).
Meskipun demikian, pemerintah pendudukan Jepang tetap melakukan
berbagai kebijakan untuk menraik simpati umat islam di Indonesia,
diantaranya adalah:
a. Janji panglima Militer Jepang untuk melindungi dan memajukan Islam
sebagai agama mayoritas penduduk pulau Jawa.
b. Mendirikan Shumubu (Kantor Urusan Agama Islam) yang dipimpin oleh
bangsa Indonesia sendiri.
c. Mengizinkan berdirinya ormas Islam, seperti Muhammadiyah dan NU.
d. Menyetujui berdirinya Majelis Syura Muslimin Indonesia (Masyumi)
pada bulan oktober 1943.
e. Menyetujui berdirinya Hizbullah sebagai pasukan cadangan yang
mendampingi berdirinya PETA.
f. Berupaya memenuhi desakan para tokoh Islam untuk mengembalikan
kewenangan Pendidikan Agama dengan meminta seorang ahli hukum
adat, Soepomo, pada bulan Januari 1944 untuk menyampaikan laporan
tentang hal itu. Namun upaya ini kemudian “dimentahkan” oleh
Soepomo dengan alasan komplekitas dan menundanya hungga Indonesia
merdeka.
(Arsida, 2014).
Dengan demikian, nyaris tidak ada perubahan berarti bagi posisi hukum
Islam selama pendudukan Jepang di Tanah air. Namun bagaimanapun juga,
masa pendudukan Jepang lebih baik daripada Belanda dari sisi adanya
pengalaman baru bagi para pemimpin Islam dalam mengatur masalah-
masalah keagamaan. Abikusno Tjokrosujoso menyatakan bahwa, kebijakan
pemerintah Belanda telah memperlemah posisi Islam. Islam tidak memiliki
para pegawai di bidang agama yang terlatih di masjid-masjid atau
pengadilan-pengadilan Islam. Belanda menjalankan kebijakan politik yang
memperlemah posisi Islam. Ketika pasukan Jepang datang, mereka
menyadari bahwa Islam adalah sesuatu kekuatan di Indonesia yang dapat
dimanfaatkan (Arsida, 2014).

4. Masa Kemerdekaan 1945


Berakhirnya kolonialisme di Indonesia sekaligus juga mengakhiri fase
represi dan eliminasi terhadap pemberlakuan hukum islam. Kedudukan
hukum islam pada masa kemerdekaan mengalami kemajuan yang berarti.
Meskipun mayoritas masyarakat Indonesia adalah muslim, tetapi bukan hal
yang mudah untuk memberlakukan hukum islam di Indonesia. Pelan tapi
pasti, terjadi formatisasi terhadap hukum islam, sebagai konsekuensi
dipilihnya Pancasila sebagai Ideologi negara (Arsida, 2014).
Meskipun Pendudukan Jepang memberikan banyak pengalaman baru
kepada para pemuka Islam Indonesia, namun pada akhirnya, seiring dengan
semakin lemahnya langkah strategis Jepang memenangkan perang –yang
kemudian membuat mereka membuka lebar jalan untuk kemerdekaan
Indonesia-, Jepang mulai mengubah arah kebijakannya. Mereka mulai
“melirik” dan memberi dukungan kepada para tokoh-tokoh nasionalis
Indonesia. Dalam hal ini, nampaknya Jepang lebih mempercayai kelompok
nasionalis untuk memimpin Indonesia masa depan. Maka tidak
mengherankan jika beberapa badan dan komite negara, seperti Dewan
Penasehat (Sanyo Kaigi) dan BPUPKI (Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai)
kemudian diserahkan kepada kubu nasionalis. Hingga Mei 1945, komite
yang terdiri dari 62 orang ini, paling hanya 11 diantaranya yang mewakili
kelompok Islam (Effendy, 1998).  
Pada fase hukum islam mengalami dua periode, yaitu periode persuasive-
source dan authoritative-source. Periode persuasive adalah periode
penerimaan hukum islam sebagai persuasive, yaitu sumber yang
terhadapnya orang harus yakin dan menerimanya. Semua hasil sidang
BPUPKI adalah sumber persuasive bagi groundwetinterpretatie UUD 1945,
sehingga Piagam Jakarta juga merupakan persuasive-source UUD 1945.
Meskipun dalam UUD 1945 tidak dimuat tujuh kata piagam Jakarta, namun
hukum islam berlaku bagi bangsa Indonesia yang beragama islam
berdasarkan pasal 29 ayat (1) dan (2) (Arsida, 2014).
Atas dasar itulah, Ramly Hutabarat menyatakan bahwa BPUPKI
“bukanlah badan yang dibentuk atas dasar pemilihan yang demokratis,
meskipun Soekarno dan Mohammad Hatta berusaha agar anggota badan ini
cukup representatif mewakili berbagai golongan dalam masyarakat
Indonesia”.
Perdebatan panjang tentang dasar negara di BPUPKI kemudian berakhir
dengan lahirnya apa yang disebut dengan Piagam Jakarta. Kalimat
kompromi paling penting Piagam Jakarta terutama ada pada
kalimat “Negara berdasar atas Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan
syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”. Menurut Muhammad Yamin
kalimat ini menjadikan Indonesia merdeka bukan sebagai negara sekuler
dan bukan pula negara Islam (Hutabarat, 2005).
Dengan rumusan semacam ini sesungguhnya lahir sebuah implikasi yang
mengharuskan adanya pembentukan undang-undang untuk melaksanakan
Syariat Islam bagi para pemeluknya. Tetapi rumusan kompromis Piagam
Jakarta itu akhirnya gagal ditetapkan saat akan disahkan pada tanggal 18
Agustus 1945 oleh PPKI. Ada banyak kabut berkenaan dengan penyebab
hal itu. Tapi semua versi mengarah kepada Mohammad Hatta yang
menyampaikan keberatan golongan Kristen di Indonesia Timur. Hatta
mengatakan ia mendapat informasi tersebut dari seorang opsir angkatan laut
Jepang pada sore hari tanggal 17 Agustus 1945. Namun Letkol Shegeta
Nishijima satu-satunya opsir AL Jepang yang ditemui Hatta pada saat itu-
menyangkal hal tersebut. Ia bahkan menyebutkan justru Latuharhary yang
menyampaikan keberatan itu. Keseriusan tuntutan itu lalu perlu
dipertanyakan mengingat Latuharhary –bersama dengan Maramis, seorang
tokoh Kristen dari Indonesia Timur lainnya- telah menyetujui rumusan
kompromi itu saat sidang BPUPKI (Hutabarat, 2005).
Pada akhirnya, permasalahan yang diterima Islam khususnya legislasi
hukum islam di periode ini, status hukum Islam tetaplah samar-samar. Isa
Ashary mengatakan, Kejadian mencolok mata sejarah ini dirasakan oleh
umat Islam sebagai suatu ‘permainan sulap’ yang masih diliputi kabut
rahasia suatu politik pengepungan kepada cita-cita umat Islam.
Solusi nya adalah Islam khususnya hukum Islam menuntut adanya pihak
yang sangat berwenang dalam legislasinya yang mana pihak tersebut juga
benar-benar bertujuan untuk menegakkan hukum Islam secara menyeluruh
(Hutabarat, 2005).

5. Masa Orde Lama dan Orde Baru


Tidak terlalu keliru jika dikatakan bahwa orde lama adalah eranya kaum
nasionalis dan komunis. Sementara kaum muslim di era ini perlu sedikit
menunduk di perjuangan cita-citanya. Salah satu partai yang mewakili
aspirasi umat islam kala itu, Masyumi harus dibubarkan oleh Soekarno,
dengan alasan tokoh-tokohnya terlibat pemberontakan (PRRI di Sumatera
Barat). Sementara NU yang kemudian menerima manipol, Soekarno
bersama dengan PKI dan PNI kemudian menyusun komposisi DPR Gotong
Royong yang berjiwa Nasakom. BErdasarkan itu terbentuklah MPRS yang
kemudian menghasilkan 2 ketetapan; salah satunya tentang upaya unifikasi
hukum yang harus memperhatikan kenyataan-kenyataan umum yang hidup
di Indonesia. Sejak kemerdekaan hingga tanggal 5 Juli 1959, politik hukum
pemerintah terhadap hukum Islam tergantung pada elite politik yang
menguasai pemerintah, karena politik hukum berdasarkan undang-undang
dasar 1945, Konstitusi Republik Indonesia Serikat, dan Undang-Undang
Dasar Sementara belum pernah dijabarkan. Dalam praktik kenegaraan pada
masa itu tampak politik hukum berdasarkan visi dari kelompok yang
dominan. Hal itu terlihat dari asas peraturan pemerintah nomor 45 tahun
1957 tentang mahkamah Sayr’iyah di luar Jawa-Madura dan Kalimantan
Selatan (Sjadzali, 1991).
Pada masa orde lama, yaitu setelah dekrit presiden pada tanggal 5 Juli
1959, politik hukum pemerintah terhadap hukum Islam tampak lebih maju.
Unsur-unsur hukum agama termasuk hukum islam di-indah kan,
sebagaimana politik hukum Belanda pada tahun 1919. Hal ini dapat
disimpulkan dari pasal 5 Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria yang berbunyi “Hukum agrarian
yang berlaku atas bumi, air, dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang
tidak bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang
berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta
dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini dan
dengan peraturan perundangan lainnya, segala sesuatu dengan
mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama.”
Meskipun hukum islam adalah salah satu kenyataan umum yang selama
ini hidup di Indonesia, atas dasar itu Tap MPRS tersebut membuka peluang
untuk memposisikan hukum islam sebagaimana mestinya, namun lagi-lagi
ketidakjelasan batasan “perhatian” itumembuat hal ini semakin kabur dan
peran hukum islam di era ini pun tidak mendapat tempat yang semestinya.
Meskipun kedudukan hukum islam sebagai salah satu sumber hukum
nasional tidak begitu tegas namun untuk mempertegas tetap dilakukan.
Banyak pemimpin islam Indonesia yang sempat menaruh harapan besar
dalam upaya politik mereka mendudukkan islam sebagaimana mestinya
dalam tatanan politik maupun hukum di Indonesia (Sjadzali, 1991).
Era Orde Baru dimulai sejak keluarnya Surat Perintah Sebelas Maret
(Supersemar) pada Tahun 1966, yang menjadi dasar terjadi peralihan
kekuasaan dari penguasa pemerintahan Orde Lama (Soekarno) kepada
penguasa pemerintahan baru (Soeharto). Pada awalnya pemerintahan Orde
Baru diharapkan dapat memberikan harapan baru, bagi dinamika
perkembangan hukum Islam di Indonesia. Harapan ini muncul setidaknya
disebabkan oleh kontribusi yang cukup besar diberikan umat Islam dalam
menumbangkan rezim Orde Lama (Thaba, 1996).
Namun realitanya, keinginan dan harapan umat Islam untuk
mengembangkan dan mentransformasikan nilai-nilai hukum Islam ke dalam
produk perundang-undangan pada masa ini mengalami kendala yang cukup
besar, karena bertentangan dengan strategi pembangunan penguasa
pemerintahan Orde Baru. Pada masa ini peranan partai-partai politik
dimarginalkan, termasuk pembicaraan tentang masalahmasalah yang
berkaitan dengan ideologi (selain Pancasila) ditabukan, terutama ideologi
ideologi yang bersifat keagamaan (Thaba, 1996).
Jika ditelaah lebih lanjut, era Orde Baru dapat dikatakan menjadi titik
tolak bagi perkembangan dan pengakuan yang lebih konkrit oleh negara
terhadap keberadaan dan keberlakuan hukum Islam di Indonesia. Pada masa
pemerintahan Orde Baru sempat dikeluarkan beberapa peraturan perundang-
undangan yang berkaitan langsung dengan keberadaan hukum Islam di
Indonesia, seperti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, Peraturan Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 tentang Wakaf,
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Peradilan Agama, dan Undang-
Undang No.7 Tahun 1992 tentang Perbakan.
a. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan disahkannya Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 tentang
Perkawinan, maka dapat dikatakan bahwa mulai sejak saat itu
perkembangan hukum Islam di Indonesia khususnya dalam bidang
hukum materil, telah menampakkan wujudnya secara nyata. Kelahiran
Undang-Undang Perkawinan ini merupakan babak baru pengakuan
terhadap keberadaan hukum Islam dalam tata hukum di Indonesia, karena
pada masa ini dapat disebut sebagai fase taqnin (fase pengundangan)
ketentuan-ketentuan ajaran Islam tentang perkawinan yang sebelumnya
hanya ditelaah dan tersebar dalam kitab-kitab fikih, kemudian berhasil
ditransformasikan ke dalam peraturan perundang-undangan yang legal
dan berlaku positif, meskipun terdapat modifikasi di sana sini (Nuruddin
& Tarigan, 2004)
b. Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang Wakaf
Lahirnya Peraturan Pemerintah No. 28 Tahun 1977 tentang
Perwakafan Tanah Milik ini, menjadi babak baru perkembangan hukum
Islam di Indonesia khususnya dalam pengelolaan harta wakaf. Peraturan
Pemerintah Nomor 28 Tahun 1977 menjadikan pengelolaan harta wakaf
di Indonesia lebih tertib dan teratur dari masa sebelumnya, karena
Peraturan Pemerintah tentang wakaf memuat substansi dan teknis
perwakafan yang harus dijalankan oleh instansi pemerintah dan
masyarakat. Dengan ditetapkan peraturan wakaf yang baru ini maka
semua peraturan yang mengatur tentang perwakafan sebelumnya,
dinyatakan tidak berlaku lagi sepanjang bertentangan dengan Peraturan
Pemerintah No. 28 Tahun 1977. Peraturan pemerintah ini juga telah
menempatkan ketentuan hukum mengenai harta wakaf di Indonesia
menjadi lebih kuat dari sebelumnya (Djalil, 2006)

c. Undang-Undang No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama


Disahkannya Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan
Agama, telah membawa perubahan penting bagi perkembangan hukum
Islam di Indonesia. Pengakuan terhadap keberadaan lembaga peradilan
agama yang sejajar dengan badan peradilan lainnya di Indonesia, pada
hakikatnya dapat dikatakan sebagai pengakuan secara formal dari
pemerintah terhadap keberadaan dan pelaksanaan hukum Islam.
UndangUndang Peradilan Agama telah membawa perubahan penting dan
mendasar bagi lingkungan peradilan agama, di antara perubahan tersebut
menurut Daud Ali adalah sebagai berikut:
1) Peradilan agama telah menjadi peradilan mandiri, kedudukannya
benar-benar telah sejajar dan sederajat dengan peradilan umum,
peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara.
2) Nama, susunan dan wewenang (kekuasaan) serta hukum acaranya
telah sama dan seragam di seluruh Indonesia. Terciptanya unifikasi
hukum acara peradilan agama itu, akan memudahkan terwujudnya
ketertiban dan kepastian hukum yang berintikan keadilan dalam
lingkungan peradilan agama.
3) Perlindungan kepada wanita telah ditingkatkan dengan jalan antara
lain, memberikan hak yang sama kepada isteri dalam membela
kepentingannya di muka peradilan agama.
4) Lebih memantapkan upaya penggalian berbagai asas dan kaidah
hukum Islam, sebagai salah satu bahan baku dalam penyusunan dan
pembinaan hukum nasional melalui yurisprudensi.
5) Terlaksananya ketentuan-ketentuan dalam Undang-Undang Pokok
Kekuasaan Kehakiman Tahun 1970.
6) Terselenggaranya pembangunan hukum nasional berwawasan
nusantara yang sekaligus berwawasan Bhinneka Tunggal Ika dalam
bentuk Undang-Undang Peradilan Agama (Ali, 1997).

d. Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 tentang Perbankan.


Peraturan hukum mengenai perbankan pada masa Orde Baru ini,
memang tidak menyebut secara jelas tentang keberadaan bank Islam
dalam pasal-pasalnya. Namun penyebutan kalimat “bank berdasarkan
prinsip bagi hasil” di dalam beberapa peraturan hukum tersebut, menjadi
lebih jelas menunjuk kepada bank Islam, setelah melihat dan memahami
penjelasan Pasal 1 ayat (1) Peraturan Pemerintah No. 72 Tahun 1992
tentang Bank Berdasarkan Prinsip Bagi Hasil, karena sangat jelas
disebutkan bahwa yang dimaksud dengan prinsip bagi hasil adalah
prinsip muamalat berdasarkan syari‟at dalam melakukan kegiatan usaha
bank. Melihat ketentuan-ketentuan yang ada dalam Peraturan Pemerintah
No. 72 Tahun 1992, keleluasaan untuk mempraktekkan gagasan
perbankan berdasarkan syari‟at Islam terbuka seluas-luasnya, terutama
berkenaan dengan jenis transaksi yang dapat dilakukan.
Saat berlakunya Undang-Undang No. 7 Tahun 1992 perkembangan
perbankan syari‟ah masih sangat terbatas, namun hal ini merupakan
salah satu tonggak sejarah yang sangat penting khususnya di dalam
kehidupan umat Islam dan pada umumnya bagi perkembangan Hukum
Nasional. Undang-Undang Perbankan No. 7 Tahun 1992 membawa era
baru dalam sejarah perkembangan hukum ekonomi di Indonesia.
Undang-undang tersebut memperkenalkan “sistem bagi hasil” yang tidak
dikenal dalam Undang-Undang perbankan Islam di Indonesia, sudah
mulai menunjukkan eksistensi dan legalitasnya sejak masa pemerintahan
Orde Baru. Meskipun belum mendapat tempat dan porsi yang memadai
dan tegas dalam perauran hukum perbankan pada masa itu, namun
embrio dan pengakuan tentang keberadaan bank Islam di Indonesia sudah
mulai nampak (Badrulzaman, 1994).

6. Masa Reformasi
Era reformasi ditandai dengan berakhirnya era orde baru yang dipimpin
oleh Suharto sebagai presiden republik Indonesia. Turunnya Presiden
Suharto dari tampuk pemerintahan pada tanggal 21 Mei 1998 sekaligus
membuka era baru bagi Indonesia , sebagai populasi muslim terbanyak di
dunia, yang menuntut peran muslim dalam ranah ekonomi, hukum dan
poliitik. Hal ini terlihat dengan munculnya 48 partai politik, yang
sebelumnya pada masa Suharto hanya 3 parpol, 19 diantaranya adalah
partai Islam. Juga, pada masa ini, asas tungal tidak diberlakukan lagi
(Nadirsyah, 2007).
Sejak pemberlakuan asas tunggal dicabut, baik ormas maupun orsospol
yang sebelumnya berasas Islam, namun karena penyeragaman asas tunggal,
kini kembali kepada asas Islam. Dari kesemua partai yang ikut dalam
pemilu 1999, tidak sedikit partai yang berasaskan Islam. Di sinilah, partai-
partai Islam semisal PPP dan PBB kembali mengusungkan pemberlakuan
syariat di indonesia dalam konstitus, dengan mengamandemen pasal 29
UUD, namun kandas ditengah jalan. Suara mereka yang tidak lebih dari 12
persen (sekitar 71 kursi) di parlemen, harus menerima kekalahan
(Nadirsyah, 2007).
Meskipun hukum Islam tidak berkembang lewat jalur struktural partai,
namun hukum Islam pada era reformasi sebagai kelanjutan dari era
sebelumnya dapat berkembang pesat melalui jalur kultural. Hal itu terjadi
sebagai konsekuensi logis dari kemajuan kaum muslim di bidang ekonomi
dan pendidikan (Sudirman, 2001).
Perkembangan Islam budaya pada era reformasi diikuti perkembangan
hukum Islam secara kultural. Keadaan tersebut ditunjang oleh lahirnya
beberapa undang-undang sebagai hukum positif Islam, yaitu UU No. 17
Tahun 1999 tentang penyelenggaraan haji, dan UU No. 38 Tahun1999
tentang pengelolaan zakat (Warkum, 2005).
Pada awal reformasi, kebijakan arah dan tujuan bangsa Indonesia diatur
dalam GBHN tahun 1999. Dengan berlakunya GBHN tahun 1999 ini,
hukum Islam mempunyai kedudukan lebih besar dan tegas lagi untuk
berperan sebagai bahan baku hukum nasional. Perkembangan hukum
nasional pasca reformasi mencakup tiga elemen sumber hukum yang
mempunyai kedudukan yang sama dan seimbang yaitu hukum adat, Barat
dan Islam. Ketiganya berkompetisi bebas dan demokratis, bukan pemaksaan
A. Penutup
1. Sejarah pertumbuhan dan perkembangan hukum Islam di Indonesia tidak
terlepas dari bagaimana Islam itu masuk ke wilayah Indonesia serta
penerapan hukum hukum Islam tersebut pada seluruh masyarakat di
Indonesia.
2. Sejarah hukum Islam dimulai pada masa Nabi Muhammad hingga sampai
sekarang mengalami naik turun serta berbagai perubahan agara hukum
tersebut menjadi lebih berkembang pada arah yang lebih baik.
3. Sejarah hukum Islm di Indonesia dimulai dari sebelum Indonesia di jajah
oleh bangsa Barat yaitu Belanda dan Jepang hingga seteleh masa
kemerdekaan.

Anda mungkin juga menyukai