Anda di halaman 1dari 14

JARINGAN ULAMA: PENYEBARAN DAN PEMBAHARUAN PENDIDIKAN ISLAM

DI NUSANTARA

A. Pendahuluan

Tersebarnya agama Islam ke berbagai pelosok dunia adalah disebabkan oleh berbagai faktor,
baik sosial, politik maupun agama, akan tetapi di samping itu, satu faktor yang paling kuat dan
menentukan adalah kemauan dan kegiatan yang tak kenal lelah dari para mubaligh Islam, dengan Nabi
sendiri sebagai contoh utamanya telah berjuang mengajak orang-orang kafir masuk Islam ( Thomas
Amold, 1979: 2). Berbagai teori telah dikemukakan mengenai hal itu. Namun tampaknya penyebaran
Islam di Nusantara tak lepas dari teori-teori berikut, yakni: 1) teori perdagangan Islam; 2) teori mubaligh
Islam; 3) teori tasawuf Islam; 4 ) teori politik; 5 ) teori ante Nasrani; dan 6 ) teori keunggulan agama
Islami (Liow Yock Fang, 2011: 236 ).

Teori-teori tersebut diduga didasarkan pada konteks zamannya. Di awal awal kedatangan Islam
ke Nusantara, barangkali teori perdagangan, teori mubaligh Islam, dan teori keunggulan agama Islam
lebih dominan. Dikemukakan oleh Snock Hurgronje bahwa tali perdagangan antara negeri-negeri Islam
India dengan kepulauan ndonesia, telah banyak menetap di kota-kota pelabuhan Sumatera, di mana
mereka menanamkan bibit agama Islam ( Thomas Amold : 318 ). Proses ini dipercaya sudah berlangsung
sejak awal kedalangan Islam di kepulauan Nusantara (Indonesia). Dalam beberapa literatur dijelaskan
bahwa Islam sudah masuk ke wilayah Nusantara sekitar abad ke-7 Masehi ( Muhammad Syamsu, 1996
32). Prof. Dr. H. Aboebakar Aceh menulis orang-orang Arab baru mendapati Sumatera Utara dalam
tahun 848 dan 950 Masehi, berturut-turut Rami. Al- Ramni, Alrami, Lamari atau Lamari dan Lemuri (H.
Aboebakar Aceh : 17).1985). Meskipun baru pada abad ke-9 para ahli ilmu burni Arab menyebut-nyebut
kepulauan Indonesia dalam tulisan-tulisan mereka, namun tarikh Cina pada tahun 674 M telah mencatat
tentang pemimpin Arab yang mengepalai rombongan orang-orang Arab yang menetap di pantai barat
Sumatera ( Thornas Amold, 1979: 318 ). Dalam kesimpulan seminar masuknya Islam ke Indonesia di
Medan, tanggal 20 Maret 1963, dikemukakan: 1) Islam masuk ke Indonesia pada abad pertama Hijriyyah
(abad ke 7 Masehi ) dari Arab; 2) Daerah yang pertama kali didatangi adalah Sumatera, dan bahwa
setelah terbentuknya masyarakat Islam, maka Raja Islam yang pertama berada di Aceh, 3) Para mubaligh
Islam yang lama-lama itu selain sebagai penyiar agama juga sebagai saudagar; 4) bahwa penyiaran Islam
itu di Indonesia dilakukan dengan cara damai dan 5 ) kedatangan Islam ke Indonesia itu membawa
kecerdasan dan juga sebagai saudagar, 4) bahwa penyiaran Islam itu di Indonesia dilakukan dengan cara
damai dan 5 ) kedatangan Islam ke Indonesia itu membawa kecerdasan dan peradaban yang tinggi
dalam membentuk kepribadian bangsa Indonesia (PanitiaSeminar Masuknya Islam ke Indonesia, 1963:
265).

Memang penyebaran Islam pada priode- priode awal ini, peran para pedagang Muslim terlihat
paling dominan dengan pendekatan kebudayaan Prosesnya berlangsung melalui konsep sejarah,
penetration pasifique " pemasukan secara damai." Unsur-unsur kebudayaan asing (Islam-pen. ) dibawa
oleh para pedagang ke dalam kebudayaan penerima ( masyarakat Indonesia - pen) dengan tidak sengaja
atau tanpa paksaan ( Koentjaraningia, 2009: 200 ). Proses ini agaknya sejalan dengan salah satu teori
keunggulan agama Islam, yakni Islam mengajarkan kesamarataan (equality ) dan persaudaraan antara
sesame penganutnya. Ini menarik sekali, jika dibandingkan dengan agama Hindu yang membeda-
bedakan kasta (Liaw Yook Fang, 2011:236)

Atas usaha da'wah dari pedagang. pedagang Arab dan India inilah umat Islam Indonessia
memperoleh eksistensinya. Dengan menetap di kota-kota pusat perdagangan mereka mengawini
wanita-wanita setempat, dan istri-istri mereka beserta pembantu pembantu rumah tangga mereka
inilah yang menjadi inti masyarakat Islam, di mana anggota-anggotanya menggunakan segala
kesempatan dan kekuatan untuk memperkembangkan dirinya ( Thomas Amold : 318 ). Di sini terlihat
penyiaran Islam bergerak mulai dari pembentukan keluarga batih. Anggota keluarga menjadi
tanggungjawab seseorang. Hal tak lepas posisi Islam sebagai agama da'wah.

Max Muller membagi agama ke dalam dua golongan, yakni agama da'wah dan agama non-
da'wah. Agama Budha, Kristen dan Islam termasuk golongan agama da'wah. Sedangkan Yahudi, Brahma
dan Zoroaster masuk golongan agama non- da'wah. Thomas Amold melukiskan seputar agama da'wah
ini dengan mengutip pendapat Max Muller dimaksud dari artikel Mr. Lyall " Missionary Religious sebagai
berikut:

Istilah agama da'wah, ialah agama yang di dalamnya, usaha menyebar- luaskan kebenaran dan
mengajak orang-orang yang belum mempercayainya dianggap sebagai tugas suci oleh pendiri
atau penggantinya. Semangat memperjuangkan kebenaran itulah yang tak kunjung padam dari
jiwa para penganutnya sehingga kebenaran itu terwujud dalam fikiran, kata kata dan perbuatan,
semangat yang membuat mereka merasa tidak puas sampai berhasil menanamkan nilai-nilai
kebenaran itu ke dalam jiwa setiap crang, sehingga apa yang diyakini sebagai kebenaran diterima
oleh seluruh manusia. ( Thomas Amols:1).

Merujuk rangkaian fakta fakta sejarah, serta pernyataan pernyataan di yang dikemukakan di
atas terjelaskan, bahwa para pedagang ulama memiliki peran yang dominan dalam penyebaran agama
Islam di Nusantara. Seiring dengan itu juga maka terbentuk pula landasan dasar dari institusi dasar
pendidikan Islam, yakni rumah tangga Islami. Baru pada tahap-tahap berikutnya, pendidikan Islam
terbentuk sebagai sebuah sistem. Perjalanan yang cukup panjang dan penuh dengan pengorbanan ini
mengindikasikan ada semacam jaringan antara sesama ulama Indonesia, serta jaringan antar ulama
Indonesia dengan ulama di Dunia Islam Diperkirakan pada alur jaringan ini pula ulama Indonesia
melakukan aktivitas penyebaran, maupun pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia.

B. Peran Haji Mukim dan Kesultanan

Ketika Belanda menguasai Nusantara, diduga pendidikan Islam masih mendominasi sistem
pendidikan dan pengajaran masyarakat. Seperti diketahui, baru pada tahun 1563, Antonio Galvani
( Portugis ) mendirikan sekolah seminari untuk anak- anak Bumiputera di Maluku. Sekolah ini kemudian
ditutup setelah VOC ( Vorebigde Oost Compagnie ) merebut kepulauan itu dari tangan Portugis, dan
para paderi-paderinya diusir (Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan
Depdikbud, 1979: 31-41 ). Dengan demikian pranata pendidikan Islam masih tetap menjadi satu-
satunya pranata pendidikan yang ada di Nusantara.

Semenjak kolonial berkuasa, mereka telah dihadapkan dengan berbagai macam kesulitan politis,
baik itu secara administrative ( Aqib Suminto. 1985: 6), maupun juga militer (Fachran Bukin, 1979: 9),
terutama karena adanya faktor agama yang berbeda. Di bidang pendidikan, kolonial Belanda
dihadapkan dengan pranata pendidikan Islam, yaitu pondok pesantren yang merupakan komunitas
kaum santri ( Clifford Geertz, 1979 :6), sebagai suatu kekuatan spiritual yang berpengaruh terhadap
rakyat. Maka diantara upaya Belanda adalah dengan memperkecil pengaruh itu, dan seiring dengan
pelaksanaan politik Etis, usaha untuk membangun sekolah pemerintah yang netral agama, semakin
ditingkatkan

Dalam penilaian pemerintah kolonial Belanda hubungan antara pesantren dengan nilai-nilai
ajaran Islam sebagai politik sama sekali tidak dapat dipisahkan. Dalam perkembangan berikutnya,
terlihat bahwa pondok pesantren menyatu dengan kegiatan da'wah Mahmud Yunus, 1979 : 217 ).
Menurut A. H. Johns, pranata pendidikan Islam inilah yang menentukan watak keislaman di zaman
kerajaan Islam (A. H. Johns, C.M.IP, no. 19 ). Apalagi umumnya aktivitas pesantren berada di bawah
koordinasi pusat kekuasaan, yakni Sultan, atau setidaknya memiliki hubungan yang erat dengan pusat
kekuasaan. Hal ini menurut mereka mengindikasikan bahwa Islam bukan hanya agama yang mengacu
kepada nilai nilai ibadah, tapi juga politik. Pemahaman serupa tampaknya juga sudah dianut oleh para
kaum pendatang Eropa sebelumnya, antara lain Portugis.

Semula, Kesultanan Malaka sempat menyandang hegemoni politik Islam di wilayah Nusantara.
Semasa itu kota Malaka bergelar Serambi Mekah", tapi kemudian jatuh ke tangan Portugis tahun 1511.
Sejak itu kedudukan Malaka digantikan oleh Aceh. Para pedagang dan ulama turut pindah dan
berkumpul di Aceh ( Liaw Yock Fang, 2011 : 381 ) Kemudian setelah kejatuhan Kesultanan Aceh
Darussalam, pada abad ke- 18, pusat kajian Islam Nusantara beralih ke Kesultanan Palembang
Darussalam ( M. Chatib Quzwain, 1985: 39). Dinamika dan mobilitas para pedagang Muslim ini dinilai
cukup tinggi. Gejala tersebut setidaknya bias terjelaskan melalui pendekatan tiga teori , yakni ada teori
politik dan, tasawuf, serta anti Nasrani.

Dalam teori politik dikemukakan, bahwa ; raja-raja memeluk Islam untuk mendapat dukungan
dari para pedagang Islam. Sedangkan teori tasawuf, berpendapat bawa agama Islam disebarkan oleh
kaum sufi. Lalu teori anti Nasrani mengemukakan, bahwa penyebaran Islam adalah akibat dari
kedatangan orang-orang Portugis di Nusantara ( Liaw Yock Fang: 236 ). Jalinan hubungan antara istana
( keraton ). pedagang dan ulama sufi cukup dekat. Khusus di Aceh, menurut Hall ( 1962), pada abad ke-
17 empat tarikat berkembang luas di Aceh, yakni Oadariyah, Naksyahbandiyah, Syatariyah dan
Suhrawardi (Liaw Yock Fang : 380).

Perkembangan tasawuf di Nusantara didukung oleh sastra kitab. Sastra kitab ini menurut
Roolvink bidangnya cukup luas. Termasuk kedalamnya kajian tentang Al- Qur'an, tafsir, tajwid, arkan al-
Islam, ushuluddin, fikih, ilmu sufi, ilmu tasawuf, tarikat, zikir, raqatib, do'a, jimat, risalah, wasiat, dan
kitab tib obat-obatan, jampi- jampian ). Semuanya termasuk ke dalam Sastra Kitab. Namun menurut Siti
Baroroh Baried yang dimaksud dengan Kitab Sastra yang berkembang di Aceh abad ke-17 adalah sastra
tasawuf (Liaw Yock Fang : 380). Barangkali pendapat Baroroh Baried lebih dapat diterima, mengingat
tokoh-tokoh sufi di Aceh cukup dikenal. Sebut saja antara lain Hamzah Fansuri, Syamsuddin Sumatrani
( Ahmad Daudy, 1983, 33). Sedangkan tokoh yang terkenal, yakni Nuruddin al- Raniry. Selain sebagai
ulama sufi istana, Syeikh Nuruddin al- Raniry, juga adalah penulis yang produktif. Ahmad Daudy
mendokumentasikan ada sekitar 29 buka karya Nuruddin Al-Raniry ( Ahmad Daudy: 47-57).

Menurut A. Johns, sasatra tasawuf pernah memainkan peranan yang penting dalam
perkembangan agama Islam di Nusantara. Pertama, karena para ahli tasawuf atau sufi dapat
menyesuaikan ajaran Islam kepada tingkat pemahaman masyarakat setempat. Kedua, ajaran tasawuf
juga tidak kurang menariknya. Menerima ajaran tasawuf dan tarikat berarti memasuki suatu keluarga
besar yang tolong menolong, Tambahan pula, banyak di antara anggota tarikat itu merupakan saudagar
yang belajar ke seluruh dunia Islam ( Liaw Yock Fang : 380 ). Hubungan yang juga terlajin dengan
pesantren sebagai pranata pendidikan Islam di Nusantara.

Pesantren merupakan sebuah kompleks yang dinamakan pondok tempat para murid
diasramakan. Menurut Mahmud Yunus, orang yang pertama kali mengorganisasi pesantren di Jawa
adalah Raden Fatah, tahun 1475, sebagai kelanjutan dari usaha yang dibangun oleh gurunya Sunan
Ampel Mahmud Yunus, 1979 :217 ). Menurut Nurcholish Madjid, pesantren lahir dari pola hidup
tasawuf, yang berkembang dibeberapa wilayah Timur Tengah dan Afrika Utara, yang dikenal dengan
zawiyah (M. Dawam Rahardjo, 1985: 104).

Pendapat ini menunjukkan, bahwa pondok pesantren merupakan bagian dari bertuk
"pembaharuan pendidikan Islam" di Indonesia. Dalam penyelenggaraannya, menyatu peran para haji
mukim dan kesultanan. Dengan demikian eksistensi pranata pendidikan Islam ini begitu mengakar di
masyarakat. Cukup beralasan bila James L. Peacock menulis, bahwa selama lebih dari tiga abad ( 1600-
1945), pondok pesantren tersebar tersebar sebagai suatu sistem pendidikan umum bagi bangsa
Indonesia (James L. Peacock, 1986 : 19 ). Menjelang tahun 1900 pondok pesantren telah membentuk
suatu ideologi politik keagamaan yang bercorak menentang kekuasaan kolonial Belanda (Clifford Geertz,
1982: 81).

Kekhawatiran ini tampaknya kemudian dijadikan pertimbangan oleh pemerintah kolonial


Belanda untuk " menghilangkan peran penting pondok pesantren. Secara bertahap pesantren
dihilangkan dari statistik pemerintah. Mulai tahun 1905 beberapa kali pesaantren sudah tidak
dimasukkan lagi dalam statistik pendidikan pribumi. Lalu diulang tahun 1926 dan tahun 1927. Ttahun
1928, pendidikan pesantren tidak lagi diterima / dihormati dalam kalangan pendidikan kolonial ( Karel A.
Steenbrink, 1974: 10. Catatan kaki 19).

C. Gerakan Pembaharuan

Pembaharuan mengandung arti fi diran, aliran, gerakan, dan usaha untuk mengubah faham-
faham, adat istiadat, institusi institusi lama dan sebagainya, disesuaikan dengan suasana baru yang
ditimbulkan oleh kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi modern. (Harun Nasution, 1975:9).
Gerakan pembaharuan pendidikan Islam di Nusantara tak lepas dari gagasan pembaharuan yang
digemakan di Dunia Islam. Salah satu tokoh pembaharu yang dikenal adalah Muhammad Abduh ( Harun
Nasution, 1987 :1) Sejumlah perkumpulan dan organisasi Islam mendirikan madrasah dan sekolah
agama, meniru sekolah-sekolah agama yang menerapkan system pengajaran klasikal, meniru sekolah-
sekolah sistem Barat ( Belanda ), sebagai reaksi terhadap politik dan sistem pendidikan kolonial Belanda
(G. I. Pijper, 1984: 92).

Tahun 1901 - sebagai langkah permulaan beberapa tokoh dari kalangan Alawiyyin ( keturunan
Arab ) berinisiatif mendirikan sebuah organisasi yang bergerak dibidang sosial dan pendidikan
berdasarkan Islam, yang diberi nama Jami'at al-Khairiyyat ( Delier Noer, 1983: 68), kemudian menjadi
Jami'at Khair..Pada mulanya organisasi ini dimaksudkan sebagai tempat kerjasama dan perlindungan,
tapi mencerminkan pula sentimen keagamaan yang kuat dari pendiri- pendiri badan ini, yang selalu siap
memberikan bantuan pada setipa organisasi yang condong pada Islam (Hamid al- Qadri, 1964: 140 ).
Anggota organisasi ini umumnya terdiri dari orang-orang yang berada , maka mereka menggunakan
sebagian dari wakiynya untuk perkembangan organisasi tanpa merugikan usaha mereka untuk mencari
nafkah (Deliar Noer: 68),

Memang langkah awal di bidang pendidikan mengalami kegagalan karena terganjal oleh politik
pendidikan pemerintah kolonial Belanda ( Karel A. Steenbrink, 1986: 59). Sayyid Muhammad al- Fakhir
al- Masyhur, selaku Sekretaris .menulis dalam surat permohonannya : Maka sampe ini waktoe hamba
belon mendapat kabarnja, padahal itoe rekes tiada sekali-kali melanggar atoeran Negri, malahan baek
boet Negri, karena beberapa banjak orang miskin akan mendapat pertoeloengan dari ini
perkoempoelan. Maka itoe hamba harep soepaja dikaboelkan permoehoenan jang terseboet itoe
(Sayyid Abdullah al- Haddad: 53 ). Barulah pada tanggal 17 Juli 1905 Jami'at Khair disahkan secara resmi
oleh pemerintah Belanda (Sayyid Abdullah al-Haddad: 57).

Jami'at Khair merupakan organisasi pertama yang didirikan oleh orang yang bukan Belanda,
yang keseluruhan kegiatannya diselenggarakan berdasarkan system Belanda (Karel A. Steenbrink : 60 ).
Jami'at Kha'ir telah melengkapi organisasinya dengan anggaran dasar, anggaran rumah tangga, ketua,
sekretaris, bendahara dan sebagainya, termasuk daftar anggota dan notulen rapat-rapat berkala ( Deliar
Noer: 71). Setelah diremikan ini, Jami'at Khair mulai menyelenggarakan kegiatan di bidang pendidikan
dengan mendirikan sebuah madrasah Ibtidaiyyah di Pekojan, dan kemudian didirikan lagi madrasah yang
setingkat di Karet Weg ( Sayyid Abdullah al- Haddad :53 ). Dalam pandangan G. / Pijper madrasah yang
didirikan Jami'at Khair sebagai sekolah-sekolah Islam yang berdasarkan metode pengajaran dan
pendidikan modern( G.I. Pijper, 1984: 115).
Penilaian G.1. Piper ini tampaknya cukup beralasan. Setidak. tidaknya bila dibandingkan dengan
sistem pendidikan Islam yang ada di zaman itu. Sayyid Abdullah al-Haddad menggambarkan kondisi
pendidikan yang diselenggarakan Jami'at Khair:

Berlainan dengan madrasah madrasah yang sudah ada waktu itu, sekolah-sekolah
Jami'at Khair dikelola dengan sistem moden dengan arti menggunakan serta kurikulum dengan
berbagai ragam pelajaran agama dan umum seperti berhitung, sejarah, ilmu bumi dengan
bahasa Arab dan bahasa Indonesia sebagai pengantar ( Sayyid Abdullah al-Haddad: 53).

Selain itu untuk menambah pengetahuan, kesadaran beragama dan kesadaran bemegara,
organisasi ini juga mendirikan perpuatakaan dengan melanggan majalah-majalah dan harian- harian dari
Timur Tengah, antara lain Kairo, Istambul dan Beirut. Majalah dan harian dimaksud antara lain Al-'Urwat
al-Wusqa, Al-Liwa, Al- Siyasat, Ai- Qiathas, Tsamarat al- Funun, dan Al-Wathan. (Sayyid Abdullah al-
Haddad: 53 ).nMajalah Al- Urwat al-Wusqa berisi pemikiran Muhammad Abduh dan Jamal al-Din al-
Afghani, tokoh pembaharua Islam yang terkenal ( Harun Nasution, 1987: 17 ). Apa yang dilakukan oleh
Jami'at Khair dinilai sebagi sebuah langkah maju dalam gerakan pembaharuan pendidikan Islam di
Indonesia.

Langkah selanjutnya yang dilakukan oleh Jami'at Khair adalah menjalin kerjasama dengan
daerah dan luar negeri. Jami'at Khair a mendatangkan guru-guru dari daerah seperti H. Muhammad
Mansur dari Padang, serta Al- Hasyimi dari Tunisia, la ditugaskan di Hollandsche Arabische School di
Solo, hingga tahun 1942 ( Sayyid Abdullah al-Haddad : 54). Selanjutnya sekitar tahun 1911 didatangkan
pula tiga guru dari Timur Tengah, yakni Syekh Ahmad Soorkati dari Sudan, Syekh Muhammad Thaib dari
Maroko, dan Syekh Muhammad Abd Hamid dari Mekkah. Pada gelombang berikutnya didatangkan lagi
Syekh Muhammad Noor, alumni Universitas Al- Azhar, serta pernah belajar langsung dari Muhammad
Abduh (Deliar Noer : 70).

Jalinan kerjasama Jami'at Khair dengan negara-negara Timur Tengah termasuk juga program
pengiriman pelajar. Dengan demikian Jami'at Khair dapat digolongkan sebagai organisasi Islam bertaraf
internasional. Hal ini menjadi lebih nyata bila dikaitkan dengan hubungan yang terjalin antara Jami'at
Khair dengan pusat Dunia Islam ketika itu, yakni Timur Tengah. Atas hubungan ini pula maka Jami'at
Khair dan para pendirikan dikenal oleh tokoh-tokoh Islam di sana. Dikemukakan Sayyid Abdullah al-
Haddad - Hubungan persahabatan dan surat menyurat dengan beberapa tokoh pergerakan Islam di luar
negeri terjalin dengan baiknya seperti Muhammad Rasyid Ridha, Amir Syakib al-Arsalan dan lain-
lainnya. Sehingga beberapa tulisan tentang sejarah Islam di Indonesia dimuat dalam buku Hadhir
al-'Alam al- Islami ( Sayyid Abdullah al-Haddad: 54).

Hubungan ini merupakan fakta sejarah mengenai peran jaringan ulama dalam pembaharuan
pendidikan Islam di Nusantara (Indonesia ), Gagasan pembaharuan dan pemikiran pendidikan Islam yang
dicetuskan oleh Muhammad Abduh, sebagai murid Jamal al-Din al- Afghani (Harun Nasution, 1975: 61 ).
Demikian besar pengaruh tokoh ini terhadap Dunia Islam tercermin dari komentar Dr. Abu Hanifah :

... pada tahun-tahun akhir abad ke-19; pada waktu itu di Timur Tengah sedang timbul suatu
gerakan pemberaontakan terhadap Inggris dan Perancis, mulai dari Mesir sampai ke Syria. Banyak
muncul pemimpin-pemimpin Islam yang paling berpengaruh ialah Jamal al- Din al- Afghani yang juga
dengan nama Al- Sayid Muhammad Safdar.........Pengaruhnya sangat besar, ia mempropagandakan,
supaya umat Islam di dunia melepaskan diri dari jajahan Barat, dan eksploitasi dari capital Barat. Untuk
itu umat Islam harus mengubah cara berbuat dan berpikir yang kolot la menganjurkan umat Islam
supaya mempelajari pengetahuan Barat kalau mau sukses memerangi Barat..........Al- Afghani sendiri
merantau ke India, Persia, Afghanistan dank e Mesir. Di mana-mana ia disambut dengan gembira, dan
ajarannya melawan kolonial Barat melebar dari Nigeria sampai ke Indonesia. Kemudiaan muridnya
Muhammad Abduh meneruskan apa yang telah dirintias oleh gurunya (Abu Hanifah, 1978: 11-12).

Dalam pandangan Sayid Abdullah Haddad, Jami'at Khair adalah " penggerak Dunia Islam Baru"
yang pertama kali di Indonesia, khususnya di Jawa ( Sayid Abdullah Hadad : 54 ). Deliar Noer menulis
mengenai pembaharuan yang dilakukan Jami'at Khair ini antara lain :

Pentingnya Jami'at Khair terletak pada kenyataan bahwa ialah yang memulai organisasi
dalam bentuk modem dalam masyarakat Islam ( dengan anggaran dasar, daftar anggota yang
tercatat, rapat-rapat berkala ), dan mendirikan sekolah dengan cara-cara yang banyak
sedikitnya telah modem (kurikulum, kelas-kelas dan pemakaian bangku- bangku, papan tulis
dan sebagainya ). Ide-ide ini berkumandang di kota-kota lain, tetapi yang tumbuh di Jakarta
seakan membeku; ia cepat merasa puas dengan apa yang telah dicapai ( Deliar Noer: 71).

Penyebaran ide-ide pembaharuan sistem pendidikan Islam Jami'at Khair berawal dari berdirinya
Jam'iyyat al-Islam wal Ersyad al-Arabia atau Al-Irsyad, pada tahun 1913, Organisasi ini mendapat
pengakuan dari pemerintah pada tanggal 11 Agustus 1915. Gerakan ini merupakan pembaharuan dalam
lingkungan masyarakat Arab dari golongan bukan Sayid. Di sekolah Al-Irsyad ini kemudian Syaikh Ahmad
Soorkati ikut bergabung (deliar Noer: 73 ). Latar belakang lahirnya Al-Irsyad disebabkan oleh
pertentangan antara golongan Sayid dan bukan Sayid di lingkungan keturunan Arab.

Namun demikian dalam penyelenggaraan system pendidikan ide-ide pembaharuan yang


dilakukan Jami'at Khair tetap dilanjutkan. Bahkan dalam pandangan Deliar Noer, kegiatan dan
pengembangan Al-Irsyad melebihi Jami'at Khair. Kalangan masyarakat Arab di kota-kota lain menyususl
inisiatif kawan-kawan mereka di Jakarta dengan mendirikan cabang-cabang Al- Irsyad di Cirebon,
Bumiayu, Tegal, Pekalongan, Surabaya dan Lawang (Deliar Noer: 75).

Pada sisi lain, langkah yang dilakukan oleh Jami'ay Khair untuk menyelenggarakan system
pendidikan madrasah ikut pula menarik tokoh-tokoh Islam dari berbagai kalangan dan ikut menjadi
anggota ( Sayid Abdullah Haddad, 1986: 57). Mereka yang pernah menjadi anggota Jami'at Khair antara
lain seperti, Raden Umar Said Tjokroaminoto (R. Jayadinigrat, Hoof Jaksa Betawi, anggota nomor 352, R.
M. Wiriaatmaja, Asisten Wedana Rangkasbitung, anggota nomor 661, R. Hasan Djayadiningrat, anggota
nomor 723, serta K. H. Ahmad Dahlan, dengan nomor anggota ( Muhammad Syamsu : 300 ). Walaupun
bersimpati dan masuk sebagai anggota, namun tampaknya tidak semuanya yang kemudian mengikuti
aktivitas Jami'at Khair dalam penyelenggaraan pendidikan Islam. Di antara mereka itu hanya K. H.
Ahmad Dahlan yang kemudian terlibat aktif dalam aktivitas serupa.

Pada tanggal 18 November 1912, K. H. Ahmad Dahlan ( 1869 – 1923 ) mendirikan organisasi
Muhammadiyah ( Djamawi Hadikusumo, it : 67). Sebelum mendirikan organisasi Muhammadiyah, K. H.
Ahmad Dahlan telah menerapkan aktivitas pendidikan dengan mendirikan sekolah sendiri pada tahun
1911, dengan nama Muhammadiyah ( Dja-nawi Hadikusumo : 64 ).. Selain itu ketika masuk Budi Utomo
tahun 1909, ia memberikan pelajaran agama kepada para anggotanya. Dengan cara ini ia berharap agar
para anggota Budi Utomo yang pada umumnya bekerja di sekolah-sekolah pemerintah dapat
memberikan pelajaran agama (Deliar Noer: 86).

Kegiatan Muhammadiyah sejalan dengan usahanya untuk membina umat, antara lain dengan
mendirikan sekolah, modernisasi pesantren dan menggiatkan tabligh ( Deliar Noer : 86), serta kegiatan
sosial lainnya seperti bantuan kepada korban bencana alam. Dan sebagainya. Tetapi tampaknya
kegiatan pendidikan dan pengajaran lebih diutamakan. Gerakan ini berkembang begitu pesat. Setelah
delapan tahun berdiri 1920 ) Muhammadiyah telah tersebar ke seluruh pulau Jawa, dan tahun 1921
telah meliputi seluruh Indonesia ( Deliar Noer: 87). Di tiap-tiap cabang didirikan sekolah Muhammadiyah
yang terdiri dari sekolah diniyyah yang khusus memberikan pengajaran agama dengan sistem klasikal.
Selain itu juga sekolah-sekolah model pemerintah yang memberikan pengajaran agama dan pengajaran
umum. ( Ahmad Syafi'I Ma'arif, 1985: 35

Dengan predikatnya sebagai " pembaharu" Muhammadiyah menyusun kurikulum pelajaran di


sekolah-sekolahnya mendekati rencana pelajaran sekolah-sekolah yang pemerinta. Pada pusat-pusat
Muhammadiyah disiplin disiplin sekuler ( ilmu-ilmu umum ) diajarkan Ahmad Syafii Ma'arif : 35 ),,
walaupun ia mendasarkan sekolahnya pada masalah-masalah agama. Semuanya ini antara lain terlihat
dalam kurikulum Madrasah Muallimin, yakni sekolah guru Muhammadiyah (Mahmud Yunus : 273 ).
Selain Mu'allimin, Muhammadiyah juga mendirikan sekolah guru model pemerintah, seperti
Kweekschool ( Mahmud Yunus : 269 ). Dalam penilaian Ahmad Syafii Ma'arif, sistem pendidikan yang
dikelola Muhammadiyah adalah pendidikan integratif ( Ahmad Syafii Ma'arif : 35).

Di luar Muhammadiyah tumbuh pula sejumlah organisasi yang bergerak di bidang pembaharuan
pendidikan Isiam. Sebut saja misalnya Persyarikatan Ulama didirikan oleh K. H. Abdul Halim Iskandar
dengan bantuan O. S. Tjokroaminoto di Majalengka, tahun 1917 ( Deliar Noer: 82) Persatuan Islam
( Persis ) didirikan oleh K. H. M. Zamzam dan H. Muhammad Yunus di Bandung tahun 1923,( Ensiklopedi
Isiam Indonesia : 764 )., Nahdhatul Ulama ( NU ), tahun 1926 didirikan oleh K. H. Hasyim As'ari dan K. H.
Wahab Hasbullah ( Ensiklopedi Islam Indonesia : 724 ). Persatuan Tarbiyah Islamiyah ( Perti ) tahun 1930
oleh Syekh Suleman Arrusuli, Syekh Muhammad Jamil Jaho, dan Syekh Abdul Wahid Tabek (Ensiklopedi
Islam Indonesia : 766 ). Organisasi Islam ini secara umum bergerak dalam bidang pembaharuan
pendidikan Islam.

Gorakan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia tampaknya terus berlangsung secara


berkesinambungan. Ibarat rangkaian mata rantai. Mulai dari Jami'at Khair, dan berlanjut ke Al-Irsyad
yang berkembang ke beberapa kota di Jawa. Lalu pelanjut berikutnya adalah Muhammadiyah. Gerakan
pembaharuan itu juga dilakukan Persyarikatan Ulama., Persatuan Islam, Nahdhatul Ulama, hingga ke
Persatuan Tarbiyah Islamiyah. Dua organisasi terbesar di antaranya, yakni Muhammadiyah dan
Nahdhatul Ulama mampu menyebarkan gagasan pembaharuan dimaksud ke seluruh cabang-cabangnya
yang meliputi wilayah Indonesia.

Merujuk para pendiri dan penggerak organisasi tersebut, terlihat bagaimana besarnya peran dan
sumbangan ulama dalam gerakan pembaharuan pendidikan Islam di Indonesia. Ulama yang umumnya
adalah para "haji mukim." Pengalaman organisasi, serta hubungan antar sesama ulama juga
melatarbelakangi berkembangannya gagasan pembaharuan yang dititikberatkan pada bidang
pendidikan Islam. Semuanya itu tak lepas dari adanya "jaringan ulama." Jaringan yang terangkai antara
haji mukim lokai, yang jadi tokoh pembaharu, maupun dengan tokoh-tokoh pemikir pembaharuan
pendidikan Islam di Dunis Islam.

C.Kesimpulan

Jaringan ulama diawali oleh hubungan para pedagang Muslim dengan masyarakat Nusantara,
khususnya di wilayah pesisir. Melalui komunitas pedagang Muslim itu pula masyarakat Nusantara
mengenal nilai-nilai ajaran Islam. Selanjutnya setelah memiliki kekuasaan politik, penyebaran agama
Islam dilakukan melalui dua jalur, yakni birokrasi. yakni Kesultanan Islam dan jalur individu, oleh para
haji mukim yang kembali ke kampung halaman masing- masing.. Dalam aktivitas penyebaran ini
Kesultanan difungsikan sebagai pusat kajian keislaman. Pada tahap pertama ini, perdidikan Islam baru
dititikberatkan pada upaya memperkenalkan nilai-nilai ajaran Islam kepada masyarakat.

Pusat kajian dimaksud berawal dari pusat Kerajaan Melayu Islam di Malaka. Setelah jatuh ke
tangan Portugis, kedudukan Malaka sebagai serambi Mekkah" beralih ke pusat Kesultanan Aceh
Darussalam. Dan pada abad ke-18, setelah kejatuhan Kesultanan Islam ini, maka pusat kajian keislaman
Nusantara digantikan oleh Kesultanan Islam Palembang Darussalam. Perpindahan pusat kajian Islam
tersebut diikuti oleh para pedagang Muslim dan para ulama. Oleh sebab itu, kejatuhan pusat
pemerintahan tidak beraarti melumpuhkan kegiatan pendidikan Islam.

Di luar kegiatan yang dikoordinasi oleh Kesultanan, para haji mukim juga melakukan pengenalan
ajaran Islam secara langsung ke masyarakat. Mereka ini umumnya memiliki hubungan emosional yang
erat dengan masyarakat lingkurgannya. Selain itu pengajaran niiai- nilai Islam kepada masyarakat juga
merupakan ibadah dan tanggungjawab keagamaan. Lalu dibentuk pengajian di rumah, selanjutnya
berkembang menjadi sistem pendidikan surau (langgar ), hingga ke pondok pesantren Para haji mukim
ini umumnya adalah sosok kharismatik yang alim, dan panutan masyarakat. Atas kepercayaan ini pula
masyarakat didayagunakan untuk mendirikan institusi pendidikan Islam dimaksud.

Masuknya politik dan sistem pendidikan Barat ( Belanda ) beiringan dengan gerakan
kebangikatan Islam Pan Islamisme, serta pembaharuan pemikiran pendidikan Islam di Mesir. Gagasan
Muhamammad Abduh seputar pembaharuan pendidikan Islam ini dibawa oleh para haji mukim yang
pulang ke Nusantara. Sejalan dengan perkembangan dan tuntutan zaman, pendidikan Islam mulai
dikemas dengan ide-ide pembaharuan. Bentuk pembaharuan ini muncul respons terhadap sistem
pendidikan Barat yang diselenggarakan oleh pemerintah kolonial Belanda. Sistem pendidikan yang
bersifat diskriminatif dan netral agama.

Pada tahap berikut ini, proses pembaharuan pendidikan Islam berubah corak. Fungsi dan peran
ulama haji mukim sebagi tokoh, dialihkan ke organisasi social keagamaan. Corak pendidikan Islam yang
mengarah ke unsur politik tidak lagi diangkat secara nyata. Selain itu materi pembaharuan pendidikan
Islam juga diperluas ke hubungan dengan nilai-nilai peradaban. Khususnya yang mengacu ke nilai-nilai
peradaban Barat dengan muatan utamanya ilmu pengetahuan dan teknologi.
DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, Taufik, Islam dan Masyarakat : Pantulan Sejarah Indonesia, Jakarta, LP3ES, 1987

Aceh, Aboebakar, Sekitar Masuknya Islam ke Indonesia, cet. IV, Solo, Ramadhani, 1985.

Akim, Moh., Kiai H. Abdulhalim Pengerak P.U.I, Madjalengka, Jajasan Kiai H. Abdulhalim, 1968.

Al Haddad, Al Habib Alwi bin Thahir, Sejarah Masuknya Islam di Timur Jauh, Jakarta, Lentera,
1995.

Al- Aydrus, Muhammad Hasan, Penyebaran Islam di Asia Tenggara Asyraf Hadhramaut dan
Peranannya, Jakarta, Lentera, tt.

Al- Qadri, Hamid, C. Snouck Hurgronje : Politik Belanda terhadap Islam dan Keturunan Arab, cet.
II, Jakarta, Sinar Harapan, 1984.

Arrold, Thomas, W., Sejarah Da'wah Islam, terj. Nawawie Rambe, Jakarta, Widjaya, 1979.

Azra, Azyumardi, Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepulauan Nusantara Abad Melacak Akar-
Akar PembaharuanXVII dan XVIII Pemikiran Islam di Nusantara, Bandung, Mizan, 1994.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pendidikan dan Kebudayaan Departemen Pendidikan dan
Kebudayaan RI.. Pendidikan di Indonesia dari Jaman ke Jaman, Jakarta, 1979.

Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Direktorat Jenderal Kebudayaan, Meseum Negeri


Aceh, Sair As-Salikin, Banda Aceh, Meseum Negeri Aceh, 1986/1986.

Dhofier, Zamakhsyari, Tradisi Pesantren : Studi tentang Pandangan Hidup Kyai, Jakarta, LP3ES,
1985.

Hadikusumo, Djarnawi, Dari Jamal al- Din al- Afghani sampai K. H. A. Dahlan, Yogyakarta,
Persatuan, tt.

Haddad, Sayid Abdullah, Thariqat Menuju Kebahagiaan, terj. Muhammad Baqir, Bandung,
Mizan, 1986.

Hanifah, Abu, Renungan Perjuangan Bangsa Dulu dan Sekarang, Jakarta, Yayasan idayu, 1978
Karim, Rusli (Ed.). Muhammadiyah dalam Kritik dan komentar, Jakarta, Rajawali, 1986

L. Peacock, James, Gerakan Muhammadiyah Memurnikan Ajaran Islam, Jakarta, Cipta Kreatif,
1986

Ma'arif, Ahmad Syafii, Islam dan Kenegaraan, Jakarta, LP3ES, 1985.

Nasution, Harun, Pembaharuan dalam Islam : Sejarah Pemikiran dan Gerakan, Jakarta, Bulan
Bintang, 1975,

Nasution, Harun (Ed.). Ensiklopedi Islam Indonesia, Jakarta, Djambatan, 1992. LP3ES, 1985.

Noer, Deliar, Gerakan Moderen Islam di Indonesia 1900 – 1942, cot. Ketiga, Jakarta, Persatuan,
1983.

Pasya, Mustafa Kamal, Muhammadiyah sebagai Gerakan Islaam, Yogyakarta, Piper, G.I...
Beberapa Studi tentang Sejarah Islam di Indonesia, tej. Tudijimah dan Yessi Agustin, Jakarta, UI- Press,
1984.

Quzwain, M. Chatib, Mengenal Allah : Suatu Studi ajaran Tasawuf Syaikh Abdul Samad Al-
Palimbani, Jakarta, Bulan Bintang, 1985.

Rahardjo, M. Dawam, Pesantren dan Pembaharuan, Jakarta, LP3ES, 1985.

Rahim, Husni, Sistem Otoritas & Administrasi Islam : Studi Tentang Pejabat Agama Masa
Kesultanan Dan Kolonial Belanda, Jakarta, Logos, 1998.

Steenbrink, Karel A., Pesantren, Madrasah, Sekolah : Pendidikan Islam dalam kurun Modern,
Jakarta, LP3ES, 1986,

Suminto, Aqib, Politik Islam Hindia Belanda, Jakarta, LP3ES, 1985.

Syamsu As, Muhammad, Ulama Pembawa Islam di Indonesia dan Sekitamya, Jakarta, Lentera,
1996.

Wolters, O.W., Kemaharajaan Maritim Sriwijaya & Perniagaan Dunia Abad !!! - Abad VII, terj.
Edy Sembodo, Jakarta, Komunitas Pondok Bambu, 2011.

Yunus, Mahmud, Sejarah Pendidikan Islam di Indonesia, cet. II, Jakarta, Mutiara 1979

Anda mungkin juga menyukai