Anda di halaman 1dari 4

Rempah-Rempah di Pelabuhan Makassar Dalam Tinjauan Sejarah dan Kultural

Selama ini, diskusi akademis tentang jalur rempah cenderung melekat pada gagasan bahwa
tumbuh kembang jejaring niaga ini bertautan dengan kontak dan interaksi dengan para musafir
dari Asia Barat dan penjelajah Tiongkok. Jejaring niaga ini telah berkembang sebelum orang-
orang Eropa tiba, ketika para pedagang dari Asia Barat dan Tiongkok datang ke Nusantara.
(Ririmasse 2017).

Van Leur melukiskan bahwa ketika itu di Asia terdapat dua jalan perniagaan besar, yaitu yang
melalui darat dan yang melalui laut. Jalan darat disebut "jalan sutera'' yang dimulai dari
Tiongkok. melalui Asia Tengah dari Turkestan sampai ke laut Tengah, dimana jalan ini
berhubungan juga dengan jalan-jalan kafilah dari India. Perhubungan darat antara Tiongkok
dan India dengan Eropa sudah terkenal semenjak tahun 500 sebelum masehi. Selanjutnya Van
Leur menerangkan hahwa jalan yang melalui laut ialah dari Tiongkok dan Indonesia, melalui
Selat Malaka ke India. Dari sini, ada yang ke Teluk Persia, melalui Suriah ke laut Tengah, ada
yang ke laut Merah, melalui Mesir dan sampai juga di Laur Tengah.

Perdagangan laut antara India, Tiongkok dan Indonesia yang dimulai dalam abad pertama
sesudah masehi, demikian juga hubungan antara Indonesia dengan daerah-daerah di barat
melalui India, disebut sebagai “jalur rempah”, sebab pada waktu itu rempah-rempah; kayu
wangi, kapur barus dan kemenyan dari Indonesia telah sampai di India dan Kekaisaran Romawi
(Leirissa dkk 1996).

Selama abad itu, nyaris, sutera tidak lagi diperbincangakan sebagai barang dagangan skala
global. Rempah-rempah mengalahkan kilau sutera dimasa itu. Itulah sebabnya, jalan sutera
tidak banyak diperbincangakan dalam catatan sejarah kolonial. Meskipun sutera masih menjadi
barang dagangan mahal yang diperdagangakan oleh bangsa ansing kepada penduduk
nusantara, tetapi tidak lagi manjadi primadona perdaganan yang dipehitungkan. Apalagi, sejak
saat itu, penduduk nusantara telah mahir menenenun sutera.

Jaringan perdagangan masa lalu telah menempatkan rempah-rempah sebagai komoditas utama.
Jaringan perdagangan ini semakin ramai dengan kedatangan bangsa Eropa sekitar abad ke-16.
Dalam konteks perdagangan global, terbentuk jaringan perdagangan yang menghubungkan
dunia barat sebagai konsumen dan dunia timur sebagai penghasil komoditas (Nahdia Nur dkk
2016).

Kepulauan Nusantara menjadi salah satu jalur pelayaran dan perdagangan global, karena
merupakan pusat perdagangan rempah-rempah dan hasil bumi lainnya. Jaringan ini ditunjang
oleh kondisi geografis, sumber alam, jaringan transportasi laut yang memudahkan
pendistribusian hasil komoditas unggulannya, sehingga muncul bandar-bandar besar sebagai
pelabuhan utama niaga, yang saling terkoneksi satu dengan yang lain (Wibisono, 2004 dalam
Mansyur 2011).

Salah satu pelabuhan yang menghubungkan konektivitas itu adalah Makassar. Sebelum menjadi
pelabuhan transito terbesar di kawasan Nusantara, orang-rang Makassar telah memulai
perdagangan maritim di kawasan tersebut yang berkembang menjadi satu zona perdagangan di
abad ke-14. Dikisahkan dari berbagai sumber literatur VOC dan Melayu tentang pengembaraan
Raja Tallo ke II bernama I Sumangerukka Daeng Marewa Karaeng Pasi Tunilabu ri Suriwa atau
yang lebih dikenal dengan KaraEng Samarluka anak raja dari Tanah Mengkasar ke Ujung Tanah
(Semenanjung Malaka) sekitar tahun 1420, ia melakukan perjalanan niaga ke Jawa, Melaka,
Timor dan Banda (Mangemba 1994). Hal itu menunjukkan bahwa kegiatan perdagangan antar
pulau sudah dimulai sejak beberapa abad sebelumnya. Kegiatan perdagangan itu telah
menciptakan arus pertukaran komoditas dari berbagai penjuru penghasil produksi komoditas-
komoditas.
Sejarah awal berkembanganya Pelabuhan Makassar berawal dari dua bandar niaga dari
kerajaan kembar Gowa-Tallo, yaitu bandar Tallo dari Kerajaan Tallo yang terletak di pesisir
selatan muara Sungai Bira, dan bandar Sombaopu dari Kerajaan Gowa yang terletak di pesisir
utara muara Sungai Jeneberang. Dua kerajaan tetangga itu berhasil membentuk persekutuan
pada 1528, setelah melalui permufakatan penyelesaian konflik. Perang yang berakhir dengan
pembentukan persekutuan dua kerajaan itu berbasis pada keinginan Kerajaan Gowa untuk
mengubah orientasi kehidupan kerajaannya dari agraris ke maritim pada periode pemerintahan
Raja Gowa IX, Daeng Matanre Karaeng Manguntungi Tumaparissi Kalonna (1510–1546). Hingga
akhir abad ke-15 Makassar belum merupakan pusat perdagangan di kawasan Kepulauan
Nusantara bagian timur (Arlyana Abubakar dkk 2019).

Perubahan besar terjadi pada abad ke-16 ketika Malaka jatuh ketangan Portugis pada 1511,
yang selama berabad-abad menjadi bandar paling ramai di bumi Nusantara. Sejumlah orang
Melayu yang tidak ingin menjadi masyarakat pendudukan Portugis di Malaka, beramai-ramai
berdiaspora ke berbagai daerah termasuk di Jazirah Sulawesi, salah satu wilayah tujuan
diaspora dalah Somba Opu.

Mereka kemudian berpindah ke Somba Opu setelah mendapat jaminan perlindungan tertulis
dari Raja Gowa X Karaeng Tunipalangga Ulaweng (1546-1565). Dikisahkan perutusan pedagang
Melayu bernama Anahkoda Bonang datang menghadap kepada Raja Gowa X, kiranya
memberikan tempat niaga di wilayah kekuasaannya—sebelumnya pedagang Melayu tersebut
menjadikan Siang sebagai koloni dagangnya. Permohonan mereka dipenuhi dan diberikan izin
untuk menetap di Mallengkana (Nomay, 2016)

Kuasa Portugis di Malaka selama 130 tahun lamanya akhirnya harus berakhir juga, setelah
Belanda pada 1641 memenangi pertempuran. Portugis kehilangan hegemoni di sana, sehingga
memaksa mereka mencari tempat niaga di pelosok Nuasantara yang bebas dari orang Belanda.
Dalam waktu itu juga, banyak Portugis yang membanjiri Makassar, dan tidak sedikit dari
mereka yang menetap.

Letak yang strategis menjadikan Kota ini juga sebagai titik temu antara dunia niaga belahan
timur (Maluku dan Papua), barat (Kalimantan, Malaka, Sumatra, Jawa, Asia Selatan dan Eropa),
Utara (Philipina, Jepang dan Cina) dan selatan (Nusa Tenggara dan Australia). Komoditas utama
dari perdagangan itu adalah rempah-rempah, beras, jagung, kopi, kopra, kain tenun, kayu
cendana, dan budak.

Pada umumnya rute berdagang dari Barat ke Timur menyusuri pesisir timur Sumatera,
Pelabuhan Barus, Selat Sunda, Pesisir Utara Jawa, lalu masuk menuju Bandar Niaga Somba Opu
(Makassar). Di Makassar mereka kemudian bergerak ke arah selatan, menyusuri peraiaran
Selayar, lalu menyusuri Teluk Bone, lalu ke Buton kemudian ke Kepulauan Tukang Besi
(Wakatobi) – dan ke Maluku termasuk Ambon (Saidi, dkk 2018).

Di masa pemerintahan Sultan Alauddin Raja Gowa Ke-XIV, Gowa semakin berkebang, ia
menegasakan dalam suatu kalimat keramat: “Tuhan menciptakan Bumi dan Lautan. Tanah
dibagi-bagikan diantara manusia dan samudera diperuntukkan bagi semuanya. Tak pernah
terdengar bahwa pelayaran dilautan dilarang bagi seseorang, bagi suatu kaum”.

Kalimat inilah yang ditengarai sebagai “kebijakan pintu terbuka” dengan menganut prinsip “laut
bebas” (mare liberium) sehingga menjadi ruang pembuka bagi segala kalangan masuknya
beragam bangsa dari berbagai belahan bumi, berniaga dan menetap di Makassar terasa aman
dan terlindungi hak dan kewajibannnya. Ramailah pelabuhan itu, tidak ada kota besar di
Nusantara seramai SombaOpu, gaungnya terdengar kebelahan benua Eropa.
Dengan diberlakukannya kebijaksanaan politik pintu terbuka yang diterapkan, pada akhirnya
tidak memikat pedagang dan pelaut di daerah ini (Bugis, Makassar, Mandar, Selayar, Bajo),
tetapi para pedagang yang bergiat di dunia perdagangan di Asia Timur dan Tenggara). Pada
akhir abad XVI dan memasuki abad XVII bandar niaga Makassar telah menjadi pusat perniagaan
pedagang-pedagang dari luar seperti: Spanyol, Denmark, Cina, Inggris, dan lainnya. Untuk lebih
mempererat hubungan niaga itu, maka pemerintah kerajaan memberikan kesempatan kepada
pedagang-pedagang untuk mendirikan perwakilan dagang mereka. Itulah sebabnya jika pada
periode Tunipalangga Ulaweng diberitakan hanya ada perwakilan dagang Portugis, maka dalam
perkembangan kemudian dapat dicatat sejumlah perwakilan dagang bangsa asing lainnya,
seperti Belanda pada 1607, Inggris pada tahun 1613, Spanyol pada tahun1615, Denmark pada
tahun 1618, dan Cina pada tahun 1619 (Poelinggomang, 1991:29). Kumpulan pedagang asing
itu berhasil meningkatkan status Makassar menjadi bandar transito internasional utama dan
terpenting ketika itu.

Politik perluasaan kekuasaan dan pintu terbuka, akhirnya berhasil mewujudkan tujuan untuk
menempatkan Makassar sebagai satu-satunya pusat perdagangan di wilayah itu. Pedagang-
pedagang dari Mandar, Wajo, Bugis, Makassar, Selayar, Melayu, Inggris, Denmark, Spanyol, Cina,
dan Portugis yang melakukan pelayaran niaga menjadikan Makassar bandar singgah dan pasar
produksi mereka (Poelinggomang, dkk, 2004).

Dengan cepat Makassar tumbuh sebagai kota dagang yang kaya. Kemajuan Makassar ditandai
pula dengan semakin terbukanya Makassar terhadap unsur-unsur kebaruan. Sebagai
masyarakat yang bersifat pluralistik (karena terdiri dari banyak kelompok suku bangsa, ras dan
agama), sistem politik di Makassar cukup terbuka dalam mengakomodasikan berbagai
kepentingan untuk kemajuan perdagangan (Arlyana Abubakar dkk 2019). Pertengahan abad ke-
17, Makassar menjadi bandar paling ramai dan kosmopolit. Didatangi banyak orang-orang dari
berbagai belahan dunia yang saling berbaur dengan orang-orang asal Malaka, Jawa, Campa,
Johor, Minang, Pattani, India, Cina, Portugis, Spanyol, Perancis dan Inggris.

Sejak itu, Makassar telah masuk dalam jaringan perdagangan Jalur Rempah yang
menghubungkan antara dunia niaga Asia dan Eropa. Ia muncul sebagai titik temu antara dunia
niaga di belahan timur (Maluku, Papua) dan barat (Kalimantan, Malaka, Jawa, Asia Selatan dan
juga Eropa), dan antara dunia niaga di belahan utara (Filipina, Jepang dan Cina) dan selatan
yang menjangaku wilayah Nusa Tenggara dan Australia (Arlyana Abubakar dkk 2019).

Menetapnya beragam suku dan bangsa dunia, rupanya menjadi episentrum tersendiri
bergekembangnya budaya, terutama ilmu pengetahuan semenjak I Manggadacinna Daeng
Sitaba Sultan Mahmud Karaeng Pattingalloang menjabat mangkubumi (perdana meteri) paling
mashur kala itu, Ia memainkan peran termat penting. Ia mewariskan nilai-nilai intelektual
dengan beragam koleksi buku dan alat peraga astronomidan kartografi.

Di masanya, tercatat memuncaknya kegiatan penerjemahan serangkaian risalah teknologi


Eropa ke bahasa Makassar. Naskah-naskah pembuatan meriam, pabrikasi bubuk mesiu dan
senjata diterjemahkan dari bahasa Spanyol, Portugis, dan Turki ke dalam bahasa Makassar.
Naskah keahlian membuat meriam yang ditulis dalam bahasa Spanyol oleh Andreas Monyona
sudah diringkas dalam bahasa Makassar sejak 1635 atas perintahnya. Ia juga pernah menyuruh
seorang Ambon pelarian dari Maluku untuk menuliskan tarikh maluku dalam bahasa melayu.

Kedatangan orang melayu juga memberikan sumbangsih kesusateraan, seorang Melayu Incek
Amin menjadi juru tulis istana sekaligus penyair, yang popular dengan karyanya Perang
Mengkassar. Orang Melayu berperan penting terbentuknya kebiasaan di Istana Kerajaan Gowa
dalam hal budaya. "Kamilah orang-orang Melayu yang mengajar anak negeri duduk berhadap-
hadapan dalam persidangan adat, mengajar menggunakan keris panjang yang disebut
tararapang, tata cara berpakaian dan berbagai hiasan untuk para anak bangsawan.” (Paeni
2009). Dalam penulisan dan penyalinan buku-buku agama Islam dari bahasa Melayu ke bahasa
Makassar (lontarak). Berbagai lontarak yang isinya dari naskah Melayu juga disalin ke dalam
lontarak. Berbagai lontarak yang asalnya dari naskah berbahasa melayu, diduga berasal dari
zaman permulaan perkembangan agama Islam di Sulawesi Selatan abad XVII-XVIII (Mattulada,
1998).

Kemajemukan yang ada di makassar selama kurun abad XVI-XIX, telah banyak mewariskan
ragam budaya dan tradisi. Beragamnya bangsa yang datang ke makassar memberikan warna
tersendiri terhadap perkembangan budaya masyarakat setempat sehingga menghasilakan
perpaduan budaya dan tradisi.

Dalam hal politik, sejarah kehadiran pelabuhan Makassar beberapa abad lamanya sebagai
bandar transit terbesar di Dunia, berdapak banyaknya konflik. Karena perkembangan
pelabuhan Makassar yang sangat ramai, memunculkan berbagai macam riak politik di Sulawesi
Selatan, dimana kerajaan Makassar (Gowa-Tallo) berupaya  memperlebar sayap kekuasaan dan
menancapkan pengaruhnya sebagai kekuatan besar di wilayah timur nusantara. Konflik antar
elit yang melibatkan Belanda (VOC) pada akhirnya menjadi petaka besar yang berakibat perang
terdahsyat yang dikenal "Perang Makassar". Akibatnya, diaspora orang Bugis Makassar terjadi
begitu besarnya keseluruh penjuru pelosok Nusantara. Kekalahan di pihak Makassar, membuat
peta politik di Makassar akhirnya berubah. Sampai akhirnya VOC memegang kendali supremasi
hukum di Sulawesi Selatan dengan membentuk negara koloni.

Anda mungkin juga menyukai