Anda di halaman 1dari 61

BAB I

PENDAHULUAN
A. Latar Belakang

Indonesia merupakan negara yang kaya akan sumber daya alam, salah

satunya sektor pertanian yang memperoleh perhatian yang besar karena keadaan

alam dan letak geografis Indonesia yang cocok untuk dijadikan daerah pertanian.

Dilihat dari segi perekonomian nasional maupun daerah, pertanian memegang

peranan penting dari keseluruhan perekonomian Indonesia. Hal ini dapat dilihat

dari banyaknya jumlah penduduk atau tenaga kerja yang bergerak di sektor

pertanian yang dapat meningkatkan pendapatan masyarakat serta memberikan

sumbangan besar terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) dan Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB).

Sub sektor perkebunan mempunyai peranan yang sangat penting terhadap

pembangunan perekonomian industri selain dari minyak dan gas bumi yang

selama ini merupakan komoditi andalan Indonesia. Salah satu komoditi

perkebunan yang pada saat ini menjadi primadona adalah kelapa sawit. Produk

kelapa sawit berkembang pesat seiring dengan perkembangan teknologi dan

industri bahan makanan maupun bahan nonpangan untuk keperluan industri.

Kelapa Sawit (Alaisis guinensis jack) merupakan komoditi pertanian yang

memiliki peran penting bagi perindustrian dan pembangunan ekonomi di

Indonesia. Kelapa sawit dapat menghasilkan minyak kelapa sawit yang

mempunyai nilai ekonomi. Minyak kelapa sawit memiliki keunggulan

dibandingkan dengan minyak nabati lainnya. Keunggulan minyak kelapa sawit

dibandingkan dengan minyak nabati lainnya adalah produktivitas minyak lebih

1
tinggi dibandingkan dengan tanaman penghasil minyak yang lainnya seperti

minyak kedelai, bunga matahari dan minyak kanola.

Kelapa sawit selain mempunyai produktivitas minyak yang tinggi, juga

mempunyai keunggulan lain yakni memiliki banyak produk turunan. Kelapa sawit

mempunyai produk turunan antara lain: minyak goreng, margarine, vanaspati, es

krim, mie instan, detergen, sabun, sampo, kosmetika, lilin, biodisel dan lain-

lainnya (Pahan, 2013). Minyak kelapa sawit juga banyak digunakan untuk

menggantikan lemak hewan dalam menu makanan. Banyaknya manfaat kelapa

sawit menyebabkan permintaan minyak kelapa sawit juga mengalami

peningkatan. Selain itu, pertumbuhan penduduk juga mendorong peningkatan

permintaan produk minyak kelapa sawit.

Peningkatan permintaan minyak kelapa sawit akan memberikan kontribusi

pendapatan bagi petani kelapa sawit, selain itu juga dapat menyerap tenaga kerja.

Keberadaan kelapa sawit dapat meningkatkan taraf kehidupan dan kesejahteraan

petani kelapa sawit, sumber lapangan kerja dan sumber devisa negara, juga

sebagai pusat-pusat pertumbuhan ekonomi wilayah.

Berdasarkan hasil penelitian Muttakin, dkk (2014) menunjukkan rata-rata

pendapatan bersih yang diperoleh petani kelapa sawit swadaya sebesar Rp

16.475.301 per ha per tahun dengan tingkat harga rata-rata 1.139/kg Tandan Buah

Segar (TBS). Dari hasil penelitian ini menunjukkan bahwa rata-rata pendapatan

petani kelapa sawit per bulan adalah Rp. 1.372.941,75 per hektar. Selain itu,

banyak petani yang berpresepsi bahwa kegiatan usaha kelapa sawit banyak

digemari oleh petani karena pemasaran yang mudah, keperluan sarana produksi

2
yang mudah, harga jual dan pendapatan petani yang tinggi (Siradjuddin, 2015).

Prospek perkebunan kelapa sawit yang menjanjikan mendorong petani untuk

menginvestasikan lahannya sebagai perkebunan kelapa sawit.

Pendapatan usaha yang diterima berbeda untuk setiap orang, perbedaan

pendapatan ini dipengaruhi oleh berbagai faktor. Faktor-faktor ini ada yang masih

dapat diubah dalam batas-batas kemampuan petani atau tidak dapat diubah sama

sekali. Faktor yang tidak dapat diubah adalah iklim, jenis tanah dan umur

tanaman, semakin tua umur tanaman maka semakin sedikit buah tandan yang

dikeluarkan. Ada juga faktor yang mempengaruhi pendapatan dan dapat dilakukan

perbaikan untuk meningkatkan pendapatan seperti pemeliharaan tanaman selama

masa produktif.

Sulawesi Tengah memiliki perkebunan kelapa sawit yang tersebar di

beberapa Kabupaten yaitu Banggai, Morowali, Poso, Donggala, Tolitoli, Parigi

Moutong dan Morowali Utara dengan luas lahan dan produksi yang cukup besar.

Perkebunan kelapa sawit cukup berpotensi dalam meningkatkan perekonomian

masyarakat Sulawesi Tengah, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan

masyarakat. Pada tahun 2015, Kabupaten Morowali menduduki peringkat pertama

dari 13 kabupaten/Kota yang ada di sulawesi Tengah dengan produksi kelapa

sawit sebesar 88.565 ton (BPS, 2016).

Pengembangan komuditas Kelapa sawit di Morowali terfokus pada 4

Kecamatan yakni Bungku Barat, Bungku Barat, Bumi Raya dan Witaponda. Pada

kecamatan Bungku Barat daerah potensial untuk pengembangan kelapa sawit

seluas 8.180,26 Ha. Di Kecamatan Bungku Barat potensial pengembangannya

3
seluas 11.348,08 Ha. Sedangkan di Bumi Raya seluas 5.289,64 Ha. Untuk di

kecamatan Witaponda seluas 7.817,25 Ha. Kabupaten Morowali merupakan salah

satu dari 66 kabupaten di Indonesia yang menjadi target peremajaan kelapa sawit

di Indonesia. Peremajaan kelapa sawit banyak tersebar di 3 kecamatan yakni

Witaponda, Bumi Raya dan Bungku Barat dengan 151 kelompok tani di 22 Desa.

Berdasarkan pengamatan penulis dilapangan dapat diidentifikasikan

bahwa permasalahan yang dihadapi oleh petani sawit adalah masalah perawatan

kelapa sawit, di mana perawatan tanaman kelapa sawit sangat diperlukan untuk

mendapatkan hasil panen sesuai harapan sehingga diperoleh pendapatan yang

memuaskan. Petani masih kurang dalam perawatan tanaman kelapa sawit, di mana

jadwal pemupukan, jumlah pupuk, jenis pupuk, serta penyemprotan hama secara

rutin yang dilakukan tentunya membutuhkan biaya.

Berdasarkan uraian yang telah dikemukakan maka penulis tertarik

melakukan penelitian dengan judul “Analisis Pendapatan Petani Kelapa Sawit di

Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang yang telah dikemukakan diatas, maka yang

menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah Bagaimana Pendapatan Petani

Kelapa Sawit di Kabupaten Morowali Provinsi Sulawesi Tengah?

C. Tujuan Penelitian

Untuk mengetahui Pendapatan Petani Kelapa Sawit di Kabupaten

Morowali Provinsi Sulawesi Tengah.

4
D. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat bagi petani kelapa sawit,

dalam peningkatan usaha sehingga dapat menambah pendapatan yang lebih baik.

Bagi penulis, sebagai wahana bagi peneliti dalam penerapan ilmu pengetahuan

yang dimiliki dengan kenyataan yang ada dilapangan khususnya petani kelapa

sawit.

5
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perkebunan

Perkebunan merupakan salah satu usaha yang dilakukan oleh masyarakat

Indonesia untuk memenuhi kebutuhan hidupnya. Perkebunan rakyat merupakan

usaha budidaya tanaman perkebunan yang diusahakan tidak di atas lahan HGU.

Perkebunan rakyat di usahakan oleh petani kecil atau masyarakat biasa sebagai

mata pencahariannya.

Perkebunan rakyat merupakan usaha tanaman perkebunan yang dimiliki

dan/atau diselenggarakan atau dikelola oleh perorangan atau tidak berbadan

hukum. Luasan maksimal adalah 25 hektar, atau pengelola tanaman perkebunan

yang mempunyai jumlah pohon yang dipelihara lebih dari batas minimum usaha

(BMU). Berdasarkan besar kecilnya, usaha perkebunan rakyat dibedakan menjadi

dua kelompok yaitu pengelola tanaman perkebunan dan pemelihara tanaman

perkebunan. Pengelola Tanaman Perkebunan adalah perkebunan rakyat yang

diselenggarakan secara komersial dan mempunyai jumlah pohon yang dipelihara

lebih besar dari BMU. Sedangkan, pemelihara tanaman perkebunan adalah

perkebunan rakyat yang diselenggarakan atas dasar hobi atau belum diusahakan

secara komersial dan mempunyai jumlah pohon lebih kecil dari BMU (Novita,

2013).

Peran perkebunan kelapa sawit rakyat sebagai tulang punggung

penerimaan devisa negara dan penyerapan tenaga kerja semakin nyata.

Kepemilikan perkebunan kelapa sawit adalah solusi untuk mengatasi masalah

6
pengangguran dan kemiskinan di Pedesaan (Wigena et al., 2009). Produktivitas

yang relatif rendah tersebut masih jauh di bawah produksi optimal yang bisa

dicapai, yaitu 30 ton TBS/ha/tahun. Menurut Jannah et al., (2012), rendahnya

produktivitas dan mutu produksi di perkebunan kelapa sawit rakyat adalah

permasalahan umum. Produksi Crude Palm Oil (CPO) perkebunan sawit rakyat

hanya 2,5 ton/ha/tahun dan minyak inti sawit (PKO) 0,33 ton/ha/tahun. Sementara

itu, pada perkebunan negara dan swasta rata-rata produksi CPO mencapai 3,48-

4,82 ton/ha/tahun dan PKO 0,57-0,91ton/ha/tahun (Kiswanto et al., 2008). Hal itu

mengindikasikan bahwa produktivitas kebun kelapa sawit rakyat masih sangat

berpeluang untuk ditingkatkan.

Petani kecil (rakyat) sering dianggap sebagai suatu titik kelemahan dalam

perkembangan hasil produksi tanaman perkebunan. Kualitas dan hasil

produksinya dianggap rendah menurut standar pasar dunia, kontunitas hasil

produksinya pun tidak teratur, akhirnya peningkatan kesejahteraan petani

perkebunan sulit tercapai. Namun demikian perkebunan rakyat memiliki peran

penting, bila dilihat dari; 1) secara keseluruhan kontribusinya terhadap

penerimaan devisa dari subsektor perkebunan masih dominan; 2) Produk

Domestik Bruto (PDB) dari perkebunan rakyat lebih tinggi dari perkebunan besar,

dan 3) Perkebunan rakyat jauh lebih luas dari perkebunan besar kecuali untuk

komoditi kelapa sawit (Syarfi, 2004). Dilihat dari pengusahaannya, perkebunan

kelapa sawit Indonesia dibagi menjadi tiga, yaitu Perkebunan Rakyat, Perkebunan

Besar Negara, dan Perkebunan Besar Swasta. Perkebunan rakyat adalah

perkebunan kelapa sawit yang dikelola oleh rakyat memilki luas lahan yang

7
terbatas, yaitu 1-10 HA. Dengan luas lahan tersebut, tentunya menghasilkan

produksi TBS yang terbatas pula sehingga penjualannya sulit dilakukan apabila

ingin menjualnya langsung ke prosesor/industri pengolah (Fauzi, 2012). Petani

swadaya merupakan petani yang mengusahakan kebun yang dimilikinya dibangun

diatas tanah milik sendiri atau tanah milik komunitas/ulayat. Dalam hal penentuan

luas, didasarkan pada kebutuhan ekonomi rumah tangga dan sistem pembangunan

dilakukan secara individu (Aleksander, 2009).

B. Sejarah Tanaman Kelapa Sawit Di Indonesia

Kelapa sawit adalah salah satu tanaman penghasil minyak terbesar di dunia

dan secara luas dibudidayakan di daerah tropis seperti Malaysia, Nigeria, Ivory

Coast, Columbia dan Thailand (Chaum et al, 2010). Kelapa sawit dapat tumbuh

pada jenis tanah podzolik, latosol, hidromorfik kelabu, alluvial, atau regosol,

tanah gambut saprik, dataran pantai dan muara sungai. Tingkat keasaman atau pH

yang optimum untuk sawit adalah 5,0 – 5,5. Kelapa sawit menghendaki tanah

yang gembur, subur, datar, berdrainase baik dan memiliki lapisan solum cukup

dalam (80cm) tanda lapisan padas. Kemiringan lahan pertanaman kelapa sawit

sebaiknya tidak lebih dari 150. Lama penyinaran matahari yang baik untuk kelapa

sawit 5-7 jam/hari. Tanaman ini memerlukan curah hujan tahunan 1500-4000mm,

temperatur 24-280C. Ketinggian tempat yang ideal untuk sawit antara 1-500 dpl.

Kelembaban optimum sekitar 80-90% dan kecepatan angin berada pada 5-6

km/jam untuk membantu proses penyerbukan (Kiswanto et al, 2008)

Tanaman kelapa sawit (Elais Guineensis) berasal dari Afrika Barat,

merupakan tanaman penghasil utama minyak nabati yang mempunyai

8
produktivitas lebih tinggi dibandingkan tanaman penghasil minyak nabati lainnya.

Kelapa sawit pertama kali diperkenalkan di Indonesia oleh pemerintah Belanda

pada tahun 1848. Saat itu ada 4 batang bibit kelapa sawit yang ditanam di Kebun

Raya Bogor (Botanical Garden) Bogor, dua berasal dari Bourbon (Mauritius) dan

dua lainnya dari Hortus Botanicus, Amsterdam (Belanda). Awalnya tanaman

kelapa sawit dibudidayakan sebagai tanaman hias, sedangkan pembudidayaan

tanaman untuk tujuan komersial baru dimulai pada tahun 1911. Perintis usaha

perkebunan kelapa sawit di Indonesia adalah Adrien Hallet (orang Belgia),

kemudian budidaya yang dilakukannya diikuti oleh K. Schadt yang menandai

lahirnya perkebunan kelapa sawit di Indonesia mulai berkembang. Perkebunan

kelapa sawit pertama berlokasi di Pantai Timur Sumatera (Deli) dan Aceh. Luas

areal perkebunan mencapai 5.123 Ha (Fauzi, dkk., 2005:6).

Pada masa pendudukan Belanda, perkebunan sawit maju pesat sampai bisa

menggeser dominasi ekspor Negara Afrika waktu itu. Memasuki masa

pendudukan Jepang, perkembangan kelapa sawit mengalami kemunduran. Lahan

perkebunan mengalami penyusutan sebesar 16% dari total luas lahan yang ada

sehingga produksi minyak sawit pun di Indonesia hanya mencapai 56.000 ton

pada tahun 1948-1949, padahal pada tahun 1940 Indonesia mengekspor 250.000

ton minyak sawit.

Pada tahun 1957, setelah Belanda dan Jepang meninggalkan Indonesia,

pemerintah mengambil alih perkebunan (dengan alasan politik dan keamanan).

Untuk mengamankan jalannya produksi, pemerintah meletakkan perwira militer

di setiap jenjang manajemen perkebunan. Pemerintah juga membentuk BUMIL

9
(Buruh Militer) yang merupakan kerjasama antara buruh perkebunan dan militer.

Perubahan manajemen dalam perkebunan dan kondisi sosial politik serta

keamanan dalam negeri yang tidak kondusif, menyebabkan produksi kelapa sawit

dunia terbesar tergeser oleh Malaysia.

Pada masa pemerintahan Orde Baru, pembangunan perkebunan diarahkan

dalam rangka menciptakan kesempatan kerja, meningkatkan kesejahteraan

masyarakat dan sektor penghasil devisa negara. Pemerintah terus mendorong

pembukaan lahan baru untuk perkebunan. Sampai pada tahun 1980, luas lahan

mencapai 294.560 Ha dengan produksi CPO sebesar 721.172 ton. Sejak itu lahan

perkebunan kelapa sawit Indonesia berkembang pesat terutama perkebunan

rakyat. Hal ini didukung oleh kebijakan Pemerintah yang melaksanakan program

Perusahaan Inti Rakyat (PIR).

Luas areal tanaman kelapa sawit terus berkembang dengan pesat di Indonesia.

Hal ini menunjukkan meningkatnya permintaan akan produk olahannya. Ekpsor

minyak sawit (CPO) indonesia antara lain ke Belanda, India, Cina, Malaysia dan

Jerman, sedangkan untuk produk minyak inti sawit (PKO) lebih banyak diekspor

ke Belanda, Amerika Serikat dan Brasil.

Kelapa sawit menjadi pemimpin dalam penghasil minyak nabati dunia

(2006), dengan produksi 37,1 juta ton dari buah kelapa sawit dan lebih dari 4,3

juta ton dari kernel minyak kelapa sawit. Sebagai saingannya 35,3 juta ton adalah

minyak kedele (Glycine max (L)Merr pada posisi kedua (Chochard et al.,2009).

Industri kelapa sawit di Indonesia mengalami perkembangan yang sangat

cepat. Saat dikembangkan pada akhir tahun 60-an luas perkebunan sawit hanya

10
sekitar 100 ribuan hektar, kemudian pada tahun 2013 telah melonjak menjadi

sekitar 9,2 juta hektar. Luas kebun sawit terus meningkat, tidak hanya akibat

pembukaan baru oleh perkebunan besar tetapi juga konversi lahan pangan yang

dilakukan oleh masyarakat petani menjadi kebun sawit. Perkembangan yang

spektakuler ini telah menjadikan Indonesia sebagai penghasil sawit nomor satu di

dunia dan mencatatkan nilai ekspor nomor dua setelah minyak bumi. Dari seluas

itu, sekitar 41 persen merupakan kebun yang dimiliki rakyat dan lebih dari

separuh sisanya merupakan perkebunan besar swasta milik asing.

Secara rata-rata petani sawit memperoleh pendapatan sekitar Rp 1-2

juta/Ha/bulan dan petani plasma bisa mencapai Rp 2-3 juta/Ha/bulan.

Dibandingkan dengan pertanian yang lebih intesif modal dan tenaga kerja

memang sedikit lebih rendah, tetapi karena luas usaha tani secara rata-rata jauh

lebih kecil (di Jawa 0.25 Ha), maka secara umum petani kebun lebih tinggi

pendapatannya. Dalam beberapa studi, pendapatan keluarga pekebun kelapa sawit

dalam pola PIR dengan luas usaha 2 Ha mencapai Rp 3-4 juta/bulan dan karet

dengan luasan yang sama mencapai Rp 1.5-2 juta/bulan. Sementara petani yang

luas usahanya 0.25 Ha hanya memperoleh Rp 1 juta/bulan.

C. Morfologi Kelapa Sawit

Pencapaian produksi tanaman untuk memenuhi permintaan minyak yang

tinggi sangat ditentukan oleh kondisi pertumbuhan tanaman kelapa sawit. Hasil

perkebunan tidak hanya bergantung pada latar belakang genetik tetapi juga faktor

lingkungan seperti kelembaban relatif, ketersediaan air, struktur tanah, aplikasi

pupuk, manajemen perkebunan dan kondisi pencahayaan (Chaum et al, 2010).

11
Tanaman kelapa sawit membutuhkan intensitas cahaya matahari yang cukup

tinggi untuk melakukan fotosintesis, kecuali pada kondisi juvenile di prenursery.

Pada kondisi langit cerah di daerah zona katulistiwa, intensitas cahaya matahari

bervariasi 1.410-1.540J/cm2/hari. Intensitas cahaya matahari sebesar 1.410 terjadi

pada bulan Juli dan Desember, sedangkan 1.540 terjadi pada bulan Maret dan

September. Dengan semakin menjauhnya suatu daerah dari khatulistiwa misalnya

pada daerah 10o LU – intensitas cahaya akan turun dan berkisar 1.218-1.500

J/cm2/hari. Intensitas 1.218 terjadi pada bulan Desember, sedangkan 1.500 terjadi

pada periode Maret-September (Pahan, 2013).

Evaluasi lahan bagi tanaman kelapa sawit merupakan aktivitas menilai

kecocokan potensi sumber daya lahan yang meliputi faktor iklim, tanah dan

bentuk wilayah dengan persyaratan tumbuh tanaman kelapa sawit. Karakteristik

lahan merupakan dasar dalam penentuan layak tidaknya suatu areal untuk

perkebunan kelapa sawit dan tinggi atau rendahnya intensitas faktor penentu suatu

areal. Kelas kesesuaian lahan (KKL) ditetapkan berdasarkan jumlah dan intensitas

faktor pembatasnya.

3.1. Akar

Susunan akar terdiri dari serabut primer yang tumbuh vertikal ke dalam

tanah dan horisontal kesamping. Serabut primer ini akan bercabang menjadi akar

sekunder ke atas dan ke bawah. Akhirnya, cabang-cabang ini juga akan bercabang

lagi menjadi akar tersier, dan begitu seterusnya, sehingga pertumbuhan akar ke

samping lebih banyak dan lebih kuat.

12
Akar primer umumnya berdiameter sekitar 6-10 mm, sedangkan akar

sekunder berdiameter sekitar 2-4 mm. Akar sekunder bercabang membentuk akar

tersier yang berdiameter 0.7-1.5 mm dan bercabang lagi membentuk akar kuartier.

Akar kuartier panjangnya hanya 1-4 mm dengan diameter 0,1-0,3 mm. Akar

kuartier ini diasumsikan sebagai akar absorpsi utama. Dari akar tersier juga ada

cabang akar yang panjangnya sampai 2 cm dengan diameter 0,2-0,8 mm.

Akar tersier dan kuartier memiliki jumlah yang sangat banyak dan

membentuk masa yang sangat lebat dekat permukaan tanah. Tanaman kelapa

sawit tidak memiliki rambut (bulu) akar, sehingga diperkirakan penyerapan unsur

hara dilakukan oleh akar-akar kuartier.

3.2. Batang

Pada pertumbuhan awal setelah fase muda terjadi pembentukan batang

yang melebar tanpa terjadi pemanjangan internodia. Batang tanaman kelapa sawit

berfungsi sebagai struktur pendukung tajuk (daun, bunga, dan buah). Kemudian

fungsi lainnya adalah sebagai sistem pembuluh yang mengangkut unsur hara dan

makanan bagi tanaman. Tinggi tanaman biasanya bertambah secara optimal

sekitar 35-75 cm/tahun sesuai dengan keadaan lingkungan jika mendukung. Umur

ekonomis tanaman sangat dipengaruhi oleh pertambahan tinggi batang/tahun.

Semakin rendah pertambahan tinggi batang, semakin panjang umur ekonomis

tanaman kelapa sawit.

3.3. Daun

Daun merupakan pusat produksi energi dan bahan makanan bagi tanaman.

Bentuk daun, jumlah daun dan susunannya sangat berpengaruhi terhadap tangkap

13
sinar matahari (Vidanarko, 2011). Daun-daun kelapa sawit disanggah oleh

pelepah yang panjangnya kurang lebih 9 meter. Jumlah anak daun di setiap

pelepah sekitar 250-300 helai sesuai dengan jenis tanaman kelapa sawit. Daun

muda yang masih kuncup berwarna kuning pucat. Duduk pelepah daun pada

batang tersusun dalam satu susunan yang melingkari batang dan membentuk

spiral. Pohon kelapa sawit yang normal biasanya memiliki sekitar 40-50 pelepah

daun. Pertumbuhan pelepah daun pada tanaman muda yang berumur 5-6 tahun

mencapai 30-40 helai, sedangkan pada tanaman yang lebih tua antara 20-25 helai.

Semakin pendek pelepah daun maka semakin banyak populasi kelapa sawit yang

dapat ditanam persatuan luas sehingga semakin tinggi prokdutivitas hasilnya per

satuan luas tanaman.

3.4. Bunga

Tanaman kelapa sawit akan mulai berbunga pada umur sekitar 12-14

bulan. Bunga tanaman kelapa sawit termasuk monocious yang berarti bunga

jantan dan betina terdapat pada satu pohon tetapi tidak pada tandan yang sama.

Tanaman kelapa sawit dapat menyerbuk silang ataupun menyerbuk sendiri karena

memiliki daun jantan dan betina. Biasanya bunganya muncul dari ketiak daun.

Setiap ketiak daun hanya menghasilkan satu infloresen (bunga majemuk).

Biasanya, beberapa bakal infloresen melakukan gugur pada fase-fase awal

perkembangannya sehinga pada individu tanaman terlihat beberapa ketiak daun

tidak menghasilkan infloresen.

14
Tanaman kelapa sawit yang berumur 2-3 tahun sudah mulai dewasa dan

mulai mengeluarkan bunga jantan atau bunga betina. Bunga jantan berbentuk

lonjong memanjang, sedangkan bunga betina agak bulat.

3.5. Buah dan Biji

Proses pembentukan buah sejak pada saat penyerbukan sampai buah

matang kurang lebih 6 bulan. Dalam 1 tandan terdapat lebih dari 2000 buah

(Risza, 1994). Biasanya buah ini yang digunakan untuk diolah menjadi minyak

nabati yang digunakan oleh manusia. Buah sawit (Elaeis guineensis) adalah

sumber dari kedua minyak sawit (diekstraksi dari buah kelapa) dan minyak inti

sawit (diekstrak dari biji buah), (Mukherjee, 2009).

Cangkang kelapa sawit merupakan salah satu limbah pengolahan minyak

kelapa sawit yang cukup besar, yaitu mencapai 60% dari produksi minyak.

Tempurung kelapa sawit dapat dimanfaatkan sebagai arang aktif. Arang aktif

dapat dibuat dengan melalui proses karbonisasi pada suhu 550ºC selama kurang

lebih tiga jam. Karakteristik arang aktif yang dihasilkan melalui proses tersebut

memenuhi Standar Industri Indonesia (SII), kecuali kadar abu. Tingkat keaktifan

arang cukup tinggi. Hal ini terlihat dari daya serap iodnya sebesar 28,9%

(Kurniati, 2008).

Setiap jenis kelapa sawit biasanya memiliki ukuran dan bobot biji yang

berbeda. Jenis biji dura panjangnya sekitar 2-3 cm dan bobot rata-rata mencapai 4

gram, sehingga dalam 1 kg terdapat 250 biji. Biji dura deli memiliki bobot 13

gram per biji, dan biji tenera afrika rata-rata memiliki bobot 2 gram per biji. Biji

kelapa sawit umumnya memiliki periode dorman (masa non-aktif).

15
Perkecambahannya dapat berlangsung lebih dari 6 bulan dengan keberhasilan

sekitar 50%. Agar perkecambahan dapat berlangsung lebih cepat dan tingkat

keberhasilannya lebih tinggi, biji kelapa sawit memerlukan pre-treatment.

3.6. Kecambah

Lembaga (embrio) yang keluar dari kulit biji akan berkembang ke dua

arah. Arah tegak lurus ke atas mengikuti cahaya (fototropi), disebut plumula yang

selanjutnya akan menjadi batang dan daun. Arah tegak lurus ke bawah mengikuti

arah gravitasi (geotropi) disebut radikula yang selanjutnya akan menjadi akar.

Plumula tidak keluar sebelum radikula tumbuh sekitar 1 cm. Akar-akar adventif

pertama muncul di sebuah ring di atas sambungan radikula-hipokotil dan

seterusnya membentuk akar-akar sekunder sebelum daun pertama muncul. Bibit

kelapa sawit memerlukan waktu tiga bulan untuk memantapkan dirinya sebagai

organisme yang mampu melakukan fotosintesis dan mengabsorpsi makanan dari

dalam tanah.

Bahan tanaman atau bibit kelapa sawit dihasilkan oleh lembaga resmi yang

ditunjuk atau diizinkan oleh pemerintah. Lembaga-lembaga tersebut menyediakan

bahan tanaman dalam bentuk benih kecambah dari biji. Setiap pembelian benih

harus hati-hati karena banyak beredar benih yang palsu. Pembelian benih dari

lemaga-lembaga tersebut disertai label di setiap kantong dan bersertifikat. Setiap

pengiriman kepada pembeli ditambah 2,5% dari jumlah pesanan. Pesanan

kecambah diajukan 3 bulan sebelum tanggal penerimaan yang dikehendaki.

16
3.7. Pupuk

Pupuk adalah zat atau bahan makanan yang diberikan kepada tanaman

dengan maksud agar zat tersebut dapat diserap oleh tanaman. Pupuk merupakan

zat yang berisi satu atau lebih nutrisi yang digunakan untuk mengembalikan

unsur-unsur yang habis terhisap tanaman dari tanah. Dalam pemberian pupuk

harus dengan dosis yang tepat serta waktu yang tepat pula agar keseimbangan zat

mineral dapat dipertahankan sehingga dapat meningkatkan hasil produksi

pertanian.

Diagnosis kebutuhan pupuk dilakukan untuk mengetahui jumlah pupuk

yang harus diaplikasikan. Kemampuan tanah dalam menyediakan hara

mempunyai perbedaan sangat berbeda tergantung pada jumlah hara yang tersedia,

adanya proses fiksasi dan mobilisasi, serta kemudahan hara tersedia (secara kimia)

untuk mencapai zona perakaran tanaman (Pahan, 2013).

D. Usaha Tani Kelapa Sawit

1) Pengertian Usaha Tani

Usaha tani adalah kegiatan usaha manusia untuk mengusahakan tanahnya

dengan maksud untuk memperoleh hasil tanaman atau hewan tanpa

mengakibatkan berkurangnya kemampuan tanah yang bersangkutan untuk

memperoleh hasil selanjutnya (Adiwilaga, 1992). Sedangkan Menurut Soekartawi

(2005), ilmu usaha tani adalah ilmu terapan yang membahas atau mempelajari

bagaimana menggunakan sumberdaya secara efisien dan efektif pada suatu usaha

pertanian agar diperoleh hasil maksimal. Dikatakan efektif apabila petani atau

produsen dapat mengalokasikan sumberdaya yang mereka miliki (yang dikuasai)

17
sebaik-baiknya dan dikatakan efisien bila pemanfaatan sumberdaya tersebut

menghasilkan keluaran (output) yang melebihi masukan (input).

Menurut Hasibuan (2011) maraknya penanaman kelapa sawit di Indonesia

dikarenakan tanaman ini merupakan bibit minyak paling produktif didunia.

Tanaman kelapa sawit yang setiap harinya membutuhkan 4 liter air untuk tumbuh

dengan baik, dapat diolah menjadi sumber energi alternatif seperti biofuel. Selain

itu, kelapa sawit mempunyai banyak kegunaan lain yaitu sebagai bahan kosmetik,

bahan makanan seperti mentega, minyak goreng dan biskuit. Kelapa sawit juga

merupakan bahan baku sabun dan deterjen. Permintaan akan tanaman ini,

diperkirakan akan meningkat dua kali lipat pada tahun 2030 dan tiga kali lipat

pada tahun 2050 dibandingkan ditahun 2000an.

Sistem agribisnis kelapa sawit terdiri atas empat subsistem agribisnis yang

masing-masing memiliki fungsi yang berbeda namun merupakan suatu kesatuan

ekonomi/pembangunan, Pertama, sub-sistem agribisnis hulu kelapa sawit (up-

stream agribusiness) yang menghasilkan barang-barang modal bagi usaha

perkebunan kelapa sawit seperti benih, pupuk, pestisida, alat-alat dan mesin

perkebunan. Berkembangnya agribisnis hulu pada suatu wilayah merupakan salah

satu indikator kemajuan ekonomi agribisnis yang penting. Hal ini dapat

dimengerti mengingat kuatnya ketergantungan (interdependency) antara agribisnis

hulu dengan usaha perkebunan bukan hanya secara ekonomi, tetapi terutama dari

segi teknis teknologi. Dengan berkembangnya agribisnis hulu akan memberi

kemandirian dan kepastian keberlanjutan serta mengurangi resiko yang dihadapi

(Tarigan, 2011).

18
Kedua, subsistem usaha perkebunan kelapa sawit (on-farm agribusiness)

yang menggunakan barang-barang modal untuk membudidayakan tanaman kelapa

sawit. Keberhasilan suatu usaha tani kelapa sawit ditentukan oleh faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas. Faktor tindakan kultur teknis

adalah yang paling banyak mempengaruhi pertumbuhan dan produktivitas,

beberapa faktor yang erat pengaruhnya antara lain: pembibitan, pembukaan lahan,

peremajaan, penanaman penutup kacang-kacangan tanah, penanaman dan

penyisipan kelapa sawit dan pemeliharaan tanaman (Mangoensoekarjo, 2008).

Subsistem yang ketiga adalah, subsistem agribisnis hilir kelapa sawit

(down stream agribusiness) yang mengolah minyak sawit (CPO) menjadi produk-

produk setengah jadi (semi finish) maupun produk jadi (finish product) seperti

oleokimia dan produk turunan serta produk-produk berbahan baku kelapa sawit.

Pola pemasaran kelapa sawit dilihat dari pengusahaannya dapat dibagi menjadi

tiga macam, yaitu perkebunan rakyat, perkebunan besar negara (PBN), dan

Perkebunan Besar Swasta (PBS). Perkebunan kelapa sawit yang dikelolah oleh

rakyat yang memiliki luas lahan terbatas yaitu 1-10 Ha, tentunya menghasilkan

produksi TBS yang terbatas pula sehingga penjualannya sulit dilakukan. Oleh

karena itu, para petani harus menjual TBS melalui pedagang tingkat desa yang

dekat dengan lokasi kebun atau melalui KUD, kemudian berlanjut ke pedagang

besar hingga ke industri pengolahan. Pemasaran produk kelapa sawit pada

perkebunan besar negara (PBN) dilakukan secara bersama melalui Kantor

Pemasaran Bersama (KPB), sedangkan untuk perkebunan besar swasta (PBS),

19
pemasaran produk kelapa sawit dilakukan oleh masing-masing perusahaan

(Suwarto, 2010).

Subsistem yang keempat adalah subsistem penyedia jasa (service for

agribusiness) yang menghasilkan atau menyediakan berbagai jenis jasa yang

diperlukan baik bagi subsistem agribisnis hulu, on-farm, maupun subsistem

agribisnis hilir kelapa sawit. Untuk berlangsungnya kegiatan produksi pada

agribisnis kelapa sawit mulai dari hulu sampai ke hilir, diperlukan beragam

kegiatan oleh sektor pemerintah maupun sektor swasta. Pada Agribisnis hulu, jasa

keahlian yang disediakan Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS) meliputi

pengembangan perbenihan, rancang bangun industri pupuk, agro otomotif, jasa

pengujian mutu pupuk dan pestisida dan lain-lain. Pada on-farm, jasa yang

disediakan PPKS antara lain penyusunan rekomendasi pemupukan dan standar

operasional procedure (SOP) manajemen perkebunan kelapa sawit. Sedangkan

pada agribisnis hilir, jasa pengembangan teknologi produk, teknologi proses dan

rancang bangun pabrik pengolahan dihasilkan PPKS. Sebagai lembaga R&D,

PKS juga menjadi sumber inovasi teknologi yang diperlukan untuk

pengembangan agribisnis kelapa sawit.

2) Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usaha Tani

Menurut Hadisapoetra (1973) untuk memperhitungkan penerimaan, biaya

dan pendapatan, pada umumnya dapat dibedakan tiga cara yaitu:

1. Cara memperhitungkan keadaan keuangan usaha tani dan petani pada suatu

waktu.

2. Cara memperhitungkan biaya dan pendapatan usaha tani selama satu tahun.

20
3. Cara memperhitungkan hubungan antara biaya dan pendapatan usaha tani

pada akhir tahun.

2.1. Biaya usaha tani

Biaya adalah sejumlah nilai uang yang dikeluarkan oleh produsen atau

pengusaha untuk membiayai kegiatan produksi. Didalam produksi faktor-faktor

produksi dikombinasikan, diproses kemudian dapat menghasilkan suatu hasil

akhir yang biasa disebut dengan produksi atau output. Dalam usaha tani dikenal

dua macam biaya, yaitu biaya tunai atau biaya yang dibayarkan dan biaya tidak

tunai atau biaya yang tidak dibayarkan. Biaya yang dibayarkan adalah biaya yang

dikeluarkan untuk membayar upah tenaga kerja luar keluarga, biaya untuk

pembelian input produksi seperti bibit, pupuk, dan obat-obatan. Kadang-kadang

juga termasuk biaya untuk iuran pemakaian air dan irigasi, dan lain sebagainya

(Daniel, 2002).

Ada empat kategori atau pengelompokkan biaya yaitu:

1. Biaya tetap (fixed costs) adalah biaya yang penggunaannya tidak habis dalam

satu masa produksi seperti pajak tanah, pajak air,penyusutan alat dan

bangunan, Dumptruck, pemeliharaan, alat semprot hama dan sebagainya.

2. Biaya variabel atau biaya-biaya berubah (variable cost) adalah biaya yang

besar kecilnya sangat tergantung pada skala produksi seperti pupuk, bibit,

obat hama dan penyakit, benih, biaya panen dan sewa tanah.

3. Biaya tunai yaitu biaya yang secara langsung dikeluarkan dalam bentuk uang,

biaya tunai dari biaya tetap dapat berupa pajak tanah dan air, sedangkan untuk

21
biaya variabel antara lain untuk biaya pemakaian benih, pupuk, obat-obatan

dan tenaga kerja luar.

4. Biaya tidak tunai (diperhitungkan) meliputi: biaya tetap, biaya untuk tenaga

keluarga, sedangkan termasuk biaya variabel antara lain biaya panen,

pengolahan tanah dan jumlah pupuk kandang yang dipakai.

Menurut Hadisapoetra (1973), biaya yang dipergunakan dalam usaha tani

meliputi:

1. Biaya alat-alat luar, adalah semua pengorbanan yang diberikan dalam usaha

tani untuk memperoleh pendapatan kotor kecuali bunga seluruh aktiva yang

dipergunakan dan biaya untuk kegiatan si pengusaha dan upah tenaga kerja

keluarga sendiri.

2. Biaya mengusahakan adalah biaya alat-alat dari luar ditambah dengan upah

tenaga kerja keluarga sendiri, yang diperhitungkan berdasarkan upah yang

dibayarkan kepada tenaga kerja luar.

3. Biaya menghasilkan adalah biaya mengusahakan ditambah dengan bunga dari

aktiva yang dipergunakan di dalam usaha tani. Biaya yang dikeluarkan oleh

petani terdiri dari biaya tetap (fixed Cost) dan biaya tidak tetap (variable

cost).

Biaya tetap dalam usaha tani ini meliputi biaya penyusutan peralatan, sewa

lahan, dan iuran KP3A. Adapun biaya variabel yang dibutuhkan selama ber usaha

tani dalam 1 (satu) kali musim tanam adalah biaya benih, pupuk, pestisida dan

tenaga kerja (Sriyoto, 2007).

22
2.2. Penerimaan usaha tani

Penerimaan usaha tani adalah keseluruhan nilai hasil yang diperoleh dari

semua cabang usaha tani dan sumber dalam usaha tani yang dapat diperhitungkan

dari hasil penjualan, pertukaran atau penaksiran kembali. Menurut Hadisapoetra

(1973), yang termasuk penerimaan usaha tani adalah:

1. Jumlah uang yang diterima dari hasil penjualan dengan mengingat akan

adanya penerimaan pada permulaan dan pada akhir tahun.

2. Nilai dari pengeluaran-pengeluaran berupa bahan dari usaha tani kepada

rumah tangga dan keperluan pribadi dari petani dan kepada usaha-usaha yang

tidak termasuk usaha tani.

3. Nilai bahan yang dibayarkan sebagai upah kepada tenaga luar.

4. Nilai dari bahan-bahan yang dihasilkan dalam usaha tani yang diperlukan lagi

dalam usaha tani sendiri sebagai bangunan-bangunan tetap misalnya kayu

untuk perumahan dan alat-alat dan sebagainya.

5. Tambahan nilai dari persediaan, modal ternak dan tanaman.

6. Hasil sewa alat-alat dan upah tenaga keluarga dari pihak-pihak lain.

Penerimaan usaha tani dapat berwujud tiga hal yaitu:

1. Nilai dari produk yang dikonsumsi sendiri oleh petani dan keluarganya

selama melakukan kegiatan usahanya seperti telur, sayuran dan buah-buahan.

2. Nilai dari keseluruhan produksi usaha tani yang dijual baik dari hasil

pertanaman, ternak, ikan maupun produk lainnya.

23
3. Kenaikan nilai inventaris, nilai benda-benda inventaris yang dimiliki petani

akan berubah-ubah setiap tahunnya. Karena ada perbedaan nilai pada awal

tahun dengan nilai pada akhir tahun perhitungan.

2.3. Pendapatan usaha tani

Pendapatan adalah seluruh penerimaan berupa uang, baik dari pihak lain

maupun dari hasil sendiri yang dinilai atas sejumlah uang atas dasar harga yang

berlaku saat ini. Menurut Siagian (2002), pendapatan (Revenue) merupakan

imbalan dari pelayanan yang diberikan. Sedangkan menurut Soekartawi (2005),

keuntungan (K) adalah selisih antara penerimaan total (PrT) dan biaya-biaya (B).

Analisis pendapatan berfungsi untuk mengukur berhasil tidaknya suatu kegiatan

usaha, menentukan komponen utama pendapatan dan apakah komponen itu masih

dapat ditingkatkan atau tidak. Kegiatan usaha dikatakan berhasil apabila

pendapatannya memenuhi syarat cukup untuk memenuhi semua sarana produksi,

Menurut Nicholson (2002), pendapatan usaha ada dua yaitu pendapatan total dan

pendapatan tunai. Pendapatan total merupakan selisih antara penerimaan total

(total revenue) dengan biaya total (total cost). Pendapatan tunai dihitung dari

selisih antara penerimaan total dengan biaya tunai.

Pendapatan usaha tani merupakan selisih penerimaan usaha tani dengan

biaya usaha tani. Pendapatan mempunyai fungsi untuk digunakan memenuhi

kebutuhan sehari-hari dan melanjutkan kegiatan usaha petani. Sisa dari

pendapatan usaha tani adalah merupakan tabungan dan juga sebagai sumber dana

untuk memungkinkan petani mengusahakan kegiatan sektor lain. Besarnya

pendapatan usaha tani dapat digunakan untuk menilai keberhasilan petani dalam

24
mengelola usaha taninya. Pendapatan usaha tani menurut Hastuti (2007:106)

“merupakan selisih antara penerimaan dan semua biaya, atau dengan kata lain

pendapatan meliputi pendapatan kotor atau penerimaan total dan pendapatan

bersih”.

Menurut Hadisapoetra (1973), pendapatan petani dapat diperhitungkan

dengan mengurangi pendapatan kotor dengan biaya-biaya alat luar dan dengan

modal dari luar. Pendapatan bersih dapat diperhitungkan dengan mengurangi

pendapatan kotor dengan biaya mengusahakan. Biaya mengusahakan adalah biaya

alat-alat luar ditambah upah tenaga kerja keluarga sendiri yang diperhitungkan

berdasarkan upah yang dibayarkan kepada tenaga kerja luar.

Pendapatan rumah tangga juga termasuk pendapatan dari luar kegiatan

usaha tani. Hal ini dapat mencakup pendapatan dari kerajinan, pensiun,

penyediaan layanan, dan pemberian upah. Rata-rata persentase dari total nilai

produksi bersih dari berbagai pendapatan lebih dari 70 persen yang berasal dari

nilai produksi. (Anonim, 2008).

Menurut Makeham (1991), pendapatan usaha tani yaitu pendapatan yang

berasal dari kegiatan usaha tani setiap tahun. Ada lima sumber umum atau

kategori pendapatan usaha tani:

1. Penjualan produk tanaman, ternak dan hasil-hasil ternak (susu, kompos).

2. Produk-produk usaha tani yang dikonsumsikan oleh keluarga tani.

3. Sisa hasil usaha (SHU) dari koperasi, kelompok tani dimana petani yang

bersangkutan menjadi anggota.

25
4. Pendapatan non-uang yang berasal dari perubahan inventaris (stok ekstra

yang ada pada akhir tahun jual-beli).

5. Pekerjaan-pekerjaan di luar usaha tani (seperti bagi hasil, kontrak, atau

bekerja sebagai buruh di kota), faktor-faktor yang dapat mempengaruhi

pendapatan usaha tani antara lain:

a. Luas usaha, meliputi:

1) Areal pertanaman

2) Luas pertanaman

3) Luas pertanaman rata-rata.

b. Tingkat produksi ukuran-ukuran tingkat produksi yaitu:

1) Produktivitas per hektar

2) Indeks pertanaman

c. Pilihan dan kombinasi cabang usaha

d. Intensitas pengusahaan pertanaman. Ditunjukkan oleh jumlah tenaga

kerja, bahwa dari modal yang digunakan terhadap suatu usaha tani

adalah:

1) Banyaknya hari kerja yang dipergunakan pada usaha tani

2) Total modal kerja pada usaha tani

3) Total biaya usaha tani

4) Indeks intensitas

e. Efisiensi tenaga kerja efisiensi tenaga kerja adalah pekerjaan produktif

yang dapat diselesaikan oleh seorang pekerja.

26
3) Efisiensi usaha tani

Efisiensi produksi yaitu banyaknya hasil produksi fisik yang dapat

diperoleh dari satu kesatuan faktor produksi (input). Kalau efisiensi fisik ini

kemudian kita nilai dengan uang maka kita sampai pada efisiensi ekonomi.

Apabila hasil bersih usaha tani besar maka ini mencerminkan rasio yang baik dari

nilai hasil biaya. Makin tinggi rasio ini berarti usaha tani makin efisien. Efisiensi

ekonomis merupakan perbandingan antara hasil yang diperoleh dengan biaya yang

dikeluarkan. Dalam pengeluaran untuk tenaga kerja, harus dihitung beberapa

imbalan yang diterima dari setiap yang digunakan (Daniel, 2002).

Rasionalisasi dan efisiensi dalam arti ekonomis memiliki tujuan

memperkecil biaya produksi per kesatuan (berat atau volume) produk dengan

maksud untuk memperoleh keuntungan optimal. Ada dua jalan yang dapat

ditempuh untuk dapat mencapai tujuan itu, yakni:

1. Memperkecil biaya keseluruhannya dengan mempertahankan tinggi produksi

yang telah dicapai.

2. Memperbesar produksi tanpa menambah biaya keseluruhannya.

4) Kontribusi Pendapatan

Kontribusi pendapatan usaha tani adalah besarnya sumbangan pendapatan

dari usaha tani terhadap pendapatan total rumah tangga petani dan dinyatakan

dalam persen (%). Dengan kontribusi berarti individu tersebut juga berusaha

meningkatkan efisisensi dan efektivitas hidupnya. Hal ini dilakukan dengan cara

menajamkanposisi perannya, sesuatu yang kemudian menjadi bidang spesialis,

agar lebih tepat sesuai dengan kompetensi. Kontribusi dapat diberikan dalam

27
berbagai bidang yaitu pemikiran, kepemimpinan, profesionalisme, finansial, dan

lainnya.

Berdasarkan pengertian kontribusi yang telah di rumuskan maka dapat

diartikan bahwa kontribusi adalah suatu keterlibatan yang dilakukan oleh

seseorang yang kemudian memposisikan dirinya terhadap peran dalam keluarga

sehingga memberikan dampak yang kemudian dinilai dari aspek sosial dan aspek

ekonomi.

E. Penelitian Yang Relevan

Penelitian yang dilakukan oleh Irsyadi Siradjuddin (2016) dengan judul

“Analisis Serapan Tenaga Kerja dan Pendapatan Petani Kelapa Sawit di

Kabupaten Pelawan”. Metode penelitian sampel diambil dari masyarakat di

daerah kecamatan penelitian yang terpilih. Pengambilan sampel dilakukan secara

purposive sampling sehingga masing-masing daerah terpilih terdapat sampel yang

mewakili. Metode ini digunakan dengan pertimbangan bahwa letak lokasi

penelitian yang berpencaran dan karakteristik masyarakat sebagai objek penelitian

yang beragam. Pengambilan sampel tersebut dilakukan sebagai berikut:

1. Memilih secara sengaja (purposive) kecamatan di Kabupaten Pelalawan.

Kecamatan yang terpilih adalah Pangkalan Kuras, Ukui, Bandar Sei Kijang,

dan Langgam. Kecamatan yang terpilih adalah kecamatan dengan luas

produksi pengembangan terluas dan jumlah produksi terbanyak di Kabupaten

Pelalawan.

2. Memilih petani secara acak sistematis (systematic random sampling) dalam

kecamatan sampel. Pada setiap kecamatan sampel, dipilih 30 petani yang

28
telah memenuhi kriteria tertentu, antara lain: 1) petani yang telah melakukan

konversi lahan kebun kelapa sawit; 2) petani yang telah melakukan kegiatan

usaha tani kelapa sawit yang telah menghasilkan TBS; dan 3) petani yang

umur tanaman kelapa sawitnya pada usia produksi optimum yaitu 5 sampai

15 tahun. Sehingga jumlah seluruh sampel adalah 120 petani.

Pengumpulan data primer dilakukan dengan menggunakan daftar

pertanyaan yang telah disusun berdasarkan kebutuhan penelitian. Kuesioner

berperan sebagai pedoman umum untuk mengingatkan peneliti agar tidak

menyimpang dari tujuan penelitian.

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Data primer diperoleh dari petani melalui pengamatan langsung di lapangan

dan wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan / kuesioner.

Penentuan kecamatan dilakukan secara sengaja, sedangkan penentuan

responden di kecamatan dilakukan secara acak sistematis.

2. Data sekunder diperoleh dari instansi pemerintah yang menangani komoditas

perkebunan pada umumnya dan kelapa sawit pada khususnya (Dinas

Perkebunan, Kantor Statistik, Kantor Kecamatan, Kantor Desa, dll), baik

ditingkat pusat, daerah/propinsi, kabupaten, dan desa sampai unit pelaksana

(unit manajemen lapangan, pelaksana lapangan, dan kelompok tani).

Kesimpulan penelitian sebagai berikut:

1. Karakteristik umur petani termasuk kategori umur produktif. Sedangkan

karakteristik pendidikan petani termasuk tingkat menengah atas (SMA).

29
2. Pendapatan kelapa sawit tertinggi di Kecamatan Ukui (Rp 23.750.347,-/Ha),

diikuti oleh Pangkalan Kuras (Rp.22.193.508,-/Ha), Bandar Seikijang

(Rp.19.100.0916,-/Ha), dan Langgam (Rp 14.099.540,- /Ha).

Berikutnya penelitian yang dilakukan Jesi Amelian (2014) dengan judul

“Analisa Pendapatan Usaha Tani Kelapa Sawit di Kecamatan Pelepat Ilir,

Kabupaten Bungo Provinsi Jambi”. Metode penelitian Pengumpulan data

merupakan langkah yang sangat penting dalam melakukan penelitian.

Pengumpulan data dalam penelitian ini menggunakan metode pengamatan

langsung (observasi) dan wawancara diisi langsung oleh peneliti sesuai dengan

hasil wawancara yang diperoleh dari responden. Kelapa sawit merupakan tanaman

yang paling produktif dengan produksi minyak per hektar yang paling tinggi dari

seluruh tanaman penghasil minyak lainnya. Perkebunankelapa sawit membuka

lapangan pekerjaan bagi masyarakat dan memberikan keuntungan bagi petani

kelapa sawit. Pendapatan dipengaruhi oleh penerimaan usaha tani yang

didapatkan dari hasil TBS yang dikalikan dengan harga jual. Hasil produksi

dipengaruhi engan luas lahan yang dimiliki. Penelitian ini dilakukan pada bulan

September 2013 sampai Oktober 2013 pada usaha tani luas lahan 4 hektar dan 2

hektar.

Berdasarkan hasil penelitian, pendapatan, R/C dan imbalan terhadap

modal usaha tani luas lahan 2 hektar lebih tinggi dibandingkan usaha tani dengan

luas lahan 4 hektar sedangkan untuk biaya usaha tani dalam satuan hektar usaha

tani luas lahan 4 hektar lebih tinggi dibandingkan usaha tani luas lahan 2 hektar.

30
Kesimpulan yang dapat diambil adalah usaha tani luas lahan 4 hektar

mengurangi luas lahan menjadi 2 hektar untuk memperoleh pendapatan yang lebih

tinggi.

Berikutnya penelitian menurut Ranika Tiwi Wijayanti (2012), dengan

judul “Analisa Keuntungan dan Skala Usaha Perkebunan Kelapa Sawit Gerbang

Serasan di Kecamatan Gunung Megang Kabupaten Muara Enim”. Penelitian ini

menggunakan data primer yang diperoleh dengan wawancara langsung kepada

responden. Responden yang diselidiki yaitu semua petani kelapa sawit Gerbang

Serasan di Kecamatan Gunung Megang (81 petani). Model analisis yang

digunakan yaitu model fungsi keuntungan Cobb-Douglas dengan metode OLS

(Method of Ordinary Least Squares) dan diolah dengan program SPSS versi 16.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa biaya pupuk NPK, biaya pupuk urea,

dan jumlah pohon produktif berpengaruh positif secara signifikan terhadap

keuntungan usaha, biaya herbisida berpengaruh negatif secara signifikan terhadap

keuntungan usaha, sedangkan biaya timbang dan angkutan secara statistik tidak

berpengaruh terhadap keuntungan usaha. Kondisi skala usaha (return to scale)

yang terbentuk yaitu Increasing Return to Scale (IRS).

31
F. Kerangka Konseptual

Adapun kerangka pemikiran peneliti yang menjadi dasar dalam penulisan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Besarnya Biaya, Penerimaan dan Pendapatan Usaha

Efisiensi Kelapa Sawit

Kontribusi Pendapatan terhadap Rumah Tangga

Gambar 1. Kerangka Konseptual

32
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah deskriptif. Deskriptif yang dimaksud yaitu

membuat penyandaran secara sistematis, faktual, akurat mengenai biaya,

pendapatan, penerimaan, efisiensi dan kontribusi usaha tani kelapa sawit di

Kecamatan Bungku Barat Kabupaten Morowali. Penelitian ini bersifat non

experimental sehingga metode yang digunakan adalah deskriptif dengan

pendekatan kualitatif kuantitatif. Deskripsi kualitatif akan menjawab pertanyaan

dari rumusan masalah penelitian sesuai dengan fakta yang akurat dan sistematis

dimana menjelaskan biaya, pendapatan, penerimaan, efisiensi dan kontribusi

usaha tani kelapa sawit di Kecamatan Bungku Barat Kabupaten Morowali.

Deskripsi kuantitatif menjelaskan keadaan yang ada dengan menggunakan

angka yang menggambarkan karakteristik sebagaimana adanya seperti

menjelaskan biaya, pendapatan, penerimaan, efisiensi dan kontribusi usaha tani ke

lapa sawit di Kecamatan Bungku Barat Kabupaten Morowali.

B. Lokasi dan Tempat Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan pada bulan April sampai Mei 2019.

Penelitian ini dilaksanakan di Kecamatan Bungku Barat. Penentuan lokasi

penelitian dilakukan dengan cara sengaja (purposive) dengan pertimbangan bahwa

kecamatan Bungku Barat merupakan salah satu kecamatan yang masyarakatnya

mayoritas berprofesi sebagai petani kelapa sawit.

33
C. Populasi dan Sampel

Menurut Sugiyono (2010), populasi adalah wilayah generalisasi yang

terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kualitas dan karakteristik tertentu

yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya. Dalam penelitian ini, populasi adalah Petani Kelapa Sawit di

Kecamatan Bungku Barat sebanyak 95 orang .

Pengambilan sampel pada penelitian ini adalah secara purposive sampling

dimana pengambilan sambilan dilakukan atas suatu pertimbangan tertentu, yaitu

petani yang memiliki luas lahan > 2 hektar dan umur tanam antara 5-25 tahun,

penggambilan sampel dilakukan dengan rumus Slovin sebagai berikut:

Keterangan: N : Populasi Penelitian

n : Sampel penelitian

d : Tingkat Kesalahan/ eror yang di gunakan (0,1)

dimana:

n=

34
= = 48,7 dibulatkan menjadi 49

D. Jenis dan Sumber Data

1. Data Primer

Data yang dikumpulkan dari hasil pertanyaan yang dilakukan terhadap

petani kelapa sawit di Kecamatan Bungku Barat, dimana data diambil adalah

biaya, produksi, harga TBS kelapa sawit dan dan produksi TBS kelapa sawit.

2. Data Sekunder

Data ini diperlukan untuk mendukung analisis dan pembahasan yang

maksimal. Data sekunder juga diperlukan terkait pengungkapan fenomena sosial

dalam penelitian ini. Data sekunder ini mengenai Gambaran Umum Kecamatan

Bungku Barat dan data lainnya yang terkait dengan penelitian ini.

E. Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

1. Field Research (Riset lapangan)

Metode ini dilakukan dengan cara tanya jawab secara langsung kepada

Petani kelapa sawit dan memberikan keterangan yang berhubungan dengan

masalah yang akan dibahas dalam penelitian ini. Dalam penelitian ini, penulis

35
melakukan wawancara langsung dengan petani Kelapa Sawit di Kecamatan

Bungku Barat.

2. Kuisioner

Metode ini dilakukan dengan cara mengisi daftar pertanyaan yang di

ajukan oleh peneliti kepada responden. Responden dalam penelitian ini adalah

Petani Kelapa Sawit di Kecamatan Bungku Barat.

F. Metode Analisis Data

Analisa penelitian di lakukan terhadap petani kelapa sawit pada berbagai

kelompok umur produksi yaitu tanaman kelapa sawit menghasilkan umur 1

sampai dengan 20 tahun atau umur tanam 5-25 tahun. Hal demikian dilakukan

karena tanaman kelapa sawit menghasilkan produk dan perawatan yang berbeda-

beda pada setiap umur tanaman. Dimana berbedanya umur tanaman maka akan

berbeda produksi yang didapatkan oleh petani kelapa sawit dan berbedanya

produksi yang didapatkan dalam perpanennya maka akan berbeda pendapatan

yang didapatkan oleh petani kelapa sawit.

1. Total Biaya

Untuk menghitung biaya total dapat di hitung dengan menggunakan rumus

yaitu:

TC = TFC + TVC

36
Keterangan: TC (Total Cost) = Biaya Total Produksi (Rp)

TFC (Total Fixed Cost) = Biaya Tetap (Rp)

TVC (Total Variable Cost) = Biaya Variabel (Rp)

Biaya yang dimaksud dalam penelitian ini adalah biaya operasional tidak

termasuk biaya investasi tanaman.

2. Penerimaan Usaha

Untuk menghitung penerimaan pada usaha tani dapat menggunakan

rumus:

TR = P x Q

Keterangan : TR (Total Revenue) = Total penerimaan (Rp)

P (Price) = Harga produksi (Rp)

Q (Quantity) = Jumlah Unit Produksi (Rp)

3. Pendapatan Usaha

Pendapatan dihitung melalui pengurangan antara penerimaan total dengan

total biaya. Untuk melihat besarnya pendapatan usaha menggunakan rumus yaitu:

Π = TR – TC

Keterangan : Π (Profit) = Pendapatan (Rp)

TR (Total Revenue) = Total penerimaan (Rp)

TC (Total Cost) = Total Biaya (Rp)

4. R/C Ratio

37
Untuk mengetahui perbandingan antara total penerimaan (revenue) dan

total biaya produksi (cost) selama periode penelitian tidak termasuk biaya

investasi tanaman, maka digunakan rumus sebagai berikut:

R/C Ratio =

Keterangan : R/C ratio (Revenue Cost Ratio) = Biaya Penerimaan

TR (Total Revenue) = Total Penerimaan (Rp)

TC (Total Cost) = Total Biaya Produksi (Rp)

38
BAB IV

HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

A. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

1. Kondisi Geografis Kecamatan Bungku Barat

Kecamatan Bungku Barat merupakan salah satu kecamatan yang ada


di Kabupaten Morowali yang memiliki luas 758,93 km2, dengan Ibu kota
kecamatan berada di desa Wosu. Jumlah penduduk kecamatan ini adalah
sebanyak 11.854 jiwa dengan tingkat rata-rata penduduk per km 2 adalah 16
jiwa/km2. Kecamatan Bungku Barat memiliki 10 desa/kelurahan. Jarak
terjauh desa/kelurahan menuju kepusat kota adalah desa Marga Mulia yang
berjarak 16 km yang dapat dilalui dengan kendaraan roda empat. Di
kecamatan Bungku Barat sendiri memiliki 1 buah gunung yang aktif yakni
gunung Kota Eano yang memiliki ketinggian 500 m, serta 3 buah sungai
yang masing-masing berada didesa Reko-reko, Bahoeano dan Ambunu.
Adapun letak batas-batas wilayah Kecamatan sebagai berikut:
a. Sebelah Utara : Perairan teluk Tolo dan wilayah Kecamatan Bumi
Raya
b. Sebelah Selatan : Wilayah Kecamatan Bungku Tengah dan Wilayah
Propinsi Sulawesi Selatan
c. Sebelah Timur : Perairan Teluk Tolo dan Kecamatan Bungku
Tengah
d. Sebelah Barat : Wilayah propinsi Sulawesi Selatan, wilayah
kecamatan Bumi Raya dan wilayah kecamatan
Witaponda
Terkait dengan administrasi pemerintahan, wilayah Bungku Barat
terbagi ke dalam wilayah Dusun, RW dan RT dapat dilihat pada Tabel 1.

39
Tabel 1. Jumlah penduduk dan rumah tangga dalam Kecamatan
Bungku Barat Kabupaten Morowali

No Desa/kelurahan Dusun RT Jumlah Rumah Tangga


Penduduk
1 Bahoea reko-reko 5 12 2066 467
2 Wosu 5 24 3104 702
3 Larobenu 3 8 965 218
4 Umpanga 4 8 1015 229
5 Tofogaro 5 12 1267 286
6 Tondo 3 6 675 152
7 Ambunu 3 6 904 204
8 Marga Mulia 4 9 962 217
9 Uedago 2 2 313 71
10 Wata 2 3 583 132
Jumlah 36 90 11.854 2.678
Sumber: BPS Bungku Barat, Tahun 2019
Kecamatan Bungku Barat memiliki 10 desa/kelurahan yang memiliki
jumlah penduduk sekitar 11.854 jiwa dan jumlah rumah tangga sekitar 2.678
rumah tangga. Bungku Barat sendiri merupakan salah satu kecamatan
penghasil kelapa sawit yang ada di kabupaten Morowali, dengan luas tanam
10.181 Ha dan jumlah produksi yang dihasilkan sebanyak 25.613.820 kg.
Mata pencaharian utama masyarakatnya umumnya dibidang perkebunan,
khususnya kelapa sawit sebagai usaha prioritas.
Tabel 2. Luas Panen. produksi dan hasil perHektar perkebunan Rakyat
No Jenis Tanaman Luas Tanam (Ha) Produksi (Kg)
1 Kelapa 136 77400
2 Kopi 11 2690
3 Cengkeh 103 16014
4 Kelapa Sawit 10.181 25.613.820
5 Kakao 824 675130
6 Pala 59 8700
7 Lada 50 3600
8 Karet 35 1638
9 Jambu Mete 41 11600
10 Vanili 141 14976
11 Kapuk - -
12 Aren - -
13 Kemiri - -
Sumber: Dinas pertanian, Peternakan, dan kesehatan Hewan Daerah Kabupaten Morowali,
Tahun 2019.

40
B. Hasil Penelitian

1. Karakteristik Responden

Karakteristik petani responden dalam penelitian ini adalah

gambaran/ keadaan atau ciri-ciri para petani yang menjalankan usaha

tani kelapa sawit di Kecamatan Bungku Barat. Adapun karakteristik

tersebut meliputi jenis kelamin, umur tanaman dan luas lahan.

Karakteristik ini memiliki kaitan dengan tingkat pendapatan dan

kesejahteraan hidup petani, karena menggambarkan kemampuan bekerja,

produktifitas, pola pikir, perencanaan dan berbagai kemampuan lainnya

terutama dalam meningkatkan pertanian kelapa sawit yang diusahakan.

a) Berdasarkan Jenis Kelamin

Adapun karakterisitk responden berdasarkan jenis kelamin dapat

dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3. Karakteristik Petani Kelapa Sawit di kecamatan Bungku


Barat berdasarkan Jenis Kelamin Tahun 2019
No Jenis Kelamin Responden Persentase (%)
1 Perempuan 6 12,24
2 Laki-laki 43 87,76
3 Jumlah 49 100
Sumber: Data Primer (diolah), 2019

Berdasarkan tabel 3 diatas, dapat dilihat bahwa responden dari

penelitian ini di dominasi oleh responden yang berjenis kelamin laki-laki

dengan jumlah sebanyak 43 orang (87,76%) dan perempuan sebanyak 6

orang (12,24%).

41
b) Berdasarkan Umur Tanaman

Umur tanaman merupakan salah satu faktor yang paling penting

untuk menentukan tingkat produktifitas tanaman kelapa sawit. Umur

tanaman kelapa sawit akan mempengaruhi produksi, perawatan,

penggunaan alat produksi dan aplikasi penggunaan pupuk.

Tabel 4. Karakteristik Petani Kelapa Sawit di kecamatan Bungku


Barat berdasarkan Umur Tanaman Tahun 2019
No Umur Tanaman Responden Persentase (%)
1 5 tahun 22 44,90
2 6 tahun 17 34,69
3 7 tahun 3 6,12
4 8 tahun 3 6,12
5 10 tahun 4 8,16
Jumlah 49 100
Sumber: Data Primer (diolah), 2019

Berdasarkan Tabel 4 diatas, dapat diketahui bahwa sebagian

besar responden adalah memiliki umur tanaman kelapa sawit tertinggi

adalah tanaman pada umur 5 tahun sebanyak 22 orang (44,90%). Hal

ini menunjukkan bahwa tingkat penanaman kelapa sawit di daerah ini

masih tergolong baru mulai, sehingga tanamannya masih banyak

yang muda. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran 2.

42
c) Berdasarkan Luas Lahan

Jumlah dan persentase responden berdasarkan luas lahan dapat

dilihat pada Tabel berikut:

Tabel 5. Karakteristik Petani Kelapa Sawit di Kecamatan


Bungku Tengah Kabupaten Morwali Berdasarkan
Luas Lahan
No Luas Lahan (Ha) Responden Persentase (%)
1 2 16 32,65
2 3 12 24,49
3 4 6 12,24
4 5 8 16,33
5 6 1 2,04
6 8 2 4,08
7 9 1 2,04
8 10 3 6,12
Jumlah 49 100
Sumber: Data Primer (diolah), 2019

Berdasarkan Tabel 5 diatas, diketahui bahwa jumlah petani

yang memiliki luas lahan terbanyak adalah pada luas lahan 2 hektar

yaitu sebanyak 16 orang (32,65%), kemudian disusul dengan luas

lahan terkecil yaitu 6 dan 9 hektar sebanyak masing-masing 1 orang

(2,04%). Besar kecilnya luas lahan petani ini berpengaruh terhadap

pendapatan petani dari hasil usaha tani kelapa sawit, dimana panen

kelapa sawit akan lebih sedikit jika luas lahan petani kecil dan

demikian sebaliknya. Untuk lebih jelasnya dapat dilihat pada lampiran

2.

43
2. Kegiatan Pertanian Usaha Tani Kelapa Sawit

Dalam menjalankan sebuah usaha diperlukan pengetahuan,

ketekunan dan kegigihan begitu juga dengan pertanian kelapa sawit,

petani harus serius dalam melakukan usaha pertanian kelapa sawit

tersebut. Kelapa sawit mulai dapat di panen setelah tanaman tersebut

berumur 3-4 tahun, pada tahapan ini hasil panen masih sedikit karena

berat janjang rata-rata (BJR) masih kecil. Dalam memproduksi hasil

kebun kelapa sawit harus memanen semua buah pada tingkat kematangan

yang optimum, yaitu pada saat tandan buah segar (TBS) mengandung

minyak dan kernel tertinggi, memanen hanya buah yang matang dan

mengutip brondolan, mengirim TBS ke pabrik dalam waktu 24 jam setelah

panen, hal ini dimaksudkan untuk mengurangi kandungan asam lemak

bebas di dalam minyak sawit mentah.

Untuk mendukung produktifitas tanaman kelapa sawit harus

dilakukan pemupukan. Pemupukan pada tanaman yang telah

menghasilkan buah (masa TM) berguna untuk tanaman sebagai nutrisi

untuk pembentukan buah, pertumbuhan, dan perkembangan kelapa sawit.

Teknik aplikasi, dosis, jenis pupuk dan lain-lain tergantung pada jenis

tanah (mineral, gambut, dan lain-lain), umur tanaman, tingkat produksi

yang dicapai, realisasi pemupukan sebelumnya, jenis pupuk yang dipakai,

tenaga kerja yang tersedia, keadaan penutup tanah, dan analisa kadar hara

pada tanah, selain itu aplikasi pupuk ini tergantung pada pemilik

44
perkebunan kelapa sawit tersebut. Pada umumnya masyarakat di

Kecamatan Bungku Barat memberikan pupuk pada perkebunan sawitnya

jenis NPK, Urea, ZA dan SP36, dosis yang diaplikasikan beragam 0,5-1

kg per batang dengan rotasi pemupukan 6 bulan sekali.

Panen dilakukan 2 kali dalam 1 bulan dengan penggunaan

peralatan produksi seperti, kereta sorong (lori), parang, dodos dengan lebar

10-12,5 cm dan egrek. Selain itu hal yang perlu diketahui dalam memanen

hasil kebun kelapa sawit haruslah pada saat kelapa sawit berumur 3 tahun :

0.6 ton/hk, 4 tahun : 0.8 ton/hk, 5 tahun : 1.2 ton/hk atau 1.5 ton/hk.

Sistem produksi hasil kebun kelapa sawit di Kecamatan Bungku Barat,

yaitu tandan buah matang harus mempunyai sedikitnya 1 brondolan di

piringan sebagai tanda buah tersebut siap di panen, pelepah yang di tunas

di potong dan di susun rapi pada gawangan, rotasi panen di pertahankan

pada interval 7-10 hari, TBS di brondolan di susun rapi di tempat

pemungutan hasil untuk diangkut ke pabrik, tangkai buah di potong dan

seluruh kotoran tandan di bersihkan sebelum pengangkutan, tingkat ekstasi

minyak >22% dan kandungan ABL <2%.

Untuk memudahkan pelaksanaan panen dan memastikan

produktifitas panen yang tinggi mandor menentukan sistem ancak/petak.

Satu ancak terdiri dari 2-4 baris tanaman yang berdekatan tergantung pada

perapatan buah masak. Area panen harus di bagi menjadi 5-6 bagian

tergantung dari berapa hari kerja selama semigancakan sistem pengancakan

terdiri dari 3 sistem yaitu:

45
a. Ancak giring murni
b. ancak giring tetap
c. ancak tetap
Pada sistem ancak giring setiap pemanen melaksanakan panen pada ancak
panen yang ditetapkan setiap hari panen oleh mandor panen bagian areal
panen selalu berubah di sesuaikan dengan kerapatan panen dan kehadiran
tenaga kerja pemanen. Pada sistem ini apabla suatu ancak telah selesai di
panen pemanen pindah ke ancak berikutnya ancak berikutnya bersifat tetap
dan bersifat tdk tetap sehingga di kenal dengan sistem ancak giring murni
(tidak tetap) dan sistem giring tetap.
Dalam proses panen atau produksi kebun kelapa sawit di
Kecamatan Bungku Barat dapat dilakukan dengan berbagai kegiatan,
seperti:
1. memotong tandan
2. mengambil/mendodos buah yang telah siap untuk dipanen
3. mengutip brondolan hasil dari rontokan panen
4. mengangkut hasil panen ke TPH (tempat pemungutan hasil)
3. Analisis Usaha Pertanian Kelapa Sawit

Analisis usaha tani dilakukan dengan menghitung pendapatan dan


rasio R/C usaha tani pertanian kelapa sawit, berdasarkan biaya operasional
perawatan tanpa biaya investasi tanaman di Kecamatan Bungku Barat.
Analisis usaha pertanian kelapa sawit yang dilakukan dalam penelitian ini
adalah terhadap petani pemilik perkebunan kelapa sawit yang
mengusahakan usaha pertanian kelapa sawit. Analisis yang dilakukan
mengacu kepada konsep pendapatan atas total biaya operasional yang
harus dikeluarkan.

46
4. Jenis Biaya

Biaya adalah semua pengorbanan yang perlu dilakukan untuk suatu

proses produksi yang dinyatakan dengan satuan uang menurut harga pasar

yang berlaku. Biaya pemeliharaan tanaman menghasilkan dinyatakan

dalam Rp/ton, karena merupakan biaya eksploitasi yaitu pengeluaran

untuk memperoleh pendapatan dari hasil produksi. Biaya pemeliharaan

tanaman menghasilkan (TM) dan biaya panen merupakan komponen biaya

produksi yang menentukan tinggi rendahnya pendapatan yang diterima

petani. Jenis biaya yang dikeluarkan untuk menjalankan usaha tani kelapa

sawit di kecamatan Bungku Barat terdiri dari beberapa jenis biaya. Biaya

tenaga kerja dan biaya pemeliharaan tanaman seperti pada tabel berikut :

Tabel 6 Biaya Tenaga Kerja Pada Usaha Tani Tahun 2019.


No Nama Luas Pemupukan Penunasan Penyempro Piringan Pemanenan
lahan (Rp) (Rp) tan (Rp) (Rp) (Rp)

1. Abu Bakar 2 280.000 1.112.000 1.080.000 1.112.000 7.735.000 11


2. Raja Cutty 3 390.000 2.085.000 1.620.000 1.251.000 12.191.000 15
3. Ishak 4 560.000 2.780.000 2.400.000 2.224.000 14.504.000 22
4. Abdurrahman 5 650.000 3.475.000 3.000.000 2.780.000 19.536.000 29
5. Muhammad D 6 780.000 4.170.000 3.600.000 4.170.000 24.541.000 37
6. M Yusuf Suki 8 1.120.000 5.560.000 4.800.000 5.560.000 45.225.000 62
7. Dokri 9 1.260.000 6.255.000 5.400.000 5.004.000 32.762.000 50
8. H Hamzah 10 1.400.000 6.950.000 6.000.000 5.560.000 52.291.000 72
Sumber : Data diolah 2019

47
Berdasarkan tabel 6 di atas , diketahui bahwa total biaya tenaga

kerja pada usaha tani kelapa sawit di bungku barat adalah biaya tenaga

kerja yang harus di keluarkan oleh setiap petani untuk melakukan jasa

pemupukan, penunasan, penyemprotan, piringan dan pemamenan.

pemupukan di lakukan 6 bulan sekali dengan menggunakan pupuk

jenis NPK, Urea, ZA dan SP36, dosis yang di aplikasikan beragam 0,5-1

kg per batang dan petani harus mengeluarkan biaya Rp 65.000 sampai Rp

70.000 perharian kerja.

Kedua Penunasan atau disebut juga pemangkasan adalah

pembuangan daun-daun yang tidak produktif pada tanaman kelapa sawit.

Tujuan penunasan adalah memperbaiki sirkulasi udara di sekitar tanaman

sehingga dapat membantu proses penyerbukan secara alami, mengurangi

penghalang pembesaran buah dan kehilangan brondolan buah terjepit pada

pelepah daun, membantu dan memudahkan pada waktu panen agar proses

metabolisme tanaman berjalan lancar, terutama proses fotosintesis dan

respirasi.. Untuk biaya penunasan petani mengeluarkan biaya Rp.3.500

sampai Rp.5.000 per batang.

Ketiga penyemprotan kelapa sawit bertujuan untuk menanggulangi


gulma yang tubuh di lahan. Penyemprotan ini termasuk dalam upaya
perawatan tanaman kelapa sawit. Perawatan ini bertujuan untuk
mengendalikan pertumbuhan gulma, Petani memakai Round Up dan
Gramaxone untuk mengoptimalkan pertumbuhan tanaman sehingga
diharapkan bisa panen dengan hasil yang optimal, untuk biaya
penyemprotan petani mengeluarkan biaya Rp.9.000 sampai Rp.10.000 per
tangki.

48
Keempat Piringan adalah kegiatan yang di lakukan dengan
membersihkan gulma yang terdapat di sekekling pohon kelapa sawit pada
radius kurang dari 1,5 m dari tanaman, Pemeliharaan piringan dilakukan
dengan rotasi 1—2 bulan sekali tergantung kebutuhan.  Umumnya, pada
musim hujan rotasi pemeliharaan piringan dilakukan lebih rapat karena
pertumbuhan gulma akan lebih cepat dibandingkan musim kemarau. Dan
untuk biaya piringan petani mengeluarkan biaya Rp.1.500 sampai
Rp.2.500 dalam setiap batang atau pohon kelapa sawit.
Kelima Pemanenan adalah kegiatan yang terpenting, pada saat
tandan buah sawit telah matang harus mempunyai sedikitnya 1 brondolan
di pringan sebagai tanda buah tersebut siap untuk di panen untuk
pemanenan di lakukan 2 kali dalam 1 bulan dan petani mngeluarkan biaya
Rp.200 per kg. Untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada lampiran 3.
Tabel 7 Biaya Pemeliharaan Tanaman di Bungku Barat Kabupaten
Morowali Tahun 2019.
Biaya
Luas
Pupuk Obat
No Nama lahan Jumlah
(Rp) Hama
(Rp)
1. Abu Bakar 2 4.170.000 700.000 4.870.000
2. Raja Cutty 3 6.088.200 1.300.000 7.388.200
3. Ishak 4 7.784.000 840.000 8.624.000
4. Abdurrahman 5 9.730.000 1.950.000 11.680.000
5. Muhammad D 6 4.200.000 1.650.000 5.850.000
6. M Yusuf Suki 8 15.153.200 3.250.000 18.403.200
7. Dokri 9 17.514.000 2.600.000 20.114.000
8. H Hamzah 10 18.626.000 1.650.000 20.276.000
Sumber : Data diolah 2019

Berdasarkan tabel 7 di atas dapat di lihat jumlah total penggunaan

pupuk pada tahun 2019 petani kelapa sawit di kecamatan Bungku barat

49
menggunakan 4 jenis pupuk dengan harga yang bervariasi dalam setiap kg.

NPK Rp.6.500 sampai Rp.7.500 per kg, Urea Rp 2.700 sampai Rp.3.000

per kg, ZA Rp.2.500 per kg dan SP36 Rp.3.300 sampai Rp.3.500 per kg ,

Pemupukan di aplikasikan sebanyak 2 kali dalam 1 tahun, artinya jumlah

batang di kali jumlah kilogram pupuk di kali jumlah rotasi dan petani

kelapa sawit di kecamatan Bungku Barat pada tahun 2019 lebih

mendominasi pemakaian pupuk NPK

Penggunaan pestisida petani kelapa sawit di bungku barat

menggunakan 2 jenis pestisida Rond Up dan Gramaxone dengan harga

yang bervariasi, Round Up Rp.65.000 sampai Rp.70.000 per liter dan

Gramaxone Rp.50.000 sampai Rp.60.000 per Liter dan pemakaian

pestisida, petani kelapa sawit di Bungku Barat lebih mendominasi

pestisida jenis Round Up. untuk lebih jelasnya dapat di lihat pada

lampiran 5.

5. Produksi Petani

Produksi adalah total hasil usaha tani yang di dapatkan kebun

kelapa sawit dalam jangka waktu tertentu, Dimana volume kelapa sawit

yang dipanen tersebut berbeda-beda jumlahnya tergantung pada jumlah

buah kelapa sawit dalam setiap pohonya dan luas lahan pertanian, untuk

lebih jelasnya tentang produksi petani kelapa sawit di kecamatan Bungku

Barat Kabupaten Morowali tahun 2019 sebagai berikut:

Tabel 8 Produksi Petani Kelapa Sawit di Kecamatan Bungku Barat


Kabupaten Morowli Tahun 2019

50
No Nama Luas Produksi Produksi Bersih
lahan (kg) (kg)

1. Abu Bakar 2 38.675 36.741


2. Raja Cutty 3 60.955 57.907
3. Ishak 4 72.520 68.894
4. Abdurrahman 5 97.680 92.796
5. Muhammad D 6 122.705 116.570
6. M Yusuf Suki 8 226.125 214.819
7. Dokri 9 163.810 155.620
8. H Hamzah 10 261.455 248.382
Sumber : Data diolah 2019
Berdasarkan tabel 8 di atas dapat di lihat bahwa jumlah produksi

petani kelapa sawit disebut sebagai pendapatan kotor petani karena belum

dikurangi dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk usaha tani

kelapa sawit. Untuk lebih jelasnya tentang produksi usaha tani kelapa

sawit di kecamatan Bungku Barat dapat dilihat pada lampiran 7.

6. Pendapatan Petani.
pendapatan petani adalah hasil pengurangan antara total

penerimaan yang diterima petani perpanennya dengan total biaya yang

dikeluarkan oleh petani perpanennya. Jumlah pendapatan per petani

kelapa sawit berbeda-beda antara satu petani dengan petani lainnya

tergantung pada besarnya jumlah penerimaan, jumlah produksi, jumlah

luas lahan dan jumlah biaya per petani dari usaha tani kelapa sawit dapat

di lihat pada tabel sebagai berikut :

Tabel 9. Pendapatan Petani Kelapa Sawit di Kecamatan Bungku


Barat Kabupaten Morowali Tahun 2019.
Luas Total Total Biyaya Pendapataan
No Nama lahan Penerimaan (Rp) (Rp)

51
(Rp)
1. Abu Bakar 2 48.651.539 16.831.123 31.820.416
2. Raja Cutty 3 77.113.155 27.186.867 33.146.662
3. Ishak 4 92.475.842 32.005.333 60.470.509
4. Abdurrahman 5 122.142.735 42.516.793 79.625.942
5. Muhammad D 6 154.600.631 44.617.667 109.982.964
6. M Yusuf Suki 8 287.320.078 93.660.620 193.820.416
7. Dokri 9 207.233.301 87.807.500 119.425.801
8. H Hamzah 10 330.503.631 109.366.167 221.137.464
Sumber : Data diolah 2019

Berdasarkan tabel 9 di atas, Pendapatan Petani Per Tahun =

Penerimaan – Biaya

= Rp. 48.651.539 – Rp. 16.831.123

= Rp. 31.820.416 : 2 Ha

= Rp. 15.910.208

Rata-rata pendapatan petani yang memiliki Luas lahan kelapa sawit 2

Ha adalah Rp. 15.910.208 ,-/Ha/tahun. Pendapatan petani ini adalah

pendapatan bersih atau dapat juga dikatakan sebagai keuntungan bagi

petani dalam menjalankan usaha tani kelapa sawit yang diusahakan selama

setahun. Untuk lebih jelasnya tentang pendapat petani di kecamatan

Bungku Barat kabupaten Morowali dapat di lihat pada yang Lampiran 8.

7. R/C Ratio

Analisis Kelayakan Usaha dapat dihitung dengan menggunakan

rumus Return Cost Ratio (R/C) dimana untuk menghitung R/C dilakukan

membagi antara penerimaan yang diterima oleh petani kelapa sawit

dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani untuk usaha tani kelapa sawit.

52
Pada penelitian ini biaya yang dimaksud adalah biaya operasional di luar

biaya investasi tanaman sebagaimana telah dijelaskan pada metode

penelitan untuk lebih jelasnya tentang pendapatan dan nilai R/C Ratio

dapat di lihat pada tabel berikut.

Tabel 10. Pendapatan dan R/C Ratio Petani Kelapa Sawit di Kecamatan
Bungku Barat Kabupaten Morowali Tahun 2019.

No Nama Luas Total Total Pendapataan R/C


lahan Penerimaan Biaya (Rp)
(Rp) (Rp)
1. Abu Bakar 2 48.651.539 16.831.123 31.820.416 2,810
2. Raja Cutty 3 77.113.155 27.186.867 33.146.662 2,84
3. Ishak 4 92.475.842 32.005.333 60.470.509 2,89
4. Abdurrahman 5 122.142.735 42.516.793 79.625.942 2,88
5. Muhammad D 6 154.600.631 44.617.667 109.982.964 3,47
6. M Yusuf Suki 8 287.320.078 93.660.620 193.820.416 3,07
7. Dokri 9 207.233.301 87.807.500 119.425.801 2,37
8. H Hamzah 10 330.503.631 109.366.167 221.137.464 3,03
Sumber : Data diolah 2019

Berdasarkan tabel 10 dia atas dapat di lihat bahwa perhitungan R/C

Ratio adalah sebagai berikut:

R/C Ratio =

= = 2,890569 dibulatkan 2,810

53
Dalam penelitian ini hasil dari R/C adalah penerimaan rata-rata

petani dibagi dengan biaya yang dikeluarkan oleh petani sehingga nilai

R/C Ratio adalah 2,810. Hal ini berarti petani akan mendapatkan

penerimaan sebesar Rp. 2,810 untuk setiap 1 rupiah biaya yang dikeluarkan,

dengan demikian usaha tani Kelapa Sawit di kecamatan Bungku Barat telah

menguntungkan bagi petani. Untuk lebih jelasnya tentang analisis R/C dari

pertanian kelapa sawit di kecamatan Bungku Barat dapat dilihat pada

lampiran 3,5,7 dan 8.

C. Pembahasan

Berdasarkan hasil wawancara diketahui, bahwa masyarakat yang

menjalankan usaha tani di kecamatan Bungku Barat memiliki perkebunan

kelapa sawit sendiri (Hak Milik) atau bahkan ada juga beberapa warga yang

bekerja sebagai pekerja diperkebunan milik perusahaan. Walaupun harga

buah sawit kadang tidak stabil yang berakibat pada naik turunnya harga,

namun sepertinya hal itu tidak menjadi resiko yang berdampak besar terhadap

hasil pendapatan usaha yang diterima. Jika harga buah sawit naik namun hasil

produksi menurun dan jika harga buah sawit turun yang terjadi sebaliknya,

hasil produksi akan meningkat. Dalam sebulan kebun dapat memproduksi

sebanyak 2 kali panen dengan hasil produksi yang langsung dijual ke agen

atau langsung ke pabrik terdekat.

Dari hasil analisis diperoleh bahwa yang mempunyai nilai R/C Ratio

tertinggi adalah (3,47), dengan luas lahan 6 hektar dan selanjutnya di susul

oleh (3,07) luas lahan 8 hektar dan yang paling terrendah adalah (2,37),

54
dengan luas lahan 9 hektar, Dapat di simpulkan bahwa tinggi atau rendahnya

yang di dapatkan oleh petani kelapa sawit tidak hanya berdasarkan luas lahan

akan tetapi tergantung dari banyaknya jumlah produksi dan biaya produksi

yang di keluarkan, Jika jumlah produksi lebih tinggi daripada biaya produksi

maka semakin tinggi pendapatan yang di peroleh setiap petani begitupun

sebaliknya, Melalui hasil wawancara juga diketahui, bahwa sebagian besar

responden menyatakan bahwa pendapatan dari usaha tani ini sangat baik, dan

hasilnya sangat lumayan mampu membantu perekonomian keluarga mereka.

Sedangkan untuk rasio efisiensinya atau petani yang mempunya nilai

R/C Ratio tertinggi adalah sebesar 3,47 >1 artinya bahwa efisiensi usaha tani

kelapa sawit ini sudah efisien. Efisiensi tersebut membuktikan bahwa usaha

tani kelapa sawit yang ada di kecamatan Bungku Barat Kabupaten Morowali

dapat dikatakan sangat membantu masyarakat yang menjalankan usahanya

dalam bidang ekonomi guna memenuhi kebutuhan keluarga sehari-hari. Atau

dengan kata lain adanya usaha tani kelapa sawit ini dapat meningkatkan taraf

hidup masyarakat sehingga tidak kekurangan.

BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil dan pembahasan dari penelitian ini, maka dapat

ditarik kesimpulan sebagai berikut:

55
1. Rasio efisiensi di tahun 2019 sebesar 3,47 > 1, maka dapat di simpulkan

bahwa usaha tani kelapa sawit di Kecamatan Bungku Barat Kabupaten

Morowali pada tahun 2019 sudah efisien. Efisiensi tersebut membuktikan

bahwa usaha tani kelapa sawit di Kecamatan Bungku Barat Kabupaten

Morowali sangat membantu masyarakat yang menjalankan usaha tani

dalam perekonomian atau dalam memenuhi kebutuhan sehari-harinya.

2. Masyarakat yang menjalankan usaha tani di Kecamatan Bungku Barat

memiliki perkebunan kelapa sawit sendiri (Hak Milik) Walaupun harga

buah sawit sering tidak stabil yang terkadang naik dan turun, namun

tidak menjadi resiko yang berdampak besar terhadap hasil pendapatan

usaha yang diterima. Jika harga buah sawit naik terkadang hasil produksi

yang menurun dan jika harga buah sawit menurun yang terjadi

sebaliknya, yaitu hasil produksi yang meningkat. Dalam sebulan kebun

dapat memproduksi sebanyak 2 kali panen.

3. Rata-rata penerimaan petani pertahunnya itu adalah sebesar Rp.

48.651.539,- dengan rata-rata luas lahan 2 ha dan biaya operasional

Rp.16.831.123 maka rata-rata penerimaan perhektarnya adalah berkisar

sebesar Rp. 15.910.208.

B. SARAN

Berdasarkan kesimpulan dari penelitian ini, maka dapat diberikan

saran kepada pihak-pihak terkait dalam penelitian ini, yaitu:

1. Walaupun harga buah sawit sering tidak stabil yang terkadang naik

dan turun, masyarakat harus mampu mengimbangi hasil produksi

56
dengan harga buah sawit sehingga pendapatan usaha tani tidak

anjlok dan bisa lebih meningkat lagi.

2. Walaupun rasio efisiensi di tahun 2019 ini cukup besar bukan berarti

masyarakat harus lengah dalam memanajemen usaha tani tersebut,

dan sebaliknya masyarakat yang menjalankan usaha tani harus lebih

aktif agar dapat meningkatkan efisiensi usaha tani kelapa sawit di

Kecamatan Bungku Barat

3. Dengan kontribusi pendapatan yang cukup besar masyarakat yang

menjalankan usaha tani harus dapat menjaga hal tersebut, karena

kurangnya kontribusi pendapatan akan berdampak pada kondisi

perekonomian keluarga dan rumah tangga.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwilaga, A. 1992. Ilmu Usaha Tani. Cetakan ke-III. Penerbit Alumni, Bandung.
Aleksander, C. 2009. The future of nucleus-plasma partnership, Presentation at
the RSPO Task Force for Smallholders meeting, 1 November, Kuala
Lumpur.

57
Amelian J,. 2014. Analisis Pendapatan usaha tani Kelapa Sawit di Kecamatan
Pelepat Ilir Kabupaten Bungo Provinsi Jambi, Bogor: Fakultas
ekonomi dan manajemen, Institusi Pertanian Bogor.
Anonim. 2008. “UK Farm Incomes Weather The Storms in 2007”, Journal Agra
Europe, 2295 Feb 1, 2008: p,N1.
Badan Pusat Statistik Sulawesi Tengah. 2016.
Cha-um, Takabe T, Kirdmane C,. 2010. “Ion Contents, Relative Electrolyte
Leakage, Proline Accumulaion, Photosynthetic Abilities and Growth
Character of Oil Palm Seedlings in Responses to Salt Stress”, Pak, J,
Bot, 42 (3)-291-2020.
Chochard,B,, Benjamin A,, Norbeck B,Roch Desmier de C, Anatole K, Bruno N,
Alphonse O, Abdul RP, Jem-Christhope G, Jean-Louis N,.
2009.Geograpic and Genetic Structure of Africa Oil Palm Diversity
Suggest New Aproaches to Breeding, Tree Genetics & Genomes.
Daniel, M,S Moehar,. 2002. Pengantar Ekonomi Pertanian. Bumi Aksara,
Jakarta.
Fauzi, Y., Y. Erma. Widyastuti, I. Satyawibawa dan R. Hartono. 2005. Kelapa
Sawit. Penebar Swadaya, Jakarta.
Fauzi, Y. 2012. Kelapa Sawit, Budi Daya Pemanfaatan Hasil Limbah dan Limbah
Analisis Usaha dan Pemasaran. Cetakan Pertama. Penebar
Swadaya, Jakarta.
Hadisapoetra,. 1973. Biaya dan Pendapatan di dalam Usaha Tani. UGM,
Yogyakarta.
Hasibuan, B. E. 2011. Ilmu Tanah. Universitas Sumatera Utara, Medan.
Hastuti, Diah Dwi Retno. 2007. Pengantar Teori dan Kasus: Ekonomika
Pertanian. Penebar Swadaya, Jakarta.
Irsyadi Siradjudd in,. 2016. Analisis Serapan Tenaga Kerja dan Pendapatan
Petani Kelapa Sawit di Kabupaten Pelawan. Skripsi.
Jannah. N., A. Fatah dan Marhannudin. 2012. Pengaruh Macam dan Dosis Pupuk
NPK Majemuk Terhadap Pertumbuhan Bibit Kelapa Sawit (Elaeis
guineensis Jack). Media Sains 4 (1): 48-50 Fakultas Pertanian
Universitas Samarinda.
Kiswanto, Purwanta, J,M & Wijayanto,. 2008. Teknologi Budidaya Kelapa Sawit.
Balai Besar Pengkajian Pertanian, Badan Penelitian dan
Pengembangan.

58
Makeham, J,P dan Malcolm, R,L,. 1991. Manajemen usaha tani Daerah Tropis.
LP3ES, Jakarta.
Mangoensoekarjo, S. dan H. Samangun, 2008. Manajemen Agribisnis Kelapa
Sawit. UGM-Press, Yogyakarta.
Mukherjee,. 2009. Principles of Management and Organization Behaviour, 2nd
Edition. Tata McGraw-Hill Education Private Limited.
Novita. 2013. Sensus Pada Tanaman Kelapa Sawit. Sampit. Diakses melalui
http://novhiypurple.blogspot.com pada tangal 14 Maret 2019 pada
pukul 10.00 WIB.
Pahan, I. 2013. Panduan lengkap Kelapa Sawit. Managemen Agribisnis dari Hulu
hingga Hilir. Penebar Swadaya, Jakarta.
Risza, S,. 1994. Kelapa Sawit, Upaya Peningkatan Produktivitas. Kanisius,
Yogyakarta.
Siagian, Renville. 2002. Pengantar Manajemen Agribisnis. Gadjah Mada
University Press, Yogyakarta.
Siradjuddin, I. 2015. Dampak Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Perekonomian
Wilayah Di Kabupaten Rokan Hulu. Jurnal Agroteknologi, Vol. 5
No. 2.
Siradjuddin, I. 2016. Analisis Serapan Tenaga Kerja dan Pendapatan Petani
Kelapa Sawit Di Kabupaten Pelalawan. Jurnal Agroteknologi, Vol.
6 No. 2. hlm, 1-8.
Soekartawi. 2005. Agribisnis Teori dan Aplikasinya. Raja Grafindo Persada,
Jakarta.
Sriyoto, Winda H & Ketut S,. 2007 Economic Effiency of Paddy Farming at Two
Different land Typologies in Bengkulu Province and Their
Determinant Factors. Jurnal Akta Agrosia Aedisi Khusus, No, 2
hlm, 155-163.
Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Bisnis: Penerbit CV. Alfabeta, Bandung.
Suwarto. 2010. Budidaya dan Pengolahan Kelapa Sawit. Kanisius, Yogyakarta.
Tarigan, Bamalan dan Tungkot Sipayung. 2011. Perkebunan Kelapa Sawit Dalam
Perekonomian dan Lingkungan Hidup Sumatera Utara. IPB Press.
Bogor.
Vidanarko. 2011. Buku Pintar Kelapa Sawit. Agromedia Pustaka, Jakarta
Wigena, I.G.P., H. Siregar, Sudrajat, dan S.R.P. Sitorus. 2009. Desain model
pengelolaan kebun kelapa sawit plasma berkelanjutan berbasis

59
sitem pendekatan dinamis (Studi kasus kebun kelapa sawit plasma
PTPN V Sei Pagar, Kabupaten Kampar, Provinsi Riau). Jurnal Agro
Ekonomi.
Wijayanti, Ranika Tiwi. 2012. Analisis Keuntunan dan Skala Usaha Perkebunan
Kelapa Sawait Gerbang Serasan (Studi di Kecamatan Gunung
Megang Kabupaten Muara Enim). Skripsi. Fakultas Ekonomika dan
Bisnis. Universitas Diponegoro Semarang.
Yan, F., Yustina, E. W., Iman, S., dan Rudi, H. P. 2002. Kelapa Sawit: Budi
Daya, Pemanfaatan Hasil dan Limbah, Analisis Usaha dan
Pemasaran. Penebar Swadaya, Jakarta.

60
39

Anda mungkin juga menyukai