Anda di halaman 1dari 6

Catatan/Analisis terkait Kebun dalam Kawasan Hutan

Fakultas Kehutanan IPB Bogor Fakultas Kehutanan UGM Yogyakarta Analisis Greenpeace dan TheTreeMap

 Untuk menepis anggapan bahwa kelapa sawit  Sigit Sunarta, Dekan Fakultas Kehutanan  Antara lain penyebab menjamurnya kebun
penyebab deforestasi, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada (UGM) tidak setuju sawit dalam kawasan hutan adalah
Institut Pertanian Bogor (IPB) akan menyusun usulan sawit sebagai tanaman kehutanan. Sigit ketidakharmonisan peraturan di tingkat
naskah akademik yang menegaskan bahwa tak memungkiri bahwa secara ekonomi, sawit nasional dan di tingkat lokal. Misalnya saja,
tanaman sawit merupakan tanaman diakui sebagai komoditas unggulan yang sangat izin diberikan oleh pemerintah di tingkat lokal
kehutanan menjanjikan devisa tinggi. Namun, sawit juga karena dianggap sudah sesuai dengan rencana
berpotensi membahayakan secara ekologis dan izin tata ruang yang diterbitkan secara
 Terjadinya deforestasi dan kerusakan hutan maupun ekonomis lokal, namun tetap berstatus ilegal di bawah
lebih banyak karena mis-manajemen pada hukum kehutanan dan perkebunan nasional.
saat pengelolaan lahan untuk pembangunan  Dari sisi geopolitik, perluasan tanaman sawit Ada 2 provinsi yang sangat terdampak dengan
dan bisnis kayu secara besar-besran. Jadi berimplikasi pada sorotan negatif internasional ketidak harmonisan peraturan ini, yaitu
sawit tidak sepenuhnya menjadi penyebab yang terus-menerus tentang isu deforestasi. Di Kalimantan Tengah dan Riau
deforestasi karena sebagian besar sisi yang lain, beberapa waktu yang lalu kita
perkebunan kelapa sawit menempati hutan mendengar ada banjir beberapa bulan di  Pemerintah pusat menerbitkan peta TGHK
yang sudah rusak Indonesia, termasuk di kebun-kebun sawit. Ini (Tata Guna Hutan Kesepakatan) tahun 1982
menunjukkan bahwa sawit juga menjadi dan telah mengalokasikan 15,3 juta hektar
 Hal ini terungkap dalam Focus Group penyebab masalah ekologis di Indonesia sebagai kawasan hutan. Namun, sejak 1993
Discussion (FGD) yang bertemakan “Sawit dan pemerintah provinsi, khususnya Kalimantan
Deforestasi Hutan Tropika”, di IPB  Perluasan kebun sawit hingga masuk ke dalam Tengah telah membuat rencana tata ruangnya
International Convention Center, 12 April kawasan hutan juga telah menyebabkan sendiri, yang memungkinkan mengonversi
2018 deforestasi yang berdampak pada penurunan hutan dengan wilayah yang lebih luas ke
biodiversitas, peningkatan frekuensi kejadian berbagai fungsi yang mencakup perkebunan
 Naskah akademik tersebut akan menegaskan bencana banjir, kekeringan, dan kebakaran kelapa sawit
bahwa kelapa sawit bisa ditanam di kawasan hutan-lahan. Selain itu, pola berkebun secara
Hutan Tanaman Rakyat (HTR) dan Hutan ekspansif hingga masuk ke dalam kawasan  Pada akhir tahun 2000, Departemen Planologi
Tanaman Industri (HTI) hutan juga berdampak pada sosial-budaya Kementerian Kehutanan menerbitkan surat No
masyarakat 778/VIIKP/2000, yang antara lain
 Penyusunan naskah akademik ini ditujukan menyebutkan bahwa terdapat wilayah yang
untuk menjaga dan mengawal perkembangan  Usulan memasukkan sawit sebagai tanaman ditetapkan oleh pemerintah Kalimantan
perkebunan sawit sebagai komoditas hutan tidak relevan untuk digunakan sebagai Tengah sebagai areal “pengembangan
stragegis nasional dan menepis isu sawit solusi penyelesaian keterlanjuran kebun sawit produksi” atau “kawasan pemukiman dan
penyebab deforestasi di kawasan hutan. Asumsi bahwa dengan penggunaan lain”. Maka dengan status
memasukkan sawit sebagai tanaman tersebut, Pemerintah Provinsi Kalimantan
 Menurut Dodik Nurrochmat (Guru Besar kehutanan dapat menyelesaikan masalah Tengah beranggapan bahwa boleh
Kebijakan Kehutanan Fakultas Kehutanan deforestasi dan persoalan lain yang memberikan izin perkebunan sawit tanpa
IPB), perlu kemauan politis yang kuat dari menghambat perluasan kebun sawit nasional adanya surat pelepasan kawasan hutan oleh
pemerintah untuk memasukkan sawit sebagai adalah hal yang spekulatif Kementerian Kehutanan
tanaman hutan sesuai dengan kriteria FAO.
Sebab, semua jenis tanaman kelapa, kecuali  Masalah deforestasi adalah persoalan global  Enam tahun kemudian, pada 12 September
sawit masuk kategori FAO, sebagai tanaman dan sudah menjadi kepentingan masyarakat 2006, Menteri Kehutanan membatalkan surat
hutan. Kriterianya memenuhi definisi internasional. Banyak aturan main global yang Dirjen Planologi dan menyatakan bahwa
tanaman hutan yakni mempunyai tinggi sudah diratifikasi oleh Indonesia, misalnya keputusan tersebut berlaku mundur. Namun
batang minimal 5 meter, memiliki tutupan skema REDD+, Paris Agreement, dll, yang harus pada saat itu, para Bupati di Kalimantan
kawasan 10%-20%, luasan kawasan minimal dipatuhi sehingga tidak mungkin membuat Tengah masing-masing telah menerbitkan
0,5 meter dan lebar jalur di atas 20 meter. definisi deforestasi sesuai keinginan kita puluhan izin perkebunan di dalam kawasan
Menurut Dodik, keputusan FAO tidak sendiri, dan berharap diterima oleh hutan tanpa perantara Menteri Kehutanan,
memasukan sawit sebagai tanaman hutan, masyarakat internasional. Kegagalan dalam yang pada saat itu secara eksplisit menyatakan
merupakan hegemoni tafsir dari kelompok memenuhi konvensi internasional yang sudah bahwa izin-izin tersebut melanggar hukum
negara-negara pesaing sawit yang diratifikasi akan mempengaruhi posisi
berkepentingan terhadap kelangsungan Indonesia dalam percaturan geopolitik  Pemutihan pertama dibuat pada 6 Juli 2012
industri minyak nabatinya terutama terkait dengan komitmen pencapaian melalui penerbitan Peraturan Pemerintah No
NDC 60 Tahun 2012 tentang Perubahan Atas
 Tanaman sawit mengalami diskriminasi yang Peraturan Pemerintah No 10 Tahun 2010
luar biasa oleh lembaga internasional dan  Usulan sawit sebagai tanaman kehutanan juga Tentang Tata Cara Perubahan Peruntukan dan
institusi negara. Paling tidak ada 6 fakta mengemuka karena adanya keinginan Fungsi Kawasan Hutan
diskriminasi atas sawit, yaitu: 1. FAO tidak pengusahaan tanaman sawit pada izin HTI,
mengkategorikan kelapa sawit sebagai atau bahkan peluang membangun HTI sawit.  Perubahan tersebut memperkenalkan pasal
tanaman hutan, 2. KLHK tidak mengizinkan Kondisi ini mengindikasikan bahwa para pelaku transisi ke dalam kerangka kerja hukum
tanaman kelapa sawit ditanam di kawasan industri kehutanan tidak mampu atau tidak kehutanan Indonesia, yang menciptakan
hutan produksi, 3. Penolakan Permenhut No mau menyelesaikan pekerjaan rumahnya peluang enam bulan (hingga awal 2013) bagi
62 Tahun 2019 untuk memasukkan kelapa sendiri untuk membangun industri kehutanan perusahaan untuk mengajukan kepada
sawit sebagai tanaman Hutan Tanaman yang bernilai ekonomi tinggi dan menerapkan Kementerian Kehutanan agar hutan produksi
Industri (HTI), 4. Kebun sawit yang luasnya prinsip pengelolaan hutan lestari yang dapat dikonversi (HPK) yang terdapat di
16,3 juta ha tidak dihitung sebagai penyerap dalam izin perkebunan mereka, dilepaskan
gas rumah kaca, 5. Kelapa sawit yang ditanam  Yang perlu diperhatikan juga dari usulan sawit dari kawasan hutan. Perusahaan yang
di kawasan hutan selalu dituding sebagai sebagai tanaman hutan adalah potensi dampak mengoperasikan perkebunan di dalam “hutan
penyebab deforestasi, dan 6. Kelapa sawit dari perluasan kebun sawit yang dapat produksi tetap (HP)” atau “hutan produksi
selalu dituding sebagai penyebab penurunan menyebabkan peningkatan supply Tandan terbatas (HPT)”, diberikan peluang enam bulan
keanekaragaman hayati Buah Segar (TBS) sawit di pasar. Hal ini berisiko untuk mengajukan perjanjian tukar menukar
menurunkan harga TBS yang akan kawasan hutan, yang apabila disetujui oleh
Kritik: mempengaruhi pendapatan pelaku usaha menteri, akan dijalankan dalam jangka waktu
sawit, khususnya petani kecil (smallholder) dua tahun
 Direktur Eksekutif Wahana Lingkungan Hidup
(Walhi) Zenzi Suhadi mengkritisi pernyataan  Di tengah berbagai kejadian bencana alam  Penerapan tersebut diperbolehkan di bawah
Guru Besar Fakultas Kehutanan IPB Yanto (terutama banjir) yang terjadi di berbagai kondisi spesifik, yaitu: a. pemerintah lokal
Santoso yang menyebut sawit bukan wilayah Indonesia, yang sebagian besar sudah menerbitkan izin perkebunan; dan b.
penyebab deforestasi. Ia juga dianggap karena adanya konversi hutan izin tersebut diterbitkan sesuai dengan
mengecam Yanto yang berencana menjadikan menjadi kebun sawit, usulan ini dianggap rencana tata ruang regional yang dibuat secara
sawit sebagai tanaman kehutanan. Menurut kurang etis dan membutuhkan tinjauan kritis terpisah dari pemerintah nasional, yakni
Zenzi, pernyataan Yanto tersebut mengerikan dan ilmiah yang melibatkan lintas bidang sebelum Undang-Undang No 26 Tahun 2007
dan berdampak buruk bagi lingkungan hidup keilmuan, bukan semata aspek fisiologis tentang Penataan Ruang, yang bertujuan
Indonesia. Ia menyebut para akademisi telah tanaman hutan untuk memastikan perencanaan tata ruang
gagal memakai ilmunya untuk menjaga lokal dan nasional secara bersamaan
kelestarian lingkungan  Menghadapi polemik keterlanjuran sawit,
Fakultas Kehutanan UGM bersama dengan  Pada 28 Desember 2015, PP No 60 Tahun 2012
 Walhi Riau menyebut Yanto memiliki rekam berbagai mitra telah mengambil sikap dengan diubah Kembali. Kali ini melalui Peraturan
jejak setia membela perusahaan perkebunan mengusulkan konsep Strategi Jangka Benah Pemerintah No 104 Tahun 2015 tentang Tata
kelapa sawit. Yanto sering menjadi saksi ahli (SJB) sebagai alternatif solusi keterlanjuran Cara Perubahan Peruntukan dan Fungsi
bagi perusahaan perkebunan kelapa sawit. kebun sawit di kawasan hutan. SJB merupakan Kawasan Hutan, demi menciptakan pemutihan
Tidak hanya itu, Yanto juga mengetuai Tim pendekatan sosio-teknis-kebijakan yang kedua. Masa tenggang untuk perkebunan
Pakar IPB sebagai ahli, bersama Basuki bertujuan memperbaiki struktur dan fungsi ilegal di dalam kawasan hutan diperbolehkan
Sumawinata, Gunawan Djajakirana, Dodik ekosistem hutan yang rusak akibat menjadi dua kali lipat, yakni satu tahun untuk
Ridho Nurrochmat, Bahruni, dan Lailan keterlanjuran sawit. Upaya ini dilakukan secara mengajukan kepada Menteri untuk
Syaufina pada gugatan permohonan bertahap melalui penguatan kelembagaan, menyetujui pelepasan kawasan hutan atau
keberatan uji materiil Gabungan Pengusaha tindakan silvikultur yang terjadwal tukar menukar kawasan hutan (hingga akhir
Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) ke Mahkamah (membentuk agroforestry sawit), dan 2016
Agung dukungan kebijakan. Saat ini Jangka Benah
telah menjadi kebijakan nasional seiring  Dalam hal ini, perkebunan di wilayah hutan
keluarnya PP No 23 Tahun 2021 tentang lindung tersebut tetap tidak diizinkan secara
Penyelenggaraan Kehutanan tanpa batas, tetapi operasi bisnis masih dapat
berjalan selama satu daur tanam sebelum
dihentikan untuk kelapa sawit. Daur tersebut
dapat berlangsung sekitar 30 tahun.
Sebagaimana pemutihan pertama, ketentuan-
ketentuan tersebut diterapkan dalam kondisi
spesifik, yakni bahwa pemerintah lokal telah
menerbitkan izin perkebunan sesuai dengan
rencana tata ruang regional yang telah
ditetapkan sebelum UU No 26 Tahun 2007

 Pemutihan ketiga terjadi setelah terbitnya UU


No 11 Tahun 2020 tentang Cipta Kerja. Dalam
hal ini, ketentuan baru pertama (dalam bentuk
Pasal 110A yang dimasukkan ke dalam UU No
18 Tahun 2013) mencakup kegiatan usaha di
dalam kawasan hutan, seperti perkebunan
kelapa sawit, yang sejatinya melanggar
peraturan kehutanan, tetapi sudah beroperasi
sebelum UU Cipta Kerja diundangkan dan
memiliki izin usaha. Dalam hal ini, pemutihan
ketiga mirip dengan dua pemutihan pertama
yang diterbitkan pada 2012 dan 2015. Namun,
UU Cipta Kerja tidak hanya menyediakan masa
tenggang ketiga dengan durasi lebih lama lagi,
yakni tiga tahun setelah diundangkan (hingga
2 November 2023), melainkan juga mengganti
sanksi pidana yang sebelumnya diberlakukan
dengan sekadar sanksi administratif (denda
dan/atau pembatalan izin)

 UU Cipta Kerja juga menyediakan kelonggaran


tambahan yang luput dari dua pemutihan
sebelumnya, yakni ketentuan baru (Pasal 110B
yang dimasukkan ke dalam UU No 18 Tahun
2013). Agar dapat memenuhi syarat dua
pemutihan pertama, perusahaan yang
memiliki perkebunan di dalam kawasan hutan
perlu memiliki izin dari pemerintah lokal yang
sudah berlaku, sehingga konsesi mereka
disetujui untuk dilepaskan dari kawasan hutan.
Kini, di bawah Pasal 110B, jika kegiatan
perkebunan berlangsung di dalam kawasan
hutan, bahkan tanpa izin usaha berdasarkan
rencana tata ruang lokal, sanksi pidana dapat
dihindari dan digantikan dengan
pemberhentian sementara operasi hingga
membayar denda administratif. “Tindakan
pemaksaan” hanya diambil ketika denda
tersebut tidak dibayar

 Lewat Pasal 110B, pemutihan ketiga membuka


pintu bagi 665.945 ha kawasan hutan untuk
diserahkan kepada perusahaan yang
sebelumnya tidak memenuhi syarat untuk
legalisasi retrospektif
Data (tambahan) Greenpeace dan TheTreeMap:

 Luas total perkebunan kelapa sawit di Indonesia tahun 2019: 16,38 juta hektar (ha)
 Akhir 2019 terdapat total 3,12 juta ha (19%) kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan Indonesia
 1,55 juta ha merupakan perusahaan perkebunan. Paling tidak ada 600 perusahaan perkebunan dengan luas perkebunan di atas 10 ha di dalam
kawasan hutan
 1,56 juta ha merupakan perkebunan swadaya mandiri
 Antara lain kategori hutan yang ditanami sawit, adalah: taman nasional, suaka margasatwa, bahkan situs UNESCO
 Kebun sawit dalam kawasan hutan tersebar di Pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, dan Papua
 Per 2019, perkebunan kelapa sawit di kawasan hutan Indonesia mencakup 183.687 ha yang sebelumnya terpetakan sebagai habitat orangutan, dan
148.839 ha habitat harimau Sumatera
 Antara 2012 dan 2020, tiga pemutihan untuk perkebunan sawit telah diterbitkan yang berturut-turut semakin ringan, yang memberikan peluang
kepada perusahaan untuk melegalisasi kegiatan mereka di dalam kawasan hutan secara retrospektif
 Perusahaan perkebunan anggota RSPO secara total memiliki sekitar 283.000 ha kelapa sawit yang ditanam di dalam kawasan hutan. Ada 100
perusahaan anggota RSPO dengan masing-masing memiliki lebih dari 100 ha yang ditanam di dalam kawasan hutan, sementara terdapat 8
perusahaan dengan masing-masing memiliki lebih dari 10.000 ha
 Perusahaan perkebunan bersertifikat ISPO secara total memiliki 252.000 ha yang ditanam di dalam kawasan hutan
 Lebih dari seperempat (184 perusahaan) dari 735 perusahaan yang bersertifikat ISPO memiliki perkebunan di dalam kawasan hutan
 Ada 10 konsesi minyak kelapa sawit bersertifikat ISPO yang berada di hutan lindung, termasuk 1 perusahaan dengan tumpang-tindih seluas 4.306
ha, serta 5 perusahaan yang tumpang-tindih dengan kawasan konservasi, termasuk 1 perusahaan dengan tumpang-tindih seluas 1.766 ha
 Secara konservatif terdapat 104 juta metrik ton karbon yang hilang dari proses konversi hutan primer menjadi kelapa sawit di dalam kawasan hutan
Indonesia antara 2001–2019

Anda mungkin juga menyukai