Anda di halaman 1dari 9

KELOMPOK 4 (vietnam)

1. Fitrian prayogi (1754251032)


2. Dethanaya tamara (1954251009)
3. Arif hasibuan (1954251011)
4. Joeldi E salom (1954251062)
5. Saniyyah okta (1954251035)
6. Thessalonica angelia ambarita (1974201094)
7. willem crisna waang (1954251021)

1. Pelaksana comparative study ke Viet Nam terdiri dari:


a. Kementerian LHK: Dirjen PHPL, Direktur UHP, Kasubdit RKUPHT, Kasubdit
RKUPHA, dan Kabag Hukum dan Kerja sama Teknis;
b. Bupati Tapanuli Utara dan Kepala BAPPEDA Kab. Tapanuli Utara
c. Staf ITTO;
d. APHI: Waketum APHI, Direktur Eksekutif APHI, Kabid Hutan Tanaman, Kabid
Hutan Alam;
e. ASMINDO: Ketua Asmindo dan Sdri. Sinta Melodiana
2. Kegiatan dilaksanakan dari tanggal 13 s.d. 19 Mei 2019, dengan pembiayaan untuk
personel Kementerian LHK bersumber pada ITTO Project PD 737/III/2019 dan
APBN, sedangkan personel di luar Kementerian LHK dibiayai institusi masing-
masing.
3. Pokok-pokok kegiatan:
a. Pertemuan dengan Viet Nam Administration of Forestry (VNFOREST)
b. Pertemuan dengan Viet Nam Timber and Forest Product Association (VIFORES)
c. Pertemuan dengan Duta Besar RI di Hanoi (Bapak Ibnu Hadi)
d. Kunjungan ke industri pengolahan kayu (Woodsland Company)
e. Kunjungan ke industri wood pellet
f. Kunjungan ke hutan tanaman rakyat dan industri kecil di Provinsi Yen Bai
g. Kunjungan ke industri kerajinan dan hasil hutan bukan kayu

4. Gambaran umum kehutanan Viet Nam


Viet Nam memiliki luas wilayah 331.231 km2 atau 33,12 juta Ha (hampir seluas P.
Sumatera dikurangi Kepulauan Riau dan Babel), dengan jumlah penduduk 94,67 juta
jiwa. Luas hutan negara Viet Nam mencakup area 14,49 juta Ha atau 43,75% dari luas
wilayah Viet Nam, yang dikelompokkan menjadi :
a. Hutan Lindung : 4,59 juta Ha (32 %)
b. Hutan untuk Penggunaan Khusus : 2,16 juta Ha (15 %) (Taman Nasional, Cagar
Alam, Hutan Pendidikan dan Riset)
c. Hutan Produksi : 7,75 juta Ha (53 %)
Berdasarkan penutupan lahannya, diklasifikasikan dalam Hutan Alam seluas 10,24 juta
Ha dan Hutan Tanaman seluas 4,25 juta Ha. Pada tahun 2020 ditargetkan luas hutan
negara tersebut bertambah menjadi 16,24 juta Ha. Viet Nam termasuk 5 negara teratas
yang berhasil menambah luas hutan.
5. Kebijakan Pengelolaan Hutan di Vietnam
Sejak tahun 2016, kegiatan pemanfaatan hutan difokuskan pada hutan tanaman (HT),
dimana perizinan diterbitkan oleh Pemerintah melalui Badan Adminsitasi Kehutanan
kepada BUMN, BUMS dan Masyarakat (Community). Perizinan dan pengelolaan HT
secara umum diuraikan sebagai berikut :
a. Izin HT hanya bisa diterbitkan di kawasan Hutan Produksi untuk jangka waktu 50
(lima puluh) tahun dan dapat diperpanjang kembali.
b. Areal yang dimohon untuk HTI harus sesuai dengan Tata Ruang Wilayah
Kabupaten/Rencana Strategis Kabupaten Jangka Panjang.
c. Luas areal izin yang diterbitkan untuk Kelompok Masyarakat berkisar antara 3.000
Ha s.d.
6.000 Ha.
d. Pasca penerbitan izin, Pemegang Izin menyusun Rencana Kerja Jangka
Panjang/Management Plan 20 tahun, yang berisikan rencana strategis di bidang
produksi (penanaman dan pemanenan), bidang lingkungan (termasuk di dalamnya
pengelolaan dan pemantauan dampak lingkungan), serta bidang sosial. Rencana
kerja ini ditandatangani oleh Manajemen Perusahaan Pemegang Izin atau
Manajemen Perusahaan Induk dari Pemegang Izin yang bersangkutan, Rencana
Kerja Jangka Panjang tersebut, Pemegang Izin menyusun Rencana Kerja Lima
Tahun (RKL) yang disahkan oleh Kepala Dinas Kehutanan Kabupaten.
e. Mengacu pada RKL, Pemegang Izin menyusun Rencana Kerja Tahunan (RKT)
yang memuat Rencana Penanaman dan Rencana Pemanenan, yang disusun secara
self – approval dan menyampaikan laporannya ke Kepala Dinas Kehutanan
Kabupaten. Khusus untuk kegiatan pemanenan, harus ada persetujuan/kerjasama
pasokan dengan industri pengolah kayu untuk menyesuaikan dengan kapasitas
produksi di industri. Secara paralel, pihak industri kayu menyusun Rencana
Pemenuhan Bahan Baku dalam tahun berjalan, dan melaporkannya kepada Kepala
Dinas Kehutanan terkait.
f. Dalam hal penatausahaan hasil hutan, Pemegang Izin melaporkan realisasi
pemanenan kayu setiap bulan kepada Kepala Dinas Kehutanan, yang memuat
lokasi tebangan/nomor petak, volume kayu yang dipasok ke industri serta copy
nota angkutan yang menyertai sarana pengangkutan hasil panen. Kepala Dinas
Kehutanan akan melakukan audit jika terdapat/dijumpai penyimpangan dalam
penatausahaan hasil hutan tersebut.
g. Kegiatan perlindungan, pengamanan hutan dan penanganan masalah sosial, baik
di areal HTI yang dikelola BUMN/BUMS/masyarakat ditangani oleh Forest
Rangers (jagawana) di bawah arahan Pemerintah Kabupaten. Dengan demikian,
permasalahan-permasalahan di tingkat tapak dapat ditangani dengan cepat.
h. Dalam rangka mendorong investasi pembangunan HT yang akan memberikan
kontribusi multiplier effect berupa pertumbuhan ekonomi wilayah, penyerapan
tenaga kerja, kesempatan berusaha, serta mendorong ekspor, Pemerintah
memberikan insentif berupa :
a. Pembebasan iuran izin
b. Pembebasan Land Tax (seperti PBB)
c. Pembebasan royalti hasil produksi (seperti PSDH)
d. Pembebasan PPn kayu log HT
e. Pemberian bantuan dana sebesar USD 12 per hektar per tahun yang berasal dari
dana Payment for Forest Environmental Services (PFES) apabila kelompok
masyarakat atau perusahaan mampu menjaga lingkungannya dengan baik.
Dana Payment for Forest Environmental Services (PFES) diperoleh dari
Perusahaan yang bergerak di bidang pembangkit listrik, air minum/bersih,
industri yang menggunakan sumber air dan ecotourism.
f. Fasilitasi kredit perbankan dengan bunga rendah (sekitar 6 %)

6. Pengelolaan Hasil Hutan Kayu Sektor Hulu dan Hilir


a. HTI di Vietnam secara garis besar dikelola oleh korporasi dan masyarakat yang
terintegrasi dengan industrinya. Sektor hulu dan hilir ini telah menerapkan prinsip
optimalisasi rantai nilai industri berdasarkan sumber bahan bakunya. Kayu bulat
HT dengan jenis Akasia dan Karet dengan diameter > 12 cm diolah untuk Kayu
Gergajian untuk selanjutnya menjadi bahan baku furniture dan sebagian diolah
menjadi Veneer. Pemegang izin HT (skala BUMN/BUMS/skala masyarakat)
terintegrasi dengan hilirnya, baik melalui skema integrasi dengan perusahaan
induknya maupun kerjasama pasokan bahan baku. Pembangunan industri
pengolahan yang mendekati sumber bahan baku, dari yang langsung berada di
dekat areal HT maupun dalam radius maksimal 50 Km, menjadikan biaya
produksi produk dapat ditekan.
b. Dari sisi pengelolaan hutan lestari, saat ini setidaknya terdapat 1.700 Ha areal
yang telah disertifikasi oleh FSC pada tahun 2016, dan dalam waktu dekat
ditargetkan ada tambahan areal yang disertifikasi seluas 2.300 Ha. Meskipun
Vietnam saat ini telah menandatangani VPA (Voluntary Partnership Agreement
between Vietnam and European on Forest Law Enforcement Governance and Trade
(VPA/FLEGT) dengan Uni Eropa, sertifikasi FSC akan terus didorong karena
keberterimaannya yang luas di pasar dunia.
c. Dengan adanya moratorium penebangan hutan alam, pasokan bahan baku saat ini
berasal dari HT Akasia, Eukaliptus dan Karet, yang hingga tahun 2018 luasnya
mencapai 4,22 juta Ha. Dari angka ini seluas 3 juta Ha ditanami jenis Akasia dan
Eukaliptus, selebihnya sekitar 1 juta lebih tanaman karet. Rata-rata daur tanaman
adalah 7 tahun, dengan produksi sekitar 100 m3/ha. Biaya penanaman relatif
rendah sekitar Rp 8 juta/Ha. Dengan insentif bebas iuran izin, bebas PBB, royalty
panen dan bebas PPn, dan bunga pinjaman yang rendah, tidaklah mengherankan
meskipun luas per unit pengelolaan hanya berkisar 3.000 – 6.000 Ha,
pembangunan HT Vietnam cukup kompetitif.
d. Harga kayu HTI di Vietnam saat ini untuk diameter sd 12 cm mencapai USD
55/m3 dan untuk di atas diameter 12 cm sd 30 cm mencapai USD 100/m3.
Sebagai perbandingan, nilai tersebut setara dengan harga kayu Meranti di
Indonesia saat ini hanya sebesar USD 100/m3 di logpond pabrik. Sementara harga
kayu HTI di Indonesia saat ini berkisar pada harga USD 50/m3.
e. Insentif tax juga dinikmati oleh sektor hilir. Selain dibebaskan PPn log, pajak
ekspor untuk industri wood pellet ditetapkan 0%, wood chips 2% dan kayu
gergajian 25%, serta bunga pinjaman yang ringan sekitar 6 – 7%.
f. Total pasokan bahan baku untuk industri pada tahun 2018 mencapai 31 juta m3,
berasal dari produksi kayu HT sebesar 24 juta m3 dan impor kayu 7 juta m3.
Meskipun ada impor kayu, namun bisnis kehutanan masih menguntungkan.
Sebagian besar bahan baku tersebut dialokasikan ke industri wood chips, furniture
dan panel.
g. Total nilai ekspor produk hutan Viet Nam pada tahun 2018 mencapai USD 9
Milyar, dengan tujuan ekspor ke 161 negara. Nilai ekspor Viet Nam ini jauh lebih
besar dibandingkan dengan nilai ekspor produk hasil hutan Indonesia tahun 2018,
di luar pulp dan kertas sebesar USD 5,6 Milyar.
h. Selain hasil hutan kayu, Viet Nam juga mendorong pengolahan hasil hutan kayu
antara lain berupa produk rotan, bambu, rumput/daun sejenis enceng gondok dan
kulit jagung. Nilai ekspor HHBK pada tahun 2018 mencapai USD 1 juta.
Pemerintah memberi insentif bagi industri HHBK yang sebagian besar merupakan
perusahaan skala UMKM antara lain pinjaman bunga Bank yang rendah (6%),
dukungan pelatihan untuk peningkatan keterampilan dan pembebasan royalty
terhadap pemungutan HHBK dari kawasan hutan negara.
i. Kinerja ekspor industri hasil hutan Viet Nam yang mengesankan tersebut,
berdasarkan informasi dari Asosiasi Kehutanan Viet Nam maupun Duta Besar RI
di Hanoi, dipengaruhi oleh faktor- faktor sebagai berikut:
1) Ketersediaan tenaga kerja dan produktifitas yang tinggi.
Tenaga kerja di Vietnam cukup melimpah dengan upah yang kompetitif,
sekitar USD 250 sd USD 300 per bulan. Dengan jumlah jam kerja yang
relatif sama dengan Indonesia, hasil yang diperoleh lebih besar.

2) Ketersediaan infrastruktur
HTI di Viet Nam didukung oleh jaringan infrastruktur yang memadai dan
akses ke industri yang lebih mudah seperti halnya hutan rakyat di Pulau Jawa.
Kondisi tersebut menjadikan nilai kayu yang lebih maksimal. Dengan harga
kayu log HTI di Indonesia rata-rata USD 50/m3, sedangkan di Viet Nam
USD 100/m3, maka pasar ke Viet Nam sangat terbuka.
3) Industri skala kecil – menengah
Industri di Viet Nam dibangun dengan skala kecil menengah yang efisien dari
bahan baku. Saat ini tedapat sekitar 4.500 UMKM yang menyumbang ekspor
Viet Nam sekitar 42%.
4) Insentif untuk Penanaman Modal Asing
Viet Nam memberikan banyak insentif untuk PMA, khususnya untuk
membangun industri perkayuan berorientasi ekspor. Saat ini terdapat 800 unit
PMA yang bergerak di industri hasil hutan.
5) Kerjasama dengan Retailer Skala Dunia
IKEA adalah salah satu retailer yang menanamkan investasinya di Vietnam,
yang menerima produk dari industri hasil hutan Viet Nam. Bahkan kantor
perwakilan IKEA untuk Asia Tenggara ditempatkan di Viet Nam. Dengan
menggandeng IKEA, produk- produk Viet Nam dengan mudah tersebar di
seluruh dunia.
Sistem perundang-Undangan menurut Undang-Undang Dasar Negara Vietnam

Sepanjang masa 70 tahun terbentuk dan berkembang-nya, Majelis Nasional


(MN) Vietnam telah menyelesaikan secara menonjol fungsi legislatif, menciptakan dasar
politik hukum yang penting, mengabdi usaha pembangunan Negara hukum Vietnam sosialis
dari rakyat, oleh rakyat dan demi rakyat. Hasil pekerjaan legislasi dari MN juga memberikan
sumbangan penting pada usaha pengembangan Tanah Air dan integrasi internasional.
Legislatif merupakan salah satu diantara tiga fungsi penting dari MN Vietnam, disamping
fungsi mengawasi dan memutuskan masalah-masalah penting dari Tanah Air. MN dengan
peranan sebagai badan pelaksanaan hak legislatif yang bertugas menyusun dan
memberlakukan Undang-Undang Dasar  (UUD) dan mengkongkritkan semua ketentuan dari
UUD menjadi sistem semua undang-undang,tepat waktu memenuhi semua kebutuhan usaha
pembangunan negara hukum, mengembangkan demokrasi, menghargai, menjamin hak
manusia, hak warga negara, reformasi institusi ekonomi  pasar dan integrasi internasional.
a. Kesan-kesan mengenai jumlah naskah undang-undang yang diberlakukan
70 tahun ini, MN Vietnam telah melaksanakan secara menonjol fungsi konstitusional
dan legislatif. Sejak MN angkatan pertama sampai sekarang ini, MN Vietnam telah
memberlakukan 5 naskah UUD (belum terhitung naskah UUD amandemen dan
penyempurnaan), 387 undang-undang, memberlakukan 628 Resolusi dan 220
peraturan negara. Wakil Ketua MN Vietnam, Uong Chu Luu menilai: “ Itu merupakan
angka-angka yang mengesankan, merupakan dasar politik hukum yang penting,
memanifestasikan kearifan, kerajinan dan semangat bertanggung jawab tinggi dari
para legislator, mencerminkan tekat dan aspirasi rakyat dalam membangun dan
menyempurnakan sistem perundang-undangan untuk perkembangan demokrasi
Sosialis, mengabdi usaha pembangunan Negara hukum Vietnam sosialis, usaha
pembangunan, pembelaan, perkembangan Tanah Air dan integrasi Internasional”.

b. Menyusun sistem UU secara intensif


Disamping semua pembaruan dan perbaikan untuk meningkatkan jumlah naskah
UU yang diesahkan pada setiap persidangan, dalam proses terbentuk dan
berkembang-nya, MN Vietnam tidak henti-hentinya berupaya meningkatkan kualitas
legislatif. Isi semua Rancangan UU yang diesahkan cukup kaya raya, menyesuaikan
bidang-bidang yang berbeda-beda dalam kehidupan sosial, dari terus membangun dan
menyempurnakan aparat Negara, menurut pengarahan pembangunan Negara hukum
sosialis dari rakyat, oleh rakyat dan demi rakyat sampai terus melakukan pembaruan
dan menyempurnakan mekanisme dan instrumen pengelolaan Negara mengenai
bidang-bidang, misalnya ekonomi, kebudayaan, pendidikan, ilmu pengetahuan-
teknologi, keamanan, pertahanan dan hubungan luar negeri.
Teknik legislatif juga mendapat perhatian khusus dari MN Vietnam, membatasi
secara berangsur-angsur UU yang setelah diberlakukan harus menunggu terbitnya
peraturan dan surat edaran, baru bisa diterjemahkan ke dalam praktek kehidupan.
Mantan Wakil Ketua Kantor MN, Profesor, Doktor Tran Ngoc Duong menganggap:
“Dari segi kualitas sudah jauh meningkat, khususnya UU telah mencerminkan
tuntutan praktek kehidupan, sesuai dengan kenyataan Tanah Air, menerima secara
selektif semua nilai kemajuan umat manusia. Oleh karena itu, pada umumnya semua
UU yang diberlakukan telah waktu memenuhi tuntutan kehidupan. Semua bidang
yang dulu belum punya UU, maka pada kemudian hari telah ada, misal-nya, UU
mengenai Referendum atau UU mengenai Asosiasi, Pengelolaan dan Penggunaan
Harta Benda Publik dan lain- lain…”
Khususnya, akhir-akhir ini, dengan diberlakukannya UUD-tahun 2013, pekerjaan
legislasi memasuki satu halaman baru dengan terbentuknya dasar-dasar hukum
penting dalam meneruskan pembangunan dan memperkokoh Negara hukum yang
dari rakyat, oleh rakyat dan demi rakyat. Di atas dasar itu, aktivitas legislatif meliputi
hampir semua bidang dalam kehidupanmasyarakat. Dari menyusun dan
menyempurnakan UU mengenai organisasi dan aktivitas dari berbagai lembaga dalam
sistem politik, tentang masalah menjamin hak manusia, hak kebebasan demokratis
dari warga negara; institusi ekonomi pasar menurut pengarahan sosialis. Profesor,
Doktor Le Minh Thong, Wakil Ketua Komisi Hukum MN Vietnam menegaskan:
“MN memberlakukan banyak UU mengenai Aparat Negara, misal-nya UU mengenai
Organisasi MN, UU mengenai Organisasi Pemerintah, UU mengenai Kejaksaan
Rayat, UU mengenai Organisasi Mahkamah Rakyat. Yang bersangkutan dengan hak
manusia, hak warga negara dan fikiran menghargai hak manusia menjadi fikiran
yang menjelujuri dalam semua UU tipikel, misalnya Kitab UU mengenai Hukum
Perdata, Acara Hukum Perdata, UU mengenai Hukum Pidana, UU mengenai
Kepercayaan dan Agama. UU mengenai Referendum dan lain-lain… Selain itu,
semua UU juga terus menyempurnakan institusi ekonomi pasar menurut pengarahan
sosialis”
Pekerjaan legislasi dari MN dalam masa 70 tahun ini telah mencapai prestasi-
prestasi yang penting, tidak hanya membuat sistem perundang-undangan menjadi
sinkron dan lebih lengkap saja, melainkan juga memberikan sumbangan penting
untuk mengabdi usaha pembangunan Negara hukum Vietnam sosialis melakukan
integrasi internasional.

Sistem Perundang-Undangan Kehutanan menurut Undang-Undang Dasar Negara


Vietnam

Kelapa sawit (Elaeis guineesis) pertama kali diperkenalkan ke Vietnam oleh Perancis
pada tahun 1878 dan digunakan terutama sebagai tanaman hias. Meskipun kini ada
beberapa kebijakan terkait dengan pengenalan dan pengembangan kelapa sawit dalam
sistem penanaman sebagai tanaman industri yang potensial dan bernilai komersial,
budidaya kelapa sawit di Vietnam masih berada pada tahap percobaan. Kelapa sawit
telah muncul sesekali dalam kebijakan pemerintah selama lima dekade terakhir,
dimulai pada tahun 1962, ketika Presiden Ho Chi Minh memerintahkan Kementerian
Pertanian (yang sekarang dikenal sebagai Kementerian Pertanian dan Pembangunan
Pedesaan) untuk meneliti dan mengembangkan kelapa sawit. Pada tahun 1967,
Vietnam mengimpor kelapa sawit Dura dari China untuk ditanam di tiga perkebunan
percobaan di provinsi Thanh Hoa, Hung Yen dan Nghe An. Pada bulan Maret 1971,
kelapa sawit telah ditanam untuk keperluan penelitian di distrik Huong Son, provinsi
Ha Tinh.
Kotak 1: Tonggak Utama dalam Kerangka Kerja Kebijakan dan Hukum
 Agustus 1991: UU tentang perlindungan dan pengembangan hutan yang disahkan
oleh Majelis Nasional ke-8, yang menandai suatu upaya untuk melibatkan masyarakat
lokal dan berbagai sektor ekonomi dalam perlindungan dan pengembangan hutan.
 Juli 1993: UU tanah yang disahkan oleh Majelis Nasional ke9, menetapkan hak-hak
pemilik untuk menyewakan, menukar, mewariskan, menggadaikan, dan mengalihkan
hak guna lahan.
 Januari 1994: Dekrit pemerintah 02/CP tentang alokasi lahan hutan bagi organisasi
lokal, rumah tangga, dan individu. Januari 1995: Dekrit pemerintah 01/CP tentang
alokasi lahan melalui kontrak untuk keperluan pertanian, kehutanan, dan budidaya
perikanan. Nopember 1999: Dekrit pemerintah 163/1999/ND-CP tentang alokasi
lahan dan sewa untuk keperluan kehutanan.
 Nopember 2003: UU tanah yang disahkan oleh Majelis Nasional ke11, yang
mengakui status hukum masyarakat dalam kepemilikan lahan.
 Desember 2004: UU tentang perlindungan dan pengembangan hutan yang disahkan
oleh Majelis Nasional ke-11, yang mengakui properti umum sebagai suatu pengaturan
pengelolaan hutan yang sah.
Peran Negara
Konstitusi Vietnam 1980 memberikan semua hak atas tanah pada negara. Prinsip ini
merupakan bagian dari UU Tanah 1988, tetapi dinyatakan kembali sebagai
“kepemilikan rakyat” dan “pengelolaan negara” dalam Konstitusi 1992 dan UU Tanah
1993. Karena pemerintah pusat dan lokal menggunakan hak kepemilikan lahan atas
nama rakyat, mereka juga memiliki hak untuk memiliki, menggunakan, dan menjual
tanah. Sambil tetap mempertahankan kendali tertinggi atas peraturan dan kebijakan,
pemerintah pusat telah menyerahkan pengelolaan lahan pada Komite Rakyat. Otoritas
lokal juga bertanggung jawab atas penyusunan peraturan zonasi dan penggunaan
lahan, pendaftaran, dan penyelesaian jenis sengketa penggunaan lahan tertentu. Secara
keseluruhan, negara masih mendominasi pengelolaan sumber daya hutan. Masyarakat
lokal harus mendaftar ke suatu badan negara untuk memperoleh sertifikat tanah,
negara menentukan penggunaan sumber daya hutan yang sudah dialokasikan bagi
masyarakat lokal, hutan-hutan kualitas terbaik dilaporkan dimiliki oleh aktor-aktor
negara dan kepemimpinan desa yang dipilih oleh negara memainkan peran yang
dominan dalam perundingan yang berhubungan dengan lahan. Akibatnya,
kebijakankebijakan alokasi lahan (hutan) dulu dan sekarang belum mampu
memberikan kuasa yang diperlukan atas pemanfaatan dan pengelolaan hutan kepada
masyarakat lokal.
Reformasi kebijakan pertanahan Vietnam
Pada bulan Desember 1986, pada Kongres Nasional keenam, pemerintah Vietnam
mengenalkan sejumlah kebijakan dengan cakupan luas yang dikenal sebagai “doi moi”
(“pembaruan” atau “inovasi”). Dirancang sebagai tanggapan terhadap beberapa kegagalan
perencanaan pusat, reformasi doi moi dimaksudkan untuk secara bertahap meliberalisasi
ekonomi Vietnam. Terkait dengan reformasi ini adalah UU Tanah 1993 (dan revisi tahun
1998), yang mengikuti “Resolusi 10” tahun 1988, yang meresmikan rumah tangga tani
sebagai unit utama dari produksi pertanian dan menyediakan alokasi hak-hak guna lahan
bagi rumah tangga tersebut. Hak-hak guna lahan ini memberikan rumah tangga terkait hak
untuk mengambil keputusan terkait pembelian dan penggunaan sarana, penjualan hasil,
dan, hingga tingkat tertentu, penggunaan lahan. Beberapa amandemen UU Tanah tahun
1998 membagi lahan menjadi 6 kategori: lahan hutan, lahan pertanian, lahan pemukiman
pedesaan, lahan perkotaan, lahan khusus dan lahan tidak terpakai. Lahan hutan lebih lanjut
diklasifikasikan sebagai lahan berhutan dan lahan tidak berhutan yang direncanakan untuk
reboisasi. UU Tanah 1998 membedakan “hutan tanaman” dan “hutan alam”. Ini
mengizinkan organisasi, tetapi bukan perorangan, untuk memanfaatkan nilai kayu yang
tumbuh di lahan hutan yang dialokasikan untuk keperluan agunan. Organisasi juga dapat
menggunakan lahan sebagai kontribusi modal untuk proyek patungan usaha kehutanan.
Pada bulan Nopember 2001, pemerintah merevisi UU Tanah ini lagi, yang mengizinkan
bank-bank asing untuk mengambil hak guna lahan sebagai jaminan untuk pinjaman dan
membantu pembentukan pasar tanah.
UU Pertanahan (1993) UU Pertanahan (1993) didasarkan pada enam prinsip utama yang
mengatur masalah-masalah tanah:
(1) tanah adalah milik seluruh rakyat;
(2) tanah diurus secara seragam oleh negara;
(3) yang mendorong penggunaan yang efektif dan ekonomis. Lebih lanjut,
(4) negara melindungi lahan pertanian;
(5) mendorong investasi pada tanah; dan
(6) menetapkan nilai tanah. UU Pertanahan 1993 mengizinkan otoritas provinsi untuk
menentukan penggunaan lahan dan mengalokasikan atau menyita tanah yang sesuai.
Wewenang tersebut, bersama dengan kebutuhan pemerintah provinsi dan perusahaan
kehutanan untuk menghasilkan pendanaan mereka sendiri, telah menyebabkan
peningkatan penanaman tanaman komersial, termasuk tanaman industri, tetapi
seringkali dengan mengorbankan ekonomi subsisten masyarakat pedesaan tempatan.

Permasalahan terkait kehutanan


Meskipun ada pendelegasian relatif pengelolaan hutan kepada masyarakat lokal
dan integrasi langkah-langkah pengentasan kemiskinan ke dalam kegiatan kehutanan,
sejumlah masyarakat lokal masih menghadapi rintangan dalam hal pemahaman dan
kemampuan untuk melaksanakan hak-hak mereka atas lahan dan sumber daya. Bidang
yang menjadi perhatian meliputi:
Ketidak-konsistenan antara dokumen-dokumen hukum yang berbeda: Beberapa
ketetapan dalam dokumen hukum yang berbeda bertentangan satu sama lain. Sebagai
contoh, masyarakat lokal diakui secara hukum sebagai pemilik hutan di dalam UU
Perlindungan dan Pengembangan Hutan, tetapi tidak diakui di dalam KUHPerdata 2005.
Kerancuan dan perubahan dalam peraturan kehutanan negara: Sistem dokumen
hukum normatif untuk pengelolaan hutan merupakan sistem yang rumit dan dapat
berubah-ubah. Beberapa ketetapan masih bersifat umum dan kekurangan petunjuk
pelaksanaan. Yang lain, termasuk ketetapan-ketetapan mengenai penilaian hutan, nilai hak
guna hutan, dan nilai hutan tanaman produksi, terlalu rumit untuk memungkinkan
pemahaman dan kepatuhan yang tersebar luas. Kebingungan menandakan bahwa otoritas
lokal tidak mampu melaksanakan beberapa kebijakan negara, terutama kebijakan terkait
perubahan kegunaan hutan, pembagian manfaat dengan rumah tangga dan individu, dan
regenerasi serta penanaman hutan.
Suatu kerangka hukum yang tidak jelas: Banyak dokumen hukum yang dapat
mengalami penafsiran yang beragam, terutama karena bahasanya yang rumit. Keputusan
178/2001/QD-TT, contohnya, dimaksudkan untuk mengatur hak dan kewajiban pemilik
hutan, tetapi banyak orang yang melaporkan temuan berupa rumusan untuk menghitung
keuntungan bagi pemilik tertentu yang terlalu rumit untuk dapat dimengerti

Anda mungkin juga menyukai