Anda di halaman 1dari 77

DARI REDAKSI

Puji syukur ke hadirat Tuhan Yang Maha Esa, Buletin Planolog Edisi Kedua Tahun 2011 ini dapat diterbitkan kembali, semuanya ini tentunya bisa dilaksanakan atas dukungan dan kontribusi aktif keluarga besar Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan. Pembaca yang budiman, tema yang diusung pada edisi kali ini adalah Sinergitas Pembangunan Pusat dan Daerah. Hal ini terkait dengan adanya target pencapaian Direktorat Planologi dalam membangun dan mendukung kegiatan di kantor pusat Jakarta maupun kantor-kantor daerah. Untuk itu, kami menyajikan artikelartikel yang mendukung, seperti Pengukuhan, Mekanisme Pengelolaan Hutan, Penetapan dan Pelepasan Hutan, Gender Planologi Kehutanan, serta Moratorium CPNS. Melengkapi informasi tersebut, kami sajikan reportase khusus yaitu Direktorat Jenderal Planologi Memperoleh Geospatial Excellenge Award. Beberapa artikel umum yang perlu diketahui antara lain mengenai Teknologi Informasi, Pendidikan dan Pelatihan Teknis Kehutanan, serta Pelatihan Kehumasan. Menjelang akhir tahun yang penuh berkah ini pula, Redaksi mengucapkan Selamat Hari Natal dan Tahun Baru 2012.. Semoga Direktorat Planologi Kehutanan mencapai kesuksesan di tahun-tahun berikutnya. Redaksi.

Pelindung : Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Penanggung Jawab : Sekretaris Ditjen Planologi Kehutanan Dewan Pembina : Direktur Lingkup Ditjen Planologi Kehutanan Pemimpin Redaksi : Yana Juhana Anggota Redaksi : Gunardo Agung Prasetyo Syaiful Ramadhan Triyono Saputra Redaksi Pelaksana : Didik Setyawan Sudjoko Prajitno Yos Nelson Makalew Editor : Watty Karyati Deazy Rachmi Tommy M Nainggolan Jati Wisnu Murthy Lilit Siswanti Sutoto Sekretariat : Ira Patanduk Yusmaini Suyitno Desain Grafis : Emma Yusrina Wulandari Niken Pramesti

Menu Buletin
Direktorat Jenderal Planologi Memperoleh Geospatial Excellenge Award ........................................................................... Moratorium Hutan VS Pengelolaan Hutan Lestari ......................... Fasilitasi Penggunaan Kawasan Hutan.......................................... Generalisasi Fungsi Kawasan Hutan ............................................. Hutan Kemasyarakatan Sebagai Unit Kelestarian Hutan dan Kesejahteraan Sosial...................................................................... Perencanaan Pengelolaan Hutan Lindung Menuju Kesatuan Pengelolaan Hutan Model Sigedang .............................................. Beberapa Sistem Pengukuran GPS Yang Dapat Diterapkan Dalam Kegiatan Pengukuhan Kawasan Hutan .............................. Metoda Pengajaran Yang Efektif Dalam Penyelenggaraan Diklat Tenaga Teknis Pengukuran dan Pemetaan Hutan .............. Gender Planologi Kehutanan ......................................................... Penundaan Sementara Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (CPNS) (Moratorium CPNS) ................................................... Penemu-penemu Penting dalam Dunia Teknologi ......................... Tujuh Kebiasaan Buruk Berkomputer Yang Harus Anda Rubah ... Penetapan Hutan Lindung Sei Tembesi Dan Pelepasan Kawasan Hutan Balui ..................................................................... Pelatihan Menyiapkan Konferensi Pers dan Penulisan Press Release .......................................................................................... 1 2 7 22 26 33 40 47 50 68 63 67 70 77

Artikel tulisan yang dimuat dalam buletin ini bukan merupakan pendapat dan pandangan yang mewakili Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan namun, merupakan pendapat pemiliknya. Redaksi Planolog menerima tulisan/artikel yang berkaitan dengan pembangunan Planalogi Kehutanan. Redaksi berhak menolak dan mengedit naskah/artikel.

Sekretariat: BagianProgramdanEvaluasiDirektoratJenderalPlanologiKehutananKementerianKehutanan Gd.ManggalaWanabaktiBlokILantai8Telp.(021)5730289 Email:datainformasi.planologi@gmail.com buletin.planolog@gmail.com

DIREKTORAT JENDERAL PLANOLOGI MEMPEROLEH GEOSPATIAL EXCELLENGE AWARD

eospatial Media and Communications telah menganugerahkan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Ir. Bambang Soepijanto, MM. sebuah penghargaan berupa Geospatial Excellence Award pada acara Asia Geospatial Forum 2011 dengan tema Geospatial ConvergenParadigm For Future di Hotel Mulia dari tanggal 17-19 Oktober 2011. Penghargaan ini dianugerahkan dalam bidang Implementation Teknologi Geospasial untuk Pengelolaan Hutan dimana Ditjen Planologi Kehutanan dinilai sangat aktif dan berhasil sebagai pengguna, penggiat serta penyedia informasi geospasial di bidang kehutanan dan menjadi satusatunya Kementerian teknis yang menerima penghargaan tersebut.

secara terus menerus berkecimpung dalam pengembangan sistem informasi geografis nasional dalam rangka pembangunan Indonesia Spatial Data Infracstructure (INA-SDI) diprakasai oleh BAKOSURTANAL yang berubah menjadi Badan Informasi Geospasial (BIG). Dalam Keynote speech-ny, Ir. Bambang Soepijanto, MM. mengemukakan bahwa pemanfaatan geospasial di Kementerian Kehutanan telah dilakukan sejak kegiatan National Forest Inventory (NFI) dimulai pada tahun 1990-an. Banyak partisipasi Kementerian Kehutanan dalam sumbangannya pada kemajuan pemanfaatan geospasial nasional; dukungan yang sangat nyata dilakukan untuk pengembangan sumber daya manusia (SDM), pemanfaatan teknologi geospasial terkini baik perangkat keras (hardware) dan perangkat lunak (software) turut menjadikan Kementerian Kehutanan dipandang sebagai pelopor di bidang geospasial nasional.sehingga bukan suatu hal yang mengagetkan dan sudah selayaknya apabila ASIA Geospatial Forum tahun ini menganugerahkan Award tersebut kepada Kementerian Kehutanan. Salah satu hasil nyata pemanfaatan data geospasial kehutanan yang terintegrasi dan tertata dengan baik adalah pada saat proses penyusunan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru ( INPRES No 10 Tahun 2011), atau lebih dikenal dengan Peta Moratorium. Peta tersebut memerlukan data-data terkini yang ada di setiap walidata baik di dalam Kementerian Kehutanan maupun di luar Kementerian Kehutanan. Tantangan ke depan yang akan dihadapi oleh Kementerian Kehutanan yang semakin berat, terutama antisipasi terhadap isu

Gambar.

Ir.Bambang Soepijanto, MM. ketika menerima Geospatial Excellence Award pada acara Asia Geospatial Forum 2011.

Keberhasilan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan ini menjadi bukti bahwa kerja kerasnya selama ini yang pada saat ini di bawah pimpinan Ir. Bambang Soepijanto, MM dapat dipandang sebagai keberhasilan Kementerian Kehutanan yang

perubahan iklim, dalam kesempatan wawancara dengan Geospatial Media and Communications, Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Ir. Bambang Soepijanto, MM. menggaris -bawahi bahwa penggunaan teknologi geospasial akan terus ditingkatkan, hal ini dalam rangka memperkuat Kementerian Kehutanan mempersiapkan kelengkapan

informasi tentang data aktivitas (activity data) menggunakan penginderaan jauh, data biomass (emition factor) melalui kegiatan inventarisasi terestris dan pemanfaatan data Citra Satelit Resolusi Tinggi untuk mempercepat penyelesaian tata batas hutan yang ditargetkan selesai pada tahun 2014.

MORATORIUM HUTAN VS PENGELOLAAN HUTAN LESTARI


Oleh : Moech F. Fahada

A. Terbitnya Inpres Moratorium Hutan Setelah lama ditunggu-tunggu dan menjadi perdebatan panjang di ruang publik, Instruksi Presiden Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Penundaan Pemberian Izin Baru Dan Penyempurnaan Tata Kelola Hutan Alam Primer Dan Lahan Gambut atau yang lebih populer disebut Inpres Moratorium Hutan akhirnya ditandatangani Presiden Susilo Bambang Yudoyono. Inpres tersebut pada intinya adalah menetapkan kawasan hutan dan lahan gambut yang perlu dilindungi dari eksploitasi berlebihan serta perintah Presiden kepada beberapa kementrian terkait dan kepala daerah untuk mengambil langkahlangkah yang diperlukan untuk menyeimbangkan dan menselaraskan pembangunan ekonomi, sosial, budaya dan lingkungan serta upaya penurunan emisi gas rumah kaca. Seperti juga saat masih dalam wacana publik, dengan keluarnya Inpres tersebut ternyata masih menimbulkan reaksi pro-kontra dari berbagai pihak. LSM Lingkungan Greenpeace langsung meminta pemerintah segera merevisi Inpres tersebut, dengan alasan adanya perbedaan luas kawasan hutan yang perlu dilindungi, menurut mereka masih terdapat sekitar 40 juta hektar kawasan hutan yang belum termasuk dalam Inpres tersebut1). LSM lingkungan lokal, WALHI bahkan menyebutkan bahwa Inpres tersebut tidak berarti banyak bagi penyelamatan lingkungan di Indonesia, karena hutan alam primer yang disebut dalam Inpres tersebut , sebagian besar terdapat pada kawasan hutan lindung dan konservasi yang memang berdasarkan perundangan yang telah ada harus dilindungi2). Sebaliknya, kalangan pengusaha perkebunan sawit yang tergabung dalam Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki), menilai bahwa Inpres tersebut diskriminatif karena memberikan pengecualian kepada beberapa aktivitas ekonomi, yaitu geothermal, migas, tenaga listrik, lahan untuk padi dan tebu, padahal industri kelapa sawit

merupakan salah satu industri yang strategis dan penting dalam perekonomian Indonesia3). Sehingga Inpres tersebut otomatis akan menutup peluang perluasan kebun sawit serta merugikan daerah karena akan kehilangan peluang peningkatan produksi sawit. Hal ini juga diamini oleh beberapa tokoh kepala daerah yang tergabung dalam Asosiasi Pemerintah Kabupaten Seluruh Indonesia (APKASI)4). Gubernur Kalimantan Tengah Teras Narang justru menyambut baik Inpres tersebut, karena Inpres tersebut tidak akan mengganggu daerah karena spiritnya adalah untuk pembenahan. Bagi nya, moratorium adalah bagian yang memang diharapkan dan momentum untuk melakukan perubahan pengelolaan hutan secara baik, tinggal bagaimana pelaksanaannya di lapangan5). Hal ini senada dengan yang disampaikan oleh Emmy Hafidz, seorang aktivis lingkungan, yang menilai walaupun Inpres tersebut mengandung banyak kelemahan, tetap pantas didukung untuk memperbaiki tata kelola kehutanan, serta peluang memperbaiki tata ruang dan tata guna lahan yang dapat mengurangi laju kerusakan hutan6). B. Pembelajaran Kebijakan Kehutanan Selanjutnya, apa arti Inpres Moratorium Hutan tersebut bagi rimbawan yang mengemban amanah untuk mengelola hutan Indonesia? Atau bagi pihak-pihak yang masih percaya dengan pengelolaan hutan lestari? Sebenarnya dengan latar belakang yang hampir sama, sebelum isu perubahan iklim mencuat, pada tahun 2003 Departemen Kehutanan pernah menerapkan kebijakan soft landing, yaitu dengan menurunkan jatah tebang tahunan pada hutan alam di luar Jawa maupun hutan tanaman Perhutani di Jawa. Sama dengan kebijakan moratorium hutan, kebijakan tersebut merupakan kebijakan darurat atau khusus yang perlu diambil berdasarkan kondisi-kondisi yang sangat mendesak. Seharusnya kita telah belajar pada saat penerapan kebijakan soft landing

tersebut, dimana kebijakan tersebut diambil juga dalam rangka meningkatkan kelestarian sumberdaya hutan serta isu kerusakan lingkungan akibat peningkatan luas kerusakan hutan dan penurunan potensi tegakan hutan secara ekstrim. Seharusnya kebijakan tersebut segera diikuti dengan melakukan perbaikan tata kelola hutan yang menjamin berlangsungnya praktek-praktek pengelolaan hutan lestari di seluruh kawasan hutan Indonesia. Perbaikan tersebut meliputi seluruh level mulai dari tingkat pusat melalui pengurusan hutan sampai pengelolaan hutan di tingkat tapak, meliputi regulasi, kelembagaan, sampai sumber daya manusia. Sayangnya, hal tersebut tidak tuntas dilakukan sampai sekarang, sehingga dengan munculnya isu perubahan iklim lahirlah kebijakan khusus yang lain, berupa Inpres Moratorium Hutan tersebut. Jadi, Inpres tersebut sekali lagi merupakan kegagalan rimbawan atau sektor kehutanan untuk meyakinkan kepada pihak-pihak lain, khususnya pengambil kebijakan tertinggi di negara kita, bahwa hutan Indonesia sudah dikelola dengan baik berdasarkan prinsipprinsip kelestarian sumberdaya hutan. Faktanya, sejak kebijakan soft landing diterapkan pada tahun 2003, sampai sekarang belum ada satupun unit pengelolaan hutan lestari yang sudah operasional di tingkat tapak, sehingga deforestasi dan degradasi hutan masih menjadi momok bagi kegagalan rimbawan dan pengelolaan hutan di Indonesia. C. Komitmen Global Pengelolaan Hutan dan Lingkungan Sebenarnya isu kerusakan lingkungan selalu menjadi satu napas dengan isu pengelolaan hutan sejak lama. Konsep Pengelolaan Hutan Lestari (Sustainable Forest Management, SFM), atau disingkat PHL yang merupakan rukun wajib seorang rimbawan, dimulai saat umat manusia mulai berhadapan dengan berbagai keterbatasan dalam memanfaatkan sumberdaya alam guna mencukupi kebutuhannya. Dalam pengelolaan hutan, prinsip ini pada mulanya diwujudkan dalam prinsip (azas) kelestarian hasil (sustained yield principles) yang untuk pertama kalinya diuraikan secara tegas dalam Ordonansi Hutan tahun 1669 di Perancis,

walaupun prinsip ini sebenarnya telah mulai dirintis sejak dikeluarkannya Ordonance of Melun tahun 1376 (Osmaston, 1968). Pengertian prinsip kelestarian hasil pada periode itu mengandung arti yang sangat sempit yaitu prinsip dalam pengaturan hasil hutan berupa kayu. Pengelolaan hutan dengan prinsip ini lebih dikenal dengan pengelolaan tegakan hutan (timber stand management) yang sasarannya dapat berupa besar hasil pemanenan kayu yang sama setiap tahun (sustained yield principles) atau dengan hasil yang terus meningkat (progresive sustained yiled principle). Metode ini berkembang di daratan Eropa, terutama Jerman, dengan lebih menekankan kepada hutan homogen (satu jenis) dan seumur (even age) yang pada umumnya berupa hutan tanaman. Metode ini masuk ke Indonesia dibawa oleh pemerintah Hindia Belanda dan diterapkan dalam pengusahaan hutan jati di Pulau Jawa mulai tahun 1890 (Simon, 1999). Dalam perkembangan ilmu manajemen hutan, metode-metode tersebut dikategorikan ke dalam kelompok metode pengaturan hutan klasik (clasical forest regulation). Sementara itu, aspek lingkungan hidup dalam arti yang luas secara global mulai diperhatikan dalam pengelolaan hutan sejak dikeluarkannya Deklarasi Stockholm pada tahun 1972. Deklarasi yang dicetuskan melalui Konferensi Lingkungan Hidup Manusia yang diselenggarakan di Stockholm (Swedia) ini berisi 26 butir azas-azas (prinsip-prinsip) yang perlu dipegang dalam pengelolaan sumberdaya alam dan lingkungan hidup manusia. Beberapa butir dari deklarasi tersebut terkait langsung dengan kegiatan pengelolaan hutan. Selanjutnya, perhatian dan komitmen masyarakat internasional terhadap pengelolaan lingkungan hidup, termasuk di dalamnya hutan, makin lengkap dengan diselenggarakannya Konferensi Tingkat Tinggi (KTT) Bumi (Earth Summit) yang dikenal dengan sebutan UNCED ( United Nations Conference on Environment and Development). Konferensi PBB yang dilaksanakan atas mandat Majelis Umum PBB No. 22/448 ini dilaksanakan di Rio de Jeneiro (Brazil) tanggal 3-14 Juni 1992 dan merupakan konferensi tingkat Kepala Negara,

menghasilkan 5 (lima) dokumen yang disepakati dan disahkan, yaitu : Deklarasi Rio (Rio Declaration on Environment and Development), Konvensi Pembahan lklim (Convention on Climate Change), Konvensi Keanekaragaman Hayati (Convention on Biodiversity), Prinsip-prinsip Kehutanan (Forestry Principles) dan Agenda 21 (21th Century Programme). Satu dokumen hasil KTT Bumi, yaitu Prinsip-prinsip Kehutanan, walaupun disepakati hanya sebagai normanorma yang bersifat tidak mengikat bagi pengelolaan dan konservasi hutan dalam pembangunan berkelanjutan, disepakati untuk dijadikan bahan pertimbangan dalam kerjasama internasional di bidang kehutanan dan berlaku untuk semua tipe hutan7). D. Pengelolaan Hutan Lestari (PHL) dan Mitigasi Perubahan Iklim Dalam konsep PHL, kelestarian hasil hutan menuntut tingkat produksi yang konstan untuk intensitas pengelolaan hutan tertentu, dimana antara pertumbuhan dan pemanenan harus seimbang. Ada dua pengertian dari hal tersebut, yang pertama kelestarian hutan untuk jangka panjang, dimana hasil yang diperoleh dari hutan dalam keadaan normal dan memberikan hasil sepanjang masa. Pengertian kedua, hasil yang diperoleh mulai dari awal pengusahaan tidak pernah menurun selama-lamanya. Konsep kelestarian hutan tersebut selanjutnya berkembang dalam 3 (tiga) tahap, yaitu kelestarian hasil hutan, kelestarian potensi hasil hutan dan kelestarian sumberdaya hutan8). Tahap pertama, kelestarian hasil hutan adalah konsep kelestarian yang menitikberatkan pada hasil kayu tahunan atau periodik yang sama dengan penerapan sistem silvikultur, penentuan rotasi dan teknik penebangan yang tepat dan sebagainya. Konsep ini melahirkan konsep hutan normal Pada tahap kelestarian berikutnya yaitu kelestarian potensi hasil hutan, didasarkan permintaan masyarakat yang semakin beragam karena potensi supply semakin menurun akibat pertumbuhan jumlah penduduk. Kalau kelestarian hasil berorientasi pada kayu sebagai hasil hutan, maka kelestarian potensi berorientasi kepada hutan sebagai pabrik kayu. Tipe kelestarian yang

terakhir, kelestarian sumberdaya hutan, menuntut ekosistem hutan yang mendekati bentuk hutan asli dimana hutan bukan hanya berpotensi untuk menghasilkan kayu dan hasil non kayu saja, tetapi juga jasa lingkungan seperti air, udara segar, keindahan dan sebagainya. Orientasi konsep kelestarian ini adalah hutan sebagai ekosistem yang menghasilkan kayu dan non kayu, pelindung tata air dan kesuburan tanah, penjaga kelestarian lingkungan serta berfungsi sebagai gudang berbagai sumber genetik, flora maupun fauna. Secara teoritis ada tiga syarat yang harus dipenuhi untuk mewujudkan asas kelestarian seperti tersebut di atas, yaitu: 1. Ada jaminan kepastian batas kawasan yang tetap dan diakui oleh semua pihak; 2. Sistem perhitungan etat yang menjamin tidak terjadi over-cutting, sehingga dapat disusun rencana tebangan tahunan yang sesuai asas kelestarian; 3. Sistem permudaan yang menjamin permudaan kembali kawasan bekas tebangan yang berhasil baik. Output dari penerapan konsep kelestarian hutan tersebut adalah terbentuknya hutan normal, yaitu hutan yang mempunyai susunan kelas umur merata, mulai kelas umur pertama sampai akhir daur, dalam keadaan penuh dan mempunyai kondisi pertumbuhan maksimal. Setiap kelompok umur tegakan mempunyai luas atau potensi pertumbuhan yang sama sehingga tebangan tahunannya selalu menghasilkan kayu yang maksimal dan sama volumenya. Dalam sistem kelestarian hutan ada beberapa metode yang biasa digunakan dalam mengatur hasil penebangan untuk mendapatkan kelestarian hutan atau hutan normal, yaitu metode pengaturan berdasarkan luas, berdasarkan luas dan volume, berdasarkan volume saja dan berdasarkan ukuran dan jumlah pohon. Pada hutan tanaman, metode yang biasa digunakan adalah berdasarkan luas dan gabungan luas dengan volume. Metode pengaturan hasil berdasarkan luas masih sangat sederhana dan dipakai untuk pengelolaan hutan tingkat awal. Untuk mengatur tebangan yang berkesinambungan,

kawasan hutan dibagi ke dalam petak-petak sebanyak tahun rotasi yang telah ditetapkan dan penebangan dilakukan tiap tahun. Bila dalam setiap tahun luas petak yang ditebang sama maka hasil tahunan akan sama bila tingkat produktifitas tiap petak juga sama. Fluktuasi hasil tahunan akan dipengaruhi oleh komposisi jenis, kesuburan tanah dan kerapatan tegakan. Sedangkan metode pengaturan hasil berdasarkan luas dan volume merupakan perkembangan dari metode sebelumnya, dimana dalam metode ini hasil penjarangan dimasukkan dalam perhitungan hasil kayu tahunan, bersama-sama dengan tebangan akhir. Hal ini disebabkan dengan perkembangan sistem silvikultur untuk memperoleh kualitas tegakan yang lebih baik dengan membuka sedikit tajuk melalui pemangkasan dan penjarangan. Jadi sudah semakin jelas, bahwa pengelolaan hutan lestari merupakan kerangka kegiatan yang efektif untuk mengurangi dampak dan penyesuaian terhadap perubahan iklim. Karena hutan memainkan peranan penting dalam menstabilkan gas rumah kaca karena kapasitasnya yang besar dalam menyimpan dan menyerap karbon, dan juga dalam melepas karbon akibat kegiatan deforestasi maupun degradasi hutan. Oleh karena itu, dinamika karbon pada suatu ekosistem hutan dapat digunakan sebagai salah satu cermin kualitas tata kelola ekosistem hutan. Pada hutan yang dikelola secara lestari secara otomatis stok karbonnya juga dapat dianggap konstan dari waktu ke waktu9). Tetapi sebaliknya, pada hutan yang tidak dikelola dengan baik akan menyebabkan stok karbon yang akan terus menurun dari waktu ke waktu, hal inilah yang saat ini berlangsung pada sebagian besar kawasan hutan di Indonesia. E. Apa Setelah Inpres Moratorium Hutan? Kembali lagi pada Inpres Moratorium Hutan, ada lima langkah harus ditindaklanjuti oleh Menteri Kehutanan berdasarkan perintah Presiden tersebut, yaitu : 1. Melakukan penundaan terhadap penerbitan izin baru hutan alam primer dan lahan gambut yang berada di hutan konservasi,

hutan lindung, hutan produksi (hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa/tetap, hutan produksi yang dapat dikonversi) berdasarkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru. 2. Menyempurnakan kebijakan tata kelola bagi izin pinjam pakai dan izin usaha pemanfaatan hasil hutan kayu pada hutan alam. 3. Meningkatkan efektivitas pengelolaan lahan kritis dengan memperhatikan kebijakan tata kelola hutan dan lahan gambut yang baik, antara lain melalui restorasi ekosistem. 4. Melakukan revisi terhadap Peta Indikatif Penundaan Izin Baru pada kawasan hutan setiap 6 (enam) bulan sekali. 5. Menetapkan Peta Indikatif Penundaan Izin Baru hutan alam primer dan lahan gambut pada kawasan hutan yang telah direvisi. Dari kelima perintah tersebut, sebenarnya dapat dikelompokkan menjadi tiga permasalahan penting yang tersirat dan semuanya merupakan permasalahan laten sektor kehutanan, yaitu permasalahan tata kelola kehutanan (perintah ke-1 sampai ke3), permasalahan pemantauan sumberdaya hutan (perintah ke-4) dan kepastian batas/tenurial kawasan hutan (perintah ke5). Berdasarkan uraian sebelumnya, dapat disimpulkan bahwa solusi atau jawaban terhadap ketiga permasalahan penting tersebut adalah dengan mewujudkan pengelolaan hutan secara lestari melalui unit pengelolaan hutan di lapangan/tingkat tapak berupa Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH). Dengan adanya KPH yang beroperasional di tingkat tapak, permasalahan pertama yaitu tata kelola hutan akan terselesaikan, karena KPH akan secara otomatis menselaraskan antara aktivitas pengelolaan dan pengurusan hutan di lapangan. Setiap jengkal kawasan hutan (satuan terkecil unit perencanaan) dalam suatu KPH akan mempunyai atribut rencana kelola yang terdokumentasi dan terpantau secara periodik. Sehingga seluruh perizinan dan kebijakan lain yang akan diterapkan akan selalu mempertimbangkan aspek kelestarian hutan dan berlaku untuk jangka panjang, dan setiap waktu akan

dievaluasi dan dimonitor oleh manajemen KPH di lapangan. Hal ini secara otomatis juga akan menjawab permasalahan kedua, yaitu pemantauan sumberdaya hutan. Permasalahan ketiga, yaitu kepastian batas kawasan hutan juga akan terjawab dengan adanya KPH, karena sebagaimana telah diuraikan sebelumnya, pada suatu unit pengelolaan hutan lestari mensyaratkan adanya batas wilayah kelola yang tetap dan diakui oleh seluruh pihak. Batas wilayah KPH adalah batas kawasan hutan yang sudah ditatabatas dan ditetapkan oleh Menteri Kehutanan melalui proses pengukuhan kawasan hutan. Bahkan untuk kepentingan perncanaan dan pengelolaan, setiap unit lahan hutan pada suatu KPH, akan ditata dan diregister sesuai dengan karakter lahannya (dalam bentuk blok dan petak), sehingga seluruh kebijakan pengelolaan dan perijinan yang ada akan selalu mempertimbangkan karakter unit lahan tersebut. E. Penutup Sekali lagi, Inpres Moratorium Hutan harus dipandang sebagai satu kebijakan khusus yang harus diambil berdasarkan kondisi-kondisi darurat, yaitu kerusakan lingkungan dan dampak perubahan iklim yang ekstrim. Oleh karena itu harus diikuti dengan kebijakan reguler untuk mengembalikan kondisi kawasan dan sumberdaya hutan kita menjadi lebih baik,

yaitu dengan menerapkan pengelolaan hutan lestari melalui pembentukan dan berjalannya KPH di tingkat tapak. Inpres Moratorium Hutan bisa dijadikan momentum yang tepat bagi rimbawan dan seluruh pelaku sektor kehutanan untuk berbenah dan kembali ke khitahnya. Referensi :
1) http://www.kbr68h.com/berita/nasional/6574greenpeace--inpres-moratorium-hutan-harus-direvisi 2) http://jurnaltoddoppuli.wordpress.com/2011/05/20/ presiden-sby-telah-menetapkan-inpres-moratoriumbahasan-cepat/ 3) http://www.tempointeraktif.com/hg/bisnis/2011/05/ 20/brk,20110520-335761,id.html 4) http://tempointeraktif.com/hg/bisnis/2011/05/23/br k,20110523-336134,id.html 5) http://beritaiklim.com/2011/05/26/inpresmoratorium-hutan-dinilai-rugikan-daerah/ 6) http://cetak.kompas.com/read/2011/05/24/0347285 3/Inpres.Moratorium..Layakkah.Didukung 7) Suhendang, E. 1999. Pembentukan Hutan Normal Tidak Seumur Sebagai Strategi Pembenahan Hutan Alam Produksi Menuju Pengelolaan Hutan Lestari Di Indonesia . Orasi Ilmiah Guru Besar Tetap dalam Ilmu Manajemen Hutan Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor tanggal 29 Mei 1999 di Bogor. 8) Simon, H. 1994. Pengaturan Hasil Hutan. Program Diploma 3 Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. 9) Bahruni. 2010. Neraca atau Siklus Karbon di dalam Hutan. Prosiding Seminar Dampak Perubahan Peruntukan Dan Fungsi Kawasan Hutan Dalam Revisi RTRWP Terhadap Neraca Karbon Dalam Kawasan Hutan. Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan, Kementerian Kehutanan. Jakarta.

FASILITASI PENGGUNAAN KAWASAN hutan


A. Latar Belakang.

Oleh: Sudjoko Prajitno

Hutan adalah karunia Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumber kekayaan alam yang memberikan manfaat serbaguna yang mutlak dibutuhkan oleh umat manusia sepanjang masa. Hutan di Indonesia sebagai sumber kekayaan alam dan salah satu unsur basis pertahanan nasional harus dilindungi dan dimanfaatkan guna kesejahteraan rakyat secara lestari. Hutan, sebagai karunia dan amanah Tuhan Yang Maha Esa yang dianugerhakan kepada Bangsa Indonesia, merupakan kekayaan yang dikuasai oleh Negara, memberikan manfaat serbaguna bagi umat manusia, karenanya wajib disyukuri, diurus, dan dimanfaatkan secara optimal, serta dijaga kelestariannya untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat, bagi generasi sekarang maupun generasi mendatang. Hutan, sebagai salah satu penentu system penyangga kehidupan dan sumber kemakmuran rakyat, cenderung menurun kondisinya, oleh karena itu keberadaannya harus dipertahankan secara optimal, dijaga daya dukungnya secara lestari, dan diurus dengan akhlak mulia, adil, arif, bijaksana, terbuka, professional, serta bertanggung gugat. Pengurusan hutan yang berkelanjutan dan berwawasan mendunia, harus menampung dinamika aspirasi dan peran serta masyarakat , adat dan budaya, serta tata nilai masyarakat yang berdasarkan pada norma hukum nasional.
Pemahaman telah menunjukkan perkembangan yang ada dalam kehutanan yaitu semakin kompleknya permasalahan, ancaman, tantangan, hambatan, gangguan, dan tuntutan serta keanekaragaman penggunaan dan pemanfaatan hutan. Penguasaan dan pengurusan hutan menurut Undang Undang nomor 5 tahun 1967 masih bersifat otoritas penuh Pemerintah. Pasal 5 menjelaskan bahwa semua hutan dalam wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya, dikuasai oleh Negara, yang memberikan wewenang

kepada Negara untuk menetapkan dan mengatur perencanaan, peruntukan, penyediaan dan penggunaan hutan sesuai fungsinya dalam memberikan manfaat kepada rakyat dan Negara; mengatur pengurusan hutan dalam arti yang luas; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang atau badan hukum dengan hutan dan mengatur perbuatan-perbuatan hukum mengenai hutan. Penguasaan dan pengurusan hutan menurut Undang Undang nomor 41 tahun 1999 sebagaimana dalam pasal 4 pada prinsipnya serupa dengan Undang Undang nomor 5 tahun 1967, namun ditambahkan satu ayat yang menegaskan bahwa penguasaan hutan oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional.

Seluruh wilayah Indonesia adalah kesatuan tanah air dari seluruh rakyat Indonesia yang bersatu sebagai Bangsa Indonesia; Seluruh bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya dalam wilayah Republik Indonesia sebagai karunia Tuhan Yang Maha Esa adalah bumi, air dan ruang angkasa bangsa Indonesia dan merupakan kekayaan nasional. Bumi, selain permukaan bumi, termasuk pula tubuh bumi di bawahnya serta yang berada di bawah air.
Bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat. Penguasaan memberikan wewenang untuk mengatur dan menyelenggarakan peruntukan, penggunaan, persediaan dan pemeliharaan bumi, air dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan bumi, air dan ruang angkasa; menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orangorang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai bumi, air dan ruang angkasa. Wewenang tersebut digunakan untuk

mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat dalam arti kebangsaan, kesejahteraandan dan kemerdekaan dalam masyarakat dan Negara hukum Indonesia yang merdeka, berdaulat, adil dan makmur, yang dapat dikuasakan kepada pemerintah daerah dan masyarakatmasyarakat hukum adat, sekedar diperlukan dan tidak bertentangan dengan kepentingan nasional. Penguasaan Negara atas bumi, air dan ruang angkasa (termasuk kawasan hutan) oleh Negara tetap memperhatikan hak masyarakat hukum adat, sepanjang kenyataannya masih ada dan diakui keberadaannya, serta tidak bertentangan dengan kepentingan nasional, semata-mata untuk mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat. Namun sejauh mana penerapannya dalam kebijakan kehutanan dapat kita telusuri adakah kemungkinan masih ada yang belum selaras. B. Maksud dan Tujuan. Kajian ini dimaksudkan sebagai bahan dalam Seminar Pengembangan Jabatan Fungsiomnal lingkup Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan dimaksudkan untuk memberikan peluang/ aktivitas kepada pejabat fungsional sebagaimana tema seminar yaitu

No.

Provinsi

Penggunaan Lokasi Tambang Non Tambang a. Batu 2 bara a. Jalan b. TNI (AWR) Pipa Gas a. Batubara 1 1 1 4 6 23 1 a. Jalan a. Batubara b. Ps.Kuarsa Migas 1 3 1 2 2 1 1 1 a. Pabrik Tapioka a. Emas b. Andesif 1 1 1 1 1 1 4 3 2 1 2 4 3 3 3 12 1

Luas (Ha) 866,64

4.

Riau AU 1 200,0000 10 868,7500 0,0000 2 883,3900 667,1140 865,8621 2,0934 14,1100 4 456,0100 196,5000 148,8300 144,3500 0,0970 0,0580 128,5800 50,0000 40,0500 17,2000 61,1600 0,0430 10,0100 2 938,2310 63,1960 371,4000 18,9680 23,2328 3,8436 20,5160 107,7500 55,1000 866,9740 21,5400

5.

Jambi a. Batubara b. Migas c.Galian C Sumatera Selatan

6.

7.

Bengkulu a. Listrik b. BMG c. Radio-TVTelp a. Batubara

8.

Lampung

9. Bangka Belitung a. Jalan b. Radio-TVTelp c. Kanal a. Timah b. Kaolin c.P.Kuarsa d. Bt Granit 10. Jawa Barat a. Listrik b. Radio-TVTelp a. Mineral b. Marmer c.Andesif d. Galian C e. Panas bumi 11. Jawa Tengah a. Jalan b. Air Bersih c. Radio-TVTelp d. Listrik e. Stasiun pengamat 12. Jawa Timur a. Jalan b. Listrik a. Belerang b. Marmer c.Gamping d. Phosphat e. Andesif f. Feldspar 13. Bali a. Jalan b. BMG c. Radio-TVTelp d. Listrik e. Bangun. POS f. Temp Limbah g. Pipa BB Avtur a. Galian C 14. N.T.Barat 1. Listrik 2. DAM Air 3. Radio-TVTelp 1 1 3 8,1700 478,7900 0,3210 1 1 1 1 1 1 1 2 3 2 1 3 1 1 1 1 10,9500 1,8309 4,9000 6,0000 532,3000 4,0000 9,3500 7,5250 36,0300 0,1187 0,0300 20,0700 0,2500 14,4000 0,0400 0,0000 7 2 2 6 1 36,5768 0,1197 0,1340 151,4725+ 0,0010

Terwujudnya Peran Aktif Pejabat Fungsional untuk Percepatan Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan
Tujuan yang diharapkan dapat dicapai adalah Terbangunnya

Dinamika Pembangunan Kehutanan yang Serasi, Seimbang dan Progresif untuk Mewujudkan Prinsip Sustainable Forest Management (SFM).
C. Identifikasi Permasalahan Perkembangan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan non kehutanan sampai dengan September 2011 sebagai berikut :
No. Penggunaan Tambang Non Tambang N.A. Darussalam a. Jalan b. Radio-TVTelp 2. Sumatera Utara a. Jalan b. BMG c. Radio-TVTelp d. Listrik e. Pendidikan 3. a. Migas Sumatera Barat a. Listrik b. Air bersih 4 1 6 8 1 1 2 1 3.141,9300 0,1500 16,6335 626,6200 50,0000 2,3200 197,4220 0,0575 Provinsi Lokasi Luas (Ha)

1.

1 2

1,5000 16,5630

No.

Provinsi

Penggunaan Lokasi Tambang Non Tambang a. Emas 1 a. Telepon 2 1 2 1 1 2 1

Luas (Ha) 6 417,2950 2,4643 34,4200 2,3400 11,7000 0,9600 2 403,1300 205,7200

15. N.T Timur a. Marmer 16. Kalimantan Barat a. Radio-TVTelp b. TNI AU (AWR) c. Air bersih a. Bauksit b. Biji Besi 17. Kalimantan Tengah a. Batubara b. Emas c.Andesif d. Biji Besi 18. Kalimantan Selatan a. Radio-TVTelp b. Pelabuhan a. Batu bara b. Biji besi c. Andesi f d. Ps.Ku arsa e. Galian C 19. Kalimantan Timur a. Jalan b. Rumah sakit c. Radio-TVTelp d. Listrik a. Batubara b. Emas c. Galian C d. Gamping 20. Sulawesi Utara a. Radio-TVTelp b. TPI a. Emas 21. Sulawesi Tengah a. Jalan b. Listrik 22. Sulawesi Selatan a. Listrik 23. a. Marmer Sulawesi Tenggara a. Jalan b. Radio-TVTelp c. Listrik a. Nikel 24 Gorontalo a. Listrik 25. Maluku a. Migas 26. Maluku Utara a. Emas b. Nikel 27. Papua Barat a. Migas 28. Papua a. Jalan b. Pabrik kayu c. Listrik 1 1 2 28,1000 548,4000 887,7070 78,7250 2 7 899,1000 4 937,2900 1 562,4200 1 41,0000 3 3 2 2 2 5 218,8220 106,9820 26,7900 0,2666 119,6000 6 893,5270 3 2 381,3500 107,5300 1 1 1 443,4000 0,4190 0,0995 1 1 4 1 54 1 6 1 36,8000 6,1000 1,4860 51,9000 134 896,6510 0,0000 111,7090 54,4500

14 2 1 1 1 1 47 3 1 1 1

32 976,2560 9 348,6800 34,2800 390,8800 3,8310 23,4900 44 573,2690 3 064,7300 66,5900 183,1500 19,9800

kepentingan non kehutanan antara lain seperti data diatas. Pengertian non kehutanan lebih cenderung pada spesialisasi subyek dalam kegiatan tersebut. Namun untuk penggunaan yang sama, misalnya untuk bangunan jasa air bersih pengertiannya menjadi pemanfaatan kawasan hutan walaupun oleh pihak ketiga atau non kehutanan. 2. Pengelolaan hutan dalam satu Kesatuan Pengelolaan Hutan adalah bentuk satu unit manajemen hutan yang meliputi pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan dalam penyelenggaraannya. Spesifikasi administrasi kiranya perlu diperjelas lagi, sehingga tidak menimbulkan kebijakan yang rancu dalam kegiatan riel yang sama. 3. Fasilitasi penggunaan kawasan hutan untuk penyelenggaraan Kesatuan Pengelolaan Hutan belum dirancang dalam kebijakan pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan sebagai manajemen tingkat tapak. 4. Pembangunan sarana prasarana Kesatuan Pengelolaan Hutan yang tidak dapat menggunakan sebagian dari kawasan hutan adalah tidak efisien dan efektif dalam aktivitas kegiatan pengelolaan hutan. 5. Norma Standar Prosedur dan Kriteria Pemanfaatan dan Penggunaan Kawasan Hutan lebih mengutamakan segi perizinan, spesifikasi penggunaan dan pemanfaatan perlu dirumuskan sehingga jelas dan transparan dalam kebijakan pemanfaatan atau penggunaan kawasan hutan, terutama untuk pembangunan dan pelaksanaan Kesatuan Pengelolaan Hutan. D. Kajian dan Analisis. Bidang Pertanahan Hak-Hak atas Tanah. Sebagaimana dalam Undang Undang nomor 5 tahun 1960 bumi, air dan ruang angkasa termasuk kekayaan alam yang terkandung didalamnya pada tingkatan tertinggi dikuasai oleh Negara, maka ditentukan adanya macam-macam hak atas permukaan bumi yang disebut tanah, yang diberikan kepada perseorangan, kelompok, serta badan-badan hukum. Pemegang hak berwenang untuk mempergunakan tanah yang bersangkutan termasuk pula tubuh bumi dan air serta ruang angkasa diatasnya sekedar diperlukan

Jumlah Sumber : Direktorat Penggunaan Kawasan Hutan

1. Penggunaan sebagaimana pengertiannya dalam Undang Undang nomor 41 tahun 1999 tentang Kehutanan adalah untuk

10

untuk kepentingan langsung penggunaan tanah tersebut.

dalam

pihak lain, serta dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Sebagaimana diatur dalam Peraturan Pemerintah nomor 40 Tahun 1996 tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha adalah tanah Negara. Pelaksanaan Hak Guna Usaha pada tanah yang dibebani hak tertentu dan/ atau terdapat tanaman dan/ atau bangunan yang sah (tanaman dan bangunan milik bekas pemegang Hak Guna usaha) dapat dilakukan setelah pelepasan hak terselesaikan menurut tata cara yang diatur dalam peraturan perundangan dan/ atau telah terselesaikan pembayaran ganti rugi tanaman dan bangunan. Tanah Negara yang dapat diberikan dengan Hak Guna Usaha minimal lima hektar dan maksimal dua puluh lima hektar untuk perorangan dan untuk badan usaha yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia dapat diberikan lebih sesuai ketentuan Menteri setelah memperhatikan pertimbangan dari pejabat yang berwenang dibidang usaha yang bersangkutan. Hak Guna Usaha diberikan untuk jangka waktu tuga puluh lima tahun dan dapat diperpanjang satu kali selama dua puluh lima tahun. Apabila tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai dengan keadaan, sifat dan tujuan pemberian hak dan pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak, maka Hak Guna Usaha dapat diperbaharui dengan permohonan disertai syaratsyarat permohonan hak. Kewajiban dan hak Pemegang Hak Guna Usaha adalah : - membayar uang pemasukan kepada Negara; - melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan/atau peternakan sesuai peruntukan dan persyaratan sebagaimana ditetapkan dalam keputusan pemberian haknya; - mengusahakan sendiri tanah Hak Guna Usaha dengan baik sesuai dengan kelayakan usaha berdasarkan kriteria yang ditetapkan oleh instansi teknis; - membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada

Hak-hak atas tanah meliputi Hak Milik, Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan, Hak Pakai, Hak Sewa, Hak Membuka Tanah, Hak Memungut Hasil Hutan, dan hak-hak lain yang ditentukan dengan Undang Undang, serta hak-hak yang sifatnya sementara dan berakhir pada batas waktu yang ditentukan (hak gadai, hak usaha bagi hasil, hak menumpang dan hak sewa tanah pertanian). Untuk menjamin kepastian hukum dari hakhak tersebut dilaksanakan pendaftaran tanah oleh Pemerintah meliputi pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah; pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut; serta pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat (sertifikat). Hak milik tanah adalah hak turun temurun, terkuat dan terpenuh yang dapat dimiliki orang warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan menurut ketentuan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Terjadinya Hak Milik karena hukum adat yang diatur dengan Peraturan Pemerintah; penetapan Pemerintah menurut cara dan syarat yang ditetapkan dengan Peraturan Pemerintah serta ketentuan Undang Undang dengan diberikan sertifikat Hak Milik Tanah. Hak Milik Tanah dapat dipindahkan sesuai Peraturan Pemerintah. Hak Milik Tanah dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. a. Hak Guna Usaha. Hak Guna Usaha adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh Negara dalam jangka waktu paling lama 25 tahun atau 35 tahun untuk perusahaan yang memerlukan waktu lebih lama dan dapat diperpanjang paling lama 25 tahun. Hak Guna Usaha dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia dan badan hukum yang didirikan berdasarkan hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia melalui penetapan Pemerintah dengan diberikan serifikat Hak Guna Usaha. Hak Guna Usaha dapat beralih dan dialihkan kepada

11

dalam lingkungan areal Hak Guna Usaha; - memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku; - menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan Hak Guna Usaha; - karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, maka wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung; - pemegang Hak Guna Usaha berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha untuk melaksanakan usaha di bidang pertanian, perkebunan, perikanan dan/ atau peternakan; - penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha hanya dapat dilakukan untuk mendukung usahanya dengan mengingat ketentuan peraturan perundangan yang berlaku dan kepentingan masyarakat sekitarnya; - menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Usaha kepada Negara sesudah Hak Guna Usaha tersebut hapus; - menyerahkan serifikat Hak Guna Usaha yang telah hapus kepada Kepala Kantor Pertanahan. Apabila tanah Negara yang akan diberikan dengan Hak Guna Usaha merupakan kawasan hutan, maka pemberian Hak Guna Usaha dapat dilakukan setelah

No.

Provinsi

1 N.A.Darussalam 2 Sumatera Utara 3 Sumatera Barat 4 Riau 5 Jambi 6 Sumatera Selatan 7 8 9 10 11 Bengkulu Lampung NTB NTT Kalimantan Barat

Lokas Persetujua i n Prinsip (Ha) 16 48.552,00 11 69.569,00 9 60.676,00 5 16.611,00 8 57.260,00 33 149.542,00 7 39.430,00 10 38.681,00 12 133.724,50 7 58.854,00 3 10.600,00 2 3.638,00 1 5,00 1 850,00 43 531.978,00 13 14 5 3 1 36 3 3 2 1 4 2 4 3 1 4 14 5 9 295

Progre Keterangan s Dicabut Paduserasi APL Proses cabut Proses cabut Tata bys APL Proses cabut Dicabut Paduserasi APL

12 Kalimantan Tengah 13 Kalimantan Selatan 14 Kalimantan Timur 15 Sulawesi Utara 16 Sulawesi Tengah 17 18 19 20 21 Sulawesi Selatan Sulawesi Tenggara Gorontalo Sulawesi Barat Maluku

Peoses cabut Dicabut Paduserasi APL Dicabut Paduserasi APL Tata bts Proses Tata bts Paduserasi APL Proses cabut 168.215,00 Tata bts 1.675.460,0 APL Proses cabut 0 521.190,00 Tata bts 14.190,00 APL Proses cabut 16.350,00 448.564,00 APL Proses cabut 42.620,00 9.225,00 1.150,00 12.000,00 36.312,50 1.170,00 6.180,00 4.049,00 1.485,00 3.468,00 416.670,00 168.200,00 250.012,00 4 .560. 412,66 Tata bts APL APL HPK Tatabts Tata bts Tata bts APL Tata bts APL Tata bts APL

Proses cabut Proses cabut Proses cabut

Proses cabut Proses cabut Dicabut

22 Maluku Utara 23 Papua 24 Papua Barat Jumlah

b. Hak Guna Bangunan. Hak Guna Bangunan merupakan hak untuk mendirikan dan mempunyai bangunan-bangunan atas tanah yang bukan miliknya sendiri dengan jangka waktu paling lama 30 tahun dan dapat diperpanjang paling lama 20 tahun atau diperbaharui. Tanah yang dapat diberikan dengan Hak Guna Bangunan meliputi tanah Negara, tanah hak pengelolaan dan tanah hak milik, yang diberikan kepada warga Negara Indonesia atau badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia. Hak Guna Bangunan harus didaftarkan sesuai ketentuan Pemerintah untuk diterbitkan Sertifikat Hak Guna Bangunan. Hak Guna Bangunan dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain, serta dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan. Pemegang Hak Guna Bangunan berkewajiban untuk :

tanah yang bersangkutan dikeluarkan dari statusnya sebagai kawasan hutan.


Perkembangan perubahan status kawasan hutan untuk pembangunan pertanian, perkebunan, perikanan dan peternakan sampai dengan Agustus 2011 berikut:

12

- membayar uang pemasukan kepada Negara; - menggunakan tanah sesuai peruntukan dan persyaratan yang ditetapkan dalam keputusan atau perjanjian pemberian hak; - memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; - menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan kepada Negara, Pemegang Hak Pengelolaan atau Pemegang Hak Milik setelah Hak Guna Bangunan hapus; - menyerahkan setifikat Hak Guna Bangunan kepada Kepala Kantor Pertanahan. - karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, maka wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung; - pemegang Hak Guna Bangunan berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Guna Bangunan selama waktu tertentu untuk mendirikan dan mempunyai bangunan untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya; c. Hak Pakai. Hak Pakai merupakan hak untuk menggunakan dan/ atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atau tanah milik orang lain, yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam pemberian haknya, yang bukan perjanjian sewa menyewa atau perjanjian pengolahan tanah dengan jangka waktu tertentu. Hak Pakai Tanah dapat dimiliki oleh warga Negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia, selama jangka waktu yang tertentu atau selama tanahnya

dipergunakan untuk keperluan yang tertentu, dengan cuma-cuma, dengan pembayaran atau pemberian jasa berupa apapun. Pengalihan Hak Pakai kepada pihak lain atas tanah yang dikuasai langsung oleh Negara atas izin Pejabat yang berwenang. Pemegang Hak Pakai berkewajiban : - membayar uang pemasukan kepada Negara; - menggunakan tanah sesuai peruntukan dan persyaratan yang ditetapkan dalam keputusan atau perjanjian pemberian hak; - memelihara dengan baik tanah dan bangunan yang ada diatasnya serta menjaga kelestarian lingkungan hidup; - menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan Hak Pakai kepada Negara, Pemegang Hak Pengelolaan atau Pemegang Hak Milik setelah Hak Pakai hapus; - menyerahkan setifikat Hak Pakai kepada Kepala Kantor Pertanahan. - karena keadaan geografis atau lingkungan atau sebab-sebab lain letaknya sedemikian rupa sehingga mengurung atau menutup pekarangan atau bidang tanah lain dari lalu lintas umum atau jalan air, maka wajib memberikan jalan keluar atau jalan air atau kemudahan lain bagi pekarangan atau bidang tanah yang terkurung; - pemegang Hak Pakai berhak menguasai dan mempergunakan tanah yang diberikan dengan Hak Pakai selama waktu tertentu untuk keperluan pribadi atau usahanya serta untuk mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain dan membebaninya, atau selama digunakan untuk keperluan tertentu. d. Hak Sewa Hak Sewa adalah hak untuk menggunakan tanah milik orang lain untuk keperluan bangunan,dengan membayar kepada pemiliknya sejumlah uang sebagai sewa, baik secara langsung sekali,atau pada waktu tertentu, sebelum atau sesudah tanah dipergunakan. Hak sewa dimiliki oleh warga Negara Indonesia, orang asing yang berkedudukan di Indonesia, badan hukum

13

yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia, badan hukum asing yang memiliki perwakilan di Indonesia. Hak membuka tanah dan memungut hasil hutan hanya dimiliki warga Negara Indonesia dan diatur dengan Peraturan Pemerintah, tidak sendirinya diperoleh hak milik atas tanahnya. e. Hak Pengelolaan. Hak Pengelolaan sebagai hak menguasai dari Negara yang kewenangan pelaksanaannya sebagian dilimpahkan kepada pemegang hak. Seperti Hak Pengelolaan Hutan, Hak Pengelolaan Hutan Tanaman Industri. Bidang Kehutanan 1. Kawasan Hutan Kawasan hutan adalah wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Sejarah Republik Indonesia memberikan era yang tegas dalam keberadaan kawasan hutan. Pada zaman Belanda telah banyak kawasan hutan telah diukur, dipetakan dan ditetapkan sebagai kawasan hutan sesuai fungsi pokoknya serta diberikan nomor pendaftaran (register). Penetapan atas kebijakan pemerintah Belanda, namun keberadaan kawasan hutan tersebut masih diterima dan diakui ketika Indonesia merdeka sebagaimana dalam Undang Undang nomor 5 tahun 1967 bahwa wilayah tersebut ditetapkan sebagai kawasan hutan register. Kawasan hutan register ditetapkan berdasarkan letak (sesuai Peta), luas dan fungsi pokok hutannya. Kawasan hutan register sebagian besar berada di pulau Jawa (yang sekarang menjadi wilayah kerja Perum Perhutani), di pulau Bali, si provinsi Lampung, provinsi Sumatera Utara, pulau Muna. Keberadaan kawasan secara de facto dapat dipertahankan sampai sekarang, walaupun sebagian mengalami perambahan karena tingginya desakan pertumbuhan penduduk dan kebutuhannya. Penunjukan hutan secara parsial dilaksanakan berdasarkan Undang Undang nomor 5 tahun 1967 ditindak lanjuti proses pengukuhan kawasan hutan. Pengukuhan

hutan tidak dapat dilaksanakan secara cepat, sedang pertumbuhan penduduk dan kebutuhannya maupun kegiatan pembukaan hutan dalam pengelolaannya (kegiatan HPH diluar pulau Jawa sangat besar) sangat cepat, maka untuk menyelamatkan perlu adanya kebijakan percepatan pengukuhan dan penatagunaan hutan agar keberadaan dan keutuhan kawasan hutan dapat sebagai penggerak perekonomian lokal, regional dan nasional serta sebagai penyangga kehidupan lokal, regional dan nasional maupun global. Rencana Pengukuhan dan Penatagunaan Hutan (RPPH) mulai disusun awal tahun 1980 untuk masing-masing wilayah provinsi. Kegiatan melibatkan seluruh stakeholder daerah tingkat I provinsi dan daerah tingkat II kabupaten/ kota. Kesepakatan lintas sektoral di provinsi menghasilkan peta dan diskripsi rencana pengukuhan dan penatagunaan hutan yang dikenal dengan Tata Guna Hutan Kesepakatan Provinsi (TGHK Provinsi). Pengukuhan kawasan hutan dilaksanakan oleh Panitia Tata Batas Hutan Kabupaten/ Kota yang dibentuk oleh Gubernur dibantu tenaga teknis dari Balai Planologi Kehutanan Wilayah I-VI dan Sub Balai Tata Hutan Provinsi. Kawasan hutan yang telah selesai ditata batas oleh Panitia Tata Batas Hutan Kabupaten/ Kota dengan pemasangan pal batas dilapangan dan pembuatan Berita Acara Tata Batas Hutan dilampiri petanya diketahui oleh Gubernur diusulkan kepada Menteri Kehutanan untuk penetapannya. Penetapan kawasan hutan berdasarkan letak, luas, dan fungsi kawasan hutannya. Pada tahun 1992 diberlakukan Undang Undang tentang Penataan Ruang yang mengatursistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang. Ruang dimaksudkan sebagai wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang didalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya. Tata Guna Hutan Kesepakatan ditinjau kembali dan dipaduserasikan dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi. Paduserasi ditetapkan sebagai penunjukan kawasan

14

hutan dan perairan mulai tahun 1999 di 12 wilayah provinsi seluas 68 291 377,31 hektar hutan tetap, 5 provinsi seluas 13 858 602,97 hektar hutan tetap tahun 2000 hutan tetap, tahun 2001 di 2 provinsi seluas 18 410 880 hektar hutan tetap, tahun 2003 di 1 provinsi seluas 816 602,70 hektar hutan tetap, tahun 2004 sebanyak 2 provinsi seluas 1 414 760 hektar hutan tetap, tahun 2005 1 provinsi seluas 3 742 120 dan tahun 2009 sebanyak 3 provinsi seluas 5 339 452 hektar hutan tetap, sedang untuk provinsi Kalimanatan Tengah dan Riau menurut Tata Guna Hutan Kesepakatan yang ditetapkan tahun 1982 dan 1986 seluas 24 756 160 hektar serta provinsi Banten yang sedang proses penetapan seluas 253 254 hektar. Pada tahun 1999 telah diterbitkan Undang Undang nomor 41 tentang Kehutanan, kawasan hutan meliputi kawasan hutan register(telah ditetapkan), kawasan hutan paduserasi RTRWP dan T.G.H.K (sebagian telah ditetapkan melalui prosedur pengukuhan batas hutan dan sebagian masih penunjukan kawasan hutan) dan penunjukan parsial yang baru. 2. Peruntukan Kawasan Hutan. Peruntukan kawasan hutan merupakan penentuan (mencadangkan, menyediakan, menggunakan) suatu wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan sesuai fungsi pokok hutannya (hutan konservasi, hutan lindung, hutan produksi). Perubahan peruntukan kawasan hutan adalah perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan. Perubahan peruntukan dan fungsi hutan dilakukan untuk memenuhi tuntutan dinamika pembangunan nasional serta aspirasi masyarakat dengan tetap berlandaskan pada optimalisasi distribusi fungsi, manfaat kawasan hutan secara lestari dan berkelanjutan, serta keberadaan kawasan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional. Perubahan peruntukan kawasan hutan secara parsial dilaksanakan melalui tukar menukar kawasan hutan atau pelepasan kawasan hutan. Tukar menukar dapat

dilakukan pada kawsan hutan produksi dan/ atau hutan produksi terbatas untuk pembangunan diluar kegiatan kehutanan yang bersifat permanen, menghilangkan enclave, atau perbaikan batas hutan. Pelepasam kawasan hutan dapat dilakukan pada hutan produksi yang dapat dikonversi dari wilayah provinsi yang luas hutannya lebih dari 30% luas daratan, kecuali dengan cara tukar menukar. Perubahan peruntukan kawasan hutan wilayah provinsi atas dasar usulan dari gubernur dan hasil penilaian Tim Terpadu yang ditetapkan Menteri. 3. Pemanfaatan Kawasan Hutan. a. Pemanfaatan. Pemanfaatan hutan bertujuan untuk memperoleh manfaat, hasil, dan jasa hutan yang optimal bagi kesejahteraan seluruh masyarakat secara berkeadilan dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan hutan merupakan kegiatan untuk memanfaatkan kawasan hutan, memanfaatkan jasa lingkungan, memanfaatkan hasil hutan kayu dan bukan kayu, serta memungut hasil hutan kayu dan bukan kayu secara optimal dan adil untuk kesejahteraan masyarakat dengan tetap menjaga kelestariannya. Pemanfaatan kawasan hutan dapat dilakukan pada semua kawasan hutan kecuali pada hutan cagar alam serta zona inti dan zona rimba pada Taman Nasional. Pemanfaatan kawasan hutan merupakan kegiatan untuk memanfaatkan ruang tumbuh sehingga diperoleh manfaat lingkungan, manfaat sosial dan manfaat ekonomi secara optimal dengan tidak mengurangi fungsi utamanya. Pemanfaatan jasa lingkungan merupakan kegiatan untuk memanfaatkan potensi jasa lingkungan dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi utamanya. Pemanfaatan hasil hutan kayu merupakan kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa kayu dengan tidak merusak lingkungan dan dan Penggunaan

15

mengurangi fungsi pokoknya. Pemanfaatan hasil hutan bukan kayu merupakan kegiatan untuk memanfaatkan dan mengusahakan hasil hutan berupa bukan kayu dengan tidak merusak lingkungan dan mengurangi fungsi pokoknya. Pemungutan hasil hutan kayu dan atau bukan kayu merupakan kegiatan untuk mengambil hasil hutan berupa kayu dan/ atau bukan kayu dengan batasan waktu, luas dan/ atau volume tertentu Pemanfaatan maupun pemungutan dibatasi dengan waktu, luas, letak dan volume tertentu melalui ketentuan dalam pemberian izin pemanfaatan dan pemungutan hasil hutan. Kawasan Suaka Alam : pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar; kecuali kawasan cagar alam. Kawasan Pelestarian Alam : pemanfaatan kondisi lingkungan kawasan pelestarian alam dengan tetap menjaga kelestarian fungsi kawasan; pemanfaatan jenis tumbuhan dan satwa liar dengan memperhatikan kelangsungan potensi, daya dukung, dan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa liar; kecuali zona inti dan zona rimba pada taman nasional. Hutan Lindung : pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemungutan hasil hutan bukan kayuHutan Produksi : pemanfaatan kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, pemungutan hasil hutan kayu dan bukan kayu. b. Penggunaan. Penggunaan kawasan hutan sebagaimana Peraturan Pemerintah nomor 24 Tahun 2010 merupakan penggunaan atas sebagian kawasan hutan untuk kepentingan pembangunan diluar kegiatan Kehutanan tanpa mengubah fungsi dan peruntukan kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan untuk

kepentingan pembangunan diluar kegiatan Kehutanan meliputi untuk kepentingan religi; pertambangan; instalasi pembangkit, transmisi, distribusi listrik, serta teknologi energi baru dan terbarukan; pembangunan jaringan telekomunikasi, stasiun pemancar radio, dan stasiun relay televisi; jalan umum, jalan tol, dan kereta api; sarana transportasi lain untuk angkutan hasil produksi; sarana prasarana sumber daya air, jaringan instalasi air, saluran air bersih/ limbah; fasilitas umum; industri terkait kehutanan; pertahanan dan keamanan; prasarana penunjang keselamatan umum; atau penampungan sementara korban bencana alam. 4. Norma, Standar, Prosedur dan Kriteria Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Kesatuan Pengelolaan Hutan Produksi. a. Tugas dan Fungsi. 1) Menyelenggarakan pengelolaan hutan yang meliputi : - Tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan. - Pemanfaatan hutan. - Penggunaan kawasan hutan. - Rehabilitasi hutan dan reklamasi. - Perlindungan hutan dan konservasi. 2) Menjabarkan kebijakan nasional , provinsi, kotabidang kehutanan; kehutanan kabupaten/

3) Melaksanakan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya mulai dari perencanaan, pengorga nisasian, pelaksanaan dan pengawasan pengendalian; 4) Melaksanakan pemantauan dan penilaian atas pelaksanaan kegiatan pengelolaan hutan di wilayahnya; 5) Membuka peluang investasi guna mendukung tercapainya tujuan prngrlolaan hutan. b. Tata Hutan dan Penyusunan Rencana Pengelolaan Hutan Kegiatan tata hutan meliputi inventarisasi hutan, pembagian kedalam blok, pembagian blok kedalam petak, tata batas

16

dalam wilayah Unit Pengelolaan Hutan dan pemetaan. Inventarisasi hutan dimaksudkan untuk memperoleh informasi potensi, karakteristik, bentang alam, kondisi sosial ekonomi, dan informasi lain pada wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan meliputi

status, penggunaan, dan pentupan lahan; jenis tanah dan kelerengan/ topografi; iklim; hidrologi/tata air, bentang alam dan gejala-gejala alam; sumberdaya manusia dan demografi; jenis, potensi dan sebaran flora; jenis populasi dan habitat fauna; serta kondisi sosial ekonomi budaya masyarakat. Inventarisasi dilakukan dengan
survei melalui penginderaan jauh dan/ atau terestris paling sedikit sekali dalam 5 (lima) tahun yang disajikan dalam bentuk deskriptif, numerik, peta dan lain lain. Berdasarkan hasil inventarisasi dilakukan pembagian blok dengan memperhatikan

panjang selama 10 tahun dan rencana jangka pendek 1 tahun dengan mengacu pada Rencana Kehutanan Nasional, Provinsi, Kabupaten/ Kota serta memperhatikan aspirasi, nilai budaya masyarakat setempat dan kondisi lingkungan. Rencana pengelolaan hutan jangka panjang disusun Kesatuan Pengelolaan Hutan dinilai oleh Gubernur untuk disyahkan Menteri. c. Pemanfaatan Hutan. Pemanfaatan hutan meliputi pemanfaatan kawasan, pemanfaataan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu pada Hutan Lindung sedang pada Hutan Produksi selain pemanfaatan diatas dapat pula dilakukan pemanfaatan hasil hutan kayu dan bukan kayu, dan/ atau pemungutan hasil hutan kayu. Kegiatan pemanfaatan hutan dilakukan melalui pemberian izin sesuai peraturan perundangan yang berlaku. Kesatuan Pengelolaan Hutan wajib melaksanakan pembinaan, pemantauan dan evaluasi atas pelaksanaan izin pemanfaatan hutan di wilayahnya. Dalam hal izin pemanfaatan telah berakhir, maka Kesatuan Pengelolaan Hutan bertanggung jawab atas pengamanan dan perlindungan hutannya. Permohonan izin dan perpanjangan izin pemanfaatan hutan harus direkomendasi oleh dinas yang menangani kehutanan provinsi, kabupaten/ kota sesuai rencana pengelolaan hutan yang telah disusun Kesatuan Pengelolaan Hutan. Pemanfaatan wilayah tertentu (antara lain wilayah hutan yang situasi dan kondisinya belum menarik bagi pihak ketiga untuk mengembangkan usaha pemanfaatannya sehingga perlu menugaskan Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk memanfaatkannya) dapat dilaksanakan atas penugasan dari Menteri. d. Penggunaan Kawasan Hutan. Penggunaan kawasan hutan yang menjadi wewenang nya meliputi pembinaan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan izin penggunaan kawasan hutan.

karakteristik biofisik lapangan; kondisi sosial ekonomi masyarakat sekitar; potensi sumber daya alam; keberadaan hak-hak atau izin usaha pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan. Masingmasing blok dibagi kedalam petak dengan memperhatikan produktifitas dan potensi

lahan; keberadaan kawasan lindung yang meliputi kawasan bergambut, kawasan resapan air, sempadan pantai dan sungai, kawasan sekitar waduk/danau/ mata air, kawasan cagar budaya, kawasan rawan bencana alam, kawasan perlindungan plasma nutfah, kawasan pengungsian satwa dan kawasan pantai berhutan bakau.
Berdasarkan hasil tata hutan disusun rencana pengelolaan hutan pada wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan, dan rencana pembangunan. Rencana pengelolaan hutan meliputi arahan-arahan pengelolaan hutan pada wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan; rencana pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan yang memuat perencanaan organisasi termasuk pengembangan sumber daya manusia, pengadaan sarana prasarana, pembiayaan kegiatan dan kegiatan lainnya. Rencana Pengelolaan Hutan disusun untuk jangka

17

Permohonan izin dan perpanjangan izin penggunaan kawasan hutan harus direkomendasi oleh dinas yang menangani kehutanan provinsi, kabupaten/ kota sesuai rencana pengelolaan hutan yang telah disusun Kesatuan Pengelolaan Hutan. Dalam hal izin penggunaan telah berakhir, maka Kesatuan Pengelolaan Hutan bertanggung jawab atas pengamanan dan perlindungan hutannya. e. Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan. Kesatuan Pengelolaan Hutan malaksanakan rehabilitasi hutan pada areal yang tidak dibebani izin pemanfaatan meliputi kegiatan reboisasi, pemeliharaan tanaman, pengayaan tanaman, penerapan teknik konservasi tanah serta melaksanakan pembinaan pemantauan dan evaluasi pelaksanaan rehabilitasi oleh pemegang izin pemanfaatan. Reklamasi hutan dilaksanakan pada areal yang mengalami perubahan permukaan tanah dan perubahan penutupan tanah, dalam hal kawasan hutan di wilayahnya dibebani izin penggunaan kawasan hutan maka bertanggung jawab dalam pengamanan dan perlindungan hasil reklamasi serta melaksanakan pembinaan, pemantauan dan evaluasi pelaksanaan reklamasi oleh pemegang izin. f. Perlindungan Hutan. Perlindungan hutan bertujuan untuk menjaga hutan, hasil hutan, kawasan hutan dan lingkungannya, agar fungsi lindung, fungsi konservasi, dan fungsi produksi tercapai secara optimal dan lestari. Perlindungan hutan berdasarkan prinsipprinsip mencegah dan membatasi kerusakan hutan, kawasan hutan dan hasil hutan serta menjaga hak-hak negara, masyarakat, perorangan atas kawasan hutan, hutan dan hasil hutan, investasi maupun perangkat yang berhubungan dengan pengelolaan hutan. Perlindungan hutan pada wilayahnya yang dibebani izin menjadi tangung jawab pemegang izin.

g. Pembinaan Pengawasan.

Pengendalian

dan

Pembinaan, pengendalian dan pengawasan teknis atas penyelenggaraan tata hutan dan penyusunan rencana pengelolaan hutan, pemanfaatan hutan, penggunaan kawasan hutan, rehabilitasi dan reklamasi hutan dilaksanakan Menteri dan dapat menugaskan Gubernur setempat. Kamus Besar Bahasa Indonesia Berdasarkan kamus besar Bahasa Indonesia kata penggunaan, pemanfaatan dan peruntukan yang dipergunakan dalam peraturan perundangan tentang kehutanan mempunyai kemiripan/ kesamaan arti tergantung pada penjelasannya. 1) Peruntukan Peruntukan berarti hal memperuntukkan atau hal (bagian) yang disediakan untuk penyediaan : rencana untuk daerah bagi

industri; hutan.

rencana

peruntukan

kawasan

2) Penggunaan Penggunaan sebagaimana penjelasan dalam kamus sebagai proses; cara; perbuatan menggunakan sesuatu; pemakaian : kita harus mengatur

penggunaan kawasan hutan secara efisien dan efektive rasional. Penggunaan kawasan
hutan dapat dilaksanakan oleh manajemen Kesatuan Pengelolaan Hutan atau pihak ketiga untuk kepentingan bukan hutan, baik sebagai sarana prasarana manajemen ataupun penggunaan lainnya. 3) Pemanfaatan. Pemanfaatan dimaksudkan sebagai proses, cara, perbuatan memanfaatkan. Pemanfaatan hutan tersirat pengertian tidak terjadi perubahan bentang permukaan tanah dan pentupan tanah kawasan hutan. E. Kesimpulan. 1. Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan untuk membentuk satu sistem manajemen kawasan hutan yang lestari, bukan melestarikan perizinan. Oleh karena itu dalam pembagian blok dan petak seharusnya tidak tergantung pada keberadaan perizinan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan, melainkan

18

2.

3.

4.

5.

semata-mata untuk membagi kawasan kedalam peruntukan, pemanfaatan, penggunaan riel dalam manajemen Kesatuan Pengelolaan Hutan dengan memperhatikan potensi tegakan dan pengembangannya, biofisik, sistem penyelenggaraan unit-unit kelestarian hutan, aspirasi masyarakat. Blok dan petak yang telah dibuat oleh pemegang izin tetap dipertahankan sampai berakhirnya perizinan yang dalam perpanjangannya harus mengikuti ketentuan blok dan petak Kesatuan Pengelolaan Hutan. Penggunaan kawasan hutan menurut pengertian bahasa dan kegiatannya mempunyai ciri beda dengan pemanfaatan yaitu dimungkinkannya pengolahan dan perubahan permukaan tanah dan penutupan tanah kawasan hutan sesuai kebutuhan dalam rencana penggunaannya. Misalkan untuk bendungan, pertambangan, kelistrikan, jalan, Pemanfaatan lebih diarahkan pada pengambilan hasil atau kegunaan/ manfaat dari hutan dan kawasan hutan dengan tanpa merubah/ mengolah kawasan hutan dan dijaga kelestariannya melalui minimalisasi perubahan bentang alam. Pembangunan sarana prasarana pengelolaan hutan untuk Kesatuan Pengelolaan Hutan seperti jalan angkutan, pos-pos jaga, kantor dan pemukiman pegawai/ karyawan, tempat penampungan dan penimbunan hasil hutan perlu merubah bentang alam kawasan hutan sesuai kebutuhan rencana penggunaannya sebagai satu kesatuan dengan hutannya (tingkat tapak) Perizinan dalam pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan merupakan sistem pengelolaan hutan yang diatur sesuai tata waktu perizinan, tidak berdasarkan daur tegakan yang merupakan unsur utama dalam pembentukan unit kelestarian hutan. Kesatuan Pengelolaan Hutan merupakan sistem manajemen hutan yang lestari sebagai standar letak dan luas semua kegiatan dalam pengelolaan hutan.

6. Norma Standar Prosedur dan Kriteria Kesatuan Pengelolaan Hutan Lindung dan Produksi belum memberikan kewenangan secara langsung untuk melaksanakan kegiatan pemanfaatan dan penggunaan kawasan hutan sesuai rencana pengelolaan hutan yang telah disusun dan disyahkan oleh Menteri. Kesatuan Pengelolaan Hutan cenderung menjadi jagawana. 7. Hak Guna Usaha pada tanah negara yang peruntukannya sebagai kawasan hutan dapat diberikan setelah ada ketetapan pelepasan hutan dari Menteri Kehutanan. Pelepasan hutan untuk Hak Guna Usaha dapat dilaksanakan pada kawasan hutan produksi yang dapat dikonversi. F. Rekomendasi. 1. Norma standar prosedur dan kriteria

penggunaan kawasan hutan; pemanfaatan hutan perlu disusun secara


baku, agar pengertian bahasa penggunaan kawasan hutan tidak sama dengan pemanfaatan kawasan hutan. Penggunaan kawasan hutan tentu berbeda dengan izin penggunaan kawasan hutan.
2. Hukum pertanahan dalam kawasan hutan

wewenang Menteri Kehutanan dalam peruntukan kawasan hutan, penggunaan kawasan hutan dan pemanfaatan hutan. Oleh karena itu perlu dipertimbangkan kebijakan semacam Hak Pakai atau Hak Guna Kawasan Hutan untuk penyelenggaraan pengelolaan hutan, sehingga dimungkinkan dapat diterbitkan Hak Guna Bangunan untuk kantor, perumahan karyawan Kesatuan Pengelolaan Hutan maupun untuk industri pengolahan hasil hutan. Dengan Hak Guna Bangunan dapat memberikan penghasilan asli daerah (P.A.D) dari bangunan dan industri yang ada dapat diasuransikan. Kesatuan Pengelolaan Hutan tingkat tapak secara riel ada yaitu fasilitas pengelolaan hutan dan industri berada dalam satu tapak (situasi fasilitasi kantor sekarang dimungkinkan kantornya di Samarinda dan areal Kesatuan Pengelolaan Hutannya di Pangkalan Bun

19

serupa jaman Hak Pengusahaan Hutan dahulu)


3. Blok dan petak yang dibuat oleh pemegang izin pemanfaatan hutan dan penggunaan kawsan hutan tidak ditetapkan sebagai blok dan petak Kesatuan Pengelolaan Hutan, namun diberi kesempatan sampai berakhirnya izin. Blok dan petak Kesatuan Pengelolaan

Hutan tetap dibuat sesuai Pedoman Tata Hutan yang ditetapkan Menteri. 4. Perlu dipertimbangkan kewenangan Kesatuan Pengelolaan Hutan dalam pemanfaatan hutan dan penggunaan kawasan hutan secara langsung sesuai rencana pengelolaan hutan yang telah disyahkan Menteri.

20

GENERALISASI FUNGSI KAWASAN HUTAN


Oleh Edi Suharno
1

Kawasan hutan menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan merupakan wilayah tertentu yang ditunjuk dan atau ditetapkan oleh pemerintah untuk dipertahankan keberadaannya sebagai hutan tetap. Selanjutnya kawasan hutan ini dibagimenjadi hutan konservasi, hutan lindung dan hutan produksi. Hutan konservasi terdiri dari cagar alam, suaka margasatwa, taman nasional, taman hutan raya, taman wisata alam dan taman buru. Kemudian, hutan produksi dibagi ke dalam hutan produksi terbatas, hutan produksi biasa dan hutan produksi yang dapat dikonversi. Kawasan hutan berstatus penunjukan merupakan perubahan status dari bukan kawasan hutan menjadi kawasan hutan. Kriteria areal yang ditunjuk sebagai kawasan hutan tidak ditentukan tersendiri melainkan melekat dalam kriteria fungsi kawasan yang bersangkutan. Dalam UU Nomor 41 Tahun 1999 terdapat istilah pengukuhan dan penatagunaan kawasan hutan dan ke duanya merupakan kegiatan yang prosesnya merupakan sekuen, sehingga kawasan hutan akan dapat ditetapkan fungsinya setelah ditetapkan sebagai kawasan hutan. Kenyataannya tidak demikian, penunjukan kawasan hutan sekaligus dilakukan secara bersama-sama dengan penetapan fungsinya. Penunjukan kawasan hutan dan penetapan fungsinya secara bersama-sama dan terjadi sejak era tata guna hutan kesepakatan (TGHK). Kemudian tradisi ini diteruskan dalam penetapan kawasan hutan dan perairan wilayah provinsi. Batas fungsi kawasan hutan yang ada tidak dikriteriakan secara fisik lapang sehingga mungkin delieasi batasnya berimpit dengan sungai, tapi juga mungkin memotong. Kemungkinan lain adalah sejajar/berimpit dengan kontur tetapi mungkin juga memotong. Demikian pula dengan status fungsi pokok seperti hutan lindung dan hutan produksi. Ke dua fungsi pokok tersebut menggunakan kriteria ketinggian, kelerengan, jenis tanah dan curah hujan. Penentuan areal/kawasan hutan tertentu sebagai hutan lindung atau hutan produksi lebih didasarkan pada kriteria fungsi

kawasan hutan yang dominan. Hutan lindung tidak seluruh arealnya sesuai dengan kriteria hutan lindung, mungkin terdapat areal yang memenuhi kriteria hutan produksi atau sebaliknya. . Untuk menentukan delineasi batas fungsi ini biasanya dilakukan dengan menggabungkan fungsi lainnya yang tidak dominan dalam suatu areal tertentu. Namun demikian pertimbangan ini belum diformulasikan ke dalam regulasi yang memungkinkan semua pihak memahami. Kriteria Hutan konservasi terdiri hutan suaka alam dan hutan pelestarian alam serta taman buru. Hutan suaka alam menurut UU Nomor 41 Tahun 1999 diartikan sebagai hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok sebagai pengawetan keanekaragaman tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya yang juga sebagai wilayah penyanggan kehidupan. Hutan pelestarian alam diartikan sebagai hutan dengan ciri khas tertentu, yang mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, pengawetan keanekaragaman jenis tumbuhan dan satwa serta pemanfaatan secara lestari sumber daya alam hayati dan ekosistemnya. Taman buru termasuk hutan konservasi dengan fungsi pokok sebagai sumber daya alam hayati tempat wisata buru. Hutan lindung merupakan kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok sebagai sistem penyangga kehidupan dalam bentuk pengatur tata air, mencegah banjir, mengendalikan erosi dan intrusi air laut serta menjaga kesuburan tanah. Menurut PP Nomor 44 Tahun 2004 tentang Perencanaan Kehutanan, hutan lindung mempunyai kriteria: (1) kelerengan 40% atau lebih; (2) ketinggian 2.000 meter atau lebih dan (3) total skor jenis tanah, kelerengan dan curah hujan 175 atau lebih (4) daerah resapan air, (5) daerah perlindungan pantai dan (6) kelerengan 15 % atau lebih apabila tanahnya sangat peka erosi. Kriteria hutan produksi menurut PP Nomor 44 Tahun 2004 adalah kawasan hutan yang mempunyai fungsi pokok memproduksi hasil hutan dengan kriteria total skor di bawah 175. Kemudian hutan produksi dibagi lagi

21

kedalam hutan produksi terbatas dengan total skor 125 sampai 174 dan hutan produksi biasa dan hutan produksi yang dapat dikonversi dengan criteria total skor 124 ke bawah. Khusus hutan produksi yang dapat dikonversi dibedakan dengan hutan produksi biasa karena pada hutan produksi yang dapat dikonversi dibebani komitmen antara pemerintah dan pemerintah daerah sebagai hutan produksi yang dicadangkan peruntukannya bagi kegiatan di luar kehutanan misalnya budidaya pertanian dan transmigrasi. Kriteria fungsi kawasan hutan tersebut di atas, hanya memungkinkan suatu kawasan hutan dengan fungsi tertentu sesuai dengan kriteria yang telah dibangun. Artinya, suatu hutan lindung tidak memungkinkan seluruhnya atau sebagian arealnya memenuhi kriteria hutan produksi, atau sebaliknya. Suatu kawasan dengan fungsi hutan tertentu dapat dianggap kekeliruan dalam penetapannya apabila di dalamnya terdapat kriteria yang tidak sesuai. Perubahan hutan lindung menjadi hutan produksi pada sebagian hutan lindung menjadi dibenarkan karena kriteria fungsinya cocok sebagai hutan produksi. Padahal pada saat penetapan fungsi kawasan hutan, disadari terdapat kriteria yang memenuhi hutan produksi dalam hutan lindung atau sebaliknya. Delineasi Pada bagian sebelumnya dijelaskan bahwa status kawasan hutan dan fungsi kawasan hutan tidak dapat dipisahkan satu dengan lainnya. Seperti kita ketahui di dalam penunjukan kawasan hutan wilayah provinsi baik berdasarkan tata guna hutan kesepakatan (TGHK) yang terbit pada Tahun 80 an maupun hasil pemaduserasian antara TGHK dengan rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) menghasilkan penunjukan kawasan hutan dan perairan provinsi pada sekitar Tahun 1999, Pada penunjukan kawasan hutan tersebut diakomodasika secara bersama-sama dengan fungsi kawasan hutannya. Hal ini dapat dipahami bahwa pengelolaan hutan menurut fungsi pokoknya (hutan konservasi, hutan lindung atau hutan produksi) dilakukan secara berbeda sehingga dengan penunjukan kawasan hutan saja (tidak dengan fungsi pokoknya), pengelolaan hutan tidak dapat dilakukan. Penentuan hutan konservasi didasarkan berbagai pertimbangan antara lain sebaran

tumbuhan, tempat mencari makan, tempat berkembangbiak, tempat bermain dan beristirahat dari suatu jenis satwa tertentu yang perlu dikonservasi serta keberadaan ekosistem yang masih asli dan sebagainya. Dengan memperhatikan karakteristiknya masing-masing, maka penetapan hutan konservasi dilakukan degan luas dan bentuk berbeda-beda. Luas hutan konservasi ada yang mencapai di atas 1 juta hektar misalnya taman nasional (konservasi ekosistem) tetapi ada yang hanya beberapa hektar, misalnya cagar alam (konservasi jenis). Luas dan bentuk kawasan konservasi tersebut meskipun berbeda-beda namun konservasi tumbuhan dan satwa serta ekosistemnya tetap diupayakan secara optimal. Hutan lindung mempunyai kriteria tertentu dan apabila mengandalkan hanya kesesuaian kriteria maka delineasi batasnya meghasilkan hutan lindung yang terpecarpencar dan luas relative kecil. Demikian pula terhadap kriteria hutan produksi apabila diberlakukan hanya degan criteria secara murni juga menghasilkan sebaran yang sama. Untuk menentukan fungsi kawasan hutan, penggabubungan antara hutan lindung dan hutan produksi dilakukan. Apabila penggabungan tersebut didominasi kriteria hutan lindung maka selanjutnya menjadi hutan lindung dan apabila penggabungan criteria tersebut didominasi criteria hutan produksi maka menjadi hutan produksi. Persoalannya adalah bagaimana dan seberapa besar arealnya bisa digabungkan. Efektivitas Keberadaan hutan konservasi dengan berbagai kriterianya tidaklah seluruhnya dapat dipenuhi. Penentuan hutan konservasi di satu pihak dan hutan lindung serta hutan produksi di pihak lain bukannya sepenuhya bebas dari masalah. Penentuan kriteria fungsi kawasan hutan yang berbeda kriterianya berpotensi tumpang tindih fungsinya satu dengan lainnya. Dataran rendah dengan konfigurasi lapang yang ringan sangat cocok bagi hutan produksi tetapi di sisi lain mungkin juga cocok sebagai hutan konservasi karena biasanya pada wilayah tersebut mempunyai keanekaragaman genetik dan jenis tumbuhan dan atau satwa yang tinggi. Pilihannya adalah apakah menjadi hutan konservasi atau menjadi hutan produksi sangatlah kondisional. Meskipun pada akhirnya

22

diputuskan sebagai hutan produksi tidaklah masalah karena dalam pengelolaan hutan produksi mengatur juga kegiatan konservasi alam. Konservasi terhadap hutan negara didasarkan pada karakteristik tumbuhan dan atau satwa dan atau ekosistemnya. Konservasi dapat dilakukan terhadap tumbuhan tertentu misalnya terhadap jenis tertentu yang dilindungi agar tidak menjadi punah. Demikian pula terhadap jenis satwa tertentu, dilakukan terhadap seluruh habitanya tetapi pada kenyataannya ada yang hanya dapat dilakukan terhadap sebagian habitatnya. Kesulitan mengkonservasi seluruh habitat disebabkan adanya pertimbangan kepentingan, misalnya untuk memproduksi hasil hutan sehingga menjadi hutan produksi. Meskipun demikian tidaklah semata untuk tujuan produksi hasil hutan tetapi juga perlu berperan agar rantai kehidupan terutama satwa yang bersangkutan tidak terputus. Keberadaan hutan lindung suatu wilayah disamping pertimbangan dominasi kriteria fungsi perlu pula mempertimbangan faktor tujuan pegelolaannya. Pertimbangan tujuan, bahwa hutan lindung mempunyai fungsi pokok hidrologi sehingga perlu dilihat dalam konteks daerah aliran sungai. Terhadap kebutuhan air dalam jumlah lebih besar perlu penambahan luas hutan lindung atau keberadaan hutan produksi yang berperan juga sebagai fungsi hidrologi. Kondisi ini memungkinkan masyarakat hilir akan lebih banyak dapat menikmati air untuk berbagai kebutuhan dengan cukup. Apabila masyarakat hilir telah cukup atau surplus air bukan berarti kawasan hutan yang ada dihulu dapat dikonversi dengan bebas atau dilakukan pemanfaatan dan penggunaan secara ekstraktif. Oleh karena itu perubahan kawasan hutan menjadi bukan kawasan hutan untuk tujuan tertentu, perlu dipertimbangkan sejauhmana dampak perubahan sistem hidrologi terhadap masyarakat di bawahnya. Alokasi hutan produksi disamping mempertimbangkan aspek konservasi, lindung juga berhubungan erat antara luas dan produksi hasil hutannya terutama kayu. Dari angka luas dapat dihitung berapa produksi kayu yang dapat dihasilkan sehingga hasil tersebut merupakan

penting dalam penetapan supplydemand kayu bulat di suatu wilayah tertentu. Apabila luas tidak cukup tentunya tidak ada alasan untuk mengkonversi hutan produksi menjadi areal penggunaan lain (APL). Keberadaan hutan produksi yang terpencar dengan ukuran luas berbeda-beda perlu ditetapkan system manajemen dan penggunaan teknologi yang sesuai sehingga produktivitasnya tetap optimal. Berdasarkan UU Nomor 41 Tahun 1999 kawasan hutan bersifat dinamis, mudah berubah baik fungsi maupun peruntukannya. Perubahan kawasan hutan dapat dilakukan secara parsial dan tidaklah begitu menghawatirkan karena perubahan menjadi bukan kawasan hutan hanya dapat dilakukan di hutan produksi yang dapat dikonversi yang memang dicadangkan untuk kegiatan non kehutanan .Kemudian terhadap hutan produksi biasa dan hutan produksi terbatas harus dilakukan tukar menukar kawasan hutan. Lain halnya perubahan peruntukan yang dilakukan dalam rangka peninjauan kembali rencana tata ruang wilayah provinsi (RTRWP) semua fungsi kawasan hutan memungkinkan dapat diubah menjadi bukan kawasan hutan dan memungkinkan tidak ada penggantian atau areal yang masuk menjadi kawasan hutan. Implikasi pemahaman penetapan fungsi kawasan hutan berdasarkan prinsip dominasi kriteria dan generalisasi fungsi menjadi sangat penting. Secara yuridis pemahaman seperti ini tidaklah nampak di berbagai peraturan perundang-undangan yang ada. Pihak lain dapat mempersoalkan adanya sebagian kawasan hutan dengan fungsi tertentu tidak sesuai dengan kriteria yang ditetapkan sebagai suatu hal yang salah. Kenyataannya tidaklah mungkin hutan lindung pada seluruh arealnya memenuhi kriteria hutan lindung atau tidak mungkin pada hutan produksi seluruh arealnya memenuhi kriteria hutan produksi. Dengan demikian pembangunan regulasi yang mengatur dominasi dan generalisasi kawasan hutan dengan fungsi tertentu sangat diperlukan. bagian

23

HUTAN KEMASYARAKATAN SEBAGAI UNIT KELESTARIAN HUTAN DAN KESEJAHTERAAN SOSIAL


Oleh Sudjoko Prajitno

A. Latar Belakang. Hutan Kemasyarakatan adalah hutan negara yang pemanfaatan utamanya ditujukan untuk memberdayakan masyarakat setempat

(Permenhut no. P.37/Menhut-II/2007).


Pemberdayaan masyarakat merupakan upaya untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian masyarakat setempat untuk mendapatkan manfaat sumber daya hutan secara optimal dan adil melalui pengembangan kapasitas dan pemberian akses dalam rangka peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat. Pengertian tersebut memberikan gambaran bahwa Hutan Kemasyarakatan diselenggarakan untuk mencapai dua tujuan yaitu Kesejahteraan Sosial dan Pemanfaatan

Penyelenggaraan kesejahteraan sosial merupakan perwujudan pelaksanaan kewajiban Negara dalam menjamin hak terpenuhinya kebutuhan dasar warga Negara miskin dan tidak mampu.

Kehutanan merupakan sistem pengurusan


yang bersangkut paut dengan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan yang diselenggarakan secara terpadu. Penyelenggaraan kehutanan berazaskan manfaat dan lestari, kerakyatan, keadilan, kebersamaan keterbukaan, dan keterpaduan bertujuan untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan dengan : 1. Menjamin keberadaan hutan dengan luasan yang cukup dan sebaran yang proporsional; 2. Mengoptimalkan aneka fungsi hutan yang meliputi fungsi konservasi, fungsi lindung, dan fungsi produksi untuk mencapai manfaat lingkungan, sosial, budaya dan ekonomi, yang seimbang dan lestari; 3. Meningkatkan daya dukung daerah aliran sungai; 4. Meningkatkan kemampuan untuk mengembangkan kapasitas dan keberdayaan masyarakat secara partisipatif, berkeadilan, dan berwawasan lingkungansehingga mampu menciptakan ketahanan sosial dan ekonomi serta ketahanan terhadap akibat perubahan eksternal; dan 5. Menjamin distribusi manfaat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Tujuan penyelenggaraan kesejahteraan sosial dan penyelenggaraan kehutanan dapat direalisasikan dalam satu kegiatan nyata. Hutan kemasyarakatan merupakan satu bentuk pemberdayaan sosial, diselenggarakan dengan maksud untuk mengembangkan kapasitas dan memberikan akses terhadap masyarakat setempat dalam

secara Optimal dan Lestari.


Kesejahteraan sosial adalah kondisi terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial warga Negara agar dapat hidup layak dan mampu mengembangkan diri, sehingga dapat melaksanakan fungsi sosialnya.(UU Kesos Nomor 11 Tahun 2009). Penyelenggaraan Kesejahteraan Sosial bertujuan untuk : 1. Meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup; 2. Memulihkan fungsi sosial dalam rangka mencapai kemandirian; 3. Meningkatkan ketahanan sosial masyarakat dalam mencegah dan menangani masalah kesejahteraan sosial. 4. Meningkatkan kemampuan, kepedulian dan tanggung jawab sosial dunia usaha dalam penyelenggaraan kesejhateraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan; 5. Meningkatkan kemampuan dan kepedulian masyarakat dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan kerkelanjutan.

24

mengelola hutan secara lestari guna menjamin ketersediaan lapangan kerja bagi masyarakat setempat untuk memecahkan persoalan ekonomi dan sosial yang terjadi di masyarakat. Tujuan penyelenggaraan hutan kemasyarakatan Meningkatnya

kesejahteraan masyarakat setempat melalui optimalisasi pemanfaatan hutan secara adil berkelanjutan dengan tetap terjaganya kelestarian fungsi hutan dan lingkungan hidup.
Penyelenggaraan hutan kemasyarakatan untuk memenuhi kedua tujuan tersebut harus diselenggarakan dalam Unit Kelestarian Hutan sekaligus Unit Kesejahteraan Sosial. B. Maksud dan Tujuan. Maksud tulisan adalah untuk membangun kesepahaman pemberdayaan masyarakat di dalam dan di sekitar hutan, sehingga

Terwujudnya Kesatuan Kebijakan dalam Pembangunan Hutan Kemasyarakatan . Tujuan : Terbentuknya Unit-Unit Kelestarian Hutan Kemasyarakatan (HKm) dalam Kesatuan Pengelolaan Hutan yang Otonom Mandiri.
C. Sasaran. Sasaran ditujukan pada wilayah Kesatuan Pengelolaan Hutan yang mengalami desakan sosial masyarakat dan terancamnya kelestarian hutan, seperti di Sumatera Selatan, Lampung, Nusa Tenggara, dan Sulawesi.

penyakit kronis yang mengalami masalah ketidakmampuan sosial ekonomi sehingga terpenuhi kebutuhan dasarnya serta menghargai pejuang, perintis kemerdekaan dan keluarga pahlawan atas jasa-jasanya. Pemberdayaan sosial adalah memberdayakan seseorang, keluarga, kelompok dan masyarakat yang mengalami masalah kesejahteraan sosial agar mampu memenuhi kebutuhannya secara mandiri; dan meningkatkan peran serta lembaga dan atau perseorangan sebagai potensi dan sumber daya dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial. Perlindungan sosial dimaksudkan untuk mencegah dan menangani resiko dari guncangan dan kerentanan sosial seseorang, keluarga, kelompok, dan atau masyarakat agar kelangsungan hidupnya dapat terpenuhi sesuai dengan kebutuhan dasar minimal. Pembangunan kesejahteraan masyarakat hutan lebih mengedepankan pada dua kegiatan terakhir yaitu pemberdayaan sosial dan perlindungan sosial. Penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan untuk mengembangkan kesejahteraan sosial masyarakat hutan, mampu memenuhi kebutuhan dasar pangan, sandang, papan (perumahan), pendidikan, kesehatan, sarana umum dan transportasi, rekreasi dan kerohanian, serta tabungan masa depan.

KESEJAHTERAAN MASYARAKAT HUTAN


Pembangunan kesejahteraan masyarakat hutan sebagai bagian dari penyelenggaraan kesejahteraan sosial merupakan upaya yang terarah, terpadu, dan berkelanjutan yang dilakukan pemerintah, pemerintah daerah, dan masyarakat dalam bentuk pelayanan sosial guna memenuhi kebutuhan dasar setiap warga negara, yang meliputi rehabilitasi sosial, jaminan sosial, pemberdayaan sosial, dan perlindungan sosial. Rehabilitasi sosial dimaksudkan untuk memulihkan dan mengembangkan kemampuan seseorang yang mengalami disfungsi sosial agar dapat melaksanakan fungsi sosialnya secara wajar. Jaminan sosial dimaksudkan menjamin fakir miskin, anak yatim piatu terlantar, lanjut usia terlantar, penyandang cacat fisik, cacat mental, cacat fisik dan mental, eks penderita

Masyarakat hutan secara luas adalah kesatuan sosial yang letak lokasi tempat tinggal, kepentingan dan kepedulian, pekerjaan dan mata pencaharian, profesi keahlian, dan hal-hal lain yang bergantung dan berpengaruh terhadap hutan, kawasan hutan, hasil hutan dan industri, serta ekosistem hutan. Masyarakat hutan bergantung pada keberadaan hutan baik letak, luas dan persebaran, hasil guna dan manfaat, serta nilai tambahnya. Aktivitas masyarakat hutan berpengaruh terhadap keberadaan hutan, kawasan hutan, dan hasil hutan, baik letak, luas dan persebaran serta keanekaragaman pengembangannya untuk memenuhi kebutuhan. Percepatan pertumbuhan penduduk, kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi maupun perilaku kebijakan lebih berperanan dalam penurunan sumber daya hutan daripada kelestarian hutan.
Kelompok Masyarakat hutan kemasyarakatan merupakan pemukiman mandiri yang mampu mengembangkan potensi diri dan masyarakatnya dalam bentuk pertisipasi aktif

25

guna mengembangkan usaha pengelolaan hutan lestari dan kehidupannya secara berkelanjutan. Percepatan pertumbuhan penduduk merupakan tingkat kecepatan bertambahnya penduduk yang bernilai negatif atau positif dan tingkat kecepatan bertambahnya penduduk tanpa kebijakan publik dari pemerintah dan pemerintah daerah. Pertambahan penduduk dianggap normal apabila setiap keluarga ratarata berjumlah 3 atau 4 atau 5 orang. Kemajuan Ilmu pengetahuan dan teknologi akan membawa dampak yang negatif atau positif, tergantung dalam menyikapi dan memanfaatkan perubahan. Masyarakat dapat cenderung memenuhi kebutuhan sesuai rasionalitas kemajuan pengetahuan dan teknologi. Perilaku kebijakan, baik dari penguasaan dan kemampuan pembuat kebijakan, tujuan dan kelengkapan perangkat kebijakan dapat cenderung mengancam kelestarian hutan secara sistem maupun tidak langsung atau meningkatkan efisiensi, efektifitas dan rasionalitas pengelolaan hutan. Kebutuhan masyarakat selalu berubah dan berkembang secara pesat tidak terbatas, sedang keberadaan hutan, kawasan hutan salalu terbatas/ tetap. Oleh karena itu pengaturan kebutuhan dan sumber daya hutan secara efisien, efektif, rasional progresif sangat diperlukan untuk menjaga keseimbangan. Kelestarian hutan dalam tanda petik artinya kelestarian tetap menjadi slogan apabila tidak berusaha diaktualisasikan dalam batasan-batasan riel dari sistem pengelolaan hutan.
No. Provinsi 2005 1 1 2 3 4 5 6 7 8 9 2 Nangroe Aceh Sumatera Utara Sumatera Barat Riau Jambi Sumatera Selatan Bengkulu Lampung Bangka Belitung 71,00 200,00 3 2006 4

Kebutuhan dasar masyarakat hutan yang harus dipenuhi dari hasil pertanian tanaman, produksi hasil hutan dan pendapatan lain sesuai Kebutuhan Hidup Layak adalah Pangan dan minuman berupa beras, sumber protein (daging, ikan segar, telur ayam), kacang-kacangan (tempe/ tahu), susu bubuk, gula pasir, minyak goreng, sayuran, buah-buahan (setara pisang/ papaya) karbohidrat lain (setara tepung terigu), teh atau kopi, rempah dan bumbu-bumbuan; Sandang meliputi pakaian luar-dalam, sandalsepatu, kain panjang, handuk, dan perlengkapan ibadah; Papan/ Perumahan berupa rumah, perlengkapan rumah tangga, peralatan dapur, peralatan kebersihan, instalasi listrik dan m.c.k; Pendidikan untuk keluarga beserta sarana prasarana umum pendidikan; Kesehatan meliputi sarana kesehatan (pasta gigi, sabun mandi, sikat gigi, shampoo, obat anti nyamuk, potong rambut, serta sarana prasarana umum kesehatan). Transportasi yaitu transport kerja dan kebutuhan lainnya serta sarana prasarana transportasi umum; Rekreasi dan Rohani terdiri antara lain rekreasi dan tempat peribadatan; Tabungan masa depan yaitu dana tersimpan dan tempat pelayanan bank/ koperasi.

HUTAN KEMASYARAKATAN
Perkembangan penanaman Hutan Kemasyarakatan selama tahun 2005 sampai dengan 2009 sebagai berikut :

Tahun 2007 5 2008 6 2009 7

Jumlah (ha)

200,00 600,00 600,00 71,00

100,00

100,00

10 Kepulauan Riau 11 D.K.I. Jakarta 12 Jawa Barat 13 Jawa Tengah 14 D.I. Yogyakarta 15 Jawa Timur 16 Banten 175,00 175,00 3 154,00 375,00 1 050,00 4 579,00

26

17 Bali 18 Nusa Tenggara Barat 19 Nusa Tenggara Timur No. Provinsi 2005 1 2 3 2006 4 Tahun 2007 5 50,00 2008 6 2009 7 50,00 8 100,00 758,00 1 280,00 758,00 1 280,00 Jumlah (ha)

20 Kalimantan Barat 21 Kalimantan Tengah 22 Kalimantan Selatan 23 Kalimantan Timur 24 Sulawesi Utara 25 Sulawesi Tengah 26 Sulawesi Selatan 27 Sulawesi Tenggara 28 Gorontalo 1 600,00 600,00 100,00 150,00

50,00

300,00

50,00

50,00

196,00

1 795,00 600,00

29 Sulawesi Barat 30 Maluku 31 Maluku Utara

50,00

50,00

32 Papua Barat 33 Papua

Hutan Kemasyarakatan

Jumlah

3 254,00

3 171,00

1 750,00

Sumber : Statistik Kehutanan Indonesia tahun 2009

sebagai program pemberdayaan masyarakat didalam dan atau sekitar hutan dilaksanakan pada kawasan hutan lindung dan hutan produksi yang tidak dibebani izin pemanfaatan hasil hutan dan menjadi sumber mata pencaharian masyarakat setempat. Pembangunan Hutan Kemasyarakatan melalui proses perizinan usaha pemanfaatan hutan oleh Kelompok Masyarakat kepada Gubernur untuk wilayah hutan lintas kabupaten/ kota atau kepada Bupati/ Walikota untuk wilayah hutan di kabupaten/ kota. Permohonan melalui proses dua tahap yaitu 1. Tahap pertama adalah penentuan calon areal kerja Hutan Kemasyarakatan oleh Balai Pengelolaan Daerah Aliran Sungai (BPDAS), Unit Pelaksana Teknis Eselon I Kementerian Kehutanan terkait dan Pemerintah Daerah. Penentuan calon lokasi Hutan Kemasyarakatan berdasarkan hasil inventarisasi dan identifikasi calon areal kerja Hutan Desa dan Hutan Kemasyarakatan. 2. Berdasarkan calon lokasi yang ditetapkan dan atau permohonan masyarakat setempat diluar calon lokasi ditetapkan, Gubernur atau Bupati/ Walikota menyampaikan usulan penetapan Hutan Kemasyarakatan kepada Menteri Kehutanan. Gubernur atau Bupati/ Walikota dapat memfasilitasi pembentukan dan penguatan kelembagaan Kelompok Masyarakat setempat.

3. Tahap kedua verifikasi oleh tim yang dibentuk Menteri Kehutanan dengan penanggung jawab Direktur Jenderal Bina Pengelolaan DAS dan Perhutanan Sosial. Verifikasi dilakukan dengan cara konfirmasi kepada Gubernur atau Bupati/ Walikota terhadap hal-hal kepastian bebas hak/izin, dan kesesuaian fungsi hutan 4. Berdasarkan hasil verifikasi : Menteri Kehutanan menolak atau menetapkan areal kerja Hutan Kemasyarakatan untuk dapat diterbitkan Izin Usaha Pemanfaatan Hutan Kemasyarakatan oleh Gubernur atau Bupati/ Walikota.
200,00 2 283,00 10 658,00

Kelompok Masyarakat pemegang IUPHKm berhak : 1. Pada hutan lindung : mendapat fasilitasi, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu. 2. Pada hutan produksi : mendapat fasilitasi, pemanfaatan jasa lingkungan, pemanfaatan kawasan hutan, pemungutan hasil hutan bukan kayu, pemanfaatan hasil hutan bukan kayu dan pemungutan hasil hutan kayu. Kelompok Masyarakat penerima IUPHKm berkewajiban melaksanakan penataan batas areal

kerja, menyusun rencana kerja, melakukan penanaman pemeliharaan dan pengamanan, membayar provisi sumber daya hutan yang berlaku, dan menyampaikan laporan kinerja.

27

Kelompok Masyarakat mengajukan Izin Usaha Pemanfaatan Hasil Hutan Kayu (IUPHHK) berdasarkan rencana kerja (rencana umum, rencana operasional, rencana kerja IUPHHK.

sesuai perkembangan masyarakat.

dan

kemajuan

UNIT KELESTARIAN KEMASYARAKATAN.

HUTAN

Hutan Kemasyarakatan adalah salah satu sistem pengelolaan hutan seperti halnya dengan sistem Hutan Tanaman Industri, Hutan Tanaman Rakyat dan lainnya. Sistem tersebut sebagai bentuk dari upaya mencapai tujuan penyelenggaraan kehutanan yaitu untuk sebesar-besar kemakmuran rakyat yang berkeadilan dan berkelanjutan. Sistem Hutan Kemasyarakatan mempunyai spesifikasi tujuan, subyek, obyek dan kegiatan yang membedakan dengan sistem lain yang mengerucut pada kesatuan penggunaan kawasan dan pemanfaatan hutan sesuai peruntukannya secara optimal progresif lestari dalam rangka mencapai tujuan penyelenggaraan kehutanan. Oleh karena itu harus dapat membentuk satuan Unit Kelestarian Hutan. Hutan Kemasyarakatan sebagai Unit Kelestarian Hutan meliputi aspek kesejahteraan sosial masyarakat hutan dan aspek hutan, kawasan hutan dan hasil hutannya.

2. Hidup Layak dan mampu mengembangkan diri; Hidup layak dan mampu mengembangkan diri adalah tuntutan setiap keluarga anggota Kelompok Masyarakat pemegang IUPHKm. Kebutuhan hidup layak dapat sebagai acuan setiap individu anggota Kelompok Masyarakat sebagai standar minimal untuk seorang pekerja/ pelaksana Hutan Kemasyarakatan. 3. Mampu melaksanakan fungsi sosial. Mampu melaksanakan fungsi sosial dimaksudkan sebagai peran aktif masyarakat untuk meningkatkan taraf kesejahteraan, kualitas, dan kelangsungan hidup, kemampuan dan kepedulian dalam penyelenggaraan kesejahteraan sosial secara melembaga dan berkelanjutan.

Aspek Kelestarian Hutan


Aspek kelestarian hutan secara ekonomi, ekologi, dan sosial budaya akan menentukan luasan, tegakan pokok dan pola usaha dan industrinya agar terpenuhi tujuan pengelolaan hutan lestari. Aspek ekonomi cenderung mengoptimalkan hasil hutan (kayu, non kayu dan jasa lingkungan) untuk memperoleh pandapatan sebesar-besarnya sesuai kemampuan produksi hutan. Aspek ekologi lebih mengutamakan keberadaan penutupan hutan dan keseimbangan ekosistem dengan berbagai aktifitas dalam pengelolaan hutan.

Aspek Kesejahteraan Sosial


1. Terpenuhinya kebutuhan material, spiritual, dan sosial. Kebutuhan material, spiritual dan sosial sebagai kebutuhan dasar sebagaimana telah dijelaskan diatas harus dapat dipenuhi dari kegiatan dalam pengelolaan Hutan Kemasyarakatan baik secara minimal dan progresif. Sumber pangan dan sandang diharapkan langsung dari areal hutan dan atau pusat perdagangan (pasar) terdekat; perumahan anggota Kelompok Masyarakat tersedia dilokasi terdekat dengan tempat areal kerja bagiannya dengan kelas layak sangat sederhana; sarana prasarana transportasi seperti jalan setapak, jalan diperkeras dan alat transportasi tersedia; pendidikan dan kesehatan dapat disediakan oleh Kelompok Masyarakat untuk anggotanya; rekreasi dapat memanfaatkan alamnya dan sarana prasarana peribadatan disediakan Kelompok Masyarakat; Kebutuhan material, spiritual dan sosial masyarakat selalu berubah dan berkembang

Aspek sosial budaya


Keberadaan kawasan hutan secara de facto dan de jure terjamin dan mampu memberikan manfaat ekonomi, ekologi dan sosial budaya secara berkelanjutan dan progresif. Luasan dan sebaran yang proporsional sesuai peruntukan penggunaan dan pemanfaatan hutan tetap dapat memenuhi kebutuhan yang selalu berubah. Hutan Kemasyarakatan harus mempunyai luasan yang mampu menampung siklus pengelolaan hutan dan pertumbuhan kebutuhan masyarakat.

SIAPA ?
Berdasarkan perkembangan pelaksanaan Hutan Kemasyarakatan selama tahun 2005 sampai dengan 2009 bahwa penyelenggaraan Hutan Kemasyarakatan merupakan aktifitas pelayanan masyarakat dengan luasan yang tidak teratur

28

sesuai keberadaannya. Kegiatan dilaksanakan sebagai bagian dari rehabilitasi lahan hutan yang banyak mengalami tekanan masyarakat, sebagian arealnya terbuka atau rusak. Pendapatan masyarakat banyak mengalami perbaikan, pembukaan lapangan kerja di sekitar hutan lebih luas untuk penduduk setempat. Kelompok Masyarakat diberikan batasan cukup untuk masing-masing anggotanya, batasan jumlah anggota sesuai kearifan setempat sangat berpengaruh pada luasan areal kerja Hutan Kemasyarakatan. Produksi hasil hutan belum memadai dan sebagian besar masih belum dimanfaatkan. Potensi ini merupakan harapan anggota Kelompok Masyarakat sebagai bagian dari kebutuhan dasar yaitu tabungan masa depan. Kebijakan Pembangunan Hutan Kemasyarakatan semakin sederhana dalam pelayanan perizinan, sehingga lebih memudahkan Kelompok Masyarakat dan Pemerintah Daerah. Walaupun kewajiban sebelum memetik hasilnya cukup padat tenaga dan padat biaya seperti proses perizinan, perencanaan pada awal pembangunan Hutan kemasyarakatan. Pemerintah telah banyak memberikan keringanan dengan banyak fasilitasi antara lain pembentukan dan pengembangan

azasnya berkelanjutan dan lestari. Hutan Kemasyarakatan dapat dibentuk menjadi Unit Kelestarian Hutan baik dari aspek ekonomi, ekologi maupun aspek sosial budaya sebagian dari Unit Kelestarian Manajemen Kesatuan Pengelolaan Hutan atau menjadi satu Kesatuan Pengelolaan Hutan Kemasyarakatan apabila seluruh atau sebagian besar kawasannya menjadi areal kerja Hutan Kemasyarakatan. Untuk dapat membentuk unit sebagaimana tersebut diatas memang harus dipenuhi beberapa pembenahan seperti perubahan kebijakan atau diganti sama sekali dengan kebijakan baru; banyak memperhatikan aspek-aspek kelestarian hutan sesuai potensi biofisik, hutan, sosial budaya, pemasaran, industri dan aspek-aspek pengembangan wilayah. Kelompok Masyarakat sebagai subyek mempunyai ukuran tertentu sesuai tegakan pokok hutannya untuk memperoleh luasan tertentu dari satu unit kelestarian. Kelompok Masyarakat membangun Unit Kesejahteraan Sosial dalam aktifitas pengelolaan Unit Kelestarian Hutan.

kelembagaan kelompok, pengajuan permohonan izin, penyusunan rencana kerja, teknologi budidaya hutan dan pengolahan hasil hutan, pendidikan dan pelatihan, pengembangan akses terhadap pasar dan modal dan pengembangan usaha.
adalah kegiatan pembangunan kesejahteraan sosial dan pembangunan kehutanan yang harus dapat seiring sejalan. Hutan Kemasyarakatan merupakan satu sistem pengelolaan hutan dan penyelenggaraan kesejahteraan sosial dalam

BAGAIMANA ? Hutan Kemasyarakatan

29

PERENCANAAN PENGELOLAAN HUTAN LINDUNG MENUJU KESATUAN PENGELOLAAN HUTAN MODEL SIGEDANG
Oleh: Didik Setyawan

A. Pendahuluan Kawasan hutan lindung adalah kawasan hutan yang memiliki sifat khas yang mampu memberikan perlindungan kepada kawasan sekitar maupun bawahannya sebagai pengatur tata air, pencegah banjir dan erosi serta memelihara kesuburan tanah. Pertambahan jumlah penduduk akan mempunyai pengaruh terhadap pemanfaatan sumber daya hutan yang dapat menurunkan fungsi hutan. Keberadaan desa-desa sekitar kawasan hutan lindung yang dicirikan oleh rendahnya pendapatan perkapita, terbatasnya kesempatan kerja di luar sektor pertanian, terbatasnya pemilikan lahan dan rendahnya produktivitas usaha tani, merupakan faktorfaktor yang mendorong masyarakat memanfaatkan potensi sumber daya hutan yang ada. Kegiatan perambahan hutan dan pencurian kayu merupakan salah satu bentuk kegiatan destruktif terhadap pemanfaatan sumber daya hutan. Hutan lindung selama ini dapat dikatakan kurang mendapat perhatian dari pemerintah, khususnya pemerintah daerah cq. Dinas Kehutanan Provinsi maupun Kabupaten. Pengelolaan hutan lindung yang tidak optimal oleh pemerintah, mungkin lebih disebabkan karena hutan lindung kurang memberikan manfaat ekonomi dibandingkan dengan kawasan hutan produksi. Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) mempunyai peran Strategis dalam Optimalisasi akses masyarakat terhadap hutan serta merupakan salah satu jalan bagi resolusi konflik. Keberadaan KPH ditingkat lapangan yang dekat masyarakat, akan memahkan pemahaman permasalahan riil ditingkat lapangan, untuk sekaligus memposisikan perannya dalam penetapan bentuk akses yang tepat bagi masyarakat serta saran solusi konflik.

Ketidak sesuaian antara aturan dalam pengelolaan hutan lindung konvensional yang berlaku dengan realitas kebutuhan masyarakat desa Sigedang merupakan permasalahan dalam mewujudkan kelestarian sumber daya hutan lindung dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian untuk mewujudkan agar fungsi hutan lindung RPH Sigedang menjadi optimal dan lestari serta mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Sigedang dan sekitarnya sangat diperlukan perencanaan pengelolaan hutan lindung dengan strategi social forestry. Selain itu untuk menuju pengelolaan hutan lestari harus ada organisasi tingkat tapak sebagai organisasi teritory (wilayah). Organisasi tingkat tapak tersebut adalah Kesatuan Pengelolaan Hutan (KPH) yang benar-benar menjalankan fungsi menagemen/ pengelolaan pada wilayahnya. Penelitian ini bertujuan merumuskan permasalahan yang menyebabkan kerusakan hutan lindung di wilayah RPH Sigedang, merumuskan tujuan pembangunan hutan lindung untuk ikut memecahkan masalah pembangunan wilayah dan merumuskan perencanaan pengelolaan hutan lindung dengan tetap menjaga kelestarian fungsi utamanya melalui rekayasa pengelolaan hutan serta rekayasa sosial yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat.

B. Metode Penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Survey karena untuk mencari penyebab suatu masalah sosial ekonomi yang ada di masyarakat yang menyebabkan terjadi kerusakan pada hutan lindung.

30

HutanLindung

MasyarakatDesa

Degradasi HutanLindung

IdentifikasiMasalah

MasalahSosialEkonomi Masyarakat: 1. Jumlahpenduduk 2. Kepadatanpenduduk 3. Angkatankerja 4. Lapangankerja 5. Pendapatan 6. Tatagunalahan 7. Kebutuhandasar

KebijakanPemerintah 1. Kebijakan/Peraturan PemerintahPusat 2. Kebijakan/Peraturan PemerintahDaerah

AnalisisPerumusanMasalah

PerumusanTujuanPembangunanHutanLindung

RekayasaPengelolaanHutan(MRV) danRekayasaSosial
Gambar 1. Bagan Alir Penelitian

C. Metode dan Analisi Data Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode Survey. Permasalahan sosial ekonomi masyarakat Desa Sigedang dapat diketahui dengan pengambilan data secara acak sederhana (simple random sampling). Jumlah sampel yang diambil menggunakan aturan sepersepuluh, jadi 10 % dari jumlah populasi (Nasution, 2004). Analisis data yang digunakan adalah deskriptif kuantitatif, data-data yang bersifat kuantitatif dibuat diskriptifnya untuk menyusun perumusan masalah yang akan digunakan untuk penyusunan rencana pengelolaan hutan lindung dengan strategi social forestry.

D. Hasil Penelitian dan Pembahasan 1. Permasalahan dalam Pengelolaan Hutan Lindung Sigedang 1.1. Sub Sistem Sosial Ekonomi Masyarakat a. Jumlah dan kepadatan penduduk Jumlah dan kepadatan penduduk dari tahun 2002 sampai 2006 cenderung meningkat setiap tahunnya sehingga akan berpengaruh bertambahnya kebutuhan hidup seperti pangan, lahan pertanian dan kayu bakar.

31

b. Angkatan kerja produktif dan lapangan kerja Angkatan kerja produktif (15-54 tahun) dari tahun 2002 sampai 2006 terus mengalami peningkatan dari tahun ketahun sehingga terjadi penggangguran karena lapangan kerja di sektor pertanian semakin sempit. Terdapat penduduk yang mempunyai mata pencaharian sebagai pencari dan penjual kayu bakar dari hutan lindung karena kesempatan kerja yang terbatas. c. Pendapatan dan tingkat kesejahteraan Pendapatan penduduk mayoritas (85%) di atas Rp 1.620.000/tahun dan termasuk golongan keluarga tidak miskin (Sayogya, 1977). Tingkat kesejahteraan terus meningkat selama lima tahun terakhir yaitu dengan terjadinya peningkatan kualitas bangunan setiap rumah d. Kebutuhan lahan Kebutuhan lahan pertanian minimum Desa Sigedang adalah 651,75 ha dan hanya tersedia seluas 295,075 ha sehingga terjadi defisit lahan pertanian. e. Kebutuhan dasar masyarakat Konsumsi pangan berupa beras, rata-rata sebesar 297.000 kg/tahun. Konsumsi pakan ternak domba berupa rumput sebesar 4.621 kg/hari. Konsumsi kayu bakar sangat besar yaitu 0,12 m/kk/hari. Konsumsi kayu pertukangan, 95% diperoleh dari membeli. 1.2. Sub Sistem Kehutanan a. Kebijakan pemerintah baik pemerintah pusat maupun daerah belum mengatur secara jelas bentuk pengelolaan hutan lindung berdasarkan kondisi sosial ekonomi masyakat setempat. b. Produksi pakan ternak tidak dihasilkan dari hutan lindung tetapi dari tegalan.

c. Produksi kayu bakar berdasarkan peraturan tidak dihasilkan dari hutan lindung.

1.3. Sub Sistem Pertanian a. Ketersediaan lahan pertanian berupa tegalan hanya 295,075 ha dan tidak terdistribusi secara merata kepada setiap penduduk. b. Produksi pangan sebagian besar tidak dihasilkan dari tegalan karena dipergunakan untuk bertanam sayuran. c. Produksi pakan ternak berupa rumput campuran berasal dari tegalan yang mempunyai kualitas kurang baik. d. Produksi kayu bakar dari pekarangan dan tegalan sangat kecil dan hanya 18% penduduk yang memakainya. 2. Perumusan Masalah Penyebab Terjadinya Kerusakan Hutan Lindung Berdasarkan analisis terhadap data primer dan data sekunder mengenai pengelolaan kawasan hutan lindung RPH Sigedang dan kondisi Desa Sigedang maka dapat dirumuskan penyebab utama terjadinya kerusakan hutan lindung adalah: a. Surplus tenaga kerja di sektor pertanian; b. Defisit lahan pertanian yang berupa tegalan; c. Defisit kayu bakar baik dari tegalan dan pekarangan; d. Adanya warga desa sigedang yang mempunyai mata pencaharian sebagai pencari dan penjual kayu bakar dari hutan; e. Belum adanya kebijakan pemerintah mengenai bentuk pengelolaan hutan lindung yang jelas tentang tata cara penyelenggaraan dan tata cara pemberian hak pemanfaatannya yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. 3. Perumusan Tujuan Pembangunan Hutan Lindung Berdasarkan perumusan masalah penyebab terjadinya kerusakan hutan

32

lindung RPH Sigedang maka dapat dirumuskan tujuan pembangunan hutan lindung untuk ikut memecahkan masalah pembangunan wilayah antara lain : a. meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di desa sekitar hutan lindung dengan mengikutsertakan dalam pengelolaan hutan; b. meningkatkan produktivitas kawasan hutan lindung untuk menghasilkan kayu bakar dan hijauan pakan ternak; c.mewujudkan pengelolaan kawasan hutan lindung dengan tetap menjaga fungsi utamanya sebagai pengatur tata air melalui pendekatan Forest Ecosystem

Management (FEM).
4. Rekayasa Pengelolaan Hutan dan Rekayasa Sosial Berdasarkan perumusan tujuan pembangunan hutan lindung RPH Sigedang maka dapat ditentukan jenis rekayasa pengelolaan hutan dan rekayasa sosial sebagai berikut : 4.1. Rekayasa Pengelolaan Hutan a. Pemilihan jenis tanaman Tanaman pokok adalah jenis tanaman kehutanan yang ditanam pada zona inti (lokasi/ kawasan yang mempunyai fungsi lindung). Tanaman sela adalah jenis tanaman kehutanan sebagai sumber kayu bakar dan hijauan

pakan ternak pada kawasan zona penyangga. Jenis tanaman ini adalah Gliricidia sepium (Jacq.) dan Calliandra calothyrsus karena sesuai dengan karakteristik kawasan hutan lindung. Tanaman perkebunan merupakan tanaman yang ditanam pada kawasan zona penyangga untuk meningkatkan pendapatan petani miskin (tidak punya lahan) yaitu kopi arabika (Coffea arabica). b. Teknik pola tanam lorong (alley cropping ). Alley cropping adalah merupakan sistem penanaman campuran dengan menggunakan dua atau lebih jenis tanaman pertanian/perkebunan dan tanaman kehutanan, pola penanaman mengikuti garis kontur. Budidaya lorong berperan sekaligus memadukan konservasi tanah dan air, peningkatan kesuburan tanah dan peningkatan produktivitas tanah (Anonim, 1992). c. Melaksanakan Manajemen Regime V (MR V) dengan berlandaskan Forest Ecosystem Management sebagai berikut:

Zona Inti

@ @ @ ## ##

@ @ @ ## ##

@ @ @ ## ##

@ @ @ ## ##

@ @ @ ## ##

@ @ @ ## ##

@ @ @ ## ##

@ @ @ ## ##

@ @ @ ## ##

@ @ @ ## ##

@ @ @ ## ##

@ @ @ ## ##

100 m

Zona Penyangga

100 m

Gambar 2. Model Management Regime V Alternatif I

33

Zona Inti

100 m


Zona Penyangga

100 m


## ##


## ##


## ##


## ##


## ##


## ##


## ##


## ##


## ##


## ##


## ##


## ##

Gambar 3. Model Management Regime V Alternatif II Keterangan : 1. ## : Tanaman bambu cendani/pringgodani (Phyllostachys aurea) sebagai tanaman pagar, ditanam berjajar 2 lapis sepanjang batas kawasan hutan lindung dengan lahan pertanian/tegalan masyarakat. 2. : Tanaman Gliricidia sepium (Gamal), jarak tanam 2 x 2 m 3. : Tanaman Calliandra calothyrsus (Kaliandra), jarak tanam 2 x 2 m. 4. : Tanaman Coffea arabica (Kopi Arabika), jarak tanam 2,5 x 2,5 m 5. @ : Tanaman Acacia decurens, 2 x 2 m 7. : Tanaman Eucalyptus pellita, jarak tanam 5 x 5 m 8. : Tanaman pokok (pinus, puspa, surens, eukaliptus, bintami, kina, kemlandingan gunung) danjarak tanam menyesuaikan kondisi setempat.

4.2. Rekayasa Sosial a. Pemberdayaan masyarakat Beberapa penelitian yang dilakukan oleh Prabowo (1997), Garnita (2001), dan Purba (2003) membuktikan bahwa pemberdayaan masyarakat yang bertujuan mengajak dan mendorong masyarakat untuk berpartisipasi dalam merehabilitasi lahan kritis di sekitar hutan lindung sangat diperlukan untuk mendukung keberhasilan tanaman. Pemberdayaan masyarakat akan berhasil apabila mempunyai program yang jelas dan harus bertujuan meningkatkan pendapatan atau kesejahteraan masyarakat di sekitar hutan yang sebagian besar merupakan buruh tani dan petani kecil yang berpenghasilan rendah atau miskin. b. Optimalisasi Kelembagaan Masyarakat

Optimalisasi kelembagaan masyarakat khususnya Lembaga Masyarakat Desa Hutan (LMDH) yang telah terbentuk di Desa Sigedang diharapkan mampu menjadi wahana penyaluran aspirasi dan aktualisasi masyarakat dalam pengelolaan sumber daya hutan lindung RPH Sigedang dengan strategi social forestry. Oleh karena itu untuk mengoptimalkan fungsi LMDH yang paling penting adalah pemilihan ketua yang bermoral baik dan mempunyai tujuan mensejahterakan anggota dengan mendukung program pengelolaan hutan lindung. E. KESIMPULAN 1. Penyebab utama terjadinya kerusakan hutan lindung RPH Sigedang adalah : a. Surplus tenaga kerja di sektor pertanian.

34

b. Defisit lahan pertanian yang berupa tegalan. c. Terbatasnya ketersediaan kayu bakar dari tegalan dan pekarangan. d. Adanya warga Desa Sigedang yang mempunyai mata pencaharian sebagai pencari dan penjual kayu bakar dari hutan. e. Belum adanya kebijakan pemerintah mengenai bentuk pengelolaan hutan lindung yang jelas tentang tata cara penyelengaraan dan tata cara pemberian hak pemanfaatannya yang sesuai dengan kondisi sosial ekonomi masyarakat setempat. 2. Tujuan pembangunan hutan lindung RPH Sigedang untuk ikut memecahkan masalah pembangunan wilayah antara lain: a. meningkatkan kesejahteraan masyarakat miskin di desa sekitar hutan lindung dengan mengikutsertakan dalam pengelolaan hutan. b. meningkatkan produktivitas kawasan hutan lindung untuk menghasilkan kayu bakar dan hijauan pakan ternak. c. mewujudkan pengelolaan kawasan hutan lindung dengan tetap menjaga fungsi utamanya sebagai pengatur tata air melalui pendekatan Forest Ecosystem Management (FEM). 3. Perencanaan pengelolalaan hutan lindung yang mendukung peningkatan kesejahteraan masyarakat dilakukan dengan dua cara yaitu :

a. Rekayasa pengelolaan hutan pada kawasan zona penyangga yang meliputi : Pemilihan jenis tanaman. Teknik pola tanam lorong (alley cropping). Melaksanakan manajemen pengelolaan dengan Management Regime V yang berlandaskan Forest Ecosystem

Management.
b. Rekayasa sosial yang meliputi : Pemberdayaan masyarakat. Optimalisasi kelembagaan. Daftar Pustaka
Anonim, 1992, Manual Kehutanan, Departemen Kehutanan Republik Indonesia, Jakarta. _______, 2006, Kabupaten Wonosobo dalam Angka, Badan Pusat Statistik Kabupaten Wonosobo, Wonosobo. Awang, S. A., 2000, Kelembagaan Kehutanan Masyarakat, Aditya Media, Yogyakarta. Najiyati, S. dan Danarti, 1990, Kopi : Budidaya dan Penanganan Lepas Panen, Penebar Swadaya, Jakarta. Nasution, S., 2004, Metode Research, Bumi Aksara, Yogyakarta. Sayogyo, 1977, Golongan Miskin di Pedesaan, Pustaka 2/II, Bandung. Simon, H., 1994, Merencanakan Pembangunan Seri Kajian MR, Aditya Media, Yogyakarta. ________, 2000, Hutan Jati dan Kemakmuran : Bigraf Publishing, Yogyakarta. ________, 2001, Pengelolaan Hutan

Hutan Untuk Strategi Kehutanan Sosial,

Problematika dan Strategi Pemecahannya,

Bigraf Publishing, Yogyakarta. ________, 2003, Diktat Perencanaan Sumber Daya Hutan, Fakultas Kehutanan Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta. (tidak diterbitkan). Stewart, J., Mulawarman, Roshetko, J.M., dan Powell, M.H., 2001, Produksi dan

Bersama Rakyat (Cooperative Forest Management),

Pemanfaatan Kaliandra (Calliandra calothyrsus), Pedoman Lapangan, ICRAF,


Bogor.

35

BEBERAPA SISTEM PENGUKURAN GPS YANG DAPAT DITERAPKAN DALAM KEGIATAN PENGUKUHAN KAWASAN HUTAN
Oleh : Moech Firman Fahada

Dalam prioritas pembangunan Kehutanan tahun 2010 - 2014, Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan mendapat mandat untuk menyelesaikan prioritas pembangunan nasional meliputi : Pengukuhan Kawasan Hutan dan Pembangunan Kesatuan Pengelolaan Hutan, serta prioritas bidang Sumberdaya Alam-Lingkungan Hidup yaitu: Review Tata Ruang dan Penyediaan Data Informasi Sumberdaya Hutan. Dalam rangka mempercepat penyelesaiannya, telah ditetapkan inisiatif baru dari penyelesaian kegiatan tata batas hutan sepanjang 4.000 Km menjadi 16.000 Km, penetapan wilayah 60 KPH seluruh Indonesia menjadi beroperasinya 60 KPH, serta enumerasi dan re-enumerasi TSP/PSP sebanyak 274 klaster/tahun menjadi 599 klaster/tahun. Untuk mencapai sasaran kegiatan Ditjen Planologi Kehutanan tersebut baik di Pusat maupun Daerah, selain membutuhkan anggaran yang cukup, juga diperlukan inisiasi pemikiran dan konsep, inovasi serta pembaruan metode, agar kegiatan tersebut dapat dilaksanakan secara efektif dan efisien. Seperti yang kita ketahui, perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi yang demikian pesat juga telah menghasilkan kemajuan baik menyangkut peralatan maupun metodologi di segala bidang, termasuk bidang Planologi Kehutanan. Kegiatan Pengukuhan Kawasan Hutan dengan penetapan sasaran kegiatan dari 4.000 Km menjadi 16.000 Km pada akhir tahun 2014, juga sangat memerlukan percepatan penyelesaian kegiatan melalui penerapan metode dan peralatan baru dengan teknologi terkini. Sebagai contoh, dalam pemetaan hasil tata batas hutan, dengan adanya Sistem Informasi Geografis (SIG) telah merubah produk pengukuran tata batas hutan menjadi lebih akurat, efisien, serta mudah diakses oleh seluruh pihak. SIG akan memudahkan juru ukur hutan melakukan perencanaan pengukuran, pemetaan hasil ukuran serta penyajian hasil pengukuran baik dalam bentuk peta digital atau

cetak ataupun dalam bentuk database. Bahkan dengan perkembangan di bidang teknologi informasi saat ini, data dan peta hasil pengukuran dapat disajikan dalam media Web-GIS, yang dapat diakses publik secara mudah, cepat dan murah. Teknologi terkini dan metode pengukuran serta pemetaan secara canggih tersebut mutlak harus dikuasai oleh seluruh tenaga teknis dalam melaksanakan tugastugasnya dalam pencapaan sasaran kegiatan tersebut. Apalagi dengan adanya perubahan atau peningkatan target kegiatan sebagaimana telah diuraikan di atas, akan memerlukan terobosanterobosan pemikiran maupun perbaikan petunjuk teknis yang disesuaikan dengan perkembangan teknologi dan metode yang digunakan. Pada tulisan ini akan disajikan beberapa metode pengukuran menggunakan GPS yang dapat diaplikasikan untuk kegiatan Pengukuhan Kawasan Hutan, menyangkut spesifikasi, serta kemungkinan penerapannya dalam kegiatan tersebut.

Perkembangan Metode Pengukuran (Survey)


Selama ini dalam kegiatan pengukuran batas kawasan hutan baik dalam kegiatan tatabatas, maupun rekonstruksi batas, alat yang digunakan adalah theodolit (T0, T1, Theodolit Digital ataupun Total Station), yang prinsipnya adalah alat pengukur sudut dan jarak. Selama berpuluhpuluh tahun Kementrian Kehutanan menjadikan theodolit T0 sebagai alat utama dalam pengukuran/tata batas hutan, sebelum muncul theodolit tipe T1 (agak teliti), tipe T2 (teliti), tipe T3 (teliti sekali) dan tipe T4 (sangat teliti) dan Total Station (TS). Kelemahan dari sistem pengukuran sudut dan jarak adalah ketergantungan pada titik ikat dan peta dasar yang digunakan. Apabila posisi titik ikatan yang ditentukan posisinya tidak "sesuai" dengan peta dasar, tentu saja posisi batas kawasan hutan di peta menjadi salah.

36

Kesimpulannya, hasil pengukuran batas dengan theodolit menghasilkan garis batas dan luas yang akurasinya sangat tinggi, tetapi akurasi posisinya sangat rendah. Karena posisi batas kawasan hutan di peta menjadi hal yang sangat penting, pada masa mendatang sudah saatnya kita memastikan posisi pasti (geografis) pal-pal batas kawasan hutan, yaitu dengan memanfaatkan teknologi pengukuran posisi yang sedang berkembang saat ini, yaitu dengan Global Positioning System (GPS). Sistem ini didesain untuk memberikan posisi dan kecepatan tiga dimensi serta informasi mengenai waktu, secara kontinu di seluruh dunia, kepada banyak orang secara simultan. Pada saat ini, sistem GPS sudah sangat banyak digunakan orang di seluruh dunia. Pengukuran GPS sangat perlu dilakukan pada titik ikat batas kawasan hutan atau pada salah satu atau beberapa pal batas kawasan hutan. Sehingga setiap pal batas kawasan hutan akan mempunyai koordinat geografis, yang dapat diterima oleh semua pihak, tanpa tergantung peta dasar yang digunakan, bahkan jika pal batas itu hilang atau berpindah dari posisi semula, koordinat geografisnya secara pasti dapat digunakan sebagai acuan, jika terjadi permasalahan di lapangan. Sebagai gambaran, batas negara di lautan tidak perlu banyak tanda batas/rambu suar, seperti pada batas kawasan hutan, tetapi cukup dengan kesepakatan batas koordinat geografis, sehingga setiap kapal laut yang dilengkapi dengan GPS, akan tahu posisinya, jika masuk pada batas wilayah suatu negara. Pada dasarnya penentuan posisi dengan GPS adalah pengukuran jarak secara bersama-sama ke beberapa satelit (yang koordinatnya diketahui) sekaligus. Untuk menentukan koordinat suatu titik di bumi, receiver setidaknya membutuhkan 4 satelit yang dapat ditangkap sinyalnya dengan baik. Secara pasti, posisi atau koordinat yang diperoleh akan bereferensi ke global datum yaitu World Geodetic System 1984 atau disingkat WGS84. Secara garis besar penentuan posisi dengan GPS ini dibagi menjadi dua metode, yaitu metode absolut dan metode relatif : 1. Metode absolut atau juga dikenal sebagai point positioning menentukan posisi hanya berdasarkan pada 1 pesawat penerima (receiver) saja. ketelitian posisi dalam beberapa meter (tidak berketelitian tinggi)

dan umumnya hanya digunakan bagi keperluan Navigasi. 2. Metode relatif atau sering disebut differential positioning menentukan posisi dengan menggunakan lebih dari sebuar receiver. satu GPS dipasang pada lokasi tertentu di muka bumi dan secara terus menerus menerima sinyal dan satelit dalam jangka waktu tertentu dijadikan referensi bagi GPS lainnya. Metode ini menghasilkan posisi berketelitian tinggi (umumnya kurang dari 1 meter) dan diaplikasikan untuk keperluan survei Geodesi ataupun pemetaan yang memerlukan ketelitian tinggi.

Sistem DGPS (post processing)


Untuk kepentingan tata batas yang memerlukan ketelitian sedang sampai tinggi bisa menerapkan sistem pengukuran GPS dengan metode diferensial GPS (DGPS) dengan metode post processing, seperti yang sudah dikembangkan oleh BPKH Wilayah XI Jawa-Madura. Dalam sistem tersebut, ditentukan atau dibangun stasiun referensi atau base station (sebuah lokasi yang telah disurvei dengan logitudinal, latitude dan ketinggian yang telah diketahui dengan pasti) yang diletakkan secara permanen di kantor BPKH XI. Stasiun referensi itu mempunyai penerima sinyal GPS dan menghitung parameter lokasinya. Dalam sistem DGPS, stasiun referensi tersebut berfungsi sebagai base yang akan mengoreksi hasil pengukuran GPS lain di lapangan atau biasa disebut rover. Prinsip kerja dari system pengukuran DGPS adalah GPS receiver di lapangan yang menjadi rover akan merekam semua posisi yang diukur dan data waktu dari masing-masing pengukuran. Lalu kemudian, data tersebut dapat digabungkan dengan data pengkoreksi atau data yang diperoleh dari GPS receiver yang menjadi referensi (base station) pada kantor BPKH XI dengan software tertentu, sehingga diperoleh hasil akhir berupa data terkoreksi dengan akurasi yang lebih tinggi.

37

Rover

Jenis GPS yang digunakan sebagai referensi pada kantor BPKH XI adalah GPS tipe geodetik merk Trimble 5700 L1, yang mempunyai kemampuan jarak (range) koreksi sampai 500 km, dengan menggunakan software GPS Pathfinder. Dengan kemampuan koreksi tersebut, hampir seluruh wilayah BPKH XI dapat tercover, mulai dari dari Ujung Kulon sampai Alas Purwo, dari Karimun Jawa sampai Nusakambangan. Sedangkan jenis GPS yang dapat digunakan sebagai rover untuk mengukur di lapangan adalah GPS yang mempunyai sistem data yang sama dengan GPS yang digunakan sebagai base station, dalam hal ini data hasil ukurannya dapat dikonversi dalam bentuk file RINEX. BPKH XI menggunakan GPS merk Trimble spesifikasi mapping, yaitu tipe Geo XT dan Pro XH untuk pengukuran di lapangan, sehingga setelah dikoreksi akan mempunyai akurasi horizontal berkisar antara 0,5 cm sampai dengan 2 m (tergantung jarak baseline dan lama pengukuran).

Sistem GNSS-CORRS
Penentuan posisi relatif dengan

BPKHXI 500km

waktu, yang meliputi empat sistem satelit navigasi yaitu Navstar GPS, Glonass, Galileo, dan Compass, yang dikelola masing-masing oleh USA, Rusia, Eropa, dan China. Diantara empat sistem satelit tersebut, GPS dan Glonass saat ini sudah berstatus operasional, sedangkan Galileo dan Copmass masih dalam fase percobaan/pengembangan. Galileo diharapkan mulai beroperasi pada tahun 2012 sedangkan Compass direncanakan beroperasi penuh pada tahun 2020. Aplikasi GNSS untuk penentuan posisi spasial berkembang seiring dengan perkembangan metode dan peralatan (hardware & software) serta ketelitian posisi yang dapat dicapai. Metode positioning yang banyak diaplikasikan belakangan ini ialah DGNSS dan RTK, seiring dengan perkembangan teknologi CORS (Continuously Operating Reference Station). CORS merupakan sistem jaring satasiun kontrol GNSS yang beroperasi secara kontinyu untuk acuan dalam penentuan posisi relatif, baik secara realtime maupun post processing. CORS dapat diakses oleh siapapun yang diperlengkapi dengan receiver GNSS dengan spesifikasi tertentu. Teknologi CORS menjanjikan ketelitian posisi pada level sub meter dengan metode DGNSS dan level centimeter sampai milimeter dengan metode RTK. Ditinjau dari aspek sumberdaya, waktu, produk dan ketelitiannya, teknologi CORS dipandang sangat efisien dan nampaknya sudah menjadi kecenderungan umum di seluruh dunia untuk mengembangkan CORS dalam bidang survey atau pengukuran wilayah, termasuk di Indonesia. Seperti juga dalam sistem DGPS, penentuan posisi dengan CORS dilaksanakan dengan metode penentuan posisi relatif yaitu penentuan posisi titik pengamatan (rover) terhadap titik referensi (base station) yang telah diketahui koordinatnya. Dalam hal ini stasiun CORS berfungsi sebagai base station. Dua metode yang umum diterapkan dikenal dengan sebutan differential GNSS (DGNSS) dan Real Time Kinematic (RTK). Perbedaannya ialah DGNSS melakukan pengukuran jarak receiver-satelit dengan teknik korelasi gelombang kode (GPS: kode C/A atau P) sedangkan RTK dengan pengukuran fase gelombang sinyal pembawa yang dipancarkan oleh satelit. Selain itu DGNSS dan RTK menggunakan cara yang berbeda dalam mendapatkan solusi koordinat titik pengamatan. Dalam pererkembangannya base station yang

Global Positioning System (GPS) untuk keperluan survey dan pemetaan telah mencapai puncaknya pada beberapa tahun belakangan ini. Hal ini seiring dengan perkembangan teknologi GPS menjadi Global Navigation Satellite System (GNSS). Applikasi ini bisa mendapatkan ketelitian tinggi dengan tingkat produktivitas yang tinggi pula. Pada awalnya, penentuan posisi relatif dengan GNSS hanya bisa dilakukan dengan pengamatan yang lama dengan proses post processing. Dalam perkembangannya, penentuan posisi secara real time telah banyak menggantikan aplikasi relatif yang sudah ada. GNSS merupakan sistem satelit yang dirancang untuk keperluan navigasi, penentuan posisi dan

38

digunakan tidak hanya tunggal namun berupa jaringan. Badan Pertanahan Nasional (BPN) yang tugasnya juga dalam bidang pengukuran dan pemetaan lahan, saat ini juga sudah mulai menerapkan pengukuran dengan sistem GNSS-CORRS. Hal ini setelah dilakukan pengkajian dan uji coba perbandingan metode pengukuran yang dilakukan dengan target pengukuran. Berdasarkan kajian tersebut, jika menggunakan sistem GNSS-CORRS seluruh persil tanah yang menjadi target BPN dapat selesai diukur selama 23 tahun, sedangkan jika dengan metode konvensional dengan theodolit akan memakan waktu selama 268 tahun. Dari segi biaya, metode baru ini juga membutuhkan biaya hanya sepertiga dari jumlah biaya dengan metode sebelumnya. Hal ini bisa menjadi acuan untuk hal yang sama dalam percepatan sasaran kegiatan pengukuhan kawasan hutan di masa mendatang.

lebih rendah dari yang seharusnya atau bahkan tidak dapat mendapatkan sinyal satelit. Untuk kondisi seperti itu bisa digunakan metode offset (pengukuran tidak langsung) atau dengan meninggikan posisi antena atau mengatur setting alat. Tetapi apabila hal-hal tersebut tidak juga bisa dilakukan, pengukurannya bisa mengkombinasikan kedua alat, GPS dengan theodolit : 1. Kalau medan batas hutannya terbuka atau relatif datar, sehingga tidak terjadi obstraksi sinyal satelit, maka yang paling efektif adalah menggunakan metode diferential GPS/GNSS. 2. Kalau medannya tertutup atau setengah tertutup, dimana GPS tidak optimal karena obstruksi sinyal yang relatif banyak, maka yang baik adalah mengkombinasikan penggunaan GPS dan metode terestris. ketika terbuka GPS yang berfungsi, ketika tertutup metode terestris yang jalan. Metode terestris bisa menggunakan Theodolit/TS atau LPS (laser Positioning System).

Antisipasi Kendala Penerapan Sistem GPS/GNSS


Berdasarkan prinsip-prisip pengukuran dengan menggunakan GPS/GNSS sebagaimana telah dijelaskan sebelumnya, metode tersebut sangat memungkinkan untuk digunakan dalam kegiatan rekonstruksi batas atau tatabatas hutan. Secara mudah, alat GPS tersebut dapat digunakan untuk menggantikan seluruhnya atau dikombinasikan penggunaannya dengan alat theodolit. Mengenai jenis tipe GPS yang dapat digunakan dalam kegiatan tata batas hutan, sangat tergantung dari tingkat akurasi posisi titik batas hutan minimal yang dapat diterima. Apabila akurasi minimal yang dapat diterima sebesar 1-2 m, maka GPS dengan spesifikasi mapping dengan metode DGPS (post processing) masih sangat layak untuk digunakan. Tapi jika nanti ditentukan bahwa akurasi minimalnya harus di bawah 1 m, sebaiknya menggunakan sistem GNSS-CORRS dengan metode RTK, tetapi GPS tipe mapping juga masih bisa digunakan dengan metode pengukuran tertentu (pseudo-kinematik atau statik singkat) sehingga tingkat akurasinya bisa mencapai sub-meter. Kelemahan dari pengukuran posisi dengan GPS pada kawasan hutan adalah adanya obstraksi sinyal oleh rerimbunan pohon atau medan yang terlalu curam (lembah atau jurang), sehingga akan menghasilkan akurasi pengukuran yang

Penutup
Perkembangan teknologi informasi telah merubah sebagian besar metode pekerjaan dari yang semula banyak mengandalkan analog menjadi digital. Tidak terkecuali dalam kegiatan tata batas hutan yang inti utama kegiatannya adalah penentuan posisi/garis di muka bumi. Perkembangan ini secara disadari atau tidak telah membawa perubahan yang sangat signifikan, diantaranya adalah penggunaan GPS/GNSS dalam kegiatan tersebut. Beberapa kesimpulan dan tindaklanjut berdasarkan paparan di atas mengenai kemungkinan penerapan teknologi atau metode tersebut adalah sebagai berikut : 1. Sistem GPS/GNSS menawarkan pilihan metode penentuan posisi spasial yang efisien dengan metode DGPS dan RTK, mulai dari ketelitian centimeter sampai meter, tergantung dari akurasi yang dibutuhkan dalam suatu kegiatan tata batas kawaan hutan. 2. Dalam kegiatan pengukuhan kawasan hutan, baik secara sendiri ataupun digabungkan penggunaannya dengan theodolit, sistem DGPS/GNSS akan mempermudah, mempercepat serta mengurangi permasalahan yang ada selama ini terkait dengan batas kawasan hutan, mulai dari perencanaan,

39

pelaksanaan sampai penyusunan database pengukuhan kawasan hutan. 3. Peningkatan kualitas sumber daya manusia para staf/juru ukur hutan di lingkup Ditjen Planologi Kehutanan yang terkait dengan kompetensi bidang-bidang survey pemetaan antara lain teknologi informasi, geodesi, dan komputer. Peningkatan tersebut dapat menggunakan jalur pendidikan formal maupun pendidikan dan pelatihan. 4. Membangun jejaring (networking) dan bekerja sama dengan berbagai institusi (perguruan tinggi, lembaga peneliti dan para vendor) untuk melakukan pertukaran data dan informasi hingga uji coba penerapan peralatan. 5. Menyiapkan standarisasi infrastruktur, prosedur pengoperasian, dan hasil yang akan dicapai dalam kegiatan tata batas hutan.

Referensi : Abidin, H.Z. (2000). Penentuan Posisi dengan GPS dan Aplikasinya. Edisi ke-2, P.T. Pradnya Paramita, Jakarta. ISBN 979-408-377-1. 268 pp. Aris Sunantyo, T. (2010). Tinjauan Status Titik Dasar Teknik Dan Prospeknya Di Masa Mendatang Bagi BPN-RI, Prosiding Seminar GNSS-CORRS, Fakultas Geodesi- UGM. Yogyakarta. Fahada, MF. (2007). Evaluasi Kebijakan Pengukuhan Kawasan Hutan, Bulettin Planolog. Jakarta. Volume Juni 2007. Farid Hendro (2010). Aplikasi Continuously Operating Reference Stations (Cors) Untuk Mendukung Program Program Pertanahan, Prosiding Seminar GNSS-CORRS, Fakultas Geodesi- UGM. Yogyakarta.

40

METODA PENGAJARAN YANG EFEKTIF DALAM PENYELENGGARAAN DIKLAT TENAGA TEKNIS PENGUKURAN DAN PEMETAAN HUTAN Oleh : WIDOWATTY HANDISOEPARJO *)
A. LATAR BELAKANG Penataan batas kawasan hutan yang merupakan bagian dari tahapan proses pengukuran kawasan hutan guna mencapai terwujudnya kawasan hutan yang mantap menjadi arah kebijakan prioritas pembangunan kehutanan. Adapun target penataan batas kawasan hutan yang menjadi sasaran strategis pembangunan tahun 2010-2014 adalah sepanjang 25.000 km yang kemudian direvisi menjadi 63.000 km, tentu saja memerlukan pemenuhan sumber daya manusia yang jelas dan kompetensi yang memadai. Diklat Tenaga Teknis Pengukuran dan Pemetaan Hutan ini dilaksanakan dalam rangka Pemantapan Kawasan Hutan, dimaksudkan untuk menyediakan tenaga teknis menengah yang siap pakai sebagai juru ukur, dengan memiliki keahlian melakukan pengukuran tanah dengan alat ukur Theodalith, Theodalith Digital dan Total Station mulai dari persiapan pekerjaan lapangan, operasional lapangan, pengolahan data, pemetaan hasil pengukuran dan pelaporan hasil kegiatan. Juru ukur ini dipersiapkan untuk melaksanakan tugas pemancangan batas dan penataan batas definitif kawasan hutan. Dalam rangka menunjang penyelenggaraan diklat tenaga teknis pengukuran dan pemetaan hutan yang berhasil dengan baik, salah satu upaya yang diperlukan adalah memilih metoda pembelajaran yang efektif. orang dewasa dengan memposisikan peserta diklat sebagai orang dewasa. Sesuai dengan Tujuan Instruksional Khusus (TIK) diklat tersebut ada beberapa metoda pengajaran yang telah ditetapkan meliputi :

1. Metoda Kuliah dan Tanggung Jawab


Materi diklat disampaikan melalui bahasa lisan maupun tulisan dengan menggunakan alat bantu pengajaran dan alat peraga seperti gambar, slide, film dan Laser Computer Display (LCD) dan lain-lain. Selain metoda kuliah yang telah diuraikan diatas, biasanya dibarengi dengan metoda tanya jawab dimana para peserta diklat diberi kesempatan untuk melakukan tanya jawab.

2. Metoda Diskusi
Metoda diskusi dilakukan dengan tujuan a. Sebagai sarana bertukar pikiran, pengalaman maupun pengetahuan. b. Meningkatkan pengetahuan dan kemampuan peserta dalam menyerap dan memahami pikiran maupun pendapat orang lain. c. Menghasilkan keterampilan dan kemampuan dan semangat kerjasama dalam memecahkan masalah secara bersama-sama.

3. Praktek Lapangan dan Kunjungan Praktek


Praktek lapangan diadakan dengan tujuan untuk lebih meningkatkan pengetahuan dan keterampilan, serta memperdalam materi yang secara teoritis telah disampaikan di kelas. Sedangkan kegiatan kunjungan praktek (one day trip) studi banding dilakukan dengan maksud untuk memperoleh bahan perbandingan dan kajian antara teori dan praktek

*) Widyaiswara Utama, BDK Bogor


B. METODA PENGAJARAN Berbagai metoda pengajaran dapat diaplikasikan dalam kegiatan diklat tenaga teknis pengukuran dan pemetaan hutan. Diklat tersebut merupakan pendidikan

41

lapangan yang telah dilakukan dengan keadaan yang sebenarnya sehingga diharapkan dapat meningkatkan wawasan dan daya kreatifitas dalam merencanakan, melaksanakan dan mengevaluasi kegiatan dibidang tugasnya.

4. Seminar dan Presentasi


Dalam rangka memperoleh umpan balik tentang persepsi, pengetahuan dan pemahaman peserta terhadap seluruh materi yang telah disampaikan khususnya mengenai hasil praktek, pada sesi akhir kegiatan diklat peserta diharapkan menyusun laporan. Laporan tersebut akan dijadikan bahan diskusi pada kegiatan Presentasi dan Seminar. Penugasan Penyusunan Laporan dapat berbentuk perorangan atau kelompok tergantung pada pengajar dan instruktur. C. PENERAPAN METODA PENGAJARAN PRAKTEK LAPANGAN Kurikulum diklat merupakan program belajar/mengajar yang terdiri dari sejumlah mata diklat yang harus disampaikan pada peserta, agar peserta memperoleh seperangkat kemampuan/ keterampilan sebagaimana telah ditetapkan dan sesuai dengan tujuan penyelenggaraan diklat. Adapun jumlah jam pelajaran yang terdapat dalam Kurikulum Diklat Tenaga Teknis Pengukuran dan Pemetaan Hutan Tahun 2011 adalah 1200 jam pelajaran @ 45 menit terdiri dari teori 400 jam pelajaran dan praktek 800 jam pelajaran. Berdasarkan Struktur Kurikulum diklat tersebut dapat dikemukakan bahan jam pelajaran praktek lebih besar dari jam pelajaran teori. Dalam kegiatan diklat termaksud yang lebih mengutamakan jam pelajaran praktek, perlu dibuat skenario diklat untuk mendukung pencapaian kurikulum diklat yang efisien, efektif dan optimal. Skenario diklat termaksud dapat tercapai dengan baik apabila metoda pengajaran dapat diterapkan dengan baik pula. Mengingat bahan jumlah jam praktek lebih diutamakan, maka harus

dipilih penerapan metoda pengajaran praktek lapangan yang efektif. Untuk metoda pengajaran praktek lapangan yang efektif dalam penyelenggaraan diklat ini, penulis mengemukakan dengan Metoda Pengajaran Praktek Lapangan 4 (empat) M yaitu :

1. Menjelaskan
Menjelaskan bagaimana menggunakan alat, mengukur dan memetakan,yang dilakukan oleh Widyaiswara.

2. Mendemonstrasikan
Mendemonstrasikan bagaimana caranya menggunakan alat, mengukur, dan memetakan, didemontrasikan oleh Widyaiswara.

3. Mempraktekan
Mempraktekan bagaimana melakukan penggunaan alat pengukuran dan pemetaan dikerjakan oleh peserta diklat dengan bimbingan Widyaiswara.

4. Mengevaluasi
Mengevaluasi bagaimana kemampuan peserta diklat pada saat melakukan praktek tersebut dan dievaluasi tingkat keberhasilannya oleh Widyaiswara. D. PENGAKHIRAN Kriteria keberhasilan suatu program diklat salah satunya adalah melalui metoda pembelajaran yang efektif dan efisien sehingga peserta diklat dapat menyerap materi pembelajaran yang telah diberikan oleh Widyaiswara dan diperoleh umpan balik dari peserta diklat. PUSTAKA
1. 2. MD. Dahlan, 1986. Model Mengajar. Penerbit CV. Diponegoro, Bandung Oemar Hamalik, 2000. Manajemen Pelatihan Ketenagakerjaan Terpadu. Penerbit Bumi Aksara, Jakarta

42

GENDER PLANOLOGI KEHUTANAN


Oleh Ira Patanduk, S.Hut.

Pendahuluan Pengarusutamaan Gender (PUG) sebagaimana diatur dalam Instruksi Presiden RI Nomor 9 Tahun 2000 adalah strategi yang dibangun untuk mengintegrasikan gender menjadi satu dimensi integral dari perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional. Pengarusutamaan

pelaksanaannya memperhatikan faktor lainnya seperti kelas sosial, ras dan suku bangsa.

Perencanaan

Berperspektif

Gender:

perencanaan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender yang dilakukan melalui pengintegrasian pengalaman, aspirasi, kebutuhan, potensi dan penyelesaian permasalahan perempuan dan laki-laki.

Anggaran Berspektif Gender (Gender Budget):


penggunaan atau pemanfaatan anggaran yang berasal dari berbagai sumber pendanaan untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender.

gender bertujuan terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang prespektif gender dalam rangka mewujudkan kesetaraan dan keadilan gender dalam kehidupan berkeluarga, bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.
Isitilah-istilah Pengarusutamaan Gender (PUG) yang diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri tentang Pedoman Umum Pelaksanaan PUG di Daerah, antara lain adalah sebagai berikut:

Focal Point PUG: aparatur SKPD yang mempunyai kemampuan untuk melakukan pengarusutamaan gender di unit kerjanya masing-masing.
Anggaran Responsif Gender (ARG) Dalam pelaksanaan pembangunan nasional selama ini masih terdapat kesenjangan partisipasi antara perempuan dan laki-laki. Pemberdayaan pemberdayaan perempuan dapat berupa berbagai bentuk, misalnya diskriminasi terhadap perempuan, kesenjangan partisipasi politik, rendahnya kualitas hidup perempuan dan anak maupun kesenjangan pencapaian pembangunan antara perempuan dan laki-laki. Berdasarkan permasalahan tersebut di atas tentunya diperlukan upaya perbaikan dari kondisi dimaksud. Upaya perbaikan tersebut dikenal dengan nama pengarusutamaan gender yaitu upaya untuk memperhatikan gender dalam berbagai sektor kehidupan yang mempunyai pengaruh terhadap penurunan kesenjangan partisipasi perempuan dan lakilaki. Upaya perbaikan tersebut memerlukan dukungan kebijakan, program sampai dengan kegiatan yang terintegrasi dengan pengalaman, aspirasi, kebutuhan dan permasalahan perempuan dan laki-laki. Proses perbaikan ini dapat dilakukan dalam tataran perencanaan, pelaksanaan, pemantauan maupun evaluasi. Upaya perbaikan kondisi atau pencapaian kesetaraan gender di berbagai bidang

Gender: konsep yang mengacu pada perbedaan peran dan tanggung jawab laki-laki dan perempuan yang terjadi akibat dari dan dapat berubah oleh keadaan sosial dan budaya masyarakat. Kesetaraan Gender: kesamaan kondisi bagi
laki-laki dan perempuan untuk memperoleh kesempatan dan hak-haknya sebagai manusia, agar mampu berperan dan berpartisipasi dalam kegiatan politik, ekonomi, sosial budaya, pertahanan dan kemanan, dan kesamaan dalam menikmati hasil pembangunan.

Keadilan Gender: suatu proses untuk menjadi


adil terhadap laki-laki dan perempuan. analisis untuk mengidentifikasi dan memahami pembagian kerja/peran laki-laki dan perempuan, akses kontrol terhadap sumber-sumber daya pembangunan, partisipasi dalam pembangunan dan manfaat yang mereka nikmati, pola hubungan antara laki-laki dan perempuan yang timpang, yang di dalam

Analisis

gender:

43

pembangunan tersebut dilandasi oleh berbagai kesepakatan baik di tingkat global/dunia, maupun kesepakatan nasional. Anggaran Responsif Gender (ARG) bukanlah anggaran yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan akan tetapi merupakan anggaran yang dialokasikan dan disahkan oleh perencana dan pembuat kebijakan. Anggaran tersebut membiayai semua program yang responsif gender yang bertujuan untuk mengurangi atau menghilangkan kesenjangan antara laki-laki dan perempuan. Ini akan berhasil bila komitmen tersebut dapat direalisasikan. Prinsip-prinsip anggaran gender adalah: 1. yang responsive

2.

3.

Harus ada kemauan politik yang aktif untuk membuat instrumen legal sebagai landasan dari penetapan atau pengesahan alokasi anggaran tersebut; Peningkatan kesadaran dan advokasi. Inisiatifpenganggaran yang responsif gender akan lebih berhasil bila lebih banyak lagi aktor-aktor yang terlibat dalam proses pengesahannya baik dalam pemerintahan maupun masyarakat. Kelompok advokator dan masyarakat yang peduli terhadap kesetaraan gender sangat penting untuk mendorong disahkannya anggaran yang responsif gender tersebut sehingga penggunaan anggaran pembangunan lebih efisien; Transparansi dan partisipasi. Transparansi anggaran mutlak diperlukan untuk memudahkan pelaksanaan penganggaran yang responsif gender. Dalam prosesnya perlu melibatkan keterwakilan laki-laki dan perempuan secara berimbang, para pakat gender, pakar anggaran dan pakar perencanaan.

prespektif gender sesuai dengan tugas dan fungsi, serta kewenangan masingmasing; 2. Memperhatikan dengan sungguh-sungguh Pedoman PUG dalam pembangunan nasional; 3. Menteri Negara Pemberdayaan Perempuan: a. Memberikan bantuan teknis kepada instansi dan lembaga pemerintah di tingkat Pusat dan daerah dalam pelaksanaan pengarusutamaan gender; b. Melaporkan hasil pelaksnaan pengarusutamaan gender kepada Presiden. 4. Secara bersama-sama atau sendiri-sendiri sesuai dengan bidang tugas dan fungsi, serta kewenangan masing-masing menetapkan lebih lanjut yang diperlukan bagi pelaksanaan instruksi Presiden ini. Gender Planologi Kehutanan Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (KPPA) sesuai dengan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 2000 pada amar ketiga telah memberikan bantuan teknis kepada instansi dan lembaga pemerintah di Pusat termasuk Kementerian Kehutanan. KPPA telah memberikan pelatihan dan panduan teknis tentang Penganggaran Responsif Gender yang didampingi oleh Konsultan Gender. Pelatihan ini dilanjutkan dengan ditandatanganinya nota kesepahaman (MoU) antara Menteri Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak (MenPPPA) Linda Amalia Sari Gumelar dan Menteri Kehutanan Zulklifli Hasan pada tanggal 9 Agustus 2011. Maksud dari MoU tersebut adalah untuk meningkatkan efektivitas pengarusutamaan gender di bidang kehutanan. Dalam penandatanganan MOU tersebut disampaikan bahwa banyak isu gender yang ditemukan di bidang kehutanan karena terkait dengan peningkatan kesejahteraan terhadap masyarakat, yaitu isu kemiskinan, kesetaraan, pelestarian sumber daya alam, pendidikan, kesehatan dan gizi anak, sarana maupun prasarana lingkungan, tenaga kerja, permodalan dan issue akses, partisipasi, kontrol dan manfaatnya.

Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam Pembangunan Nasional mengamanatkan setiap Menteri, Kepala Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pimpinan Kesekretariatan Lembaga Tertinggi/Tinggi Negara untuk: 1. Melaksanakan PUG guna terselenggaranya perencanaan, penyusunan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang

44

Dalam beberapa kali pembahasan pedoman PUG Responsif Gender disampaikan bahwa ARG bukanlah suatu kegiatan yang baru, namun melekat pada struktur program dan kegiatan yang ada dalam RKA-KL, sehingga harus menganut prinsip: 1. ARG bukanlah anggaran yang terpisah untuk laki-laki dan perempuan; 2. ARG sebagai pola anggaran yang akan menjembatan kesejangan status, peran dan tanggungjawab antara laki-laki dan perempuan; 3. ARG bukanlah dasar yang valid untuk meminta tambahan alokasi anggaran; 4. Adanya ARG tidak berarti adanya penambahan dana yang dikhususkan untuk program perempuan; 5. Bukan berarti bahwa ada alokasi ARG hanya berada dalam program khusus pemberdayaan perempuan; 6. ARG bukan berarti ada alokasi dana 50% laki-laki 50% perempuan untuk setiap kegiatan; 7. Tidak harus semua kebijakan/output mendapat koreksi agar menjadi responsif gender, namun ada juga yang netral gender. Ditjen Planologi dalam penyusunan ARG yang sudah tertuang di RKA-KL Tahun 2011 telah menyusun satu Output/Sub Output dengan menyusun GAP, GBS dan TOR untuk Sub Kegiatan Sosialisasi Trayek Batas Kawasan Hutan yang dilaksanakan di BPKH Wilayah I Medan. GAP (Gender Analysis Pathway) atau alur Kerja Analisis Gender (AKAG) adalah alat analisis gender yang dikembangkan oleh BAPPENAS yang dapat digunakan untuk membantu para perencana dalam melakukan pengarusutamaan gender dalam perencanaan kebijakan, program, proyek dan atau kegiatan pembangunan. Gender Analysis Pathway Dalam GAP yang telah disusun dengan mengambil sub kegiatan Sosialisasi Trayek Batas Kawasan Hutan terdapat 9 langkah yaitu: 1. Langkah 1: Kebijakan/Program/ Kegiatan/Sub Kegiatan yang akan dianalisis; Mengidentifikasi tujuan dan

sasaran kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan telah merumuskan dan ditetapkan untuk mewujudkan kesetaraan gender; 2. Langkah 2: Data Pembuka Wawasan; Menyajikan data kuantitatif atau kualitatif yang terpilah menurut jenis kelamin, apakah data yang ada mengungkapkan kesenjangan atau perbedaan yang cukup berarti antar perempuan dan laki-laki; 3. Langkah 3, 4 dan 5: Faktor Kesenjangan; Menganalisis sumber dan atau faktor-faktor penyebab terjadinya kesenjangan gender: a. Akses yang sama terhadap sumbersumber daya pembangunan Planologi Kehutanan; b. Kontrol terhadap sumber-sumber daya pembangunan Planologi Kehutanan; c. Partisipasi perempuan dan laki-laki dalam berbagai tahapan pembangunan Planologi Kehutanan termasuk dalam proses pengambilan keputusan; d. Manfaat yang sama dari hasil pembangunan Planologi Kehutanan atau sumber daya pembangunan Planologi Kehutanan. 4. Langkah 6: Reformulasi tujuan; 5. Langkah 7: Menyusun Rencana aksi yang didasarkan pada kebijakan/program/proyek/kegiatan pembangunan Planologi Kehutanan yang responsif gender untuk mengurangi/menghilangkan kesenjangan antara perempuan dan laki-laki. Seluruh rencana aksi yang disusun sesuai dengan tujuan kebijakan yang telah responsif gender yang telah diidentifikasi dalam langkah kesenjangan; 6. Langkah 8: Data Dasar (Baseline); mengidentifikasi sasaran secara kuantitatif atau kualitatif bagi setiap rencana aksi, hasil identifikasi tersebut memastikan bahwa dengan rencana aksi tersebut dapat mengurangi atau menghapus kesenjangan gender; 7. Langkah 9: Indikator gender. Anggaran Responsif Gender yang sudah dituangkan dalam RKA-KL 2011 pada BPKH Wilayah I Medan yang sudah dilengkapi dengan dokumen GAP, GBS dan TOR dengan

45

judul kegiatan Sosialisasi Trayek Batas Kawasan Hutan. Untuk dokumen yang dimaksud dapat dilihat pada lampiran. Daftar Pustaka Gender Analysis Pathway (GAP) oleh Suyatno, Ir. M.Kes. Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender dalam pembangunan Nasional. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 15 Tahun 2008 tentang Pedoman Umum Pelaksanaan Pengarusutamaan Gender di Daerah. Peraturan Menteri Keuangan Nomor /PMK.02/2009 tentang Petunjuk Penyusunan dan Penelaahan Rencana dan Anggaran Kementerian Negara/Lembaga (RKA-KL) dan PENYUSUNAN, PENELAAHAN, PENGESAHAN, DAN PELAKSANAAN DAFTAR ISIAN PELAKSANAAN ANGGARAN (DIPA) TAHUN 2010. GAP, GBS dan TOR Ditjen Planologi kehutanan (disusun oleh tim kerja PUG Ditjen Planologi Kehutanan).

46

Lampiran 2

GENDER BUDGET STATEMENT


(Pernyataan Anggaran Gender) Nama K/L Unit Organisasi Unit Eselon II/Satker
Program Kegiatan Sub Kegiatan/Kompon en Sub Komponen Output Kegiatan Tujuan Analisis Situasi

: Kementerian Kehutanan : Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan : Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan

Perencanaan Makro Bidang Kehutanan dan Pemantapan Kawasan Hutan Penataan batas kawasan hutan Inventarisasi trayek batas kawasan hutan - Sosialisasi trayek batas kawasan hutan BATB dan peta hasil tata batas Mewujudkan kepastian hukum kawasan hutan melalui kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan dengan keterlibatan laki-laki dan perempuan Sosialisasi trayek batas kawasan hutan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh petugas kehutanan dari UPT (BPKH) yang melibatkan unsur pemerintah daerah (Dinas Kehutanan) dengan tujuan untuk mensosialisasikan/memberikan penjelasan terhadap masyarakat sekitar kawasan hutan bahwa di sepanjang kawasan hutan tempat mereka tinggal akan dilaksanakan kegiatan Penataan Batas Kawasan Hutan. Pelaksanaan kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan pada saat ini masih kurang melibatkan serta perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Hal ini disebabkan antara lain: a. Pemahaman pengambil kebijakan mengenai pengarusutamaan gender masih kurang; b. Isi juklak-juknis penataan batas masih bersifat umum; c. Adanya anggapan bahwa kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan pada umumnya dilaksanakan oleh laki-laki sehingga perempuan kurang dilibatkan; d. Jadwal sosialisasi trayek batas kawasan hutan umunya berbenturan dengan pekerjaan rumahtangga dan lokasi sosialisasi dilaksanakan di Ibukota Kabupaten/Kota; e. Adanya anggapan bahwa pengetahuan dan sikap perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan masih kurang terhadap kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan; Dengan demikian akses dan kontrol perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan masih kurang terhadap kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan Sosialisasi trayek batas kawasan hutan; Menyusun juklak dan juknis kegiatan penataan batas khususnya pada sub kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan. Sub komponen input 1 Sub indikator Input 1 Sub Komponen input 2 Sub Indikator Input 2 Penyusunan revisi juklak dan juknis Para perencana dan pelaksana serta pengambil kebijakan lingkup BPKH Wilayah I Medan Sosialisasi trayek batas kawasan hutan Kelompok laki-laki dan perempuan yang tempat tinggalnya terkena trayek batas kawasan hutan Khusus untuk rencana aksi (1 lokasi) Terwujudnya kepastian hukum kawasan hutan melalui penataan batas definitif yang melibatkan laki-laki dan perempuan

RENCANA AKSI :

Anggaran sub komponen Input 1 s/d 4 Dampak/hasil Output Kegiatan

Rp. 25.500.000,-

47

Lampiran 3

TOR SOSIALISASI TRAYEK BATAS KAWASAN HUAN


K/L Program Hasil/Indikator Kinerja Program Kegiatan Sub Kegiatan (Komponen) Sub Komponen Indikator Kinerja Kegiatan Jenis dan Satuan Ukuran Keluaran Volume : : : : : : : : : Kementerian Kehutanan Perencanaan makro bidang kehutanan dan pemantapan kawasan hutan Terwujudnya perencanaan makro bidang kehutanan dan pemantapan kawasan hutan Penataan Batas Kawasan Hutan Inventarisasi Trayek Batas Kawasan Huan Sosialisasi Trayek Batas Kawasan Hutan Tersosialisasikannya rencana penataan batas kawasan hutan Laporan Hasil sosialisasi Trayek Batas Kawasan Huan 1 Laporan/Judul

A. Latar Belakang
1. Dasar Hukum a. Inpres no. 9 tahun 2000 tentang Program dan Kegiatan Pembangunan Berprespektif Gender; b. Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 32/Kpts-II/2001 tentang Kriteria dan Standar Pengukuhan Kawasan Hutan; c. Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P.08/Menhut-II/20100 tentang Rencana Strategis (Renstra) Kementerian Kehutanan Tahun 2010-2014; d. Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor P.03/VII-SET/2010 tentang Rencana Strategis (Renstra) Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan tahun 2010-2014; e. Peraturan Direktur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor P.02/VII-SET/2011 tentang Penetapan Kinerja Direkorat Jenderal Planologi Kehutanan; f. Peraturan Direkur Jenderal Planologi Kehutanan Nomor P.3/VIISET/2011 tentang Perubahan Rencana Kerja Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan Tahun 2011. 2. Gambaran Umum Sosialisasi trayek batas kawasan hutan merupakan kegiatan yang dilakukan oleh petugas kehutanan dari UPT (BPKH) yang melibatkan unsur pemerintah daerah (Dinas Kehutanan) dengan tujuan untuk mensosialisasikan/memberikan

penjelasan terhadap masyarakat sekitar kawasan hutan bahwa di sepanjang kawasan hutan tempat mereka tinggal akan dilaksanakan kegiatan Penataan Batas Kawasan Hutan. Pelaksanaan kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan pada saat ini masih kurang melibatkan serta perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan. Hal ini disebabkan antara lain: a. Pemahaman pengambil kebijakan mengenai pengarusutamaan gender masih kurang; b. Isi juklak-juknis penataan batas masih bersifat umum; c.Adanya anggapan bahwa kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan pada umumnya dilaksanakan laki-laki sehingga perempuan kurang dilibatkan; d. Jadwal sosialisasi trayek batas kawasan hutan umunya berbenturan dengan pekerjaan rumahtangga dan lokasi sosialisasi dilaksanakan di Ibukota Kabupaten/Kota; e. Adanya anggapan bahwa pengetahuan dan sikap perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan masih kurang terhadap kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan. Dengan demikian Akses dan kontrol perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan masih kurang terhadap kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan.

48

B. Penerima Manfaat
Peserta berjumlah 50 orang terdiri dari laki-laki sebanyak 46 orang dan perempuan sebanyak 4 orang.

C. Strategi Pencapaian Keluaran


1. Metode Pelaksanaan a. Memberikan informasi serta akses dan kesempatan yang sama kepada laki-laki dan perempuan dalam kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan; b. Memberikan penjelasan mengenai pelaksanaan kegiatan s o s Tahapan kegiatan 1 2 3 i aPersiapan pelaksanaan l sosialisasi trayek batas i kawasan hutan sPelaksanaan sosialisasi atrayek batas kawasan shutan i Penyusunan laporan
sosialisasi trayek batas kawasan hutan

trayek batas kawasan hutan kepada laki-laki maupun perempuan sebagai salah satu tahapan dalam pelaksanaan penataan batas untuk terwujudnya kepastian hukum kawasan hutan; c. Menyelenggarakan sosialisasi trayek batas kawasan hutan pada waktu dan tempat yang dapat diakses oleh masyarakat (laki-laki dan perempuan). 2. Tahapan dan Waktu Pelaksanaan

Bulan ke 4 5 6 7 8 9 10 11 12

D. Waktu Penyelenggaraan
Sosialisasi Trayek Batas Kawasan Hutan adalah sebelum dilaksanakan kegiatan trayek batas kawasan hutan (satu tahun 1 kali di Hutan Lindung Sibuatan

Kabupaten Dairi yang dilaksanakan oleh BPKH I Medan) pada TA 2011.

E. Biaya yang dibutuhkan sejumlah Rp. 25.500.000,-

49


Lampiran 4

GENDER ANALYSIS PATHWAY (GAP) DITJEN PLANOLOGI KEHUTANAN


LANGKAH 1 Pilih kebijakan/program/kegiatan /sub kegiatan yang akan dianalisis Program: Perencanaan LANGKAH 2 Data Pembuka Wawasan LANGKAH 3 LANGKAH 4 LANGKAH 5 LANGKAH LANGKAH 7 6 Kebijakan dan Rencana Aksi ke Depan Reformula Rencana Aksi si Tujuan Terwujudn ya kepastian hukum kawasan hutan yang bermanfa at bagi masyarak at yang tinggal di sekitar kawasan hutan 13. Sosialisas i trayek batas kawasan hutan; 14. Menyusu n juklak dan juknis kegiatan penataan batas khususny a pada sub kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan. LANGKAH 8 LANGKAH 9

Mengidentifikasi Isu Gender yang strategi/hambatan Faktor Kesenjangan Sebab kesenjangan internal 8. Pemahama n pengambil kebijakan mengenai Pengarusut amaan gender masih kurang; 9. Isi juklak juknis penataan batas kawasan hutan masih bersifat umum. Sebab kesenjangan Eksternal 10. Adanya anggapan bahwa kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan pada umumnya dilaksanakan oleh laki-laki sehingga perempuan kurang dilibatkan; 11. Jadwal sosialisasi trayek batas kawasan hutan umunya berbenturan dengan pekerjaan rumahtangga dan dilaksanakan di Ibu Kota Kabupaten/Kota 12. Adanya anggapan bahwa pengetahuan dan sikap perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan masih kurang terhadap kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan.

Indikator Gender Data Dasar (Baseline) 15. Belum ada data terpilah tentang kondisi dan partisipasi dalam penataan batas kawasan hutan; 16. Dari kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan keterlibatan perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan sangat kurang. Indikator Gender 17. Peningkatan keterlibatan perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan dalam kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan menjadi 2% pada tahun 2011 (khususnya di wilayah kerja BPKH I Medan); 18. Tersedianya data terpilah mengenai kondisi dan partisipasi dalam sosialisasi trayek batas kawasan hutan; 19. Perlu memasukkan materi isu gender di dalam juklak juknis sosialisasi trayek batas kawasan hutan.

makro bidang kehutanan dan pemantapan kawasan hutan kawasan hutan

1.

Kegiatan: Penataan batas Output kegiatan : BATB 2.

Dari kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan yang sudah dilaksanakan, belum melibatkan masyarakat terutama perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan; Proses sosialisasi trayek batas kawasan hutan lebih ditujukan kepada kaum laki-laki (sebagai Kepala Keluarga) (Perencanaan atas dasar stereotip gender); Pemahaman masyarakat perempuan terhadap kegiatan trayek batas masih kurang di Provinsi Sumatera Utara karena laki-laki lebih dominan dibandingkan dengan perempuan (Patrialisme); Adanya kesulitan bagi perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan untuk mengikuti kegiatan sosialisasi trayek batas kawasan hutan karena kegiatan tersebut dilakukan pada pagi hari (berbenturan dengan pekerjaan rumah tangga) dan lokasi sosialisasi dilaksanakan di ibu kota kabupaten/kota; Pelaku konflik (perambahan kawasan hutan) sering dilakukan oleh kaum laki-laki terutama untuk kegiatan membuka kebun/perladangan sedangkan kaum perempuan turut membantu dalam pengelolaan kebun/ladang.

6.

dan peta hasil tata batas

Penataan Batas Kawasan Hutan: Meliputi sub kegiatan (komponen): Inventarisasi trayek batas kawasan hutan - Sosialisasi trayek batas kawasan hutan Penataan batas sementara Penataan batas definitif Sub Komponen: Sosialisasi trayek batas kawasan hutan Indikator kinerja kegiatan: Tersosialisasikannya rencana penataan batas kawasan hutan Tujuan Kegiatan: Terwujudnya kepastian hukum kawasan hutan

3.

4.

Akses; Rendahnya akses masyarakat perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan pada akses informasi dan sosialisasi trayek batas kawasan hutan (belum ada masyarakat perempuan yang hadir dalam sosialisasi trayek batas kawasan hutan); Kontrol; Secara keseluruhan kaum perempuan yang tinggal di sekitar kawasan hutan masih belum mempunyai andil dalam pengambilan keputusan penentuan penataan batas.

50

7.

5.

50

PENUNDAAN SEMENTARA PENERIMAAN CALON PEGAWAI NEGERI SIPIL (CPNS) (Moratorium CPNS )
LATAR BELAKANG Berbagai permasalahan yang mengakibatkan sistem penyelenggaraan pemerintah tidak berjalan dengan baik harus ditata ulang atau diperbaiki. Reformasi birokrasi dilaksanakan dalam rangka mewujudkan tata kelola pemerintahan yang baik ( good governance). Reformasi birokarasi adalah langkah strategis untuk membangun aparatur negara agar lebih berdaya guna dan berhasil guna dalam mengemban tugas umum pemerintahan dan pembangunan nasional. Reformasi birokrasi pada hakekatnya merupakan upaya untuk melakukan pembaharuan dan perurubahan mendasar terhadap sistem pemerintahan terutama menyangkut aspek : 1. Kelembagaan (organisasi), 2. Ketalaksanaan (busines proses) dan, 3. Sumber daya manusia aparatur negara. Reformasi birokrasi lebih diprioritaskan pada aparatur negara yang berinteraksi, berinterrelasi, bertransaksi, dan bersentuhan langsung pada masyarakat yang membutuhkan pelayanan umum. Kinerja dan profesionalisme aparatur negara yang paling mudah dinilai dan dirasakan oleh masyarakat adalah dari kualitas pelayanan publik yang diberikan oleh aparatur pemerintah yang bersangkutan. Pelayanan publik yang buruk mencerminkan aparatur negara yang korup dan berkinerja rendah. Lampiran UU 17/2007 Bab IV.1.2, huruf E angka 35, menyatakan Pembangunan aparatur negara

Oleh Harun Waskito, S.Sos.

membentuk profil dan perilaku aparatur negara dengan baik. Alasan Moratorium CPNS Dalam rangka pelaksanaan reformasi birokrasi dan mengoptimalkan kinerja sumber daya manusia serta efisiensi anggaran belanja pegawai perlu dilakukan penataan organisasi dan penataan pegawai negeri . Salah satu cara untuk menata organisasi dan Pegawai Negeri Sipil yaitu dengan melakukan penundaan sementara penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil (moratorium CPNS). Alasan mengapa perlu di perlakukan moratorium CPNS dimulai dari tanggal 1 September tahun 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember tahun 2012 adalah sebagai berikut : 1. Pertimbangan Anggaran Moratorium CPNS dilakukan untuk menghindari pemborosan anggaran lantaran tersedot untuk belanja pegawai, jika tidak ada moratorium CPNS, belanja pegawai akan terus meningkat, mengingat semakin banyaknya pegawai yang harus dibiayai. Hal utama yang menjadi pertimbangan adalah efisiensi anggaran belanja pegawai. 2. Penataan Kelembagaan Organisasi Merumuskan jumlah pegawai yang tepat secara jumlah dan kualitas dan dapat melaksankan tugas dengan baik sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Dalam masa ini harus ada grand design rencana strategis lima tahun kedepan kebutuhan pegawai dan besarnya pembiayaannya. Program ini bertujuan untuk meningkatkan efisiensi dan efektivitas kelembagaan secara proporsional sesuai dengan kebutuhan pelaksanaan tugastugas pemerintahan sehingga organisasi birokrasi menjadi tepat fungsi dan tepat ukuran (right-sizing). 3. Penataan Sistem Manajemen SDM Aparatur Program ini bertujuan untuk meningkatkan profesionalime SDM Aparatur yang didukung oleh sistem rekruitmen dan promosi, serta pengembangan kualitas aparatur yang berbasis kompetensi dan transparan. Selain itu, program ini juga diharapkan mampu mendorong

dilakukan melalui reformasi birokrasi untuk meningkatkan profesionalisme aparatur negara dan untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik, di pusat maupun di daerah, agar mampu mendukung keberhasilan pembangunan di bidang lainnya
Ketika aparatur negara menjadi profesional, ini akan mendukung keberhasilan bidang-bidang pembangunan lainnya. Aparatur negara adalah titik awal dalam melaksanakan reformasi birokrasi. Aparatur negara mempunyai peran penting dalam mencapai tujuan reformasi birokrasi, salah satunya adalah merubah pola pikir (mind set) dan budaya kerja sehingga dapat

51


mobilitas antara aparatur daerah, antar aparatur pusat, dan antara aparatur pusat dan daerah, serta memperoleh gaji dan bentuk jaminan kesejahteraan yang sepadan. Pengecualian Moratorium CPNS Tidak semua sektor pemerintahan dihentikan dalam penerimaan pegawai, ada beberapa sektor yang tidak diberlakuan moratorium CPNS, sektorsektor tersebut adalah : 1. Kementerian/Lembaga yang a. Membutuhkan PNS untuk melaksanakan tugas sebagai : Tenaga pendidik Tenaga dokter dan perawat pada UPT Kesehatan Jabatan yang bersifat khusus dan mendesak b. Memiliki lulusan ikatan dinas sesuai peraturan perundangan 2. Pemerintah daerah yang besaran anggaran belanja pegawai di bawah/kurang dari 50 % dari total Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah tahun 2011 untuk memenuhi kebutuhan pegawai yang melaksanakan tugas sebagai berikut : a. Tenaga pendidik; b. Tanaga dokter, bidan dan perawat; c. Jabatan yang besifat khusus dan mendesak. 3. Tenaga honorer yang telah bekerja di lembaga pemerintah pada atau sebelum tanggal 1 januari 2005 dan telah diverifikasi dan validasi berdasarakan kriteria yang diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 48 tahun 2005 jo Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2007, sesuai kebutuhan organisasi, redistribusi dan kemampuan keuangan negara yang akan ditetapkan dalam Peraturan Pemerintah. Masa Moratorium Masa moratorium CPNS adalah masa antara tanggal 1 September 2011 sampai dengan tanggal 31 Desember 2012. Dalam masa ini beberapa hal besar yang perlu dilakukan untuk mendukung supaya reformasi birokrasi dapat dilaksanakan dengan baik, terutama adalah reformasi aparatur negara, yang merupakan salah satu sasaran reformasi birokrasi. Sebaik apapun kelembagaan (organisasi), ketatalaksanaan (busssines proses), tanpa didukung sumber daya aparatur negara yang baik, maka upaya reformasi birokrasi bisa menjadi gagal. Tiga aspek tersebut harus seiring dan sejalan, salah satu upaya reformasi birokrasi adalah melalui moratorium CPNS. Dalam masa moratorium ada beberapa hal yang perlu dilakukan oleh semua lembaga/kementerian dan pemerintah daerah tanpa kecuali yaitu: 1. Melakukan penghitungan jumlah kebutuhan Pegawai Negeri Sipil yang tepat berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja untuk melakukan penataan organisasi (right-sizing) dan penataan PNS dalam kerangka pelaksanaan reformasi birokrasi. 2. Melakukan redistribusi (penyaluran ke satuan organisasi yang membutuhkan) pegawai sesuai dengan kompetensi di instansi masingmasing berdasarkan hasil penataan pegawai berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja. 3. Apabila redistribusi telah dilakukan dan ternyata ada PNS yang tidak dapat disalurkan, terhadap PNS yang bersangkutan dapat ditawarkan program pensiun sukarela sepanjang memenuhi persyaratan sesuai aturan perundang-undangan yang berlaku. Menghitung Jumlah Kebutuhan PNS Salah satu klausul yang harus dikerjakan dalam masa moratorium CPNS adalah menghitung jumlah jumlah kebutuhan PNS berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja dan proyeksi kebutuhan PNS selama 5 tahun ke depan yang pemenuhannya berkesinambungan dengan sasaran prioritas per tahun yang jelas sesuai dengan kemampuan keuangan negara. Menghitung jumlah kebutuhan PNS harus berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja. Analisis jabatan adalah adalah suatu kegiatan mengumpulkan, menilai, dan mengorganisasikan informasi tentang jabatan. Analisis jabatan meliputi: 1. Uraian jabatan atau uraian pekerjaan, yaitu informasi yang lengkap tentang tugas dan berbagai aspek lain dari suatu jabatan atau pekerjaan; 2. Kualifikasi atau syarat-syarat jabatan, yaitu keterangan mengenai syarat-syarat yang diperlukan oleh seorang pegawai untuk dapat melakukan tugas tertentu misalnya pendidikan tertentu; 3. Peta jabatan, yaitu susunan nama dan tingkat jabatan struktural dan fungsional yang

52


tergambar dalam suatu struktur unit organisasi dari tingkat yang paling rendah sampai dengan yang paling tinggi dan jenis jabatan fungsional serta jumlah yang diperlukan kemampuan keuangan negara. Faktor kemampuan keuangan negara adalah faktor penting yang selalu harus diperhatikan dalam penentuan formasi Pegawai Negeri Sipil. Walaupun penyusunan formasi telah sejauh mungkin ditetapkan berdasarkan analisis kebutuhan pegawai seperti diuraikan terdahulu, akan tetapi apabila kemampuan keuangan negara masih terbatas, maka penyusunan formasi tetap harus didasarkan kemampuan keuangan negara yang tersedia. Untuk itu, Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara telah mengeluarkan regulasi dan instruksi yang dipergunakaan dalam memperbaiki manajemen kepagawaian, antara lain: 1. Melakukan penataan PNS di lingkungan unit kerja mengacu pada Keputusan Men.PAN Nomor: Kep/23.2/M.PAN/2004 Tanggal 16 Februari 2004 tentang Pedoman Penataan Pegawai. 2. Setiap instansi wajib melaksanakan analisis jabatan yang mengacu pada Keputusan Men.PAN Nomor: KEP/61/M.PAN/6/2004 Tanggal 21 Juni 2004 tentang Pedoman Pelaksanaan Analisis Jabatan. 3. Setiap instansi pemerintah harus melaksanakan analisis beban kerja berdasarkan pada Keputusan Men.PAN Nomor: KEP/75/M.PAN/7/2004 Tanggal 23 Juli 2004 tentang Pedoman Perhitungan Kebutuhan Pegawai Berdasarkan Beban Kerja Dalam Rangka Penyusunan Formasi PNS. Tujuan dari penataan tersebut adalah memperbaiki komposisi dan distribusi pegawai, sehingga PNS dapat diberdayakan secara optimal dalam rangka peningkatan kinerja pemerintah. Dalam usaha meningkatkan kinerja aparaturnya, pemerintah menetapkan program manajemen kepegawaian berbasis kinerja. Salah satu peraturan yang dikeluarkan pemerintah untuk tujuan tersebut adalah Peraturan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor: PER/09/M.PAN/5/2007 tentang Pedoman Umum Penetapan Indikator Kinerja Utama di Lingkungan Instansi Pemerintah. Implikasi Moratorium CPNS Terhadap Kinerja Ditjen Planologi Kehutanan Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan sebagai Unit Eselon I Kementerian Kehutanan mempunyai tugas merumuskan serta melaksanakan kebijakan dan standartisasi teknis di bidang perencanaan makro bidang kehutanan dan pemantapan kawasan hutan, mempunyai peran strategis dalam menjaga dan mempertahankan kemantapan kawasan hutan. Hal ini sejalan dengan salah satu dari delapan kebijakan prioritas bidang kehutanan yang termuat dalam Peraturan Menteri Kehutanan Nomor P. 70/Menhut-II/2009 yaitu pemantapan kawasan hutan. Salah satu tugas Pokok yang cukup membutuhkan perhatian lebih di Ditjen Planologi adalah penataan batas kawasan hutan disamping tugas pokok lainnya. Penataan batas kawasan hutan merupakan langkah awal pengukuhan hutan dalam rangka memberikan kepastian hukum baik secara yuridis formal maupun fisik di lapangan dalam rangka penyiapan prakondisi pengelolaan hutan sebagai dasar pengelolaan hutan lestari. Target Penataan batas kawasan hutan yang menjadi sasaran strategis pembangunan tahun 2010 - 2014 adalah sepanjang 25.000 km. Banyak persoalan teknis dan non teknis untuk mencapai target penataan batas kawasan hutan, tentu saja memerlukan pemenuhan sumber daya manusia yang kompeten dan mencukupi untuk menghasilkan data yang akurat tentang tata batas.Dampak moratorium CPNS terhadap Ditjen planologi adalah : 1. Penurunan Jumlah PNS Secara otomatis, tidak adanya penerimaan CPNS selama tahun 2011 dan 2012, sesuai dengan Peraturan Bersama Menteri Negara Pendayagunaan Aparatur Negara Dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan, jumlah pegawai pasti akan menurun dengan adanya pensiun pegawai, bila ada pemberhentian dengan hormat secara alamiah karena dipanggil Yang Maha Kuasa dan tidak adanya penambahan CPNS. 2. Perlu Perubahan strategi dalam rangka mencapai tujuan. Dengan jumlah pegawai yang makin berkurang dan target tujuan yang makin

53


besar perlu perubahan strategi dalam rangka pencapaian tujuan. Hal ini harus menjadi pertimbangan dalam melaksanakan tugas dalam rangka mencapai visi dan misi Direktorat Jenderal Planologi. Apalagi dalam rangka pemenuhan target tapal batas kawasan hutan. 3. Melakukan Penataan PNS lingkup Ditjen Planologi Kehutanan Penataan PNS merupakan salah satu tujuan dari moratorium CPNS. Penataan PNS dilingkup Ditjen Planologi didasarkan pada analis jabatan, beban kerja, dalam rangka mewujudkan visi dan misi Ditjen Planologi Kehutanan. Hukuman bagi yang tidak Melaksanankan Penataan PNS Moratorium PNS merupakan bagian dari reformasi birokrasi dalam rangka mevujudakan tata kelola pemerintah yang baik. Dalam rangka mewujudkan visi tersebut semua elemen pemerintah harus terlibat, salah satunya keterlibatan dalam rangka penataan pegawai, pasal 6 Peraturan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri dan Menteri Keuangan tentang Penundaan Sementara Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil memerintahkan supaya intansi pusat dan daerah selain menghitung jumlah kebutuhan PNS, melakukan evaluasi, penataan struktur organisasi dan menyusun proyeksi kebutuhan PNS selama lima tahun kedepan yang pemenuhannya dilakukan secara berkesinambungan dengan sasaran prioritas per tahun yang jelas sesuai dengan kemampuan keuangan negara dan hasilnya disampaikan paling lambat tangal 30 juni 2012 kepada komite pengarah reformasi birokrasi. Instansi pusat dan daerah yang tidak bisa menyelesaikan kegiatan tersebut pada tanggal yang ditetapkan maka dilarang mengembangkan/menambah organisasinya dan tidak diberikan alokasi tambahan formasi Calon Pegawai Negeri Sipil. Kesimpulan Moratorium CPNS merupakan salah satu cara dalam melaksanakan reformasi birokrasi, terutama dalam aspek penataan sumber daya manusia aparatur negara. Pertimbangan anggaran, penataan kelembagaan organisasi dan penataan sistem manajemen sumber daya manusia aparatur negera merupakan alasan kenapa perlu diberlakan moratorium CPNS. Tidak semua sektor terkena penundaan sementara penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil, sektor pendidikan, kesehatan dan jabatan bersifat khusus dan mendesak masih diperkenankan menerima pegawai. Dalam masa moratorium CPNS dilakukan penghitungan jumlah kebutuhan Pegawai Negeri Sipil yang tepat berdasarkan analisis jabatan dan beban kerja untuk melakukan penataan orgaisasi (right-sizing) dan penataan PNS dalam kerangka pelaksanaan reformasi birokrasi. Penghitungan kebutuhan PNS dan penyusunan proyeksi kebutuhan selama 5 tahun harus selesai sebelum tanggal 30 Juni 2012. Bila ada instansi pusat atau daerah yang tidak bisa menyelesaikan sampai batas waktu tersebut maka dilarang mengembangkan/menanbah organisasinya dan tidak diberikan alokasi tambahan formasi CPNS. Referensi
1. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : KEP/23.2/M.PAN/2004 Tentang Pedoman Penataan Pegawai 2. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : KEP/61/M.PAN/6/2004 Tentang Pedoman Analisis Jabatan 3. Keputusan Menteri Pendayagunaan Aparatur Negara Nomor : KEP/75/M.PAN/7/2004 Tentang Pedoman Pedoman Perhitungan Kebutuhan Pegawai Berdasarkan Beban Kerja Dalam Rangka Penyusunan Formasi Pegawai Negeri Sipil 4. Peraturan Bersama Menteri Pendayagunaan Aparatur Reformasi Birokrasi, Menteri Dalam Negeri Dan Menteri Keuangan Nomor 02/SPB/M.PANRB/8/2011, Nomor 800-632 Tahun 2011, Nomor 141/PMK.01/2011 Tentang Penundaan Sementara Penerimaan Calon Pegawai Negeri Sipil.

Harun Waskito, S.Sos Calon Analis Kepegawaian Sekretariat Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan

54

PENEMU-PENEMU PENTING DALAM DUNIA TECHNOLOGY


Oleh : S. Vicky Ronaldo, S.Kom

ASAL MULA KEYBOARD KOMPUTER


Penemuan Keyboard diilhami oleh Christopher Latham Sholes, adalah seorang insinyur mesin Amerika yang menemukan mesin ketik modern pertama dan mematenkan hasil ciptaannya pada tahun 1868, Sholes menemukan mesin ketik tersebut dengan mitranya yang bernama W. Soule dan G. Glidden, mesin ketik tersebut di produksi oleh perusahaan Remington pada tahun 1873. Ia dilahirkan tanggal 14 februari 1819 di Mooresburg, Pennsylvania, dan meninggal pada 17 Februari 1890 di Milwaukee, Wisconsin. Christopher Latham Sholes dan para rekan kerjanya, Carlos Glidden dan Samuel Jiwae, pada tahun 1868 menganggap penggunaan mesin ketik temuannya sangat praktis, Keyboard pada komputer diciptakan berdasarkan format papan ketik. Tetapi lima tahun kemudian dari eksperimennya, dan dua hak paten, Sholes dan rekannya memproduksi suatu model yang serupa ke mesin ketik masa kini yaitu standard "QWERTY" pada papan tombol.

NOR flash merupakan flash dasar yang membutuhkan waktu yang cukup lama dalam menghapus dan menulis, tetapi menyediakan alamat penuh dan jalur data, memberikan akses secara acak terhadap semua lokasi memori. Tetapi sangat bagus untuk menggantikan ROM model lama, dimana memungkinkan untuk mengupdate kode program yang tersimpan. Contoh adalah BIOS NAND flash di announced oleh Toshiba pada tahun 1989, di mana bisa melakukan proses penghapusan dan penulisan yang lebih cepat, membutuhkan tempat yang kecil untuk chipper selnya. Dengan bertambahnya kapasitas tetapi biaya bisa ditekan menyebabkan flash tipe ini cocok digunakan untuk secondary storage. Flash drive mulai dipasarkan pada tahun 2001 di Amerika oleh IBM. Ukuran data yang dapat disimpan pada waktu itu adalah 8 MB, data terakhir November 2006 sudah mencapai 64 GB. Tidak hanya ukurannya saja yang berkembang, tetapi bentuk dan fungsinya juga mengalami perubahan. Ada flash drive yang memakai rotary design sehingga kita tidak perlu khawatir kehilangan penutupnya. Tersedia juga flash drive yang dilapisi karet supaya tahan air atau dilengkapi dengan clip carabineer sehingga mudah digantungkan. Bahkan telah dibuat flash drive berbentuk model kartu kredit. Namanya walletfriendly USB. Ukurannya hanya 86 x 54 x 1,9 mm. Jadi, dapat disimpan dengan aman di dalam dompet.

SEJARAH FLASHDISK
FLASHDISK, merupakan alat penyimpanan data memori flash tipe NAND yang memiliki alat penghubung USB yang terintegrasi. Flash drive ini biasanya kecil, ringan, bisa dibaca dan ditulis serta lebih dapat diandalkan daripada disket. Belum dapat dipastikan siapa yang mengembangkan nya pertama kali karena ada tiga perusahaan yang memperselisihkan yaitu MSystems, Netac, dan Trek 2000. Tetapi perintisnya adalah Dr. Fujio Masuoka tahun 1984. Dia menemukan Flash Memory (NOR dan NAND) ketika sedang bekerja pada Toshiba sedangkan nama flash sendiri diberikan oleh koleganya yaitu Mr. Shoji Ariizumi Sedikit Penjelasan :

PENEMU INTERNET
Siapa sangka penemuan nya ini menjadi salah satu penemuan terbesar menjelang abad modern. Dialah Leonard Kleinrock, lahir di New York 13 Juni 1934 adalah seorang engineer dan ilmuwan komputer. Sekitar 40 tahun yang lalu tepatnya 29 Oktober 1969, adalah hari yang bersejarah bagi perkembangan teknologi. Pada saat itulah sang ilmuwan memperkenalkan teknologi yang bernama internet. Nah, siapa sangka penemuan beliau ini menjadi semakin

55


berkembang hingga saat ini dan banyak membantu kita dalam keseharian. Awalnya ilmuwan kita ini menemukan internet dikarenakan kecintaannya dengan dunia sains. Dalam disertasinya dia berhasil memecahkan kode digital dan menjadikannya sebagai paket-paket yang terpisah. Inilah yang menjadi kunci dalam pertukaran data antar komputer. Bersama timnya beliau melakukan penelitian untuk membuat satu komputer yang dapat berkomunikasi dengan komputer lainnya atau dengan kata lain membuat suatu jaringan yang teramat sederhana. Namun siapa sangka awalnya tidak ada yang peduli dengan tindak tanduknya dalam proyek besar ini. Bahkan AT & T, perusahaan penyedia sambungan telepon terbesar di AS menolak penelitian ini yang menurut mereka sebuah mission imposible. Meski demikian AT & T masih berbuat baik dengan menyediakan fasilitas berupa jalur yang menghubungkan komputer untuk Arpanet. PENEMU MOUSE KOMPUTER Bertahun tahun sebelum PC dan pengolahan informasi desktop menjadi umum dan praktis, Douglas Engelbart telah menemukan sebuah sistem akses informasi yang sangat akrab dan praktis bagi pengguna komputer yang kini seolah terlupakan. Mouse komputer adalah salah satu hasil temuannya. Pada konfrensi Fall Joint Computer di San Fransisco di tahun 1968. Engelbart membuat para koleganya terperangah dengan mendemonstrasikan sistem temuannya tersebut, dengan menggunakan komputer yang sangat primitif dengan mainframe 192 kb yang harus dibawa dari jarak 25 mil. Engelbart telah meraih hampir dua lusin paten, yang paling diingat mungkin indikator posisi X-Y untuk sistem display yang merupakan prototype dari mouse komputer yang telah merevolusi PC. Mouse, alat pointing yang amat lazim dipopulerkan dengan dijadikannya peralatan perlengkapan standar untuk Apple Macintosh. Dengan menanjaknya popularitas mouse bagi user interface untuk grafis pada MS-DOS, UNIX, dan OS/2, penggunaan mouse semakin meluas melalui PC dan dunia workstation. Sebuah mouse merupakan alat pointing yang sangat relatif karena tidak ada batasan bagi pergerakan mouse dan juga karena penempatannya pada permukaan datar tidak mengarah pada lokasi tertentu pada layar. Untuk memilih item atau perintah pada layar, pengguna menekan satu dari tombol mouse, yang menghasilkan sebuah mouse click.

Nenek moyang mouse komputer kita buatan Douglas Engelbart

Penemuan Engelbart telah melaju seiring waktu, tetapi telah menyatu pada alur komputer sebagai kemampuan industri yang bertambah. Bukan saja sampai tahun 1984 ketika Apple Macintosh mempopulerkan mouse, tetapi kini sulit dibayangkan sebuah komputer tanpa mouse. Dan sukses besar Microsofts Windows95 membuktikan bahwa konsep original window dari Engelbart juga telah menjadi kebutuhan yang sesungguhnya.
PENEMU HANDPHONE PERTAMA Mungkin kita sebagai pengguna ponsel, masih ada yang belum tahu siapakah penemu ponsel pertama kali dan vendor yang menjadi rahim tempat lahirnya media komunikasi dan multimedia dalam genggaman ini. Handset pertama lahir pada 1973 oleh Martin Cooper dengan bantuan tim Motorola seberat dua kilogram. Ketika dia menderita di jalanan New York dan membuat panggilan ponsel pertama dari prototipe ponselnya, dia tidak pernah membayangkan perangkat buatannya itu akan sukses suatu saat. Untuk memproduksi ponsel pertama, Motorola memerlukan biaya sekitar US$1 juta. Di 1983, ponsel portabel berharga US$4 ribu (Rp36 juta) atau setara dengan US$10 ribu (Rp90 juta) hari ini,. Cooper dan timnya harus menghadapi tantangan pertama, bagaimana memasukkan semua bahan ke dalam sebuah ponsel antara lain Baterai dengan berat 4-5 kali daripada ponsel sekarang dengan waktu hidup baterai hanya 20 menit. Selanjutnya mengadaptasi infrastruktur untuk mendukung panggilan ponsel mobile dengan menciptakan jaringan dengan hanya membutuhkan 3 MHz

56


spektrum, setara dengan lima channel TV yang tersalur ke seluruh dunia, Pada awalnya ponsel secara resmi dibuat untuk menolong dokter dan staf rumah sakit meningkatkan komunikasi mereka, tetapi ternyata implikasi sosial yang muncul melebihi pemahaman Cooper hampir selama 4 dekade lalu. Generasi baru yang disebut sebagai ponsel pintar telah merevolusi industri ponsel mobile dan mengubah cara orang menggunakannya. Teknologi dalam handset telah berubah fokus dari voice menjadi fungsi lainnya semacam pemutar media portabel, kamera dan jelajah web bahkan facebook dan twitter bisa terjadi di dalam ponsel. Teknologi membuat hidup lebih baik, lebih nyaman, aman, mendidik, menghibur dan sebagian besar membuat lebih produktif dan sehat, pesan Cooper. tahun silam, tahun 1956, dari dapur sebuah perusahaan raksasa bernama IBM. Saat itu, ia ditugaskan untuk membuat komputer berpenyimpan data yang pertama di dunia. Namanya IBM 350. Tidak seperti cakram keras yang dijumpai di pasaran saat ini, IBM 350 itu jauh lebih bongsor. Besarnya setara dengan dua buah kulkas yang berderet. Bobotnya pun tak tanggung-tanggung, satu ton. Itu karena, ia terdiri 50 buah cakram berdiagonal 24 inci (sekitar 60 cm), yang ditumpuktumpuk. Kapasitas penyimpanannya? Sekitar 5 megabyte data dan mampu berputar +/- 1200 putaran per detik (RPM). Walau hanya mampu menyimpan 5 megabyte data, tapi kapasitas sebesar itu merupakan lompatan yang fenomenal di masanya. Akhirnya, pada 1956, IBM 350 mulai diperkenalkan sebagai cakram keras komersial pertama di dunia. Hasil karya inilah yang menjadi hulu dari ruparupa perekam yang kini beredar luas di bawah kolong jagat. Mulai dari perekam video, kamera digital, pemutar musik, ponsel, dan seabrek produk lainnya. Karena jasa besarnya itu, Johnson disebut sebagai "Bapak Hard Disk Drive". Referensi
- Vivanews.com - Rozysmd.blogspot.com - Wirelect.blogspot.com - Wikipedia.com - Adjeblog.com - My.opera.com

PENCIPTA ALAT AJAIB, HARD DISK DRIVE


Kepada Reynold B Johnson kita patut berterima kasih. Berkat dia, kita tidak perlu lagi menumpuk dokumen. Baik di atas meja kerja, di laci, atau rak, hingga menyundul langit kantor, dan bikin kepala berdenyut jika suatu saat Anda mencarinya. Gunungan dokumen itu bisa disimpan dalam satu cakram keras, yang sohor disebut Hard Disk Drive. Reynold Johnson menciptakan benda ajaib itu 52

57

TUJUH KEBIASAAN BURUK BERKOMPUTER YANG HARUS ANDA UBAH


Oleh : Suyitno, A.Md

Tidak peduli seberapa waspada Anda dalam menjaga komputer, sebagian besar dari Anda mungkin pernah melakukan suatu hal yang tidak aman ketika menggunakan PC, mobile phones, dan Web-enabled gadget. Beberapa kebiasaan yang kelihatannya tidak bermasalah akan tetapi menjadi bencana bagi Anda seperti risiko keamanan pada akun online dan diketahui informasi pribadi . Semua ini terjadi akibat kecerobohan yang tampaknya tidak bermasalah. Untuk membantu menghilangkan kebiasaan ini , kami telah mengidentifikasi tujuh kebiasaan berkomputer yang umum dilakukan yang memiliki implikasi keamanan. Pada artikel ini akan dibahas mengapa dan bagaimana Anda harus mengubah kebiasaan buruk tersebut. Kebiasaan Buruk 1 : Membawa Laptop dan media penyimpanan yang tidak disandi Membawa laptop, flashdisk, DVD, CD, atau media penyimpan lainnya yang tidak disandi merupakan suatu kebiasaan buruk yang mungkin dimiliki oleh banyak orang dan hal ini sering dilakukan. Jika seseorang mencuri laptop, flashdisk, DVD, CD , media penyimpanan milik Anda yang tidak disandi, maka orang tersebut dapat dengan mudah melihat data pribadi Anda Kasus pencurian data marak terjadi, salah satu pencegahannya adalah dengan melakukan penyandian pada media penyimpanan data. Untuk menghilangkan kebiasaan buruk ini , Anda dapat menggunakan tool TrueCrypt (http://www.truecrypt.org/). software untuk TrueCrypt merupakan penyandian disk dan sifatnya open source. Dengan software ini , Anda dapat melakukan penyandian file ataupun penyandian seluruh partisi pada drive Anda. Bahkan Anda dapat melindungi partisi Windows atau drive, sehingga semua sistem file, browsing history, cache password semuanya terlindungi. Jika Anda ingin melindungi flashdisk yang sering digunakan pada PC orang lain dapat tool FreeOTFE menggunakan (http://www.freeotfe.org/). FreeOTFE merupakan program penyandian disk dan sifatnya open source. Tidak memerlukan hak administratif untuk mendekripsi dan mengakses file Anda, sehingga Anda dapat menggunakannya di PC manapun.

Kebiasaan Buruk 2 : Mengabaikan keamanan ponsel

harus mempertimbangkan semua masalah privasi dan keamanan. Cek fitur keamanan pada ponsel Anda dan mungkin terdapat sebuah aplikasi penyandian yang dapat anda gunakan untuk mengamankan ponsel dan file. Jika ponsel Anda memiliki chip Wi-Fi dan Anda menggunakan koneksi hotspot, pertimbangkan untuk menggunakan koneksi VPN untuk mengamankan local traffic Anda. Jika tidak, pastikan e-mail dijamin dengan enkripsi SSL. Kebiasaan Buruk 3 : Tidak melakukan backup data Pada saat Windows terjadi korup, terjadi kebakaran, atau pencurian maka Anda akan kehilangan data yang sangat penting. Untuk mengatasi kejadian buruk ini, Anda harus melakukan backup file baik ke kantor, rumah atau ke layanan penyimpanan online. Mozy, iDrive, dan carbonite adalah penyedia layanan online yang dapat Anda pertimbangkan. Kebiasaan Buruk 4 : Menyimpan password dalam teks yang jelas Jangan simpan password Anda dalam bentuk teks yang jelas. Jika komputer atau ponsel Anda dicuri, pencuri akan memiliki semua history login Anda. Anda harus mengubah semua password Anda. Anda masih dapat membuat dan menyimpan password Anda, tetapi menggunakan password manager yang mengenkripsi password tersebut. LastPass(http://lastpass.com) adalah salah satu solusi yang bekerja pada hampir semua sistem operasi dan ponsel. Dengan LastPass anda bisa menyimpan semua username dan password dan mensinkronisasinya secara online di Lastpass.com. Jadi tidak perlu takut lagi kehilangan data tentang username dan password. Karena semuanya sudah tersimpan di servernya LastPass. Dan lebih hebatnya lagi, Last Pass ini multi platform. Jadi di browser apapun dan sistem operasi apapun anda berselancar di internet. Anda bisa menggunakan LastPass untuk menyimpan username dan password anda.

e-mail, browsing web, dan Bluetooth maka Anda

Jika Anda menggunakan ponsel untuk

58


Kebiasaan Buruk 5 : Tidak menggunakan enkripsi yang tepat untuk jaringan Wi-Fi Wi-Fi secara default terbuka dan tidak aman. Untuk menghentikan orang lain yang menghubungkan dan melihat data ke jaringan kita, enkripsi harus diaktifkan. Hindari penggunaan enkripsi WEP, karena mudah di crack. Enkripsi terbaik adalah WPA2. Sebaiknya jangan mencampurkan WPA/WPA2 atau TKIP-RC4 dengan WPA2, namun gunakan WPA2 dengan AES-CCMP saja. Jika Anda menyiapkan home network, Anda dapat menggunakan simpler pre-shared key (PSK) atau lebih dikenal dengan personal mode. Namun, pastikan Anda membuat enkripsi passphrase yang panjang dan rumit karena masih rentan terhadap password cracking dengan serangan dictionary-based. Jika Anda memiliki bisnis dan organisasi berada pada jaringan, Anda perlu menggunakan modus perusahaan yang lebih kompleks yang membutuhkan server RADIUS eksternal. Ada server biaya yang lebih rendah (seperti Elektron) ditargetkan untuk penyebaran yang lebih kecil dan layanan outsourcing AuthenticateMyWiFi). Ketika (seperti mengkonfigurasi pengaturan otentikasi klien di Windows, pastikan Anda mengaktifkan verifikasi server, menentukan alamat server, dan jangan meminta pengguna untuk sertifikat baru. Pengaturan ini membantu mencegah serangan man-in-the-middle. Kebiasaan Buruk 6 : Menggunakan Wi-Fi hotspot atau Internet publik tanpa melindungi diri Beberapa jaringan Wi-Fi hotspot yang besar (seperti T-Mobile, iBahn, dan iPass) menyediakan koneksi yang aman dengan otentikasi dan enkripsi WPA/WPA2-Enterprise 802.1X. Namun, sebagian besar tidak dienkripsi. Oleh karena itu, orang-orang di sekitar hotspot akan bisa mengintip semua lalu lintas websie Anda. Pastikan e-mail dan layanan sensitif lainnya yang Anda gunakan ketika terhubung ke hotspot dijamin dengan enkripsi SSL. Jika Anda tidak mudah mengamankan e-mail client, misalnya, Anda harus mempertimbangkan koneksi ke server VPN untuk mengamankan lalu lintas dari penguping (eavesdropping) lokal. Jika tidak tersedia koneksi VPN, pertimbangkan untuk menggunakan layanan outsourcing komersial ataupun gratis. Kebiasaan Buruk 7 : Menggunakan protokol dan layanan dalam teks yang jelas Sebagian besar dari kita terbiasa mengirim dan menerima sebagian besar e-mail dan informasi melalui jaringan lokal yang tidak aman maupun melalui Internet. Sebagian besar protokol dan teknologi yang digunakan untuk transfer data dalam clear-teks, sehingga password dan data dapat dibaca oleh penyadap. Contohnya POP3, IMAP, FTP, dan Telnet. Jika Anda mengakses e-mail melalui web browser, pastikan enkripsi SSL diaktifkan, yang ditandai dengan sebuah alamat https:// bukan http://. Jika Anda menggunakan klien email, seperti Outlook, pastikan enkripsi SSL diaktifkan di pengaturan account Anda. Ingat, jika masih tidak ingin mengirim informasi yang sangat sensitif melalui e-mail biasa dan Anda ingin benar-benar mengenkripsi pesan-pesan, seperti dengan menggunakan layanan pihak ketiga seperti Send. Jika Anda secara teratur mengirimkan informasi sensitif antara orang yang dipilih, pertimbangkan pengaturan dan penggunaan enkripsi OpenPGP. Jika Anda menggunakan FTP untuk transfer file, menggunakannya dengan enkripsi SSL. Hal ini didukung di Server FilleZilla sumber bebas dan terbuka. Anda juga dapat menggunakan enkripsi SSL dengan protokol MySQL. Untuk Telnet, menggunakan SSH sebagai gantinya.

59

Penetapan Hutan Lindung Sei Tembesi dan Pelepasan Kawasan Hutan Balui
Oleh : Desna Yuhana, S. Ikom

Pada tanggal 25 April s/d 27 April 2011 Direktorat Jenderal Planologi Kehutanan melaksanakan Kegiatan Press Tour yang dilaksanakan di wilayah Provinsi Kepulauan Riau, Press Tour ini merupakan agenda rutin Kegiatan ini dimaksudkan untuk memberikan informasi secara luas kepada masyarakat dan instansi terkait tentang hasil atau kegiatan pembangunan yang sedang dilaksanakan di bidang planologi kehutanan. Selain itu, Kegiatan ini juga mempunyai mempunyai 2 (dua) Tujuan, yaitu: 1. Hasil pembangunan bidang planologi kehutanan bermanfaat untuk masyarakat dan dengan tetap memperhatikan kelestarian hutan. 2. Kegiatan bidang planologi kehutanan di lapangan mendapat dukungan dari masyarakat dan instansi terkait.

Gambar. Suasana Rapat Koordinasi untuk Persiapan Peninjauan Lokasi.

Kegiatan Press Tour ini didahului dengan mengikuti rapat koordinasi pemaduserasian Review Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Kepulauan Riau di Gedung GRAHA KEPRI yang dihadiri oleh H. Zulkifli Hasan, SE. MM., Menteri Kehutanan, H. Muhammad Sani., Gubernur Provinsi Kepulauan Riau beserta jajaran Pemerintah Provinsi dan Kabupaten Kepulauan Riau, Ir. Bambang Soepijanto, MM., Direktur Jenderal Planologi Kehutanan serta instansi terkait lainnya. Dalam kesempatan yang sama Menteri Kehutanan menyerahkan SK Penetapan Hutan Lindung Sei Tembesi dan SK Pelepasan Kawasan Hutan Balui, hal tersebut dilatar belakangi sebagai berikut :

1. Pulau Batam sejak tahun 1971 dicanangkan oleh Pemerintah untuk dijadikan kawasan industri berteknologi tinggi yang direncanakan sebagai salah satu pusat pertumbuhan Indonesia bagian barat dan diharapkan dapat menyaingi luapan perkembangan Singapura. Pulau Batam mempunyai nilai penting dan keunggulan secara geografis dan geo-politik, yakni terletak di wilayah segitiga pertumbuhan ekonomi (Growth Triangle) Singapura Johor Riau (SIJORI), pintu gerbang lalulintas wisatawan, jalur pelayaran internasional, sebagai Kawasan Berikat (Bonded Warehouse Zone) dengan berbagai industri strategis, dan menjadi andalan pengembangan ekonomi masa depan bangsa dan negara. 2. Dengan keunggulan dan nilai penting tersebut, maka Pemerintah memutuskan kebijakan perlunya mengembangkan dan mengelola Pulau Batam secara khusus dengan membentuk Badan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam. Pengelolaan kawasan Pulau Batam diawali dengan terbitnya Keppres Nomor 74 Tahun 1971 tentang Pengembangan Pulau Batam dan Keppres Nomor 41 Tahun 1973 tentang Daerah Industri Pulau Batam. 3. Berdasarkan Keppres Nomor 41 Tahun 1973, Badan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam diberikan tugas untuk mengembangkan dan mengendalikan pembangunan di Pulau Batam dengan wewenang sebagai berikut: a. Pengelola dan mengatur penggunaan dan pemanfaatan tanah/lahan, berdasarkan Master Plan Barelang (Batam Rempang Galang); b. Pengaturan penggunaan tanah/lahan diberikan dalam bentuk pengalokasian lahan melalui sistem sewa (Uang Wajib

Tahunan Otorita/UWTO dengan jaminan selama 30 th);


c. Penerbitan ijin pengalokasian lahan (PL) untuk kepentingan pihak-III berdasarkan Hak Pengelolaan Lahan

60


(HPL) yang diterbitkan oleh Badan Pertanahan Nasional kepada Badan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam; d. Kewenangan dalam pengaturan penggunaan dan pemanfaatan tanah di seluruh Pulau Batam oleh Badan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam tersebut dikuatkan dengan adanya KepMendagri Nomor 43 Tahun 1977 tanggal 18 Pebruari 1977. 4. 202/Kpts-II/1994, meliputi: Taman Wisata Alam Muka Kuning (2.065,62 ha), Hutan Lindung (HL) Batu Ampar I (78,20 ha), HL Batu Ampar II (158,59 ha), HL Batu Ampar III (248,10 ha), HL Nongsa I (308,40 ha), HL Nongsa II (142,95 ha), HL Duriangkang (6.075 ha), HL Sei Ladi (59,37 ha), HL Baloi (119,60 ha), HL Bukit Tiban (1.770 ha), HL Sei Harapan (738 ha), HL Bukit Dangas (128 ha) dan HL Tanjung Piayu (189,76 ha). 8. Sejalan dengan dinamika pembangunan di Pulau Batam yang sangat pesat mulai era tahun 1990 karena adanya pengembangan kerjasama Singapura-Indonesia, maka dilakukan Evaluasi Master Plan pada tahun 1991/1992 yang dikaji oleh LEMTEK UI dengan counterpart dari Bappenas, BPPTeknologi dan Departemen Pekerjaan Umum. Beberapa penyesuaian dalam perencanaan ruang (spasial) dilakukan dalam Evaluasi Master Plan tersebut termasuk diantaranya kawasan hutan yang saat itu sedang dilakukan pemancangan batas definitifnya oleh Panitia Tata Batas Hutan Kotamadya Batam yang diketuai oleh Walikota Madya Administratif Batam. Pengembangan dan pembangunan P. Batam tersebut tentu berimplikasi terjadinya alih fungsi lahan dari kawasan hutan ke non-kehutanan sehingga perlu dikontrol agar tercapai pembangunan Kota Batam secara berkelanjutan sesuai visi dan misi Batam.

Master Plan Barelang yang disusun oleh


Badan Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam berdasarkan hasil kajian LEMTEK UI tahun 1985, menempatkan proporsi kawasan perlindungan untuk ekosistem lingkungan hidup di P. Batam masih cukup besar yakni 60%, sedangkan untuk kawasan pengembangan hanya 40%.

5.

Berdasarkan Master Plan Barelang serta dalam rangka mendukung Misi Batam sebagai kawasan perdagangan, industri, perkapalan, jasa dan pariwisata dengan kebutuhan air yang cukup besar, maka Badan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam pada tahun 1986 mengusulkan kepada Departemen Kehutanan untuk menetapkan kawasan hutan secara khusus di Pulau Batam sebagai kawasan perlindungan dengan luasan yang cukup. Berdasarkan kajian bersama Departemen Kehutanan dan Badan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam tahun 1986, Menteri Kehutanan melalui Keputusan Nomor 47/Kpts-II/1987 tanggal 24 Pebruari 1987 menunjuk areal hutan di Kotamadya Batam seluas 23.430 ha (56,90% dari luas Pulau Batam) sebagai kawasan hutan, yang terdiri dari : Hutan Lindung seluas 13.643 ha, Hutan Wisata seluas 4.933 ha dan Hutan Lindung (mangrove) seluas 4.854 ha. Dari penunjukan kawasan hutan seluas 23.430 ha tersebut, telah ditetapkan kawasan hutan oleh Menteri Kehutanan seluas 12.081,60 ha (29,34% dari luas P. Batam sekitar 41.175 ha) melalui Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 427/Kpts-II/1992, Nomor 428/Kpts-II/1992, Nomor 719/Kpts-II/1993 dan Nomor

6.

9.

7.

Evaluasi Master Plan terakhir dikaji oleh LEMTEK UI tahun 1998. Master Plan Barelang inilah pada akhirnya secara utuh dicuplik dan menjadi dasar dalam penetapan RTRW Kota Batam tahun 2001 (Perda Nomor 10 Tahun 2001) jo RTRWK Batam 2004-2014 (Perda Nomor 2 Tahun 2004) dimana pada sebagian kawasan hutannya ditetapkan/dialokasikan pemanfaatan ruangnya sebagai kawasan perdagangan dan jasa serta kepentingan lain di luar kehutanan.

10. Dalam rangka menjamin kepastian hukum dan iklim investasi di Pulau Batam serta sejalan dengan RTRWK Batam (Perda Nomor 10 Tahun 2001), maka Badan Otorita Pengembangan Daerah Industri

61


Pulau Batam yang didukung oleh Pemerintah Kota Batam tahun 2001 mengajukan permohonan penataan kawasan hutan di P. Batam melalui mekanisme perubahan peruntukan kawasan hutan kepada Menteri Kehutanan seluas 2.235 ha pada sebagian 12 (dua belas) kelompok hutan lindung/wisata alam di Pulau Batam dengan usulan lahan pengganti yang berasal dari bukan kawasan hutan (Areal Penggunaan Lain/APL) seluas 2.517 ha. Usulan penataan kawasan hutan dimaksud diantaranya adalah di kawasan hutan lindung Baloi seluas 119,60 ha dimana hampir 50% kawasannya telah berupa bangunan pertokoan, perumahan, instalasi pengolahan air, rumah-rumah liar, dan selebihnya berupa semak belukar sehingga tidak akan optimal apabila dikelola sebagai kawasan hutan. 11. Hasil identifikasi dan inventarisasi tahun 2002 oleh Kementerian Kehutanan menunjukan bahwa lokasi permohonan penataan/perubahan peruntukan kawasan hutan seluas 2.235 ha tersebut butir 10 di lapangan sebagian besar telah berupa bangunan pertokoan, perumahan, kawasan industri, hotel, apartemen, pergudangan, jasa, sarana dan prarasana sosial/ kesehatan/ pendidikan/olahraga, infrastruktur dan kepentingan lainnya. 12. Terhadap kawasan hutan yang dimohon dan telah berupa bangunan di lapangan, disikapi oleh Kementerian Kehutanan penyelesaiannya ditempuh melalui cara tukar menukar kawasan hutan dengan ratio lahan pengganti minimal 1:2 dengan tetap mempertimbangkan hasil penelitian/pengkajian Tim Independen, penelitian Tim Terpadu dan dukungan secara politis dari Komisi IV DPR RI. Pola penyelesaian seperti itu secara administrasi dan teknis diharapkan akan menambah luasan kawasan hutan di Pulau Batam (minimal 30%) sebagaimana diamanatkan dalam Pasal 18 UU Nomor 41 Tahun 1999. 13. Sesuai Pasal 19 UU Nomor 41 Tahun 1999, proses perubahan peruntukan kawasan hutan/tukar menukar kawasan hutan di P. Batam telah melalui tahapan yang panjang yakni penelitian/pengkajian oleh Tim Terpadu (2003), Tim Pendalaman yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Soekotjo, M.Sc dari UGM (2004), Tim Independen yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Soekotjo, M.Sc dengan anggota para pakar dari LIPI, IPB, dan Lembaga Penelitian Sumber Daya Air (2006), dan Tim Terpadu yang diketuai oleh Prof. Dr. Ir. Soekotjo, M.Sc dengan anggota dari LIPI, IPB, Lembaga Penelitian Sumber Daya Air, Kementerian Lingkungan Hidup, dan Eselon I terkait lingkup Kementerian Kehutanan (2009). 14. Selain kegiatan penelitian/pengkajian tersebut, proses perubahan peruntukan kawasan hutan/tukar menukar kawasan hutan di P. Batam juga dikomunikasikan dengan Komisi III DPR RI (selama tahun 2002-2004) dan Komisi IV DPR RI (selama tahun 2005-2009) termasuk kunjungan kerja Menteri Kehutanan dan atau kunjungan ke lapangan oleh Kementerian Kehutanan bersama DPR RI, dengan hasil pokok sebagai berikut: a. Komisi III DPR RI : proses perubahan peruntukan kawasan hutan (alih fungsi kawasan hutan) di P. Batam setuju diproses dan diselesaikan secara bertahap mulai dari hutan Baloi seluas 119,60 ha. b. Komisi IV DPR RI : proses perubahan peruntukan kawasan hutan di P. Batam agar didahului dengan kajian Tim Independen (butir 13). Pada Rapat Kerja Menhut dengan Komisi IV DPR RI tanggal 4 Oktober 2006, DPR RI setuju perubahan peruntukan kawasan hutan di P. Batam seluas 1.923,5 ha dan diminta dilakukan secara menyeluruh dengan lahan pengganti yang bebas dari hak-hak pihak lain. 15. Dengan demikian, proses perubahan peruntukan kawasan hutan/tukar menukar kawasan hutan di P. Batam meliputi 2 (dua) bagian yaitu: a. Proses perubahan peruntukan kawasan hutan/tukar menukar kawasan hutan Baloi seluas 119,60 ha, b. Proses perubahan peruntukan kawasan hutan/tukar menukar kawasan hutan Batam secara menyeluruh seluas 1.804 ha.

62


16. Untuk proses penyelesaian perubahan peruntukan kawasan hutan Baloi, Menteri Kehutanan berdasarkan hasil pengkajian Tim Terpadu (2003), Tim Pendalaman (2004) dan persetujuan Komisi III DPR RI tersebut menindaklanjuti hal-hal sebagai berikut: a. Mengubah fungsi Hutan Lindung Baloi seluas 119,60 ha menjadi Hutan Produksi sebagaimana Keputusan Menteri Kehutanan Nomor SK.03/Menhut-II/2005 tanggal 6 Januari 2005, untuk selanjutnya digunakan sebagai proses tukar menukar kawasan hutan. b. Memberikan persetujuan prinsip tukar menukar kawasan hutan Baloi seluas 119,60 ha dengan penyediaan lahan pengganti seluas 840 ha (ratio 1:7) kepada Walikota Batam dan Ketua Otorita Pengembangan Daerah Industri P. Batam untuk pengembangan Landmark Batam sebagaimana surat Menhut Nomor S.13/Menhut-II/2005 tanggal 14 Januari 2005 dengan ketentuan dan kewajiban diantaranya: Mempertahankan keberadaan waduk/dam Baloi dan sempadan waduk sebagai kawasan lindung sesuai ketentuan yang berlaku, Koefisien Dasar Bangunan dalam pembangunan Landmark Batam sebesar 40% (40 % bangunan, 60 % kawasan hijau), Menjamin lahan pengganti dalam keadaan bebas dari hak-hak pihak lain atau bebas dari segala jenis pembebanan hak (clear and clean). 17. Untuk memenuhi kewajiban penyediaan lahan pengganti tersebut butir 15 b, selama tahun 2006 s/d 2008 Badan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam dan Pemerintah Kota Batam melakukan clear and clean lahan pengganti seluas 850,50 ha di Sei Tembesi dengan cara ganti rugi/santunan kepada masyarakat yang menguasai lahan pengganti dimaksud. 18. Dalam rangka tindak lanjut proses tukar menukar kawasan hutan di P. Batam, Menteri Kehutanan melalui keputusan Nomor: SK.355/Menhut-VII/2009 tanggal 17 Juni 2009 membentuk Tim Terpadu lanjutan untuk mengkaji Lahan Pengganti hutan Baloi di Sei Tembesi, areal relokasi fungsi di P. Galang dan proses perubahan peruntukan kawasan hutan secara Menyeluruh di P. Batam, dengan Ketua Prof. Dr. Ir. Soekotjo, M.Sc. 19. Tim Terpadu antara lain merekomendasikan bahwa lahan pengganti hutan Baloi dalam rangka tukar menukar kawasan hutan seluas 850,50 ha di Sei Tembesi layak dan memenuhi syarat untuk ditunjuk kawasan hutan dengan fungsi Hutan Lindung. Kawasan Sei Tembesi merupakan catchment area bagi waduk/dam Mukakuning dan waduk/dam Sei Tembesi yang akan dibangun. 20. Menteri Kehutanan melalui surat Nomor S.741/Menhut-VII/2009 tanggal 15 September 2009 secara prinsip menerima dan menyetujui lahan pengganti di Sei Tembesi dalam rangka tukar menukar kawasan hutan Baloi Sei Tembesi seluas 850,50 ha. 21. Departemen Kehutanan dengan Pemerintah Kota Batam dan Badan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam selanjutnya membuat Berita Acara Tukar Menukar Kawasan Hutan (BATM) Baloi Sei Tembesi sebagaimana BATM Nomor BA.01/Menhut-VII/KUH/2009 tanggal 29 September 2009. 22. Berdasarkan BATM Baloi Sei Tembesi dimaksud, Menteri Kehutanan melalui keputusan Nomor SK.624/Menhut-II/2009 tanggal 5 Oktober 2009 menunjuk lahan pengganti dari Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam seluas 850,50 ha terletak di Sei Tembesi, Kecamatan Sagulung, Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau sebagai kawasan hutan dengan fungsi Hutan Lindung. 23. Selanjutnya, dilakukan penataan batas terhadap HL Sei Tembesi (lahan pengganti) dan hutan Baloi yang akan dilepaskan oleh Panitia Tata Batas Kawasan Hutan Batam yang dikoordinasikan Balai Pemantapan Kawasan Hutan Wilayah XII Tanjungpinang, dengan realisasi sebagaimana Berita Acara Tata Batas

63


(BATB) tanggal 23 Desember 2010, sebagi berikut: a. Hutan Lindung Sei Tembesi (lahan pengganti) seluas 838,80 ha. b. Kawasan Hutan Baloi selias 119,60 ha. 24. Berdasarkan hasil tata batas sesuai BATB tersebut butir 23, Menteri Kehutanan menetapkan dan memutuskan penyelesaian tukar menukar kawasan hutan Baloi Sei Tembesi sebagai berikut: a. Menetapkan Hutan Lindung Sei Tembesi seluas 838,80 ha terletak di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau sebagai areal pengganti Pemerintah Kota Batam dan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam melalui keputusan Nomor SK.724/Menhut-II/2010 tanggal 30 Desember 2010. b. Melepaskan Hutan Produksi Baloi seluas 119,60 ha untuk pengembangan Landmark Batam terletak di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau melalui keputusan Nomor SK.725/MenhutII/2010 tanggal 30 Desember 2010, dengan ketentuan : waduk/dam Baloi dan sempadan waduk tetap dipertahankan keberadaannya sebagai kawasan lindung, dan koefisien dasar bangunan Landmark Batam sebesar 40% (40% dibangun, 60% kawasan hijau). Kawasan hutan yang telah dilepaskan tersebut statusnya menjadi tanah negara yang selanjutnya agar diberikan titel hak atas tanah oleh Badan Pertanahan Nasional (BPN) an. Pemerintah Kota Batam dan Badan Pengusahaan Kawasan Batam (d/h Badan Otorita Pengembangan Daerah Industri Pulau Batam). 25. Berdasarkan Keputusan Menteri Kehutanan sebagaimana tersebut butir 24, proses tukar menukar kawasan hutan Baloi Sei Tembesi di Kota Batam, Provinsi Kepulauan Riau dinyatakan SELESAI. Dengan demikian, kawasan hutan di P. Batam yang semula telah ditetapkan seluas 12.081,60 ha (29,34%) setelah dikurangi pelepasan hutan Baloi seluas 119,60 ha dan memasukan kawasan hutan lindung Sei Tembesi seluas 838,80 ha menjadi seluas 12.800,80 ha (31,09% dari luas P. Batam). Terhadap tindak lanjut permohonan perubahan peruntukan kawasan hutan Batam secara menyeluruh seluas 1.804 ha, penyelesaiannya diintegrasikan dengan proses perubahan peruntukan dan fungsi kawasan hutan dalam Review Tata Ruang Wilayah Provinsi Kepulauan Riau yang saat ini prosesnya sedang berjalan yakni kegiatan penelitian oleh Tim Terpadu.
Gambar. Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan KH memberikan penjelasan kepada para wartawan.

Setelah mengikuti rapat koordinasi, rombongan yang dipimpin oleh Direktur Pengukuhan dan Penatagunaan Kawasan Hutan Ir. Tri Joko Mulyono, MM beserta wartawan eletronik dan wartawan cetak melakukan peninjauan lapangan untuk melihat kawasan hutan Sei Baloi seluas 119,60 Ha sesuai Keputusan Menteri Kehutanan Nomor 724/Menhut-II/2010 tanggal 30 Desember 2010 telah menetapkan Kawasan Hutan Baloi yang saat ini telah digunakan sebagai sarana umum dan fasilitas sosial seperti sekolah, pemukiman, ruko atau pusat bisnis dan gedung pemerintahan termasuk DAM/Waduk Baloi sebagai sumber air minum bagi masyarakat di Pulau Batam dll. Selanjutnya rombongan menuju Sei Tembesi seluas + 850,50 ha sebagai lahan pengganti Hutan Baloi dalam rangka tukar menukar kawasan hutan yang secara prinsip menerima dan menyetujui tukar menukar kawasan hutan Baloi Sei Tembesi berdasarkan Surat Keputusan Menteri Kehutanan Nomor S. 741/Menhut-VII/2009 tanggal 15 september 2009 dan telah dibuat Berita Acara Tukar Menukar (BATM) Baloi-Sei Tembesi.

64

Gambar. Peninjauan Lokasi Kawasan Hutan Sei Baloi

65

Pelatihan Menyiapkan Konferensi Pers dan Penulisan Press Release

Data dan informasi yang akurat dan mutakhir di bidang planologi kehutanan perlu dipublikasikan untuk mendukung keterbukaan informasi publik dan salah satu bentuk pelayanan kepada masyarakat. Dalam menyampaikan data dan informasi kepada masyarakat perlu dikemas dalam berbagai bentuk yang menarik dan mudah dipahami (singkat, jelas, lugas, menarik, seimbang, proporsional, jujur, actual, faktual dan akurat). Sumber daya manusia yang tangguh dalam melaksanakan kegiatan kehumasan bidang Planologi Kehutanan sangat diperlukan dalam menyajikan data dan informasi yang cepat, tepat dan akurat kepada publik. Oleh karena itu diperlukan Pelatihan Menyiapkan Konferensi Pers dan Penulisan Press Release terhadap SDM yang menangani kehumasan. Kepala Subbagian Data dan Informasi, Didik Setyawan, S.Hut., M.Sc. yang salah satu tugasnya menangani Kehumasan di Ditjen Planologi Kehutanan mengikuti pelatihan yang diselenggarakan oleh PT. Prakarsa Media Utama mulai tanggal 7 s/d 8 Juli 2011 di Hotel Preanger Jl. Asia Afrika 81 Bandung. Pelatihan tersebut bertujuan : 1. Peserta mampu mempersiapkan sebuah konferensi pers yang efektif, sehingga sasaran yang diharapkan dapat tercapai secara optimal; 2. Peserta memahami jalan pikiran redaktur media dalam memilih, menyeleksi dan menerbitkan press release. 3. Peserta mampu membuat press release yang bernilai berita bagi media, sekaligus selaras dengan sasaran dan misi instansi/perusahaan. Pelatihan ini diikuti oleh 3 (tiga) instansi pemerintah pusat (Sekretariat Ditjen Planologi

Oleh: Didik Setyawan*)

Kehutanan, Setjen Kementerian Pertanian, Setjen Kementerian PAN dan Reformasi Birokrasi) dan satu instansi BUMN (Humas PT. Pelindo I Medan) dengan tujuan meningkatkan kemampuan menyiapkan konferensi pers dan penulisan press release yang berkualitas.

Gambar. Suasana Pelatihan menyiapkan Konferensi Pers dan Penulisan Press Release.

Berdasarkan pedoman pelayanan publik maka data dan informasi yang disampaikan kepada masyarakat harus tepat, akurat dan terkini. Materi utama yang disampaikan dalam pelatihan adalah sebagai berikut: A. KONFERENSI PERS 1. Bentuk Media Relations :

a. b. c. d. e.
2.

Press Release; Konferensi pers; Publisitas (merancang event); Iklan;

Press tour; f. Press gathering. Tujuan Konferensi Pers (Jumpa Pers) Mencitrakan perusahaan / lembaga; Memperbaiki pandangan yang keliru; Menguatkan goodwill kepada karyawan; Menguatkan loyalitas stackholder;

a. b. c. d.
66

e. Menumbuhkan minat stackholder; f. Menampilkan goodwill; g. Menginformasikan sesuatu kepada


konsumen, pemerintah dan masyarakat. Konferensi Pers (Jumpa Pers) merupakan satu kegiatan hubungan pers yang yang paling dikenal, selain penyebaran pers. Biasanya dilakukan menjelang, menghadapi ataupun setelah terjadi peristiwa atau kegiatan penting dan besar. Jadi, jika yang akan diinformasikan kepada masyarakat itu bukan sebagai peristiwa besar sebaiknya tidak dilakukan acara jumpa pers. Karena menyangkut peristiwa besar maka penyelenggaraannya bisa dari inisiatif humas atau permintaan wartawan yang menginginkan informasi lebih lengkap tentang suatu peristiwa menarik yang terjadi di masyarakat. Untuk itu tidak harus bersifat mewah, bisa juga sederhana. Seperti siaran pers maka pelaksanaannya bisa prakegiatan atau pascakegiatan. 3. Hal yang harus dipertimbangkan saat melakukan Konferensi Pers antara lain: a. Faktor Teknis Waktu pelaksanaan yang idealhindari waktu deadline media; Setting tempat: posisi, perlengkapan audio, terutama bagi jurnalis TV atau radio; Sebarkan release sebelum konferensi pers dimulai (bisa beberapa hari sebelumnya, disebarkan melalui email); Jangan dibiasakan memberi amplop. b. Faktor Non-Teknis Substansi pesan disampaikan; Kualitas press release. yang ingin

c.

d.

e. f.

g.

h.

i.

j.

k. l.

m.

n.

4. Beberapa Hal Penting Yang Perlu Diperhatikan Dalam Jumpa Pers, antara lain: a. Jangan mengundang wartawan secara mendadak krn biasanya wartawan sudah punya jadwal kerja yg padat. Kecuali bila kita mengundangnya untuk kasus besar yang amat mendesak. b. Hargai waktu wartawan. Jangan menunda waktu yang telah dijadwalkan untuk jumpa pers.

o.

p. q.

r.

Jangan mengundurkan waktu hanya karena ada wartawan yang belum datang, sebab bisa memunculkan kesan penganakemasan media tertentu. Wartawan paling menykai acara jumpa pers pagi hari dan kurang menyukai sore hari atau malam hari, karena sore atau malam tenaga wartawan sudah terkuras untuk bekerja. Hindari pula acara jumpa pers pada hari libur. Hindari acara jumpa pers yang jaraknya sangat jauh. Selenggarakanlah di lokasi yang strategis dan gampang dijangkaun dari segala penjuru kota. Jika ingin suasana santai, jumpa pers bisa pula di rumah makan atau tempat rileks sambil makan siang. Hadirkanlah orang yang memiliki kredibilitas sehingga menambah bobot acara jumpa pers. Jangan mengusir wartawan yang datang tidak diundang sejauh ia betulbetul membutuhkan informasi untuk berita. Sediakan bahan atau data tertulis sebagai pelengkap tulisan/berita yang akan ditulis wartawan. Apakah proposal, brosur, rilis, dan lainnya. Memasukkan bahan-bahan tadi dalam map atau amplop besar. Jika akan memberi cendera mata atau uang transportasi, masukkan ke dalam ampop atau map besar tadi. Hindari jumpa pers satu arah. Berilah kesempatan kepada wartawan untuk bertanya. Jangan heran apabila dalam kesempatan itu wartawan menanyakan materi lain di luar materi yang dijumpaperskan. Hindari jawaban no comment dalam diskusi, sebab jawaban ini mengesankan pembenaran dari penyataan wartawan. Memasukkan bahan-bahan tadi dalam map atau amplop besar. Jika akan memberi cendera mata atau uang transportasi, masukkan ke dalam ampop atau map besar tadi. Hindari jumpa pers satu arah. Berilah kesempatan kepada wartawan untuk bertanya.

67


s. Jangan heran apabila dalam kesempatan itu wartawan menanyakan materi lain di luar materi yang dijumpaperskan. Hindari jawaban no comment dalam diskusi, sebab jawaban ini mengesankan pembenaran dari penyataan wartawan.

a. Basic Publicity Releasenilai berita bagi


media massa;

b. Product Releaseinformasi tentang


produk;

t.

c. Financial Releaseinformasi keuangan; d. Executive Statement Releaseisu


tentang CEO dan ekesekutif perusahaan;

e. Feature Articlebercerita tentang kisah,


program, produk. 4. Hal Penting Dalam Penulisan Press Release a. Tulislah dengan ringkas, padat dan faktual. Jangan memanjangmanjangkan isi siaran pers. Sebaliknya jangan terlalu pendek (misalnya hanya setengah halaman) b. Usahakan siaran pers mengandung 5 W+ 1H dan disusun secara Lead, Body,

Gambar. Peserta Pelatihan menyiapkan Konferensi Pers dan Penulisan Press Release.

Closing
c. Jika diperlukan, sertakan pula ilustrasi foto, gambar, tabel data atau grafik. d. Tulislah di atas kop surat sehingga resmi. e. Cantumkan pejabat yang paling berwenang menyiarkan siaran pers ini. f. Jika siaran pers berasal dari individu maka cantumkan foto diri, identitas dan tandatangan yang bersangkutan. g. Untk memperkaya data & kedalaman siaran pers, lampirkan pula bahanbahan tertulis yang berhubungan dg masalah atau kegiatan yang diinformasikan. Misalnya, naskah pidato, makalah, atau data lainnya.Seorang penyanyi bisa mengirinkan contoh kasetnya. Penerbit buku mengirimkan buku barunya atau perusahaan melampirkan produk barunya. 5. Off The Record

PRESS RELEASE 1. Definisi Press Release Press Release merupakan sebuah naskah yang berisi bahan-bahan informasi dari badan resmi atau swasta yang dimaksudkan untuk disiarkan oleh media massa.

a. Prinsip penulisan Jurnalistik singkat,


jelas, lugas, menarik, seimbang (cover both side)fairness/proporsional, jujur, actual, faktua dan lakurat. Press Release ialah tenaga inti PR; ribuan releases dikirim ke berbagai media (cetak/elektronik) di berbagai negara

b. Kekuatannya bukan di tulisan, tapi


penyusunan-materinya: Bernilai berita, sesuai policy dan skedul dan aturan media tsb, dan elemen releases lain. 2. Tujuan Press Release:

a. Mengabarkan/mengumumkan (to
inform);

b. c. d. e. f.

Mengingatkan (to remind); Menegaskan (to emphasize); Membenarkan (to confirm); Membantah (to counter/deny); Memberi informasi latar belakang (to give background information).

Off the record biasanya dinyatakan oleh


narasumber yang tidak boleh disiarkan, tapi sebetulnya secara hukum tidak ada. Ada tiga langkah untuk menyatakan off the record:

a. Pastikan

bahwa Anda benar-benar memerlukan off the record dan benarbenar terjamin. mau menerima off the record. Tidak

3. Jenis-jenis Press Release

b. Tanyakan kepada wartawan apakah

68


semua wartawan menerima pernyataan ini. 2. Konferensi Pers dan Media a. Jenis media dan karakter (cetak, eletronik, online); b. Menyiapkan konferensi pers yang efektif; c. Meminta hak jawab dari media; d. Prosedur pengaduan kepada dewan pers. B. Materi yang disampaikan oleh Askurifai Baksin (Jurnalis Bandung Pos dan Kepala Humas Universitas Islam Bandung) 1. Analisis Berita dan Press Release a. Konsep, karakter dan anatomi; b. Uji kelayakan, nilai berita pengembangan unsur; c. Uji akurasi dan elemen signifikansi; d. Membedah isi/subtansi;

c. Jika wartawan mau menerima informasi


yang off the record maka ketika ada yang tidak off the record Anda juga ungkapkan lagi Sedangkan point-point materi yang diberikan pada pelatihan Menyiapkan Konferensi Pers dan Penulisan Press Release disajikan oleh 2 narasumber secara lengkap sebagai berikut: A. Materi yang disampaikan oleh Rana Akbari Fitriawan (Jurnalis The Jakarta Post dan Tempo News Room) 1. Kebijakan Redaksi Media a. Agenda Media; b. Kepentingan media dari institusi/koporasi; c. Kriteria redaksi menilai naskah press release; d. Kode etik dan profesionalisme.

dan

2. Praktek Penulisan Press Release a. Latihan menggali fakta/informasi; b. Latihan memilah, memilih, dan menyusun fakta; c. Latihan memilih fokus dan angle; d. Latihan menetapkan judul dan lead; e. Latihan menulis dan menyunting press release; f. Membedah karya dan evaluasi hasil latihan.

69

ANDABERTANYAKAMIMENJAWAB
Bung Plano,Mohon info,, apakah pengadaan lahan kompensasi dalam rangka pembebasan lahan untuk jalan tol termasuk dalam pengadaan lahan untuk kepentingan umum?? Bila iya, mohon info Undang-Undang atau Peraturan yang menunjukkan hal tersebut.. Terima kasih!! (Deasy Sherdianty) Kementerian Kehutanan tidak mempunyai kewenangan untuk menyatakan apakah pengadaan lahan kompensasi dalam rangka pembebasan lahan untuk jalan tol termasuk dalam pengadaan lahan untuk kepentingan umum atau bukan. Dalam pembangunan jalan tol yang menggunakan kawasan hutan dan berada pada provinsi yang luas kawasan hutannya di bawah 30% (tiga puluh perseratus) dari luas daerah aliran sungai, pulau, dan/atau provinsi, pemegang izin pinjam pakai kawasan hutan mempunyai kewajiban untuk menyediakan lahan kompensasi, sebagaimana diatur dalam Pasal 7 ayat (2) huruf a Peraturan menteri Kehutanan Nomor P.18/Menhut-II/2011 tentang Pedoman Pinjam Pakai Kawasan Hutan. Proses pengadaan lahan kompensasi tidak ada relevansinya dengan kewenangan Kementerian Kehutanan dalam penerbitan izin pinjam pakai kawasan hutan. Yth, Bung Plano, saya mau menanyakan terkait ijin prinsip pemakaian hutan lindung. apakah selama IJIN PRINSIP bisa melakukan kegiatan di hutan lindung (penambangan bawah tanah). (Danto). Sehubungan dengan pertanyaan Saudara, disampaikan bahwa sesuai Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 28 Tahun 2011 Tentang Penggunaan Kawasan Hutan Lindung Untuk Penambangan Bawah Tanah, disebutkan: - Pasal 3 ayat (1), bahwa penggunaan kawasan hutan lindung untuk kegiatan penambangan bawah tanah harus mendapatkan izin dari Menteri. - Pasal 3 ayat (2), bahwa izin sebagaimana dimaksud pada ayat (1) diberikan melalui 2 (dua) tahap yaitu persetujuan prinsip dan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung. - Pasal 6 ayat (5), mengatur kewajiban pemohon yang telah mendapatkan persetujuan prinsip. - Pasal 7 ayat (1), bahwa apabila seluruh kewajiban dalam persetujuan prinsip sebagaimana dimaksud dalam Pasal 6 ayat (5) telah dipenuhi oleh pemohon, Menteri menerbitkan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung. Berdasarkan ketentuan di atas, dapat disampaikan bahwa persetujuan prinsip bukan merupakan izin pinjam pakai kawasan hutan lindung, sehingga pemegang persetujuan prinsip penggunaan kawasan hutan lindung belum dapat melakukan kegiatan di lapangan sampai dengan terbitnya izin pinjam pakai kawasan hutan lindung dari Menteri. Mohon kepada bapak menteri kehutanan untuk segera menindak para penambang ilegal yang merusak hutan produksi dengan alat berat yang berada di bangka tepatnya di kecamatan belinyu.karena sangat meresahkan masyarakat,razia yang dilaksanakan tidak pernah efektif.kami mohon bapak menteri segera menindak lanjuti karena sudah sangat kritis.terima kasih atas perhatian bapak menteri kehutanan RI. (Maryati Sutina).
Jawaban: Jawaban: Jawaban:

Terima kasih informasinya. Sehubungan dengan persoalan tersebut dapat kami sampaikan bahwa sesuai UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan diatur: - Pasal 38 Pasal 38 ayat (3) Penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan pertambangan dilakukan melalui pemberian izin pinjam pakai oleh Menteri dengan mempertimbangkan batasan luas dan jangka waktu tertentu serta kelestarian lingkungan; - Pasal 50 ayat (3) huruf g UU Nomor 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan disebutkan bahwa setiap orang dilarang melakukan kegiatan penyelidikan umum atau eksplorasi atau eksploitasi bahan tambang di dalam kawasan hutan, tanpa izin Menteri; - Pasal 78 ayat (6) Barang siapa dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 38 ayat (4) atau Pasal 50 ayat (3) huruf g, diancam dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan denda paling banyak Rp. 5.000.000.000,00 (lima milyar rupiah). Dengan demikian apabila Saudara mengetahui adanya dugaan pelanggaran penggunaan kawasan hutan, silahkan melaporkan kepada pihak berwajib atau Dinas Kehutanan setempat atau Direktorat Penyidikan dan Perlindungan Hutan, disertai bukti secukupnya.

70

Anda mungkin juga menyukai