Anda di halaman 1dari 34

FOOD ESTATE : DALIH KETAHANAN PANGAN

UNTUK KESEJAHTERAAN KORPORAT

POTENSI DAMPAK FOOD ESTATE TERHADAP HUTAN DAN


LINGKUNGAN

1. Problematika Food Estate dan Degradasi Hutan


Proyek food estate dengan cita-citanya membawa kedaulatan pangan untuk
negara Indonesia yang digagas oleh Presiden Joko Widodo justru menuai penolakan oleh
berbagai aktivis lingkungan dan koalisi masyarakat sipil. Proyek food estate merupakan
respon pemerintah terhadap peringatan dari organisasi pangan dan pertanian dunia (FAO)
tentang resiko terjadinya krisis pangan sebagai dampak dari Pandemi Covid-19. FAO
menyebutkan bahwa Pandemi Covid-19 dapat mengganggu rantai pasokan pangan dan
menimbulkan kekurangan gizi pada masyarakat (FAO 2020). Pemerintah mempercepat
pembangunan food estate melalui Peraturan Presiden Nomor 109 tahun 2020 tentang
perubahan Perpres nomor 3 tahun 2016 tentang Percepatan Proyek Strategis Nasional Food
Estate masuk sebagai salah satu proyek yang harus digenjot pemerintah. Food estate sendiri
merupakan proyek pengembangan lumbung pangan di suatu kawasan secara terintegrasi,
meliputi perkebunan, peternakan, dan pertanian. Presiden menyatakan letak lokasi
lumbung pangan Indonesia akan berada di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur hingga Papua pada rapat terbatas mengenai
food estate.
Proyek food estate atau lumbung pangan di era Presiden Joko Widodo
dimaksudkan sebagai penyedia cadangan pangan nasional dan antisipasi krisis pangan
akibat pandemi Covid-19. Pada tahap awal, luas lahan yang akan digarap sebesar 30.000
hektar (ha) dari total 1,4 juta hektar lahan food estate keseluruhan (BBC Indonesia 2020).
Pemerintah mulai menggarap lahan cadangan pangan atau food estate pada Oktober tahun
2020. Luas lahan yang akan digarap pada tahap awal sebesar 30.000 hektar (ha) di
provinsi Kalimantan Tengah dari total 1,4 juta hektare lahan food estate keseluruhan.
Lahan tersebut nantinya akan ditanami padi untuk menambah pasokan beras (Bardan
2020). Proyek ini terdapat di dua wilayah yaitu di Desa Bentuk Jaya, Kecamatan
Dadahup, Kabupaten Kapuas dengan luas 20 ribu ha dan Desa Belanti Siam, Kecamatan
Pandih Batu, Kabupaten Pulang Pisau seluas 10 ribu hektar. Lahay yang sudah ditanami
padisekitar 29.032 ha yang atau setara 96,7 persen dari total target 30 ribu hektar lahan
yang akan diolah pada tahun 2020 dan 2021. Target lahan yang diolah pada tahun
2022-2023 adalah sekitar 110 ribu ha lahan (Pebrianto 2021).
Rancangan kontruksi food estate di kawasan hutan dilanggengkan dengan
diterbitkannya Peraturan Menteri LHK Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020
tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate (Permen LHK
24/2020). KLHK menjamin bahwa pembangunan food estate akan mempertimbangkan
aspek berkelanjutan dan menjaga kelestarian lingkungan yang direfleksikan oleh berbagai
ketentuan yang harus dipenuhi dalam Permen LHK 24/2020. Wahyu Perdana, Manajer
Kempanye Pangan, Air dan Ekosistem Esensial Eksekutif Nasional Walhi menegaskan,
Permen P.24 menjadi varian perizinan baru di kawasan hutan, sehingga akan mendorong
.
dominasi korporasi Korporasi yang terlibat dalam pengadaan proyek food estate adalah
perusahaan pangan dan pertanian seperti Indofood, Astra Internasional, Dupont, Cargill,
Kraft, Unilever, SwissRA, Sygenta, ADM, Bunge, Monsanto, dan lain-lain (Putri 2013).
Lahirnya permen ini dapat memperbesar ketimpangan penguasaan dan pemanfaatan
kawasan hutan Indonesia.
Komposisi bedasarkan Kawasan Hutan (Hektar)

Hutan lindung (278.121)


8% 8%
Hutan produksi
19% (922.686)
25%
Hutan Produksi Konversi
(1.474.754)
Hutan Produksi
Terbatas(717.464)
40% Area Penggunaan Lain

Komposisi berdasarkan ekosistem gambut

16% Indikatif Fungsi Budidaya


23% (838.923)
Non gambut (2.270.300)

Indikatif Fungsi Lindung


61% (582.797)

Dimodifikasi dari Madani Berkelanjutan 2021


Diagram diatas menunjukkan hampir 92% Area of Interest (AoI) Food Estate di
4 provinsi berada di kawasan hutan yang mengancam 3 jenis hutan produksi ( hutan
produksi, hutan produksi konversi, hutan produksi terbatas) dan hutan lindung. Luas
hutan alam yang beresiko hilang dan terdampak food estate terluas terletak di Provinsi
Papua yaitu sekitas 1,3 juta ha. Selain itu terdapat 39% AoI Food Estate di 4 provinsi
yang memanfaatkan ekosistem gambut seluar 1.4 juta ha. Lebih dari setengah ekosistem
gambut tersebut memiliki hutan alam yaitu sekitas 51,4%. Wilayah hutan alam yang
digunakan untuk food estate mencapai 1.5 juta ha. Hal ini mengindikasikaan bahwa food
estate bisa menjadi peluang untuk mengambil kayu yang dihasilkan dari potensi hutan
tersebut.

Tabel tersebut menunujukkan bahwa volume kayu yang terdapat dari hutan alam
di dalam AoI untuk food estate diperkirakan mencapai 243 juta m3 dengan perkiraan nilai
Rp 209,36 triliun. Hal ini mengindikaskan bahwa proyek food estate berbahaya untuk
keberlangsungan hutan lindung dan hutan produksi serta beresiko merusak alam dan
lingkungan. Akankah megaproyek food estate sejalan dengan cita-citanya untuk
membangun kedaulatan pangan Indonesia? Atau membangun kedaulatan kekuasaan
oknum tertentu atas wilayah hutan dan mengorbankan ekosistem penduduk lokal?

2. Kasus Kegagalan Food Estate


Beberapa mega proyek lahan gambut yang dilaksanakan dalam rangka menuju
kedaulatan pangan sudah pernah dilaksanakan dan mengalami kegagalan. Megaproyek
lahan gambut memberikan dampak kegagalan pada masyarakat lokal dan transmigran
yang kehilangan lahan pertanian mereka. Dari keseluruhan wilayah rencana PLG, luasan
yang terealisasi hanya mencapai 3,3% dan pencetakan sawah baru selesai 2,9% dalam
kurun waktu 2 tahun. Perkembangan yang lambat ini disebabkan berbagai masalah seperti
kesalahan metode pelaksanaan dan tata air yang menyebabkan lahan gambut mudah
terbakar.
Direktur Eksekutif WALHI Papua mengatakan bahwa “Merauke Integrated Food
and Energy Estate (MIFEE) yang digagas Presiden Susilo Bambang Yudhoyono Tahun
2010 dan dilanjutkan Presiden Jokowi Tahun 2015, yang awalnya direncanakan untuk
didominasi tanaman pangan seperti beras, jagung, kedelai dan tanaman pangan lainnya,
saat ini faktanya lebih banyak didominasi industri perkebunan sawit dan Hutan Tanaman
Industri (HTI)”. Ha ini menunjukkan food estate tidak berhasil di Merauke.
Hasil kajian yang dikeluarkan oleh Indonesian Center for Environmental
Law (ICEL) pada Desember 2020 lalu mengungkapkan bahwa linimasa berbagai
proyek food estate di Indonesia dimulai sejak 1995-1999 dengan program lahan
gambut di Kalimantan Tengah, dilanjutkan pada tahun 2010 oleh MIFEE di
Merauke, Papua. Pada tahun 2011 program food estate masih terus berjalan di
Kalimantan Utara dengan nama program DeKaFe. Lalu pada tahun 2020
pembahasan mengenai food estate mulai dibicarakan dengan menggunakan eks
lahan proyek lahan gambut (PLG) di Kalimantan Tengah dan Sumatera Utara,
rencananya juga mengikutsertakan provinsi Sumatera Selatan, Nusa Tenggara
Timur, hingga Papua. Program ini juga dimasukkan pada program strategis
nasional (PSN) tahun 2020-2024. Sebagai tindak lanjut wacana tersebut
diterbitkan Peraturan Menteri LHK Nomor
P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan
untuk Pembangunan Food Estate (Permen LHK 24/2020). Program ini ramai
dengan isu pro-kontra, terutama dari aktivis dan penggiat lingkungan. Hal ini
berkaca pada tiga program food estate sebelumnya yang dinyatakan gagal
memenuhi target yang diusulkan.
2.1 Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Kalimantan Tengah
Kebijakan tentang diatur dalam Keputusan Presiden Nomor 82 Tahun
1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di
Kalimantan Tengah (Keppres 82/1995). Proyek ini dinilai gagal dan diberhentikan
oleh Presiden Habibie melalui Keputusan Presiden Nomor 80 tahun 1999 tentang
Pedoman Umum Perencanaan dan Pengelolaan Kawasan Pengembangan lahan
Gambut di Kalimantan Tengah (Keppres 90/1999). Landasan hukum
Pengembangan Lahan Gambut untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan
Tengah adalah sebagai berikut:
1. Keppres RI No. 82 tahun 1995 tentang Pengembangan Lahan Gambut
untuk Pertanian Tanaman Pangan di Kalimantan Tengah, memberikan
gambaran dan informasi tentang : (a) upaya mempertahankan Swasembada
Pangan; (b) kegiatan perencanaan dan pembangunan, meliputi
perencanaan tata ruang, pembuatan studi amdal, pencadangan/penyediaan
lahan, pelepasan lahan kawasan hutan, perencanaan dan pelaksanaan
pembangunan jaringan pengairan, penyiapan prasarana dan sarana
percontohan pengolahan pertanian, perencanaan tenaga atau tenaga petani
beserta pemukimannya, dan perencanaan jaringan transportasi air dan
darat berikut prasarana pendukungnya; (c) pembiayaan perencanaan dan
pembangunan dalam rangka pengembangan lahan gambut satu juta hektar
dibiayai melalui : (i) Dana Banpres dan (ii) dana APBN melalui anggaran
instansi teknis.
2. Keppres No 74 tahun 1998 tentang Perubahan atas Keppres No. 82 tahun
1995, menetapkan penggantian Ketua Tim Pengarah dari Menteri Negara
PPN/Ketua Bappenas kepada Menko Bidang Ekonomi, Keuangan dan
Industri /Kepala Bappenas.
3. Keppres No. 133 tahun 1998 tentang Pengembangan Lahan Gambut untuk
Pertanian di Kalimantan Tengah. Namun sejauh itu upaya untuk
merehabilitasi kawasan Eks-PLG yang diarahkan untuk pertanian di
Kalimantan Tengah masih belum berjalan dengan semestinya.
4. Keppres No. 80 tahun 1999 Tentang Pedoman Umum Perencanaan dan
Pengelolaan Kawasan Pengembangan Lahan Gambut di Kalimantan
Tengah. Keppres ini dikeluarkan untuk mendorong agar pengelolaan dan
pemanfaatan PLG berjalan lancar dan dilaksanakan secara terintegrasi
antar instansi terkait baik di pusat atau daerah.
Prof. Abdurachman Adimihardja (2003) dari Kapuslitbangtanak
mengatakan penyebab utama kegagalan PLG dalam membangun ‘lumbung padi
nasional di luar Jawa’ bukanlah karena lahan rawa tidak layak dibudidayakan,
tetapi karena perencanaan yang kurang matang dan tidak didukung dengan data
yang memadai. Pelaksanaan PLG Kalimantan Tengah berdampak negatif karena
tidak didahului dengan perencanaan yang terencana (Mawardi (2007). Beberapa
dampak negatif tersebut antara lain:
1. Pembuatan Saluran Primer Induk (SPI) sepanjang 187 kilometer yang
menghubungkan Sungai Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito serta
memotong cukup banyak anak sungainya telah berakibat berubahnya pola
tata air, dan kualitasnya. Pembuatan saluran tersebut telah membongkar
lapisan gambut yang mengandung bahan sulfidik, sehingga timbul
senyawa pirit yang bersifat racun, dan kondisi inilah yang menjadi
penyebab kematian ikan secara masal yang disebabkan oleh perbedaan
yang mencolok antara pH pada saluran irigasi (3,5 – 4) dengan pH air
sungai (5,5 – 6,5).
2. Penebangan pohon di hutan rawa gambut mengakibatkan daya serap
permukaan tanah berkurang, kondisi ini menyebabkan sering terjadinya
banjir di musim penghujan, sebaliknya pada musim kemarau lahan gambut
lebih mudah terbakar.
3. Beberapa spesies tumbuhan langka yang dilindungi seperti ramin
(Gonystylus spp), jelutung (Dyeralowii), kempas (Koompassia
malaccensis), ketiau (Ganua motleyana),dan nyatoh (Dichopsis elliptica)
terancam punah, selain itu keberadaan ekosistem air hitam (black water
ecosystem) dan ikan khas yang hidup di dalamnya, seperti manau
tempahas (Calamus manau) menjadi terancam, padahal ekosistem air
hitam ini merupakan kawasan khas di lahan gambut
4. Pembukaan lahan gambut menimbulkan dampak menurunnya produksi di
sektor perikanan, kondisi ini dapat dilihat dari hilangnya beje dan tatah
(teknik penangkapan ikan secara tradisional) di beberapa desa seperti di
Dadahup, Terantang, dan Lamunti. Sebelum proyek PLG dilaksanakan
produksi ikan dari beje dan tatah di daerah kajian sekitar 500 – 2000
kg/beje/tahun dengan total produksi sekitar 2000 ton/tahun atau senilai 10
milyar rupiah. Namun setelah proyek PLG dilaksanakan, pada tahun 2000
produksi beje yang masih tersisa menurun sangat drastis antara 5 – 150 kg
ikan/beje atau sekitar 10 – 20 ton ikan senilai 75 juta rupiah
(Kartamihardja dan Koeshendrajana 2001).
5. Dampak sosial bagi masyarakat lokal yaitu hilangnya sumber pendapatan
dari hasil hutan seperti karet, berbagai jenis tanaman obat, satwa buruan,
serta “purun” yaitu jenis tanaman yang digunakan untuk membuat tikar,
serta berkurangnya lahan perikanan dan menurunnya hasil tangkapan ikan,
kondisi ini mengakibatkan menurunnya pendapatan masyarakat lokal di
sekitar proyek PLG secara drastis.
6. Proyek PLG melanggar sistem tata ruang yang sudah disepakati
masyarakat adat, karena masyarakat mempunyai zonasi tata guna lahan
sendiri yaitu 3 kilometer dari pinggiran sungai, berupa lahan subur yang
diijinkan untuk kegiatan budidaya, dan lebih dari 3 kilometer hingga 5
kilometer adalah hutan adat yang dimiliki secara komunal yang dapat
dimanfaatkan berdasarkan kesepakatan adat.
7. Proyek ini menyisakan berbagai masalah sosial dan lingkungan, seperti
nasib buruk para transmigran yang pada umumnya belum menguasai
pengolahan pertanian lahan basah, dan masyarakat setempat tergusur dari
lahannya.
8. Pembukaan lahan gambut yang tidak memperhatikan kelestarian, kaidah
lingkungan dan pembangunan saluran serta penempatan permukiman yang
tidak diimbangi dengan penataan ruang yang baik mengakibatkan
kerusakan ekosistem dan hutan tropika basah (tropical rainforest) menjadi
lahan terbuka.

a. MIFEE di Merauke, Papua


Pada masa pemerintahan Presiden SBY, ide untuk membangun food estate
kembali muncul dan diwacanakan melalui program Merauke Integrated Food and
Energy Estate (MIFEE) yang disahkan pada 11 Agustus 2010 oleh Kementerian
Pertanian. Rancangan pembangunan ini bertujuan menghasilkan produk pangan
dan biofuel untuk pasar domestik maupun internasional sebagai bentuk
pembangunan ekonomi komprehensif. Pembangunan MIFEE turut menuai kritik
dari LSM, 7 akademisi, dan institusi riset karena pemerintah dianggap
mengabaikan eksternalitas negatif seperti deforestasi, kehilangan keanekaragaman
hayati, konflik sosial, dan tekanan atas kehidupan masyarakat sekitar (ICEL
2020). Proyek MIFEE memiliki dampak lingkungan yang “terbatas” disebabkan
lokasinya berada di lanskap sabana Papua bagian selatan. Namun, karena 75
persen dari lahan yang dialokasikan untuk proyek ini terdiri dari hutan dengan
350.000 hektar lahan gambut, proyek ini dinilai akan menyebabkan degradasi
lingkungan dalam skala besar (Ginting and Pye 2013).
b. DeKaFe di Kalimantan
Pada tahun 2011 proyek food estate di Kabupaten Bulungan, Kalimantan
Timur (sekarang Kalimantan Utara) sebagai salah satu program Pemerintah Pusat
untuk mewujudkan ketahanan pangan yaitu Delta Kayan Food Estate (DeKaFE).
Proyek ini mulanya direncanakan pada lahan seluas 50,000 hektar dan 30,000
diantaranya merupakan tanah subur dengan tipe tanah alluvial (ICEL 2020).
Proyek DeKaFe ini berdampak terhadap petani transmigran karena mereka harus
kehilangan tanahnya disebabkan harus berhadapan dengan perampasan lahan oleh
korporasi sawit yang difasilitasi oleh pemerintah daerah. Ekspansi kelapa sawit
telah menyebabkan proses pemindahtanganan tanah secara cepat. Petani
transmigran tidak hanya kehilangan lahannya, tapi juga harus menghadapi gagal
panen akibat daya dukung lahan yang tersisa rusak akibat degradasi lingkungan
(McCarthy and Obidzinski 2015). Tumpang tindih antara kawasan hutan dan
permukiman transmigrasi di Bulungan, Kalimantan Utara yang belum
terselesaikan menyebabkan penghidupan petani transmigran menjadi terancam.
Petani transmigran terancam dipidanakan disebabkan menempati lokasi yang
masih berstatus sebagai wilayah kawasan hutan (Bidang Transmigrasi Dinas
Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur 2013).

3. Analisis Hukum Food Estate


Dasar hukum yang digunakan pemerintah dalam menyediakan dan
memanfaatkan kawasan hutan untuk pembangunan food estate adalah Permen LHK
24/2020. Melalui peraturan tersebut terdapat dua cara yang dapat ditempuh, yaitu (1)
melalui perubahan peruntukan kawasan hutan, atau (2) melalui penetapan Kawasan Hutan
untuk Ketahanan Pangan (KHKP). Permohonan untuk kedua cara tersebut diajukan
kepada Menteri LHK dengan tembusan ke Sekretaris Jenderal (Sekjen) dan Direktorat
Jenderal (Dirjen). Sedangkan, pihak yang dapat mengajukan adalah menteri, kepala
lembaga, gubernur, bupati/walikota, atau kepala badan otorita. Dari 2 mekanisme yang
bisa diajukan dalam pemanfaatan kawasan hutan untuk pembangunan food estate terdapat
beberapa syarat yang harus dipenuhi, sesuai dengan ketentuan yang ada pada Permen
LHK 24/2020.
Permohonan perubahan peruntukan kawasan hutan harus memenuhi beberapa
syarat sebagai berikut (1) Mengajukan pernyataan komitmen berisi: (a) Penyelesaian tata
batas areal, (b)UKL-UPL dan Izin Lingkungan, (c)Pengamanan kawasan HPK yang
dilepaskan. (2) Memenuhi persyaratan teknis yang terdiri dari: (a) KLHS/KLHS cepat,
(b) Proposal dan rencana teknis, (c) Peta permohonan perubahan peruntukan kawasan
hutan (d) Laporan dan rekomendasi hasil penelitian, (e) Peta lokasi pencadangan HPK
Tidak Produktif, (f) Pakta Integritas. (3) Memenuhi syarat kawasan hutan yang dapat
diubah peruntukannya, yaitu pada kawasan HPK yang memenuhi kriteria, (a) tidak
dibebani izin, tidak berada pada KHDTK, (b) dibebani izin pemanfaatan hutan setelah
dikeluarkan dari areal kerjanya, (c) tidak produktif dan/atau produktif, (d) tidak produktif,
dapat berada di areal yang telah ataupun belum dicadangkan untuk redistribusi tanah
untuk reforma agraria.
Untuk mekanisme penetapan KPHP sendiri beberapa syarat yang harus terpenuhi
yaitu: (1) Mengajukan pernyataan komitmen berisi, (a) Master Plan pengelolaan KHPK
yang terdiri dari rencana pengelolaan dan Detailed Engineering Design (DED), (b)
Penyelesaian tata batas areal, (c) UKL-UPL dan Izin Lingkungan, (d) Mengganti biaya
investasi tanaman kepada pengelola/pemegang izin. (2) Memenuhi persyaratan teknis
yang terdiri dari: (a) KLHS/KLHS cepat (b) Proposal dan rencana teknis, (c) Peta
permohonan penetapan KHKP, (d) pakta Integritas. 3 Kawasan hutan yang dapat
ditetapkan sebagai KHPK adalah kawasan hutan lindung yang sudah tidak sepenuhnya
berfungsi lindung sesuai ketentuan peraturan perundang-undangan atau kawasan hutan
produksi. Dapat dilakukan pada kawasan hutan: (a) telah dibebani hak pengelolaan oleh
BUMN bidang kehutanan, (b) telah dibebani izin pemanfaatan hutan setelah dikeluarkan
dari areal kerjanya dan (c) telah dicadangkan atau dibebani izin Perhutsos atau telah
dicadangkan untuk TORA.
Permen LHK 24/2020 mengatur bahwa hutan lindung yang sudah tidak
sepenuhnya berfungsi lindung dapat digunakan untuk pembangunan food estate. Bahkan
dalam hal pengelolaan KHKP, Keputusan Menteri tentang Pengelolaan KHKP dapat
berlaku sebagai Izin Pemanfaatan Kayu. Hal ini memiliki dua konsekuensi. Pertama,
hutan lindung dapat dimanfaatkan sebagai lahan food estate. Kedua, kayu yang terdapat
di dalamnya dapat ditebang dan dimanfaatkan. Lantas apakah kedua hal ini diperbolehkan
oleh peraturan yang lebih tinggi di atasnya?
Ketentuan tersebut jelas bertentangan dengan UU Kehutanan yang mengatur
secara terbatas pemanfaatan hutan lindung, yaitu untuk pemanfaatan kawasan, jasa
lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu. Ketiga jenis pemanfaatan tersebut
dilakukan dengan syarat tidak mengurangi fungsi utama kawasan, dilakukan demi
kesejahteraan masyarakat, sekaligus menumbuhkan kesadaran masyarakat untuk menjaga
dan meningkatkan fungsi lindung hutan.
Pertanyaan selanjutnya, termasuk dalam kategori manakah kegiatan food estate?
Apakah termasuk dalam kategori pemungutan hasil hutan bukan kayu? Padahal sudah ada
batasan tegas yang diatur dalam PP mengenai apa saja bentuk-bentuk hasil hutan bukan
kayu. Lantas bagaimana dengan sifatnya yang strategis sebagai pembangunan di luar
kepentingan kehutanan? UU Kehutanan juga telah mengatur kepentingan pembangunan
di luar kehutanan yang dapat dilaksanakan di dalam kawasan hutan lindung dan hutan
produksi ditetapkan secara selektif.
Kegiatan-kegiatan yang dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan serius dan
mengakibatkan hilangnya fungsi hutan yang bersangkutan dengan tegas dilarang. Satu
catatan penting lainnya adalah ketentuan Pasal 30 ayat (1) Permen LHK 24/2020 yang
mengatur bahwa Keputusan Menteri tentang Pengelolaan KHKP dapat berlaku sebagai
Izin Pemanfaatan Kayu (IPK). Hal ini berarti pepohonan yang berada dalam kawasan
hutan lindung dapat ditebang dan dimanfaatkan kayunya dengan dasar KHKP yang
berlaku sebagai IPK tersebut. Padahal mengacu kepada UU Kehutanan, dalam kawasan
hutan lindung hanya hasil hutan bukan kayu yang boleh dimanfaatkan secara terbatas.
Selain itu merujuk pada definisinya, hutan lindung adalah kawasan hutan yang
mempunyai fungsi pokok perlindungan sistem penyangga kehidupan, mengatur tata air,
mencegah banjir, mengendalikan erosi, dan sebagainya. Definisi ini tidak akan dapat
dicapai apabila pepohonan yang ada di dalamnya dapat dengan bebas ditebang.
Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) dalam UU No. 32 Tahun 2009
Tentang Perlindungan Dan Pengelolaan Lingkungan Hidup dalam Pasal 10 didefinisikan
sebagai rangkaian analisis yang sistematis, menyeluruh, dan partisipatif untuk
memastikan bahwa prinsip pembangunan berkelanjutan telah menjadi dasar dan
terintegrasi dalam pembangunan suatu wilayah dan/atau kebijakan, rencana, dan/atau
program. Dalam Permen LHK 24/2020 tentang penyediaan kawasan hutan untuk
pembangunan food estate, diatur bahwa salah satu persyaratan teknis dari perubahan
peruntukan kawasan hutan atau penetapan Kawasan Hutan untuk Ketahanan Pangan
(KHKP) adalah harus dilampirkannya KLHS atau KLHS Cepat sebagai salah satu
instrumen perlindungan dan pengelolaan lingkungan dalam penerapan proyek food estate
(Wongkar 2020). Terdapat dua permasalahan dalam ketentuan ini. Pertama adalah tidak
dijelaskannya pembagian proyek manakah yang menggunakan KLHS dan proyek mana
yang menggunakan KLHS Cepat. Kedua, tidak ditemukannya definisi dari terminologi
KLHS Cepat termasuk bagaimana mekanisme KLHS Cepat dalam proyek ini akan
dijalankan.
Apabila KLHS Cepat yang dimaksud KLHK kemudian adalah metode cepat
KLHS, maka peraturan rujukan dapat mengacu pada Surat Edaran Bersama Menteri
Dalam Negeri dan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor 660/5113/SJ dan
04/MENLH/12/2010 tentang Pelaksanaan KLHS RTRW dan RPJM Provinsi. Dalam
surat edaran tersebut diperkenalkan tiga metode dalam pengkajian KLHS, yakni metode
cepat (quick appraisal), penilaian semi detil (semi-detailed assessment) dan detail (KLHS
sebagaimana diatur dalam UU 32/2009 dan Permen LHK 27/2009). KLHS Cepat
merupakan proses penilaian satu isu berdasarkan pertimbangan ahli yang sifatnya
cenderung kualitatif (Sukarsa 2017). Terkhusus pada metode cepat KLHS, diatur bahwa
metode cepat KLHS diterapkan apabila dibutuhkan penilaian yang cepat terhadap K/R/P
yang hendak dibangun, adanya keterbatasan waktu dan sumber daya, tekanan publik yang
tinggi, tidak tersedianya data yang mencukupi, dan situasi darurat (Wongkar 2020).
Berangkat dari cakupan data yang tidak lengkap, maka KLHS Cepat akan mengandalkan
pengalaman dan pandangan para pakar yang terlibat dalam pengkajian (Sukarsa 2017).
Dalam rancangan program food estate yang akan dibangun, Permen LHK
24/2020 menjelaskan bahwa akan menggunakan instrumen KLHS Cepat dalam
Perubahan Peruntukan Kawasan Hutan dan Penetapan KHKP. Pada rancangan program
tersebut. KLHK menargetkan bahwa maksud dan tujuan penggunaan KLHS Cepat adalah
untuk mempertimbangkan keberlanjutan fungsi lahan pangan, tata air, ekosistem dan
kelestarian lingkungan melalui formulasi strategi perlindungan lingkungan
(environmental safeguard), kebijakan pendukung (enabling policy), langkah-langkah
pengendalian pencemaran dan kerusakan lingkungan, serta arahan monitoring dan
evaluasi keberlanjutan agar program pengembangan pangan nasional dapat dilakukan
dengan tetap menjamin keberlanjutan proses, fungsi dan produktivitas lingkungan hidup
serta menjamin keselamatan, mutu hidup dan kesejahteraan masyarakat. Sayangnya, tidak
ada penjelasan yang komprehensif mengapa pada akhirnya Pemerintah memilih KLHS
Cepat sebagai instrumen yang akan digunakan. Apakah dikarenakan minimnya data atau
terdapat alasan lain? Jikalau memang minimnya data adalah alasan pemilihan KLHS
Cepat sebagai salah satu instrumen, maka sejatinya pemilihan KLHS Cepat untuk
program food estate ini tidak tepat. Hal ini karena minimnya data dan mengacu kepada
rekam jejak food estate, maka pemilihan KLHS cepat cenderung bersifat spekulatif dan
memberikan ruang yang besar bagi ketidakpastian (Eryan 2020).
Pada dasarnya metode KLHS Cepat merupakan sebuah permasalahan. Pasalnya,
perumusan KLHS semacam itu berpotensi menghilangkan esensi dan signifikansi KLHS
sebagai dasar pengambilan keputusan strategis dengan menjadikan KLHS sebagai proses
teknokratik dan administratif semata. Lebih jauh, kriteria penerapan KLHS Cepat
tidaklah relevan diterapkan pada proyek food estate. Hal ini didasarkan oleh beberapa
pertimbangan sebagai berikut (Wongkar 2020):
1. Organisation for Economic Co-operation and Development (OECD) menjabarkan
bahwa pengkajian terhadap KLHS perlu dilakukan secara hati-hati, menyeluruh dan
komprehensif guna mengetahui apakah kapasitas lingkungan yang ada mampu
menampung proyek strategis yang hendak dibangun.
2. Indonesia sebagai negara agraris dengan sistem pertanian lokal yang berkelanjutan,
telah memiliki pengetahuan serta areal-areal persawahan yang tersebar di seluruh
Indonesia yang kian lama semakin tergerus adanya industrialisasi. Solusi atas krisis
pangan Indonesia adalah melalui penguatan potensi, baik dari segi kualitas maupun
kuantitas petani Indonesia, bukan dengan mencetuskan program pangan baru yang
sarat keberpihakan pada kaum pemilik modal. Artinya proyek ini dirancang tidak
didasarkan atas keterbatasan sumber daya, melainkan justru menambahkan aktor lain
dalam perwujudan ketahanan pangan dengan membentuk jurang relasi kuasa yang
besar bagi kedua aktor yang terlibat (petani dan pengusaha). Hal ini menjadikan
petani berpotensi semakin tidak dapat bersaing dengan kekuatan modal yang
didukung oleh pemerintah tersebut. Keterbatasan waktu dan situasi darurat
merupakan suatu hal yang dapat dikatakan mengada-ada karena proyek food estate
sejatinya telah dirancang jauh sebelum wabah Covid-19 masuk di Indonesia.
Selanjutnya, tidak ditemukan pula tekanan publik manapun terhadap berjalannya
proyek food estate ini. Proyek ini banyak ditolak dari pihak masyarakat akibat
tendensinya yang sangat berpihak pada kaum investor atau pemilik modal.
3. Alasan penggantian metode detil KLHS dengan metode cepat KLHS yang kemudian
juga diterapkan dalam proyek food estate disebabkan ketidaktersediaan data
merupakan suatu bentuk kesesatan berpikir. Eksistensi KLHS difungsikan sebagai
dasar pengkajian, pembentukan alternatif dan rekomendasi kebijakan tata ruang dan
pembangunan untuk menjamin keberlanjutan. Sebagai sebuah dokumen kajian
ilmiah, maka representasi data menjadi penting untuk pengkaji dapat sampai pada
kesimpulan apakah suatu proyek dapat dijalankan atau tidak dengan memperhatikan
daya dukung dan daya tampung lingkungan di lokasi tersebut. Ketidaktersediaan
data seharusnya menjadi alasan mendasar tidak diberikannya keputusan atas suatu
proyek tertentu.
Dalam kaidah hukum lingkungan, kebijakan pengkajian menggunakan metode cepat
KLHS, merupakan pelanggaran sistematis terhadap prinsip kehati-hatian (precautionary
principle) karena jika terdapat ketidakpastian mengenai dampak suatu usaha dan/atau
kegiatan karena keterbatasan ilmu pengetahuan dan teknologi, maka pemerintah tidak
boleh memberikan akses legal terhadap usaha dan/atau kegiatan tersebut untuk dapat
berjalan. Hal tersebut akan menimbulkan kerugian yang belum dapat dipahami.
Pemilihan metode cepat KLHS sebagai instrumen pengkaji dampak lingkungan hidup
untuk program food estate tidak akan dapat berfungsi untuk menjamin keberlanjutan
fungsi lahan dan kelestarian lingkungan dan KLHS cepat merupakan reduksi sistematis
terhadap esensi dari KLHS itu sendiri (Wongkar 2020).
Hal yang serupa juga diungkapkan oleh Walhi (2021) lewat tanggapannya
mengenai Kalimantan Tengah yang telah memasuki tahap pembahasan awal KLHS untuk
food estate. WALHI menyatakan bahwa mereka menangkap kesan bahwa KLHS hanya
dijadikan justifikasi untuk pembukaan food estate (Walhi 2021). Dalam kasus nyata di
Kalimantan Tengah, melalui paparan Kementerian Pertahanan pada paparan awal KLHS
Cepat (Marie 2020), disebutkan setidaknya 486.164 Ha lahan awal di Kalimantan Tengah
berasal dari Kawasan Hutan (Lahan AOI, Blok Katingan, Kapuas, Blok Gunung Mas).
Namun, kenyataanya proyek tersebut memiliki berbagai masalah. Proyek yang dipimpin
oleh Kementerian Pertahanan di wilayah Kabupaten Gunung Mas Kalimantan Tengah
untuk komoditas Singkong ini telah membuka sekitar 700 hektar hutan alam di kawasan
hutan produksi dalam lima bulan terakhir tanpa ada dokumen AMDAL. Selain itu,
proyek ini juga telah menabrak berbagai aturan termasuk kewajiban atas dokumen
legalitas kayu (SVLK) dan Izin Pemanfaatan Kayu yang justru akan menghancurkan
hutan alam dan mencederai komitmen pemerintah untuk mengatasi perubahan iklim dari
sektor kehutanan dan tata guna lahan (Walhi 2021). KLHS setelahnya menjadikan hasil
kajian KLHS menjadi tidak diindahkan, meskipun hasil KLHS telah menyatakan bahwa
proyek tersebut memiliki dampak yang signifikan terhadap lingkungan di sekitarnya
(McDonnell 2020). Walhi sangat menyayangkan berbagai kasus tersebut karena
seharusnya KLHS dijadikan sebagai dasar dalam penyusunan kebijakan, rencana, dan
program, bukan hanya menjadi tahapan administratif dalam sebuah proyek (Walhi 2021).

4. Dampak Food Estate bagi Hutan dan Lingkungan


Terbitnya Peraturan Menteri [Permen] Nomor
P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk
Pembangunan Food Estate menjadi sorotan sejumlah pegiat lingkungan. Program ini
dinilai berpotensi mendorong laju deforestasi di Indonesia, terutama hutan di Sumatera,
Kalimantan, dan Papua. Uli Arta Siagian, Direktur Genesis Bengkulu mengatakan,
pengalaman selama ini menunjukkan, pelepasan kawasan hutan sering berujung pada
kerusakan lingkungan hidup. Beliau juga mengatakan bahwa permen tersebut sangat
berpotensi mempercepat laju deforestasi dan merusak lingkungan hidup (Supardi 2020).
Hutan memiliki peran untuk menyimpan cadangan-cadangan karbon secara besar
dan mampu menyerap karbon dioksida berlebih yang ada di udara dan mengkonversinya
menjadi oksigen melalui proses fotosintesis yang dapat menyimpan karbon lebih dari dua
ratus miliar ton. Deforestasi berpengaruh sangat besar terhadap perubahan iklim yang
berkaitan dengan karbon-karbon yang ada di udara dan pada tanah gambut jika
kehilangan pohon di atasnya maka akan melepaskan karbon yang tersimpan ke udara
(Septiyan 2019). Organisasi lingkungan, Walhi, menyebut proyek food estate atau
lumbung pangan di Kalimantan Tengah seluas 165.000 hektar mengancam lahan gambut
sehingga berpotensi menimbulkan kebakaran lahan. Kebijakan tersebut akan merusak
fungsi hutan lindung untuk mencegah bencana banjir dan longsor. Walhi juga menyebut
aturan terkait penggunaan hutan lindung ini tidak memperhitungkan dampak lingkungan
dan memberikan keleluasaan penuh kepada korporasi karena tak mengharuskan membuat
Analisis Dampak Lingkungan (Amdal) (Anonymous 2020).
Kebakaran hutan atau lahan gambut secara nyata berpengaruh terhadap
terdegradasinya kondisi lingkungan, kesehatan manusia dan aspek sosial ekonomi bagi
masyarakat. Degradasi kondisi lingkungan yang dimaksud adalah berubahnya kualitas
fisik gambut (penurunan porositas total, penurunan kadar air tersedia, penurunan
permeabilitas dan meningkatnya kerapatan lindak), berubahnya kualitas kimia gambut
(peningkatan pH, kandungan N-total, kandungan fosfor dan kandungan basa total, yaitu:
kalsium, magnesium, kalium, dan natrium, tetapi terjadi penurunan kandungan C-
organik), terganggunya proses dekomposisi tanah gambut karena mikroorganisme yang
mati akibat kebakaran, suksesi atau perkembangan populasi dan komposisi vegetasi hutan
juga akan terganggu (benih-benih vegetasi di dalam tanah gambut rusak/terbakar),
sehingga akan menurunkan keanekaragaman hayati, rusaknya siklus hidrologi
(menurunkan kemampuan intersepsi air hujan ke dalam tanah, mengurangi transpirasi
vegetasi, menurunkan kelembaban tanah, dan meningkatkan jumlah air yang mengalir di
permukaan (surface run off), dan lahan gambut yang terbakar akan menghasilkan emisi
karbondioksida dalam jumlah besar (Rahmat 2014).
Emisi yang tinggi dapat menyebabkan berbagai dampak serius diantaranya yaitu:
Pertama, suhu mengalami peningkatan sejak 1990 sekitar 0,3 Derajat Celcius pada
keseluruhan muslim. Kedua, meningkatnya 2 sampai 3 % intensitas curah hujan setiap
tahunnya dan meningkatnya resiko bencana banjir secara signifikan. Ketiga,
menimbulkan ancaman pangan dari akibat yang ditimbulkan dari perubahan iklim yang
ekstrem, Keempat, permukaan air laut yang naik tentunya dapat menyebabkan
tergenangnya daerah-daerah produktif pantai dan memberikan pengaruh terhadap
penghidupan di daerah pantai. Kelima, bertambah hangatnya air laut memberi pengaruh
terhadap kehidupan hayati laut dan menimbulkan ancaman pada terumbu karang.
Keenam, menimbulkan berbagai penyakit yang dapat berkembang biak melalui media air
dan vektor yaitu penyakit malaria dan demam berdarah (Wahyuni dan Suranto 2021).
Direktur Walhi Kalimantan Tengah, Dimas Hartono, menyebut proyek food
estate atau lumbung pangan di Kabupaten Pulang Pisau dan Kapuas berpotensi merusak
lahan gambut yang sedang direhabilitasi. "Jika lahan gambut itu dirusak lagi berdampak
pada lokasi-lokasi yang gambutnya bagus dan menambah rentetan kebakaran," ujar
Direktur Walhi Kalimantan Tengah, Dimas Hartono (Anonymous 2020). Lahan gambut
memiliki peran yang sangat penting dalam menopang kehidupan manusia dan makhluk
lainnya. Lahan gambut tidak hanya berfungsi secara langsung dalam menyokong
kehidupan yaitu sebagai sumber pakan dan habitat bagi berbagai makhluk, tetapi juga
memiliki fungsi ekologi seperti pengendali banjir dan pengendali perubahan iklim global.
Lahan gambut memiliki sifat yang khusus yaitu sulit untuk pulih apabila terganggu. Hal
ini disebabkan oleh proses pembentukan lahan gambut dari hasil pembusukan vegetasi
yang berlangsung selama ribuan tahun, sehingga perlindungan terhadap ekosistem lahan
gambut penting diterapkan dengan mengelolanya secara bijak dan memperhatikan
keseimbangan ekologi, melalui pengelolaan yang terintegrasi. Lahan gambut
mengandung karbon yang sangat besar yang mempengaruhi pola iklim di muka bumi.
Oleh karena itu lahan gambut harus dijaga kelestariannya dari berbagai penyebab
kerusakan seperti deforestasi/konversi, kebakaran dan drainase yang menyebabkan
pemadatan serta subsidensi (Wibowo 2009).
Pakar Manajemen Risiko Iklim dari Institut Pertanian Bogor (IPB), Rizaldi Boer
mewanti-wanti ancaman kerusakan lingkungan terkait megaproyek food estate atau
lumbung pangan yang digencarkan pemerintahan Presiden RI Joko Widodo (Jokowi).
Menurut Rizal, proyek lumbung pangan Jokowi akan mengancam dua syarat utama agar
Indonesia memenuhi komitmen global dalam perbaikan iklim lewat Nationally
Determined Contribution (NDC). Dua syarat tersebut adalah penurunan luas deforestasi
hutan dan perbaikan pengelolaan lahan gambut.
SINYAL MERAH PROGRAM MIFEE: PERTIMBANGAN FOOD
ESTATE UNTUK MASYARAKAT ADAT
Kepercayaan umum memiliki batas dan rasionalitas. Tidak semua harus diterima,
konsekuensi yang diterima masa lalu atas kepahitan MIFEE masih membekas dan
memberikan sinyal merah dengan jelas. Food Estate untuk siapa? Untuk
kemaslahatan atau untuk maniak nafsu kerugian?

Merauke Integrated Food and


Energy Estate (MIFEE)

Dampak:
Land Grabbing
(Bollin 2010, Borras Hutan Terkonversi, 1. Masyarakat
& Franco (2012) dan berubah kehilangan “kintal-
fungsinya. kintal” atau hak
Terdapat indikasi ulayat.
krisis pangan dan
2. Pencemaran
ketahanan pangan di
lingkungan.
suatu negara atau
Aktor dan 3. Perekonomian
tuntutan dunia.
kepentingannya masyarakat
terhadap terganggu.
lingkungan (Bryant 4. Pangan lokal
& Bailey 1997) terganggu.
5. Kebudayaan
1. Pemerintah
menghilang.
2. Perusahaan
3. LSM
4. Masyarakat

Masyarakat Marind di kampung Zanegi, merasakan dampak lingkungan,


sosial, ekonomi, dan budaya terkait adanya MIFEE. Penyebabnya adalah konversi
hutan yang mengakibatkan perubahan fungsi hutan. Ironinya, status kepemilikan
berpindah tangan yang menyebabkan akses dan kontrol hutan oleh masyarakat
kampung Zanegi menjadi hilang Marjinalisasi ini perlu mendapat perhatian
karena ekslusi terhadap masyarakat Marind tidak terelakan, sehingga food estate
yang dicanangkan pemerintah pada Merauke nanti belum mempertimbangkan
sinyal merah yang berbahaya. Sinyal merah yang dimaksud adalah peringatan
ironi atas dampak dari adanya MIFEE yang terjadi tahun 2010 silam.
1. Manifestasi Aktor-Aktor Food Estate
`Aktor merupakan individu, kelompok, atau organisasi dengan
kepentingannya terhadap sesuatu hal yang sama, untuk kasus MIFEE maka
sesuatu itu adalah terkait lahan dan program MIFEE (Bryant & Bailey 1997).
Analisis aktor penting dilakukan untuk melihat sejauh mana peran tersebut
berpengaruh terhadap suatu lingkungan. Misalnya, dalam meperebutkan sebidang
tanah, maka individu/kelompok/organisasi yang memiliki karakteristik concern
yang berbeda memiliki pandangan dan motivasi tertentu. Tanah tersebut bisa saja
digunakan untuk berkebun oleh suatu perusahaan, dijadikan tempat upacara adat
oleh masyarkat adat, atau diberikan sebagai Hak Guna Usaha (HGU) oleh
pemerintah melalui regulasinya.

Tabel 1 Kerangka Umum Aktor dan Kepentingannya


Aktor Indikasi Kepentingan
Pemerintah (Pemerintah Pusat Setuju akan 2. Menentukan investor mana saja yang
dan Pemerintah adanya MIFEE memiliki hak guna terkait lahan di
Daerah/Kabupaten) kampung Zanegi. Berdasarkan informasi
milik BAPINDA kabupaten Merauke
2010, terdapat 36 perusahan yang
berinvestasi.
3. Presiden SBY merencanakan program
MIFEE bersama dengan menteri
pertanian.
4. Mengerahkan aparat untuk melindungi
wilayah tenurial dari lahan MIFEE dari
intervensi pihak luar.
5. Melindungi investor dengan adanya
Peraturan Pemerintah no 49 tahun 1996
tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna
Bangunan, dan Hak Pakai. Sehingga PT
SIS memiliki kontrak selama 35 tahun
untuk menguasai tanah.

Perusahaan (PT SIS) Setuju akan Memiliki akses lahan seluas 169.000 Ha pada
adanya MIFEE perjanjian tertulis, namun pada faktanya
mengambil lahan sebanyak 301.600 ha.
Artinya tidak sesuai dengan perjanjian kepada
masyarakat zanegi yang diberikan di awal.
Lembaga Swadaya Masyarakat Menolak akan Mengawal dan memperjuangkan hak
atau LSM (Yayasan Pusala, adanya MIFEE masyarakat Marind atas tanah dan sistem
Yasanto, WWF, dan SKP. penghidupan yang layak.
KAME)
Masyarakat Marind (Kampung Menolak akan 1. Menganggap hutan adalah sebagai
Zenegi, Kabupaten Merauke) adanya MIFEE mama, karena menyediakan seluruh
sumberdaya yang mencukupi kehidupannya
mulai dari sagu, kayu, rusa, dan lainnya.
2. Memiliki kintal-kintal yang bermakna
lahan dari marga di Marind.

Aktor-aktor yang berkonstelasi akan mengalami dinamika seiring dengan


perkembangan isu. Misalnya LSM, saat awal isu mencuat pengawalan cenderung
lebih kuat. Masyarakat dan LSM menyuarakan terkait hak atas hutan adat
langsung kepada perusahaan. Namun, ketika pengawalan itu masih memperteguh
kekuatan PT SIS dalam melaksanakan perannya, yaitu mengeksploitasi hutan
milik masyarakat Marind untuk keperluan implementasi ketahanan pangan,
MIFEE masih akan terus dilaksanakan dengan mengaplikasikan teknologi 4.0 di
bidang pertanian. Food estate akan tetap mendapatkan beberapa penolakan dari
berbagai kalangan. Menurut Raimondo dalam presentasinya di webinar Mari
Bertemu tanggal 26 Juni 2021 program ini masif mengubah pola tatanan yang
jauh telah dimiliki oleh masyarakat adat. Bagi masyarakat adat, pertanian dikelola
secara kekeluargaan (family-based food production). Bahkan masih memelihara
prinsip gotongroyong/kolektif. Sedangkan konsep food esatate yang
dikembangkan pemerintah corporate-based food production, justru pola yang
demikian mengingkari dan semakin meminggirkan masyarakat adat.
Presentasi yang disampaikan oleh Cahyono (2021) dalam acara Webinar
Mari Bertemu pada tanggal 26 Juni 2021 ada 5 ancaman kedaulatan pangan
nasional dan salah satunya yaitu New MIFEE: Rezim Industri Food Estate. Hal
itu menjelaskan bahwa Food estate dianggap sebagai new MIFEE yang kita tahu
bahwa MIFEE adalah program pemerintah yang tidak berhasil alias gagal,
sehingga dalam peryataan tersebut Cahyono (2021) dengan jelas menolak
program food estate
Aktor-aktor berikut diperkirakan akan menambah atau mengurangi
perannya masing-masing terkait dengan konstelasi food estate. Komposisi yang
mungkin pada aktor food estate antara lain:
1. Pemerintah, terdiri dari pemerintah pusat maupun daerah yang berperan
sebagai gerbang utama kebijakan dan perizinan akan dikeluarkan.
Sementara itu, intervensi dari luar akan direduksi lewat aparat atau
mungkin akan diberlakukan perubahan undang-undang terkait alihfungsi
lahan. Terdapat kemungkinan perubahan regulasi terkait food estate
mengenai sistem kepemilikan lahan.
2. Perusahaan, diperkirakan akan menambah jumlah perusahaan yang akan
berinvestasi karena proyek food estate terlihat menguntungkan pihak
korporasi.
3. LSM, akan meningkat kinerjanya apabila didukung oleh pihak-pihak yang
memang memiliki kesamaan tujuan untuk menolak food estate. Misalnya
kolaborasi akademisi, yang memberikan bukti dan analisis teori otentik
sehingga pengaduan-pengaduan akan lebih tajam.
4. Masyarakat, diperkirakan akan melemah apabila pendampingan dan
pencerdasan kian berkurang. Efek pandemi covid-19 yang semakin tinggi
mengkhawatirkan sosialisasi skala besar akan sulit dilakukan, sementara
penggunaan media daring berlum sepenuhnya merata. Pendampingan
diperkirakan masih efektif apabila LSM terdekat (kabupaten atau provinsi)
mampu mengkawal bersama sehingga masyarakat bisa menerapkan
gerakan akar rumput.
5. Akademisi, diperkirakan akan mengalami peningkatan dengan beberapa
ulasan ilmiah beserta tuntutannya lewat policy brief atau jurnal-juranl.
Harapannya adalah memberikan edukasi dan pemahaman terkait dengan
adanya food estate. Perlu digarisbawahi, tentu tidak semua akademisi
kontra dengan food estate, ada sisi ilmiah argumen yang menyatakan
setuju terkait adanya food estate.
Aktor-aktor tersebut tidak jauh berbeda dengan aktor di MIFEE, namun
perkiraan peran dalam menghadapi situasi food estate sangat berbeda. Semakin
banyak penolakan yang terjadi, menandakan trust terkait food estate semakin
rendah. Dengan kata lain, eksistensi dan kredibilitasnya semakin turun dengan
adanya pembuktian MIFEE di kampung Zanegi. Selanjutnya kajian ini akan
menjelaskan sub bab kontrovesi teknologi 4.0 dan adopsi inovasi masyarakat
terkait food estate
2. Dampak MIFEE dan Food Estate di Merauke Bagi Masyarakat Adat
Rezim kepemilikan disinyalir akan menimbulkan perdebatan apabila
terjadi perubahan dari common property menjadi private proverty. Menurut
USAID (2006), common property merupakan subjek agraria yang dimiliki oleh
suatu komunitas umum. Sementara private property merupakan kepemilikan yang
dikhususkan oleh satu orang atau badan yang legal dari segi hukum. Berdasarkan
hal tersebut, MIFEE diindikasikan ada perubahan dari sistem tenurial yang semula
dimiliki oleh masyarakat Marind kemudian diakuisisi oleh perusahaan menjadi
kepemilikan yang private. Hal ini ditandai dengan adanya aparat POLRI dan TNI
yang menjaga wilayah dari PT SIS. Berdasarkan data yang didapatkan, wilayah
kabupaten merauke memiliki luas 4.707.720 Ha dengan komposisi hutan produksi
seluas 1.328.790 Ha, hutan konservasi 1.458.600 Ha, hutan lindung 283.670 Ha,
dan penggunaan lain seluas 217.210 Ha.
Program MIFEE secara total menggunakan 970.000 Ha untuk kayu
industri, 300.000 Ha sawit, dan tanaman pangan 69.000 Ha. Evaluasi dari
program MIFEE adalah tidak memasukan sagu sebagai pangan lokal dari
Merauke, sehingga timbul permasalahan untuk mendapatkan sagu karena fokus
dari program secara mengejutkan tidak mengedepankan tanaman pangan
lokal.Akibat dari adanya hutan yang disekap oleh korporasi menyebabkan
beberapa permasalahan yang menjadi isu yang perlu diperhatikan yaitu:
a) Perspektif budaya akan melihat bagaimana tahapan hilangnya sebuah
kebudayaan bila melihat dari kasus MIFEE dengan alat analisis yang
digunakan berdasarkan teori 7 unsur kebudayaan milik Koentjaraningrat.
b) Perspektif ekologi akan melihat dengan perbandingan paradigma ekologi
antara masyarakat Marind dengan korporasi dalam memandang
lingkungan.
c) Perspektif sosial lainnya akan menjelaskan terkait marginalisasi, dan
adopsi inovasi apabila nantinya akan dilakukan program serupa di
kabupaten Merauke ini. Kemudian dari perspektif ekonomi akan
menyinggung terkait strategi nafkah dan juga kerugian ekonomi yang
ditimbulkan dari adanya MIFEE.
Tabel 2 Analisis Teori dari Beragam Perspektif
Perspektif Penjelasan Analisis Teori

Budaya a) Merauke masih kental dengan eksistensi - Tujuh Unsur Kebudayan


kebudayaannya. Berdasarkan data, (Koentjaraningrat 2015)
kabupaten Merauke memiliki 20 distrik, 8 - Wujud Kebudayaan dan
kelurahan, dan 160 kampung. Malind Komponen Kebudayaan
merupakan salah satu suku yang ada di (Hoenigman dalam
Merauke, yang terletak di Kampung Zanegi. Koentjaraningrat 2000)
b) Wujud kebudayaan masyarakat Marind akan - Marginalisasi
menciptakan satu komponen utuh - Kearifan Lokal
kebudayaan yang khas. Misalnya, totemisme,
atau istilah mama untuk hutan. Hal tersebut
dimanifestasikan aturannya baik tertulis
maupun tidak tertulis, kemudian
diimplementasikan bagi seluruh masyarakat
yang terikat. Misalnya, totem dari marga
Mahuze adalah sagu. Maka tidak boleh
mengganggu eksistensi dari sagu, atau
bahkan ada kepercayaan bahwa Mahuze
tidak boleh memakan daging anjing.
Ekologi Manusia memiliki persepsi, ada yang liar dan ada - Paradigma Ekologi (Keraf
yang seenaknya, atau bahkan ada yang melindungi 2006)
dan sampai menganggapnya sebagai ibu. Hal - Property Rights Regime
demikian bisa dbandingkan bagaimana cara (USAID 2006)
pandang masyarakat Marind dengan korporasi
terkait MIFEE ini dengan subjek yang disentriskan
adalah hutan.
a) Masyarakat memiliki sistem pengetahuan dan
persepsi yang berbeda. Masyarakat kota,
masyarakat desa, dan masyarakat adat
Sosial memiliki beragam pemahaman yang berbeda
terkait suatu hal, ambil contoh dalam
keikutsertaan penyuluhan. - Teori dan Model Difusi
b) Masyarakat kota, yang cenderung lebih Inovasi (Rogers 2003)
kepada pekerja kantoran dan industri mungkin - Marginalisasi
akan kesulitan mendapatkan waktu yang pas
untuk melakukan penyuluhan. Masyarakat
desa, demikian banyak yang menaruh
perhatian besar tentang pembangunan yang
positif sehingga perlu diperhatikan
pendekatan yang dilakukan: tidak memaksa
dan sabar. Mungkin, tidak akan berbeda jauh
karakteristik persepsi penyuluhan masyarakat
desa dengan masyarakat adat. Hanya saja,
menghargai masyarakat adat akan jauh lebih
bermakna dan perlu usaha yang tidak instan.
Ekonomi Hutan tempat masyarakat Marind mencari daging - Kemiskinan
buruan dan tanaman kini menjadi berkurang, - Strategi Nafkah
akibatnya pangan dan mata pencaharian dari
berburu dan meramu menjadi sulit. Hal tersebut
membuat kemiskinan diindikasikan dapat menjadi
masalah gawat apabila hal demikian – hutan terus
hilang – terus berlanjut.

3. MIFEE dan Dieorientasi Kedudukan Hutan bagi Masyarakat Adat


Merauke memiliki estetika persepi terhadap lingkungan yang kuat. Salah
satu contohnya adalah totem yang merupakan perubahan wujud Dema ke dalam
bentuk binatang, tumbuhan, atau benda yang menjadi simbol kelompok atau
marga dari masyarakat Marind (Yarman et al. 2013). Misalnya Marga Gebze
dengan totem kelapa, Marga Mahuze dengan totem sagu, Marga Kaize dengan
totem kasuari, Marga Ndiken dengan totem burung ndik, sedangkan Marga
Samkakai dengan totem kanguru.
Fungsi dari totem tersebut adalah sebagai bentuk simbol sakral bagi
masing-masing marga. Totem tersebut perlu dihormati oleh setiap marga,
misalnya tindakan kasar kepada kelapa dan sagu dapat menimbulkan peperangan
antar marga dan bahkan dihukum mati (Keiya 2019). Hal ini menunjukan bahwa
cara pandang lingkungan bagi masyarakat Marind memiliki keterkaitan yang
sangat kuat terkait dengan paradigma ekologi bebasis Ekosentrisme yang melihat
bahwa alam yang terdiri dari biotik dan abiotik memiliki nilai dan perlu dihormati
eksistensinya (Keraf 2006). Fenomena tersebut dapat dijelaskan melalui
pendefinisian kearifan lokal yang akan dikelompokan sedikitnya definisi dari 3
tokoh yang berbeda lengkap dengan interpretasinya terhadap pandangan
masyarakat Marind dengan hutan atau totem.
Tabel 3 Keterkaitan Masyarakat Marind dengan Paradigma Ekosentrisme
Sumber Definisi Interpretasi
Rahyono (2009) Kearifan lokal merupakan sistem Turun-temurun menjadi kata kunci
pengetahuan (kecerdasan) khas untuk mengetahui jawaban: apakah
dan dimiliki oleh kelompok etnis suatu kebudayaan dapat hilang suatu
tertentu yang disosialisasikan hari?
kepada generasi selanjutnya.
Totem merupakan salah satu bentuk
kearifan lokal yang dimiliki oleh
masyarakat Marind. Kepercayaan ini
menyatakan bahwa setiap marga harus
menghormati totem dari marga lain,
misalnya tidak boleh mengganggu sagu
atas marga Mahuze.
Makna demikian adalah:
1) Sumberdaya alam memiliki nilai
yang sakral.
2) Eksploitasi merupakan tindakan
terlarang.
3) Cara masyarakat Marind
melestarikan lingkungan.
Demikian totemisme tersebut diturunkan
dari generasi satu ke generasi selanjutnya
melalui sosialisasi. Jika hutan hialng,
maka totemisme dikhawatirkan akan ikut
berubah eksistensinya. Karena beberapa
sumberdaya dari totem (misalnya sagu,
kelapa, dll) kebanyakan bersumber dari
hutan.
UU Nomor 32 Kearifan lokal adalah nilai-nilai Program MIFEE – atau bahkan food
tahun 2009 tentang luhur yang berlaku dalam tata estate – tidak serta merta diselenggarakan
Perlindungan dan kehidupan masyarakat untuk dalam waktu yang singkat, melainkan
Pengelolaan antara lain melindungi dan melalui beberapa regulasi yang memang
Lingkungan Hidup mengelola lingkungan hidup terkesan tidak konsisten dengan pasal di
secara lestari. (Pasal 1 ayat 30) samping. Berikut adalah kronologi dari
lahirnya program MIFEE dan food estate:
1) Pada tahun 2007,
Dalam perlindungan dan penandatanganan memorandum
pengelolaan lingkungan hidup, of understanding dilakukan oleh
Pemerintah bertugas dan bupati Merauke dengan
berwenang menetapkan kebijakan sejumlah investor untuk
mengenai tata cara pengakuan merealisasikan program
keberadaan masyarakat hukum Merauke Integrated Rice Estate
adat, kearifan lokal, dan hak (MIRE).
masyarakat hukum adat yang 2) Melalui Rencana Pembangunan
terkait dengan perlindungan dan Jangka Menengah Daerah
pengelolaan lingkungan hidup (RPJMD) Papua pada tahun
(Pasal 63 ayat (1)) 2006-2011 memberikan
beberapa bulir untuk
menciptakan kemudahan
investasi dan perdagangan
melalui lingkungan dengan
kemudahan izin dan keringanan
pajak (Ramadayanti 2020)
3) Peraturan Pemerintah (PP) No.
26 tahun 2008 tentang Rencana
Tata Ruang Wilayah Nasional,
Kabupaten Merauke dijadikan
sebagai kawasan andalan untuk
pengembangan pertanian dan
perkebunan.
4) Instruksi Presiden Nomor 1
Tahun 2010 tentang Percepatan
Pelaksanaan Prioritas
Pembangunan Nasional Tahun
2010, yang diantaranya
mengamanatkan penyusunan
Grand Design Food and Energy
Estate di Merauke.
5) Peraturan Presiden Nomor 32
Tahun 2011 tentang Masterplan
Percepatan dan Perluasan
Pembangunan Ekonomi
Indonesia 2011-2025 atau
MP3EI
Mitchell (2003) Kearifan lokal memiliki enam 1) Pengetahuan Lokal, misalnya
dalam Sedyawati dimensi, diantaranya adalah: pada masyarakat Marind
(2006) 1) Pengetahuan Lokal, pengetahuan lokal tercermin
yaitu cara pandang dan dalam paradigma Ekosetrisme
kecerdasan khas yang yang dianut.
dimiliki oleh masyarakat 2) Nilai Lokal, misalnya
setempat. perilaku yang melarang untuk
2) Nilai Lokal, yaitu tidak mengganggu totem
aturan-aturan tentang milik marga lain atau
tingkah laku dan merusak hutan.
perbuatan yang dibentuk 3) Keterampilan Lokal, misalnya
dan ditaati bersama. berburu rusa liar dan
3) Keterampilan Lokal, bercocok tanam sagu.
kemampuan suatu 4) Sumberdaya Lokal, yaitu
individu atau kelompok hutan.
dalam bertahan hidup 5) Mekanisme Pengambilan
untuk keluarganya atau Keputusan Lokal, dengan
dirinya, biasa disebut adanya kepala suku atau
sebagai ekonomi kepala adat.
substansi. 6) Solidaritas Kelompok Lokal,
4) Sumberdaya Lokal, ditandai dengan adanya sikap
yaitu sesuatu yang saling memiliki atas hutan,
dimiliki dan dapat dan totem dengan adanya
dimanfaatkan dengan marga-marga.
sebijak-bijaknya untuk
melangsungkan Berdasarkan hal tersebut, sudah dapat
kehidupan. Misalnya tergambar bahwa masyarkat Marind
adalah Hutan. memiliki kearifan lokal yang khas
5) Mekanisme dalam mengelola lingkungan.
Pengambilan
Keputusan Lokal, yaitu
pemerintahan kesukuan
dengan kepala suku yang
bijaksana.
6) Solidaritas Kelompok
Lokal, yaitu keeratan
hubungan satu sama lain
yang karena dasar
kesamaan tujuan dan
identitas sehingga
menimbulkan tindakan
gotong royong dan saling
melindungi atau
menghargai.

Wujud kebudayaan dari Masyarakat Marind sudah dibuktikan


keabsahannya. Menurut Koentjaraningrat (1993), wujud kebudayaan dapat dilihat
dari segi gagasan, aktivitas, dan artefak. Gagasan merupakan wujud kebudayaan
yang sifatnya abstrak dan tidak dapat dilihat secara langsung, biasanya berbentuk
suatu ide, pikiran, norma, atau aturan-aturan tertentu. Aktivitas merupakan wujud
kebudayaan yang dapat diidentifikasikan melalui sistem sosial yang ada, misalnya
cara berkomunikasi masyarakat. Artefak merupakan wujud kebudayaan yang
konkret menunjukan hasil dari gagasan atau aktivitas suatu masyarakat.
Masyarakat Marind memiliki wujud kebudayaan berupa Totem dan Hutan
Sebagai Mama. Ini merupakan dua contoh dari kebudayaan yang ada di Merauke.
Totem, memiliki gagasan berupa norma yang mengikat bagi seluruh marga yang
ada untuk menghormati totem-totem satu sama lain. Gagasan tersebut kemudian
diimplementasikan lewat suatu aktivitas terkait dengan tidak melakukan tindakan
terlarang (merusak totem misalnya) dan saling menghormati wujud totem satu-
sama lain. Artefak totemisme dapat dilihat dari wujud makhluk hidup yang
dimaksud, misalnya sagu, kelapa, burung, dan lainnya. Hal-hal tersebut
menunjukan bahwa kebudayaan memiliki satu keterkaitan dan kekhasan miliki
masyarakat Marind.
Hutan Sebagai Mama merupakan bentuk dari gagasan yang berupa norma
agar masyarakat bertingkah laku dengan baik terhadap alam. Aktivitas yang
diperkenankan dapat dengan tidak semena-mena terhadap alam, misalnya tidak
merusak hutan karena sama saja dengan menyakiti mama. Artefak yang dapat
dilihat adalah berupa hutan. Kebudayaan yang khas tersebut tentu memiliki kaitan
yang besar dengan hutan. Pada kesempatan ini, program MIFEE banyak
melakukan tindakan eksklusi masyarakat Marind dengan hutan adat yang dinilai
sakral tersebut. Sebanyak 1,2 juta hektar wilayah MIFEE tentu akan menyeret
habis luas hutan milik masyarakat Marind. Dengan kata lain, kebudayaan yang
selama ini disosialisasikan atau ditaati menjadi tidak berarti.
Apakah kebudayaan masyarakat Marind dapat hilang? Ancaman ironi
ini dapat dijawab dengan tiga wujud kebudayaan di atas. Apabila ketiganya sudah
hilang dan tidak dapat disosialisasikan kepada generasi selanjutnya, maka bisa
jadi kebudayaan totem atau kearifan lokal hutan sebagai mama hanyalah tinggal
sisa peradaban. Sistem penghidupan masyarakat Marind banyak bertumpu pada
hutan. Hutan dapat menjadi sistem mata pencaharian bagi masyarakat Marind.
Bukan hanya persoalan hasil hutannya semata, namun terkait dengan aspek
lingkungan misalnya sungai.

4. Paradigma Ekologi: Orientasi Ekonomi Tidak Sejalan Dengan


Masyarakat Adat
Grand Design MIFEE (2010) menyebutkan bahwa: “untuk memperkuat
stock atau cadangan pangan dan bioenergi nasional dalam rangka memantapkan
dan melestarikan ketahanan pangan nasional serta memasuki pasar bahan
pangan dunia melalui ekspor produk pangan yang dihasilkan, ditempuh dengan
memanfaatkan keunggulan komparatif wilayah berupa potensi lahan pertanian
skala luas dan subur dengan tetap menjaga dan melestarikan lingkungan hidup”.
Namun faktanya, stok atau cadangan pangan pada program MIFEE memiliki hasil
yang cukup unik.
Situasi MIFEE merupakan indikasi adanya land grabbing atau perampasan
lahan. Menurut Bollin (2010) perampasan lahan dapat terjadi karena adanya krisis
keuangan, krisis pangan, krisis energi, dan krisis iklim. Pemicu adanya land
grabbing adalah dikarenakan adanya permintaan pangan dunia untuk dasar
ketahanan pangan (Borras dan Franco 2012). Pemerintah menjadikan MIFEE atau
food estate untuk memenuhi pasokan pangan sebagai alibi perampasan lahan yang
mengakibatkan perampasan lahan di masyarakat Marind lazim terjadi. Hal ini
dibebabkan oleh adana permintaan dunia, maka Indonesia tergiur untuk
mendatangkan investor dan mengalihkan rezim kepemilikan suatu hutan dari yang
awalnya milik masyarakat Adat menjadi miliki privat.
Salah satu kegagalan MIFEE adalah tidak sesuainya target dengan
realisasi pelaksanaan pemanfaatan lahan. Targetnya minimal luas lahan 1000 Ha
memiliki komposisi 70% tanaman pangan, 9% peternakan, 8% perikanan, 8%
perkebunan, 5% komoditas lain (Santosa 2014). Namun hasilnya, komposisi
menjadi kayu industri sebanyak 970.000 Ha, sawit sebanyak 300.000 Ha, tanaman
pangan sebanyak 69.000 Ha (Keiya 2019).
Diskrepansi tersebut menjelaskan bahwa pelaksanaan MIFEE tidak sesuai
dengan grand design. Dampak lainnya terhadap masyarakat Marind adalah
semakin sempitnya hutan yang diakses sehingga sumberdaya yang didapatkan
semakin berkurang. Akibatnya masyarakat kesulitaan untuk mendapatkan daging
rusa dan sagu, tidak semudah ketika hutan belum dijadikan sebagai wilayah
khusus untuk 36 perusahaan tersebut.
Masyarakat Marind memandang hutan sebagai ibu, dengan begitu segala
bentuk penghormatan dilakukan dengan menerapkan etika dan cara pandang yang
sangat ekosentris. Hutan menyediakan daging rusa, sagu, bahkan obat-obatan.
Pesta adat yang diselenggarakan tidak akan terlepas dari adanya pegnambilan
hasil hutan yang bijaksana. Hutan sudah ibarat seorang ibu yang memberikan
banyak hal untuk tumbuh kembang anak-anaknya sehingga mampu hidup dengan
baik. Hal ini tentu akan berbeda ketika cara pandangnya adalah melalui
antroposentris, atau terlalu terob sesi dengan ekonomi. Hutan menjadi ladang
uang yang menggiurkan, banyak pohon industri yang bisa ditebang dan dijual atau
hutan yang dikonversi menjadi ladang uang melalui tanaman perkebunan yang
sama sekali tidak serupa dengan fungsi hutan sebagaimana mestinya.
Tabel 4 Paradigma Ekologi dan Hubungan dengan MIFEE
Paradigma Penjelasan Hubungan dengan MIFEE
Antroposentrisme Manusia adalah sentra Perusahaan-perusahaan yang tergabung di
yang memiliki nilai, dalam proyek MIFEE memiliki indikasi
makhluk hidup lainnya ekonomi sentris.
dianggap tidak memiliki
nilai. Hal ini menjadi salah Hal ini dapat dibuktikan dengan kutipan dari
satu tanda bahaya grand design MIFEE “...memasuki pasar
mengingat apabila hutan bahan pangan dunia melalui ekspor produk
(makhluk hidup lainnya) pangan yang dihasilkan”
dianggap tidak memiliki
nilai moral, maka tindakan Artinya, fokus dari program MIFEE adalah
eksploitasi dan untuk ekonomi (ekspor), pada faktanya tidak
pengalihfungsian menjadi ada tanggungjawab moral masayarakat adat
hal yang bisa lumrah dan hutan setempat. Dengan begitu, hutan
terjadi. hanya dijadikan sebagai ladang bisnis dan
ekonomi sentris yang tidak sesuai dengan
pandangan para masyarakat Marind.
Biosentrisme Manusia dan makhluk
hidup lainnya memiliki
nilai.
Lanjutan dari biosentrisme, Tercermin pada masyarakat Marind. Hutan
Ekosentrisme bahwa tidak hanya memang dijadikan sebagai sumber
makhluk hidup lain penghidupan, hal itu lantas tidak menjadikan
(biotik) yang memiliki masyarakat Marind menjadikan hutan sebagai
nilai moral melainkan ladang bisnis. Hal demikian masuk ke dalam
makhluk tak hidup kearifan lokal dari dimensi keterampilan
(abiotik) yang memiliki lokal dan sumberdaya lokal. Dimana
nilai moral. pemanfaatannya menggunakan pengetahuan
lokal yang bijak sehingga untuk mengambil
hasil hutan pun dilakukan dengan sangat hati-
hati dan menghargai setiap apa yang ada di
hutan.
Dengan demikian, padnangan hutan menurut
masyarakat adat cenderung melalui suatu
gagasan atau pengetahuan lokal dengan
mengedepankan konsep lestari dan sakral,
karena apabila merusak hutan maka sama saja
dengan menyakiti mama.

Cara pandang yang berbeda tentu akan memanifestasikan konflik di antara


dua kepentingan tersebut. Akar masalahnya adalah hutan yang selama ini
disosialisasikan dengan sakral sebagai sistem penghidupan dan wahana
kebudayaan masyarakat Marind diambil. Akibatnya ketika hutan menjadi rusak
atau tidak sesuai fungsinya, maka akan berpengaruh kepada aspek kebudayaan
lainnya.
Hal ini berkaitan pula dengan adanya sistem kepemilikan lahan yang
berpengaruh terhadap kesejahteraan masyarakat Marind. Menurut USAID (2006)
terdapat rezim property yang menyebabkan perbedaan akses dan kontrol:
1) Private Property atau kepemilikan individu/pribadi, yaitu kepemilikan
yang hak atas memiliki sesuatu melekat dengan jelas melalui sistem
privasi sehingga tidak sembarang orang asing boleh mengakses
sumberdaya atau subjek agraria tersebut. Misalnya perusahaan.
2) Common Property atau kepemilikan bersama, yaitu kepemilikan yang
dimiliki oleh sekelompok orang. Misalnya masyarakat adat.
3) State Property atau kepemilikan negara, yaitu kepemilikan yang aturannya
ditetapkan oleh negara.
4) Open Access atau akses terbuka, yaitu tidak ada yang memiliki
sumberdaya atau subjek agraria tersebut sehingga tidak ada ikatan aturan
yang berlaku.
Hutan merupakan rezim kepemilikan bersama bagi masyarakat Marind.
Segenap aturan mengikat atas siapa-siapa saja yang boleh dan dilarang untuk
mengakses hutan atau sumber agraria tersebut. Jika kepemilikan itu diintervensi
oleh suatu kebijakan, maka dapat berubah menjadi private, state, atau bahkan
menjadi open access apabila setelah dipindah alihkan lalu ditelantarkan.
Perubahan rezim tersebut mengakibatkan terbatasnya akses yang dimiliki oleh
masyarakat Marind terhadap hutan. Berikut merupakan dampak-dampak yang
terjadi ketika akses hutan yang berubah menjadi kepemilikan pribadi, bukan oleh
masyarakat Marind (Keiya 2019):
1) Kampung Zanegi, yang merupakan rumah hidup masyarakat Marind,
sudah kesulitan mendapatkan sagu dan bumi (hutan) terasa tandus.
2) Sungai menjadi keruh, berminyak, dan ikan tercemar. Akibatnya untuk
mendapatkan ikan dan air bersih perlu mencari tempat yang jauh.
3) Anak-anak banyak yang mengalami gizi buruk karena kesulitan
mendapatkan pangan dari hutan.
4) Mata pencaharian sulit, yang biasanya bisa menjual hasil hutan berupa
daging rusa dan sagu dengan mudah, sekarang kemiskinan mulai menjadi
teror yang nyata bagi masyarakat Marind. Migrasi ke kota meningkat
karena memang mata pencaharian di tempat asal sudah tidak menjanjikan.
Perekonomian di kampung Zanegi sebelum adanya PT SIS bisa mencapai
pemasukan 6.000.000 per bulan dari hasil penjualan daging buruan, 1kg
dijual sebanyak 15.000 rupiah.
5) Dahulu, pohon dari hutan dimanfaatkan untuk alat musik. Sekarang
banyak pohon yang ditebang dan dijual.
6) Kawasan hutan kramat, sudah dipastikan mulai menghilang.
Kesulitan masyarakat Marind untuk mengakses sumberdaya lokal dapat
menyebabkan kemiskinan struktural. Kemiskinan Struktural adalah kemiskinan
yang terjadi karena struktur sosial masyarakat dengan ketidakmampuan
mengakses sumberdaya tertentu. Bisa dikarenakan adanya intervensi elit dan
marginalisasi.
5. Fenomena Partisipasi Manipulatif dalam Food Estate
Partisipasi manipulatif memiliki kesan jahat dan tidak sejalan dengan
pembangunan masyarakat. Partisipasi manipulatif disuarakan oleh Arnstein
(1969) dan Pretty (1995). Berikut merupakan perbedaan definisi partisipasi
manipulatif:
Tabel 5 Perbedaan Definisi Partisipasi Manipulatif Antara Arnstein (1969) dan
Pretty (1995)

Arnstein (1969) Pretty (1995)


Merupakan partisipasi dari tingkatan Disebut juga sebagai partisipasi “pura-
terendah. Biasanya masyarakat direkrut pura”. Masyarakat terintegrasi, tetapi
sebagai komite atau badan nasehat, sebenarnya dari stakeholder pembuat
tujuannya adalah agar program yang kebijakan atau pemerintah, tidak
dibawa mendapatkan dukungan dari memberikan masyarakat kekuasaan.
setempat. Manipulasi ditandai dengan
dijadikannya masyarakat yang terlibat
sebagai public relations bagi para agen
eksternal. Misalnya di dalam program
pembaharuan desa, dimana asumsi dari
masyarakat setempat menyatakan bahwa
program tersebut memang dibutuhkan.
Padahal, masyarakat sendiri yang
direkrut sebenarnya hanya dimanipulasi
agar masyarakat setempat merasa
percaya dan butuh akan program
tersebut.

Interpretasi yang didapatkan dari penjelasan dua tokoh di atas adalah


bahwa partisipasi manipulatif tidak hanya sebatas partisipasi formalitas, tidak
berarti partisipasi sebenarnya. Kebenaran partisipasi harusnya dapat mengacu
pada bentuk partisipasi Cohen dan Uphoff (1980) yang menyatakan bahwa
setidaknya partisipasi melewati dari mulai partisipasi dalam pengambilan
keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam menikmati hasil,
serta partisipasi dalam evaluasi. Pada kenyataannya, pengambilan keputusan yang
dilakukan oleh masyarakat Marind tidak dilandaskan asas apa yang menjadi needs
bagi masyarakat Marind. Penandatanganan surat penghargaan dari PT SIS kepada
masyarakat Marind menjadikan partisipasi tersebut terlihat sangat manipulatif,
seakan disetujui tetapi pada akhirnya masyarakat Marind merasa dirugikan.
Masyarakat Marind hanya dijadikan sebagai objek formalitas atas legalitas yang
tidak mencapai kesepakatan yang sebenarnya.
Adopsi teknologi tidak serta merta cepat dan instan dan dapat
menimbulkan polemik di kemudian hari. Akibatnya partisipasi akan berujung
semu. Jika program food estate mencapai hasil positif tentang partisipasi
masyarakat lokal, tentu tidak akan menimbulkan gejolak konflik yang
menyebabkan masyarakat tereksklusi dari pembangunan.
Inovasi merupakan sesuatu yang memiliki keuntungan relatif dan biasanya
berupa hal baru yang dapat diterapkan kepada masyarakat. Untuk mengadopsi
suatu inovasi, tentu sangat diperlukan kehati-hatian dan kesabaran. Namun, pada
kenyataannya pada saat melakukan program MIFEE dan bahkan food estate,
proses adopsi tidak ditekankan. Dalam proses adopsi, tentu memiliki tahapannya.
Tahapannya ada lima:
1) Tahap pengetahuan, ditandai dengan rasa ingin tahu suatu subjek sehingga
dapat membuka diri apabila terdapat suatu inovasi.
2) Tahap persuasi, ditandai dengan aspek sikap dengan menilai suka atau
tidak suka dari subjek terhadap suatu inovasi.
3) Tahap keputusan, ditandai dengan menolak apabila tidak suka atau
menerima apabila suka. Sebenarnya tidak selalu begitu, bisa saja mungkin
tidak suka namun tetap menerima, biasanya ada faktor lain misalnya
tuntutan atau insentif.
4) Tahap implementasi, ditandai dengan keaktifan mental maupun tindakan
terhadap implementasi inovasi.
5) Tahap konfirmasi, ditandai dengan adanya penguatan dari subjek. Apabila
suatu inovasi tersebut dinilai memiliki manfaat atau keuntungan relatif
yang sesuai, maka objek akan mencari penguatan dengan melanjutkan.
Demikian sebaliknya.
Adopsi inovasi dengan lima tahapan tersebut diperlukan untuk
memunculkan partisipasi yang penuh dari suatu program perlu adanya. Jangan
sampai masyarakat dibodohi oleh kebijakan, suatu hak bagi masyarakat untuk
menolak apabila tidak ingin mengadopsi suatu inovasi. Menolak merupakan salah
satu bentuk partisipasi dalam pengambilan keputusan. Jika partisipasi tidak
tercapai, maka ketika program MIFEE masih terus berjalan hanya akan
menyebabkan marginalisasi bagi masyarakat. Menurut Perlman (2010),
marginalisasi terdiri dari Marginalisasi Sosial dan Marginalisasi Budaya.
Marginalisasi Sosial adalah keadaan ketika masyarakat terisolasi hidupnya dengan
tidak mendapatkan ruang untuk mengakses sumberdaya. Marginalisasi Budaya
adalah keadaan ketika masyarakat terisolasi dengan tidak diberikan ruang terkait
suku, agama, ras, dan adat (SARA) sehingga implementasi suatu kebudayaan
menjadi tidak optimal atau disulitkan.
Pada kasus MIFEE, marginalisasi sosial ditandai dengan masyarakat adat
yang tidak dapat mengakses sumber daya dari hutan karena adanya rezim properti
yang berubah. Sehingga untuk mencari hewan buruan, obat-obatan, dan pangan
lainnya mengalami kesulitan dan harus mencari ke daerah lain. Hal tersebut
menjadikan masyarakat terisolasi, untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pun
harus pergi ke kota karena tidak disediakan sama oleh perusahaan. Kemudian
marginalisasi budaya yang ada di masyarakat tergambar ketika masyarakat
perlahan kehilangan identitas menjadi masyarakat Marind. Totemisme terganggu
karena hutan yang hilang, kearifan lokal tentang paradigma ekosentrisme yang
menganggap hutan sebagai mama tidak lagi menjadi hal sakral jika pada
kenyataannya dirusak sendiri aturannya oleh orang luar (perusahaan). Akibatnya,
menyelenggarakan adat istiadat terganggu.

Solusi dan Saran

Dari uraian diatas dapat disimpulkan bahwa permasalahan terkait program


MIFEE atau yang diperbaharui lagi dengan istilah Food estate oleh pemerintah
bukan merupakan permasalahan kecil sehingga perlu dianalisis dan ditindak
lanjuti. Permasalahan yang diakibatkan dari program food estate secara nyata
salah satunya dapat dirasakan oleh masyarakat khususnya masyarakat Marind
yang sudah jelas semakin terekslusi yang dilatar belakangi oleh hutan terkonversi
dan berubah fungsinya. Istilah eksklusi tentu melibatkan aktor-aktor sebagai pihak
yang mengeklusi dan pihak yang terekslusi dimana keduanya sama sama memiliki
kepentingan terhadap SDA. Perdebatan dari masing masing aktor semakin tajam
karena menyangkut rezim kepemilikan yang secara umum dapat dibedakan
menjadi dua yaitu common property dan private property. Objek utama yang jelas
terlihat adalah perubahan system tenurial di wilayah/kawasan hutan. Akibat dari
adanya hutan yang disekap oleh korporasi menyebabkan beberapa permasalahan
yang menjadi isu yang perlu diperhatikan. Jika dilihat dari segi ekonomi yang
dikaitkan dengan inovasi yang diadopsi masih tidak ditekankan baik saat program
MIFEE bahkan food estate. Hal itu memperkuat pernyataan yang sebelumnya
karena untuk dapat memunculkan partisipasi masyarakat yang penuh dari suatu
program perlu adanya pengadopsian inovasi dari masyarakat lokal itu sendiri. Jika
partisipasi tidak tercapai maka yang terjadi adalah marginalisasi. Dalam jangka
waktu sekarang marginalisasi juga sudah jelas terlihat khususnya pada masyarakat
adat. Marginalisasi sosial ditandai dengan masyarakat adat yang tidak dapat
mengakses sumberdaya dari hutan karena adanya rezim property yang berubah.
Marginalisasi budaya yang ada di masyarakat tergambar ketika masyarakat adat
perlahan kehilangan identitas.
Dari hasil kajian yang telah kami lakukan, program food estate sejatinya
dapat berjalan dengan baik apabila dalam proses perencanaan, aksi, monitoring,
dan evaluasinya dapat dikaji dan dianalisis ulang lebih mendalam. Justru yang
menjadi permasalahan dalam menghadapi krisis pangan sebagai dampak akibat
pandemi COVID-19 seperti saat ini adalah bagaimana mengupayakan pengadaan
dan distribusi pangan nasional agar berjalan maksimal di tengah Pembatasan
Sosial Berskala Besar (PSBB). Terlebih jikalau meninjau keadaan ekonomi dan
ketergantungan hidup masyarakat terhadap lahan untuk tanaman pangan seperti
saat ini. Proses pengadaan food estate yang kurang matang dikhawatirkan akan
menimbulkan dampak dan kerugian yang besar terhadap kehutanan dan
lingkungan, sosial ekonomi masyarakat, dan sebagainya dalam jangka pendek
maupun jangka panjang.
Oleh karenanya, kami merekomendasikan beberapa saran terhadap jalannya
program food estate ini. Kami menawarkan beberapa solusi untuk meminimalisir
kemungkinan kerugian terhadap program food estate ini, antara lain :
1. Melakukan evaluasi terhadap kegagalan food estate sebelumnya dengan cara
mengkaji dan meninjau ulang dampak yang ditimbulkan, proses perencanaan,
monitoring, dan keberlanjutan food estate untuk sekarang dan jangka panjang.
Kegiatan pengawasan dalam jangka waktu tertentu juga diperlukan untuk
memastikan lahan yang digunakan tidak disalahgunakan untuk kepentingan
lain.
2. Pemerintah mengembalikan fungsi hutan lindung bukan mengubahnya secara
keseluruhan menjadi lahan proyek food estate. Kepastian hukum mengenai
fungsi hutan lindung juga harus menjadi prioritas dengan cara memastikan
lahan yang digunakan food estate tetap selektif di kawasan hutan.
3. Kerja sama dengan LSM pemerhati kehutanan dan lingkungan. Hal ini
memungkinankan terkumpulnya data secara maksimal dan substantif dengan
memanfaatkan elemen sumberdaya manusia yang banyak.
4. Intensifikasi lahan pertanian dengan mengakomodasi beragam teknologi di bidang
pertanian dan subsidi yang tepat sasaran.
5. Keterbukaan data dan informasi. Data dan informasi mengenai segala aspek
yang dikerjakan dalam food estate sangat berguna dalam meluruskan
pemahaman dan kepercayaan masyarakat. Selain itu, keterbukaan data dan
informasi diperlukan agar kita mengamatinya memakai data yang sama; data
kehutanan, data food estate, data investor.
6. Terkait pangan Indonesia sendiri, kami percaya kalau pemerintah menjaga
hutan dan gambut, itu berkontribusi pada penanggulangan krisis iklim,
sehingga pertanian akan bagus. Kalau hutan kacau, microclimate rusak,
pertanian akan jelek. Jadi komitmen iklim itu akan bagus buat ketahanan
pangan Indonesia.
7. Melindungi lahan pertanian yang ada karena laju konversi lahan pertanian ke
non pertanian yang tinggi dan mempertimbangkan pencabutan perlindungan
lahan pertanian abadi.
8. Memaksimalkan reforma agraria untuk kesejahteraan petani
Daftar Pustaka

Anonymous. 2020 Sep 20. Lumbung pangan: Proyek 'food estate' di lahan gambut
dituding ancam kebakaran lahan, KLHK sebut justru dapat meminimalisir
bencana. BBC.com. Indonesia. [diakses 2021 Mei 26].
https://www.bbc.com/indonesia/indonesia-54284365
Arnstein SR. 1969. A Ladder Of Citizen Participation. Journal of the American
Institute of Planners. J Am Inst Plann. 35 November 2012:37–41.
https://www.tandfonline.com/doi/abs/10.1080/01944366908977225.
Bidang Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan
Timur 2013, Penyelenggaraan program transmigrasi di Provinsi Kalimantan
Timur, Samarinda.
Bollin A. 2011. Fenomena Global Perampasan Tanah. DTE 89-90. November
2011.
Borras dan Franco. 2012. Global Land Grabbing and Trajectories of Agrarian
Change A Preliminary Analysis. Journal of Agrarian Change 12(1) 34-59.
Bryant RL. and Bailey S. 1997. Third World Political Ecology. London:
Routledge
Cohen J, Uphoff N. 1980. Participation’s place in rural development:
Seeking clarity through specificity. World Dev. 8: 213–235.
Dewi R. 2012. Dilema Percepatan Pembangunan Dan Permasalahan
Pembangunan Berkelanjutan Dalam Pelaksanaan MIFEE Di Merauke.
Ejournal Politik Lipi. 9(1): 47-57
Eryan A, Shafira D, Wongkar EELT. 2020. Analisis Hukum Pembangunan Food
Estate Di Kawasan Hutan Lindung, Seri Analisis Kebijakan Kehutanan dan
Lahan. Jakarta: Indonesian Center for Environmental Law.
Ginting, L and Pye, O 2013, ‘Resisting agribusiness development: The Merauke
Integrated Food and Energy Estate in West Papua, Indonesia’, ASEAS -
Austrian Journal of South-East Asian Studies, 6(1), pp. 160–182.
Keiya R. 2019. Merauke Integrated Food And Energy Estate (Studi kasus land
grabbing di Merauke Papua) [tesis]. Bogor: Institut Pertanian Bogor.
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineke Cipta.
Marie Y. 2020 Des 7. Proyek Food Estate di Kalimantan Tengah, untuk Siapa?.
Hutan. [diakses 2021 Mei 28].
https://www.mongabay.co.id/2020/12/07/proyek-food-estate-di-kalimanten-
tengah-untuk- siapa/
McCarthy, JF and Obidzinski, K 2015, ‘Responding to food security and land
questions: Policy principles and policy choices in Kalimantan, Indonesia’, in
Land grabbing, conflict and agrarian environmental transformations:
perspectives from East and Southeast Asia An international academic
conference 5 6 June 2015, Chiang Mai University Conference Paper No. 47,
pp. 1–20.
McDonnell JE. 2020. The Merauke Integrated Food and Energy Estate (MIFEE):
An ecologically induced genocide of the Malind Anim. Journal of Genocide
Research. 257-278.
Perlman J. 2010. Four Decades of Living on the Edge in Rio de Janeiro. New
York: Oxford University Press.
Permen LHK No. P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan
Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food 17 Estate, Pasal 2.
Permen LHK No. P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan
Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food 18 Estate, Pasal 3 ayat (2).
Pretty JN. 1995. Participatory learning for sustainable agriculture. World Dev.
23(8):1247–1263. doi:10.1016/0305-750X(95)00046-F.
Putri, A 2013, Sekuritisasi isu pangan di Indonesia studi pada kebijakan food
estate Pemerintah Republik Indonesia. Universitas Andalas.
Rahmat R. 2014 Agu 27. Dampak negatif kebakaran hutan gambut. Environment-
indonesia.com. [diakses 2021 Mei 26]. https://environment-
indonesia.com/dampak-negatif-kebakaran-hutan-gambut/
Ramadayanti E. 2020. Upaya Perlindungan Hak Masyarakat Adat setelah Satu
Dasawarsa Program MIFEE (Merauke Integrated Food and Energy
Estate) Melalui Citizen Law Suit. Padjadjaran Law Review. 8(2): 15-26.
Rogers. EM. 2003. Diffusion of Innovations. 5th ed. New York: Free Press
Santosa E. 2014. Percepatan Pengembangan Food Estate Untuk Meningkatkan
Ketahanan Dan Kemandirian Pangan Nasional. Risalah Kebijakan
Pertanian dan Lingkungan. 1(2): 80-85.
Septyan AE. 2019 Apr 2. Deforestasi: Pengertian, Penyebab, Dampak, dan
Pencegahan. Foresteract.com. Deforestasi [diakes 2021 Mei 26].
https://foresteract.com/
Sukarsa D. 2017. Metode kajian lingkungan hidup strategis dalam evaluasi
rencana tata ruang wilayah Provinsi Jawa Barat. Jurnal Bina Hukum
Lingkungan. 1(2): 219-230.
Supardi A. 2020 Nov 20. Kawasan Hutan untuk Food Estate, Pegiat Lingkungan:
Peluang Deforestasi Sangat Terbuka. Mongabay.co.id. Hutan. [diakses 2021
Mei 26]. https://www.mongabay.co.id/2020/11/20/kawasan-hutan-untuk-
food-estate-pegiat-lingkungan-peluang-deforestasi-sangat-terbuka/
USAID. 2006 . Usaid Country Profile Property Rights And Resource Governance
.
UU No. 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup, Pasal 10.
UU No. 41 Tahun 1999 tentang Kehutanan, LN 167, TLN 3888, Pasal 26 beserta
penjelasannya
UU Nomor 32 tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan
Hidup
Wahyuni H, Suranto. 2021. Dampak deforestasi hutan skala besar terhadap
pemanasan global di Indonesia. JIIP: Jurnal Ilmiah Ilmu Pemerintahan.
6(1):148-162.
Walhi.or.id. 2021 Februari 17. [Rilis] Food Estate; benarkah atas nama
pemenuhan hak pangan? KLHS bukan stempel proyek food estate!. [diakses
pada 2021 Mei 27].
https://www.walhi.or.id/rilis-food-estate-benarkah-atas-nama-pemenuhan-hak-
pangan-klhs-bukan-stempel-proyek-food
estate#:~:text=Dalam%20arahan%20presiden%20RI%20pada,(3)%20mengurangi
%20ketergantungan%20impor.
Wibowo A. 2009. Peran lahan gambut dalam perubahan iklim global. Tekno
Hutan Tanaman. 2(1):19-28.
Wongkar EELT. 2020 Desember 23. Mega Proyek Food Estate: Babak Baru
Krisis Lingkungan di Indonesia. Kumparan.com. News. [diakses pada 2021
Mei 27]. https://kumparan.com/chenny-wongkar/mega-proyek-food-estate-
babak-baru-krisis-lingkungan-di-indonesia-1uptM9t8YK3/full
Zakaria RY, Kleden EO, dan Franky LY. 2011. MIFEE: Tak Terjangkau Angan
Malind. Jakarta: Yayasan Pusaka.

Anda mungkin juga menyukai