Anda di halaman 1dari 9

Policy brief (draft 02)

ANALISIS DAN REKOMENDASI KEBIJAKAN TERHADAP


IMPLEMENTASI PROGRAM FOOD ESTATE DARI KACAMATA
REGULASI, SOSIO EKONOMI, DAN LINGKUNGAN
RINGKASAN EKSEKUTIF

Presiden Joko Widodo mencanangkan program nasional food estate dengan menunjuk
Menteri Pertahanan Prabowo Subianto pada Juli 2020 untuk memimpin inisiatif dan
pengembangan program tersebut dan berkoordinasi serta bekerjasama dengan Kementerian
Pertanian (Kementan), Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR),
Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK), dan Kementerian Badan Usaha Milik
Negara (BUMN). Pada kenyataannya, program food estate bukan merupakan ide kebijakan
baru, karena Indonesia pernah mengalami beberapa implementasi program serupa di masa
lalu.

Pada rencana program food estate yang baru ini, ada beberapa permasalahan mendasar
yang menjadi temuan dan perlu diperhatikan dalam implementasi: a) Perencanaan program
yang terkesan tidak menerapkan evidence-based policy making, b) Berbagai kebijakan
pendukung program yang membuka berbagai kekhawatiran terkait fungsi kawasan, c) Risiko
dampak lingkungan jika pengembangan program tidak diiringi analisis kelayakan yang
matang, dan d) Dampak sosial ekonomi terhadap masyarakat lokal di areal target
implementasi program.

Dari kondisi dan permasalahan yang ada terkait dengan rencana program food estate saat
ini, terdapat beberapa usulan kebijakan yang diajukan untuk menjamin bahwa pada tataran
rancangan program dan kebijakan dapat lebih baik dari program selanjutnya, dan dapat juga
membertimbangkan berbagai inovasi yang tidak melulu berkaitan dengan ekstensifikasi tapi
justru memanfaatkan sistem pertanian yang sudah ada dan diintensifikasi. Hal ini untuk
menjamin partisipasi masyarakat dan meningkatnya produktivitas pertanian.

PROGRAM BARU YANG BERASAL DARI IDE LAMA

Bagi negara manapun, ketahanan pangan selalu merupakan salah satu isu dan topik yang
penting untuk diperhatikan dan dijaga. Dengan situasi dunia yang hingga saat ini masih
berada di tengah pandemi Covid-19, permasalahan ketahanan pangan menjadi komponen
yang kritis. Berdasarkan sebuah laporan yang dikeluarkan oleh Food and Agricultural
Organization of the United Nations (FAO) menyatakan bahwa bahkan sebelum pandemi
Covid-19, sekitar 2 miliar warga dunia terancam oleh ketersediaan dan akses pangan (FAO
et al., 2020). Perkiraan paling mutakhir secara statistik menunjukkan bahwa terjadi lonjakan
sebanyak 83 hingga 132 juta penduduk (FAO et al., 2020) -- termasuk 38 hingga 80 juta
penduduk di negara berpenghasilan rendah yang sangat bergantung pada impor pangan
(Torero, 2020) -- yang akan mengalami krisis pangan sebagai imbas langsung dari pandemi.

Menurut rencana pemerintah, pada tahun 2021 akan dilaksanakan program mengembangkan
food estate di Kalimantan Tengah, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Nusa Tenggara Timur
dan Papua (Sekretariat Kabinet, 2020a). Food estate sendiri merupakan terminologi populer
dari usaha budidaya tanaman skala luas, dan di Indonesia diatur melalui Instruksi Presiden
(Inpres) 5/2008 dan diperkuat oleh Peraturan Pemerintah (PP) 18/2020, dan dapat mencakup
lahan dengan ukuran 5,000-10,000ha (Khudori, 2010). Konsep food estate dikembangkan
guna menjadi cadangan logistik yang strategis untuk ketahanan pangan negara. Menurut
rencananya, beberapa komoditas pangan yang akan diproduksi melalui program food estate
ini yaitu padi, singkong, dan jagung (Sekretariat Kabinet, 2020b). Program food estate bukan
pertama kalinya dikembangankan di Indonesia, karena program serupa sudah sempat
dilakukan pada masa pemerintahan Presiden Soeharto, dan juga masa pemerintahan
Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (Kompas, 2020).

PATUTKAH MENARUH HARAPAN PADA PROGRAM KALI INI?

Jika berangkat pada pemahaman bahwa food estate bukanlah konsep baru dan pada
kenyataannya telah diimplementasikan sebelumnya, maka pertanyaan penting pertama
adalah: apa saja polemik yang timbul pada program food estate yang lalu? Proyek Lahan
Gambut (PLG) 1 Juta Hektar yang menargetkan Provinsi Kalimantan Tengah digagas pada
zaman rezim Presiden Soeharto. Pada konsepnya, program berencana mengembangkan
lahan gambut seluas 1,45 juta hektar pada tahun 1995 di Kalteng. Pemilihan Kalimantan
Tengah sebagai lokasi PLG dilatarbelakangi oleh kondisi wilayahnya. Pada waktu itu, terdapat
lahan rawa seluas 5,8 juta hektar dari total luas kawasan Kalteng. Di sisi lain, penduduk
provinsi ini hanya 1,6 juta jiwa atau sebanyak 9 jiwa per kilometer persegi. Hal ini membuat
profil Kalimantan Tengah dipandang cocok untuk implementasi program. Pengembangan
proyek Proyek PLG ini mencakup kawasan bekas Hak Pengusahaan Hutan (HPH) di Daerah
Aliran Sungai (DAS) empat sungai, yakni Sungai Barito, Sungai Kapuas, Sungai Kahayan,
dan Sungai Sebangau.

Pada akhirnya, implementasi PLG menghadapi berbagai tantangan dikarenakan


implementasi yang kurang terencana dan implementasi yang terburu-buru. Sebagai contoh,
realisasi program mendatangkan transmigran dilakukan tanpa penyesuaian dengan kesiapan
lahan sehingga saat transmigrant datang; lahan sawah belum siap tanam. Kemudian, dari
total lahan sawah yang sudah dibuka, tidak semua berhasil dipanen. Lahan Proyek PLG di
Kabupaten Kapuas misalnya, menderita kekeringan. Belum lagi, permukaan air yang tersisa
pada irigasi, jauh di bawah permukaan sawah. Akibatnya, sebagian sawah mengering dan
meninggalkan retakan. Dari rencana luas sawah 2.500 hektar, hanya sekitar 200 hektar yang
bisa dialiri air. Banyak masalah lain terkait implementasi yang terjadi di tingkat tapak.

Program Merauke Integrated Food and Energy Estate/MIFEE juga menuai kritik.
Perancangan kebijakan yang terjadi untuk program MIFEE turut dipandang kurang
komprehensif karena dianggap mengabaikan berbagai dampak eksternalitas negatif seperti
terjadinya deforestasi, hilangnya keanekaragaman hayati, terjadinya konflik sosial, dan juga
timbulnya tekanan atas kehidupan dan pencaharian masyarakat sekitar (Obidzinski et al.,
2013). Pada saat perencanaan, dinyatakan bahwa program MIFEE akan meminimalisir
dampak lingkungan namun pada kenyataannya lebih dari 50% lahan pertanian sebagian
besar merupakan konversi dari hutan primer dan sekunder yang diperkirakan memiliki
kontribusi 70% terhadap total emisi karbondioksida 770 tCO2 per tahun yang dihasilkan
proyek tersebut. Penyerapan tenaga kerja lokal tidak berjalan maksimal karena terdapat
kesenjangan kualitas sumber daya manusia (SDM) dari sisi pendidikan dan akses terhadap
alat modern jika dibandingkan dengan tenaga kerja transmigran (Savitri, 2013). Jika melihat
dari imbas nya, lokasi MIFEE yang saat ini telah menjadi situs agro-industri skala besar yang
dijalankan berbagai korporasi telah merambah lahan masyarakat adat di Merauke seluas 2.5
juta ha (Silubun dan Putri, 2018). Dampak yang juga nyata adalah berbagai kelompok
masyarakat adat mengalami hilangnya hak mereka oleh karena berbagai akuisisi dan konversi
yang dilakukan korporasi.

Lantas, pertanyaan organik selanjutnya adalah; apakah program food estate yang
dicanangkan pada 2020 memiliki prospek yang lebih baik? Pelaksanaan proyek food
estate menuai pro dan kontra yang ditengarai akibat rencana yang juga menargetkan
pemanfaatan 1,4 juta hektar lahan gambut di Kalimantan Tengah, pasalnya lahan tersebut
merupakan lahan eks PLG yang terlantar akibat proyek serupa di masa pemerintahan
Soeharto di tahun 1995 dan menjadi penyebab kebakaran hutan dan lahan hingga sekarang.
Salah satu target pembukaan lahan pertanian berlokasi di Blok E, dimana Blok E memiliki
peranan penting sebagai penyangga blok lain; Blok A, B, C, dan D. Blok E juga merupakan
area yang memiliki tutupan hutan yang masih baik dan memiliki sifat fisik heat forest yang
diarahkan sebagai kawasan hutan lindung (resapan air). Kondisi ini jika dipaksakan untuk
perluasan lahan akan akan sangat rentan mengakibatkan kebakaran akibat pembangunan
sistem irigasi. Hal ini sejalan dengan riwayat peristiwa kebakaran besar dan kabut pekat pada
tahun 1997, 2002, 2006, 2009, 2014, 2015, dan 2019 yang utamanya bermula dari
pembukaan lahan gambut (Mongabay, 2020).

---- start info box 1: Daya dukung lingkungan Blok E yang terancam food estate ----

Jika salah satu kemungkinan area diterapkannya program food estate saat ini adalah lahan
eks-PLG, maka berdasar UU 5/2002 kawasan tersebut mencakup wilayah Kabupaten
Kapuas, Kabupaten Pulang Pisau, Kabupaten Barito Selatan, dan Kota Palangka Raya
Provinsi Kalimantan Tengah. Sesuai SK Menteri Kehutanan 166/1996 tentang Pencadangan
Areal Hutan untuk Tanaman pangan di Provinsi Kalimantan tengah maka luas total areas
adalah 1.457.100 Ha, dibagi menjadi blok/daerah kerja, yaitu Blok A seluas 227.100 Ha
(15,59%), Blok B seluas 161.480 Ha (11,08%), Blok C seluas 568.635 Ha (39,03%), Blok D
seluas 162.278 Ha (11,14%), Blok E seluas 337.607 Ha (23,17%).

Kawasan eks-PLG pada Blok E berada pada interseksi Kabupaten Pulang Pisau, Kapuas,
dan Barito Selatan secara umum masih berhutan atau dapat dikatakan merupakan Kawasan
Hutan, yang terdiri dari Kawasan Hutan Produksi, Kawasan Lindung, dan Kawasan
Konservasi lainnya. Blok E adalah kawasan yang menjadi penyangga untuk blok lain (blok A,
B, C, dan D) yang berada di bagian selatan (bawah) sementara, blok E berada di bagian utara
(atas). Dibanding Blok lain, rasio gabungan Kawasan Hutan Konservasi dan Hutan Lindung
di Blok E paling besar (sekitar 376,980ha atau 96% total area Blok). Blok E memiliki sifat fisik
lahan gambut tebal (> 3 meter) yang memiliki fungsi ekologis penting dalam penyerapan
(sequestration) dan penyimpanan (storage) karbon.

Dalam konteks lokal, Blok E tergolong suatu area yang dideskripsikan sebagai hutan kerangas
yang dalam bahasa Dayak Iban berarti “tanah yang tidak dapat ditanami padi”. Hutan
kerangas adalah hutan yang berada pada lahan ekstrim atau rawan, serta sangat peka
terhadap gangguan seperti kebakaran hutan. Tumbuhan di hutan ini bergantung pada humus
di lantai hutan yang sangat tipis. Wilayah Blok E merupakan wilayah ekosistem air hitam
(black water ecosystem) dicirikan oleh kondisi airnya yang berwarna coklat kehitaman jernih
merupakan suatu ekosistem yang khas yang ditunjukkan oleh keanekaragaman jenis flora
dan fauna. Maka dari itu, jika lahan eks-PLG menjadi sasaran program, terutama dalam
Permen 24/2020 membuka kemungkinan alih fungsi lahan hutan lindung maka kawasan
hutan seperti Blok E menjadi terancam mengalami kerusakan lingkungan dan imbas ekologi
dalam skala besar.

---- End info box ----

Tidak semua lahan gambut bisa dimanfaatkan untuk pertanian karena hanya gambut dengan
kedalaman di bawah 1 meter saja yang bisa dibudidaya (BBC, 2020). Selain itu, mengingat
kondisi lahan gambut yang akan digunakan merupakan lahan yang ditinggalkan oleh petani
pada program PLG sebelumnya, maka berpotensi mengandung bahan sulfur yang
menimbulkan senyawa pirit yang bersifat racun dan mungkin menimbulkan efek negatif di
kemudian hari (Pusat Kajian Anggaran, 2020). Di awal diskusi perumusan food estate di bulan
Juni 2020 silam, banyak pihak berpendapat jika pemerintah minim melakukan sosialisasi atau
diskusi dengan pegiat lingkungan. Rekomendasi yang dihasilkan dalam pelaksanaan food
estate pun menimbulkan banyak tanda tanya. Masyarakat Kalimantan Tengah jelas resah,
pasalnya trauma masa lalu akibat kegagalan proyek PLG satu juta hektar yang berhenti di
tahun 1998 meninggalkan luka mendalam, khususnya permasalahan lingkungan (Mongabay,
2020). Status kepemilikan lahan eks PLG juga turut memancing diskusi. Selama ini status
lahan dan kawasan hutan eks PLG sudah lama menjadi wilayah kontestasi. Fakta di lapangan
juga menunjukkan bahwa sebagian lahan statusnya hanya dipinjamkan oleh petani.
Selanjutnya bagaimana nasib petani penggarap, jika pemilik lahan memutuskan untuk ikut
serta dalam food estate.

Kekhawatiran terkait lahan implementasi pun semakin bertambah seiring dikeluarkannya


Peraturan Menteri LHK No. P.24/MENLHK/SETJEN/KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan
Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food Estate (Permen LHK 24/2020) yang seakan
menyiratkan lampu hijau untuk perambahan kawasan konservasi hutan lindung. Hal ini
disebabkan beberapa hal: 1) Menurut Permen LHK 24/2020, terdapat dua cara utama untuk
melakukan penyediaan lahan: a) Perubahan fungsi kawasan hutan, dan b) Penetapan suatu
areal sebagai KHKP (Pasal 2), lalu 2) Permen 24/2020 juga mengatur bahwa secara teknis
hutan lindung dapat dikonversikan menjadi lahan food estate (Pasal 19 Ayat 1a) dan bahwa
pengelolaan areal yang sudah ditetapkan sebagai KHKP dapat juga meliputi pemanfaatan
hutan (Pasal 27 Ayat 3d) dan bahwa Keputusan Menteri LHK terkait penetapan KHKP juga
berlaku sebagai izin pemanfaatan kayu (Pasal 30 Ayat 1).

Suatu hal yang belum terlalu kentara adalah dasar hukum program food estate saat ini
sehingga sudah keluar Peraturan Menteri LHK, karena Permen 24/2020 tersebut juga
dipandang tidak selaras dengan produk hukum terdahulu seperti Peraturan Pemerintah (PP)
24 tahun 2010 tentang Penggunaan Kawasan Hutan yang mengatur kegiatan “strategis dan
tidak terelakkan” yang memperbolehkan penggunaan kawasan hutan untuk kepentingan di
luar kegiatan kehutanan (termasuk hutan lindung) dan juga dengan UU Kehutanan 41/1999
yang mengatur bahwa bahwa hutan lindung hanya dapat dimanfaatkan untuk pemanfaatan
kawasan, pemanfaatan jasa lingkungan, dan pemungutan hasil hutan bukan kayu (HHBK)
(Pasal 26 Ayat 1) dimana definisi “pemanfaatan kawasan” dalam hal ini hanya mencakup
budidaya jamur, penangkaran satwa, dan budidaya tanaman obat dan tanaman hias
(penjelasan atas Pasal 26 Ayat 1).

Perlu dipertimbangkan juga bahwa dalam Permen LHK 81/2016 tentang Kerjasama
Penggunaan dan Pemanfaatan Kawasan Hutan untuk Mendukung Ketahanan Pangan pada
Pasal 31 Ayat 1(a) bahwa pengembangan untuk tanaman pangan juga dapat merubah
peruntukan kawasan hutan (termasuk terbukanya kesempatan terkait pola budidaya yang
tidak berkelanjutan seperti praktik monokultur). Hingga saat ini berbagai masih perlu dilakukan
ring-fencing agar berbagai instrumen hukum yang sudah ada justru tidak membahayakan bagi
peruntukan kawasan hutan.

DAMPAK SOSIAL LINGKUNGAN JIKA IMPLEMENTASI TIDAK MAKSIMAL

Resiko terhadap praktek pertanian lokal dan kejelasan posisi petani lokal -- bagi
masyarakat setempat yang tinggal dan berkegiatan di calon wilayah implementasi program,
Tidak heran jika timbul keresahan bagi sebagian besar warga lokal akan munculnya rencana
pembangunan food estate di lahan PLG. Dengan dibangunnya food estate, maka sistem
pertanian adat dan kearifan lokal seperti handil dan tatah juga terancam hilang akibat arah
pembangunan yang mengacu pada sistem korporasi (Mongabay, 2020). Bibit pertanian lokal
pun bisa jadi ikut tergerus karena muncul rumor program estate akan mengembangkan bibit
unggul buatan. Belum lagi diskursus mengenai pelibatan petani dan kepastian hak petani atau
warga lokal yang masih belum jelas. Apakah petani diposisikan sebagai mitra atau hanya
sebagai mesin produksi saja dan bagaimana kedudukan petani dalam korporasi pertanian.
Lalu bagaimana pula nasib mereka setelah periode food estate selesai, apakah akan terus
disubsidi, dilibatkan dalam program pertanian lainnya atau dilepas saja tanpa ada jaminan
masa depan seperti proyek-proyek sebelumnya. Belum lagi kepastian soal nasib hasil
pertanian soal siapa saja yang terlibat dan siapa yang diuntungkan (Mongabay, 2020).

Masih ada potensi konflik sosial oleh karena dibutuhkannya tenaga yang sangat
banyak -- dari aspek sumber daya manusia, sudah dapat dipastikan petani akan kewalahan
menangani proyek seluas ini. Di Indonesia, dalam kurun waktu lima tahun terakhir jumlah
penduduk yang bekerja di sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan kian menurun dari 33
persen menjadi 29 persen dengan rata-rata usia petani saat ini berusia 47 tahun ke atas. Hal
ini tentu saja sangat berpengaruh pada produktivitas petani (CNBC, 2019). Beberapa
penelitian mengemukakan bahwa setidaknya untuk menjalankan food estate dengan luas
30.000 hektar diperlukan 4.080.000 hari orang kerja (HOK). Angka sebesar ini meski dengan
diberlakukan suatu mekanisme penekanan jumlah tenaga kerja sekalipun, hanya bisa
menekan hingga 30% saja (Mongabay, 2020). Oleh karena itu, bisa jadi pemerintah perlu
memberlakukan migrasi warga pendatang dalam mendukung aktivitas food estate yang justru
dikhawatirkan akan mempengaruhi eksistensi masyarakat setempat karena perbedaan etos
kerja dan tingkat pendidikan. Kondisi ini berpeluang menimbulkan konflik antara masyarakat
lokal dan pendatang (Pusat Kajian Anggaran, 2020). Seperti pada program terdahulu,
walaupun secara teori dapat membawa berbagai manfaat ekonomis seperti hasil produksi,
peningkatan kesempatan kerja dan pendapatan, peningkatan aktivitas Usaha Pelayanan Jasa
Alsin Pertanian (UPJA) namun akses tersebut pada praktiknya tidak dapat dinikmati oleh
penduduk lokal karena memiliki modal produksi pangan yang berbeda (Kamin dan Altamaha,
2019). Hal ini kemudian dapat menciptakan kesenjangan antar kelompok masyarakat yang
merupakan salah satu kanal menuju terciptanya konflik sosial yang merupakan salah satu
imbas traumatik yang dialami oleh masyarakat di Kalimantan Tengah saat itu (BBC, 2020).

Masyarakat lokal perlu dianggap aktor dan bukan subjek proyek -- selain berbagai resiko
ekonomi yang telah dijabarkan yang juga akan menjadi risiko pada implementasi program
food estate di tahun 2021, suatu hal yang belum terlalu jelas adalah rencana peningkatan
kapasitas dan modernisasi yang holistik dan partisipatif. Oleh karena masyarakat masih minim
akan pengetahuan mereka terkait mekanisme dan manajemen agrikultural secara komersial,
maka terdapat kemungkinan bahwa rantai pasok akan didominasi oleh korporasi yang
menimbulkan berbagai pertanyaan mengenai posisi dan perlindungan bagi masyarakat. Hal
ini termasuk hak kelola, pembagian manfaat, alih teknologi yang akan perlu dilakukan untuk
menjamin distribusi manfaat (benefit sharing) kepada masyarakat yang ekuitabel. Jika belajar
dari pengalaman meskipun program food estate ditujukan untuk menjamin ketahanan pangan
dan disaat bersamaan memberdayakan petani lokal, dalam prakteknya proses implementasi
program tersebut justru lebih banyak melibatkan (dan membawa manfaat) bagi korporasi
bermodal besar (Putri, 2013). Komponen distribusi manfaat merupakan suatu komponen
krusial yang patut diprioritaskan, karena efektifitas, efisiensi, dan kecukupan suatu program
dapat terjamin jika manfaat secara merata didistribusikan (Alfiky et al., 2012)

Tanpa perencanaan yang holistik, ekosistem dan lingkungan bisa terancam --


menggunakan PLG sebagai contoh; konstruksi kanal yang terjadi diantara 1996 hingga 1997
dengan melibatkan beberapa ribu ekskavator dan puluhan ribu tenaga kerja membangun dan
membuka lahan vegetasi sepanjang 6,000km melintasi sekitar 1 juta ha hutan gambut,
dimana kemudian sekitar 40,000 petani dari pulau Jawa dan Bali diberikan sekitar 2,5 ha lahan
untuk konversi tanah gambut menjadi lahan agrikultur untuk sawah. Imbas ekologi yang timbul
juga berakhir pada kegiatan ekonomi masyarakat yang sangat terdampak. Intensitas,
frekuensi, dan durasi banjir yang terjadi beserta skala kebakaran hutan yang terjadi oleh
karena rusaknya ekosistem gambut praktis telah menghilangkan mata pencaharian
masyarakat.

Konversi lahan gambut secara umum dapat berakibat nyata terhadap menurunnya ketahanan
lingkungan. Konversi lahan yang terjadi membawa lahan gambut tidak dapat berfungsi sesuai
dengan peruntukannya. Regulasi hukum yang menyangkut konversi lahan sudah banyak
dituangkan dalam peraturan dan perundang-undangan, namun sejauh ini pelaksanaannya
masih tidak sesuai dengan aturan yang telah dibuat. Hal ini terkendala karena kurangnya
koordinasi dan pelaksanaan kebijakan dalam konsistensi perencanaan yang telah dibuat
(Iqbal dan Sumaryanto, 2007). Terkait program food estate saat ini, juga timbul pertanyaan
apakah pemilihan lahan juga sudah diselaraskan dengan berbagai peraturan yang telah
ditetapkan untuk menjaga fungsi ekologis, seperti UU 22/2019 tentang Sistem Budi Daya
Pertanian Berkelanjutan yang pada Pasal 12 Ayat 3 menyatakan bahwa pemanfaatan lahan
untuk keperluan budidaya pertanian harus dilakukan dengan memperhatikan kesesuaian dan
kemampuan lahan dan pelestarian lingkungan hidup, khususnya konservasi tanah dan air. Ini
merupakan hal penting karena juga diatur dalam UU 26/2008 tentang Tata Ruang pada Pasal
8 Ayat 2(d) bahwa mengembangkan kawasan budi daya pertanian secara lestari adalah cara
untuk mewujudkan ketahanan pangan nasional. Jika pada tatanan regulasi kemudian
dibenturkan, akan dapat mengakibatkan imbas negatif pada lingkungan.

Berbagai resiko yang dapat timbul adalah banjir; karena daya serap dan daya tampungnya
yang tinggi, gambut berfungsi mencegah terjadinya banjir pada musim hujan dan melepaskan
air di musim kemarau. Selain itu, gambut juga berperan penting dalam mencegah intrusi air
laut ke daratan. Gambut memiliki kemampuan untuk menjadi cadangan air tawar sehingga
dapat berfungsi sebagai pencegah banjir pada musim hujan dan melepaskan air pada musim
kemarau, juga mencegah intrusi air laut ke daratan. Kemudian potensi kebakaran di lahan
gambut dapat menjadi semakin besar jika terjadi pengeringan. Hal ini disebabkan oleh fungsi
penyerapan air pada gambut yang sangat kering akan sulit kebakaran di atas lahan gambut.
Dalam kondisi seperti itu, api akan membakar bahan-bahan yang ada di atas permukaan
lahan seperti pepohonan, semak, dan lain-lain. Selanjutnya, api tersebut menyebar secara
tidak menentu ke bawah permukaan, baik secara vertikal maupun horizontal, dan membakar
materi organik melalui pori-pori gambut.

APA SOLUSI ATAU REKOMENDASI UNTUK MENDUKUNG IMPLEMENTASI?

Program food estate harus dilihat sebagai perubahan secara holistik dan tidak hanya
menggunakan output produk pangan sebagai indikator keberhasilan. Pengelolaan harus
dilakukan secara komprehensif, inklusif terhadap masyarakat lokal, dan memperhatikan
keberlangsungan lingkungan. Program food estate, menimbang potensinya sebagai fondasi
ketahanan pangan, patut didukung. Namun, terdapat beberapa masukan/rekomendasi yang
dapat disampaikan:

Berdasarkan konsep program saat ini

● Memanfaatkan secara maksimal pembelajaran yang dapat dipetik dari


implementasi berbagai program food estate yang lalu. Ini merupakan kesempatan
yang baik karena bagian dari uji kebijakan juga bisa berangkat dari memahami
kekurangan pada proses yang pernah terjadi. Tujuannya adalah untuk menghindari
masalah yang sama dan bisa menghindari dari seluruh dampak sosial, lingkungan, dan
ekonomi yang pernah terjadi. Hal ini juga selaras dengan semangat evidence-based
policy making;
● Dilakukan penyelarasan di tingkat kebijakan dan regulasi agar tidak berbenturan
dengan semangat berbagai instrumen hukum yang sudah lebih duluan muncul dan
juga lebih tinggi kedudukannya. Namun, yang lebih penting adalah agar instrumen
hukum yang dikembangkan seiring dengan implementasi program perlu dibuat lebih
holistik dan berkesinambungan secara dampak agar nanti peraturan turunan lainnya
untuk mendukung program food estate tidak menyimpang dari prinsip good environmental
governance dan sustainable development principles;
● Implementasi program food estate tidak bisa hanya membuka keran kesempatan
bagi korporasi, namun menyematkan secara kuat komponen pelibatan dan
partisipasi masyarakat. Dalam hal ini, masyarakat dan petani lokal tidak bisa dipandang
hanya sebagai bagian dari objek implementasi, namun seluruh proses perancangan
program dan rencana implementasi harus bertumpu pada berbagai pertimbangan terkait
dengan masyarakat juga termasuk hak tenurial mereka dan menjamin agar terjadi
transfer of knowledge yang sesuai untuk menjamin kesiapan masyarakat untuk
menjalankan program.

Berbagai alternatif inovasi untuk added value program saat ini

● Kembalikan fokus dan navigasi ketahanan pangan pada Kementerian Pertanian


dan memperkuat sistem ketersediaan bahan pangan nasional yang ada
(intensifikasi) tanpa harus langsung konversi lahan untuk mencetak sawah baru
(ekstensifikasi). Produktivitas lahan pertanian yang ada saat ini masih bisa diperkuat
tanpa harus melompat pada derasnya arus upaya konversi lahan untuk memperluas
lahan pertanian. Pada sudut pandang petani, berbagai strategi dapat diupayakan,
misalnya meringankan beban petani dengan peniadaan pajak lahan sawah, peningkatan
subsidi pupuk, dan sebagainya. Intensifikasi pupuk subsidi yang digenjot oleh Kementan
pada tahun 2019 (mengacu pada SK Menperindag 70/2003) perlu didukung agar dapat
secara lebih luas diakses oleh petani. Secara sektoral, produktivitas pertanian dapat
ditingkatkan, salah satunya adalah dengan pengembangan variasi komoditas pertanian,
yang juga sesuai dengan butir diversifikasi komoditas berbasis kearifan lokal yang
menjadi salah satu pilar Kementan untuk meningkatkan ketahanan pangan melalui Badan
Penyuluhan dan Pengembangan SDM Pertanian. Selain diversifikasi, salah satu pilar lain
yang menarik adalah untuk melakukan pengembangan pertanian modern, melalui smart
farming, pengembangan dan pemanfaatan screen house untuk meningkatkan produksi
komoditas hortikultura di luar musim tanam. Dari sisi kewirausahaan, terdapat juga
kebutuhan untuk menumbuhkan dan mengembangkan akses bagi petani seperti bantuan
modal, bimbingan teknis, distribusi produk, akses pasar, dan sebagainya.

Beberapa upaya intensifikasi diatas juga mungkin cocok dengan momentum saat ini yang
dimana banyak masyarakat yang awalnya melakukan urbanisasi saat ini justru sebaliknya
memiliki lebih banyak insentif untuk kembali ke desa. Hal ini terutama diakibatkan oleh
dampak ekonomi yang dibawa oleh Covid 19; pada September 2020 jumlah penduduk
miskin di perkotaan naik menjadi 1,32% sementara di desa 0,60%. Diperkirakan sekitar
12 juta orang kehilangan pekerjaan dan angka tersebut didominasi oleh populasi pekerja
di kota besar. Maka dari itu, momentum untuk memperkuat sistem dan kebijakan
pertanian dapat juga menjadi sektor alternatif saat banyak orang akan kembali ke desa.

● Mempertimbangkan penerapan konsep circular economy dalam kebijakan pangan


untuk memaksimalkan produksi dan mengurangi imbas ekologi. Paham ini
berangkat dari kenyataan bahwa sistem pangan dunia saat ini membawa ancaman
ekologis dan tidak menganut prinsip berkelanjutan (Fassio dan Minotti, 2019). Konsep ini
mengusung penggunaan teknik bertani secara agroforestry dan permaculture, dimana
praktik regenerative agriculture menggunakan pupuk organik dan bukan sintetis serta
melakukan kegiatan seperti rotational grazing dimana manajemen hewan ternak dapat
meningkatkan produktivitas lahan disertai dengan rotasi jenis tanaman di lahan yang
sama yang disesuaikan dengan musimnya (Robertson-Fall, 2020). Diversifikasi adalah
kunci dalam konsep regenerative agriculture yang telah terbukti dapat meningkatkan
kesehatan tanah dalam lahan yang dapat meningkatkan daya dukung lingkungan lahan
tersebut, mempertahankan kandungan air, meningkatkan kesuburan tanah, dan
produktivitas lahan. Maka dari itu komoditas tanaman yang dipilih nanti pun juga harus
disesuaikan dengan karakteristik lahan (semisal lahan gambut), sehingga menjauhkan
program food estate dari jebakan bahwa pilihan tanaman hanya terbatas dan cenderung
menganut pendekatan monokultur.

Konsep circular economy juga mendayagunakan limbah organik, dimana berbagai kota
besar rerata menghasilkan sekitar 2.8 miliar ton limbah organik dan hanya 2% dari angka
tersebut dikembalikan ke sistem pangan untuk digunakan sebagai pupuk organik.
Mengaplikasikan teknik intensifikasi seperti ini dan tidak hanya fokus pada mencetak
sawah baru dapat menjadi alternatif. Sebagai nilai tambah lainnya, menurunkan limbah
makanan sekitar 50% pada tahun 2030 dapat menurunkan emisi global sekitar 1.4 miliar
ton CO2 maka potensi kontribusi ini sejalan dengan Nationally Determined Contribution
(NDC) Indonesia yang menjadikan agrikulture sebagai salah satu sektor utama target
penurunan emisi.

Anda mungkin juga menyukai