keberlanjutan dan dapat dihuni atau dimanfaatkan oleh manusia secara berkelanjutan untuk
waktu yang lama. Istilah ini sering digunakan dalam konteks pelestarian lingkungan dan
pengelolaan sumber daya alam.
Keberadaan lahan abadi pertanian telah diakomadasi dalam Peraturan Pemerintah mengenai
Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional. Demikian disampaikan Direktur Penataan Ruang
Nasional Iman Soedrajat saat memberikan masukan dari Ditjen Penataan Ruang
berkaitan pembahasan RUU Lahan Pertanian Pangan Abadi, di Gedung MPR/DPR Jakarta,
(14/2). Dalam rapat dengar pendapat yang dipimpin F.X Soekarno, Direktur Penataan Ruang
didampingi oleh Kasubdit Kebijakan Penataan Ruang Budi Situmorang.
Dalam RTRWN kawasan lahan abadi pertanian diatur mulai dari aspek kebijakan dan strategi
spasial berupa prioritas mengembangkan dan melestarikan kawasan budidaya pertanian untuk
mewujudkan ketahanan pangan. Kemudian ditetapkan sebagai kawasan strategis nasional
karena memberi pengaruh terhadap ketahanan pangan dan perekonomian nasional.
Selanjutnya dilakukan penetapan zonasi yang menjadi pedoman bagi pemerintah daerah
untuk melakukan pelarangan alih fungsi lahan menjadi non pertanian kecuali pembangunan
sistem jaringan prasarana utama. Pemanfaatan dapat dilakukan hanya untuk permukiman
petani dengan kepadatan rendah dan kegiatan pendukung yang tidak mengganggu keberadaan
kawasan.
Penetapan lahan pertanian abadi harus dilakukan secara selektif misalnya dengan membuat
kriteria high quality atau kelas I yakni beririgasi teknis, penanaman 2 kali setahun, dan hasil
diatas 4,5 juta ton per tahun.Tentunya produksi hanya dari kawasan pertanian kelas I tidak
akan cukup memnuhi kebutuhan pangan sehingga perlu dibuat kawasan kelas I yang baru.
Kegiatan tersebut dapat dlakukan dengan meningkatkan kualitas kawasan lahan yang sudah
ada tetapi belum kelas I, memanfaatkan lahan rawa pasang surut dan lebak dan mencetak
sawah baru.Dalam UU Penataan Ruang, pertahanan kawasan lahan pertanian pangan abadi
juga diatur dalam arah penataan ruang kawasan pedesaan. Mengenai perlindungan lahan
abadi pertanian pangan memang diamanatkan untuk diatur dengan Undang-undang (pasal 48
ayat 2). (gustav)
Presiden jokowi melakukan kunjungan kerja ke Kalimantan Tengah, Kamis (9/7/2020) pagi.
Kunjungannya tersebut dalam rangka meninjau lahan terkait pelaksanaan program ketahanan
pangan nasional, yaitu food estate atau lumbung pangan baru. Lokasi pelaksanaan program
tersebut rencananya berada di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau. Food estate disebut-sebut
dapat meningkatkan ketahanan pangan di Indonesia.
Food estate merupakan konsep pengembangan pangan yang dilakukan secara terintegrasi
mencakup pertanian, perkebunan bahkan peternakan di suatu kawasan. Rencananya food
estate ini akan menjadi salah satu Program Strategis Nasional (PSN) 2020-2024. Menurut
Sigit, tanah yang digunakan untuk food estate adalah eks proyek lahan gambut (PLG). Salah
satu alasan pemerintah mengembangan eks PLG, imbuhnya sebagai perluasan lahan
penghasil cadangan pangan nasional. "Apalagi dengan adanya Covid-19, ini FAO (Food and
Agriculture Organization) sudah memeringatkan bahwa kemungkinan terjadi krisis pangan di
dunia," ujarnya kepada Kompas.com, Kamis (9/7/2020).
PDI Perjuangan (PDI-P) mengkritik program food estate atau lumbung pangan yang digarap
pemerintah sebagai proyek kejahatan lingkungan. Hal ini disampaikan Sekretaris Jenderal
PDI-P Hasto Kristiyanto yang merujuk adanya penyalahgunaan pengembangan lumbung
pangan. "Kami memberikan suatu catatan yang sangat kuat terkait dengan upaya yang telah
dilakukan oleh Presiden Jokowi untuk membangun food estate," kata Hasto di Bogor, Jawa
Barat, Selasa (15/8/2023). Pernyataan tersebut keluar ketika Hasto dimintai pendapat perihal
dugaan aliran dana kejahatan lingkungan Rp 1 triliun yang masuk ke partai politik untuk
pembiayaan Pemilu 2024.
Hasto mengingatkan bahwa politik seharusnya merawat kehidupan dan menjaga Bumi
Pertiwi. Namun, dalam konteks proyek lumbung pangan, justru terjadi penyalahgunaan
misalnya, penebangan hutan hingga habis. "Dalam praktik pada kebijakan itu ternyata
disalahgunakan, kemudian hutan-hutan justru ditebang habis, dan food estate-nya tidak
terbangun dengan baik. Itu merupakan bagian dari suatu kejahatan terhadap lingkungan,"
tegas Hasto. Lantas, apa itu food estate?
Program food estate atau yang dikenal lumbung pangan merupakan kebijakan pemerintah
yang memiliki konsep pengembangan pangan secara terintegrasi. Kebijakan yang digagas
Jokowi ini bahkan menjadi salah satu kebijakan yang masuk dalam Program Strategis
Nasional (PSN) 2020-2024. Dikutip dari laman setkab.go.id, program lumbung pangan
berintikan pada sektor pertanian, perkebunan, termasuk peternakan di suatu kawasan.
Terdapat sejumlah komoditas yang dikembangkan dari kebijakan ini mencakup, komoditas
cabai, padi, singkong, jagung, kacang tanah, hingga kentang. Pelaksanaan proyek lumbung
pangan sendiri tersebar di sejumlah wilayah, di antaranya Kalimantan Tengah, Sumatera
Utara, Nusa Tenggara Timur, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Jawa Barat, Jawa Tengah,
Jawa Timur, hingga Papua. Sedangkan penggarap proyek dilakukan oleh lintas kementerian
yang meliputi, Kementerian Pertanian, Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan,
Kementerian Pertahanan, dan Kementerian PUPR. Dalam pelaksanaannya, masing-masing
wilayah lumbung pangan mengembangkan komoditas yang berbeda-beda
Ketersediaan lahan subur yang semakin berkurang juga merupakan permasalahan yang
tengah dihadapi dan belum menemukan titik terang. Namun untuk membangun sarana
penunjang, sisa lahan pertanian subur yang semakin sedikit pun harus direlakan. Atas nama
pemerintah, kian hari lahan pertanian semakin menyempit akibat pembangunan yang hanya
berfokus terhadap sektor industri dan menghiraukan sektor pertanian.
Dalam hal alih fungsi lahan ini, selain pertumbuhan penduduk tentunya ada faktor-faktor lain
yang dapat mendorong terjadinya alih fungsi lahan. Faktor-faktor tersebutlah yang kemudian
mempengaruhi petani maupun pihak lain untuk melakukan alih fungsi lahan. Oleh karena itu
perlu kita ketahui faktor apa yang sekiranya paling memiliki pengaruh terhadap
pengalihfungsian lahan pertanian. Sehingga kemudian dapat dilakukan pencegahan dan
strategi terkait permasalahan alih fungsi lahan pertanian ke non pertanian di Indonesia.
1. Faktor Ekonomi
Luasan lahan pertanian yang dimiliki dan harga penawaran yang diberikan menjadi
pendorong petani untuk melakukan alih fungsi lahan. Petani dengan luasan lahan
pertanian yang kecil biasanya adalah yang paling mudah tergiur untuk melakukan
kesepakatan terkait alih fungsi lahan. Dengan hasil produksi yang kecil serta tidak
dapat menjanjikan untuk masa yang akan datang, dengan sukarela mereka akan
merelakan lahannya untuk dialihfungsikan Tentunya hal tersebut juga dilakukan
dengan harga penawaran yang menggiurkan.
Berbeda dengan petani pemilik lahan kecil yang orientasinya untuk memenuhi
kebutuhan hidup sehari-hari. Petani yang memiliki lahan yang luas akan
mempertahankan lahannya, meskipun harga yang ditawarkan akan sangat tinggi. Hal
tersebut karena orientasi produksinya yang sudah pada ekonomi. Namun berbeda
halnya apabila lahan sudah tidak lagi subur dan nilai produktivitas rendah.
2. Faktor Sosial
Tren pekerjaan pemuda saat ini sangat jauh dari hal yang berkaitan dengan pertanian,
sehingga rata-rata pelaku di sektor pertanian merupakan angkatan tua. Banyak sektor
lain yang dianggap lebih menjanjikan. Dan sektor pertanian yang terkesan ruwet
dianggap sangat tidak cocok dengan gaya hidup pemuda saat ini. Dari itu muncul
permasalahan di lingkup pewaris lahan pertanian yang luasannya besar maupun kecil
untuk menjual ataupun membangun usaha di sektor lain daripada melanjutkannya
untuk kegiatan bercocok tanam.
3. Faktor kebijakan
Beberapa sarana penunjang yang dibangun pemerintah juga seringkali mengorbankan
lahan-lahan pertanian subur milik petani-petani yang produktifitasnya tinggi.
Kebijakan pemerintah yang tidak dapat ditentang, mewajibkan petani untuk sukarela
menyerahkan lahannya yang sering kali tidak diimbangi dengan pengganti baik uang
maupun lahan baru yang tidak setimpal.Kebijakan pemerintah yang terlalu berfokus
pada pembangunan sektor lain, seakan lupa terhadap sektor pertanian yang menjadi
penyedia bahan baku utama. Kebijakan pemerintah yang lebih memilih impor bahan
baku, terkesan tidak peduli terhadap kondisi pertanian di negeri sendiri. Bukannya
dibenahi, malah diselesaikan dengan solusi yang menguntungkan untuk sektor
pertanian itu sendiri.
Memang dengan pencapaian dan manfaat yang dirasakan saat ini, tidak dapat
dipungkiri lagi. Namun terkait tentang bagaimana imbasnya di kemudian hari, saya
rasa akan memberi dampak buruk yang signifikan terhadap perkembangan sektor lain.
Utamanya yang berkaitan dengan produktivitas bahan baku dan lingkungan. Oleh
karena itu, sekiranya pemerintah lebih baik lagi dalam merumuskan kebijakan terkait
pembangunan. Sehingga dapat mengimbangi kebutuhan sektor pertanian dan
kehutanan utamanya dalam hal ketersediaan lahan.