Anda di halaman 1dari 23

PENDAHULUAN

LANDASAN MORIL KENAPA KITA MESTI BERGERAK DALAM MOMENTUM


HARI TANI

Hari Tani Nasional diperingati setiap tanggal 24 September yang merupakan bentuk
apresiasi terhadap semua jasa yang dilakukan pada petani Indonesia sekaligus sebagai
momentum bagi para petani untuk menagih janji pemerintah dalam mendorong kemajuan
sektor pertanian dan kesejahteraan petani. Peringatan hari tani sejatinya beriringan dengan
dibuatnya Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960, yang menjadi dasar amanat
untuk mewujudkan kemajuan sektor pertanian dan kemakmuran rakyat melalui reforma
agraria. Dalam programnya reforma agraria dijalankan dengan penataan, penguasaan, dan
penggunaan sumber-sumber agraria agar lebih adil dan merata demi kepentingan rakyat.
Enam dasawarsa berlalu sejak disahkannya UUPA 1960, kini reforma agraria di
Indonesia tengah memasuki tantangan baru. Memasuki periode kedua pemerintahannya,
komitmen Presiden Joko Widodo terkait reforma agraria masih ditunggu. Pada periode
pertama pemerintahannya, bersama Wakil Presiden Jusuf Kalla tahun 2014-2019, Presiden
Joko Widodo memasukkan reforma agraria dan kedaulatan pangan sebagai program prioritas
dalam Nawa Cita (sembilan program prioritas). Program reforma agraria dan kedaulatan
pangan kembali dilanjutkan Presiden Joko Widodo pada periode kedua pemerintahannya,
bersama Wakil Presiden KH. Ma’ruf Amin, tahun 2019-2024. Kedua hal tersebut termasuk di
dalam Visi Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian berlandaskan gotong
royong sebagai visi pembangunan Indonesia ke depannya.

Bahkan kita masih ingat terkait cita-cita Presiden Jokowi untuk mengangkat derajat
petani lewat redistribusi lahan 9 hektar, namun cita-cita tersebut hanyalah tinggal cita-cita
belaka. Program reforma agraria yang diwujudkan dengan penerbitan Perpres No. 86/2018
tidak terimplementasi dengan baik. Krisis agraria dan kerusakan lingkungan menjadi efek
domino dari tidak berjalannya reforma agraria yang dicita-citakan.

Food and Agriculture Organization (FAO) menyatakan bahwa dunia akan mengalami
krisis sebagai dampak penyebaran COVID-19 yang belum dapat dipastikan kapan akan
berakhir. Kegagalan pemerintah untuk menyediakan pangan akan berdampak pada timbulnya
kerawanan pangan, yaitu kondisi di mana masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan
pangan minimal dalam periode waktu yang lama.
Ketahanan pangan merupakan hal penting dan mendasar bagi suatu negara. Salah satu
upaya pemerintah dalam upaya menjaga ketersediaan pangan secara berkelanjutan adalah
dengan program Food Estate (Lumbung Pangan). Namun, pelaksanaan program food estate
telah menimbulkan trauma dalam masyarakat akibat banyaknya dampak negatif yang terjadi
di masa lalu. Benarkah megaproyek Food Estate akan sepenuhnya mensejahterakan petani
atau menjadi ladang eksploitasi bagi para investor saja?
Catatan Akhir Tahun 2020 Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA)

Meski bukan program baru, program Food Estate atau lumbung pangan nasional di
era Jokowi menjadi jawaban pemerintah atas ancaman krisis pangan di Indonesia selama
masa pandemi. Program ini dipromosikan dapat mengatasi ancaman krisis pangan dan
meningkatkan ketahanan pangan Indonesia ke depan.

Program Food Estate masuk ke dalam daftar Proyek Stategis Nasional (PSN) 2015-
2019. Dalam daftar tersebut, program lumbung pangan nasional rencananya akan dibangun di
beberapa lokasi, diantaranya, 1) Papua (1,2 juta hektar), 2) Kalimantan Barat (120.000
hektar), 3) Kalimantan Tengah (180.000 hektar), Kalimantan Timur (10.000) hektar dan
Maluku (190.000).

Dari target awal tersebut, pemerintah melakukan revisi atas beberapa target PSN
melalui Peraturan Presiden Nomor 109/2020 tentang Perubahan Ketiga Atas Peraturan
Presiden Nomor 3/2016 tentang Percepatan Pelaksanaan Proyek Strategis Nasional. Salah
satu proyek yang direvisi ialah program Food Estate. Dalam Rapat Terbatas (Ratas) Presiden
mengenai Food Estate, tanggal 23 September 2020, Presiden Jokowi memberikan arahan
sekaligus merevisi target program lumbung pangan sebelumnya menjadi lima lokasi. Pada
tahap pertama, proyek akan dilaksanakan di Kalimantan Tengah (168.000 hektar) yang
berada di Kabupaten Kapuas dan Pulang Pisau, di Sumatra Utara (60.000 hektar), tepatnya di
Kabupaten Humbang Hasundutan, Kabupaten Tapanuli Utara, Kabupaten Tapanuli Tengah
dan Kabupaten Pak-Pak Bharat.

Selanjutnya, tahap kedua akan dikerjakan di Sumatra Selatan, Nusa Tenggara Timur
hingga Papua. Di Sumatra Selatan, lokasi lumbung pangan ini akan dibuka di 9
kabupaten/kota seluas 235.351 hektar, yaitu Palembang, Banyuasin, Ogan Komering Ilir,
Ogan Komering Ulu, Ogan Komering Ulu Timur, Musi Banyuasin, Panukal Abab Lematang
Ilir, Musi Rawas Utara, dan Muara Enim.

Sedangkan untuk NTT, lumbung pangan akan dibuka di Kabupaten Sumba Tengah
seluas 5.000 hektar. Di Papua, lokasi lumbung pangan akan dibuka di Kabupaten Merauke,
Boven Digoel dan Mappi seluas 2.052.551 hektare. Khusus di Merauke, pemerintah
akan melanjutkan proyek lumbung pangan yang dulu pernah digagas pada masa
pemerintahan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono (SBY) melalui proyek Merauke
Integrated Food Energy Estate (MIFEE) di tahun 2010 lalu. Padahal proyek MIFEE adalah
proyek ambisius yang pada akhirnya lebih banyak mengalami kegagalan.

Proyek ambisius ini memang terlihat sangat menjanjikan, apalagi dibungkus dalam
narasi ketahanan pangan. Namun, belajar dari pengalaman masa lalu, pemerintah seharusnya
memikirkan kembali rencana besar ini. Sejarah mencatat bagaimana kebijakan yang sama
pernah gagal total di era pemerintahan Soeharto dan SBY. Selain mangkrak, proyek-proyek
tersebut telah melahirkan akumulasi penguasaan tanah oleh perusahaan-perusahaan besar
akibat praktek-praktek perampasan tanah, peminggiran petani hingga degradasi lingkungan.

Setali tiga uang, proyek ambisius yang digagas saat ini ibarat api dalam sekam,
karena menyimpan berbagai masalah.

Pertama, ancaman perampasan tanah dan konflik agraria. Salah satunya proyek
pembukaan lahan lumbung pangan di Kecamatan Pollung, Humbang Hasundutan telah
memakan korban. Dari 1.000 hektar pembukaan lahan yang ditarget pada tahun 2020 ini, 215
hektarnya sudah dilepaskan dan telah memicu letusan konflik agraria. Pasalnya, lokasi
proyek berada di wilayah adat.

Jika pemerintah tidak memegang prinsip kehati-hatian dalam proses pengadaan tanah
untuk lokasi pengembangan lumbung pangan ini, dapat dibayangkan betapa tingginya letusan
konflik agraria dan perampasan tanah yang akan ditimbulkan oleh pelaksanaan proyek Food
Estate ini. Apalagi berkaca pada pendekatan pemerintah seringkali gegabah dalam
mengeluarkan izin-izin lokasi, tanpa tahap peninjauan situasi lapangan. Mengeluarkan izin di
atas tanah-tanah yang diklaim sebagai tanah negara atau tanah tak bertuan, padahal fakta di
lapangan sudah menjadi tanah garapan, pemukiman, bahkan kampung dan desa definitif.
Pengeluaran izin-izin tersebut menjadi penyebab terjadinya konflik agraria dan jatuhnya
korban.
Kedua, Food Estate pada kenyataannya meminggirkan petani dari dunia pertanian itu
sendiri. Food Estate memang berbicara pangan, tapi tidak dimaksudkan untuk menempatkan
petani sebagai produsen pangan yang utama. Pasalnya program ketahanan pangan ini
menyandarkan produksi pangan dari hulu sampai hilir di pundak korporasi pangan besar.
Artinya, urusan pangan dan produk pertanian akan diserahkan sepenuhnya kepada korporasi
pertanian pangan. Sementara petani dan warga desa hendak diarahkan menjadi para pekerja
di lokasi-lokasi Food Estate tersebut, dengan demikian negara sedang mendorong terjadinya
ploretarisasi petani dan hilangnya keluarga petani kecil (depeasantisation) secara masif dan
terstruktur.

Dilansir dari Kementerian Pertanian, untuk Proyek Food Estate di Humbahas saja,
sudah ada beberapa korporasi swasta yang siap berinvestasi, yaitu, PT. Indofood, PT. Calbe
Wings, PT. Champ, PT. Semangat Tani Maju Bersama, PT. Agra Garlica, PT. Agri Indo
Sejahtera dan PT. Karya Tani Semesta.

Ketiga, Food Estate berpotensi merusak lingkungan, pasalnya sebagian besar lokasi
ini berada di atas lahan gambut. Belajar dari proyek cetak sawah satu juta hektar di atas lahan
gambut yang digagas Presiden Soeharto di masa lalu tidak hanya berakhir gagal total, namun
juga melahirkan degradasi lingkungan yang sangat parah.

Seharusnya krisis ekonomi dan pangan akibat pandemi ini melahirkan kesadaran bagi
pemerintah dan semua pihak bahwa sistem pembangunan yang telah berjalan selama ini
mestilah dirombak. Dengan kata lain, krisis pangan ini mestilah menjadi momentum untuk
merubah struktur penguasaan dan penggunaan lahan di pedesaan,
merombak landscape pedesaan monokultur menjadi desa-desa berdaulat pangan berbasis
rumah tangga petani, dan memastikan petani memiliki tanah cukup dan kapasitas yang
diperkuat untuk pertanian. Menyediakan tanah-tanah negara dari klaim PTPN, PERHUTANI,
HTI, termasuk tanah terlantar perkebunan swasta, lahan kosong di desa dan kota bagi rakyat
untuk mengembangkan sentra-sentra pertanian, peternakan dan kebun pangan untuk
meminimalisir dampak yang ditimbulkan krisis pangan ini.

Pengalaman KPA selama pandemi dan puluhan tahun dalam perjuangan hak atas tanah
membuktikan bahwa desa-desa dan kampung-kampung yang berdaulat pangan, yang
memiliki resiliensi terhadap krisis ekonomi dan ancaman krisis pangan saat ini, hanya bisa
tercipta di wilayah-wilayah dimana petani dan pertanian keluarganya memiliki tanah untuk
tanaman pangan. Bahkan desa-desa seperti ini di masa pandemi tetap mengalami surplus
pangan dan mampu menjadi garda terdepan memobilisasi donasi pangan ke daerah-dearah
rawan pangan. Termasuk mengalirkan panennya ke kota-kota yang menjadi episenstrum
penyebaran virus.

Sayangnya, alih-alih menjalankan reforma agraria sebagai sikap politik dan terobosan
baru mengatasi krisis yang akan memperkuat kapasitas produksi rakyat tani sebagai produsen
pangan nasional, justru yang dikerjakan pemerintah mengulang model lama dan kesalahan di
masa lalu lewat liberalisasi dan militerisasi pangan. Membangun Food Estate yang berbasis
pertanian monokultur dengan menyandarkan pengelolaan dan pengembangan kepada
korporasi bukan petani, jauh dari prinsip kedaulatan pangan dan ekonomi kerakyatan yang
dicita-citakan.
FOOD ESTATE: DILEMA DAN ANCAMAN MULTI SEGMENTASI

DAMPAK FOOD ESTATE TERHADAP HUTAN DAN LINGKUNGAN

Menurut Kementerian Kebijakan Agrikompleks BEM KM IPB (2021) dalam dwiligi


kajian Dalih Kesejahteraan Pangan untuk Kesejahteraan Korporasi adalah sebagai berikut:

1. Kasus Kegagalan Food Estate

1.1 Beberapa mega proyek lahan gambut yang dilaksanakan dalam rangka menuju
kedaulatan pangan sudah pernah dilaksanakan dan mengalami kegagalan.

Megaproyek lahan gambut memberikan dampak kegagalan pada masyarakat lokal


dan transmigran. Dari keseluruhan wilayah rencana PLG, luasan yang terealisasi hanya
mencapai 3,3% dan pencetakan sawah baru selesai 2,9% dalam kurun waktu 2 tahun.
Perkembangan yang lambat ini disebabkan berbagai masalah seperti kesalahan metode
pelaksanaan dan tata air yang menyebabkan lahan gambut mudah terbakar.

1.2 Pengembangan Lahan Gambut (PLG) Kalimantan Tengah


Prof. Abdurachman Adimihardja (2003) dari Kapuslitbangtanak mengatakan
penyebab utama kegagalan PLG dalam membangun ‘lumbung padi nasional di luar
Jawa’ bukanlah karena lahan rawa tidak layak dibudidayakan, tetapi karena perencanaan
yang kurang matang dan tidak didukung dengan data yang memadai. Pelaksanaan PLG
Kalimantan Tengah berdampak negatif karena tidak didahului dengan perencanaan yang
terencana (Mawardi (2007). Beberapa dampak negatif tersebut antara lain:
1. Pembuatan Saluran Primer Induk (SPI) sepanjang 187 kilometer yang
menghubungkan Sungai Kahayan, Sungai Kapuas dan Sungai Barito serta
memotong cukup banyak anak sungainya telah berakibat berubahnya pola tata air,
dan kualitasnya. Pembuatan saluran tersebut telah membongkar lapisan gambut
yang mengandung bahan sulfidik, sehingga timbul senyawa pirit yang bersifat
racun, dan kondisi inilah yang menjadi penyebab kematian ikan secara masal yang
disebabkan oleh perbedaan yang mencolok antara pH pada saluran irigasi (3,5 – 4)
dengan pH air sungai (5,5 – 6,5).
2. Penebangan pohon di hutan rawa gambut mengakibatkan daya serap permukaan
tanah berkurang, kondisi ini menyebabkan sering terjadinya banjir di musim
penghujan, sebaliknya pada musim kemarau lahan gambut lebih mudah terbakar.

Beberapa spesies tumbuhan langka yang dilindungi seperti ramin (Gonystylus spp),
jelutung (Dyeralowii), kempas (Koompassia malaccensis), ketiau (Ganua
motleyana),dan nyatoh (Dichopsis elliptica) terancam punah, selain itu keberadaan
ekosistem air hitam (black water ecosystem) dan ikan khas yang hidup di
dalamnya, seperti manau tempahas (Calamus manau) menjadi terancam, padahal
ekosistem air hitam ini merupakan kawasan khas di lahan gambut
3. Pembukaan lahan gambut menimbulkan dampak menurunnya produksi di sektor
perikanan, kondisi ini dapat dilihat dari hilangnya beje dan tatah (teknik
penangkapan ikan secara tradisional) di beberapa desa seperti di Dadahup,
Terantang, dan Lamunti. Sebelum proyek PLG dilaksanakan produksi ikan dari beje
dan tatah di daerah kajian sekitar 500 – 2000 kg/beje/tahun dengan total produksi
sekitar 2000 ton/tahun atau senilai 10 milyar rupiah. Namun setelah proyek PLG
dilaksanakan, pada tahun 2000 produksi beje yang masih tersisa menurun sangat
drastis antara 5 – 150 kg ikan/beje atau sekitar 10 – 20 ton ikan senilai 75 juta
rupiah (Kartamihardja dan Koeshendrajana 2001).
4. Dampak sosial bagi masyarakat lokal yaitu hilangnya sumber pendapatan dari hasil
hutan seperti karet, berbagai jenis tanaman obat, satwa buruan, serta “purun” yaitu
jenis tanaman yang digunakan untuk membuat tikar, serta berkurangnya lahan
perikanan dan menurunnya hasil tangkapan ikan, kondisi ini mengakibatkan
menurunnya pendapatan masyarakat lokal di sekitar proyek PLG secara drastis.
5. Proyek PLG melanggar sistem tata ruang yang sudah disepakati masyarakat adat,
karena masyarakat mempunyai zonasi tata guna lahan sendiri yaitu 3 kilometer dari
pinggiran sungai, berupa lahan subur yang diijinkan untuk kegiatan budidaya, dan
lebih dari 3 kilometer hingga 5 kilometer adalah hutan adat yang dimiliki secara
komunal yang dapat dimanfaatkan berdasarkan kesepakatan adat.
6. Proyek ini menyisakan berbagai masalah sosial dan lingkungan, seperti nasib buruk
para transmigran yang pada umumnya belum menguasai pengolahan pertanian
lahan basah, dan masyarakat setempat tergusur dari lahannya.
7. Pembukaan lahan gambut yang tidak memperhatikan kelestarian, kaidah
lingkungan dan pembangunan saluran serta penempatan permukiman yang tidak
diimbangi dengan penataan ruang yang baik mengakibatkan kerusakan ekosistem
dan hutan tropika basah (tropical rainforest) menjadi lahan terbuka

2. MIFEE di Merauke, Papua

2.1 Pada masa pemerintahan Presiden SBY, ide untuk membangun food estate kembali
muncul dan diwacanakan melalui program Merauke Integrated Food and Energy
Estate (MIFEE) yang disahkan pada 11 Agustus 2010 oleh Kementerian Pertanian.

Rancangan pembangunan ini bertujuan menghasilkan produk pangan dan biofuel


untuk pasar domestik maupun internasional sebagai bentuk pembangunan ekonomi
komprehensif. Pembangunan MIFEE turut menuai kritik dari LSM, 7 akademisi, dan
institusi riset karena pemerintah dianggap mengabaikan eksternalitas negatif seperti
deforestasi, kehilangan keanekaragaman hayati, konflik sosial, dan tekanan atas
kehidupan masyarakat sekitar (ICEL 2020). Proyek MIFEE memiliki dampak
lingkungan yang “terbatas” disebabkan lokasinya berada di lanskap sabana Papua bagian
selatan. Namun, karena 75 persen dari lahan yang dialokasikan untuk proyek ini
terdiri dari hutan dengan 350.000 hektar lahan gambut, proyek ini dinilai akan
menyebabkan degradasi lingkungan dalam skala besar (Ginting and Pye 2013).

2.2 Dampak MIFEE dan Food Estate di Merauke Bagi Masyarakat Adat
Rezim kepemilikan disinyalir akan menimbulkan perdebatan apabila terjadi
perubahan dari common property menjadi private proverty. Menurut USAID (2006),
common property merupakan subjek agraria yang dimiliki oleh suatu komunitas umum.
Sementara private property merupakan kepemilikan yang dikhususkan oleh satu orang
atau badan yang legal dari segi hukum. Berdasarkan hal tersebut, MIFEE diindikasikan
ada perubahan dari sistem tenurial yang semula dimiliki oleh masyarakat Marind
kemudian diakuisisi oleh perusahaan menjadi kepemilikan yang private. Hal ini ditandai
dengan adanya aparat POLRI dan TNI yang menjaga wilayah dari PT SIS. Berdasarkan
data yang didapatkan, wilayah kabupaten merauke memiliki luas 4.707.720 Ha dengan
komposisi hutan produksi seluas 1.328.790 Ha, hutan konservasi 1.458.600 Ha, hutan
lindung 283.670 Ha, dan penggunaan lain seluas 217.210 Ha. Program MIFEE secara
total menggunakan 970.000 Ha untuk kayu industri,
a) Ha sawit, dan tanaman pangan 69.000 Ha. Evaluasi dari program MIFEE adalah
tidak memasukan sagu sebagai pangan lokal dari Merauke, sehingga timbul
permasalahan untuk mendapatkan sagu karena fokus dari program secara
mengejutkan tidak mengedepankan tanaman pangan lokal.Akibat dari adanya
hutan yang disekap oleh korporasi menyebabkan beberapa permasalahan yang
menjadi isu yang perlu diperhatikan yaitu:

b) Perspektif budaya akan melihat bagaimana tahapan hilangnya sebuah kebudayaan


bila melihat dari kasus MIFEE dengan alat analisis yang digunakan berdasarkan
teori 7 unsur kebudayaan milik Koentjaraningrat.
c) Perspektif ekologi akan melihat dengan perbandingan paradigma ekologi antara
masyarakat Marind dengan korporasi dalam memandang lingkungan.
d) Perspektif sosial lainnya akan menjelaskan terkait marginalisasi, dan adopsi inovasi
apabila nantinya akan dilakukan program serupa di kabupaten Merauke ini.
Kemudian dari perspektif ekonomi akan menyinggung terkait strategi nafkah dan
juga kerugian ekonomi yang ditimbulkan dari adanya MIFEE

3.3 MIFEE dan Dieorientasi Kedudukan Hutan bagi Masyarakat Adat


Merauke memiliki estetika persepi terhadap lingkungan yang kuat. Salah satu
contohnya adalah totem yang merupakan perubahan wujud Dema ke dalam bentuk
binatang, tumbuhan, atau benda yang menjadi simbol kelompok atau marga dari
masyarakat Marind (Yarman et al. 2013). Misalnya Marga Gebze dengan totem kelapa,
Marga Mahuze dengan totem sagu, Marga Kaize dengan totem kasuari, Marga Ndiken
dengan totem burung ndik, sedangkan Marga Samkakai dengan totem kanguru.
Fungsi dari totem tersebut adalah sebagai bentuk simbol sakral bagi masing-
masing marga. Totem tersebut perlu dihormati oleh setiap marga, misalnya tindakan
kasar kepada kelapa dan sagu dapat menimbulkan peperangan antar marga dan bahkan
dihukum mati (Keiya 2019). Hal ini menunjukan bahwa cara pandang lingkungan bagi
masyarakat Marind memiliki keterkaitan yang sangat kuat terkait dengan paradigma
ekologi bebasis Ekosentrisme yang melihat bahwa alam yang terdiri dari biotik dan
abiotik memiliki nilai dan perlu dihormati eksistensinya (Keraf 2006). Fenomena
tersebut dapat dijelaskan melalui pendefinisian kearifan lokal yang akan dikelompokan
sedikitnya definisi dari 3 tokoh yang berbeda lengkap dengan interpretasinya terhadap
pandangan masyarakat Marind dengan hutan atau totem.

3. DeKaFe di Kalimantan
Pada tahun 2011 proyek food estate di Kabupaten Bulungan, Kalimantan Timur
(sekarang Kalimantan Utara) sebagai salah satu program Pemerintah Pusat untuk
mewujudkan ketahanan pangan yaitu Delta Kayan Food estate (DeKaFE). Proyek ini
mulanya direncanakan pada lahan seluas 50,000 hektar dan 30,000 diantaranya merupakan
tanah subur dengan tipe tanah alluvial (ICEL 2020). Proyek DeKaFe ini berdampak terhadap
petani transmigran karena mereka harus kehilangan tanahnya disebabkan harus berhadapan
dengan perampasan lahan oleh korporasi sawit yang difasilitasi oleh pemerintah daerah.
Ekspansi kelapa sawit telah menyebabkan proses pemindahtanganan tanah secara cepat.
Petani transmigran tidak hanya kehilangan lahannya, tapi juga harus menghadapi gagal panen
akibat daya dukung lahan yang tersisa rusak akibat degradasi lingkungan (McCarthy and
Obidzinski 2015). Tumpang tindih antara kawasan hutan dan permukiman transmigrasi di
Bulungan, Kalimantan Utara yang belum terselesaikan menyebabkan penghidupan petani
transmigran menjadi terancam. Petani transmigran terancam dipidanakan disebabkan
menempati lokasi yang masih berstatus sebagai wilayah kawasan hutan (Bidang Transmigrasi
Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur 2013).

4. Dampak Food Estate bagi Hutan dan Lingkungan

Terbitnya Peraturan Menteri [Permen] Nomor P.24/MENLHK/SETJEN/


KUM.1/10/2020 tentang Penyediaan Kawasan Hutan untuk Pembangunan Food estate
menjadi sorotan sejumlah pegiat lingkungan. Program ini dinilai berpotensi mendorong laju
deforestasi di Indonesia, terutama hutan di Sumatera, Kalimantan, dan Papua. Uli Arta
Siagian, Direktur Genesis Bengkulu mengatakan, pengalaman selama ini menunjukkan,
pelepasan kawasan hutan sering berujung pada kerusakan lingkungan hidup. Beliau juga
mengatakan bahwa permen tersebut sangat berpotensi mempercepat laju deforestasi dan
merusak lingkungan hidup (Supardi 2020).

Hutan memiliki peran untuk menyimpan cadangan-cadangan karbon secara besar dan
mampu menyerap karbon dioksida berlebih yang ada di udara dan mengkonversinya menjadi
oksigen melalui proses fotosintesis yang dapat menyimpan karbon lebih dari dua ratus miliar
ton. Deforestasi berpengaruh sangat besar terhadap perubahan iklim yang berkaitan dengan
karbon-karbon yang ada di udara dan pada tanah gambut jika kehilangan pohon di atasnya
maka akan melepaskan karbon yang tersimpan ke udara (Septiyan 2019). Organisasi
lingkungan, Walhi, menyebut proyek food estate atau lumbung pangan di Kalimantan
Tengah seluas 165.000 hektar mengancam lahan gambut sehingga berpotensi menimbulkan
kebakaran lahan. Kebijakan tersebut akan merusak fungsi hutan lindung untuk mencegah
bencana banjir dan longsor. Walhi juga menyebut aturan terkait penggunaan hutan lindung
ini tidak memperhitungkan dampak lingkungan dan memberikan keleluasaan penuh kepada
korporasi karena tak mengharuskan membuat Analisis Dampak Lingkungan (Amdal)
(Anonymous 2020).

5. Fenomena Partisipasi Manipulatif dalam Food Estate


Partisipasi manipulatif memiliki kesan jahat dan tidak sejalan dengan pembangunan
masyarakat. Partisipasi manipulatif disuarakan oleh Arnstein (1969) dan Pretty (1995).
Berikut merupakan perbedaan definisi partisipasi manipulatif:

Tabel. Perbedaan Definisi Partisipasi Manipulatif Antara Arnstein (1969) dan


Pretty (1995)
Arnstein (1969) Pretty (1995)
Merupakan partisipasi dari tingkatan Disebut juga sebagai partisipasi “pura-
terendah. Biasanya masyarakat direkrut pura”. Masyarakat terintegrasi, tetapi
sebagai komite atau badan nasehat, sebenarnya dari stakeholder pembuat
tujuannya adalah agar program yang kebijakan atau pemerintah, tidak
dibawa mendapatkan dukungan dari memberikan masyarakat kekuasaan.
setempat. Manipulasi ditandai dengan
dijadikannya masyarakat yang terlibat
sebagai public relations bagi para agen
eksternal. Misalnya di dalam program
pembaharuan desa, dimana asumsi dari
masyarakat setempat menyatakan
bahwa program tersebut memang
dibutuhkan. Padahal, masyarakat sendiri
yang direkrut sebenarnya hanya
dimanipulasi agar masyarakat setempat
merasa percaya dan butuh akan program
tersebut.
Interpretasi yang didapatkan dari penjelasan dua tokoh di atas adalah bahwa
partisipasi manipulatif tidak hanya sebatas partisipasi formalitas, tidak berarti partisipasi
sebenarnya. Kebenaran partisipasi harusnya dapat mengacu pada bentuk partisipasi Cohen
dan Uphoff (1980) yang menyatakan bahwa setidaknya partisipasi melewati dari mulai
partisipasi dalam pengambilan keputusan, partisipasi dalam pelaksanaan, partisipasi dalam
menikmati hasil, serta partisipasi dalam evaluasi. Pada kenyataannya, pengambilan keputusan
yang dilakukan oleh masyarakat Marind tidak dilandaskan asas apa yang menjadi needs bagi
masyarakat Marind. Penandatanganan surat penghargaan dari PT SIS kepada masyarakat
Marind menjadikan partisipasi tersebut terlihat sangat manipulatif, seakan disetujui tetapi
pada akhirnya masyarakat Marind merasa dirugikan. Masyarakat Marind hanya dijadikan
sebagai objek formalitas atas legalitas yang tidak mencapai kesepakatan yang sebenarnya.
Adopsi teknologi tidak serta merta cepat dan instan dan dapat menimbulkan polemik
di kemudian hari. Akibatnya partisipasi akan berujung semu. Jika program foodestate
mencapai hasil positif tentang partisipasi masyarakat lokal, tentu tidak akan menimbulkan
gejolak konflik yang menyebabkan masyarakat tereksklusi dari pembangunan.
Inovasi merupakan sesuatu yang memiliki keuntungan relatif dan biasanya berupa hal
baru yang dapat diterapkan kepada masyarakat. Untuk mengadopsi suatu inovasi, tentu
sangat diperlukan kehati-hatian dan kesabaran. Namun, pada kenyataannya pada saat
melakukan program MIFEE dan bahkan food estate, proses adopsi tidak ditekankan. Dalam
proses adopsi, tentu memiliki tahapannya. Tahapannya ada lima:
1) Tahap pengetahuan, ditandai dengan rasa ingin tahu suatu subjek sehingga dapat
membuka diri apabila terdapat suatu inovasi.
2) Tahap persuasi, ditandai dengan aspek sikap dengan menilai suka atau tidak suka
dari subjek terhadap suatu inovasi.
3) Tahap keputusan, ditandai dengan menolak apabila tidak suka atau menerima apabila
suka. Sebenarnya tidak selalu begitu, bisa saja mungkin tidak suka namun tetap
menerima, biasanya ada faktor lain misalnya tuntutan atau insentif.
4) Tahap implementasi, ditandai dengan keaktifan mental maupun tindakan terhadap
implementasi inovasi.
5) Tahap konfirmasi, ditandai dengan adanya penguatan dari subjek. Apabila suatu inovasi
tersebut dinilai memiliki manfaat atau keuntungan relatif yang sesuai, maka objek akan
mencari penguatan dengan melanjutkan. Demikian sebaliknya.
Adopsi inovasi dengan lima tahapan tersebut diperlukan untuk memunculkan
partisipasi yang penuh dari suatu program perlu adanya. Jangan sampai masyarakat dibodohi
oleh kebijakan, suatu hak bagi masyarakat untuk menolak apabila tidak ingin mengadopsi
suatu inovasi. Menolak merupakan salah satu bentuk partisipasi dalam pengambilan
keputusan. Jika partisipasi tidak tercapai, maka ketika program MIFEE masih terus berjalan
hanya akan menyebabkan marginalisasi bagi masyarakat. Menurut Perlman (2010),
marginalisasi terdiri dari Marginalisasi Sosial dan Marginalisasi Budaya. Marginalisasi Sosial
adalah keadaan ketika masyarakat terisolasi hidupnya dengan tidak mendapatkan ruang untuk
mengakses sumberdaya. Marginalisasi Budaya adalah keadaan ketika masyarakat terisolasi
dengan tidak diberikan ruang terkait suku, agama, ras, dan adat (SARA) sehingga
implementasi suatu kebudayaan menjadi tidak optimal atau disulitkan.
Pada kasus MIFEE, marginalisasi sosial ditandai dengan masyarakat adat yang tidak
dapat mengakses sumber daya dari hutan karena adanya rezim properti yang berubah.
Sehingga untuk mencari hewan buruan, obat-obatan, dan pangan lainnya mengalami
kesulitan dan harus mencari ke daerah lain. Hal tersebut menjadikan masyarakat terisolasi,
untuk mendapatkan pelayanan kesehatan pun harus pergi ke kota karena tidak disediakan
sama oleh perusahaan. Kemudian marginalisasi budaya yang ada di masyarakat tergambar
ketika masyarakat perlahan kehilangan identitas menjadi masyarakat Marind. Totemisme
terganggu karena hutan yang hilang, kearifan lokal tentang paradigma ekosentrisme yang
menganggap hutan sebagai mama tidak lagi menjadi hal sakral jika pada kenyataannya
dirusak sendiri aturannya oleh orang luar (perusahaan). Akibatnya, menyelenggarakan adat
istiadat terganggu.
PETA PERSEBARAN LOKASI FOOD ESTATE

1. Kalimantan Tengah

Luas Wilayah
Food Estate Kalimantan Tengah menempati lahan dengan luas 30.000 hektare.

Lokasi
Akan dibuka lahan 10.000 hektare di Kabupaten Pulang Pisau dan 20.000 hektare di
Kabupaten Kapuas.

Komoditas
Food Estate di Kalimantan tengah akan mengembangkan komoditas padi,
hortikultura, peternakan dan perikanan. Luasan per clusternya sekitar 1.000 hektare.

2. Sumatera Utara

Luas Wilayah
Food Estate Sumatera Utara mencanangkan sekitar 61.042 hektare.

Lokasi
Luasan Food Estate di Sumatera Utara melingkupi empat kabupaten yaitu :
1. Humbang Hasundutan (23.000 hektare)
2. Pakpak Barat (8.329 hektare)
3. Tapanuli Tengah (12.655 hektare)
4. Tapanuli Utara (16.833 hektare)

Komoditas
Food Estate di Kalimantan tengah akan mengembangkan komoditas hortikultur, bawang
merah, bawang putih, dan kentang.

3. Sumatera Selatan

Luas Wilayah
Sumatera Selatan mulai melaksanakan program Food Estatedengan luas lahan
278.483 hektare.
Lokasi
Luasan Food Estate di Sumatera Selatan melingkupi tujuh kabupaten yaitu :
1. Ogan Ilir (10.000 hektare)
2. Ogan Komering Ilir (59.751 hektare)
3. Banyuasin (118.732 hektare)
4. Ogan Komering Ulu (OKU) (50.000 hektare)
5. Musi Rawas (10.000 hektare)
6. Musi Banyuasin (20.000 hektare)
7. Muara Enim (10.000 hektare)

Komoditas
Food Estate di Sumatera Selatan akan mengembangkan komoditas hortikultur, padi,
dan jagung.

4. Papua

Luas Wilayah
Luas wilayah Food Estate di Papua seluas 2,68 Juta.

Lokasi
Lokasi Food Estate Papua berada di empat kabupaten yaitu:
1. Merauke
2. Mappi
3. Boven Digul
4. ahukimo

Komoditas
Food Estate di Papua akan mengembangkan komoditas padi, jagung, kedelai, kacang
tanah, sagu, ubi, sayur, dan buah-buahan.
“Hampir seluruh (92%) area of Interest dari food estate di 4 Provinsi yakni Sumatera Utara,
Sumatera Selatan, Kalimantan Tengah, dan Papua berada di kawasan hutan. Alih fungsi
lahan dari dampak food estate nantinya tentu akan berdampak buruk bukan hanya pada
hutan tapi juga pada komitmen iklim Indonesia yang termanifestasi dalam NDC” ujar Anggi.

“Kaidah akademis yang perlu menjadi perhatian, pertama, kelayakan tanah dan agroklimat,
kelayakan infrastruktur, kelayakan teknologi, dan kelayakan sosial dan ekonomi. Tata kelola
air menjadi kunci utama dari pengembangan lahan pertanian. Hal ini termasuk ke dalam
kelayakan insfrastruktur yang berbiaya tinggi. Semua aspek harus terpenuh, jika tidak maka
akan gagal food estate tersebut,” ujar Andreas.
Andreas juga mengatakan bahwa sebenarnya food estate tidak menjawab persoalan
pangan apalagi akan semakin buruk jika dilakukan dengan mengalih fungsikan hutan alam.
Rizaldi Boer menyebut jika temuan Madani terkait food estate adalah benar
maka food estate benar-benar merupakan karpet merah eksploitasi sumber daya alam dan
tentu food estate adalah ancaman. “NDC Sektor kehutanan itu bebannya sampai 17% dan
hanya bisa dicapai oleh penurunan deforestasi yang signifikan dan pemulihan gambut. Oleh
karena itu, food estate benar-benar merupakan ancaman”, ujar Rizaldi.
Rizaldi juga mengatakan dalam pencapaian target NDC diharapkan wilayah yang
masih berhutan alam harus dipertahankan. Bahkan menurutnya dengan mempertahankannya
pun belum tentu juga dapat mencapai target NDC secara keseluruhan.
Dalam dokumen NDC Indonesia, target pengurangan emisi Gas Rumah Kaca adalah
sebesar 29% tanpa syarat (dengan usaha sendiri) dan 41% bersyarat (dengan dukungan
internasional yang memadai) pada tahun 2030.
Point Tuntutan dan Pernyataan Sikap Korsu Pertanian dan Agraria BEM SI

1. Kaji ulang dan evaluasi program food estate terutama terhadap dampak kerusakan hutan,
lingkungan, dan social ekonomi masyarakat.
2. Menuntut pemerintah menjalankan UU keterbukaan informasi dan data pengerjaan proyek
food estate dalam wadah yang bisa dijamak oleh masyarakat.
3. Hentikan perluasaan lahan food estate diatas lahan gambut, hutan lindung, dan tanah adat
dan tegas tidak membrikan izin penebangan serta pembukaan lahan agar ekosistem dan iklim
tetap terjaga.
4. Berikan kesejahteraan sepenuhnya pada masyarakat tani dan menolak dominasi investor
atas penguasaan lahan serta pengelolaan lahan food estate.
DAFTAR PUSTAKA

Bidang Transmigrasi Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Provinsi Kalimantan Timur
2013, Penyelenggaraan program transmigrasi di Provinsi Kalimantan Timur,
Samarinda.
Dewi R. 2012. Dilema Percepatan Pembangunan Dan Permasalahan Pembangunan
Berkelanjutan Dalam Pelaksanaan MIFEE Di Merauke. Ejournal Politik Lipi. 9(1): 47-
57
Eryan A, Shafira D, Wongkar EELT. 2020. Analisis Hukum Pembangunan Food Estate Di
Kawasan Hutan Lindung, Seri Analisis Kebijakan Kehutanan dan Lahan. Jakarta:
Indonesian Center for Environmental Law.
Kementerian Kebijakan Agrikompleks BEM KM IPB. 2021. Dalih Kesejahteraan Pangan
Untuk Kesejahteraan Korporasi [diakses pada 15 September 2021 pukul 16.00 WIB]
Koentjaraningrat. 2000. Pengantar Ilmu Antropologi. Jakarta : Rineke Cipta.

KPA.2021.”Food Estate: Ancaman Perampasan Tanah atas Nama Ketahanan Pangan”,


KPA - Konsorium Pembaruan Agraria, diakses pada 19 September 2021 pukul 14.00.
Permatasari, Anggalia Putri. 2021. Menakar Ancaman Kebijakan Food Estate terhadap
Hutan Alam dan Lahan gambut Indonesia: madani

Anda mungkin juga menyukai