Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Oleh: Prof. Dr. Ir. Dwidjono Hadi Darwanto, SU. 2 PENGEMBANGAN PERTANIAN MENUJU SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN YANG BERORIENTASI PASAR DAN RAMAH LINGKUNGAN
UNIVERSITAS GADJAH MADA
Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Pada Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada
Diucapkan di depan Rapat Terbuka Majelis Guru Besar Universitas Gadjah Mada pada tanggal 14 April 2008 Di Yogyakarta
Oleh: Prof. Dr. Ir. Dwidjono Hadi Darwanto, SU. 3 PENGEMBANGAN PERTANIAN MENUJU SISTEM PERTANIAN BERKELANJUTAN YANG BERORIENTASI PASAR DAN RAMAH LINGKUNGAN
Sejak awal Kemerdekaan Indonesia, pembangunan pertanian lebih dititik-beratkan pada ambisi untuk mencapai swasembada beras bagi rakyat Indonesia. Pada perkembangannya ternyata ambisi tersebut belum bisa dicapai hingga akhir pemerintahan Presiden Republik Indonesia pertama. Bahkan, pada saat itu harga beras justru semakin naik dan rakyat tidak mampu membeli beras. Kemudian, pada masa pemerintahan Presiden Republik Indonesia kedua, program pencapaian swasembada beras masih menjadi titik berat pembangunan pertanian. Namun, pembangunan pertanian pada masa itu relatif dapat dilaksanakan secara konsisten dengan Rencana Pembangunan Lima Tahun (REPELITA) sebagai pedoman. Dalam REPELITA sektor pertanian, selain pembangunan pertanian dilakukan di sub-sektor pangan, pemerintah tidak mengesampingkan pembangunan pilar-pilar lain dari sistem pertanian yaitu sub-sektor perkebunan, peternakan, kehutanan dan perikanan. Program-program tersebut antara lain berupa (a) pengembangan HTI pada sub-sektor Kehutanan; (b) program Tri-matra Perkebunan dan Perkebunan Inti Rakyat (PIR) di sub-sektor Perkebunan; (c) program pengembangan perikanan budidaya dan tangkap; dan (d) program pengembangan peternakan rakyat untuk unggas dan ternak besar. Upaya pengembangan sistem pertanian tersebut dilakukan dengan pengerahan segala sumberdaya yang ada secara terkoordinasi antara Departemen Pertanian dan Departemen Kehutanan pada saat itu. Keberhasilan pembangunan sektor pertanian pada saat itu dapat ditunjukkan oleh peningkatan produksi beras sehingga mencapai tingkat swasembada beras pada tahun 1984. Selain itu, Indonesia mampu meningkatkan ekspor kayu-lapis, karet, kopi, teh dan kakao. Demikian pula dengan peningkatan produk unggas yang pada tahun 1979 telah mampu memenuhi konsumsi domestik hingga 79% untuk telur dan 90% untuk daging ayam. Namun, setelah tercapainya ambisi swasembada beras tersebut program pengembangan sektor pertanian
4 mengalami masa anti-klimaks. Program pembangunan ekonomi nasional selanjutnya dititik-beratkan pada sektor industri, termasuk industri yang berbasis pertanian. Pada prakteknya, pengembangan sektor industri justru dilakukan dengan mengorbankan hasil pembangunan sektor pertanian, antara lain: (1) pengembangan industri tekstil dan produk tekstil yang berbasis kapas impor, dan (2) diterapkannya kebijakan harga beras murah agar tingkat upah buruh rendah sehingga sektor industri dapat berkembang. Hasilnya, sektor industri berkembang cepat namun kinerja sektor pertanian menjadi stagnant atau bahkan menurun. Namun, pada saat krisis ekonomi tahun 1997/98 sementara kinerja sebagian besar sektor ekonomi menurun kenyataannya sektor pertanian masih mampu tumbuh positif. Sektor pertanian justru menjadi penyangga ekonomi nasional sekaligus mampu menjadi penampung tenaga kerja yang di PHK dari sektor-sektor ekonomi lainnya. Kemudian, peralihan sistem pemerintahan ke orde reformasi yang telah berjalan sekitar sepuluh tahun ini ternyata tidak pula memberikan perhatian terhadap pengembangan sektor pertanian. Sub- sistem pertanian yang pada masa lalu menjadi pilar-pilar penyangga sektor pertanian justru terpecah ke beberapa departemen. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan adanya pemindahan wewenang pengelolaan irigasi ke Departemen Pekerjaan Umum; pengelolaan BUMN pertanian ke Kementerian BUMN; pengelolaan sub-sektor perikanan ke Departemen Kelautan dan Perikanan; pengembangan perdagangan dan industri hasil pertanian ke Departemen Perindustrian dan Perdagangan; dan sebagainya. Akibatnya, posisi sektor pertanian menjadi semakin lemah dan tidak mampu berkembang sehingga tidak berdaya menghadapi gelombang globalisasi ekonomi dunia. Kemudian, pemerintahan ingin membangun kembali sektor pertanian dengan program Revitalisasi Pertanian, Perikanan dan Kehutanan (RPPK). Intinya adalah untuk mempercepat laju perkembangan Sektor Pertanian secara luas agar mampu memberikan kontribusi nyata terhadap pertumbuhan ekonomi nasional. Namun, kenyataannya program tersebut belum dapat dilaksanakan secara luas hingga di tingkat daerah, karena (1) kebijakan pengembangan ekonomi nasional yang bersifat parsial akibat terpisahnya sub-sistem 5 pertanian, dan (2) sangat tergantung dari perhatian pemerintah daerah pada pengembangan sektor pertanian di daerahnya masing-masing. Terpisahnya sub-sistem pertanian di pemerintah pusat kenyataannya justru semakin mendukung parsialisasi kebijakan pertanian dan mempertajam ego-sektoral di tingkat departemen. Demikian pula dengan otonomi daerah kenyataannya kebijakan pertanian tidak sepenuhnya dapat terlaksana dengan baik. Pemerintah daerah merasa berhak menentukan kebijakan ekonomi daerahnya masing-masing. Memang, pemerintah daerah tampaknya telah mampu menentukan arah pengembangan pertanian berdasarkan potensi daerah seperti ditunjukkan dari nama dinas yang beragam. Contoh, di kabupaten yang potensial di bidang perikanan dan pangan maka dinas yang berwenang disebut dengan Dinas Pertanian dan Perikanan, dan sebagainya. Namun, tidak jarang Kepala Dinas sulit menentukan prioritas karena pelaksanaan program-programnya harus mengacu pada Kebijakan Operasional dari dua Departemen yang berbeda. Demikian pula dengan tersedianya dana pusat untuk pengembangan ketahanan pangan daerah maka di beberapa daerah muncul Badan Ketahanan Pangan Daerah dengan manajemen yang terpisah dari Dinas Pertanian yang ada. Kondisi sistem pertanian yang semakin tercerai-berai tersebut, baik di pemerintah pusat maupun daerah, tentu menyebabkan tidak efektifnya pelaksanaan program-program pengembangan pertanian. Pada sisi lain, petani sebagai subyek pembangunan pertanian juga menjadi semakin tidak mempunyai arah yang jelas dalam upaya mengembangkan usaha pertanian. Terlepas dari penilaian subyektif terhadap perkembangan proses pembangunan pertanian di Indonesia selama ini, sebenarnya rangkaian keadaan tersebut di atas paling tidak memberikan beberapa catatan yang dapat digunakan untuk pengembangan sektor pertanian ke depan. Pertama, keberhasilan pembangunan pertanian dapat dicapai melalui program yang terkoordinasi dan disertai dengan ego sektoral yang rendah. Kedua, pembangunan pertanian pada masa lalu lebih diarahkan pada peningkatan produksi untuk memenuhi kebutuhan domestik dan ekspor dengan mengeksplorasi sumberdaya secara besar-besaran. Namun, upaya yang dilakukan tanpa disertai dengan rehabilitasi sumberdaya mengakibatkan pengembangan 6 pertanian tidak dapat berkelanjutan untuk jangka panjang. Sebagai contoh adalah pendangkalan waduk yang lebih cepat dari perkiraan umur teknis menjadikan semakin rendahnya manfaat waduk bagi irigasi pertanian dan bahkan mengakibatkan banjir yang merugikan. Ketiga, rendahnya perhatian dan kesungguhan pemerintah untuk mengembangkan sektor pertanian sebagai bagian dari sistem perekonomian nasional akan berakibat pada lemahnya daya tahan sektor tersebut untuk menghadapi globalisasi ekonomi yang semakin berkembang dewasa ini. Perlu menjadi catatan bahwa negara maju, seperti Amerika Serikat, Uni Eropa, Kanada, Australia, dan lainnya, tidak pernah melepaskan perhatiannya dari sektor pertanian. Uni Eropa pada periode 2001-2003 masih memberikan subsidi pada beras, gula dan ternak sapi masing-masing sebesar 37%, 56% dan 74%. Amerika Serikat pada periode yang sama masih memberikan subsidi untuk beras dan gula sebesar 46% dan 58%. Bahkan, pada saat harga pangan dunia turun di tahun 2005 besaran subsidi mencapai USD 24,3 milyar dan pada saat harga naik di tahun 2006 subsidi turun menjadi USD 16,5 milyar (Sawit, 2007). Secara total, subsidi untuk pertanian hingga tahun 2005 terhitung masih sebesar 18% untuk Amerika Serikat, 32% untuk Uni Eropa, 21% untuk Kanada dan 56% untuk J epang (OECD, 2007). Perubahan tatanan ekonomi global yang kemudian disusul dengan isu pemanasan global (Global Warming) dewasa ini ternyata mempengaruhi pula tatanan ekonomi Indonesia dan langsung dirasakan di sektor pertanian. Globalisasi ekonomi bidang pertanian kenyataannya justru menyebabkan negara-negara sedang berkembang, termasuk Indonesia, menjadi pasar potensial bagi produk-produk negara industri. Kenyataannya, masuknya produk-produk negara maju tersebut dirasakan semakin memperlemah sistem produksi di Indonesia. Keadaan tersebut dapat ditunjukkan oleh bangkrutnya industri gula nasional di awal periode 2000 sebagai akibat dari masuknya gula impor dengan harga murah karena subsidi di negara industri. Selain itu, data FAO menunjukkan pula bahwa peningkatan impor kedelai sejak tahun 1999 ternyata diikuti dengan penurunan produksi nasional hampir 50% pada tahun 2005 (FAO, 2007).
7 Bahkan, keterbatasan ketersediaan minyak bumi dewasa ini memotivasi negara maju untuk menghasilkan bio-fuel berbahan baku produk pertanian, seperti minyak sawit, jagung dan kedelai. Keadaan tersebut tentu akan berpengaruh pada sistem pertanian di Indonesia sebagai pengekspor minyak sawit sekaligus juga pengimpor jagung dan kedelai. Pada satu sisi, Indonesia akan memperoleh keuntungan dari ekspor minyak sawit namun pada sisi lain akan memperlemah industri pangan dan pakan domestik yang berbahan baku jagung dan kedelai. Lemahnya industri pakan ternak tersebut akan berdampak negatif pada peningkatan produk sektor peternakan, akibat dari bahan baku pakan unggas yang masih harus diimpor (Darwanto, 2007b). Selain perubahan tatanan ekonomi global tersebut, akhir-akhir ini dampak pemanasan global telah dirasakan pula di Indonesia terutama dengan terjadinya perubahan iklim dan naiknya permukaan air laut. Kondisi tersebut tentu akan berdampak negatif pada sektor pertanian umumnya dan khususnya pada produk tanaman pangan, peternakan dan perikanan di Indonesia. Rosenzweig C and M. L. Parry (1994) memperkirakan bahwa pemanasan global akan berdampak pada penurunan produk bahan pangan di negara-negara berkembang sebesar 9% 12%, terutama padi, jagung dan kedelai. Demikian pula Okeowo (2007) menunjukkan bahwa produk kopi di Uganda mengalami penurunan sebagai dampak dari peningkatan suhu permukaan dan pergeseran musim hujan. Di Indonesia, pemanasan global tersebut diperkirakan akan berdampak pada penurunan produksi unggas sebesar 7%-11% (Darwanto, 2007b). Namun, pada sisi lain para ahli berpendapat bahwa sektor pertanian mempunyai kontribusi pada terjadinya proses pemanasan global tersebut. Sebagai contoh penebangan hutan yang berlebihan akan menurunkan penyerapan karbon dioksida; usahatani padi dan ternak meningkatkan gas methane; dan penggunaan pupuk atau zat kimia pada usaha pertanian meningkatkan nitrogen oksida, yang semuanya meningkatkan konsentrasi gas di atmosfer dan menimbulkan efek rumah kaca (Owen, 2007). Demikian pula dengan tuntutan pasar internasional yang menghendaki produk pertanian terutama bahan pangan dengan kandungan bahan kimia yang rendah dan dengan kemasan yang bisa didaur-ulang. Sebagai contoh, negara-negara Uni-Eropa telah 8 mendeklarasikan syarat keamanan pangan (Food Safety) dalam White paper on Food Safety yang meliputi persyaratan traceability, animal welfare, food safety legislation, rapid alert system dan precautionary principle. Australia juga telah mendeklarasikan Biosecurity Act yang mensyaratkan ecolabeling, kandungan bahan kimia dan bahan tambahan yang rendah. Amerika Serikat telah pula mendeklarasikan Bioterrorism Act yang mensyaratkan tentang public health security & Bioterorrism preparedness and response Act dan berlaku sejak 12 Desember 2003 (Darwawan, 2003). Mengingat kondisi perkembangan pertanian di Indonesia dan ekonomi global tersebut maka saya ingin mengangkat kembali pemikiran yang pernah saya kemukakan beberapa tahun yang lalu, yaitu membentuk Sistem Pertanian Berkelanjutan yang Berorientasi Pasar dan Ramah Lingkungan atau disingkat MOESA/ Market Oriented and Environmentally Sustainable Agriculture (Darwanto, 1999b). Pada dasarnya konsep tersebut mengandung pengertian bahwa keberlanjutan sistem pertanian tidak saja ditentukan oleh lingkungan tetapi juga oleh perkembangan pasar, baik domestik maupun internasional. Di samping itu sistem pertanian dikembangkan dengan penerapan teknologi budidaya dan pasca panen yang seminimal mungkin menggunakan unsur-unsur kimia serta disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan budaya setempat. Indonesia dengan keragaman kondisi alam dan masyarakatnya tentu memerlukan teknologi yang tepat agar dapat diterapkan secara efisien. Untuk dapat mengembangkan pertanian menuju sistem pertanian berkelanjutan yang berorientasi pasar dan ramah lingkungan diperlukan upaya-upaya berupa Reformulasi Paradigma Pengembangan Pertanian dan Restrukturisasi (menata-kembali) Kelembagaan Pertanian. Reformulasi Paradigma Pengembangan Pertanian merupakan proses yang bertujuan agar semua pemangku kepentingan (stakeholders) di bidang pertanian mempunyai kesatuan atau kesamaan dalam pola pikir dan cara pandang tentang pengembangan pertanian ke depan. Kemudian, kesamaan paradigma tersebut direalisasikan melalui restrukturisasi atau penataan-kembali kelembagaan pertanian di tingkat pusat dan daerah menjadi satu kesatuan sistem pertanian yang saling berkait dan saling mendukung 9 REFORMULASI PARADIGMA PENGEMBANGAN PERTANIAN
Belajar dari keberhasilan dan kegagalan pengembangan pertanian di masa lalu maka diperlukan soliditas sistem pertanian dan program pembangunan pertanian untuk pembangunan pertanian ke depan. Oleh karena itu perlu dilakukan reformulasi pola pikir atau paradigma pengembangan pertanian yang berlandaskan pada falsafah bernegara, yaitu Persatuan dan Kesatuan. Pada intinya, sektor pertanian seharusnya diperlakukan sebagai satu kesatuan sistem yang utuh dan kokoh dengan sub-sistem yang tidak terpisahkan. Secara harfiah dapat diartikan bahwa pengembangan pertanian ke depan hendaknya tidak lagi bersifat parsial karena pertanian merupakan suatu kesatuan sistem yang meliputi sub-sistem hulu, on-farm dan hilir. Untuk itu diperlukan penyusunan rancangan Kebijakan Ekonomi Nasional yang integratif untuk mendukung pengembangan pertanian di masa depan. Kebijakan di sub-sistem hulu, seperti pengembangan industri input pertanian dan bidang pertanahan hendaknya mendukung upaya pengembangan produksi pertanian domestik. Kebijakan pembangunan pertanian sendiri hendaknya berorientasi pada peningkatan kuantitas dan kualitas produk yang dapat memenuhi kebutuhan agroindustri dan agroniaga, dengan memperhatikan upaya perbaikan lingkungan pendukung usaha pertanian. Kebijakan pengembangan agro-industri dan agro-niaga sendiri hendaknya lebih dititik-beratkan pada upaya pemenuhan kebutuhan domestik dan sekaligus mampu mensubstitusi produk primer dan olahan dari impor. Selain itu, perlu dihindari adanya kebijakan yang bersifat dis- incentive bagi pengembangan sistem pertanian maupun petani sebagai pelaku usahatani. Sebagai contoh, kebijakan pemerintah untuk meningkatkan pertumbuhan ketersediaan beras nasional dengan impor ternyata berdampak pada penurunan kesejahteraan petani. Dari analisis empiris pada periode 1982-2003 dapat ditunjukkan bahwa peningkatan kontribusi impor beras pada pertumbuhan ketersediaan beras nasional dari 13% sebelum krisis menjadi 45% setelah krisis ternyata seiring dengan penurunan indeks kesejahteraan petani padi dari 13% menjadi 0,8% (Darwanto dan Ratnaningtyas, 2007). Bagi kepentingan pemerintah memang impor beras lebih menguntungkan 10 karena secara nominal biaya impor beras relatif lebih rendah dari biaya pengadaan dari produksi domestik. Namun, analisis empiris pada periode 1984-2003 menunjukkan bahwa secara statistik biaya impor beras tidak berbeda nyata dengan biaya pengadaan dari produksi dalam negeri (Wijayanti dan Darwanto, 2005). Dengan demikian berarti kebijakan pemerintah untuk menjamin ketersediaan beras nasional dengan impor beras justru bersifat dis-insentive bagi peningkatan produksi beras dan kesejahteraan petani di dalam negeri. Demikian pula kebijakan pengenaan Pajak Pertambahan Nilai (PPn) bagi produk olahan yang kenyataannya justru menyebabkan tidak berkembangnya agroindustri di Indonesia. Hal tersebut berakibat pada berkurangnya daya serap agroindustri domestik terhadap produk petani, namun sebaliknya produsen di luar negeri akan semakin berkembang karena memperoleh bahan baku yang relatif murah dari petani Indonesia. Produk kakao petani yang selama ini dijual dengan kualitas asalan terpaksa harus rela dibeli oleh eksportir dengan harga rendah karena posisi-tawar petani relatif sangat lemah untuk menghadapi pembeli internasional. Kejadian-kejadian tersebut pada dasarnya menunjukkan bahwa Kebijakan Pengembangan Pertanian di Indonesia selama ini belum mengarah pada upaya memperkuat sistem pertanian, termasuk petani sebagai pelaku, agar mampu mandiri dalam memenuhi kebutuhan pasar domestik. Sebagai contoh, untuk dapat mengekspor jagung dan kedelai sekaligus memenuhi kebutuhan domestik Departemen Pertanian saat ini sedang menyusun konsep kebijakan untuk memotivasi berkembangnya investasi pada sub-sektor tanaman pangan. Untuk itu akan dikembangkan model Corporate Farming yang didukung dengan upaya penataan ulang hak guna usaha (HGU) tanaman pangan (Anonim, 2008). Upaya tersebut justru mencerminkan bahwa pemerintah lebih percaya kepada pengusaha daripada petani dan tidak lagi berorientasi pada upaya peningkatan kesejahteraan petani. Untuk jangka panjang upaya tersebut justru secara perlahan akan menggusur petani dari sektor pertanian. Pemerintah menafikkan kenyataan bahwa para petani Indonesia selama ini sebenarnya tidak mau, bukan tidak mampu, melakukan peningkatan produksi kedelai dan jagung. Ketidak-mauan petani untuk meningkatkan produksi jagung dan kedelai merupakan akibat dari 11 relatif sangat rendahnya harga sehingga tidak menguntungkan petani. Para petani di Indonesia pada dasarnya sudah responsif terhadap harga komoditas dan pandai memperkirakan tingkat keuntungan yang akan diperoleh dengan perbandingan tingkat harga input dan output-nya. Contoh lain adalah produk CPO (Crude Palm Oil) Indonesia yang selama ini diprioritaskan untuk pemenuhan kebutuhan pasar dunia karena harganya yang meningkat tetapi ternyata berdampak negatif pada industri minyak goreng di dalam negeri. Untuk menahan laju pertumbuhan ekspor agar bisa memenuhi kebutuhan bahan baku industri domestik maka diberlakukan pajak ekspor progresif atau meningkat seiring dengan peningkatan jumlah ekspor. Kenyataannya tindakan represif dengan pemberlakuan pajak ekspor progresif tersebut justru akan meningkatkan harga jual yang dapat menurunkan daya saing dan akan merugikan ekspor CPO Indonesia untuk jangka panjang. Alternatif kebijakan yang bersifat preventif sebenarnya dapat dilakukan dengan kebijakan yang mewajibkan eksportir untuk memenuhi kuota tertentu untuk kebutuhan industri domestik sebelum diijinkan untuk melakukan ekspor. Kemungkinan lain dapat pula dilakukan kebijakan untuk kembali memproduksi minyak goreng berbahan baku kelapa atau kopra untuk substitusi CPO tersebut. Upaya ini secara tidak langsung akan menghidupkan kembali industri kopra yang sebagian besar dilakukan oleh masyarakat pedesaan. Hal tersebut tentu akan meningkatkan nilai kelapa yang dimiliki oleh petani domestik sekaligus dapat memperluas lapangan kerja bagi masyarakat di pedesaan. Selain itu, perlu dihindari pula kebijakan pengembangan pertanian yang parsial dengan tujuan jangka pendek karena berpotensi merugikan sistem pertanian itu sendiri. Sebagai contoh yaitu adanya perluasan areal perkebunan kelapa sawit di beberapa daerah yang dilakukan dengan mengkonversi areal komoditas perkebunan lainnya atau juga hutan yang seharusnya dipelihara untuk konservasi. Pada sisi lain, pengembangan pertanian yang integratif justru akan memberikan manfaat bagi masyarakat dan negara. Sebagai ilustrasi dapat dikemukakan pengalaman kebersamaan dalam pengembangan tanaman kopi rakyat di Bengkulu yang dilakukan di sela-sela tegakan hutan dan kenyataannya justru memberi manfaat finansial bagi masyarakat sekitar serta hutannya terlindungi dari penebangan liar. 12 Suhardi dkk. (1999) juga memberikan konsep pengelolaan hutan dan kebun yang dapat dimanfaatkan secara integratif sebagai sumber bahan pangan nasional menjaga kestabilan ketersediaan air, oksigen, dan mengurangi emisi gas karbon dunia. Dengan demikian pembangunan pertanian ke depan perlu dilandasi dengan paradigma dasar dalam memandang pertanian sebagai suatu kesatuan sistem yang kompak dan masif. Dengan kata lain paradigma dasar pembangunan pertanian Indonesia ke depan adalah Mempersatukan sub-sistem Pertanian menjadi suatu Kesatuan Sistem Pertanian yang kokoh agar mampu meningkatkan harkat, martabat dan kesejahteraan Petani dan Nelayan dengan memanfaatkan sumberdaya alam secara optimal dan berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan domestik sekaligus mampu berperan aktif di Pasar Internasional. RESTRUKTURISASI KELEMBAGAAN PERTANIAN Secara operasional, restrukturisasi kelembagaan pertanian lebih diartikan sebagai upaya penataan kembali lembaga-lembaga yang berkaitan dengan pertanian secara umum menjadi satu kesatuan yang saling mendukung satu dan lainnya. Pengertian tersebut didasarkan pada kenyataan bahwa sumberdaya alam yang tersedia untuk pertanian semakin terbatas untuk digunakan bagi pengembangan semua sub-sektor pertanian. Perihal ketersediaan areal, misalnya, pada kenyataannya sering terjadi konflik kepentingan atau bahkan tidak jarang terjadi tumpang-tindih program antar sub-sektor pertanian di daerah tertentu. Demikian pula konflik kepentingan antara perusahaan pertanian skala besar dan usaha pertanian rakyat, dan masih banyak kejadian-kejadian yang tidak terkoordinasi semacam itu yang justru akan merugikan sektor pertanian secara umum. Di samping itu, subyek atau petani sebagai pelaku usaha pertanian yang melaksanakan program-program pemerintah dalam pengembangan pertanian pada dasarnya adalah pelaku yang sama. Seringkali, seorang petani menjadi anggota kelompok tani tanaman pangan juga merangkap sebagai anggota kelompok peternak yang harus berpartisipasi aktif pada program pengembangan pangan dan peternakan.
13 Kondisi semacam itu kenyataannya terjadi pula di tingkat pusat seperti dalam hal impor beras pada waktu yang lalu. Di satu pihak Menteri Perdagangan dan Bulog menyetujui proses impor beras dengan memperhitungkan akan terjadi kekurangan pasokan beras domestik. Di lain pihak, Menteri Pertanian tidak menyetujui impor beras karena memperhitungkan bahwa produksi padi meningkat dan mampu memenuhi kebutuhan domestik. Keadaan tersebut seringkali menyebabkan terjadinya spekulasi berupa penimbunan stok dan/atau impor ilegal oleh pedagang untuk memperoleh keuntungan dari ketidak-pastian yang terjadi. Pemerintah yang terlambat melakukan penyelesaian akhirnya tidak dapat melakukan pengendalian secara efektif sehingga merugikan petani dan konsumen pada umumnya (Darwanto, 2007a). Demikian pula dengan lambannya penyelesaian krisis kedelai dan minyak goreng yang merugikan pengrajin tempe dan usaha kecil. Kondisi tersebut memberikan kesan di masyarakat bahwa pemerintah selama ini melakukan pem-biar-an terhadap pengrajin dan pengusaha kecil. Kondisi sedemikian itu untuk masa- masa yang akan datang sudah seharusnya tidak terjadi lagi karena selain memperlemah tatanan ekonomi domestik maka akan menjadikan sektor pertanian tidak mampu mengantisipasi dan bertahan menghadapi serangan keterbukaan ekonomi negara-negara maju pasca 2010. Untuk membangun kembali kekuatan sektor pertanian di Indonesia maka perlu bercermin pada sistem kelembagaan pertanian di negara maju, seperti J epang dan Amerika Serikat. Secara struktural, sektor pertanian dalam arti luas yang meliputi kegiatan dari hulu hingga hilir hanya diurusi oleh satu departemen saja. Di J epang, segala urusan yang berkaitan dengan pertanian dari hulu ke hilir termasuk koperasi berada di bawah Departemen Pertanian, Kehutanan, Perikanan dan Koperasi. Keberhasilan pemerintah J epang untuk proteksi produksi beras dengan penerapan tarif impor di atas 100% dan efektifnya kinerja koperasi pertanian (J AC) sebagai penentu harga hasil pertanian domestik menunjukkan kuatnya pemerintah dalam memberdayakan sistem pertanian. Pemberlakuan tarif impor beras yang tinggi dan dukungan koperasi yang kuat tersebut ternyata memberikan insentif bagi petani padi untuk meningkatkan produksi sehingga mempunyai marketable surplus yang menguntungkan. 14 Demikian pula dengan pemerintah Amerika Serikat dengan USDA yang mampu mengendalikan pasar internasional untuk produk pangan tanpa melepaskan kendali pada proses produksi, perdagangan dan agroindustri di dalam negeri. Pemerintah Amerika Serikat selama ini menggunakan kebijakan subsidi untuk memotivasi petani agar mampu meningkatkan produksi sekaligus memperkuat sistem pertanian domestik untuk kepentingan politik ekonomi internasional. Contoh lain dapat dikemukakan bahwa negara Australia termasuk salah satu anggota WTO yang paling akhir melakukan ratifikasi perjanjian GATT yang menyangkut perdagangan ternak. Pemerintah Australia pada saat itu berupaya melakukan negosiasi hingga isi perjanjian GATT menguntungkan produsen dan produksi ternak di negara tersebut. Memang, kita bisa berkilah bahwa negara-negara maju tersebut mampu melaksanakan kebijakan dengan memberi subsidi bagi petaninya sedangkan Indonesia terbatas kemampuannya. Namun, tujuan pengungkapan cerminan tersebut sebenarnya dititik-beratkan pada kemauan dan kepedulian yang tinggi dari pemerintah di negara- negara maju tersebut untuk memperkuat sistem pertaniannya. Kepedulian pemerintah semacam itu sangat diperlukan untuk melindungi sekaligus menjamin keberlangsungan usaha di bidang pertanian dalam arti luas. Namun, upaya tersebut tentu tidak mudah dilakukan dalam kondisi kelembagaan pertanian dan/atau berkaitan dengan usaha pertanian yang terpisah-pisah dalam beberapa departemen pemerintahan, seperti di Indonesia. Perencanaan dan pelaksanaan program-program kerja dari produksi, agroindustri dan agroniaga pada dasarnya relatif lebih efisien dilakukan secara integratif di bawah satu garis koordinasi manajemen. Pengalaman selama ini menunjukkan bahwa koordinasi antar departemen terkait relatif sulit dilakukan karena masing-masing departemen mempunyai kepentingan berbeda. Selain itu, terpisahnya komponen sistem pertanian ke dalam beberapa departemen tersebut justru akan memberikan peluang bagi berbagai pihak, baik domestik maupun internasional, untuk memperoleh manfaat atau keuntungan. Sebaliknya, negara-negara maju dengan satu departemen untuk mengurusi sistem pertanian dari hulu ke hilir ternyata justru lebih efektif dan mempunyai kekuatan (powerful) untuk pengembangan 15 pertanian dalam upaya memenuhi permintaan domestik dan internasional. Mengacu pada pengalaman pembangunan pertanian di dalam negeri dan efektivitas kebijakan satu departemen pertanian yang diterapkan di negera-negara maju maka perlu dilakukan restrukturisasi kelembagaan pertanian di Indonesia. Restrukturisasi kelembagaan pertanian ini bertujuan untuk lebih meningkatkan efektivitas kebijakan dan pelaksanaan program-program pengembangan pertanian ke arah sistem pertanian yang kokoh. Diharapkan dengan kesatuan paradigma untuk mempersatukan kembali sistem pertanian secara kelembagaan dan programnya akan memperkuat struktur pertanian di Indonesia sehingga mampu menghadapi liberalisasi perdagangan internasional dan persaingan global pada masa mendatang. Pada prinsipnya sistem pertanian dapat diibaratkan sebagai sebuah bangunan rumah yang berdiri di atas sebidang tanah, yang menggambarkan sumberdaya alam atau lingkungan. Bangunan tersebut akan berdiri kokoh jika ditopang oleh tiang-tiang pancang, yang menggambarkan enam sub-sektor pertanian, dan dihubungkan oleh dinding-dinding, yang menggambarkan program-program yang saling berkaitan antar subsektor. Keenam tiang tersebut menyangga plavond, yang menggambarkan agro-industri, dan atap, yang menggambarkan agro-niaga. Bangunan rumah tersebut dilengkapi dengan pintu, yang menggambarkan fasilitas untuk mengakses teknologi, dan jendela, yang menggambarkan fasilitas untuk mengakses informasi dan penyuluhan pertanian, serta ventilasi rumah yang menggambarkan akses lembaga-lembaga pendukung seperti koperasi dan perbankan. Dengan kelengkapan komponen tersebut maka bangunan rumah tersebut menjadi berguna untuk melindungi petani sebagai tuan rumah dari terpaan hujan dan angin, yang menggambarkan kondisi liberalisasi perdagangan dan persaingan global. Semakin kuat keterikatan antar komponen rumah tersebut maka akan semakin kokoh pula bangunan rumah untuk berlindung dari terpaan hujan dan badai sekalipun. Secara filosofi gambaran tersebut menunjukkan bahwa sistem pertanian akan berdiri kokoh melindungi dan mendukung petani untuk dapat memanfaatkan sumberdaya alam atau lingkungan secara optimal jika didukung oleh kesatuan antar sub-sektor dengan program-program yang saling 16 berkaitan dan mampu menopang perkembangan agroindustri dan agroniaga. Di samping itu petani diberi kemudahan atau fasilitas untuk mengakses teknologi, perbankan dan informasi melalui penyuluh pertanian serta didukung oleh koperasi sebagai lembaga ekonomi pedesaan. Berdasarkan filosofi tersebut maka restrukturisasi kelembagaan pertanian sebaiknya dimulai dari mempersatukan kembali beberapa sub-sektor pertanian ke dalam satu Departemen Pertanian, Perikanan dan Kehutanan. Departemen tersebut dipimpin oleh seorang Menteri yang menjadi koordinator bagi beberapa Menteri-Muda, yang masing- masing mengurusi bidang Pangan, Hortikultura, Perikanan, Kehutanan, Perkebunan, Peternakan, Agroindustri dan Agroniaga. Kenyataannya dengan struktur kelembagaan Departemen Pertanian seperti itu telah terbukti mampu mengantarkan Indonesia mencapai swasembada beras di tahun 1984. Pada saat itu Prof.Ir. Soedarsono Hadisapoetro menjabat sebagai Menteri Pertanian dan Ir. Affandi sebagai Menteri Muda Pangan. Dengan struktur demikian diharapkan akan mempermudah koordinasi dalam penentuan kebijakan dan program-program pengembangan pertanian pada masa yang akan datang. Kelembagaan pertanian yang kuat akan mampu memperkuat posisi dan daya-tahan sektor pertanian menghadapi liberalisasi perdagangan internasional dan persaingan global. Di samping itu di tingkat daerah tidak akan terjadi lagi kerancuan orientasi manajemen dinas-dinas pertanian seperti yang terjadi selama ini. Memang, proses reformulasi paradigma pembangunan pertanian dan restrukturisasi kelembagaan pertanian seperti diuraikan di atas memerlukan jangka waktu yang relatif panjang. Namun demikian, pemikiran dan perencanaan pengembangan pertanian untuk membentuk sistem pertanian yang berkelanjutan, berorientasi pasar dan ramah lingkungan (MOESA) itu perlu diawali sedini mungkin. Untuk langkah awal perlu dirancang tahapan-tahapan operasional yang disusun dalam bentuk road map untuk mencapai tujuan tersebut pada tahun 2020, yaitu saat negara-negara berkembang, termasuk Indonesia, harus melaksanakan perjanjian GATT (General Agreement on Tariff and Trade). Namun, pelaksanaan restrukturisasi kelembagaan di tingkat pusat sebaiknya memang dilakukan sedini mungkin untuk menghadapi keterbukaan ekonomi negara-negara maju 17 pada tahun 2010. Diharapkan pada saat itu, paling tidak, Indonesia telah mampu mengatur langkah tepat untuk menghadapi serangan ekonomi global secara terbuka. Selanjutnya, penataan kembali kelembagaan pertanian dapat diperluas ke tingkat daerah sehingga terbentuk sistem pertanian yang kokoh pada tahun 2020.
18 DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2008. Liberalisasi Tanaman Pangan: Teknik Budidaya Petani Kecil Didorong ke Corporate Farming. Kompas, 5 Maret 2008. J akarta Darmawan, T. 2003. Paradigma Perdagangan Internasional Produk Makanan dan Minuman. Makalah pada Seminar Nasional Pengembangan Agribisnis dan Agroindustri Pangan. Diselenggarakan oleh GMAC dan MMA-UGM pada Mei 2003 di Gedung Pasca Sarjana UGM, Yogyakarta Darwanto, DH. 1999a. Menuju Sistem Ketahanan Pangan Nasional Dinamis Melalui Kebijakan Pangan yang Koordinatif. Makalah pada Diskusi Panel Arah Kebijakan Pangan Nasional" di Kantor Menteri Negara Urusan Pangan dan Hortikultura, J akarta, pada tanggal 23 J uni 1999. _____________. 1999b. Pembangunan Pertanian Berkelanjutan Berorientasi Pasar dan Ramah Lingkungan. Bisnis & Ekonomi Politik (ISSN: 1410-2625). Volume 3, Nomor 3, Juli 1999. Institute for Development of Economics and Finance (INDEF), J akarta-Indonesia. _____________ and H. Tsujii. 2000. Rice Marketing System Under Government Intervention in Indonesia. Makalah pada Workshop on Harmonization between Development and Environmental Conservation in Biological Production in Kyoto University, 22-23 J anuary 2000. _____________. 2000. Kebijakan Pangan Koordinatif Menuju Sistem Ketahanan Pangan Dinamis. Makalah pada Widyakarya Nasional Pangan dan Gizi, LIPI, 29 Februari - 2 Maret 2000, J akarta . _____________. 2000. Arah Kebijakan/Program Diversifikasi Pangan Dalam Upaya Menurunkan Ketergantungan Pada Beras: Suatu Tinjauan dari sisi produksi dan ketersediaan pangan. Makalah pada Semiloka Penyusunan Kebijakan Perberasan. Institut Pertanian Bogor, tanggal 14-15 Maret 2000, di Bogor
19 _____________. 2002. Peluang dan Tantangan Sumberdaya Manusia Sektor Pertanian di Indonesia Menghadapi Era Persaingan Global. Dalam Soeharto, dkk. (Eds.): Masalah Kesiapan Indonesia Menghadapi Pemberlakuan AFTA 2003: Suatu Tinjauan Terhadap Peluang dan Tantangan Sumberdaya Indonesia, Khususnya di Bidang Pertanian, Fakultas Pertanian UPN Veteran J ogjakarta and Badan Penelitian dan Pengembangan Departemen Luar Negeri RI. September 2002 _____________. 2003. Perkembangan Agroindustri dan Perdagangan Hasil Pertanian di Indonesia. Dalam S. Widodo (Eds.):Meningkatkan Peran Agribisnis Usaha Kecil dan Menengah untuk Memperkokoh Ekonomi Nasional. Penerbit Liberty, Yogyakarta. J une 2003. _____________ dan PY. Ratnaningtyas. 2005. Kesejahteraan Petani dan Peningkatan Ketersediaan Pangan: Sebuah Dilemma?. Agro Ekonomika (Edisi Khusus). No. XXXV, Oktober 2005. PERHEPI, J akarta. _____________. 2005. Ketahanan Pangan Berbasis Produksi dan Kesejahteraan Petani. Ilmu Pertanian. Vol. 12, No. 2, Desember 2005. Fakultas Pertanian Universitas Gadjah Mada. Yogyakarta. _____________. 2006. The World Food Security Issues: A Discussion. Disampaikan pada Workshop of Agriculture Policy for the Future. Bappenas-FAO-UNDP. Diselenggarakan oleh UNSFIR, 12-13 Februari 2004 di J akarta. _____________ dan PY. Ratnaningtyas. 2007. Kebijakan Pengembangan Ubi Kayu Untuk Mendukung Ketahanan Pangan, Agroindustri dan Ekspor Indonesia. Dalam D. Hernowo, dkk. (Eds):Peningkatan Produksi Kacang- kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Kemandirian Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian RI. J akarta _____________. 2007a. Hilangnya Pengendali Harga Beras. Suara Pembaruan, 27 November 2007. J akarta
20 _____________. 2007b. Pemanasan Global dan Produk Unggas Domestik. Trobos (ISSN 1411-5816). No 98, Tahun VIII, Nop. 2007. 90 p. FAO. 2007. FAOStat. FAO Statistics Division. www.faostat.org diakses 30 J uli 2007 OECD. 2007. OECD Factbook: Economic, Environmental and Social Statistics. OECD OKEOWO, A (2007). GLOBAL WARMING THREATENS COFFEE COLLAPSE IN UGANDA. NATIONAL GEOGRAPHIC NEWS, J ULY 24, 2007 OWEN, J (2007). WARMING MAY SPUR EXTINCTIONS, SHORTAGES, CONFLICTS, WORLD EXPERTS WARN. NATIONAL GEOGRAPHIC NEWS, APRIL 6, 2007 Rosenzweig, C. and M. L. Parry (1994). "Potential Impact of Climate Change on World Food Supply". Nature, Vol. 367, J anuary 13, 1994. pp. 133-138 Sawit, M.H. 2007. Serbuan Impor Pangan Dengan Minimnya Perlindungan di Era Liberalisasi. Makalah pada Konpernas XV dan Kongres XIV PERHEPI, di Surakarta, 3-5 Agustus 2007 Suhardi, S. Sabarnurdin, S Astuti, DH. Darwanto., Minarningsih dan Agus Widodo (1999). Hutan dan Kebun Sebagai Sumber Pangan Nasional. Departemen Kehutanan dan Perkebunan Republik Indonesia. 145 p. Tsujii, H and DH. Darwanto. 2003. Econometric Analysis of Indonesian Rice Economy and Policy: The Market Fundamentalism as the Cause of the 1997-98 Rice Crisis. In Y. Hayashi et al. (Eds.):Sustainable Agriculture in Rural Indonesia, Gadjah Mada University Press. May 2003. 468 p. WIJ AYANTI, R DAN DH. DARWANTO. 2005. KETAHANAN PANGAN BERBASIS BERAS DOMESTIK ATAU IMPOR?. AGRO EKONOMI (ISSN: 0215-8787). VOL. 12/ NO. 1. J UNI 2005. J URUSAN SOSIAL EKONOMI PERTANIAN, FAKULTAS PERTANIAN UNIVERSITAS GADJ AH MADA. YOGYAKARTA
Pendekatan sederhana terhadap krisis ekonomi di Yunani: Sebuah perjalanan untuk menemukan krisis ekonomi Yunani yang dimulai pada tahun 2008 dan menggemparkan dunia. Penyebab dan implikasinya