Anda di halaman 1dari 20

SISTEM PERTANIAN

http://ilmubertani.blogspot.com/2012/11/sistem-pertanian.html
Senin, 19 November 2012

BAB I
PENDAHULUAN

1. 1 Latar Belakang
Sistem pertanian merupakan pengelolaan komoditas tanaman untuk memperoleh hasil yang
diinginkan yaitu berupa bahan pangan, keuntungan financial, kepuasan batin atau gabungan dari
ketiganya. Sistem pertanian di daerah tropika, termasuk Indonesia berbeda dengan daerah subtropis
dan daerah beriklim sedang. Hal ini dikarenakan adanya perbedaan kondisi iklim, jenis tanaman dan
keadaan sosial ekonomi petaninya.

Meningkatkan produksi pertanian suatu negara adalah suatu tugas yang kompleks, kerena
banyaknya kondisi yang berbeda yang harus dibina atau diubah oleh orang ataupun kelompok yang
berbeda pula. Seperti halnya permasalahan pertumbuhan penduduk yang tinggi yang mengimbangi
permintaan atas kebutuhan pangan meningkat pesat, namun hal tersebut tidak diimbangi dengan
produksi hasil pertanian yang mampu untuk memenuhi permintaan kebutuhan akan bahan pangan.
Namun hal itu juga mendorong para petani untuk mencoba menanam jenis-jenis tanaman
baru, dan dengan bantuan para insinyur dan para peneliti untuk mengembangkan varietas tanaman
tersebut dengan menemukan teknik penggunaan pupuk, mengatur kelembapan tanah yang lebih maju
serta menggunakan teknologi pertanian yang lebih maju untuk mengembangkan pembangunan
pertanian ke arah yang lebih baik sehingga mampu untuk memenuhi kebutuhan pangan dari jumlah
masyarakat yang terus meningkat.
Pada dasarnya pembangunan pertanian di Indonesia sudah berjalan sejak masyarakat
Indonesia mengenal cara bercocok tanam, namun perkembangan tersebut berjalan secara lambat.
Pertanian awalnya hanya bersifat primitif dengan cara kerja yang lebih sederhana. Seiring berjalannya
waktu, lama kelamaan pertanian berkembang menjadi lebih modern untuk mempermudah para petani
mengolah hasil pertanian dan mendapatkan hasil terbaik dan banyak.
Dengan demikian pembangunan pertanian mulai berkembang dari masa ke masa. Dalam
proses pembangunan pertanian tersebut, bantuan para ahli di bidang pertanian dan pemerintah sangat
dibutuhkan untuk mendukung dan memberi fasilitas maupun pegetahuan kepada para petani untuk
memberi metode baru kepada para petani dan mengubah cara berpikir mereka menjadi lebih kompleks
sehingga mampu untuk meningkatkan produksi pertanian dalam negeri.
Hal inilah yang menjadi dasar pemikiran penulis untuk mengupas tentang sistem pertanian
yang telah bergulir beberapa era di Indonesia, untuk mencari tahu apa saja pembangunan pertanian
yang terjadi di negeri ini sejak Indonesi mulai meneguk kebebasan dari kemerdekaan hingga
Indonesia mulai mencoba untuk bangkit membangun kemajuan negeri ini di era reformasi saat ini.

1.2 Tujuan
Adapun tujuan penulis mengupas masalah tentang Sistem Pertanian di Indonesia adalah untuk
membuka wawasan penulis tentang sistem pertanian di Indonesia dan betapa pentingnya
perkembangan sistem pertanian yang akan memiliki dampak yang besar bagi kehidupan mayarakat
dan pertumbuhan perekonomian Indonesia nantinya.

1.3 Permasalahan
Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat ditarik beberapa permasalahan sebagai berikut:
1. Apa perbedaan pola pertanian di era orde lama, orde baru dan reformasi?
2. Apa saja kebijakan-kebijakan yang sudah dilakukan oleh pemerintah era orde baru dan reformasi
dalam pembangunan pertanian?
3. Apa saja kelebihan dan kekurangan sistem pertanian dari masa ke masa?
4. Bagaimana sistem bertanam daerah tropika?
5. Bagaimana sistem perladangan berpindah?
6. Bagaimana sistem tadah hujan semi intensif dan intensif serta pola tanam?






BAB II
PEMBAHASAN


2.1 Permasalahan Perkembangan Pertanian
2.1.1 Perbedaan Pola Pertanian di Era Orde Baru dan Reformasi
Pertanian mulai timbul pada saat manusia mulai mengendalikan pertumbuhan tanaman dan
hewan, dengan mengaturnya sedemikian rupa sehingga dapat memberikan keuntungan. Pada awalnya
pertanian masih bersifat primitif dengan hanya mengharapkan kondisi alam sebagai faktor
pendukung. Namun seiring berkembangnya zaman, pertanian menjadi lebih berkembang ke arah
modernisasi.
Pada pertnian yang berazaskan modern, manusia akan mempergunakan kecerdasan otaknya
untuk meningkatkan penguasaannya akan semua faktor yang akan mendukung pertumbuhan dari
tanaman dan hewan.
Semakin berjalannya waktu sistem pola pertanian dari masa ke masa pun akan terus
berkembang menjadi lebih baik untuk menghasilkan hasil pertanian yang lebih baik pula. Seperti era
orde bru dan reformasi. Tentunya pada perubahan era pemerintahan, sistem pola pertanian di Indoneia
juga akan berubah.
Pada masa orde baru pembangunan pertanian diorientasikan kepada pemenuhan kebutuhan
pangan dalam negeri, dan sistem agribisnis dikembangkan secara simultan dan harmonis. Pada masa
orde baru untuk teknik pertanian biasa dilakukan di tanah datar sehingga teknik ini disebut bertegal
(cara bertani di tanah kering). Setelah itu di bersihkan dan kemudian di tanami oleh tanaman
penghasil bahan pangan. Jika pada zaman dahulu pertanian hanya dilakukan secara sederhana hanya
dengan mengharapkan dan berpangku tangan pada kondisi alam namun di era orde baru hal tersebut
telah berkembang menjadi lebih kompleks dengan pengetahuan petani tentang masalah pemupukan
yang akan mendukung hasil dari produksi pertanian tersebut yang akan meningkat.
Selain itu juga diterapkan teknologi yang lebih modern untuk kemajuan pertanian seperti
pemberantasan hama pembibitan maupun sistem irigasi yang mulai berkembang untuk mempermudah
para petani mengairi sawahnya. Bahkan sawah juga selain dugunakan untuk menanam padi, juga
dapat digunakan untuk menanam tanaman hortikultura.
Tidak hanya berhenti pada lahan datar yang digunakan untuk lahan pertanian, lahan gambut
pun mulai digunakan menjadi lahan pertanian bagi para petani sebagai areal persawahan, selain itu
juga dikembangkn sitem reboisasi dan terassering sebagian bagian dari teknologi modern pada masa
orde baru.
Di era reformasi, dewasa ini tentunya sistem pola pembangunan pertanian di Indonesia
semakin berkembang dibanding era orde baru. Para petani melanjutakan pembangunan era orde baru
yang menggunakan pembasmi hama, teknik pembibitan yang lebih ditingkatkan sehinnga padi dapat
menghasilkan panen yang lebih banyak dan lebih meningkat pada kualitas hasil produksi.
Selain itu pola memanen yang dulunya dilakukan secara sendiri kini sudah menggunakan
mesin untuk mempercepat proses memanen dan lahan dapat segera ditanami kembali. Dan semakin
berkembangnya teknologi pertanian di Indonesia, lahan-lahan yang sulit digunakan untuk ditanami
pun mulai dibuka menjadi areal tanam bagi tanaman yang memberikan penghasilan bagi devisa
negara, seperti halnya penanaman di lahan yang tergenang maupun lahan yang tidak rata ataupun
berbukit.
Namun pada dasarnya penggunaan pembasmi hama dan pembibitan untuk mencari bibit
unggul serta lahan yang tidak biasa dibuka untuk lahan pertanian biasanya akan menimbulkan
permasalahan yang akan menyulitkan bagi pertumbuhan tanaman tersebut.

a.Orde lama b. Orde baru c. Revolusi



2.1.2 Kebijakan-Kebijakan yang Sudah Dilakukan Oleh Pemerintah Era Orde Baru dan
Reformasi dalam Pembangunan Pertanian.
1. Kebijakan Pertanian di Era Orde Baru
A. REPELITA (Rencana Pembangunan Lima Tahun)
REPELITA adalah Rencana Pembangunan Lima Tahun yang menjadi kebijakan dari Presiden
Soeharto pada masa Orde Baru untuk meningkatkan pembangunan Indonesia dari segi apa saja, tetapi
lebih diutamakan pada pembangunan sektor pertanian.
REPELITA sendiri terdiri dari berberapa tahap yang kesemuanya difokuskan untuk
membangun sistem pertanian Indonesia dengan turut memajukan sektor lain yang juga mendukung
pembangunan sektor pertanian seperti sektor industri dan teknologi.
B. Revolusi Hijau
Revolusi Hijau merupakan upaya untuk meningkatkan produksi biji-bijian dari hasil
penemuan ilmiah berupa benih unggul baru dari beragam varietas gandum, padi dan jagung yang
membuat hasi panen komoditas tersebut meningkat di negara-negara berkembang.
Revolusi Hijau dipicu dari pertambahan penduduk yang pesat, yakni bagaimana
mengupayakan peningkatan hasil produksi pertanian. Peningkatan jumlah penduduk harus diimbangi
dengan peningkatan produksi pertanian.
Perkembangan Revolusi Hijau yang sangat pesat juga berpengaruh pada masyarakat
Indonesia. Sebagian besar kondisi sosial-ekonomi mayarakat Indonesia berciri agraris. Oleh karena itu
pembangunan pertanian menjadi sektor yang sangat penting dalam upaya peningkatan pertumbuhan
ekonomi Indonesia. Hal tersebut didasari oleh:
1. Kebutuhan penduduk yang meningkat dengan pesat.
2. Tingkat produksi pertanian yang masih sangat rendah.
3. Produksi pertanian belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan penduduk.


C. Pembangunan Irigasi dan Produksi Padi
Mengenai perkembangan luas lahan dan luas produksi padi yang dihasilkan, terlihat bahwa
sejak masa Orde Baru memegang pemerintahan (1966) sampai dengan tahun 1987 luas lahan irigasi
melonjak hampir 2 kali lipat dengan laju sebesar 2,4% per tahun. Luas kenaikan maksimum dicapai
pada tahun 1987. tendensi ini diikuti dengan melonjaknya jumlah produktifitas padi. Pada tahun 1987
produksi padi meningkat hingga 44 juta ton, naik 3 kali lipat sejak tahun 1966. Tingkat produksi yang
dicapai ini diperoleh dengan naiknya intensitas tanam hingga mencapai rata-rata 1,8. Mengenai
kenaikan produksi persatuan luas, tercatat naik dari 2,4 ton/ha menjadi 4,5 ton/ha. Nilai ini bila
diplotkan ke dalam sejarah evolusi padi di negara-negara berkembang dengan Jepang sebagai
perbandingan, telah berada di fase keempat bersama-sama dengan Taiwan. Walaupun demikian masih
lebih rendah Korea dan Jepang yang telah mencapai 6-7 ton/ha, tetapi jauh lebih tinggi dari Philipina,
Laos, Myanmar maupun Vietnam.
Kenyataan ini menunjukkan bahwa lahan irigasi memberikan peranan yang besar dalam
mencapai swasembada pangan. Kira-kira 60-70% padi diproduksi dari lahan beririgasi. Walaupun
demikian, bila melihat perkembangn penduduk, untuk terus mempertahankan swasembada pangan
masih perlu banyak inovasi baru. Perhitungan secara sederhana mengenai luas lahan beririgasi terus
meningkat seirama dengan pertambahan penduduk. Padahal kalau melihat besarnya derajad irigasi
seperti telah diuraikan di atas, peluang mengembangkan lahan irigasi secara horizontal, terutama di
pulau-pulau yang termasuk dalam grup pertama, nampaknya semakin sempit.
Yang menjadi persoalannya adalah bagaimana menyeimbangkan antar penyediaan
sumberdaya air dari alam dengan kebutuhan air khususnya untuk memproduksi bahan pangan yang
semakin meningkat itu tetapi tanpa merusak kondisi hidrologinya sendiri.
D. BIMAS, INMAS, INSUS dan Panca Usaha Pertanian
Dalam rangka meningkatkan produk pertanian, pemerintah Orde Baru melaksanakan program
intensifikasi dan ekstensifikasi pertanian yang dimulai sejak Pelita I dan Pelita-Pelita berikutnya. Pada
waktu itu dilaksanakan program Bimbingan Masal (BIMAS) yang kemudian berubah menjadi
Intensifikasi Masal (INMAS), Intensifikasi Khusus (INSUS) dan Panca Usaha Pertanian. Dalam
usaha meningkatkan produksi pertanian padi, dilakukan penanaman bibit unggul, sepertu Varietas
Unggul Baru (VUB) atau High Yealding Varietas (HYV) sebagai hasil penelitian International Rice
Research Institute (IRRI).
2.1.3 Kebijakan Pertanian di Era Reformasi
A. SRI (System of Rice Intensification)
Perkembangan padi SRI (System of Rice Intensification) yang terkenal dengan motonya
More Rice with Less Water atau hasil beras meningkat dengan penggunaan air yang sedikit, sampai
saat ini masih mengalami kendala teknis dan non teknis di tingkat lapangan. Dengan melihat
keistimewaan sistem ini, terutama dari segi produktifitas dan efisiensi pengairan (yang identik dengan
perluasan areal irigasi), beberapa perbaikan sistem harus dilakukan agar pengembangannya dapat
dilaksanakan seluas-luasnya.
Berikut adalah beberapa keistimewaan sistem SRI bagi pengembangan budidaya padi sawah:
1. SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit, yaitu 5-10 kg per-hektar yang berbanding
40-60 kg padi per-hektar pada sistem konvensional.
2. Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat dengan B/C rato
(perbandingan nilai hasil terhadap biaya) yang lebih baik dibanding sistem konvesional. Hal ini jelas
akan meningkatkan pendapatan petani.
3.Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering meretak akan
memperbaiki lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti akan memperbaiki kondisi tanah,
baik fisik, kimia maupun biologi. Hal ini dapat dipercepat apabila pemupukannya menggunakan
pupuk organik. Beberapa artikel penelitian membuktikan bahwa kandungan mikro organisme pada
tanah yang ditanami padi SRI mengalami peningkatan kualitas. Tentu saja harus diperhatikan pula
proses pengembalian serasah padi pada tanah asalnya.
4. Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional akan memperbaiki
efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi bagi perluasan areal irigasi. Dengan
demikian SRI sangat menunjang program ekstensifikasi areal irigasi yang merupakan sumber utama
ketahanan pangan (terutama beras). Sampai saat ini, areal irigasi yang ada masih banyak yang belum
mampu mengairi padi 100% pada musim tanam kedua (kemarau).
Namun demikian, ternyata pengembangan SRI di banyak areal irigasi masih menghadapi
beberapa kendala yang cukup mengganggu, yaitu:
1. Metode penanaman dengan bibit muda dan hanya satu bibit pertitik tanam dianggap masih
merepotkan bagi petani. Hal ini terutama dialami pada daerah-daerah yang kekurangan buruh tani.
Biasanya daerah seperti ini adalah daerah yang berada tidak jauh dari perkotaan karena banyak buruh
tani yang bekerja sambilan di kota sebagai tukang atau buruh industri, atau juga di daerah yang
terpencil dimana jumlah penduduk masih kurang. Selain itu, banyak pula daerah yang buruh taninya
merupakan pendatang musiman yang belum familier dengan SRI sehingga hasil tanamnya kurang
baik. Hal ini tentunya membutuhkan pembinaan yang lebih cermat.
2. Petani yang baru pertama kali melaksanakan SRI banyak yang mengeluhkan pertumbuhan gulma
yang jauh lebih banyak dibanding dengan sistem konvensional. Hal ini dapat dimengerti karena
pengeringan akan mendorong benih gulma tumbuh dengan leluasa (pada jenis gulma yang
berkembang melalui biji atau umbi). Oleh karena itu pengembangan SRI perlu disertai dengan
pembinaan pengendalian gulma yang baik (pada pelaksanaan demplot SRI sangat disarankan utuk
menggunakan lalandak dalam mengendalikan gulma).
3. SRI masih menyebakan kebingunan dalam sistem pembagian air karena belum adanya panduan
yang pasti mengenai hal ini. Dalam hal perencanaan, operasional irigasi dengan SRI belum
mempunyai angka dasar hidrologi yang baku, sehingga para ahli hidrologi masih belum dapat
merencanakan sistem pembagian air yang ideal. Penelitian akan hal ini sangat diperlukan guna
mendapatkan angka koefisien yang baku. Pembagian air irigasi dalam SRI juga sangat menuntut
sistem pertanaman serempak, terutama pada satu petak tersier yang sama. Dilain pihak, sistem
pertanaman serempak ini sampai sekarang belum dapat dilaksanakan secara optimal sekalipun pada
sistem konvensional.
4. Selain SRI, sistem Jajar Legowo yang dikombinasikan dengan pupuk organik dan juga padi Hibrida
yang menggunakan sistem pengairan konvensional yang juga memberikan hasil produksi yang relatif
sama, menjadi pesaing utama bagi pengembangan SRI.
Pada akhirnya, betatapapun banyaknya kelebihan yang dimiliki SRI, beberapa penyesuaian
budaya, kebijakan pembangunan, maupun teknis, sangat diperlukan. Yang jelas, dengan kondisi lahan
irigasi yang ada di Indonesia, SRI masih sangat diharapkan dapat dikembangkan secara luas terutama
pada daerah irigasi yang pemenuhan airnya terbatas seperti di wilayah-wilayah Timur Indonesia.
B. Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi
Sesuai pasal 4 Peraturan Pemerintah No. 20 tahun 2006 tentang Irigasi, pengelolaan sistem
irigasi diselenggarakan melalui azas partisipatif, terpadu, berwawasan lingkungan hidup, transparan,
akuntabel, dan berkeadilan. Apa yang dimaksud dengan poin-poin tersebut? Inilah kira-kira yang
dimaksudkan dengan kaidah pengelolaan yang diharapkan dari peraturan tersebut:
1. Partisipatif; sudah saatnya semua pihak, baik unsur pemerintah maupun pemanfaat jaringan irigasi
(petani / P3A) memiliki dan mewujudkan azas inisiatif guna mengelola dan memelihara jaringan
irigasi demi kemanfaatan yang sebesar-besarnya. Disini, pola desentralisasi sangat diharapkan
terutama pada areal-areal yang merupakan kewenangan daerah (Baca Pasal 16, 17, dan 18 PP
20/2006). Petani melalui P3A dan GP3A, diharapkan memiliki inisisatif swadaya ataupun swakelola
dalam melestarikan kedayagunaan jaringan irigasi, sementara pemerintah sesuai daerah
kewenangannya bertanggungjawab untuk mendukung inisiatif yang muncul dari petani.
2. Terpadu; keterpaduan yang dimaksud bukan hanya pada proses pemeliharaan pelestarian jaringan,
akan tetapi lebih diutamakan pada pemanfaatan yang sebesar-besarnya untuk meningkatkan
kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada akhirnya mewujudkan ketahanan pangan yang solid.
Disini, dituntut koordinasi dan konsolidasi program antara 4 pemangku kepentingan pembangunan
lahan beririgasi, yaitu Petani (P3A), PU Pengairan, Dinas Pertanian Tanaman Pangan, dan Bappeda
sebagai motor pembangunan daerah. Keterpaduan bukan hanya dari segi pemanfaatan, akan tetapi
juga dari segi pembiayaan operasional dan pemeliharaan.
3. Berwawasan lingkungan: dimaksudkan sebagai pemenuhan azas kelestarian pemanfaatan dan
kegunaan. Oleh karenanya, disini dituntut pelaksanaan program pemeliharaan yang baik dan
terstruktur serta dukungan program pelestarian sumber daya air itu sendiri yang merupakan
wewenang dan tanggung jawab Ditjen SDA dan Kehutanan. Dari segi teknis pemanfaatan, Dinas
Pertanian dituntut pula melaksanakan sistem pertanian yang mendukung azas pelestarian lingkungan
hidup seperti menerapkan sistem pertanian terpadu, integrasi tanaman dan ternak, metode budidaya
padi organik (melalui metode SRI atau Jajar Legowo), PHT, dan lain-lain.
4. Transparansi, akuntabel, dan berkeadilan; poin ini merupakan hal yang gampang-gampang susah
untuk dilaksanakan. Tidak ada kriteria yang jelas untuk memonitor realisasinya. Paling tidak kita
dapat mengharapkan partisipasi masyarakat petani untuk dapat mengontrol ketiga poin tersebut.
Dengan adanya peraturan ini, petani melalui organisasi P3A / GP3A dapat melakukan aksi
pengawasan langsung atas proses dan pembiayaan operasi dan pemeliharaan di wilayah
kewenangannya. Azas ini mensyiratkan bahwa proses pembangunan adalah milik masyarakat petani
dan petani mempunyai hak untuk menentukan arah pembangunan daerahnya dan menuntut
transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang dilaksanakan.
C. Kelebihan dan Kekurangan Sistem Pertanian dari Masa ke Masa
Sistem pertanian dari masa ke masa yang dibangun oleh berbagai generasi tentunya akan
menghasilkan dampak positif bagi masyarakat, tetapi begitupun tentunya juga memiliki kekurangan
yang timbul akibat kebijakan-kenijakan tersebut. Berikut akan dibahas beberapa hal yang menjadi
kelebihan maupun kekurangan pembangunan sistem pertanian pada masa Orde Baru dan Masa
Reformasi.
1. Kelebihan
a. Orde Baru
Terciptanya kestabilan ekonomi Indonesia dengan adanya REPELITA.
Berkembangnya kemampuan petani dalam hal pengolahan lahan maupun produksi bahan pangan
menjadi lebih modern.
Terjadinya peningkatan produksi hasil pertanian yang menjadikan Indonesia berhasil bangkit dari
masalah kebutuhan pangan dengan menciptakan swasembada pangan.
Terciptanya kualitas sumber daya manusia yang lebih kompeten dan menghasilkan
b. Reformasi
Pada program yang dijalankan pemerintah tentng program SRI dapat dilihat beberapa
kelebihan di antaranya:
SRI hanya membutuhkan benih yang jauh lebih sedikit.
Produktifitas dengan sistem SRI telah terbukti secara signifikan meningkat.
Sistem pengairan yang intermitten / terputus sampai kondisi tanah kering meretak akan memperbaiki
lingkungan mikro bagi tanah sehingga secara pasti akan memperbaiki kondisi tanah.
Penggunaan air yang jauh lebih sedikit dibanding dengan sistem konvensional akan memperbaiki
efisiensi pengairan dan dengan demikian memiliki potensi bagi perluasan areal irigasi.
Pada kebijakan tentang Pembangunan Pertanian Lahan Beririgasi dapat dilihat beberapa kelebihan di
antaranya:
Meningkatkan kesejahteraan petani lahan beririgasi yang pada akhirnya mewujudkan ketahanan pangan
yang solid.
Semua pihak memiliki dan berkewajiban mengelola dan memelihara jaringan irigasi demi kemanfaatan
yang sebesar-besarnya.
Proses pembangunan adalah milik masyarakat petani dan petani mempunyai hak untuk menentukan
arah pembangunan daerahnya dan menuntut transparansi, akuntabilitas, dan keadilan kebijakan yang
dilaksanakan.
2. Kekurangan
a. Orde Baru
Timbulnya kesulitan untuk mengatasi dampak dari kemajuan pengolahan tanaman yang lebih modern.
Petani menjadi tertinggal kerena kurangnya penyuluhan pertanian kepada para petani.
Terjadi keterbelakangan subsektor selain pangan dikarenakan pemerintah lebih mengutamakan
kemajuan dalam produksi tanaman pangan.
b. Reformasi
Petani belum siap dengan beberapa kebijkan dari pemerintah yang dianggap terlalu sulit dan
merepotkan.
Dalam permasalahan irigai petani menjadi kebingungan akibat tidak memahami penduan yang tidak
pasti dalam sistem pembagian air.
2.1.4 Solusi
Permasalahan yang timbul pada sistem pembangunan pertanian tersebut sebenarnya menjadi
pemicu bagi para ahli di bidang pertanian untuk memecahkan bagaimana mencari solusi dari masalah
tersebut.
Beberapa masalah yang tecipta dari masa Orde Baru maupun Reformasi sebenarnya
memerlukan pemecahan yang cukup sederhana dan dapat dipahami dengan mudah oleh para petani
agar dapat melakukan prodes produksi bahan pangan maupun hasil hortikultura yang dapat
meningkatkan kemajun pertanian Indonesia.
Permasalahan tentang lahan irigasi yang ingin memperluas areal untuk meningkatkan
produksi padi sawah sebenarnya telah terjawab dengan hadirnya padi SRI yang mampu menghasilkan
padi lebih banyak namun dengan konsumsi air yang sedikit. Hanya saja dalam penanaman padi SRI
ini juga mengalami hambatan dengan kurangnya buruh tani yang bekerja untuk mengembangkan
sistem padi ini diakibatkan para petani yang sebagian besar memiliki pekerjaan lain dan menjadikan
kegiatan pertanian menjadi pekerjaan sampingan. Seharusnya pengembangan padi SRI menjadi solusi
tepat bagi sulitnya membuka areal irigasi bagi petani, hanya saja hal itu harus sejalan dengan kegiatan
petani yang lebih fokus pada produktifitas tanaman-tanaman pangan.
Sedangkan permasalahan penggunaan air lahan irigasi yang membingungkan petani akibat
ketidakjelasan panduan penggunaan dan pembagian air seharusnya menjadi perhatian yang lebih bagi
penyuluh pertanian sehingga lebih meningkatkan penyuluhan untuk menambah pengetahuan para
petani yang tidak hanya terfokus tentang penggunaan air lahan irigasi, tetapi juga pada masalah
pembibitan, pembasmian hama, maupun pada pemberian pupuk dengan dosis yang tepat bagi
tanaman.
Pada kebijakan pemerintah tentang REPELITA dan Revolusi Hijau yang bertujuan
meningkatkan ketahanan pangan dengan meningkatkan produktifitas tanaman pangan menuju
swasembada pangan mengakibatkan permasalahan pada keterbelakangan produktifitas subsektor
tanaman selain tanaman pangan seperti hortikultura. Seharusnya peningkatan produktifitas dari
tanaman pangan juga diimbangi dengan peningkatan produktifitas tanaman lainnya seperti tanaman
hortikultura.
2.2 Sistem Bertanam Daerah Tropika
Pertanian di daerah tropik adalah suatu sistem pertanian dimana pertanianya menggunakan
minim air.
A. Karakteristik:
Dilakukan pada daerah tropis/sub-tropis, yang diperkenalkan oleh bangsa Eropa
Pertanian skala besar, dengan lahan yang luas, pemanfaatan yang dimaksimalkan, dan hasil produksi
seluruhnya untuk ekspor (sistem berorientasi ekspor).
Fasilitas yang lengkap dan alat-alat pertanian yang sudah canggih.
Metode, staf, mesin, dan pupuk kebanyakan berasal dari Eropa.
Pekerja kasar berasal dari orang-orang lokal, dan di tingkat manajerial dan staf teknis dikuasai orang-
orang barat.
Jumlah pekerja sangat banyak, karena belum dimekanisasi (misalnya mengambil pucuk daun teh,
menyadap karet), yang diupah rendah.
Tanaman yang ditanam seperti karet, teh, kopra, kopi, dan tebu dalam suatu kualitas yang telah
distandardisasi.
Hasil produksi diekspor, dari negara dengan iklim hangat ke dunia Barat.

B. Sistem pertanian di daerah tropis cenderung berubah ke salah satu dari dua keadaan ekstrem:
1. Penggunaan input luar secara besar-besaran; selanjutnya akan disebut Height external input
agriculture (HEIA).
2. Pemanfaatan sumber daya lokal yang semakin intensif dengan sedikit atau sama sekali tak
menggunakan input luar, hingga terjadi degradasi sumber daya alam; selanjutnya disebut (LEIA).
C. Perkembangan Sistem Pertanian di Daerah Tropis
Banyak pendapat tentang pengertian dan klasifikasi sistem bertanam, yang salah satu
diantaranya akan dikemukakan disini. Ada lima kategori yang sudah banyak dikenal, yaitu sistem
perladangan berpindah, sistem tadah hujan semi intensif, sistem tadah hujan intensif, sistem irigasi,
sistem campuran tanaman semusim dan tahunan.
Dalam perkembangan dari pertanian di daerah tropis dan subtropis, Whittlesey (201)
membedakan sistem pertanian sebagai berikut:
Nomadic Herding/penggunaan lahan berpindah-pindah. Nomadic herding dalam pertanian merupakan
bentuk primitif dari adaptasi untuk daerah kering yang luas dimana curah hujan tidak cukup untuk
menghasilkan panen.
Livestock Ranching. Livestock ranching merupakan perkembangan dari penggembalaan berpindah-
pindah (nomadic grazing), dimana lahan digunakan lebih ekstensif dan peduli untuk memelihara dan
meningkatkan perkembangbiakan hewannya.
Shifting cultivation. Pengecualian terhadap tanah vulkanik yang belum dewasa, tanah lahan tinggi pada
daerah yang sangat lembab dan tropis lembab secara keseluruhan kurang baik dan pada daerah ini
kemungkinan pertaniannya terbatas.
Shifting cultivation merupakan salah satu bentuk pertanian yang tertua.
Rudimentary Sedentary Tillage. Petani primitif mungkin segan untuk membebaskan area dimana dia
menemukan kecocokan kondisi yang tidak biasa, kemungkinan karena tanahnya sangat subur atau
telah adanya pasar untuk hasil panennya.
Mata Pencaharian Bercocok Tanam secara Intensif dengan Padi sebagai Hasil Dominan (Intensive
Subsistence Tillage with Rice dominant).
Mata Pencaharian Bercocok Tanam secara Intensif tanpa Padi (Intensive Subsistence Tillage wihout
Rice).
D. Masalah yang Berhubungan dengan Hasil Pangan di Daerah Tropis Kering
Erosi
Tanaman tegalan, seperti jagung, , ubi jalar dan kacang-kacangan, tidak membutuhkan banyak air
sebagaimana padi, tetapi tanaman-tanam an tersebut ditanam di lahan miring pada musim hujan
karena tidak tumbuh secara baik di lahan datar karena tanahnya sering digenangi air.
Sistem Bertanam
Bedeng yang dibangun pada tanah yang gampang tergenang dapat memberikan peluang penanaman
sejumlah tanaman selain padi. Dapat dikemukakan di sini beberapa contoh sistem pertanaman yang
berproduksi baik di daerah kering.
Bedeng kecil
Padi dapat secara langsung ditugal pada permukaan bedeng di awal musim hujan. Sesudah padi
dipanen, kacang hijau dapat ditanam diantara tunggul rumpun padi.
Bedeng besar
Tanaman-tanaman selain padi dan kedelai peka terhadap kelebihan air. Oleh karena itu, untuk
menjamin keberhasilan tanaman tersebut di musim hujan, pembuatan bedeng besar diperlukan.
2.3 Sistem Perladangan Berpindah
Pada mulanya sistem perladangan berpindah terjadi pada saat pertama kali manusia mengenal
bercocok tanam. Dengan tingkat pengetahuan yang sangat rendah, manusia pada waktu itu belum
mengenal pengelolaan lahan dan teknologi yang digunakan dapat disebut asal tanam.
Ladang Berpindah adalah kegiatan pertanian yang dilakukan dengan cara berpindah-pindah
tempat. Ladang dibuat dengan cara membuka hutan atau semak belukar.

Sistem ladang berpindah ini dapat mengakibatkan dampak negatif, diantaranya:
Mengurangi luas hutan.
Kerusakan hutan.
Tanah menjadi tandus / lahan kritis.
Tanah mudah tererosi.
Kebakaran hutan.
Pencemaran udara.
Perladangan berpindah (shifting cultivation) merupakan satu diantara yang menerapkan
teknologi konservasi dalam pertanian yang lebih berintegrasi dengan sistem alami. Perladangan
berpindah (shifting cultivation) merupakan suatu sistem yang dibangun berdasarkan pengalaman
masyarakat dalam mengolah lahan dan tanah yang dipraktekan secara turun menurun. Secara negatif,
perladangan berpindah dianggap menyebabkan penggundulan hutan dan erosi tanah yang sangat
kritis. Tuduhan yang paling sering, saat kebakaran hutan di Kalimantan, salah satu yang dianggap
menjadi sebab adalah sistem perladangan berpindah. Kemudian, dari segi produktivitas dianggap
sangat rendah, apalagi bila dibandingkan dengan resiko lingkungan yang akan terjadi.
Namun demikian, sisi positifnya, bahwa sistem perladangan berpindah ini lebih akrab dengan
sistem alami yang tentunya lebih adaptif, karena mempertahankan struktur alami dari pada melakukan
perubahan ekosistem yang sangat baru. Pada kesempatan ini, sisi positif perlu mendapat perhatian
yang lebih mendalam, terutama bila dihubungkan dengan konservasi, yaitu (i) pemberaan (fallow)
dalam konservasi tanah dan (ii) sistem perladangan berpindah sebagai suatu bentuk pertanian
konservasi.


2.4 Sistem Tadah Hujan Semi Intensif dan Intensif serta pola tanam
Sistem bertanam adalah pola-pola tanam yang digunakan petani dan interaksinya dengan
sumber-sumber alam dan teknologi yang tersedia. Sedangkan pola tanam adalah penyusunan cara dan
saat tanam dari jenis-jenis tanaman yang akan ditanam berikut waktu-waktu kosong (tidak ada
tanaman) pada sebidang lahan tertentu. Pola tanam ini mencakup beberapa bentuk/macam sebagai
berikut:
1. Multiple Cropping (System Tanam Ganda)
Penanaman lebih dari satu jenis tanaman pada sebidang tanah yang
sama dalam satu t ahun.Yang termasuk dalam Sistem Tanam ganda ini
adalah : Intercropping, Mixed Cropping, dan Relay Cropping.

a. Intercropping (Sistem Tumpangsari)
Penanaman serentak dua atau lebih jenis tanaman dalam barisan
berselang-seling pada sebidang tanah yang sama. Sebagai contoh yang
umum dilakukan oleh petani di India adalah tumpangsari antara tanaman
sorghum dan tanaman kacang tunggak dan di Indonesia antara tanaman
ubikayu dan jagung atau kacang tanah.
b. Mixed Cropping (Sistem Tanam Campuran)
Penanaman dua atau lebih jenis tanaman secara serentak dan
bercampur pada sebidang lahan yang sama. Dewasa ini termasuk di
Indonesia., sistem ini jarang digunakan petani karena adanya berbagai
masalah terutama yang menyangkut pemeliharaan. Sistem tanam campuran
lebih banyak diterapkan dalam usaha pengendalian hama dan penyakit.
c. Relay Cropping (Sistem Tanam Sisipan)
Penanaman sisipan adalah penanaman suatu jenis tanaman ke dalam pertanaman yang ada
sebelum tanaman yang ada tersebut dipanen. Atau dengan istilah lain : suatu bentuk tumpang sari
dimana tidak semua jenis tanaman ditanam pada waktu yang sama. Suatu contoh khas di Indonesia
adalah : padi gogo dan jagung ditanam bersama-sama kemudian ubikayu ditanam sebagai tanaman
sela satu bulan atau lebih sesudahnya.

2. Seguantial Cropping ( Pergiliran Tanaman)
Penanaman lebih dari satu jenis tanaman pada sebidang lahan
dalam satu tahun, dimana tanaman kedua ditanam setelah tanaman pertama
dipanen. Demikian pula bila ada tanaman ketiga, tanaman ini ditanam
setelah tanaman kedua dipanen.
3. Maximum Cropping (Sistem Tanam Maksimum)
Adalah pengusahaan lahan untuk mendapatkan hasil panen yang setinggi-
tingginya tanpa memperhatikan aspek ekonomisnya (biaya, pendapatan dan
keuntungan) dan apalagi aspek kelestarian produksinya dalam jangka panjang.
4. Sole Cropping/Monoculture (Sistem Tanam Tunggal)

Adalah penanaman satu jenis tanaman pada lahan dan periode waktu yang sama. Pertanian
lahan kering di Indonesia (selain lahan hutan) mencapai 57 juta ha dan 18 juta ha diantaranya sudah
mengalami degradasi yang berarti adanya penurunan produktivitas dan ancaman perusakan
lingkungan. Apabila dibiarkan. Lahan yang mengalami proses degradasi tersebut akan bertambah
rusak dan akhirnya menjadi lahan kritis. Lahan kering yang kritis/marginal inilah yang merupakan
factor penyebab rendahnya kesejahteraan masyarakat, sehingga perlu dilakukan upaya peningkatan
produktivitasnya. Salah satu system bertanam yang berpeluang besar adalah system bertanam
konservasi dengan budidaya tanaman lorong (aley cropping). Sistem bertanam ini merupakan cara
konservasi vegetatif yang efektif dan murah, serta menyumbangkan bahan hijauan yang dapat
digunakan sebagai sumber bahan organik tanah dan pakan ternak.






BAB III
PENUTUP


1. Kesimpulan
Pembangunan pertanian merupakan hal yang harus bagi setiap negara untuk terus
memperbaharui produktifitas hasil buminya yang berupa tanaman, seperti tanamn pangan, tanaman
hortikultura maupun tanaman perkebunan untuk meningkatkan ketahanan pangan bagi bangsanya
yang terus meningkan. Selain itu juga bisa menghasilkan devisa yang cukup besar bagi negara.
Pada masa Orde Baru presiden Soeharto giat melakukan pembangunan pertanian dengan
melakukan beberapa kebijakan seperti REPELITA, Revolusi Hijau, BIMAS, INMAS, INSUS, dan
Panca Usaha Pertanian untuk meningkatkan pembangunan pertanian khususnya dalam peningkatana
produktifitas tanaman pangna yang akhirnya mampu mewujudkan Indonesia swasembada pangan.
Kebijakan-kebijakan juga terus berlanjut pada masa Reformasi hingga sekarang yang
menghasilkan cara-cara yang lebih modern dan tidak menyulitkan bagi para petani untuk memberikan
hasil terbaik dari sektor pertanian Indonesia seperti pembuatan areal irigasi maupun penemuan bibit-
bibit unggul yang menghasilkan hasil terbaik dari sektor pertanian.
2. Saran
Pembangunan sistem pertanian di Indonesia menghasilkan beberapa kemajuan yang cukup
pesat bagi bangsa ini. Tapi pada beberapa persoalan terdapat hal-hal yang mengalami kekurangan
yang mengakibatkan pembangunan pertanian berjalan tidak seimbang.
Pada sistem pertanian pada daerah yang masih menggunakan sistem pertanian yang lebih tertinggal
dari daerah lainnya hendaknya meningkatkan penyuluh pertanian untuk memberikan penyuluhan bagi
para petani.
Selain itu pembangunan areal irigasi hendaknya merata pada setiap daerah, begitupun dengan
pengembangan sistem SRI yang dinilai cukup memberikan banyak keuntungan untuk diaplikasikan
secara merata.


DAFTAR PUSTAKA

Supriatna, Nana. 2007. Sejarah untuk Kelas XII Sekolah Menengah Atas Program Ilmu
Pengetahuan Alam. Bandung: Grafindo Media Pratama (Hal 14-25 dan Hal 102-105)

Badrika, I Wayan. 2006. Sejarah untuk SMA Kelas XII. Jakarta: Erlangga (Hal 15-17)

Pusposutardjo, Suprodjo dan Susanto, Sahid. 1992. Perspektif dari Pengembangan Managemen
Sumber Air dan Irigasi Untuk Pembangunan Pertanian. Yogyakarta: Liberty (Hal 26-28)
Mosher, A.T. 1965. Menggerakkan dan Membangun Pertanian. New York: Franklin Book
Programs.Inc
Tim pengajar unja.2004.Dasar-dasar Agronomi.UNJA
Harjadi, S.S.1984.Pengantar Agronomi.Dapartemen Agronomi Fakultas Pertanian IPB.
PT Gramedia Jakarta.
Yogi, Sugito.1994.Dasar-dasar Agronomi.Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya.
Sugito, Y.1994.Dasar-dasar Agronomi.Fakultas Pertanian Universitas Brawijaya, Malang.

Anda mungkin juga menyukai